Senin, 20 September 2010

jadilah orang baik

jadi orang penting itu baik, namun jauh lebih penting jadi orang baik. maka jadilah ORANG BAIK!

Sabtu, 04 September 2010

MAKNA MUKMIN

Iman menurut bahasa adalah membenarkan. Sewaktu kecil penulis pernah ngaji di salah satu pesantren salaf disitu diajari mata pelajaran tauhid sebutlah aqidatul awam, dikatakan apa yang dimaksud dengan iman?
Iman ialah “Iqraru bil-lisan, wa tasdiqu bil-qalbi, wal a’malu bil-arkan aw bil-afāl” yang dimaksud iman yaitu: sebuah keyakinan yang diucapkan dengan lisan diyakini di dalam hati dan diamalkan dalam perbuatan.
Jadi dari konteks di atas iman itu adalah perpaduan dari ketiga pilar, atau dengan kata lain iman itu dibagi dalam tiga tingkatan yaitu,
Iqraru bil-lisan Pengakuan dengan lisan, maksudnya seseorang benar-benar mangakui akan adanya Allah sebagai Tuhan dan tidak ada sesembahan selain Dia. Namun tingkatan iman yang (pertama) demikian ini sering kali mengalami keguncangan ketika terjadi problem dalam hidupnya, seperti kekurangan ekonomi, kematian, kena fitnahan. Cepat perpaling kepada kekufuran dan tidak ridha terhadap keputusan Allah swt.
Inilah kebanyakan iman orang awam dari masyarakat kita, yang sering kali menyalahkan Allah jika sedang diberi karunia berupa ujian dari-Nya. Padahal Allah pernah berfirman dalam hadis qudsi, “Barangsiapa yang tidak ridha dengan keputusanKu dan tidak sabar atas ujianKu maka hendanya carilah Tuhan selain Aku.”
Tashdziqu bil-qalbi meyakini di dalam hati, Jadi hatinya benar-benar yakin bahwa tiada sesembahan selain Allah. Yang menghidupkan dan dan mematikan hanya Dia. Sumer dari segala sumber.
Tiada tempat bergantung dan bersandar kecuali hanya kepada Allah. Jadi Allah swt sudah menjadi nafas keidupan. Hidupnya senantiasa bersama Allah swt.
Dan tingkatan Iman yang demikian ini adalah iman yang sangat sulit untuk dicondongkan. Berbeda dengan tingkatan iman yang pertama, karena dalam tingkatan yang kedua ini iman seseorang benar-benar telah tertancap dalam hati yang paling dalam sehingga sangat sulit di dicondongkan walau diintimidasi, diteror, atau dibunuh sekalipun.
Dan ini pernah dilakonkan oleh seorang shalihah pada jaman rezim Fir’aun. Yaitu Ibunda Masithah. Beliau beserta keluarganya rela dimasukkan kedalam tungku yang berisi air mendidih demi mempertahankan akidah keimanan terhadap Allah swt.
Juga pernah terjadi pada sahabat nabi saw Bilal bin Rabbah r.hu, Rela dipukul dan dijemur di padang pasir dengan mengenakan baju besi. Demi mempertahankan akidahnya ”Ahad,Ahad, Ahad”
Juga sahabat Khubab bin Arat, yang disisir kepalanya dengan besi membara serta diletakkan pada punggungnya batu membara sehingga menurut peneuturannya sediri bara api itu tidak padam kecuali dengan darahnya yang mengalir demi mempertahankan Akidah dan keyakinannya.
Juga sahabat Hubaib bin ’Adi, yang tubuhnya dipotong satu persatu. Namun tetap tegar dengan nama Allah swt. [1]
Dan masih banyak sahabat-sahabat nabi yang mengalami penyiksaan seperti itu demi mempertahankan akidah dan keyakinannya.
Demikianlah hebatnya kekuatan iman jika sudah merasuk ke dalam hati. Sulit dilepaskan meskipun nyawa harus menjadi taruhannya.
A’malu bil-arkan diamalkan dalam perbuatan. Jadi perilaku kesehariannya adalah cerminan orang beriman. Berjalannya, makannya, bergaulnya, cara berpikirnya; dan sebagainya. Dan inilah perilaku Rasulullah saw beliaulah teladan dalam berIslam berIman dan berIhsan dalam kehidupan bagi seluruh manusia hingga hari Kiamat.
Sedangkan yang disebut dengan Mukmin adalah orang yang telah mengakui dengan lisannya tentang adanya Allah swt, dan meyakini-Nya di dalam hati, kemudian mengamalkan keyakinannya tersebut dalam perbuatan sehari-hari. Dalam artian Mukmin itu adalah orang yang telah mengejawantahkan Pilar Iman dalam kehidupan kesehariannya.
Jika dalam bab Islam yang disebut Muslim adalah yang penting mengerjakan perintah Allah seperti shalat atau dalam artian ibadah dinilai dari dhahirnya saja. Maka dalam bab iman ini yang disebut dengan Mukmin adalah ketundukan dalam hati seperti shalat yang dinilai adalah pada kekhusyukannya di dalam shalat.
Yakni ibadah dinilai dari batinnya. Jadi bukan hanya sekedar mengerjakan shalat tapi lebih dari itu khusyuk dalam shalatnya. Sebagaimana yang diterangkan dalam al-qur’an tentang kriteria orang Mukmin,
”Sungguh beruntung orang-orang mukmin, yaitu mereka yang khusyuk di dalam shalatnya.” (Qs. al-Mukminun: 1-2)

Jadi yang dimaksud dengan Mukmin ialah seseorang tersebut benar-benar mangakui akan adanya Allah swt sebagai Tuhan dan tidak ada sesembahan selain Dia. Dan meyakini Allah swt di dalam hatinya, dalam artian hatinya benar-benar yakin bahwa yang menghidupkan dan mematikan hanya Allah. Tiada tempat bergantung dan bersandar kecuali hanya kepada Allah swt. Allah swt sudah menjadi nafas kehidupan. Hidupnya senantiasa bersama Allah swt.
Nah, hidup yang senantiasa bersama Allah itu ia ejawantahkan dalam perbuatan sehari-hari. Jadi perilaku kesehariannya adalah cerminan orang Mukmin . Berjalannya, makannya, bergaulnya, cara berpikirnya, dan sebagainya.
Dan orang Mukmin sejati dalam kehidupan ini tidak lain adalah Rasulullah saw, beliaulah prototipe Mukmin sejati, hal itu bisa kita lihat dalam sirah nabi, yang mana aktivitas beliau mulai bangun tidur hingga tidur kembali adalah cerminan orang Mukmin. Beliau senantiasa menghambakan diri kepada Allah swt, mendahulukan kepentingan umatnya, menyayangi hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Oleh karenanya jika ingin menjadi mukmin sejati contoh dan teladanilah Rasulullah saw. Sebab hanya beliau teladan yang paripurna, dan beliaulah Mukmin sejati. Teladani beliau dengan mengejawantahkan rukun iman dalam kehidupan.
Secara pokok iman memiliki enam rukun sesuai dengan yang disebutkan dalam hadis Jibril tatkala ia bertanya kepada Nabi saw tentang iman, lalu beliau menjawab,
”Iman adalah engkau percaya kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan percaya kepada taqdir-Nya, yang baik dan yang buruk.”

[1] Sosok Para Sahabat Nabi saw

MENYATAKAN DUA KALIMAH SYAHADAT Makna ”Lailaha illallah”

Makna Lailaha illallah adalah meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah swt. Yang berarti upaya menyerahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla Pencipta alam semesta, serta menjauhkan semua bentuk peribadatan kepada selain-Nya. Lailaha illallah atau tauhid memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam Islam. Sebab tauhid merupakan hak Allah yang paling besar atas para hamba-Nya.
Maka orang yang memahami tauhid atau Lailaha illallah ialah mereka yang tunduk, patuh, dan taat kepada Allah swt. Sehingga segala bentuk aktifitas dalam kehidupannya adalah ibadah kepada-Nya. Caranya adalah dengan menjalankan kehidupan ini dengan menjadikan al-qur’an dan as-sunnah sebagai dasar acuan aktifitas kehidupan, baik dalam hal keyakinan, hukum halal-haram, dalam berakhlak, bermuamalah, dan lain sebagainya.

Maka tidak boleh seseorang Muslim mempersempit makna ibadah. Karena ibadah bukan hanya jenis amal-amal yang terkait dengan masjid saja. Seperti: shalat, haji, puasa, zakat dan semisalnya. Ibadah itu meliputi segala aktifitas di rumah, di kantor, di pasar, di jalan, dalam politik, hukum dan lain-lain.
Dengan demikian seseorang Muslim yang mengamalkan La ilaha illallah senantiasa meniatkan dan menujukan segala aktifitas kehidupannya hanya kepada Allah swt, dengan menggunakan pedoman al-qur’an dan as-sunnah serta ilmu pengetahuan diniah.
Dalam hadis yang terkenal dari shahabat yang mulia Mu’adz bin Jabal r. hu, Rasulullah saw bertanya kepadanya :

عَنْ مُعَاذٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ فَقَالَ يَا مُعَاذُ هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ قُلْتُ اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya dan hak hamba-hamba-Nya atas Allah?” Mu’adz menjawab: Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Rasulullah saw bersabda : “Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan hak hamba atas Allah Dia tidak akan menyiksa hamba-Nya yang tidak menyekutukan dengan sesuatu apapun” (Hr. Bukhari dan Muslim)[1]

Juga dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat ‘Abdullah bin Umar r.hu bahwa Nabi saw bersabda :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسَةٍ عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللهُ …
“Agama Islam dibangun di atas lima dasar Syahadah bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah (la ilaha illallahu)...” (Hr. Bukhari dan Muslim)[2]

Oleh karenanya pernyataan La ilaha illallah adalah merupakan pedoman yang sempurna bagi kehidupan. Ia akan terealisasi jika mempersembahkan setiap ibadah hanya untuk Allah swt. Hal itu akan terwujud apabila seorang muslim tunduk dan patuh kepada Allah, dengan kata lain penyerahan total segenap perintah dan tingkah laku manusia yang ditunjukkan dengan comitmen dan consisten 100% terhadap segala aktifitas kehidupannya hanya berdasar dan bersumber dari Allah swt.

Seseorang yang telah menjadikan Allah sebagai nafas kehidupannya maka ia tidak akan gentar oleh apapun yang menimpa dirinya. Contoh yang paling nyata dalam kehidupan ini adalah Rasulullah saw, suatu ketika beliau tidur di bawah pohon besar, digantungkannya pedang di atas pohon, tiba-tiba datang orang kafir mengacungkan pedangnya tepat dileher Nabi saw, seraya berkata “Muhammad siapa sekarang yang akan menolongmu?” dengan tenang Rasulullah saw menjawab, “Allah!”. Seketika itu tubuh orang kafir langsung gemetar dan jatuhlah pedangnya.
Demikianlah prototipe orang yang telah menjadikan Allah swt sebagai nafas kehidupan, maka suaranya saja dapat menggetarkan hati dan tubuh orang kafir.

[1] Hr. Bukhari hadis nomor: 2644, juz: IX, halaman: 459. Hr. Muslim hadis nomor: 44, juz: I, halaman: 131.
[2] Hr Muslim hadis nomor: 19, juz: 1, halaman: 101. Hr Bukhari hadis nomor: 7, juz: 1, halaman: 11.
[3] Qs. al-Jumu’ah: 5 “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”

MEYAKINI KEBERADAAN ALLAH SWT

Hati Yang Iman Kepada Allah Swt
Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada) yang disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan [sifat 20], dan disucikan dari sifat-sifat kekurangan. Dia Maha Esa, Mahabenar, Tempat bergantung para makhluk, tunggal (tidak ada yang setara dengan Dia), Pencipta segala makhluk, Yang melakukan segala yang dikehendakiNya, dan mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya.
Sebagaimana firman-Nya,
”Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (Qs. al-Ihlash: 1-4)
Masalah keimanan adalah masalah hati. Sedangkan hati itu bermacam-macam, ada orang yang hatinya lembut sehingga mudah menerima hidayah (tauhid) sebagaimana sahabat Abu Bakar as-Sidiq. Hal ini terbukti ketika Rasulullah saw pulang dari isra’ mi’raj beliau langusung iman kepada Rasulullah saw. Namun juga ada hati yang keras bahkan lebih keras dari pada batu, sehingga sulit untuk dimasuki hidayah Allah swt. Sebagaimana paman nabi saw Abu Jahal dan Abu Lahab. Meskipun mereka masih ada hubungan kerabat dengan nabi saw tapi hati mereka keras sehingga hidayah tetap tidak bisa masuk.
Hati yang bersih disebut juga dengan hati yang selamat (qalbun salim). Keadaan hati yang selamat adalah dambaan dari setiap hamba Allah yang beriman kepada-Nya. Hati yang selamat adalah hati yang selalu diperbaiki oleh pemiliknya, atas pertolongan Allah azza wa jalla. Itulah yang disebut hati yang sehat (qalbun 'afiah). Dan, tidak ada jalan yang paling cepat di dalam memperbaiki hati kita, kecuali dengan menanamkan rasa iman secara tekun, disiplin, dan sungguh-sungguh ke dalam hati. Keberadaan hati yang beriman bagi seseorang yang memilikinya, sungguh merupakan anugerah yang sangat mulia bagi seorang hamba yang telah dipilih-Nya.
Tapi, apakah demikian halnya dengan hati orang yang munafik dan kafir kepada Allah azza wa jalla? Jawabannya, adalah tidak. Hati orang munafik, adalah cerminan dari hati seorang hamba yang sakit, atau berpenyakit. Dan hati orang kafir, adalah cerminan hati yang keras lagi membatu. Maka, celaka dan merugilah bila seorang hamba Allah mempunyai hati yang sedang sakit (qalbun mar īdl) atau sedang mengeras (qalbun muqasid). Hati seorang kafir atau munafik sangat sulit untuk menerima petunjuk Allah swt dan setiap ajakan-ajakan kebaikan, di bandingkan dengan hatinya orang-orang mukmin.
Ingat dalam peristiwa isra` wal mi'raj Nabi saw, sebelum beliau di isra` dan mi'raj-kan oleh-Nya dari Makkah menuju Baitul Maqdis, dan dari Baitul Maqdis ke Shiddratul Muntahâ. Nabi saw lebih dahulu harus mengalami "operasi kecil" di mana hati beliau dikeluarkan dari dada untuk kemudian dicuci lebih dahulu oleh dua malaikat-Nya.
Tujuannya sangat jelas, agar Rasulullah saw nantinya tidak melakukan perbuatan maksiat dan dosa kepada Allah swt. Maka, beliau mendapatkan gelar "pribadi yang maksum", yaitu sosok manusia yang tidak akan berbuat salah dikarenakan beliau selalu dijaga oleh-Nya secara langsung.
Inilah pelajaran buat kaum yang beriman kepada Allah swt, bahwa perbaikan hati dan penyucian diri merupakan perbuatan yang sangat penting dan harus dilakukan oleh kaum mukmin, yang dalam kehidupannya tidak mungkin terbebas dari dosa dan maksiat kepada-Nya.
Dikarenakan umat beliau, pribadinya hanya sekadar berkedudukan mahfudz, yaitu hati seseorang akan terjaga oleh-Nya, bila si pemilik hati selalu menjaganya dari perbuatan dosa dan maksiat. Bila seseorang berbuat dosa dan maksiat kepada Allah swt, maka saat itu imannya tercabut dari hati itu.
Dengan demikian di dalam hati yang mahfudz masih terdapat peluang yang sangat besar untuk dapat melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Meski karena keimanannya pula si pemilik hati itu segera menaubati dan menyesali atas perbuatan dosa dan maksiatnya tersebut kepada Allah azza wa jalla.
Itulah yang disabdakan Nabi saw mengenai kondisi hati seorang mukmin, di mana di saat seorang hamba melakukan dosa. Maka, akan muncul bintik hitam di dalam hati tersebut. Jika dosa dan maksiat dilakukan berkali-kali tanpa ditaubatinya, maka bintik-bintik hitam itu akan terus bertambah tebal dan tingginya di dalam hati. Namun, jika si pemilik hati menyesali dan menaubatinya, maka hatinya akan kembali bersih, bercahaya, dan mengkilat; apabila bintik-bintik hitamnya hanya sedikit.
Untuk lebih jelasnya mari kita kaji satu hadis Nabi saw tentang macam-macamnya hati sebagai berikut,
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ: قَلْبٌ أَجْرَدُ فِيْهِ مِثْلُ السِّـرَاجِ يَزْهَرُ، وَقَلْبٌ أَغْـلَفُ مَرْبُطٌ عَلَيْهِ غِلاَفُهُ، وقَلْبٌ مَنْكُوسٌ، وَقَلْبٌ مُصَفَّحٌ، فَأَمَّا الْقَلْبُ اْلأَجْرَدُ فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ، وَ أَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ فَقَلْبُ الْمُنَافِقِ عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ، وَ أَمَّا الْقَلْبُ الْمُصَفَّحُ فَقَلْبُ فِيْهِ إِيْمَانٌ وَنِفَاقٌ فَمَثَلُ اْلإِيْمَانِ فِيْهِ كَمَثَلِ الْقَرْحَةِ يُمِدُّهَا الْقَيْحُ وَالدَّمُ، فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى اْلأُخْرَى غَلَبَتْ عَلَيْهِ
Dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri r.hu, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Hati itu ada empat macam: 1).Hati yang bersih, di dalamnya ada semacam lentera yang bersinar; 2).Hati yang terbungkus yang terikat dan padanya ada bungkusnya; 3).Hati yang terbalik; dan 4).Hati yang dibentangkan. Adapun hati yang bersih adalah hati seorang mukmin. Adapun hati yang terbalik adalah hati seorang munafik, dia tahu tetapi mengingkari. Adapun hati yang terbentang adalah hati yang padanya ada iman dan kemunafikan, dan perumpamaan iman yang ada padanya adalah seperti sayuran yang disuplai air yang bersih; sedangkan perumpamaan kemunafikan yang ada padanya adalah seperti bisul yang disuplai nanah dan darah. Mana di antara kedua suplai itu yang dominan atas lainnya, maka dia yang menang” (Hr. Ahmad).[1]
Qalbun ajradun. Yaitu hati yang bersih, yang di dalamnya terdapat semacam lentera yang bersinar. Hati inilah yang siap menerima semua petunjuk Allah swt. Oleh karenanya orang yang hatinya bersih disebut orang yang beriman (mukmin) sebab hanya orang mukmin saja yang patuh dan tunduk kepada setiap petunjuk dan perintah-Nya.
Di dalam al-qur’an hati orang-orang yang beriman disebut dengan qalbun salim. Hati yang tidak ada keraguan dalam keimanan kepada Allah swt.
Sebagaimana pernah dicontohkan oleh sahabat Abu Bakar as-Shidiq. Yang menurut kebanyakan cerita, Abu Bakar diberi gelar as-Shidiq adalah ketika Rasulullah saw pulang dari isra’ dan mi’raj beliau langsung mengimaninya. Inilah yang disebut dengan keimanan yang tidak ada keraguan padanya.
Qalbun aghlafun. Ialah hati yang terbungkus yang terikat. Hati ini pada dasarnya dimiliki oleh orang-orang yang pandai dan cerdas. Namun dengan kecerdasannya tersebut bukan lebih mendekatkan diri kepada Allah swt, tetapi justru menambah jauhnya dari Allah swt. Kebanyakan orang yang dikaruniai hati semacam ini suka “mengotak-atik” akalnya sehingga menyangka tindakan dan keputusannya adalah paling baik dan benar. Namun dalam kenyataannya pikirannya yang telah dikuasai oleh setan tersebut adalah salah dan sesat, sebab setan telah menghiasi dan membelenggu pikiranya.
Sebagaimana difirmankan-Nya,

“…Dan syaitan telah menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang berpandangan tajam” (Qs. al-Ankabut:38)

Dalam ayat yang lain,

“…Sebenarnya orang-orang kafir itu dijadikan (oleh syaitan) memandang baik tipu daya mereka dan dihalanginya dari jalan (yang benar).” (Qs.ar-Ra’du: 33).
Ini adalah hatinya orang-orang kafir semisal Fir’aun, yang menyangka bahwa ia yang paling benar dan paling berkuasa sehingga berani mengaku Tuhan. Nah prasangka demikian inilah yang menjadikan seseorang semakin jauh dari Allah dan petunjuknya. Juga Haman, dan Qarun, yang sangat gila dengan harta, meraka berpikir bahwa dengan harta meraka dapat membeli segala-galanya. Padahal Allah sekali-kali tidak pernah bisa disuap dengan harta. Bahkan harta itu sendiri pada hakekatnya adalah titipan dari Allah. Maka prasangka yang demikian inilah yang menjadikan ia mereka semakin jauh dari hidayah Allah swt.
Qalbun mangkūsun, Hati yang terbalik, adalah hati orang-orang munafik. Mereka tahu tentang kebenaran adanya Allah swt namun mengingkari keberadaannya. Percaya kepada Allah swt tetapi tidak mau mengerjakan perintah-Nya. Mereka beranggapan bahwa Agama yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah adalah bohong. Sehingga diantara mereka (kaum munafik) mengolok-olok Muhammad bahwa agamanya hayalah tipu daya belaka. Sebagaimana diabadikan dalam al-qur’an,

“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata :"Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada Kami melainkan tipu daya" (Qs. al-Ahzâb[33]: 12)
Qalbun mushaffahun, Hati yang dibentangkan. Ini adalah hati yang dimiliki oleh orang yang beriman, namun didalam keimanannya masih ada kemunafikan. Sehingga ia menyampur-adukkan antara iman dan kemunafikan. Dalam keagamaannya terdapat istilah populer, “Shalat oke, maksiat jalan terus.” Dia percaya kepada Allah swt. Namun dengan serta-merta menolak dan mengabaikan perintah-Nya, dalam artian ia percaya bahwa al-qur’an adalah petunjuk orang-orang yang beriman, namun ia melemparkannya di atas punggung dan mengabaikannya [samikna wa ashaina] kami dengar tentang Allah tapi kami mendurhakainya.
Ia lebih cenderung kepada kemaksiatan dari pada ketaatan. Sehingga ia tidak lebih dari seekor keledai yang membawa kitab suci. Sebagaimana kaum Yahudi yang diberikan kitab Taurat. Mengetahui tetapi tidak mengamalkannya. Mereka mengatahui tentang kerasulan Muhammad bin Abdullah di dalam Taurat, namun kebanyakan dari mereka mengingkarinya. Demikianlah makna dari firman-Nya,
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Qs. al-Jumu’ah [62]: 5)”
Sebagai orang yang mengimani adanya Allah swt dan hal yang ghaib—termasuk meyakini hal-hal yang tidak masuk akal yang itu datangnya dari Rasulullah saw—berarti dalam setiap hal kita senantiasa merasa dalam penglihatan Allah swt. Dengan demikian kita dengan sendirinya akan selalu berusaha menjadi orang yang terbaik dalam hidup ini. Menjadi yang terbaik dihadap Allah. Terbaik dengan makhluk Allah. Terbaik dalam segala hal dan lini kehidupan.
Contoh pribadi Mukmin paling jelas dalam kehidupan ini adalah Rasulullah ibunda Khadijah r. ha, dan sahabat Nabi saw, yaitu Abu Bakar as-Siddiq r. hu, yang langsung percaya dan iman terhadap cerita yang disampaikan Nabi saw setelah Isra’ mi’raj, walau tidak masuk akal sekalipun. Sebab iman bukan wilayah akal tapi wilayah hati. Maka beliau mendapat gelar as-Siddiq.
Hingga ada ungkapan yang mengatakan bahwa, ”Seandainya iman Abu Bakar diletakkan dalam timbangan yang satu dan iman umat seluruh penduduk bumi di letakan pada timbangan yang lain maka, niscaya iman Abu Bakar lebih berat dari iman seluruh penduduk bumi.”
Wallahu a’lam

MEYAKINI ADANYA MALAIKAT ALLAH SWT

Meyakini keberadaan Malaikat Allah swt adalah perkara wajib bagi seorang mukmin dan salah-satu pilar dalam pilar-pilar Iman. Dan Iman kepada para malaikat-Nya adalah bagian dari sikap Iman seorang mukmin kepada masalah yang ghaib. Sekali lagi iman adalah masalah hati. Hati mukmin senantiasa mengimani apapun yang datangnya dari Rasulullah saw walaupun hal itu tidak masuk akal, seperti isra’ mi’raj Rasulullah saw.
Karenanya sebagai seorang mukmin, dalam masalah yang ghaib lebih bersifat tawaqquf (mendiamkan karena mengimaninya-red). Hal itu sebagai perwujudan dari keyakinannya bahwa masalah ghaib merupakan hak mutlak Allah swt yang Mahamengetahui.
Seseorang yang telah dikaruniai keimanan yang mapan lagi matang hanya akan membicarakan malaikat bila didukung oleh wahyu (al-qur’an) dan sunnah (hadis). Apabila dari kedua nash tersebut tidak ada jaminan orisinalitas, maka dia lebih memilih untuk mengambil sikap diam. Ketimbang menjadikannya perselisihan pendapat yang tidak berdasar (ikhtilaf). Di samping juga berusaha dengan keras, sekali pun yang di-ikhtilaf-kan memiliki dasar pijakan nash karena masih berada dalam wilayah ijtihadiah. Namun untuk meminimalkan ikhtilaf; seorang mukmin memilih bersikap diam dan mendiamkannya.

Sebab mereka telah berkeyakinan bahwa keberadaan malaikat adalah sesuatu yang mutlak untuk diimani. Sedangkan mengenai seluk-beluk atas existensi malaikat sepenuhnya diserahkan kepada Allah swt. Sebab, seorang mukmin sangat menyadari bahwa manusia tidak ada kecakapan dengan persoalan yang ghaib. Karena tidak ada kecakapan, maka yang terjadi adalah sekadar "kira-kira" atau "mungkin". Betapa bahayanya jika suatu keilmuan dan kebenaran tentang kemaujudan malaikat hanya melahirkan ketetapan dan keputusan mengenai existensi malaikat yang mendasarkan sekadar pada "perkiraan" atau "kemungkinan". Oleh sebab itu dalam membahas malaikat harus didukung dengan nash. Demikianlah kepribadian seorang mukmin mukmin terhadap keimanannya dengan para malaikat-Nya.
Iman kepada Malaikat adalah yakin dan membenarkan bahwa Malaikat itu ada, diciptakan oleh Allah swt dari cahaya [nur]. Dalam artian wajib hukumnya meyakini adanya malaikat, walaupun kita tidak dapat melihat mereka. Allah menciptakan mereka dari cahaya. Mereka menyembah Allah dan selalu taat kepada-Nya, mereka tidak pernah berdosa.
Sebagai orang yang mukmin kita wajib mengimani adanya Malaikat Allah, sebab yang mengatakannya adalah Allah lewat Rasulullah dalam al-qur’an, yang mana ada banyak ayat dalam al-qur’an dan hadis yang menerangkan tentang penciptaan Malaikat,
Firman Allah swt,

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. Fâthir [35] :1)
$¨B àáÏÿù=tƒ `ÏB @Aöqs% žwÎ) Ïm÷ƒy‰s9 ë=‹Ï%u‘ Ó‰ŠÏGtã ÇÊÑÈ
”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (Qs. Qâf [50]: 18)
Dan demikian pula banyak hadis yang menerangkan keberadaan Malaikat Allah swt di muka bumi yang wajib kita imani diantaranya sabda beliau saw,

صَفْوَانُ بن عَسَّالٍ الْمُرَادِيُّ، قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ وَهُوَ مُتَّكِئٌ فِي الْمَسْجِدِ عَلَى بُرْدٍ لَهُ، فَقُلْتُ لَهُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي جِئْتُ أَطْلُبُ الْعِلْمَ، فَقَالَ:"مَرْحَبًا بطالبِ الْعِلْمِ، طَالِبُ الْعِلْمِ لَتَحُفُّهُ الْمَلائِكَةُ وَتُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا، ثُمَّ يَرْكَبُ بَعْضُهُ بَعْضًا حَتَّى يَبْلُغُوا السَّمَاءَ الدُّنْيَا مِنْ حُبِّهِمْ لِمَا يَطْلُبُ، فَمَا جِئْتَ تَطْلُبُ؟"
Shafwan bin 'Assal al-Mawardi pernah mendatangi Rasulullah saw ketika beliau sedang bersandar pada serban merahnya di masjid. Safwan menyapanya," Rasulullah, saya datang untuk belajar." Beliau bersabda; "Selamat datang, penuntut ilmu. Penuntut ilmu itu dinaungi oleh sayap para malaikat, antara satu malaikat dengan lainya saling berpegangan, hingga mereaka sampai kelangit dunia. Hal itu mereka lakukan karena cinta mereka terhadap penuntut ilmu. (Hr. Thabrani).[1]
Shafwan bin 'Assal mendengar Rasulullah saw bersabda; malaikat pasti menghamparkan sayapnya untuk setiap orang yang keluar dari rumahnya untuk mencari ilmu, karena cinta mereka terhadap penuntut ilmu." (Hr. Ibnu Majah).

عَنْ عَلِيِّ رَضِيَّ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ: أَمَرَنَا بِالسِّوَاكِ فَقَالَ: إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا قَامَ يُصَلِّيّ أَتَاهُ الْمَلَكُ فَقَامَ خَلْفَهُ، فَيَسْمَعُ لقراءته وَيَدْنُوْ مِنْهُ كُلَمَا قَرَأَاَيَةً أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا حَتَّى يَضَعَ فَاهُ عَلَى فِيْهِ فَمَا يَخْرُجُ مِنْ فِيْهِ شَيْىءٌ مِنَ الْقُرْآنَ إِلاَّ صَارَ فِيْ جَوْفِ الْمَلَكِ, فَطَهَّرُوْا أَفْوَاهَكُمْ لِلْقُرْآنَ
‘Ali sangat menganjurkan bersiwak dan pernah berkata, Rasulullah saw bersabda; “Jika seseorang bersiwak, kemudian melaksanakan shalat, maka seorang malaikat akan berdiri dielakangnya untuk mendengarkan bacaannya. Setiap kali ia membaca satu ayat, malaikat tersebut mendatanginya, sehingga mulutnya bertemu dengan mulut malaikat itu. Setiap ayat yang keluar dari mulutnya. Langsung tersalur ketubuh malaikat. Oleh karena itu, ketika membaca al-Qur'an, bersihkanlah mulut kalian terlebih dahulu. (Hr. al-Baihaqi).[2]
Ayat dan hadis di atas cukup sebagi bukti bahwa Allah swt menciptakan Malaikat yang wajib kita imani. Dan Allah menciptakan malaikat itu tak lain adalah untuk membantu para hamba-Nya khususnya manusia dalam mengemban tugas kekhalifahan di Dunia ini.
Walaupun manusia tidak dapat melihat malaikat tetapi jika Allah berkehendak maka malaikat dapat dilihat oleh manusia, yang biasanya terjadi pada para nabi dan rasul. Malaikat selalu menampakan diri dalam wujud laki-laki kepada para nabi dan rasul. Seperti terjadi kepada nabi Ibrahim dan Muhammad saw.
Selanjutnya dengan beriman kepada Malaikat Allah swt diharapkan dalam setiap keadaan merasa bahwa gerak-gerik yang dilakukan oleh seseorang tidak lepas dari pemantauan malaikat, sehingga tidak berani melanggar perintah Allah swt. Selain itu juga diikuti dengan mencontoh sifat-sifatnya yang mulia
Dengan demikian beriman kepada Malaikat-Nya berarti percaya bahwa Allah swt telah menciptakan makhluk halus yang dinamakan malaikat, dengan mengimani malaikat Allah (beriman adanya malaikat) diharapkan agar dalam kehidupan ini manusia,
· Semakin meyakini Kebesaran, Kekuatan dan keMahakuasaan Allah swt.
· Bersyukur kepada-Nya, karena telah menciptakan para malaikat untuk membantu kehidupan dan kepentingan manusia dan jin.
· Menumbuhkan cinta kepada amal shalih, karena mengetahui ibadah para malaikat.
· Merasa takut bermaksiat karena meyakini berbagai tugas malaikat seperti mencatat perbuatannya, mencabut nyawa dan menyiksa di neraka.
· Cinta kepada malaikat karena kedekatan ibadahnya kepada Allah swt, dan karena mereka selalu membantu dan mendoakan kita.
Wallahu a’lam

[1] Hr. Thabrani hadis nomor: 7196, juz: 7, halaman: 49.
[2] Hr. al-Baihaqi hadis nomor: 2051, juz: 5, halaman: 130.

MAKNA MUSLIM

Islam ialah sebuah agama atau keyakinan dan orang yang memeluk keyakinan agama Islam dan taat terhadap aturannya disebut muslim. Jadi yang disebut dengan muslim adalah seseorang yang telah nurut terhadap peraturan-peraturan Islam, ini berarti penyerahan total 100 persen dirinya hanya kepada Allah swt.
Oleh karenanya jika seseorang yang telah menjalankan kelima rukun Islam dengan baik dan benar[1] maka ia disebut muslim! Jika belum maka sebaliknya! Karena makna muslim adalah menyerahkan diri secara total dan tunduk patuh kepada Allah swt. Sebagaimana wasiat Nabi Ibrahim dan Yakub di dalam al-quran. “Jangan sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan berserah diri kepada Allah.”[2]
Juga di dalam al-qur’an surah Ali- Imran: 102.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.”
Akhir ayat ini ”muslimun” sering diartikan “Keadaan beragama Islam.”
Padahal kalau kita analisa pengertian ayat tersebut di atas tidak sesuai dengan pemahaman alias kurang pas atau lebih tepatnya pemahaman yang “membodohi” umat. Sebab beragama Islam tidak sama dengan muslim karena yang disebut dengan muslim ialah seseorang yang telah berserah diri kepada Allah 100%! Sedangkan orang yang beragama Islam belum tentu berserah diri kepada Allah swt.
Walaupun dia percaya bahwa Allah itu ada dan Muhammad itu Rasul dan utusan-Nya. Sebab banyak orang yang mengaku beragama Islam yang masih suka mencuri timbangan, korupsi, ngentit, nggibah, memfitnah, adu domba, aniaya, dan lain-lain. Itu artinya dia belum berserah diri kepada Allah swt, tapi baru beragama Islam.
Jika ada orang yang beragama Islam tapi tidak menjalankan syari’at Islam dan senantiasa berbuat kedhaliman kemudian dia mati? Apakah dia telah mati dalam keadaan muslim? Apakah itu yang dikehendaki Nabi Ibrahim dan Yakub? Tentu tidak, kalau hanya beragama Islam sangatlah mudah, Nabi Ibrahim dan Yakub tidak perlu mewanti-wanti putranya. Kalau hanya mengucapkan dua kalimat sahadat didepan saksi. Maka disebut berIslam. Tapi yang berat adalah mengamalkan dan mengejawantahkan dua kalimat sahadat tersebut di dalam kehidupan sehari-hari sebagai cerminan orang yang berserah diri kepada Allah swt.
Orang yang telah berserah diri kepada Allah inilah yang disebut dengan Muslim. Di dalam bahasa al-qur’an disebut “wa ufauwidhu amri ilallah”[3] berserah diri kepada Allah swt, yang dalam bahasa jawa di artikan “ngglundung semprong marang Allah".
Jadi ia benar-benar menyerahkan totalitas hidupnya hanya untuk Allah swt. Dan hal ini pernah dicontohkan oleh kekasih Allah Ibrahim as,
ketika dilempar ke dalam api raja Namrud. Lalu beliau dengan tenang mengucapkan “hasbiyallah wani’mal wakil”. (Cukuplah Allah sebagai pelindung.)
Juga diabadikan di dalam al-qur’an,

”Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi Dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Qs. Ali-Imrân [3]: 67)
Dicontohkan pula oleh putranya yaitu nabi Isma’il as, ketika hendak disembelih oleh ayahnya, beliau pasrah kepada Allah swt dengan mengucapkan “Satajidunî insyâ allahu minas-shâbirîn”.
Sebagaimana Firman Allah swt,

”Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar". (Qs. ash-Shâffât [37]: 102)
Juga yang di lakonkan oleh Nabi Muhammad saw bersama Abu Bakar as-Siddiq ketika berada dalam gua Tsur, bersembunyi dari kejaran orang-orang kafir. Abu Bakar risau, kawatir, tapi kemudian Rasulullah saw menenangkan dengan mengucapkan ”La tahzan Innallaha ma’ana” Jangan kawatir wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah bersama kita. Sabda Nabi tersebut adalah bukti dari kepasrahan beliau kepada Allah swt. Itulah muslim, menyerahkan segala urusan dan bergantung kepada Allah, serta senantiasa merasa bersama Allah swt.
Dan pada hakikatnya semua para nabi dan rasul Allah adalah muslim alias berserah diri kepada Allah swt. Sebagai umat Muhammad yang mengimani agama Islam dan kemusliman semua Nabi dan Rasul Allah sudah sepatutnya kita meneladani mereka sebagai hamba yang ”Muslimûn”. Nah, tanda dari penyerahan diri kepada Allah swt itu diimplementasikan dengan mengerjakan rukun Islam yang lima.


[1] Ukuran baik dan benar adalah Neraca syari’at [al-qur’an, as-sunnah, ilmu pengetahuan diniah].
[2] Qs. Al-Baqarah: 132. “Dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".


[3] Qs. al-Mukmin: 44

MENUNAIKAN HAJI KE MASY’ARIL HARAM

Ibadah haji adalah rukun Islam yang ke-lima, yang diwajibkan kepada orang-orang yang telah ”mampu”. Secara umum, tujuan pokok ibadah haji sebagaimana disebutkan dalam surat al-Hajj 27-28, adalah “agar manusia menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan agar mereka mengingat dan menyebut nama Allah”.
Ibadah haji merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam yang telah sanggup untuk melaksanakannya, baik itu secara jasmani maupun secara rohani. Sanggup berarti mampu menyediakan bekal selama diperjalanan sampai pulang ke negerinya. Sanggup juga bermakna mempunyai harta untuk keluarga yang ditinggalkannya selama melaksanakan ibadah haji. Dengan demikian Seorang fakir yang tidak mempunyai harta untuk menghidupi diri dan kelurganya maka tidaklah wajib melaksanakan ibadah haji.
Dan begitu juga ketika seseorang memiliki harta yang cukup untuk perbekalan tetapi tidak ada kendaraan untuk pergi melaksanakan ibadah haji karena tempatnya yang jauh dan tidak bisa ditempuh dengan berjalan kaki maka tidaklah wajib ibadah haji. Haji tidak wajib bila ada kendaraan akan tetapi perjalanannya tidak aman atau akan mendapatkan berbagai macam bahaya. Makna “mampu” bukan hanya mampu secara material, melainkan juga mampu secara mental dan spiritual dan ini yang terpenting.
Sebelum pergi haji, seseorang harus sudah membersihkan dirinya dari jeratan duniawi (dimanasik dulu) dan sebaik-baik bekal untuk melaksanakan ibadah haji adalah taqwa.
Persiapan menjelang ibadah haji adalah dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Artinya seseorang yang akan melaksanakan ibadah haji sudah tergambar kebersihan dirinya sebelum melaksanakan ibadah haji tersebut. Ditunjukkan dengan shalat yang tepat waktu dan khusyuk, suka berderma, memuliakan anak yatim dan fakir miskin, rajin mengerjakan amalan-amalan sunnah yang kesemuanya itu ia lakukan semata mencari ridha Allah swt.
Sehingga sepulang dari haji nantinya, dia dapat menerapkan segala simbol yang dilaluinya selama ibadah haji di masaril haram dalam kehidupan sehari-hari setelah kembali ke negaranya masing-masing.
Bukan sepulang dari haji malah melakukan korupsi secara lihai, pandai membohongi masyarakat. Pergi haji juga bukan untuk menutupi kecacatan aib dalam politik seseorang. Bukan untuk menebus dosa politik! Tapi sebaliknya pergi haji adalah bertujuan untuk meningkatkan mutu kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ibadah haji menjadikan hidup bersih, hidup benar, dan hidup tidak menyakiti orang lain.
Karena Allah swt telah berfirman,
“… Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan…” (Qs. al-Baqarah: 197)
Menurut ayat di atas artinya seseorang yang telah berihram (memakai baju ihram) dilarang melakuakan tiga hal yaitu, rafats atau aktivitas seksual, tindakan fisik, dan berbantah-bantahan.

Pertama tidak boleh rafats, berihram sebenarnya merupakan lambang penyucian batin. Dalam artian berihram mengandung makna melepaskan dan membebaskan diri dari lambang material dan ikatan kemanusiaan, mengkosongkan diri dari mentalitas keduniawiaan, membersihkan diri dari nafsu serakah angkara murka, kesombongan serta kesewenang-wenangan. Oleh karenanya pelaku haji harus mengenakan pakaian sederhana yang berupa balitan kain putih tanpa jahitan. Dalam upaya menyucikan jiwa, manusia harus bisa meredam gejolak birahinya. Sehingga semua hal yang mengarah pada pembangkitan nafsu birahi harus ditiadakan!
Kedua larangan berbuat fisik. Perbuatan fisik yang dimaksud ialah perbuatan yang menyimpang atau melangar hukum Allah swt. Pebuatan keji dan mungkar sebagaimana diterangkan pada ayat di atas tidak boleh dilakukan. Dalam pengertian fisik ketika berihram adalah membunuh. Baik membunuh manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Maksud pelanggaran dalam berihram ini, agar seseorang sepulangnya dari perjalanan haji tidak berbuat aniaya terhadap makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan. Apalagi membunuhnya. Kalau toh akan melakukan penebangan itu tidak sampai menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Inilah ajaran Islam! Ajaran yang indah dalam kahidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ketiga larangan bertengkar. Artinya segala macam bentuk pertengkaran dilarang! Dalam berihram tidak ada lagi perdebatan dan bantah-bantahan saling mencaci dan lain sebagainya. Kalau kita bayangkan, alangkah harmonisnya kehidupan negeri ini, bila orang-orang yang telah pergi haji itu bisa menerapkan perinsip-prinsip berihram dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya sebatas formalitas-dhahirnya saja.
Sebab apalah artinya bila tata cara berihram itu dilakukan sebatas formalitas? Apa gunanya haji berkali-kali bila ibadah ihram itu tidak lagi membekas? Kalau mau jujur, banyak orang yang naik haji itu kehilangan makna sepiritualnya. Kehilangan ”ruhnya” haji. Padahal seharusnya orang yang telah berhaji diharapkan sekembalinya dari tanah suci terjadi perubahan perilaku yang siknifikan. Tercermin dengan tambahnya rasa takut kepada Allah swt yang ditandai dengan ibadahnya yang semakin meningkat. Hubungan kepada sesama makhluk Allah semakin bagus dan indah yang ditunjukkan dengan berbudi pekerti yang luhur dalam setiap langkah hidupnya.
Maka yang perlu ditradisikan oleh segenap umat Islam umumnya dan jamaah haji khususnya senantiasa merubah pikiran dan cara berpikirnya, sikap serta perilaku tindakan yang lebih bermanfaat untuk masyarakat dan orang lain, jangan sampai memiliki persepsi bahwa ibadah haji itu hanya untuk Allah, justru yang paling penting adalah ibadah haji itu diperuntukkan bagi sesama manusia dengan cara selalu menjaga, menghormati, menghargai serta saling menjunjung tinggi martabat manusia. Sebagai wujud dari perilaku ihsan yaitu senantiasa merasa dilihat oleh Allah swt dalam keadaan yang bagaimanapun. Dan senantiasa mengingat dan menyebut nama-Nya.
Inilah yang disebut dengan haji mabrur. Haji yang mampu mentransformasikan pribadi menjadi insan shalih dan berbudi luhur, haji yang mampu menghadirkan pribadi Rasulullah saw dalam jiwa mereka, haji yang menjadikan seseorang semakin taat terhadap Allah dan rasul-Nya. Semakin peduli terhadap lingkungan, tanaman dan sebagainya. Inilah haji yang dalam hadis Nabi dijanjikan dengan surga.
”Wal hajjul mabruru laisa lahul jazāu illal jannah.” Tidak ada balasan yang pantas bagi haji mabrur kecuali surga.”
Ibadah haji mengandung banyak hikmah besar dalam kehidupan rohani seorang Muslim, serta mengandung kemaslahatan bagi seluruh ummat Islam pada sisi agama dan dunianya. Diantara hikmah itu adalah:
Ø Haji merupakan manifestasi ketundukan kepada Allah swt semata. Orang yang menunaikan ibadah haji meninggalkan segala kemewahan dan keindahan, dengan mengenakan busana ihram sebagai manifestasi kefakirannya dan kebutuhannya kepada Allah, serta menanggalkan masalah duniawi, dan segala kesibukan yang dapat membelokkannya dari keikhlasan menyembah Tuhannya.
Ø Melaksanakan ibadah haji merupakan ungkapan syukur atas nikmat harta dan kesehatan. Dalam haji ungkapan syukur atas kedua nikmat terbesar ini dicurahkan, dan dalam haji pula manusia melakukan perjuangan jiwa raga, menafkahkan hartanya dalam rangka mentaati, serta mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Ø Haji menempa jiwa agar memiliki semangat juang tinggi. Dalam hal ini dibutuhkan kesabaran, daya tahan, kedisiplinan, dan akhlak yang tinggi agar manusia saling menolong satu sama lain.
Ø Umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul pada pusat pengendali roh dan qolbu mereka. Segala perbedaan antara manusia menjadi sirna, mereka semua bersatu dalam suatu konferensi manusia terbesar, yang diwarnai kebaikan, kebajikan dan permusyawarahan, serta sikap saling menasehati, saling menolong dalam kebaikan. Tujuan utamanya adalah mengingatkan diri pada Allah swt.
Ø Haji menyimpan kenangan di hati, mampu membangkitkan semangat ibadah yang sempurna dan ketundukan tiada henti kepada perintah Allah swt. Serta mengajarkan keimanan yang menyentuh jiwa dan mengarahkannya pada Tuhan dengan sikap taat dan menghindari kesenangan duniawi.
Subhanallah, alangkah indahnya kehidupan Republik ini jika orang yang pergi haji mau memahami dan menerapkan makna-makna simbol di dalam rangkaian ibadah haji! Yang hasil ahirnya seseorang yang selesai menunaikan ibadah haji senantiasa mengingat dan menyebut nama Allah swt kapan pun, dimana pun dan dalam keadaan yang bagaimanapun.

Wallhu a’lam

PUASA RAMADHAN DENGAN IKHLAS KARENA ALLAH SWT

Puasa dibulan Ramadlan adalah rukun Islam yang ke-empat. Adalah ayat yang sangat populer ditelinga kita yang setiap kali datang bulan ramadlan pasti dibaca oleh mubaligh-mubaligh dan para dai. Yaitu firman-Nya,
$yg•ƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6ø‹n=tæ ãP$u‹Å_Á9$# $yJx. |=ÏGä. ’n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Qs. al-Baqarah [2]:183)
Ayat ini menegaskan bahwa yang wajib berpuasa adalah orang-orang yang beriman dan inti dari berpuasa ialah menjadikan setiap pelakunya menuju taqwa kepada Allah swt.
Orang yang berpuasa berarti diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah, yakni dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Inilah tujuan agung dari disyari’atkan puasa. Jadi bukan hanya sekedar melatih untuk meninggalkan makan, dan minum.
Terlebih dari itu kita dilatih untuk bisa mengendalikan nafsu sahwat yang nyata [makan, minum, menggauli istri, dan lain sebagainya] dan nafsu sahwat samar [keinginan menjadi populer, menghibah, ingin menjadi ini dan itu, dan lain sebagainya]. Yang hasilnya adalah menjadi insan muttaqin.
Maka dalam berpuasa itu juga mengandung makna syahadat, zakat dan shalat. Sebab orang yang berpuasa bisa merasakan penderitaan orang-orang fakir miskin dan kaum dhuafa’, dari situlah akan muncul rasa empati terhadap fakir miskin dan kaum dhuafa’ sehingga hati terdorong untuk memberi dan memuliakan mereka, nah memberi inilah diwujudkan dengan mengeluarkan zakat fitrah sebagai penyempurna amal ibadah puasa dibulan ramadlan.
Dalam puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga tapi juga menahan hawa nafsu yang meledak-ledak. Dalam artian meledak-ledaknya nafsu syahwat di hari-hari biasa, dapat dikendalikan pada bulan puasa sehingga puasa akan terasa sangat nikmat bila kita meng-Allah-kan Allah alias mempersembahkan amal ibadah kita hanya untuk Allah semata. Sedangkan meng-Allah-kan Allah itu sendiri adalah bukti dari pada shalat yang khusyuk. Shalat khusyuk bisa tercipta jika seseorang mengamalkan syahadat dengan baik dan benar serta ikhlas dalam kehidupan.
Oleh karenanya apabila kita membaca ayat tersebut [Qs. al-Baqarah [2]:183], maka tentulah kita mengetahui apa hikmah diwajibkan puasa, yakni takwa dan menghambakan diri kepada Allah swt.
Adapun takwa itu sendiri adalah berusaha sekuat tenaga mengerjakan perintah-perintah Allah swt dan meninggalkan segenap larangan-larangan-Nya. Serta menghormati dan menyayangi sesama makhluk Allah dimuka bumi. Nabi Muhammad saw bersabda,
“Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap amalan [dia] meninggalkan makanan dan minumannya.” (Hr. Bukhari)
Berdasarkan dalil ini, maka diperintahkan dengan kuat terhadap setiap orang yang berpuasa untuk mengerjakan segenap kewajiban, demikian juga menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya baik berupa perkataan maupun perbuatan. Perintah untuk tidak mencela, ghibah (menggunjing orang lain), berdusta, mengadu domba antar manusia, menjual barang dagangan yang haram, dan menjahui semua hal yang dapat melalaikan dari ketaatan kepada Allah swt, serta menjauhi segala bentuk keharaman lainnya.
Apabila seseorang mengerjakan kebaikan itu dalam satu bulan penuh dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah swt. Maka Allah swt akan mengampuni dosa-dosanya yang telah berlalu, dan menjanjikan surga-Nya. Yang mana hasil akhir atau dampak dari berpuasa sebulan penuh yang dilakukan hanya dengan mengharapkan ridha Allah swt adalah menjadi hamba yang semakin mendekatkan diri kepada Allah dan takut kepada Allah dengan kualitas Islam dan Iman yang terus meningkat didalam perilaku kehidupan.
Inilah balasan bagi orang yang berpuasa dengan sungguh-sungguh, dalam artian puasa yang dilakukan benar-benar berusaha sekuat tenaga untuk menghindarkan diri segala hal-hal yang membatalkan puasa dan segenap perbuatan yang dilarang oleh-Nya sehingga hasil yang dicapai nantinya adalah insan muttaqin.
Akan tetapi betapa sedihnya, kebanyakan orang yang berpuasa tidak membedakan antara hari puasanya dengan hari berbukanya. Mereka tetap menjalani kebiasaan buruk yang biasa mereka lakukan yakni meninggalkan kewajiban-kewajiban dan mengerjakan keharaman-keharaman. Mereka tidak mendapatlan pahala puasa Ramadhan, Naudzubillah min dzalik.
Dibalik itu semua yang tak kalah pentingnya dalam berpuasa adalah Allah menjadikan kesehatan baginya dan juga tubuhnya, sehingga mengapa Allah memerintahkan puasa bagi umatnya hal ini karena kasih sayang-Nya terhadap para hamba-hamba-Nya dengan tujuan agar para hamba-Nya memiliki badan yang senantiasa sehat karena didalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
Hal ini tidak hanya Allah perintahkan kepada kita saja melainkan juga kepada orang-orang terdahulu sebelum kita. Karena hal ini dimaksudkan jika kita berpuasa maka secara otomatis dalam tubuh kita metabolisme akan berjalan dengan baik sehingga membuat badan kita sehat dan jiwa kita yang kuat.
Jika kita beribadah kepada Allah swt dalam kondisi badan sehat dan kuat maka insya Allah akan menambah kekhusukan kita dalam melakukan peribadatan tersebut, karena badan kita dikaruniai kesehatan oleh-Nya. Sehingga kita bisa merasakan manisnya iman pada saat beribadah kepada Allah, shalat semakin khusuk dan mantab. Yang ada adalah syukur dan syukur kepada Allah swt. Dan semoga kita dikaruniakan oleh-Nya ketambahan iman serta digolongkan menjadi manusia yang mulia dihadapan-Nya, insya Allah.
Oleh karenanya Ramadlan adalah bulan kemuliaan bagi orang yang cerdas akal dan nalarnya. Itulah sebabnya, bagi seseorang yang al-kayyis (cerdas nalar dan akal)-nya selalu berharap setahun itu menjadi bulan Ramadlan selamanya.
Sungguh menjadi kerugian terbesar, jika Ramadlan tidak mengalami Perubahan Perilaku, untuk menjadi lebih baik, benar lagi lurus. Ramadlan dengan puasa merupakan saranan yang tepat untuk menjadi seseorang berkepribadian menarik, harmonis, energik, tawadhu’ dan satun. Maka, tidak ada hubungannya orang puasa dengan loyo.
Sebaliknya, dengan puasa seseorang menjadi lebih: energik, dinamis, sehat, menarik, harmonis, dan satun serta rendah hati di keseharian hidupnya. Karena dengan puasa otak menjadi semakin jernih dan cerdas. Nafsu syahwat menjadi terkendali. Tekanan darah cenderung stabil. Dan, gerak kehidupan menjadi lebih terkontrol. Dan inilah yang dimaksud dengan pribadi muttaqin! Pribadi yang senantiasa energik, dinamis, sehat, menarik, harmonis, sabar, syukur dan satun di keseharian hidupnya.
Pada akhirnya puasa membuat orang menjadi pribadi muttaqin, pribadi yang muttaqin ditunjukkan dengan sikapnya yang senantiasa berada dalam aturan Allah dan rasul-Nya. Menghindari perbuatan keji dan munkar, berlaku baik kepada tetangga, memberi makan fakir miskin, tidak menyia-nyiakan anak yatim, rendah hati dalam kehidupan.
Wallahu a’lam.

Zakat Wujud dari Rahmatan lil- Alamin

Akhlak pemurah merupakan karakter yang ada pada setiap orang dermawan. Seorang yang dermawan di dalam membantu orang lain atau menolong saudaranya, benar-benar murni karena Allah. Sebaliknya, jika orang yang mengeluarkan harta bendanya disebabkan ada maunya maka, orang jenis ini tidak dapat dikatakan sebagai orang yang dermawan.
Islam tidak hanya mengajarkan untuk dermawan tapi juga luhur dan murah hati. Pribadi yang luhur adalah insan yang suka memberikan lebih dari apa yang diminta, suka mendermakan lebih dari apa yang diwajibkan. Ia suka memberikan sesuatu, kendati tidak diminta dan tidak dituntut terlebih dahulu. Ia suka berderma (memberi sahadaqah) dikala siang maupun malam, dan dikala longgar maupun sempit itulah yang didalam al-quran disebut sebagai orang yang “muhsinin”.
Yaitu orang-orang yang mendapat jaminan surga-Nya, yang luasnya seluas langit dan bumi. Sebab itulah, telah turun sejumlah ayat al-qur'an dan hadits Rasulullah yang mulia sebagai pembawa berita gembira bagi orang-orang yang berderma, luhur dan murah hati. Sebagaimana firman-Nya,
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi. Dan kelak Dia benar-benar mendapat kepuasan.”(Qs. al-Layl: 17-21)

Demikianlah makna dibalik perintah zakat, yaitu diantaranya mempererat persaudaraan diantara kaum muslimin-mukmin, untuk meratakan status sosial yang ada pada masyarakat Islam, mengentas kemiskinan, menolong kaum yang lemah.
Sehingga setelah Rasulullah wafat dan pemerintahan digantikan oleh khlifah Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khatab, perintah zakat ini benar-benar diterapkan mengingat betapa besar makna dibalik perintah zakat tersebut sampai-sampai orang yang enggan membayar zakat diperbolehkannya untuk dibunuh. Hal ini tak lain bertujuan agar terciptanya rasa saling memiliki antara orang yang berzakat dan penerima zakat. Dan menjadikannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Zakat mendorong orang menjadi dermawan, orang yang dermawan adalah orang yang baik lagi bijaksana memberi tanpa pamrih alias ihlas karena Allah swt, yang dia harapkan adalah ridha dan cinta Allah swt supaya kelak di akhirat dapat melihat wajah Agung-Nya
Selain itu makna dibalik perintah zakat adalah untuk mensucikan harta benda kaum muslimin-mukmin. Sehingga menjadikan harta mereka tidak hanya bersih secara dhahir melainkan juga batin. Seseorang muslim-mukmin yang hidupnya dalam keadaan suci baik harta, jiwa dan raganya, maka dalam beribadah pun tidak akan bercokol dalam hatinya sedikitpun untuk menyekutukan Allah swt. Karena dalam harta, jiwa dan raganya sudah suci sehingga secara otomatis hal ini akan mudah untuk bersemayam didalam hatinya kalimat tauhid yang menjadikan dirinya semakin takut kepada Allah swt.

Oleh karenanya zakat sebagai salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada para hambanya agar dirinya menjadi hamba yang selalu bersyukur dengan segala nikmat dan karunia yang diberikan oleh-Nya. Sehinga tidak ada lagi rasa iri dalam hati. Dari sinilah akan terwujud rahmatan lil alamin dalam setiap sendi kehidupan.
Wallahu a’lam

MENGELUARKAN ZAKAT

Definisi Zakat

Apakah zakat itu? Dalam bahasa Arab, zakat ialah kata dasar (isim masdar) dari fi’il (perbuatan) zaka. Zaka dari aspek bahasa ialah suci, bersih, subur, tumbuh, berkembang, berkah dan terpuji. Maka yang disebut dengan zakat adalah penyuci, pembersih, penyubur, penumbuh, pengembang, dan pemberkah harta.
Oleh karenanya bisa dianalogikan, harta yang dizakatkan itu sebenarnya akan menjadikan harta si pemilik itu bersih, makin subur dan dapat terus berkembang serta bertambah berkah.

Disamping itu orang yang mengeluarkan zakat juga akan dikurniakan Allah swt dengan sifat terpuji dan limpahan keberkahan di dalam kehidupannya. Sebab itulah Nabi pernah mengingatkan kepada kita semua:

عَنْ جَابِرِ قَالَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَدَى زَكَاةَ مَالِهِ ، فَقَدْ ذَهَبَ عَنْهُ شَرَّهُ
Dari sahabat Jabir r.hu, ia berkata Rasulullah saw bersabda, “Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu, maka engkau telah menghindari kejahatannya daripadamu.” (Hr. Thabrani). [1]

Dan juga dalam sebuah hadis, “Sesungguhnya Allah telah memfardukan zakat sebagai penyuci harta.” (Hr. Bukhari).

Sebenarnya kalau kita mau mengkaji al-qur’an lebih dalam maka kita akan menemukan pemahaman bahwa sesungguhnya zakat itu sangat erat kaitannya dengan shalat khusyuk. Sebab salah satu bukti dari shalat khusyuk adalah memberi makan anak yatim dan menyantuni fakir miskin. Jika shalatnya tidak bisa menghantarkan pada hal di atas maka itulah yang disebut dalam al-qur’an surat al-Mâun sebagai pendusta agama! Berarti dia masih lalai dalam shalatnya! Belum sampai pada derajat shalat khusyuk.
Karena jika shalat seseorang itu khusyuk maka sudah semestinya ia menuniakan zakat. Sebab inti daripada shalat khusyuk adalah terwujudnya akhlaqul karimah dan sebagai “rahmatan lil ‘alamîn” menjadi rahmat bagi seluruh alam. Jadi seseorang yang telah mengaku muslim hendaknya selalu bersikap santun, arif dan bijaksana meminjam istilah Syaikh Miftahul Luthfi Muhammad “meng-Allah-kan Allah, me-Manusia-kan manusaia, dan meng-Alam-kan alam.”

Dan bukti dari semua itu diantaranya adalah menyantuni fakir dan miskin. Dengan cara memuliakan dan mencukupi kebutuhan mereka. Tentu saja sesuai dengan kemampuan yang ia miliki.
Di dalam al-qur’an surah Ali-Imran: 134 Allah berfirman,

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Orang muslim ialah mereka yang menginfakkan hartanya baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Hal itu dikuatkan oleh sabda Nabi saw,

عَنْ حَكِيْم بن حِزَامُ رضي الله عنه قَالَ: قاَلَ رَسُوْلُ الله J: اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلىَ،
Dari sahabat Hakim bin Hizam r.hu, dia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.”[2]

Berdasarkan hadis di atas, seorang muslim-mukmin diajari oleh Rasulullah saw untuk berperilaku derma dan pemurah. Suka berkurban untuk kepentingan masyarakat, dan mau mengulurkan tangannya kepada siapa saja yang memerlukan. Pemikiran yang dibangun Rasulullah saw. Ialah menjadikan seorang muslim terbiasa dengan "tangan di atas". Sebaliknya, harus malu manakala "tangannya di bawah". Inilah sebuah kecerdasan sosial yang hendak dibangun oleh dinul Islam.

[1] Hr. Thabrani hadis nomor: 1639, juz: 4, halaman: 99.
[2] Hadis ini jiga diriwayatkan olah Imam Ahmad r.hu dalam Musnad-nya, Juz XXI, hal 170, hadis nomor 15026. Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab-nya, Juz III, hal. 102. Dan, Imam Baihaqi dalam as-Sunanul Kubrâ, Juz IV, hal. 177

SHALAT YANG SEMPURNA

Makna Shalat Khusuk
Komunikasi langsung dengan Allah swt setelah berikrar 2 kalimat syahadat yaitu mendirikan shalat. Shalat adalah bentuk ibadah yang berupa penghambaan makhluk kepada Sang Khaliq dengan waktu, tempat dan kondisi yang sangat khusus tanpa melakukan aktifitas yang lain selain shalat itu sendiri. Sedangkan ibadah yang lain dapat dilakukan dengan melakukan aktifitas lainnya asal dengan niat untuk ibadah
Shalat adalah perintah Allah swt kepada para hamba-Nya, sebagaimana firman Allah “wamā khalaqtul jinna wal insa illā liyakbūdunî” Bahwa Allah swt tidak menciptakan jin dan manusia melainkan mutlaq hanya untuk beribadah kepada-Nya.[1] Itulah yang harus benar-benar dicamkan oleh semua makhluk yang merasa dirinya al-insan. Sebab itulah shalat merupakan tugas pokok bagi seseorang yang telah mengakui bahwa tidak ada illah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah.
Di dalam peristiwa perjalanan isra’ dan mi’raj nabi Muhammad saw, menerima oleh-oleh terbesar bagi beliau khususnya dan umat Islam pada umumnya yaitu shalat lima waktu dalam sehari semalam. Mengapa dikatakan “oleh-oleh” yang paling besar. Sebab dengan shalatlah ummat Muhammad menjadi mulia. Mulia dipandangan makhluk dan Allah swt.
Lalu pertanyaannya shalat yang bagaimanakah yang menjadikan seorang hamba itu mulia? Apakah semua shalat? Sebab di dalam al-qur’an Allah tidak mengancam orang yang minum khamer tapi yang diancam ialah mereka yang shalat “yang lalai dalam shalatnya” [2]
Jawabannya ialah tidak semua shalat. Sebab hanya shalat yang khusuklah yang dapat merubah perilaku pasca shalat. Nah shalat yang dapat merubah perilaku itulah yang menjadikan seseorang menjadi mulia dimata Allah dan segenap makhluk-Nya. Dan shalat yang bisa merubah perilaku adalah shalat yang khusuk.
Shalat yang khusyuk ialah shalat yang benar-benar mencari ridha Allah swt. Dan pasca shalat merubah perilaku kearah yang lebih baik sehingga terwujudlah rahmatan lil’alamin dalam kehidupan. Sebab bila ibadah shalat telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi, dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuaya merupakan keburukan dan sumber malapetaka di muka bumi.
Tidak bisa dipegangi artinya ibadah shalat tidak dapat dirasakan manfaatnya bagi kesejahteraan hidup. Misalnya secara teoritis banyak orang yang pandai berdalil bahwa shalat harus dikerjakan secara khusuk. Tetapi fakta yang terjadi melatih seseorang untuk bisa khusuk itu tidak gampang. Bukan hanya yang dilatih yang tidak dapat mengerjakan shalat khusuk, tetapi kebanyakan yang melatih pun belum tentu bisa mengerjakan shalat dengan khusuk.
Sedangkan bagi orang-orang yang melupakan dan mengabaikan makna shalat khusyuk, hanya akan mendapat murka-Nya. dalam artian shalat yang dikerjakan oleh kebanyakan orang telah kehilangan ‘ruh dan maknanya’. Shalat merupakan hal yang mencelakakan manusia bila hanya dikerjakan sebagai pemenuhan formalitas, hanya sebatas mengugurkan kewajiban, alias tidak mampu memberikan manfaat bagi pelakunya dan orang lain. Al-qur’an telah mengkritik dengan Firman-Nya,
×@÷ƒuqsù šú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEŸx|¹ tbqèd$y™ ÇÎÈ tûïÏ%©!$# öNèd šcrâä!#t�ムÇÏÈ tbqãèuZôJtƒur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (Qs. al-Mâ’un: 4-7)
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan shalat bukanlah sebuah tujuan dalam hidup ini. Namun shalat merupakan sebuah etika dalam kehidupan beragama. Makna dan tujuan dibalik pelaksanaan shalat itulah yang tidak boleh diabaikan. Perilaku orang yang shalat dan yang tidak shalat harus berbeda. Karena dampak dari shalat yang khusuk tercermin dalam kehidupan sehari-hari dengan terwujudnya kehidupan yang rahman lil ‘alamin.
Kasih sayang terhadap sesama, perhatian terhadap lingkungan, tidak membuat onar, taat terhadap rambu-rambu lalu lintas. Dengan demikian orang yang shalat khusyuk ditandai dengan ‘hidup bersih, benar, dan tidak menyakiti orang lain.
Maka orang yang shalat hendaknya, memberi makan orang-orang miskin dan tidak menghardik anak yatim. Jika tidak demikian maka inilah yang disebut al-qur’an dengan pendusta agama![3]
Sebagaimana sekarang ini kita menyaksikan keadaan demikian di negeri ini. Tempat ibadah penuh sesak. Berbondong-bondong orang yang melakukan formalitas ibadat—apalagi shalat dua Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha-red). Tetapi perilaku negatif kian hari semakin meningkat. Terbukti korupsi di negeri ini tergolong nomor wahid.
Rasa solidaritas, sepenanggungan seperasaan, semakin kandas. Para elit pemerintahan cuek, tak acuh pada penderitaan orang banyak, orang kaya tidak mau memperhatikan yang miskin. Yang penting gue enjoy. Keagamaan hanya sebatas pada simbul, dan identitas diri belaka. Belum sampai pada penghayatan keagamaan. Akhirnya apa yang terjadi…? Bencana melanda negeri ini. Mala petaka tak kunjung usai, sejak pertengahan 1977 sampai sekarang. Ini semua bisa terjadi karena kita cuma riyak dalam beragama [seolah-olah beragama].
Sehingga praktik keagamaan tidak berimplikasi—membekas terhadap “amar ma’ruf nahi munkar” seolah-olah praktik shalat itu tidak terkait dengan akhlak atau budi pekerti dan perjuangan hidup. Sehingga timbulah istilah “shalat oke dan maksiat jalan terus”. Dengan kata lain rukun Islam dikerjakan, perintah dan larangan pun diabaikan. Sehingga sebagian besar umat bangsa ini belum mampu menjadikan shalat sebagai motivator kecerdasan keagamaan.
Jika seseorang telah mancapai derajat menjadikan shalat sebagai motivator kecerdasan, maka insya Allah hidupnya akan selalu berdzikir kepada Allah swt baik dalam keadaan bergerak, berdiri, rukuk, dan sujud dalam satu kesatuan, maka terciptalah ketenangan batin. Di dalam shalat ada ‘washala’ yaitu tindakan untuk menghubungkan, menyatukan diri dengan Tuhan. Bila ini tercapai maka lahirlah ‘kasih’ yang terejawantahkan dalam kehidupan dengan tercegahnya seseorang dari perbuatan keji dan munkar.
Demikianlah shalat yang khusyuk yaitu shalat yang didasari dengan rasa cinta kepada Allah swt. Dan menyadari dengan sepenuh hati bahwa diri ini tidak lebih dari seorang hamba-Nya. Serta senantiasa merasa diawasi oleh-Nya. Sehingga yang timbul adalah rasa penghambaan yang totalitas. Bukan karena inginkan ini dan itu. Sebagaimana diterangakan oleh Imam Ibn Atha’ illah al-Assakandari di dalam Hikamnya, menukil pernyataan Rabi’ah al-Adawiyah dalam satu munajatnya;
“Ya Allah jika aku menyembah Engkau karena mengharapkan surga, maka campakkanlah surga kepadaku. Jika aku menyembah Engkau karena takut akan neraka, maka lemparkanlah aku kedalam neraka Engkau. Namun jika aku menyembah Engkau semata karena cintaku kepada Engkau, maka perkenankanlah aku melihat Wajah Agung Engkau.”[4]

[1] Qs. adz-Dzariyat [51]: 56
[2] Qs. al-Mâ’ûn: [107]: 4-5
[3] Qs. al-Mâ’un [107] : 1-3
[4] Syarah al-Hikam, H. Salem Bahresy

Kamis, 02 September 2010

ibadur Rahman

Sifat Ibadurrahman (1):


Rendah Hati

Dinul Islam telah memberikan beberapa karakteristik seorang hamba Allah swt, yang benar-benar merupakan pilihan-Nya. Yang mana kenyataan itu telah Allah swt sendiri tegaskan pada Kitab Suci al-Qur`an, di antaranya seperti yang terdapat pada surat al-furqân ayat ke-63 sampai pada akhir ayat ke-77.

“Para ibadurrahman (adalah): Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati…; Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya; mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman; Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 63, 75-77).

Ibadurrahman merupakan hamba Allah swt yang telah dipilih-Nya sendiri, dengan segala sifat dan karakteristiknya. Bagi Allah swt, dia adalah teladan untuk umat manusia, agar pola kehidupannya benar-benar diikutinya. Seorang ibadurrahman, yakni para hamba Allah swt yang di-nisbat-kan hanya kepada Allah swt.
Iblis dan setan merasa jengkel dan berputus asa, guna merayu dan menyusup ke dalam hati seorang ibadurrahman. Dikarenakan, sudah tidak ada lagi celah yang dapat dijadikan iblis dan setan untuk memperdayainya. Apalagi guna menguasainya sangatlah tidak mungkin. Kenyataan ini dilukiskan Allah swt di dalam Kitab Suci-Nya,

“Iblis berkata, ‘Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba Mu yang mukhlis di antara mereka’.” (Qs.Shâd: 82-83).

Pernyataan yang bernada kecewa yang disampaikan oleh iblis itu, dijawab oleh Allah swt dengan penegasan-Nya,

“Sesungguhnya hamba-hamba Ku, kalian tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan, cukuplah Rabb-mu sebagai Penjaga” (Qs.al-Isrâ`: 65).

Ibadurrahman adalah prototipe segolongan hamba Allah swt yang senantiasa kehidupannya diliputi dan dilindungi oleh rahmat-Nya yang agung. Rahmat Allah swt seolah menjadikannya telah berada di sebuah benteng yang kokoh kuat lagi aman. Itulah manakala rahmat Allah telah melindungi para hamba yang telah dipilih-Nya. Dikarenakan ibadurrahman dalam hidup dan kehidupannya benar-benar telah menyandarkan segala sesuatunya hanya kepada Allah swt, yang memiliki Dzat Mahasuci, Mahakuasa, dan Mahabesar.
Sangat berbeda dengan para hamba thaghut, hamba alkohol, hamba narkotik, hamba perempuan, hamba jabatan, hamba syahwat, hamba kekuasaan, dan hamba dunia. Mereka lebih memilih untuk mengingkari-Nya. Karena setan dan iblis telah menjadi sandaran utama dalam hidup dan kehidupannya. Baik dalam kenyataannya dilakukan dengan terang-terangan atau secara sembunyi-sembunyi. Malah sangat mungkin dilakukannya dengan penuh kepura-puraan.
Yang terakhir inilah, yang sangat membahayakan kehidupan kaum mukminin. Sebab, kaum mukminin jarang yang terasa, bila tauhidnya telah dicondongkannya, sedemikian rupa sampai pada kulminasinya, seorang mukmin itu telah asing dan merasa jauh dengan tradisi diniahnya. Inilah nestapa potret kebanyakan saudara-saudara kita kaum muslimin di negara, yang konon penduduknya pemeluk Islam-nya sangat banyak ini.
Sudah saatnya kaum muslimin Indonesia mampu melahirkan sumber daya umat, yang berkualitas ibadurrahman sebagai generasi rabbani. Mereka adalah para hamba Allah swt yang mengetahui-Nya, menyadari kekuasaan-Nya, dan memenuhi hak-hak-Nya. Mereka merupakan para hamba yang mukhlis, dan selalu dimukhliskan oleh-Nya. Mereka selalu melakukan pengabdian secara langgeng lagi ajeg, sehingga Allah swt melanggengkan dan mengajegkan rahmat-Nya. Mereka senantiasa berusaha memurnikan pengamalan dinul Islam karena-Nya, sehingga Allah swt memurnikan dinul Islamnya bagi mereka. Inilah kualitas umat Islam yang sangat dinantikan kehadirannya, guna menjadi penyelamat masa depan bangsa Indonesia.

Mendapatkan Cahaya Allah swt
Seorang ibadurrahman di dalam kehidupannya benar-benar telah menerima dan memahami dinul Islam, baik secara lisan, secara kalbu, dan secara amal perbuatan. Sehingga dia telah mendapatkan cahaya Allah azza wa jalla. Dari cahaya-Nya itulah dia terbimbing menjadi hamba Allah yang berkarakter, berkepribadian, dan mempunyai jati diri. Seperti telah diungkapkan-Nya,

“Maka, apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) dinul Islam, lalu dia mendapat cahaya dari Rabb-nya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka, kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata” (Qs.az-Zumar: 22).

Dari ayat tersebut di atas yang berbunyi, “Afa man syaraha-llâhu shadrahû lil-islâm, fa huwa ‘alâ nûrim-mir-rabbihî…”
Maka, secara konseptual dinul Islam telah menjadikan kaum mukminin menjadi generasi rabbani yang berkualitaskan ibadurrahman, dengan segala sifat dan karakteristiknya yang positif lagi indah. Disebabkan telah mendapatkan cahaya Allah jalla jalâluh (fa huwa ‘alâ nûrim mir-rabbihî) di dalam segenap aspek kehidupannya. Yang di dalam surat al-furqân ayat ke-63 sampai dengan ayat ke-74 telah disebutkan Allah swt dengan jelas ciri-cirinya. Seperti telah difirmankan Allah swt,

“Dan, hamba-hamba Rabb yang Mahapenyayang itu (adalah): Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati…” (Qs.al-Furqân: 63).

Ibadurrahman, bila berjalan di muka bumi dia sangat rendah hati, tawadlu’, dan lemah lembut. Berjalan dengan penuh wibawa dan rasa hormat; tetapi dia tidak sombong dan membusungkan dada.
Dia sangat memahami, bahwa kejadiannya berasal dari tanah. Sehingga tidak ada yang pantas untuk dipamerkan dan dilebihkan, karena sadar, suatu ketika bila saatnya tiba, dia pun akan ditelan oleh tanah yang saat ini diinjaknya.
Dia tidak adi gang, adi gung, adi guno, dan sopo iro sopo ingsung. Dia tetap sadar, bahwa seluruh kejadian dan kenyataan yang ada di dunia ini, adalah berasal dari Allah jalla jalaaluh (mâ sya`allâh, kullum min ‘indi-llâh). Karena itu Allah azza wa jalla menginformasikan,

“Dan, janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi. Dan, sekali-kali tidak akan sampai setinggi gunung” (Qs.al-Isrâ`: 37).

Ayat tersebut di atas telah menegaskan, bila Allah azza wa jalla itu melarang para hamba-Nya yang mukmin untuk berlaku sambong lagi membanggakan diri. Sebaliknya, Allah swt sangat mencintai para hamba-Nya yang berperilaku rendah hati lagi tawadlu’.
Sehingga seorang Luqman yang waliyyullah itu telah memberikan wasiat khusus kepada anaknya,

“Dan, janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong). Dan, janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan, sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara, ialah suara keledai” (Qs.Luqmân: 18-19).

Ayat di atas memberikan teladan kepada kita, bahwa Luqman benar-benar telah menempatkan dirinya, sebagai pengajar sekaligus sebagai pendidik bagi anaknya.
Inilah hakikat pendidikan dan pengajaran Rasulullah saw, yang sebenarnya menjadi tujuan utama dalam sebuah proses belajar mengajar. Bukan semata-mata melakukan olah pikir dan akal, guna memberdayakan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi justru malah melahirkan kekosongan nilai dan tradisi akhlak yang luhur.
Di sinilah para orang tua dan para guru sangat berperan dalam memberikan keteladanan yang benar, sebagai seorang pendidik (al-mu’allim) dan pengajar (al-murabbi). Sehingga anak-anak, para remaja, dan para pemuda benar-benar memiliki akhlak rendah hati, seperti yang telah diteladankan oleh uswah kita, Rasulullah Muhammad saw.

Teladan
Bagaimanakah berjalan dengan rendah hati, dan akhlak rendah hati yang sebenarnya itu. Ada beberapa teladan yang telah dicontohkan oleh baginda Nabi saw dan para sahabat beliau. Antara lain:
1. Diriwayatkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib kw, bahwa Nabi saw di saat berjalan badan beliau bergerak-gerak seperti sedang meniti jalan menurun. Ini merupakan jalannya orang yang penuh semangat dan pemberani.
2. Diceritakan oleh sahabat Abu Hurairah ra,

“Aku tidak melihat sesuatu pun yang lebih bagus daripada diri Rasulullah saw. Seolah-olah matahari berjalan di muka beliau. Aku juga tidak melihat seseorang yang lebih cepat jalannya dari pada beliau, seakan-akan bumi menjadi turun di hadapan beliau. Kami sudah berusaha untuk menyeimbangi beliau, tapi beliau seperti tidak peduli.”

Maksudnya, beliau berjalan antara cepat dan lamban. Tidak tergesa-gesa, juga tidak bermalas-malasan.

“Waspada itu datangnya dari Allah. Sedangkan tergesa-gesa itu datangnya dari setan,” demikian sabda Nabi saw (Hr.Baihaqi, dari Anas ra, Kitâb Mukhtârul Ahâdis, no.26).

Demikianlah jalannya seorang ibadurrahman, dengan kekuatan ruhani yang rabbani, dia berjalan dengan menunjukkan kekuatannya tetapi tetap penuh kewibawaan yang dihormati.
3. Suatu ketika sahabat Umar bin Khaththab ra melihat seorang pemuda sedang berjalan dalam keadaan gontai.
Dia bertanya kepada pemuda tersebut, “Apakah kamu sedang sakit ?”
Pemuda itu menjawab, “Aku, tidak sakit.”
Lalu, Umar berkata, “Kalau begitu kamu, jangan jalan seperti itu.”
4. Salah seorang sahabat perempuan Nabi saw sedang melihat sekelompok anak muda yang berjalan dengan pelan-pelan. Sahabat tersebut bertanya, “Siapakah mereka itu ?”
Di jawab sahabat yang lain, “Mereka adalah para pemuda ahli ibadah.”
Sahabat perempuan itu berkata, “Demi Allah, jika berjalan, Umar adalah orang yang paling cepat. Jika berkata, suaranya paling lantang. Jika memukul, maka pukulannya menyakitkan. Tapi dia juga seorang ahli ibadah yang sebenarnya.”
5. Suatu ketika sahabat Umar bin Khaththab ra, melihat seseorang yang pura-pura menampakkan kekhusyukan dalam shalatnya, sambil menggeleng-gelengkan kepala. Maka, serta merta Umar mengambil sebutir biji jagung, lalu disambitkan kepada orang tersebut, sambil berkata, “Ada apa kamu ini? Tegakkanlah kepalamu dan jangan membuat agama kami mati, sehingga Allah membuatmu mati. Sesungguhnya kekhusyukan itu ada di dalam hati, dan bukan berada di leher.”
Inilah yang dimaksud dengan berjalan dengan akhlak rendah hati, lemah lembut, dan tawadlu’. Di mana seorang ibadurrahman tersebut masih menunjukkan kekuatannya, sedikit mempercepat langkah kakinya, jalannya sesuai dengan perawakannya, umurnya, dan kemampuannya tidak dibuat-buat. Karena selalu ingat dengan pesan Rasulullah saw,
“Siapa yang merasa sombong di dalam dirinya, atau congkak saat berjalan. Maka, dia berjumpa Allah dalam keadaan mendapat murka dari-Nya” (Hr.Ahmad & Hakim).

Sebagaimana juga disabdakan Nabi saw,

“Sebaik-baik ibadahnya orang-orang mukmin, adalah merendahkan diri” (Dari Ibunda Aisyah ra).

6. Adalah Qarun, tatkala dia keluar dari rumahnya memamerkan perhiasannya kepada segenap manusia, berjalan dengan sombong lagi congkak. Lalu, Allah swt membenamkan dirinya, perhiasan dan tempat tinggalnya ke perut bumi, sehingga tak satu pun miliknya yang tersisa.

“Maka, Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka, tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap adzab Allah, dan tiadalah dia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)” (Qs.al-Qashash: 81).

Pelajaran Yang Diambil
Sayyiduna Rasulullah Muhammad saw adalah orang yang paling banyak merendahkan diri. Padahal kita semua tahu, bagaimana kedudukan beliau di sisi Allah swt dan di antara para makhluk-Nya. Beliau lebih suka berjalan di belakang para sahabatnya. Beliau tetap berperilaku, bertutur kata, dan berdandan sebagaimana para sahabatnya. Beliau duduk dengan mereka tanpa ada perbedaan sedikit pun.
Suatu ketika ada seseorang yang belum mengenalnya mencari beliau, tidak mengetahui mana yang namanya Muhammad Rasulullah itu. Orang asing tersebut terus bertanya, “Mana yang namanya Muhammad? Mana di antara kalian yang menjadi cucu Abdul Muthalib?”
Di tengah keluarga pun beliau biasa mengerjakan berbagai macam pekerjaan rumah tangga, seperti: menambal pakaian yang robek, menyambung tali sandal putus, memerah susu sendiri, membuah adonan kue bersama-sama para pelayannya; kesemuanya dikerjakan dengan sentuhan tangan suci beliau.
Dengan para isterinya tidak pernah berkata kasar, apalagi sampai main kasar, seperti menendang atau menempeleng. Karena menurut beliau perilaku kasar dan bengis terhadap isteri, bukan karakter lelaki mukmin yang mulia.

“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya (isterinya), dan aku adalah contoh terbaik dalam berperilaku terhadap keluargaku. Tidak akan menghormati perempuan, melainkan lelaki yang mulia. Sebaliknya, lelaki yang merendahkan perempuan adalah yang tidak berbudi luhur” (Hadîs Shahîh).

Itulah sebuah teladan dari pribadi yang agung, yang menjadi panutan sejati (uswah) bagi seluruh umat manusia, khususnya bagi para umatnya sampai Hari Kiamat datang.

“Kâna ahsanan-nâsi khuluqan”; beliau adalah orang yang paling berbudi luhur” (Kitâb Jam’ush Shaghîr, Juz.IV, no.4508).

“Sesungguhnya Allah menjadikan aku sebagai hamba yang mulia, dan tidak menjadikan aku sebagai orang yang lalim lagi kejam,” demikian sabdanya dalam sebuah hadis shahih.

Setiap kita harus belajar berperilaku rendah hati, yakni berjalan di muka bumi ini dengan akhlak malu, tidak sombong, dan tidak kejam. Inilah proses awal untuk mencapai kedudukan ruhani rabbani seorang hamba yang bergelar ibadurrahman.
Kiranya layak dilantunkan doa al-faqir di bawah ini,

“Ya Allah, jadikanlah kami para hamba Mu yang rendah hati lagi mulia, dan janganlah Engkau jadikan kami (para hamba Mu) yang lalim lagi kejam.

Sifat Ibadurrahman (2):


Murah Hati

Akhlak murah hati adalah karakteristik seorang ibadurrahman yang kedua. Seperti telah diajarkan dalam dinul Islam, bahwa seorang hamba yang merendahkan diri kepada Allah, maka Allah swt akan meninggikan kedudukan hamba tersebut, baik di sisi-Nya maupun di hadapan para makhluk-Nya.
Dalam sifatnya yang kedua ini, seorang ibadurrahman diuji oleh Allah swt dalam menjaga perilaku simpatiknya terhadap para hamba Allah yang jahil lagi bodoh.

“Para ibadurrahman itu (adalah): …Apabila orang-orang jahil menyapa mereka, maka mereka mengucapkan kata-kata yang baik… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 63, 75-77).

Seorang hamba yang jahil menurut pandangan al-qur`an, adalah setiap orang yang melakukan pendurhakaan kepada Allah swt. Orang tipe ini di dalam kehidupannya memberi kekuasaan dan keleluasaan terhadap hawa nafsunya. Sehingga kebenaran wahyu Allah dan nasehat-nasehat dinul Islam menjadi terabaikan. Bahkan, tidak jarang orang-orang seperti ini memiliki kecenderungan untuk melawan atau menyeleweng dari ketentuan Allah swt. Disebabkan fasilitas Allah yang berupa akal menjadi tidak berdaya dan takluk di hadapan kekuatan sang nafsu.
Sebagaimana seorang Nabi Yusuf as yang tampan rupawan, secara membabi-buta mendapatkan luapan nafsu birahi seorang Zulaikha yang cantik jelita lagi berkedudukan. Tetapi dengan bimbingan Allah swt dan rahmat-Nya yang agung, beliau terselamatkan dari fitnah yang sangat besar itu. Seperti dikatakannya, “Dan, jika tidak Engkau (Allah) hindarkan aku dari tipu dayanya. Tentu aku akan cenderung untuk memenuhi keinginannya. Dan, tentulah aku termasuk orang-orang yang jahil.”
Pribadi seorang yang jahil, adalah pribadi yang pecah (split of personality), tidak ada pegangan dalam hidupnya, cenderung asal bicara lebih dikarenakan suka atau tidak suka. Kehidupannya diwarnai dengan sentimen yang tinggi terhadap orang lain yang tidak disukainya.
Seorang yang jahil mempunyai tabiat mengolok-olok masalah yang prinsip dan mengejek atas kebenaran. Sehingga tidak jarang mereka itu dicap dari jaman ke jaman: sebagai pendurhaka kepada Allah azza wa jalla, orang yang akhlaknya buruk, dan orang yang menuruti hawa nafsunya. Ternyata bumi yang kita diami ini dipenuhi oleh orang-orang yang memiliki tabiat jahil.
Namun, seorang ibadurrahman hatinya dibuat komitmen lagi penuh konsisten (CC) terhadap agamanya oleh Allah azza wa jalla. Sehingga jiwanya tidak begitu menanggapinya. Apalagi merisaukannya di dalam menghadapi orang-orang yang jahil kepadanya.
Sebaliknya, seorang ibadurrahman telah mendapatkan kemuliaan dari Allah swt berupa ke-istiqamah-an kalbu, perilaku, dan kehidupannya. Karena dia telah mampu menjaga istiqamah lidahnya. Nabi saw bersabda,

“Iman seorang hamba tidak istiqamah, sebelum hatinya istiqamah. Hatinya tidak istiqamah, sebelum lidahnya istiqamah” (Hr.Ahmad).

Di sinilah kehidupan seorang ibadurrahman benar-benar telah mendapatkan: ketenangan, ketentraman, segenap aktifitas dapat dijalankannya, tidak ada perasaan putus asa, dan tidak sibuk mengurusi kebatilan orang lain.

Balas Keburukan Dengan Kebaikan
“…Mengucapkan kata-kata yang baik…” Maksudnya, membebaskan ucapan, perkataan, dan lisan dari perbuatan yang dosa dan maksiat kepada Allah swt.
Seorang ibadurrahman semaksimal mungkin menghindarkan perbuatan-perbuatan yang tercela, khususnya tercela ucapannya, tercela perkataannya, dan tercela lisannya.
Seorang ibadurrahman, tidak akan membalas keburukan dengan keburukan. Meskipun dia mempunyai hak untuk membalasnya. Meskipun dia sanggup membalas satu takaran dengan dua takaran. Meskipun dia sanggup membalas satu pukulan dengan dua pukulan.
Tetapi, dia lebih memilih untuk memaafkannya, karena dia sadar bahwa yang dihadapinya adalah orang yang jahil lagi bodoh. Di samping dia memegang teguh prinsip spiritual, “Balaslah keburukan dengan kebaikan’’ (fa turaddus-sayyi`at bil-khairât).
“…Mengucapkan kata-kata yang baik…” Artinya, seorang ibadurrahman selalu mengucapkan perkataan yang benar di hadapan Allah jalla jalaaluh, demi kebahagiaan akhiratnya. Sehingga seluruh aktifitas hidupnya digunakan untuk kepentingan dinul Islam, menolong agama Allah, dan menegakkan kebenaran.
“…Mengucapkan kata-kata yang baik…” Berarti juga, mengucapkan salam sejahtera terhadap ketololannya orang-orang yang jahil.
Sahabat Anas bin Malik ra mengomentari ayat tersebut dengan mengatakan, “Maksudnya (ayat itu) adalah seseorang yang apabila ada saudaranya mencaci dirinya, maka dia berkata, ‘Jika apa yang kamu katakan ini benar, semoga Allah mengampuni kesalahanku, dan jika apa yang kamu katakan itu dusta, semoga Allah mengampuni kesalahan-mu’.” Seperti diterangkan dalam firman-Nya,

“Dan, apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya. Dan, mereka berkata, ‘Bagi kami amal-amal kami, dan bagi kalian amal-amal kalian; kesejahteraan atas diri kalian, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil’.” (Qs.al-Qashash: 55).

Demikianlah kondisi ruhaniah seorang ibadurrahman, sangat indah lagi simpatik, “Kami mempunyai jalan sendiri, dan kamu juga mempunyai jalan sendiri. Kami tidak mau meninggalkan jalan kami, untuk tetap berjalan beriringan bersama kamu di jalanmu.”
Karena itu para ibadurrahman tidak pernah menanggapi perilaku orang-orang jahil, meski dirinya dapat dan memiliki hak untuk membalasnya dengan yang serupa. Tetapi dia lebih mengambil jalan yang simpatik, seperti yang sering dilakukan di dalam dakwahnya Nabi saw.

Teladan
Guna menguatkan kehendak dan membulatkan niat kemukminan dan keislaman, agar mempunyai perilaku seorang ibadurrahman, ada baiknya al-faqir sebutkan beberapa teladan yang dapat ditiru, yakni:
1. Adalah Nabi Isa as, suatu ketika beliau lewat didepan sekelompok orang-orang Yahudi, di mana mereka melontarkan kata-kata yang jorok dan tidak senonoh kepada nabiyullah tersebut. Tetapi beliau menanggapinya dengan baik dan santun.
Salah seorang sahabatnya bertanya, “Orang-orang itu telah melontarkan kata-kata yang tidak senonoh kepadamu. Namun engkau justru mengatakan yang baik kepada mereka.”
Beliau menjawab, “Segala sesuatu mengeluarkan apa yang ada di dalamnya.”
Maksudnya, barangsiapa yang di dalam dirinya ada kebaikan, tentu dia akan mengeluarkan kebaikan. Sebaliknya, barangsiapa yang di dalam dirinya hanya ada keburukan, tentu dia akan mengeluarkan keburukan.
2. Disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi ra, mengenai cabang-cabang iman, dari Amr bin Syu’aib ra, dari ayahnya, dari kakeknya,
“Apabila Allah sudah menghimpun seluruh makhluk, maka ada penyeru yang berkata, ‘Mana orang-orang yang mempunyai keutamaan?’”
Maka, ada sekumpulan orang yang jumlahnya tidak seberapa banyak, berdiri lalu cepat-cepat pergi ke surga. Mereka disambut para malaikat dengan sambil bertanya, ‘Kami melihat kalian buru-buru pergi ke surga. Siapakah kalian ini?’
Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang memiliki keutamaan.’
Para malaikat bertanya, ‘Apa keutamaan kalian?’
Mereka menjawab, ‘Jika kami didlalimi, maka kami sabar. Jika kami disakiti, maka kami memaafkan. Jika kami dijahili, maka kami menahan diri.’
Lalu dikatakan kepada mereka, “Masuklah surga, dan alangkah nikmatnya pahala orang-orang yang beramal.”
3. Ada seseorang yang menemui sahabat Nabi saw Abdullah bin Abbas ra, langsung mengumpat dan memakinya serta menjelek-jelekkannya. Ibnu Abbas membiarkannya sambil diam. Lalu dia memanggil pelayannya, Ikrimah dan berkata, “Wahai Ikrimah, selidikilah orang itu, apakah dia mempunyai keperluan? Kalau dia mempunyai keperluan, penuhilah keperluannya.”
Seketika itu orang tersebut menundukkan kepalanya, karena merasa malu dengan sahabat Nabi tersebut, akhirnya orang itu beranjak pergi.
4. Ali Zainul ‘Abidin bin Husain bin Ali ra, suatu ketika dia dijelek-jelekkan oleh seseorang yang tidak dikenal. Maka, cucu Nabi saw itu meminta pelayannya untuk memberikan baju yang dipakainya kepada orang yang memakinya, bahkan ditambah dengan uang seribu dirham.
5. Ada seseorang yang mencaci orang lain di dekat Nabi saw. Tapi orang yang dicaci justru berkata kepada orang yang memakinya, “Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepadamu.”
Yang demikian ini sebagai pengamalan terhadap kandungan ayat, “…Apabila orang-orang jahil menyapa mereka, maka mereka mengucapkan kata-kata yang baik….”
Lalu, Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya ada seorang malaikat di antara kalian berdua yang membelamu. Setiap kali orang itu mencacimu.”
Maka, malaikat berkata, “Kamu dan kamu lebih berhak.”
Tapi ketika kamu mengatakan, “Kesejahteraan atas dirimu.”
Maka, malaikat berkata, “Tidak, tapi pahala bagimu dan kamu lebih berhak.”
Maksudnya, Allah swt mengutus seorang malaikat untuk membela orang yang dicaci itu, yang menahan lidah dan amarahnya, serta tidak mau meladeni cercaan orang yang jahil dengan tindakan yang serupa.

Ibrah
Seorang ibadurrahman sangat berkehendak dengan penuh hasrat, supaya dia termasuk para hamba Allah yang mempunyai keutamaan-keutamaan, seperti yang disebutkan dalam hadis Nabi saw yang diriwayatkan Imam Baihaqi ra tersebut di atas.
Dinul Islam mengajarkan kepada para pemeluknya, bahwa seorang hamba Allah swt memiliki dua martabat spiritual, yakni: martabat keadilan dan martabat keutamaan. Martabat keadilan, artinya menghadapi keburukan dengan keburukan yang serupa. Sedangkan, martabat keutamaan adalah menghadapi keburukan dengan kebaikan.
Dengan kata lain, ada dua cara dalam bersikap dan berperilaku di dalam menghadapi segala sesuatu, yaitu: cara yang baik dan cara yang lebih baik. Orang tua kami (Qir. Zainuddin Ali Basyah al-Hajj) pernah menasehatkan,

“Maka, tolaklah kejahatan atau keburukan yang menimpamu dengan cara yang lebih baik, dengan perkataan yang paling indah yang kamu miliki, tunjukkan sikapmu yang penuh simpatik lagi toleran (tasamuh), dan biasakan melihatnya dengan kasih-sayang. Insya Allah, dia akan menjadi teman setiamu. Karena manusia itu akan menjadi tawanan kebaikan. Bila, kamu berbuat baik kepada seseorang, maka perbuatan baikmu itu akan mengikatnya. Dan, kemudian kamu akan saling merasa senasib sepenanggungan.”

Untuk itu alfaqir mengajak supaya direnungkan firman Allah swt,

“Dan, tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (Qs.Fushshilat: 34).

Juga sabda Nabi saw,

“Cintailah kekasihmu secara wajar-wajar saja, barangkali dia kelak menjadi musuhmu. Dan, bencilah orang yang kamu benci dengan sewajarnya (tidak terlalu membencinya), barangkali dia kemudian hari menjadi kekasihmu” (Hr.Tirmidzi, Kitâb Mukhtârul Ahâdis, no.45).

Jadilah pemaaf, yaitu memaafkan seseorang yang memang layak untuk mendapatkannya. Perlakukanlah setiap manusia menurut kesanggupannya, dan jangan sekali-kali menuntut kesempurnaan seorang hamba.
Berpalinglah dari orang yang jahil. Begitulah yang biasa dilakukan orang-orang yang mulia dari umat Nabi Muhammad saw ini, di mana menghadapi keburukan dengan kebaikan. Inilah akhlak seorang mukmin, dia tidak harus menyibukkan dirinya dengan kejahilan seorang yang bertabiat jahil. Seorang mukmin lebih layak menyibukkan diri dengan urusan yang lain, seperti: banyak berdzikrullah, dzikrul-maut, menggeluti majelis ilmu, dan menyibukkan diri dengan mempraktekkan sunnah Rasulullah saw.
Inilah salah satu karakteristik umat Nabi Muhammad saw, umat yang penuh kasih-sayang, kelembutan, murah hati, dan memiliki ilmu. Mereka tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang sepele, remeh, dan yang dapat menimbulkan pertikaian antar sesama. Mereka meninggalkan perilaku tercela, seperti: membela diri, membela kepentingan kelompok, organisasi, partai, ‘jamaah’, atau golongannya.
Sebaliknya, seluruh aktifitas dan amal perbuatan senantiasa disandarkan kepada Allah swt. Semata-mata guna menegakkan akidah Islam, membela kebenaran syari’atullah, dan mendorong lahirnya pemberdayaan umat Islam.
Demikianlah akhlak yang agung dari seorang ibadurrahman. Dia mempunyai jiwa yang lapang, tabiat yang mulia, dan cakrawala keilmuan yang luwas lagi luwes.
Demi Allah, dunia ini terlalu nista untuk melahirkan sebuah pertikaian, pertumpahan darah, putusnya persaudaraan, dan menjual agama Allah swt. Karena di sisi Allah swt, dunia laksana butiran debu yang tak sebanding dengan kekuasaan-Nya. Begitu tololnya, bila seorang menusia mempertaruhkan dirinya guna memenuhi ambisi pribadinya, hingga akhirnya dirinya menjadi ‘mesin’ pembunuh, ‘mesin’ provokasi, dan ‘mesin’ pengkhianat.
Wahai manusia mengapa kamu bela mati-matian diri kalian? Siapakah sebenarnya kalian itu, dihadapan Allah swt? Kamu adalah seonggok tanah liat yang berjalan, karena rahmat-Nya. Kamu berasal dari setetes air yang menjijikkan, yang telah dirahmati-Nya dengan kehidupan. Kamu berdaya karena rahmat-Nya. Kehidupanmu merupakan rahmat-Nya. Oleh sebab, marahlah karena-Nya. Bencilah karena-Nya. Hiduplah karena-Nya. Matilah karena-Nya. Tunjukkan kasih-sayang kalian kepada sesama mukmin. Bersikap keraslah kepada orang yang mengingkari-Nya. Sebab, lambat atau cepat, seorang fasik akan mencondongkan akidah tauhid kalian.
Wahai saudaraku, pahamilah firman Allah swt,

“Yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk. Dan, mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (Qs.az-Zumar: 18). []



















Sifat Ibadurrahman (3):


Mendirikan Shalat Malam

Karakteristik seorang ibadurrahman, menurut Allah swt, sebagaimana telah difirmankan-Nya adalah melalui malam harinya dengan qiyyaamul-lail.

“Para ibadurrahman (adalah): …Orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 64, 75-77).

Allah swt memberikan informasi kepada kita mengenai keadaan seorang ibadurrahman, tatkala malam mulai merangkak dibungkus kegelapannya. Dia berdiri antara sujud dan berdoa. Padahal kebanyakan manusia sudah banyak yang terlelap dengan tidur nyenyaknya. Malah ada yang menghabiskan malam mulianya hanya dengan begadang, cangkruk, bahkan tidak jarang banyak manusia yang melakukan tindak kemaksiatan.
Seorang ibadurrahman diberi rahmat Allah swt pada waktu malam harinya, dengan banyak menempelkan keningnya pada tanah tempat sujudnya, guna menghadap kepada ‘wajah Allah swt’. Inilah kondisi ruhani seorang hamba yang paling dekat dengan Rabb-nya. Seperti telah disabdakan Nabi saw,

“Keadaan yang membuat hamba paling dekat dengan Rabb-nya, adalah ketika dia dalam keadaan sujud. Maka, perbanyaklah doa (saat sujud itu)” (Hr.Muslim, Abu Dawud, dan Nasâ`i).

“Saat yang paling baik antara Rabb dengan hamba, adalah pada tengah malam yang akhir. Jika kamu sanggup termasuk orang yang mengingat Allah pada saat itu, maka lakukanlah” (Hr.Tirmidzi).

Keadaan ruhani seorang hamba yang demikian itu, di dalam al-qur`an diperumpamakan,

“(Apakah kamu wahai orang musyrik lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri; sedangkan dia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya? Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’” (Qs.az-Zumar: 9).

“Lambung mereka jauh dari tempat tidur, sedangkan mereka berdoa kepada Rabb-nya dengan harap-harap cemas. Dan, mereka menafkahkan sebagian rizeki yang Kami berikan kepada mereka” (Qs.as-Sajdah: 16).

Rasulullah saw juga menceritakan keadaan seorang ibadurrahman yang tekun qiyyâmul-lail dengan sabdanya,

“Rabb kalian ta’ajub kepada dua orang: (1)Seseorang yang meninggalkan tempat tidur dan selimutnya di antara keluarga dan orang yang dicintainya untuk mengerjakan shalat. Maka, Allah berfirman, ‘Lihatlah hamba Ku yang meninggalkan tempat tidur dan selimutnya di antara orang yang dicintainya dan keluarganya untuk mengerjakan shalat, karena menyukai apa yang ada di sisi Ku dan takut apa yang ada di sisi Ku’. (2)Seseorang yang berperang di jalan Allah, yang rekan-rekannya mengalami kekalahan dan dia tahu apa yang akan terjadi padanya dalam kekalahan itu dan apa yang dia dapatkan jika kembali. Maka, dia kembali hingga darahnya tertumpah. Maka, Allah berfirman, ‘Lihatlah hamba Ku yang telah kembali, karena mengharapkan apa yang ada di sisi Ku dan takut apa yang ada di sisi Ku, hingga darahnya tertumpah’.” (Hr.Ahmad, dari Ibnu Mas’ud ra).

Munculnya perasaan ‘harap-harap cemas’ itulah, sehingga seorang ibadurrahman memohon kekuatan dari-Nya untuk dapat meninggalkan tempat tidurnya, guna bersujud dan merebahkan diri secara totalitas kehadapan Allah swt, sebagai Sang Khaliq jalla jalâluh.
Hadis Nabi saw tersebut di atas memberikan pelajaran ruhani kepada kaum mukminin, bahwa kedua orang itu sama-sama melakukan jihad dan perjuangan yang hebat. Orang yang pertama berjuang ‘menghabiskan’ malamnya bersama dengan Allah swt, guna memperoleh ridla-Nya. Dan, orang kedua berjuang hingga titik darah penghabisan mengurbankan nyawa, guna mempertahankan dinullah.
Seorang ibadurrahman sangat hormat di dalam membagi waktunya dalam memenuhi hak dan kewajibannya. Siangnya digunakan untuk bekerja, dalam rangka pemenuhan kebutuhan perutnya. Bila, malam telah datang dia membangunkan dirinya, dalam rangka memenuhi kebutuhan kalbunya. Telah terjadi kesepakatan di dalam keluarganya, untuk jarang-jarang berada di ‘tempat tidurnya’ ketika malam mulai mendekap.
Giat bekerja di waktu siang. Sedikit tidur di waktu malam. Di penghujung malamnya yang mulia, tepatnya di waktu sahur, dia memohon ampunan kepada Rabb-nya. Semuanya dilaksanakan karena atas dasar kesadarannya yang tertinggi, bahwa dirinya sangat terbatas, amalnya terbatas, ilmunya terbatas, kesehatannya terbatas, dan umurnya terbatas. Sehingga dia selalu memohon kepada Allah azza wa jalla agar diberinya rahmat, yang berupa perilaku istiqamah dan mudawwamah; dalam beribadah, bersyukur, dan menebarkan kasih-sayang. Allah swt berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, berada di dalam pertamanan surga yang lengkap dengan mata airnya; sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan, di akhir-akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah)” (Qs.adz-Dzariyat: 15-18).

Beberapa Keteladanan
Guna menguatkan keimanan agar kita terdorong untuk menirunya, ada baiknya alfaqir berikan beberapa keteladanan. Antara lain:
1. Ada seorang salaf yang memiliki pelayan, dia sangat rajin bangun malam untuk qiyâmul-lail.
Orang salaf tersebut memberitahu pelayannya, “Shalat malammu mempengaruhi kerjamu di siang hari.”
Pelayan itu menjawab, “Lalu, apa yang harus aku lakukan? Jika aku ingat surga, maka kerinduanku terasa amat panjang. Dan, jika aku ingat neraka, maka ketakutanku semakin menjadi-jadi. Bagaimana mungkin aku dapat tidur, sementara aku berada di antara ketakutan yang selalu mengikutiku dan kerinduan yang menggundahkan kalbuku?”
2. Ibunda ‘Aisyah ra pernah mengisahkan kehidupan malam Rasulullah saw.
Di mana beliau selalu mendirikan shalat malam, sampai-sampai kedua telapak kaki beliau pecah-pecah dan bengkak-bengkak.
Maka, Ibunda ‘Aisyah ra bertanya, “Mengapa engkau berbuat seperti itu, padahal dosa-dosa engkau yang lampau telah diampuni, begitu pula dosa-dosa engkau yang akan datang?”
Maka, baginda Nabi saw menjawab, “Tidak bolehkah jika aku suka menjadi seorang hamba yang bersyukur?”
3. Suatu hari Ubaid bin Umair ra dan Atha’ bin Abu Rabbah ra bersilaturahmi ke rumah Ibunda ‘Aisyah ra.
Lalu bertanya, “Beritahukanlah kepada kami sesuatu yang paling menakjubkan, yang engkau lihat pada diri Rasulullah saw!”
Setelah diam sejenak, Ibunda ‘Aisyah ra menjawab, “Suatu malam beliau berkata kepadaku, ‘Wahai ‘Aisyah, biarkan aku malam ini beribadah kepada Rabb-ku.”
Aku berkata, “Demi Allah, aku suka selalu dekat dengan engkau. Tetapi, aku juga suka apa yang membuat engkau senang.”
Maka, beliau bangkit, bersuci lalu berdiri untuk mengerjakan shalat. Beliau terus-menerus menangis. Lalu beliau duduk dan masih tetap menangis, sampai janggut beliau basah oleh air mata. Kemudian beliau berdiri dan tetap menangis sampai tanah di dekat beliau basah. Hingga datanglah sahabat Bilal ra untuk mengumandangkan adzan shalat.
Ketika sahabat Bilal mengetahui keadaan Rasulullah saw yang sedang menangis. Bilal bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau menangis padahal Allah telah mengampuni seluruh dosa engkau yang telah lampau, dan seluruh dosa yang akan datang.”
Beliau menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur? Pada malam ini telah turun satu ayat. Kecelakaanlah bagi orang yang membacanya, dan tidak memikirkan kandungannya. ‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Dan, silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal’.” (Qs.Ali ‘Imran: 190).
4. Di nDalem Kasepuhan Ma’had Tee-Bee Surabaya, seluruh shantri dan jamaah diimbau untuk memiliki kebiasaan qiyamul lail, yakni menghidupkan kegiatan malam dengan mandi, shalat-shalat sunnah, dzikrullah, tilawah al-qur`an, dan muthala’ah ilmu pengetahuan. Seluruhnya dilakukan dengan cara ‘shantri mandiri aktif’ (sharitif), kecuali yang muqim di nDalem Kasepuhan, keseluruhan kegiatan dilakukannya secara berjamaah; yakni dalam Program Human Boarding Quantum and Compentency (HBQC).
Kesemuanya ini bertujuan untuk menghidupkan sunnah bangun malam, yang memang sangat berat untuk dilakukan.
Bila, seseorang merasa berat dan malas untuk bangun malam, maka segeralah meneliti dirinya; mungkin terdapat kesalahan, dosa dlahir maupun dosa batin. Kemudian cepat-cepatlah bertaubat dengan disertai kesungguhan kalbu (mujahadah). Niscaya, kalbunya akan kembali bercahaya. Sehingga tidak ada lagi yang mampu menghalangi niatnya untuk hadir dalam ‘majelis gerak thawaf rabbani’, dengan mendirikan qiyâmul-lail.

Pelajaran Yang Diambil
Shalat malam seorang mukmin kelak akan menjadi cahaya di akhirat. Sehingga seorang ibadurrahman tidak akan pernah meninggalkannya. Seorang hamba yang meninggalkan shalat malam, dia tidak dapat dikatakan sebagai hamba yang mencintai Allah jalla jalâluh.
Adalah, Sayyidusy Syekh Abbul Abbas Ahmad bin Muhammad at-Tijani ra sangat menganjurkan kepada para sahabat dan murid-muridnya, untuk melakukan shalâtul-lail.

“Kalau kamu merasa tidak enak badan, sakit atau lain sebagainya, usahakanlah bangun sebelum terbit fajar. Lalu mengerjakan shalat, meskipun hanya dua rakaat (walau secara singkat). Setelah itu mengerjakan shalat fajar dan shalat subuh. Tidak mengapa kamu mengundurkan wirid (aurad tijaniyah, red) sampai waktu dluha umpamanya” (Lihat Kitâb Bughyatul Mustafid, hal.388).

Pernah terjadi ada sebagian murid beliau yang meminta dispensasi, “Syekh, aku tidak mampu bangun sebelum terbit fajar. Malah seringkali aku terlambat mendirikan shalat, sampai matahari menjelang terbit. Aku sangat sulit untuk meninggalkannya.”
Syekh Ahmad Tijani menjawab, “Kamu seorang yang tidak pantas mengamalkan thariqah kami. Karena itu lepaskanlah wirid kami darimu” (Lihat Kitâb Bughyatul Mustafid, hal.385).
Syekh Ahmad bin Rifa’i ra juga sangat menekankan kepada para muridnya untuk membiasakan mendirikan shalâtul-lail.
Syekh Ali al-Khawwas ra memerintahkan para muridnya untuk berniat akan bangun malam, pada sore harinya. Bahkan, dengan niat itu saja sudah merupakan kebaikan dan mendapat pahala karenanya.
Ketiga guru kita tersebut di atas, benar-benar berkehendak untuk mengimplementasikan sabda Nabi saw,

“Tekunilah qiyâmul-lail. Karena sesungguhnya qiyâmul-lail itu kebiasaan kaum shalihin sebelum kalian, mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, mencegah dari perbuatan dosa, menebus kejelekan, dan mencegah penyakit dari tubuh” (Hr.Ahmad, Tirmidzi, Baihaqi, Ibnu Asakir, Thabrani, dan Ibnu Sunni).

Bangun malam (qiyâmul-lail) adalah identitas seorang ibadurrahman. Demikianlah kalbu seorang ibadurrahman telah dapat menjadi pelita, cahaya, dan sinar yang cemerlang; karena kelanggengannya mendirikan shalat malam. Kalbunya telah bercahaya, putih kemilau laksana mutiara. Sehingga dalam hidupnya, seorang ibadurrahman memiliki kalbu yang tenang, pribadi yang matang, satunya kata dengan perbuatan, dan limpahan rahmat-Nya yang terus didapatkan.
Seperti yang pernah terjadi di masa tabi’in, ada beberapa sahabat yang mempunyai sekali wudlu`, dari shalat isya` sampai shalat subuh. Mereka adalah: sahabat Sa’id bin Musayyab ra, Fudlail bin Iyadl ra, Wahib bin Wardi ra, dll.
Inilah para hamba Allah swt yang berperilaku ibadurrahman, karena dirinya ahli qiyâmul-lail. Maka, Allah swt memberikan keistimewaan yang utama.

“Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuknya, yaitu (bermacam-macam kenikmatan) yang menyedapkan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan (qiyâmul-lail)” (Qs.as-Sajdah: 17).

Mengingat qiyâmul-lail merupakan anjuran kepada segenap kaum mukminin, perlulah alfaqir tunjukkan beberapa strategi, supaya kita dapat melazimkan shalâtul-lail, insyâ Allah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
1. Lakukan tajdidul-wudlu’ (selalu memperbaharui wudlu’), utamanya setelah shalat isya` atau di saat mau tidur.
2. Perbanyak dzikrullah menjelang tidurnya, sehingga tertidur dalam kondisi dzikir.
3. Perut jangan terlalu kenyang.
4. Hindari makanan atau minuman yang haram dan syubhat, termasuk rizeki yang digunakan untuk memperolehnya.
5. Hindari perilaku maksiat dan dosa di siang harinya.
6. Perbanyak minum air putih di saat mau tidur, karena sunnatullahnya empat jam kemudian terasa ingin kencing. Insyâ Allah, lelapnya tidur tidak akan mampu menahan keinginan kencingnya.
Wahai saudaraku sesama muslim, renungkan firman-Nya,

“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Qs.al-Baqarah: 153). []



Sifat Ibadurrahman (4):


Takut Neraka

Karakteristik seorang ibadurrahman yang keempat, adalah terdapatnya perasaan ‘harap-harap cemas’ di dalam dirinya. Sebab dia selalu mengkhawatirkan keadaannya di sisi Allah swt kelak. Terlebih setelah mendengar firman-Nya,

“Dan, tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabb, adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan. Lalu, Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang dlalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut” (Qs.Maryam: 71-72).

Karena kenyataan itu merupakan masa depannya yang sebenarnya. Sehingga dia sedikit sekali melakukan tidur malam, dan berusaha seoptimal mungkin merebut dunianya untuk dijadikan fasilitas utama dalam memenuhi keinginannya tersebut. Seperti telah digambarkan di dalam al-qur`an,

“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah)” (Qs.adz-Dzariyat: 17-18).

Allah swt telah menyifatinya dan memberinya pahala terhadap seorang ibadurrahman.

“Para ibadurrahman itu (adalah): …Orang-orang yang berkata, ‘Wahai Rabb kami, jauhkanlah adzab Jahannam dari kami, sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.’ Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 65, 75-77).

Perasaan harap-harap cemas seorang ibadurrahman, semata-mata didorong oleh adanya rasa takut kepada Allah swt. Dia mencemaskan keadaannya di akhirat. Dia memikirkan rasanya kematian, karena kenyataan ini pasti akan dialaminya. Dia mengkhawatirkan keadaan amalnya tidak mencukupi kelak pada Hari Kebangkitan. Begitu juga dengan hisabnya. Masih harus menunggu lagi keputusan dari Allah swt. Apakah di surga? Ataukah harus melalui neraka lebih dahulu?
Tidak begitu muluk-muluk, seorang ibadurrahman selalu menyadari bahwa dirinya belum layak mendapatkan surga. Tetapi dirinya sangat takut dengan neraka Jahannam. Karena gambaran Jahannam itu adalah,

“…Yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (Qs.at-Tahrim: 6).

Adakah tempat yang lebih buruk ketimbang neraka Jahannam? Tidaklah kita takut dengan keadaan seperti ini? Oleh sebab, seorang ibadurrahman selalu merintih, berdoa, munajat, dan bertawajuh kepada Allah azza wa jalla, dengan rintihannya,

“Wahai Rabb kami, jauhkanlah siksa Jahannam dari kami. Sesungguhnya siksanya itu adalah kebinasaan yang kekal” (Qs.al-Furqân: 66).

Manusia harus berada di antara takut dan berharap, tidak boleh terlalu dikuasai harapan sehingga mereka merasa dirinya aman dari nerakanya Allah swt. Sebaliknya, mereka tidak dikuasai oleh perasaan takut, sehingga di dalam dirinya muncul perasaan putus asa dari rahmatnya Allah swt.
Dunia itu tidak kekal. Kehidupan seorang manusia juga tidak kekal. Manusia hanya sekadar tamu, karena dirinya adalah seorang musafir yang pasti akan melanjutkan perjalanannya, untuk mencapai tujuannya yang hakiki.
Sama-sama sebagai musafir, namun adakalanya salah di dalam memilih jalan. Karena mereka berani meninggalkan ‘pedoman perjalanan’, sehingga tidak sedikit para musafir itu mengalami kesesatan yang nyata. Demikianlah akhir dari sebuah perjalanan panjang yang melelahkan dalam kehidupan seorang manusia. Tetapi ternyata kenyataan pahitlah yang diterima, karena nerakalah tempat kembalinya. Realitas inilah yang sangat ditakutkan oleh seorang ibadurrahman.

Keteladanan
Ada beberapa perilaku yang dapat dijadikan teladan dalam kehidupan kita. Sehingga kita akan memiliki kekuatan iman dan tauhid, guna untuk diteladani bersama. Antara lain yang dialami:
1. Adalah seorang Ibnu Abi Maisarah, pemuda shalih yang senantiasa menangis tatkala handak tidur di kasurnya.
Selalu dia bergumam terhadap dirinya sendiri, “Sekiranya saja ibu tidak pernah melahirkan aku.”
Ibu pemuda itu mendengar apa yang digumamkan putranya. Lalu, si ibu menimpalinya, “Wahai puteraku, Allah telah berbuat baik kepadaku ketika menuntun dirimu kepada Islam.”
Ibnu Abi Maisarah menjawab, “Wahai ibuku, tapi Allah telah mengabarkan bahwa kita semua akan menghampiri neraka, dan tidak mengabarkan apakah kita bisa keluar dari sana.”
2. Rasulullah Muhammad saw adalah hamba Allah yang sudah pasti dosanya yang telah lalu dan yang akan datang akan diampuni oleh-Nya. Namun beliau senantisa berdoa kepada Allah swt supaya mendapat perlindungan-Nya dari siksa api neraka.
Di samping selalu membaca doa, “Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan berilah kami kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.”
Beliau juga mengajarkan doa ini kepada para sahabatnya,

“Ucapkanlah: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari siksa Jahannam, aku berlindung kepada Mu dari siksa kubur, aku berlindung kepada Mu dari cobaan al-Masihud Dajjâl, dan aku berlindung kepada Mu dari cobaan hidup serta mati’.” (Muttafaqun ‘alaih).

Doa ini selalu beliau ucapkan di setiap akhir shalat setelah membaca tasyahud, dan itu disunnahkan buat kita, agar kita mengamalkannya.
3. Nabi Isa putera Ibunda Maryam as pernah berkata, “Berapa banyak badan yang bagus, lisan yang fasih, wajah yang berseri, kelak berada di atas api neraka sambil berteriak-teriak kesakitan.”
Oleh karena Nabi saw biasa mengucapkan doa,

“Dan, aku memohon surga kepada Mu, dan apa-apa yang mendekatkan kepadanya; berupa perkataan atau perbuatan. Dan, aku berlindung kepada Mu dari neraka, dan apa-apa yang mendekatkan kepadanya; berupa perkataan atau perbuatan” (Hr.Ibnu Majah).

Beliau saw bersabda,

“Barangsiapa yang memohon surga kepada Allah tiga kali, maka surga berkata, ‘Ya Allah, masukkanlah dia ke surga.’ Dan, barangsiapa yang berlindung dari neraka tiga kali. Maka, neraka berkata, ‘Ya Allah, lindungilah dia dari neraka’.” (Hr.Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasâ`i, dan Ibnu Hibbân).

4. Begitu mencemaskan masa depan dirinya di sisi Allah swt. Sahabat Umar bin Khaththab ra pernah berkata, “Barangsiapa yang takut kepada Allah tidak terganggu oleh kesulitannya, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah tidak akan berbuat semaunya sendiri.”
Inilah sinyal kehati-hatian dari sahabat Umar atas tindakan manusia, yang mempunyai kecenderungan melampaui batas, dan selalu menuruti hawa nafsunya.
Tetapi seorang manusia tetaplah seorang hamba, yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan apa pun terhadap diri dan kehidupannya. Kesadaran tertingginya harus menerima dan mengakui, bahwa setelah hidup ada kematian. Setelah mati ada kehidupan barzah. Setelah barzah ada Hari Kiamat. Setelah kiamat ada peng-hisab-an amal. Setelah hisab ada surga dan neraka.
Bagi seorang mukmin pasti akan takut terhadap kondisi dirinya mengahadapi kenyataan tersebut. Dan, hanya orang-orang dungu lagi tolol yang tidak pernah memikirkan masa depannya di sisi Allah jalla jalâluh.
5. Syekh Hasan al-Basri ra, suatu ketika melewati sekelompok anak muda yang sedang tertawa terbahak-bahak. Beliau menyempatkan bertanya kepada mereka, “Wahai anak muda, mengapa kalian tertawa terbahak-bahak sedemikian rupa? Apakah kalian mengetahui akan menerima kitab kalian dengan tangan kanan atau tangan kiri?”
“Tidak,” Jawab salah seorang darinya.
Syekh bertanya, “Apakah kalian merasa yakin dapat menyeberangi shirath?”
“Tidak,” Jawabnya.
Syekh bertanya lagi, “Apakah kalian tahu akankah masuk neraka, atau selamat darinya?”
“Tidak,” Jawabnya.
“Lalu mengapa kalian berani tertawa terbahak-bahak?” Tanya Syekh Hasan, sampai-sampai para pemuda tersebut menangis histeris menyesali atas perbuatannya.
6. Adalah Sayyid Ali Ba Faqih ra, pernah memberikan nasehat kepada alfaqir, “Wahai anakku, janganlah kamu termasuk golongan orang-orang yang membicarakan neraka sambil tertawa. Gunakanlah waktu malammu untuk mengingat dosa-dosa yang kamu lakukan di siang harimu. Sambil terus-menerus menanyakan pada dirimu sendiri, sudahkah bertakwa kepada Allah? Dan, rasakan betapa pedih dan menderitanya menjadi penduduk neraka.”
Setelah Syekh berbicara, alfaqir memejamkan mata, di mana alfaqir seolah telah berada di neraka dengan segala siksaan dan kengerian. Dan, hanya berlindung pada kalimat Lâ ilâha illa-llâh, yang dibaca berulang-ulang, sambil terus memohon pertolongan-Nya.
Mulai saat itulah, alfaqir tidak pernah merasakan nikmatnya makan-minum, nikmatnya rekreasi, nikmatnya tidur, dan nikmatnya berkumpul dengan isteri. Di banding dengan puncak kenikmatan menatap ‘wajah’ Allah swt di akhirat nanti.

Pelajaran Yang Diambil

“Dan, tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabb, adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan. Lalu, Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang dlalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut” (Qs.Maryam: 71-72).

Firman Allah swt ini menegaskan, bahwa setiap manusia di antara kita akan menghampiri neraka. Tetapi Allah swt tidak pernah mengabarkan, bagaimana jalan keluar supaya selamat darinya?
Sementara kenyataan hidup seorang manusia sangat jauh dari merenungkannya. Bahkan kebanyakan dari umat manusia telah melupakan dan melalaikannya. Semata karena kesibukan-kesibukan yang dibuatnya sendiri. Mereka menganggap realitas dunianyalah yang mendesak untuk dipenuhinya. Sehingga mereka berkecenderungan mengabaikan akhiratnya. Inilah gaya hidup para hamba Allah, yang tidak dianugerahi menjadi seorang ibadurrahman.
Gaya hidup dan sikap hidup yang sangat jauh dari perilaku seorang ibadurrahman. Maka, manusia itu akan memiliki kecenderungan cinta dunia yang sangat melampaui batas (hubbud-dunya). Bila, hubbud-dunya sudah menghinggapi kalbunya dan merasuk syahdu ke dalam jiwanya. Sudah pasti mereka akan melalaikan kehidupan akhirat dan Hari Kiamat. Inilah pangkal kerusakan dunia.
Di mana seorang manusia akan berlaku buas, menghalalkan segala cara, yang kuat menindas yang lemah, merusak alam lingkungan hidupnya, dan serakah dalam memenuhi ma`isah kehidupannya. Mereka adalah orang-orang yang mengingkari ke-Mahabesaran Allah. Sehingga mereka tidak pernah taat dan merasa takut sedikit pun terhadap segala perintah dan larangan, yang telah ditetapkan-Nya dalam syariat-Nya.
Dinul Islam sangatlah ‘longgar’ atas pelaksanaan tradisi hukum dan tradisi syariahnya. Setiap manusia diberi kebebasan memilih dan berkehendak (free will), menjadi mukmin atau kafir. Namun kematian sajalah yang membatasi dan membedakan atas segalanya, dari kehidupan seorang manusia.
Silahkan manusia hidup menurut kehendaknya. Silahkan manusia mengikuti hawa nafsu sepuas-puasnya. Silahkan manusia menikmati kehidupan dunia ini sesukanya. Tapi ingat umur dan hidup manusia sangatlah terbatas. Dibatasi oleh sang waktu, yang selalu mengintai, yang sewaktu-waktu akan memenggal lehernya.
Keadaan yang sangat mencemaskan inilah, bagi seorang ibadurrahman selalu membuatnya gelisah akan ‘masa depannya’ di akhirat kelak. Dia tidak sanggup memejamkan matanya, dikala malam telah menyelimutinya. Dia tidak pernah merasakan enaknya makan, karena rasa hanya mampir sebentar dilidahnya. Dia sesak napas, bila mengingat bau anyirnya neraka, yang bahan bakarnya adalah para bangkai manusia pendurhaka. Sesekali, dia menghela napasnya, sambil bertanya pada dirinya, “Sudahkan aku ini menjadi orang yang bertakwa kepada Allah?” Dia tidak berani menjawabnya. Diam seribu bahasa. Jawabanya tampak pada tubuhnya yang menggigil. Dan detak jantungnya yang berubah menjadi cepat.
Seorang ibadurrahman di dalam hatinya telah terpatri sabda Nabi saw,

“Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, sekiranya kalian melihat apa yang pernah aku lihat. Niscaya kalian tertawa sedikit dan banyak menangis.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang engkau lihat?”
Nabi saw menjawab, “Aku pernah melihat surga dan neraka” (Hr.Muslim).

Wahai saudaraku! Janganlah menjadi hamba Allah yang lalai akan dirinya sendiri, yang tertipu oleh kesibukan dan repotnya urusan duniawi kalian. Karena dunia yang selalu kalian dambakan cepat atau lambat pasti akan sirna dan musnah.
Tinggalkanlah semua pikiran mengenai hal-hal yang pasti akan kalian tinggalkan. Dan, alihkan pikiran kalian kepada masa depan kalian sendiri di akhirat kelak. Sebab, sesungguhnya kalian telah diberitahu, dan telah mengerti, bahwa neraka adalah akhir yang mungkin kalian capai. Kemungkinan kalian masuk neraka, justru lebih pasti, sedangkan keselamatan kalian darinya, malah masih meragukan sekali.
Wahai saudaraku! Sebagai seorang ibadurrahman, tanamkanlah di hati kalian rasa takut terhadap masa depan kalian tersebut, sehingga kalian termotivasi untuk bersiap-siap menyelamatkan diri. Renungkanlah!? Kesengsaraan, ketika mendapatkan pahit-getirnya Hari Kiamat. []

Sifat Ibadurrahman (5):


Sederhana
Membelanjakan Harta

Allah swt telah menyifati seorang ibadurrahman, yang kelima, dengan sifatnya yaitu: sederhana di dalam membelanjakan harta bendanya. Seperti telah difirmankan-Nya,

“Para ibadurrahman itu (adalah): …Orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kebaikan. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 67, 75-77).

Seorang ibadurrahman tidak mesti miskin papa tanpa harta benda. Tetapi sebaliknya, banyak dari mereka justru termasuk orang-orang yang kaya raya. Mereka inilah yang oleh Allah swt disifati dengan,

“Lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan, dan tidak pula oleh jual beli; dari mengingat Allah” (Qs.an-Nûr: 37).

Seorang ibadurrahman sangat memahami dan benar-benar mempraktekkan hak dan kewajiban terhadap harta benda yang dimilikinya. Mereka adalah seorang hamba yang telah berhasil memadukan secara harmoni, antara “gerak thawwaf materi” dengan “gerak thawwaf ruhani”. Sehingga dikehidupannya benar-benar telah mengalami sinkronisasi kebutuhan, yang pada akhirnya mereka mempunyai dinamika kehidupan “gerak thawwaf rabbani”. Seperti telah menjadi seruan Allah swt terhadap para hamba-Nya yang beriman,

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta dan anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah” (Qs.al-Munâfiqûn: 9).

Bagi seorang ibadurrahman, proses kehidupan di dunia haruslah seimbang lagi sederhana dalam segala hal dan kesempatan. Seorang ibadurrahman adalah seorang hamba Allah swt yang profesional hidupnya. Di mana kehidupan dunianya, ditata sedemikian rupa, sehingga benar-benar menjadi fasilitas kehidupan akhiratnya.
Dia sebagaimana layaknya manusia yang lainnya, memiliki anak, isteri, dan harta benda. Tetapi seorang ibadurrahman tidak mudah terbuai dengan kesenangan-kesenangan sesaat (temporal). Karena di dalam benaknya selalu terpatri, bahwa setelah kehidupan dunia masih ada lagi kehidupan yang lebih kekal; dan dia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan dan harta miliknya di hadapan Sang Pemilik Kehidupan, Allah Jalla Jalâluh.
Keberadaan dirinya, kehidupannya, dan harta bendanya; merupakan sesuatu yang harus disyukuri, karena kesemuanya itu adalah anugerah dari Allah swt yang mesti dinikmatinya. Seorang ibadurrahaman senantiasa sadar, bahwa seluruh yang dimilikinya merupakan titipan saja dari Allah swt, agar dia mampu mengurusnya, dan pasti suatu saat akan dimintai pertanggungjawabannya.
Dari kesadarannya itulah, maka seorang ibadurrahman mempunyai sikap yang jelas terhadap harta benda yang dimilikinya.
Pertama, dia tidak mau kikir, bila suatu saat diberi kenikmatan Allah yang berupa limpahan harta benda.
Kedua, dia tidak mau bergaya hidup mewah dengan perilaku boros dan suka menghambur-hamburkan harta bendanya, bila suatu saat diamanahi Allah dengan kekayaannya. Karena dia memegang teguh wasiat Allah swt yang telah tertera di dalam Kitab Suci-Nya,

“Dan, berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, orang yang dalam perjalanan; dan, janganlah kalian menghambur-hamburkan (harta benda) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan; dan, setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabb-nya. Dan, jika kalian berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Rabb kalian yang kalian harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas. Dan, janganlah kalian jadikan tangan kalian terbelenggu pada leher kalian. Dan, janganlah kalian terlalu mengulurkannya, karena itu kalian menjadi tercela lagi menyesal” (Qs.al-Isrâ`: 26-29).

Oleh Rasulullah Muhammad saw, tipologi hamba Allah inilah yang hidupnya dalam kategori: sederhana, faqih pengetahuannya, dan selalu berkecukupan.
Diriwayatkan sahabat Hudzaifah ra, Nabi saw bersabda,

“Alangkah baiknya kesederhanaan di saat kaya. Alangkah baiknya kesederhanaan di saat miskin. Dan, alangkah baiknya kesederhanaan dalam beribadah” (Hr.Bazzar).

Sahabat Abu Darda` ra juga meriwayatkan, bahwa Nabi saw pernah bersabda,

“Di antara pengetahuan seseorang, adalah kesederhanaannya dalam hidupnya” (Hr.Ahmad).

Juga sahabat Ibnu Mas’ud ra meriwayatkan, Nabi saw pernah bersabda,

“Tidak akan kekurangan nafkahnya orang yang hidup sederhana” (Hr.Ahmad).

Inilah sebuah keyakinan yang diimani oleh seorang ibadurrahman, bahwa di dalam kehidupannya dia harus sederhana, mengambil jalan tengah dalam membelanjakan harta bendanya, melakukan saving dan investasi terhadap harta bendanya, menjauhi sifat ketergantungan kepada orang lain, dan selalu berkerja keras. Namun dia tetap memenuhi kewajiban-kewajiban syar’i-nya atas harta benda yang dimilikinya, seperti: menunaikan zakat, infak, shadaqah, dan jariahnya. Hal ini telah jelaskan oleh Allah swt dalam firman-Nya,

“Dan, mereka bertanya kepada kalian, apa yang mereka nafkahkan? Katakanlah! ‘Yang lebih dari keperluan’.” (Qs.al-Baqarah: 219).

Di sinilah Allah swt memuji salah seorang sahabat Anshar, yang jauh lebih mengutamakan saudaranya orang-orang Muhajirin, ketimbang dirinya sendiri.

“Dan, mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri (sahabat Anshar), sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan, barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Qs.al-Hasyr: 9).

“Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan ‘wajah Allah’ (keridlaan Allah). Kami tidak menghendaki balasan dari kalian (orang-orang Muhajirin) dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut azab Rabb kami, pada suatu hari yang pada hari itu orang-orang yang bermuka masam penuh kesulitan” (Qs.al-Insân: 9-10).

Keteladanan
Sebagai teladan (uswah) kita dalam hal kesederhanaan membelanjakan harta. Ada beberapa perilaku indah yang patut untuk diteladaninya, antara lain:
1. Imam al-Laits bin Sa’ad ra termasuk salah seorang muslim yang kaya raya.
Pendapatannya dalam setahun dapat mencapai delapan puluh ribu dinar. Tetapi dia tidak pernah terkena wajib zakat. Dikarenakan harta benda yang dimilikinya tidak pernah genap selama satu tahun. Di mana dia selalu menyedekahkan setiap kali harta itu terkumpul.
“Harta berasal dari Allah dan harus disalurkan kepada para hamba Allah,” demikian pendapatnya.
Dikisahkan, suatu hari ada seorang perempuan yang menemuinya untuk meminta sedikit madu. Seketika itu dia meminta tolong pelayannya untuk mengambilkan madu, guna diberikan kepada si perempuan tersebut. Tetapi dia memberinya dalam jumlah yang sangat banyak. Ada salah seorang rekannya yang berkomentar, “Perempuan itu meminta setetes dua tetes madu kepadamu, namun kamu memberinya sebejana.”
Imam Laist menjawab, “Dia meminta menurut kadar keperluannya, dan aku memberinya menurut kadar nikmat Allah yang diberikan kepadaku.”
Demikianlah Imam Laist benar-benar telah mampu mengamalkan sabda Nabi saw,

“Sesungguhnya Allah suka melihat pengaruh nikmat-Nya atas dirimu” (Hr.Tirmidzi dan Hakim).

Di samping juga mempraktekkan firman Allah swt,

“Dan, terhadap nikmat Rabb-mu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya” (Qs.adh-Dhuhâ: 11).

2. Adalah Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib ra, merupakan salah satu dari deretan sahabat Nabi saw yang dianugerahi kekayaan yang berlimpah.
Dalam kehidupan kesehariannya, dia mempunyai kebiasaan perilaku dermawan. Di mana setiap pengemis yang datang kepadanya tidak pernak ditolaknya. Suatu ketika dia dicela oleh seseorang yang hasud kepadanya, dengan mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang kikir.
Abdullah menjawab, “Sesungguhnya Allah memberikan suatu kebiasaan kepadaku, dan ada pula suatu kebiasaan yang membuat para hamba-Nya terbiasa dengan sesuatu. Allah biasa memberiku dan aku biasa memberi para hamba-Nya, dan aku takut jika kebiasaanku ini terputus. Sehingga Allah juga memutus kebiasaan-Nya terhadap diriku.”
3. Di jamaah nDalem Kasepuhan Tambak Bening, Surabaya namanya Musthafa Ahmad alHajj, selalu menangis bersama isterinya, bila tiba waktu sepertiga akhir malam, di saat shalâtul-lail. Mereka sangat takut dengan istidraj Allah swt.
Tidak hanya itu, tempat tidurnya yang bagus dan kursi tamunya, sampai arlojinya yang ber-merk; dibagikan kepada para tetangga dan para teman jamaahnya. Dia dan keluarganya sangat menikmati kesederhanaan dan kesahajaan. Segala sesuatu yang disedekahkan kepada orang lain, senantiasa dicarikan yang terbaik.
Suatu ketika puteranya (Muhammad Ghalib Abdurrahman, red) yang masih duduk di bangku SD, pernah bercerita kepada ibunya. “Buk, teman-teman itu banyak lho yang mobilnya tiga, mewah lagi.”
Ibunya menjawab dengan nada menghibur, “Sudahlah jangan biasakan melihat orang lain. Mestinya kamu harus bersyukur. Pergi dan pulang sekolah sudah di antar jemput, walau mobil kijang-mu ketinggalan tahun, syukuri sajalah. Panas tidak kepanasan, hujan tidak kehujanan, dan terhindar dari debu.”
Biasa dipanggil mbah Haji Syahlan, juga jamaah nDalem Kasepuhan, suatu hari mengalami musibah kecil. Di mana mobil yang dia kendarai, ditabrak vespa dari belakang. Anak muda yang mengendarai vespa sangat marah, karena merasa vespanya penyok. Padahal dilihat dari kesalahannya, anak muda itu yang salah karena menabrak dari belakang. Semestinya yang marah mbah Syahlan, tapi justru tidak marah, malah bertanya, “Mas, ada yang rusak?”
Sambil membentak pemuda itu berkata, “Saya minta ganti rugi lima puluh ribu rupiah.”
Tanpa banyak kata, mbah Syahlan memberinya delapan puluh ribu rupiah. Akhirnya, pemuda tersebut ngeloyor sambil menahan malu.
Antara Musthafa Ahmad alHajj dan Muhammad Syahlan alHajj sama-sama takut terhadap perilaku kikir, sehingga di sisi Allah mereka tidak mendapatkan keberuntungan. Seperti difirmankan Allah swt,

“Dan, siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Qs.al-Hasyr: 9).

Pelajaran Yang Dapat Diambil
Sebagai seorang ibadurrahman, dia sangat takut dengan firman Allah swt,

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri, yaitu: Orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain berbuat kikir (1); (Orang-orang yang) menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka, dan Kami telah menyediakan bagi mereka siksa yang menghinakan (2); Juga orang-orang yang menafkahkan harta bendanya dengan riya` kepada manusia (3); dan, orang-orang yang tidak beriman kepada Allah serta Hari Akhir (4). Barangsiapa yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya” (Qs.an-Nisâ`: 36-38).

Ayat di atas telah memberikan sifat yang tercela kepada seorang hamba Allah yang memilikinya. Di mana Allah swt telah menyifatinya dengan perilaku kikir, di saat yang sama Allah juga telah menyifatinya dengan perilaku sombong lagi riyâ`.
Belum banyak yang sadar, bahwa kaum muslimin Indonesia sebenarnya masih banyak yang terhinggapi penyakit kikir untuk urusan-urusan kewajiban dinul Islam. Sebaliknya, sangat boros untuk urusan-urusan pemenuhan hawa nafsu.
Sudah saatnya kita melakukan introspeksi diri, guna mengaca eksistensi kepribadian keislaman kita. Sudahkah melakukan tindakan-tindakan penyelamatan dan tindakan-tindakan efesiensi? Hal ini penting, karena harta benda yang kita miliki sebenarnya hanyalah sekadar fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Dan, harta benda itu memang titipan dari-Nya, adalah kewajiban kita untuk menunaikan akan hak-hak atas harta benda yang kita miliki.
Potret seorang ibadurrahman, adalah seorang hamba Allah yang benar-benar menjaga penggunaan harta bendanya, antara boros dan kikir. Dia selalu mengambil jalan tengah dalam segala hal dalam aspek kehidupannya. Jalan tengah inilah akhlak dinul Islam yang sebenarnya.
Renungkan teguran Rasulullah Muhammad saw kepada sahabat beliau, Sa’ad ra yang sedang menunaikan wudlu.

“Janganlah kamu berlebih-lebihan dalam menggunakan air!”
Sa’ad bertanya, “Apakah ada istilah berlebih-lebihan dalam menggunakan air?”
Beliau menjawab, “Benar, meskipun kamu berada di sungai yang mengalir.”
Ditegaskan beliau, “Dinul Islam itu mudah, maka barangsiapa mencoba-coba untuk mengalahkannya pasti dinul Islam dapat mengalahkannya” (Dari Abu Hurairah ra, Kitâb Mukhtârul Ahâdis, no.614, hal.71).

Nabi saw juga bersabda,

“Hemat di dalam berbelanja merupakan sebagian dari penghidupan. Bersikap kasih-sayang terhadap orang lain merupakan sebagian dari akal. Dan, bertanya dengan cara yang baik merupakan sebagian dari pengetahuan” (Hr.Thabrani, dari Ibnu Umar ra). []



Sifat Ibadurrahman (6):


Memiliki Tauhid Kuat

Dinul Islam terdiri dari perintah dan larangan, yang secara esensial keduanya merupakan perintah untuk dikerjakan dari Allah swt. Yang pertama berupa perintah untuk mengerjakan sesuatu. Dan yang kedua adalah perintah untuk meninggalkan sesuatu. Seorang ibadurrahman benar-benar menaati seluruh perintah Allah swt. Karena dia memiliki kedalaman takwa dan kekuatan tauhid, sehingga akidahnya terpancang kokoh dalam kehidupan kesehariannya.
Perilaku tauhid yang kuat menjadikan seorang ibadurrahman memiliki keunggulan pribadi, dibandingkan dengan manusia pada umumnya. Jiwanya selalu bangkit (khurûj). Pikirannya mengalami progresifitas. Kalbunya senantiasa melakukan gerak thawaf rabbani. Tindakannya menunjukkan keuletan dan profesional. Kesemuanya ini merupakan sifat dasar bagi para hamba yang akan dipilih Allah swt, di mana pemilik ruhani yang indah inilah, yang akan dikelompokkan ke dalam ibadurrahman.

“Para ibadurrahman itu (adalah): …Orang-orang yang tidak menyembah sesembahan yang lain, beserta Allah…Mereka orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 63&68, 75-77).

Seorang ibadurrahman kalbunya disediakan untuk persinggahan Allah azza wa jalla, agar dirinya dapat selalu menthawafi-Nya setiap saat. Hidupnya benar-benar diikhlaskan hanya untuk-Nya. Keadaan kalbunya senantiasa diupayakan supaya tidak direbut oleh kekuatan-kekuatan tandingan Allah swt.
“Mâ kâna hammun ghairu-llâh, wa lâ yakûna muhimun ‘alâ syai`in illa-llâh”; Tidak ada cita-cita selain Allah, dan tidak ada yang dipentingkan terhadap segala sesuatu, kecuali Allah,” demikian nasehat Syekh Abul Fath Abdurrahman al-Baghdadi ra kepada alfaqir.
Dikatakan Syekh Ahmad Zaraqi Abdullah ra,

“Seorang ibadurrahman di dalam kehidupannya mempunyai sikap tauhid yang jelas dan kuat, ‘Aku percayakan kepada Rabb-ku yang Mahaagung dan tidak ada yang singgah di kalbuku, selain Allah’.”

Seperti telah diajarkan Rasulullah saw kepada sahabat Ibnu Abbas ra,
“Wahai anak muda! Aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat (tauhid): (1)Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu; (2)Jagalah Allah, niscaya kamu mendapatkan-Nya ada dihadapanmu; (3)Jika kamu meminta, maka mintalah kepada Allah; (4)Jika kamu memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah! Bahwa sekiranya umat ini bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu memberikan manfaat kepadamu; kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah bagimu. Dan, sekiranya mereka berkumpul untuk menimpakan madlarat kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu menimpakan madlarat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah bagimu. al-Qalam telah diangkat dan lembaran-lembaran kita telah mengering” (Hr.Tirmidzi).

Seorang ibadurrahman benar-benar telah membebaskan dirinya dari segenap ikatan-ikatan, dia hanya diikat oleh ma’rifatullâh dan mahabbatullâh. Baginya hidup itu, “Tidak mempunyai apa-apa, dan tidak dimiliki oleh siapa-siapa, kecuali Allah;” lâ yumlik, wa lâ yumlak, illa-llâh.
Dia sangat sadar, bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah yang mutlak. Yang Mahaawal, Mahaakhir, Mahadhahir, dan Mahabatin. Seluruh yang mewujud di dunia ini terjadi, jika Allah menghendakinya. Semata-mata karena Allah segala yang terjadi di kehidupan ini ada; lâ ilâha illa-llâh, al-awwâlu wal-âkhiru wadh-dhâhiru wal-bâthinu, in-syâ`allâh, mâ syâ`allâh.
Seperti telah disabdakan Nabi saw,

“…Dan, relalah dengan segala apa yang telah diberikan Allah kepadamu, niscaya kamu akan menjadi orang yang paling kaya…” (Hr.Ahmad, dari Abu Hurairah ra).

Adalah Sayyidusy Syekh Abbul Abbas Ahmad bin Muhammad at-Tijani ra senantiasa mewasiatkan kepada para muridnya, supaya tetap mengandalkan Allah swt semata dalam segala kebutuhannya.
Demikian halnya, Syekh Ibnu Atha’ilah al-Iskandari ra menasehatkan, “Tidak mengandalkan makhluk adalah merupakan kesenangan ahli thariqah, dan identitas kaum ahli hakikat.”

Tauhid Itu Benteng
Dinul Islam datang guna membebaskan umat manusia dari perbudakan dan penyembahan kepada selain Allah swt. Ia datang untuk mengajak pada sikap dan perilaku tauhid, umat manusia dibuat aman di dalam benteng tauhid. Hal itu tampak dengan tegas pada ajaran dinul Islam yang telah nyata-nyata menentang prinsip-prinsip syirik, yang akan berakibat pada pembelengguan kreatifitas dan hilangnya kemerdekaan umat manusia di dalam kehidupannya.
Seorang ibadurrahman sadar dan mengetahui, bahwa seorang hamba yang menyembah selain Allah swt. Itu lebih dikarenakan ketololan dan dorongan alami dari dalam dirinya, yang pada umumnya lebih cepat mempercayai adanya sebab yang menjadi penyebab atas suatu fenomena (pengaruh gejala).
Untuk itu bagi seorang ibadurrahman telah menjadikan para nabi dan para rasul, khususnya Rasulullah Muhammad saw, sebagai pemandunya demi kebenaran dan kesempurnaan perjalanan ruhaninya (suluk) kepada Allah swt. Disebabkan peran fungsional para nabi dan para rasul, khususnya Rasulullah Muhammad saw, adalah membebaskan umat manusia dari cengkeraman syirik (politheism) dan penyembahan berhala (paganism).
Kalimat lâ ilâha illa-llâh (Tidak ada sesembahan yang benar, selain Allah saja yang mutlak, red), membuktikan apa yang telah alfaqir terangkan di atas. Maksudnya, tidak adanya sesuatu yang patut disembah selain Allah swt, telah menjadi bukti nyata akan keberadaan Sang Pencipta, yang ini telah diakui oleh segenap logika sehat umat manusia.
Di sinilah bila nalar seorang hamba itu sehat, maka secara otomatis akan menerima keesaan-Nya. Oleh karena seorang ibadurrahman menjatuhkan pilihannya pada implementasi kalimat tauhid dalam hidup dan kehidupan kesehariannya. Karena dia tidak ingin digolongkan pada kelompok para hamba yang akalnya kurang waras, dan dijamin bakal mengalami kerugian dunia dan akhiratnya.

Keteladanan
Mengenai kuatnya perilaku tauhid ini ada beberapa teladan yang dapat ditiru, guna diambil manfaatnya untuk kemudian dijadikan referensi (rujukan) sikap keberagamaan keseharian kita. Mereka antara lain:
1. Zaid bin Haritsah ra adalah salah seorang sahabat Nabi saw, yang dapat dijadikan teladan mengenai perilaku tauhidnya yang sangat kuat.
Suatu ketika dalam perjalanan dia di hadang orang Kurdistan yang hendak membunuhnya. Sahabat Nabi tersebut tidak gentar, apalagi takut. Karena dia telah memiliki kekuatan tauhid rububiah, seperti yang telah diajarkan dinul Islam, “Tidak ada yang mampu membunuh, kecuali Allah. Tidak ada yang dapat menolong selain Allah.”
Akhirnya, dia mempunyai satu permintaan supaya diperkenankan shalat sunnah dua rakaat sebelum dibunuh, dan permintaan itu dikabul si Kurdistan.
Selesai shalat sahabat tersebut terus berdoa, sebagai refleksi perilaku tauhid uluhiah-nya, dengan mengucapkan,

“Ya Allah, wahai Dzat yang Mahamengasihi, wahai Dzat yang memiliki ‘Arsy yang mulia, yang Memulai, yang Mengembalikan, yang berbuat apa yang Dia kehendaki. Aku memohon kepada Mu dengan cahaya Dzat Mu yang memenuhi tiang-tiang ‘Arsy Mu. Dengan kekuasaan Mu yang Engkau kuasa mengalahkan semua makhluk Mu. Dengan rahmat Mu yang memenuhi segala sesuatu, tidak ada sesembahan selain Engkau. Dengan rahmat Mu aku memohon pertolongan. Wahai Dzat yang Mahapenolong terhadap orang-orang yang memohon pertolongan. Tolonglah aku.”
Di luar dugaan!? Di saat si Kurdistan hendak mengayunkan tombaknya, terlebih dahulu dia dibunuh oleh kelebatan bayangan seseorang yang datang secara tiba-tiba sambil menunggang kuda.
Si penunggang kuda itu berkata kepada Zaid, “Ketahuilah wahai Zaid! Sesungguhnya tidaklah ada seseorang yang berdoa dengan doamu itu, melainkan dikabulkan oleh Allah swt pada saat itu juga.”
Setibanya di Madinah, kejadiaan yang menakjubkan itu diceritakan kepada Nabi saw. Dan, Nabi saw bersabda, “Wahai Zaid, sesungguhnya Allah telah mengajarkan asma-Nya yang Mulia kepadamu. Bila dibaca tentu dikabulkan. Bila meminta dengannya, pasti diberi.”

2. Abu Darda’ ra adalah sahabat Nabi saw yang memiliki perilaku tauhid kuat lagi bersifat mukhlis. Suatu ketika mendapatkan ujian dari Allah swt, di mana kampungnya mengalami kebakaran yang sangat hebat. Pada saat terjadi kebakaran sahabat Nabi tersebut tidak berada di rumah.
Ada tiga orang yang memberikan informasi mengenai terbakarnya kampungnya. “Ya Abu Darda’, rumah-mu ikut terbakar.”
Di jawab oleh Abu Darda’, “Allah tidak akan melakukan yang demikian.”
Inilah sikap tauhid seorang Abu Darda’ yang tetap husnudlan dengan Allah swt. Karena dia yakin dengan apa yang telah diajarkan baginda Nabi saw kepadanya mengenai sebuah doa nubuwah,

“Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku. Tidak ada ilah selain Engkau, dan kepada Mu aku berserah diri. Engkau adalah Rabb ‘Arsy yang agung. Tidak ada daya upaya dan kekuatan, kecuali atas pertolongan Allah yang Mahatinggi lagi Mahaagung. Apa yang dikehendaki Allah menjadi kenyataan, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak bakal menjadi kenyataan. Aku mengetahui, bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu. Dan, Allah dengan sifat ilmu-Nya dapat menguasai segala sesuatu dan dapat menghitung segala yang ada. Ya Allah, aku berlindung kepada Mu dari kejahatan diriku dan dari kejahatan segala binatang yang Engkau kuasai. Sungguh Rabb-ku (memberikan hidayah) agar tetap di jalan yang lurus.”
Abu Darda’ memberi tahu kepada ketiga orang itu, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa membaca doa di atas setiap siang dan malam, maka tidak akan ditimpa marabahaya sedikit pun.’ Padahal aku secara mudawwamah telah mengamalkannya.”
Kemudian datang orang yang keempat menginformasikan, “Ya Abu Darda’, setiap kali api akan menjilat rumahmu langsung padam.” (Hr.Thabrani).

3. Musthafa Ahmad alHajj, seorang shantri Ma’hâdul ‘Ibâdah al-Islâmi Tambak Bening Surabaya Indonesia (MIITSI), mobil kijangnya pernah dibobol pencuri di Pasar Turi Surabaya.
Dia sangat keheranan, mengapa yang diambil pencuri itu justru barang-barang yang akan disedekahkan kepada fakir miskin, yang nilainya tidak seberapa mahal, cuma Rp.1.600.000,00.
Sedangkan barang-barang lain yang lebih mahal tidak diambilnya. Dia bergumam dalam hatinya, “Ini Allah menguji aku. Ya Allah, kuatkanlah imanku.”
Berceritalah dia kepada isterinya mengenai kejadian tersebut, “Dik, barang-barang yang kita beli untuk dibagi-bagikan itu telah diambil pemiliknya.”
Isterinya menjawab, “Baguslah kalau begitu, kita tidak repot-repot membagikannya.”
Inilah dialog tauhid yang indah karena tetap husnudlan dengan Allah swt.
Ternyata esok harinya telah diganti oleh Allah swt dengan beberapa kali lipat dari nilai Rp.1.600.000,00. Sehingga dia dapat bersedekah lebih banyak lagi.

Pelajaran Yang Diambil
Kuatnya tauhid akan membawa kepada indahnya kebahagian hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Oleh karena seorang ibadurrahman benar-benar menempa pribadinya supaya memiliki kekuatan tauhid. Sebab seorang ibadurrahman sangat berhasrat mendapatkan kebahagiaan hidupnya, baik ketika masih di dunia terlebih setelah kematiannya.
Untuk itu mari kita renungkan pernyataan tauhid yang suci dari seorang ulama di jaman Nabi Yunus as:

“Dengan menyebut asma Allah, segala yang terjadi karena kehendak Allah, tidak ada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah. Segala yang terjadi karena kehendak Allah, setiap kenikmatan datangnya dari sisi Allah. Segala yang terjadi karena kehendak Allah, kebaikan itu seluruhnya berada di tangan Allah. Segala yang terjadi karena kehendak Allah, tidak ada yang dapat menolak kejahatan melainkan dengan pertolongan Allah” (Lihat Kitâb az-Zuhdu, yang ditulis Imam Ahmad bin Hambal ra). []




















Sifat Ibadurrahman (7):


Menghormati Kehidupan

Dinul Islam telah mengajarkan kepada kaum muslimin, bahwa diturunkannya risalah langit yang berupa syariat Islam, tidak sekadar untuk menjaga dinul Islam dan mengejawantahkan akidah Islam. Namun syariat luhur itu diharapkan juga mampu menjaga darah dan jiwa umat manusia, tanpa terkecuali.
Bahkan lebih dari itu, seorang ibadurrahman harus berupaya mengimplementasikan nilai-nilai ‘hak-hak asasi manusia’ dalam pengertian yang sebenarnya, seperti: menjaga kehormatan, menjaga kesucian, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta benda. Demikianlah hak-hak kehidupan seorang hamba yang harus tetap dijaga dan dipertahankan, sebagai refleksi dari perilaku penghormatan terhadap kehidupan seorang manusia. Sebagaimana Allah swt telah berfirman,

“Para ibadurrahman itu: …Tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan (alasan) yang benar… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 63&68; 75-77).

Dinul Islam datang sebagai risalah yang membawa syariat pengharaman atas penumpahan darah, dan melarang seseorang melanggar hak hidup setiap jiwa yang telah dirahmati-Nya dengan kehidupan; kecuali semata-mata memang dibenarkan oleh syara’.
Secara substansial syariat Islam telah menegaskan, bahwa setiap kehidupan jiwa seseorang mendapat perlindungan dari tradisi hukum Islam. Oleh karena tradisi al-qur`an menyertakan, perilaku membunuh dengan tindakan syirik kepada Allah swt. Dan, Nabi saw juga telah menegaskan,

“Mencaci maki seorang muslim itu fasik, membunuhnya adalah kafir” (Muttafaqun ‘alaih).

Jiwa yang terlindungi adalah jiwa yang diharamkan untuk dibunuh. Itulah jiwa yang telah menerima dan mengucapkan, “Lâ ilâha illa-lâh, Muhammadur rasûlullâh.” Jiwa inilah yang darah, harta benda, dan hidupnya terlindungan oleh syara’.

“Setiap muslim atas muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya” (Hr.Muslim dan Ahmad).

Termasuk jiwa yang terlindungi, antara lain: non-muslim yang mengikat perjanjian dengan umat Islam (penguasa muslim), seorang non-muslim yang telah mendapatkan perlindungan dari seorang muslim, dan setiap orang yang berdamai dengan kaum muslimin serta patuh kepada mereka.

“…Dan, jika mereka tidak memerangi kalian serta mengemukakan perdamaian kepada kalian. Maka, Allah tidak memberi jalan bagi kalian (untuk menawan dan membunuh) mereka” (Qs.an-Nisâ`: 90).

Telah disabdakan Nabi saw,

“Barangsiapa yang membunuh orang (non-muslim) yang terikat perjanjian damai, maka dia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga itu tercium dari jarak perjalanan selama empat puluh tahun” (Hr.Bukhari).

Dalam sabdanya yang lain,

“Tidak diperbolehkan darah seseorang yang bersaksi, ‘bahwa tiada ilah selain Allah dan aku adalah Rasulullah’, kecuali karena salah satu dari tiga hal: (1)Perempuan bersuami yang berzina; (2)Jiwa yang dibalas dengan jiwa; dan (3)Orang yang meninggalkan agamanya (dinul Islam) lagi memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin” (Hr.Bukhari dan Muslim).

Tradisi hukum Islam dan tradisi yurisprodensi Islam sangat mengecam tindakan pembunuhun yang dilakukan secara sengaja, oleh siapa pun.

“…Bahwasanya, barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi. Maka, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan, barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya” (Qs.al-Mâ`idah: 32).

Secara khusus, al-qur`an juga melarang pembunuhan sesama mukmin.

“Dan, tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tidak sengaja” (Qs.an-Nisâ`: 92).

Tetapi ‘tidak sengaja’ bukan berarti dengan mudah seseorang dapat menghindar dari tanggungjawabnya, atas perilaku pembunuhan yang telah dilakukannya. Maka, al-qur`an mengharuskan puasa dua bulan berturut-turut sebagai penggantinya (kaffarah). Sehari gagal, maka haruslah diulanginya dari awal. Sebab hal ini sebagai wujud taubat kepada Allah swt.

“Maka, hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah” (Qs.an-Nisâ`: 92).

Sebaliknya, bila pembunuhan itu dilakukan secara sengaja terhadap seorang mukmin,

“…Maka, balasannya adalah neraka Jahannam. Dia kekal di dalamnya. Dan, Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan siksa yang besar baginya” (Qs.an-Nisâ`: 93).

Seorang Ibadurrahman itu bijaksana
Berdasarkan realitas dari beberapa dalil naqli tersebut di atas, maka seorang ibadurrahman sangat hati-hati, teliti, dan waspada; sebelum mengambil suatu tindakan syara’. Sehingga dalam berperilaku dia santun lagi bijaksana.
Ada beberapa sikap bijaksana seorang ibadurrahman, di dalam mengejawantahkan dalil-dalil naqli yang membahas mengenai pembunuhan: (a).Perempuan bersuami yang berzina; (b).Membunuh dengan sengaja; dan (c).Orang murtad.
(a).Perzinahan yang dilakukan perempuan yang bersuami, harus dikuatkan dengan persaksian empat orang saksi, yang melihat perbuatan zinanya secara langsung. Atau, perempuan itu membuat pengakuan langsung di hadapan hakim Islam. Atau, perempuan tersebut membuat pernyataan pengakuan atas perbuatannya kepada penguasa muslim. Dan, hal itu harus diulanginya sampai empat kali, berturut-turut. Inilah dasar keputusan untuk menjatuhkan hukuman mati, terhadap perempuan pezina tersebut.
Seorang ibadurrahman mengikuti prosedur syar’i, di mana perseorangan tidak dapat membuat keputusan sendiri atas perilaku pembunuhan, terhadap orang lain. Hal ini sangat berbahaya dalam kelangsungan hidup bermasyarakat.
Seorang ibadurrahaman mengetahui, barangsiapa yang melakukan pengambilan keputusan secara perseorangan, maka apa yang telah dilakukannya itu bukan didasarkan atas kecemburuan (ghirah) terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah swt. Sebaliknya, perbuatan yang dilakukannya itu semata-mata taqlid buta (ikut-ikutan) yang diatas-namakan kepada dinul Islam. Inilah realitas yang banyak terjadi di negeri ini. Sangat memalukan.
Jadi, seorang ibadurrahman sangatlah hati-hati di dalam mengejawantahkan tradisi hukum Islam, semata karena dia menghendaki segenap perilakunya didasarkan atas kehendak Allah, kejernihan berpikir, dan kebersihan kalbu. Bukan merampas hak orang lain dengan mengatasnamakan dinul Islam. Inilah kebejatan nafsu para manusia yang terkutuk, semata-mata menutupi kemunafikannya.
(b).Dinul Islam telah memberikan prinsip dasar terhadap seseorang yang membunuh dengan sengaja, “Satu nyawa dibalas dengan satu nyawa pula.” Inilah qishash.

“Dan, dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal; supaya kalian bertakwa” (Qs.al-Baqarah: 179).

Allah swt telah melarang,

“Dan, janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan, barangsiapa dibunuh secara dlalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya. Tetapi janganlah ahli warisnya itu melampaui batas dalam membunuh…” (Qs.al-Isrâ`: 33).

Namun seorang ibadurrahman akan memilih untuk memaafkan kepada orang yang membunuhnya, atau dia juga akan memaafkannya bila dia menjadi ahli waris korban pembunuhan.

“Maka, barangsiapa mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik. Dan, hendaklah (yang diberi maaf) membayar (denda) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kalian dan suatu rahmat” (Qs.al-Baqarah: 178).

(c).Seseorang yang murtad (pindah agama) dari Islam darahnya adalah halal. Tetapi seorang ibadurrahman mendukung pendapat yang mengatakan, “Hukuman mati tidak dijatuhkan kepada orang yang murtad karena membela dirinya, dan tidak terang-terangan dalam kemurtadannya itu. Dan, hisabnya terserah kepada Allah swt.”
Seorang ibadurrahman lebih memilih pendekatan memanusiakan manusia di dalam mengaktualisasikan tradisi hukum Islam, yakni memberikan nasehat supaya cepat-cepat taubat dan segera kembali jalan dinul Islam yang diridlai; atau mengajaknya dialog guna menemukan latar belakang masalahnya; atau melakukan pendekatan-pendekatan tazkiyatun-nafs yang bersifat intuition quotient (In-Q) dan holistic quotient (HQ).

Islam Menghormati Jiwa manusia
Pembunuhan merupakan masalah yang besar dalam kehidupam seorang hamba Allah. Seorang manusia tidak diperkenankan untuk main hakim sendiri, dalam melakukan eksekusi, malainkan harus diserahkan kepada hakim melalui proses pengadilan, ada pembacaan dakwaan, dan ada pembelaan. Tetapi pada prinsipnya dinul Islam telah mengharamkan penumpahan darah, baik darah orang Islam maupun non-muslim yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin.
Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup dan melangsungkan kehidupannya, hal itu tidak boleh diabaikan apalagi melakukan pelanggaran atasnya, dinul Islam mengutuk perbuatan tersebut. Meskipun terhadap anak-anak balita, bahkan janin yang dikandung, juga mendapat hak yang sama. Sebagaimana layaknya hak pada manusia dewasa. Maka, hukuman yang dijatuhkan karena tindak kejahatan terhadap anak kecil juga sama dengan hukuman yang dijatuhkan karena tindak kejahatan terhadap orang dewasa.
Demikianlah cara dinul Islam menghormati jiwa seorang manusia. Bahkan, dinul Islam juga melarang seseorang untuk membunuh dirinya sendiri (bunuh diri, red).

“Dan, janganlah kalian membunuh diri kalian. Sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepada kalian” (Qs.an-Nisâ`: 29).

Telah disabdakan Nabi saw,

“Barangsiapa yang terjun dari sebuah gunung hingga membunuh dirinya, maka dia berada di dalam neraka Jahannam; yang juga terjun di dalamnya, kekal dan dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Barangsiapa menelan racun hingga membunuh dirinya, maka racunnya itu berada di tangannya dan dia menelannya di neraka Jahannam, kekal dan dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Barangsiapa bunuh diri dengan sepotong besi, maka sepotong besi itu ada di tangannya seraya memukuli dirinya dengan besi itu di dalam neraka Jahannam, kekal dan dikekalkan di dalamnya selama-lamanya” (Hr.Bukhari dan Muslim).

Beliau saw juga bersabda,

“Orang yang mencekik dirinya sendiri hingga mati, maka dia juga akan mencekik dirinya di neraka. Barangsiapa yang membunuh dirinya, maka dia juga akan membunuh dirinya di neraka. Barangsiapa yang menceburkan dirinya hingga mati, maka dia juga akan menceburkan dirinya di neraka” (Hr.Bukhari).

Inilah ketetapan dinul Islam yang harus diimani dan ditaati oleh kaum mukminin. Karena itu janganlah sekali-kali kita melakukan pembunuhan, dan jangan pula ikut membantu dalam proses pembunuhan, meski hanya berupa penggalan kata-kata yang dapat memprovokasi lahirnya pembunuhan.
Kiranya tepatlah kita panjatkan doa nubuwah, yang pernah dipakai Nabi saw di saat Perang Uhud.

“Ya Allah, segala puji bagi Mu. Ya Allah, tidak ada yang dapat memungut apa yang Engkau hamparkan, tidak ada yang dapat menghamparkan apa yang Engkau pungut. Tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepada orang yang Engkau sesatkan, dan tidak ada yang dapat memberi kesesatan kepada orang yang Engkau beri petunjuk. Tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau berikan. Tidak ada yang dapat mendekatkan apa yang Engkau dekatkan.
Ya Allah, hamparkanlah kepada kami dari barakah Mu, rahmat Mu, karunia Mu, dan rizeki Mu.
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kenikmatan yang kekal kepada Mu, yang tidak berubah dan habis.
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pertolongan kepada Mu di saat lemah, dan keamanan pada saat ketakutan.
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari kejahatan yang Engkau berikan kepada kami dan kejahatan yang Engkau tahan dari kami.
Ya Allah, buatlah kami mencintai iman dan buatlah iman itu bagus di dalam hati kami. Buatlah kami membenci kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan. Jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mengikuti jalan kebenaran.
Ya Allah, matikanlah kami dalam keadaan muslim dan hidupkanlah kami dalam keadaan muslim. Himpunlah kami bersama orang-orang shalih tanpa ada kehinaan dan bukan dalam keadaan mendapat cobaan.
Ya Allah, musuhilah orang-orang kafir yang mendustakan para rasul Mu dan menghalangi manusia dari jalan Mu. Berikanlah siksaan dan adzab Mu terhadap mereka.
Ya Allah, musuhilah orang-orang kafir yang telah diberi al-Kitab. Engkau adalah sesembahan yang benar” (Hr.Bukhari dan Ahmad).

Rasulullah saw telah memberikan peringatan agar umat Islam tidak lagi menghidupkan tradisi jahiliah, yakni saling bermusuhan dan saling membunuh. Maka, secara khusus beliau saw berkhutbah kepada 114.000 ribu kaum muslimin pada haji wadâ`-nya,

“Janganlah kalian kembali menjadi kafir sesudahku, sehingga sebagian di antara kalian memenggal leher sebagian yang lain.” []




Sifat Ibadurrahman (8):


Menjauhi Zina

Dinul Islam tidak sekadar menjaga ad-dîn dan akidah serta menjauhkan para hamba Allah ta’ala dari perilaku syirik. Tetapi Islam sebagai sebuah risalah yang paripurna juga memberikan aturan main (nidham) yang utuh buat umat manusia, agar mereka hidup dengan tentram dan sejahtera. Salah satunya adalah, dinul Islam menjaga kehormatan jiwa dan menjaga keturunannya supaya tetap mulia, sebagai seorang manusia bukan sebagai binatang. Yang mana hal itu dibuktikannya dengan diharamkannya zina beserta segala yang memfasilitasinya. Allah berfirman,

“Para ibadurrahman itu: …Tidak berzina… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 68; 75-77).


Menurut Allah azza wa jalla hamba yang terpilih yang disebut ibadurrahman, dia tidak melakukan dosa besar, yakni berbuat zina. Dikarenakan Allah jalla jalâluh telah mengharamkannya, yang hal itu telah dinyatakan langsung di dalam Kitab Suci-Nya.

“Dan, janganlah kalian mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan yang keji dan suatu jalan yang teramat keji” (Qs.al-Isrâ`: 32).

Berdasarkan pada naqliah Allah swt inilah, dinul Islam mengharamkan seluruh aktifitas yang dapat menimbulkan rangsangan birahi seksual seorang manusia, baik langsung maupun yang tidak langsung. Apakah itu melalui gambar, nyanyian, gerak tubuh, tanda, pandangan mata, berduaan dengan lain jenis bukan mahramnya (khalwat), bersolek, berhias, dan segenap perilaku yang menimbulkan dan mengarahkan kepada perbuatan cabul (mesum).
Sebaliknya, dinul Islam berkehendak agar lingkungan kehidupan keseharian seorang hamba Allah itu benar-benar steril dari kesemuanya tersebut di atas. Tujuannya tidak lain supaya hidup dan kehidupan umat manusia atau masyarakat itu aman, tentram, sejahtera, dan terhormat nilai kemanusiaannya (muru`ah).
Dalam pandangan Islam perilaku perzinahan dan perbuatan zina, adalah suatu gambaran mengenai kerusakan kehidupan akhlak. Di mana hal ini mempunyai korelasi positif dengan perbuatan riba dan perilaku membungakan uang, yaitu si kaya menghisap si miskin; sehingga pelaksanaan riba merupakan gambaran rusaknya kehidupan perekonomian di kalangan umat manusia. Oleh karena Nabi saw memperingatkan kaum mukminin dengan sabdanya,

“Jika muncul zina dan riba di suatu negeri, berarti mereka telah menghalalkan siksa Allah bagi diri mereka” (Hr.Hakim).

Banyak orang pinter atau pakar berdalih, bahwa lokalisasi merupakan alternatif yang terbaik untuk mengatasi masalah perzinahan. Ternyata apa hasilnya, justru menimbulkan masalah baru yang jauh lebih pelik. Dalam hal ekonomi, para pakar dan kaum cerdik pandai berpendapat hanya dengan sistem bunga, kehidupan umat manusia akan mengalami progresivitas. Ternyata hasilnya umat manusia mengalami kebingungan menentukan paradigma kemanfaatan, guna meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
Oleh karenanya alfaqir menasehati, “Sangat berbahaya orang pandai yang tolol. Itulah bedanya antara orang yang bodoh lagi tolol, dengan yang pandai tetapi tolol. Suatu keberuntungan orang yang tolol dengan ketololannya. Itulah bedanya antara orang yang alim lagi pandai, dengan orang yang pandai tetapi tidak alim. Celakanya, kelompok pertama jumlahnya jauh lebih banyak. Untuk itu peganglah ayat Allah,

‘…Dan, (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin’.” (Qs.al-Mâ`idah: 50).

Zina Memuculkan Kerusakan
Dinul Islam datang di alam dunia, semata merupakan kehendak Allah swt, supaya kehidupan masyarakat manusia bersih dari perilaku keji lagi mesum, yang konon memang merupakan kesukaan dari mereka kaum penghamba syahwat dan perempuan; atau perempuan penghamba kejantanan seorang lelaki. Yang mana telah Allah gambarkan dalam kehidupan keluarga Nabi Adam as, yakni perseteruan yang sengit antara Qabil dan Habil dikarenakan masalah ber-syahwat dengan perempuan.
Oleh sebab umat manusia sekarang ini, yang notabene-nya merupakan generasi Nabi Adam as (mim bani Adam), secara substansial terbagi ke dalam dua kelompok, antara keturunan Qabil ataukah keturunannya Habil.
Dinul Islam mengharamkan perilaku zina dan segenap praktek perzinahan, seperti: hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang lelaki di luar nikah, perilaku homoseksual yang dilakukan antara seorang lelaki dengan lelaki, dan perilaku lesbian yang dilakukan antara seorang perempuan dengan perempuan; tidak lain karena praktek mesum tersebut sangat tidak manusiawi lagi keji, yang hanya pantas dilakukan oleh seekor hewan. Oleh karena tradisi hukum Islam dan tradisi yurisprodensi Islam menjatuhkan hukuman yang sangat berat bagi para pelaku praktek mesum tersebut.
Sayang di negeri yang konon jumlah penduduk muslimnya sangat banyak ini, mereka belum bisa berbuat banyak meng-kultural-kan kedua tradisi formalitas administratif syar’i tersebut, yang insya Allah akan membawa kepada kehidupan umat manusia yang beradab, bermartabat, dan disegani.
Padahal dalilnya sudah jelas, baik di dalam al-qur`an maupun hadis Nabi saw,

“Dan, orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap para isteri mereka, atau budak yang mereka miliki. Maka, sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela” (Qs.al-Mukminun: 5-6).

“Barangsiapa yang menjamin bagiku (Nabi saw) apa yang ada di antara kedua janggutnya (lisan dan mulut). Dan, apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan), maka aku (Nabi saw) menjamin surga baginya” (Hr.Bukhari).

Bahkan Nabi saw berwasiat kepada kaum perempuan,

“Jika seorang perempuan shalat lima waktunya, puasa pada bulan Ramadlannya, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya; maka dikatakan kepadanya, ‘Masuklah surga dari pintu surga mana pun yang kamu kehendaki’.” (Hr.Ahmad dan Thabrani).

Secara khusus Nabi saw juga mewanti-wanti umatnya agar tidak melakukan praktek zina, utamanya dengan isteri tetangga. Seperti diriwayatkan sahabat Ibnu Mas’ud ra di dalam Kitab Shahihain, dia berkata,

“Aku bertanya kepada Rasulullah saw, ‘Apakah dosa yang paling besar di sisi Allah?’”
Beliau menjawab, “Jika kamu membuat tandingan bagi Allah, padahal Dia-lah yang menciptakanmu.”
Aku berkata, “Sungguh yang demikian itu sangat besar. Lalu apa lagi?”
Beliau menjawab, “Jika kamu membunuh anakmu karena takut dia makan bersamamu.”
Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Beliau menjawab, “Lalu, jika kamu menzinahi isteri tetanggamu.”
Kemudian turunlah ayat, “Dan, orang-orang yang tidak menyembah sesembahan yang lain bersama Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia (mendapat) dosanya” (Qs.al-Furqân: 68).

Seorang ibadurrahman berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi dan menghindar dari perilaku zina dan praktek perzinahan. Sadar karena perbuatan mesum tersebut akan membawa kehancuran pada keluarganya, masyarakatnya, umat manusia, dan murka Allah swt. Hanya dengan dasar iman lagi islam, seorang ibadurrahman melakukan penghindaran tersebut. Meski kenyataannya dari perbuatan yang keji itu Allah telah menggelar ayatnya, yang berupa penyakit sipilis, gonore, cengger ayam, AIDS, cacat mata pada anaknya, azab Allah, dan siksa-siksa Allah yang lainnya; di mana hal itu juga berdampak pada kehidupan masyarakatnya yang rentan dengan kemrosotan akhlak (dekadensi moral). Nabi saw bersabda,

“Wahai orang-orang Muhajirin, lima perkara jika kalian diuji dengannya dan aku berlindung kepada Allah agar kalian (tidak menemuinya), yaitu sekali-kali kekejian (perzinahan) tidak muncul di suatu kaum hingga mereka memperlihatkannya, melainkan wabah penyakit thaa`uun dan aujaa’ akan berjangkit di tengah mereka, yang tidak pernah ada di antara orang-orang sebelum mereka yang telah lampau…” (Hr.Ibnu Majah dan Hakim).

Dengan jelas Nabi saw juga telah menyabdakannya,

“Umatku senantiasa dalam kebaikan selagi anak hasil zina tidak menyebar di tengah mereka. Jika anak hasil zina menyebar di tengah mereka lalu mereka ragu-ragu, maka Allah melingkupi mereka dengan siksa” (Hr.Ahmad).

Jika disuatu masyarakat anak hasil hubungan perzinahan sudah menyebar di tengah kehidupan mereka. Maka, sudah barang tantu garis nasab mereka telah campur aduk dan terputus. Belum lagi pengkhianatan antara suami terhadap isteri, atau isteri terhadap suami sudah merupakan mode dan trend masyarakat, yang katanya telah modern ini. Dapatlah dipastikan bahwa masyarakat itu akan mengalami kerusakan, lambat atau cepat, yang tampak atau yang tersembunyi.
Diharamkannya praktek perzinahan oleh syariat Islam, semata Allah swt hendak melindungi, menjaga, dan mengangkat derajat kehormatan keluarga, individu, dan seluruh masyarakat Islam; supaya mereka tetap suci, bersih, dan tidak ternoda akibat gejolak syahwatnya telah melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ‘âbid yang khalifah. Di sinilah seorang ibadurrahman benar-benar meninggalkan perbuatan zina semata karena iman dan takwa kepada Allah swt.

Therapi
Sedangkan dinul Islam telah memberikan jalan keluar yang sangat bijaksana perihal mengatasi gejolak syahwat birahi, antara lelaki dengan lawan jenisnya atau sebaliknya perempuan dengan lawan jenisnya. Telah difirmankan Allah swt,

“Katakanlah kepada lelaki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka perbuat’. Katakanlah kepada perempuan yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan, hendaklah menutupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasanya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-suadara lelaki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau kaum perempuan muslimah, atau para budak yang mereka miliki, atau para pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti aurat perempuan. Dan, janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan” (Qs.an-Nûr: 30-31).

Sedangkan Nabi saw bersabda,

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian mampu menikah, maka hendaklah dia menikah. Karena yang demikian itu lebih dapat menahan pandangan mata dan lebih dapat menjaga kemaluan” (Hr.Bukhari dan Muslim).

Dan, Allah swt juga telah menganjurkan,

“Dan, nikahkanlah kaum bujangan di antara kalian, dan orang-orang yang layak (nikah) dari para hamba sahaya kalian yang lelaki dan para hamba sahaya kalian yang perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya…” (Qs.an-Nûr: 32).

“Dan, orang-orang yang tidak mampu nikah hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya…” (Qs.an-Nûr: 33).

Pelajaran Yang Diambil
Dari aksiomatik Islam tentang perzinahan itulah, maka seorang ibadurrahman selalu merenungkan nasehat dari Syekh Ibnu Atha`illah al-Iskandari ra yang mengatakan, “Tiada dikhawatirkan untukmu jalan yang membingungkan, akan tetapi yang dikhawatirkan adalah kemenangan hawa nafsu atas akal dan keimananmu.”
Seorang ibadurrahman selalu ingat, bahwa syahwat birahi merupakan kehendak setan dan bersifat instingtif, guna menipu hamba Allah supaya lalai dari mengingat-Nya. Setan dapat menyamarkan sifatnya dan mempermainkan para hamba Allah dengan panggilan syahwat birahinya. Sehingga setan mampu memasuki dinding kalbunya, lalu melepaskan iman dari kalbu tersebut hingga lebur pada penyerupaan diri ke dalam sifat-sifat hamba. Setelah kalbu dan hasrat hamba dikuasainya, maka setan dengan segara akan menghancurkannya. Maka, berubahlah sifat kemanusiaannya menjadi sebuah perangai setan, bahkan kadangkala hewan.
Seorang ibadurrahman sadar, bahwa setan dengan segala bujuk rayunya akan mampu menembus kalbunya, manakala kalbu hamba itu telah rusak. Hal itu disebabkan karena mereka lalai dengan Allah swt, sisi lain mereka senantiasa mengikuti pengaruh duniawi dan hiruk-pikuknya para manusia pengabdi dunia di dalam mengarungi hidupnya. Renungkan firman Allah,

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. Tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui” (Qs.an-Nûr: 21). []


Sifat Ibadurrahman (9):


Taubat Nasuha

Dinul Islam mengajarkan bahwa taubatan nasuha merupakan ibadah batin yang harus dilakukan seorang mukmin, guna menyempurnakan pelaksanaan ibadah dlahirnya. Seorang ibadurrahman dalam keberagamaannya benar-benar memperhatikan ajaran tersebut, sehingga dengan susah-payah selalu ditunaikannya. Sadar bila di dalam kehidupannya sangat rentan dengan perilaku dosa dan maksiat kepada Allah swt.
Karena seorang hamba, selain Rasulullah saw, di hadapan Allah hanyalah berkedudukan menjaga diri dari berlaku dosa dan maksiat kepada-Nya, bila terpeleset atau terjerumus maka harus cepat melakukan taubat kepada Allah swt (maqâmul-mahfudz). Disebabkan seorang ibadurrahman selalu merenungi sabda Nabi saw,

“Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak berdosa. Dan, jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak melekat pada dirinya” (Hr.Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Hakim; dari Ibnu Mas’ud ra).

Allah telah menyifati hamba-Nya yang berperilaku seperti di atas dengan firman-Nya,

“Para ibadurrahman itu (adalah): …Orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Dan, adalah Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang; dan, orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shalih, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 70-71; 75-77).

Taubatan nasuha adalah sikap pribadi seorang ibadurrahman yang teguh untuk kembali kepada jalan Allah, karena sadar atas segala perbuatan yang telah dikerjakannya keliru disebabkan nyata-nyata telah melanggar syariat Islam; sehingga melahirkan perilaku yang istiqamah dan mudawwamah dalam bertaubat karena terhindar dari perilaku kepura-puraan, kepalsuan, dan dusta.
Seorang ibadurrahman berusaha sekuat tenaga untuk tetap meng-istiqamah-i dan men-dawam-kan perilaku taubatan nasuha. Dikarenakan Allah azza wa jalla telah membuka pintu taubatnya secara lebar-lebar, sampai datangnya Hari Kiamat. Seperti telah disabdakan Nabi saw,
“Sesungguhnya Allah membentangkan Tangan-Nya pada malam hari untuk mengampuni orang yang berbuat keburukan pada siang hari. Dan, membentangkan Tangan-Nya pada siang hari untuk mengampuni orang yang berbuat keburukan pada malam hari, hingga saat matahari terbit dari arah tenggelamnya (Hari Kiamat)” (Hr.Muslim dan Nasâ`i).

Rukun & Syarat Taubat
Demi terwujudnya taubat nasuha dalam kehidupan seorang mukmin, maka seorang yang bertaubat (tâ`ib) haruslah memenuhi beberapa rukun dan syarat, guna keberhasilan taubatnya, di antaranya:
1. Niat yang disertai dengan hasrat yang kuat.
Taubat menjadi tidak ada manfaatnya, bila tidak disertai dengan niat yang penuh hasrat.
Kesungguhannya dalam bertaubat haruslah dibarengi dengan hasrat yang kuat, sehingga posisi ruhani tidak berada di antara dosa dan kemaksiatan. Perilaku yang demikian tidak dapat dikatakan taubat, sebaliknya itulah yang disebut dengan kedurhakaan yang sesungguhnya.
Niat yang disertai dengan hasrat yang benar dalam bertaubat, itulah yang disebut dengan sebenar-benarnya taubat. Karena di dalam hatinya seorang taa`ib telah terjadi pengingkaran atas perbuatan yang menimbulkan perbuatan itu ditaubatinya.
Inilah sikap yang sulit di dalam melakukan proses taubat, sehingga tidak jarang seorang hamba berkehendak melakukan taubat justru malah jatuh ke dalam kedurhakaan. Proses pembimbingan dalam hal ini sangatlah penting untuk dilakukan, sehingga taubatnya memenuhi harapan dan tepat sasaran.
Dengan kuatnya hasrat bertaubat, maka seorang taa`ib telah berketatapan hati untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan maksiatnya. Sebaliknya, secara sadar si taa`ib memaksimalkan proses pengabdiannya dengan mengejawantahkan keislaman dan keimanannya dalam kehidupan keseharian keberagamaannya.
2. Menyesal.
Penyesalan adalah rukun taubat yang paling utama, artinya taubat tanpa melakukan penyesalan sangat dipertanyakan sikap taubatnya.

Sahabat Anas ra pernah ditanya mengenai hal itu, “Apakah Nabi saw pernah bersabda, ‘Penyesalan itu adalah taubat?”
Beliau menjawab, “Ya” (Hr.Ahmad, Ibnu Hibbân, dan Hakim).

Sebagaimana masalah haji, Nabi saw telah menyabdakan bahwa, “Haji itu adalah Arafah.” Artinya, pelaksanaan ibadah haji menjadi tidak sah manakala meninggalkan rukun utamanya, yaitu wukuf di Padang Arafah.
Demikian halnya dengan taubat, maka taubatnya tidak akan diterima Allah azza wa jalla, bila seorang tâ`ib dalam taubatnya meninggalkan rukun utamanya, yakni menyesal.
Menyesal adalah refleksi kalbu yang gundah, gelisah, khawatir, takut, dan sedih; manakala ingat akan segenap dosa dan maksiat yang pernah dilakukannya. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, perasaan serba salah selalu menghantui setiap kegiatan yang dilakukannya. Tipologi orang macam ini telah disebutkan di dalam hadis qudsi,

“Sesungguhnya Aku, jin, dan manusia berada dalam kabar yang besar. Aku yang menciptakan, sementara selain Ku yang disembah. Aku yang memberi rizeki, sementara selain Ku yang disyukuri. Kebaikan Ku turun kepada hamba, dan kejahatan mereka naik kepada Ku. Aku suka melimpahkan nikmat Ku kepada mereka dan Aku tidak membutuhkan mereka, namun mereka marah kepada Ku dengan mengerjakan berbagai macam kedurhakaan; padahal mereka sangat membutuhkan Aku” (Hr.Hakim dan Tirmidzi).

Penyesalan seorang tâ`ib, sebagai wujud penghadiran atas segala nikmat dan karunia-Nya, yang secara bersamaan juga menghadirkan pengakuan atas segenap dosa dan kemaksiatan yang telah dilakukannya. Sehingga beban kalbunya mencair dan pikirannya menjadi jernih, serta air matanya mencuci noda dan dosa yang telah mengotorinya. Dengan demikian taubatnya dapat dilakukannya secara istiqamah dan mudawwamah. Seperti telah digambarkan Allah pada kasusnya Ka’ab bin Malik ra, Hilal bin Umayyah ra, dan Mararah bin Rabi’ ra, mereka disalahkan karena tidak mau ikut berperang,

“Dan, terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas. Dan, jiwa pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah; melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang” (Qs.at-Taubah: 118).

3. Meninggalkan perbuatan dosanya.
Secara esensial taubat adalah wujud jiwa yang bergejolak karena berhasrat menuju pada bangunan jiwa yang shalih. Sehingga jiwa itu telah mengalami peralihan dari kedurhakaan kepada ketaatan, dari keburukan ke arah kebaikan, peralihan dari jalan setan kepada jalan Allah jalla jalaaluh, dan perpindahan secara revolusioner dari kondisi serba gelap menjadi kondisi serba cahaya, yakni cahaya Allah azza wa jalla, cahaya Muhammad saw, dan cahaya kalbu.
Taubat juga berarti merubah jalan kehidupannya, dari mengingkari-Nya menjadi mengimani-Nya, meninggalkan para teman yang menjadikan dirinya bertaubat, dan meninggalkan tempat guna hijrah kepada tempat yang memberikan penghidupan akan keislaman dan keimanannya.

Buah-Buah Taubat
Taubat adalah sebuah ibadah batin yang menjadi tuntutan bagi segenap kaum muslimin, utamanya bagi seorang ibadurrhaman,

“Dan, bertaubatlah kalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung” (Qs.an-Nûr: 31).

“Dan, sesungguhnya Aku Mahapengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, lalu tetap di jalan yang benar” (Qs.Thâhâ: 82).

Taubat yang benar akan memiliki buah yang bermanfaat, karena seorang taa`ib, seperti telah difirmankan-Nya,

“…melainkan, orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal shalih. Maka, kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Dan, adalah Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang” (Qs.al-Furqân: 70).

Buah taubat yang pertama: maka, kehidupan seorang ibadurrahman telah mengalami perubahan seratus delapan puluh derajat. Di mana segala keburukan, kemaksiatan, kedurhakaan, dan dosa telah dia tinggalkan. Lalu dia menggantinya dengan segenap kebaikan, ketaatan, ketauhidan, keislaman, dan keimanan. Syahwatnya benar-benar telah dapat dikendalikannya dengan kekuatan tarbiyah dan ta’lim rabbaniyahnya.
Sedangkan buah taubat yang kedua: perilakunya seorang ibadurrahman semakin teguh dengan keistiqamahan dan kemudawamahan. Sehingga dalam melakukan pendekatan diri kepada Allah tidak kenal menyerah dan putus asa, sedikit demi sedikit direngkuhnya kelezatan taubatan nasuha-nya, sambil terus melakukan permohonan ampun agar dapat pertolongan segera dari sisi-Nya. Digambarkan dalam hadis qudsi,

“Jika dia mendekat kepada Ku satu jengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu hasta. Jika dia mendekat kepada Ku satu hasta, maka Aku mendekat kepadanya satu ba’a. Jika dia mendatangi Ku dengan berjalan kaki, maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat” (Hr.Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis qudsi yang lain disebutkan,

“Allah berfirman, ‘Wahai anak Adam, selagi kamu berdoa dan berharap kepada Ku, niscaya Aku akan mengampuni bagimu atas apa pun yang ada padamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, sekiranya dosa-dosamu mencapai lengkung langit, lalu kamu memohon ampunan kepada Ku, niscaya Aku mengampuni-mu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika kamu mendatangi Ku dengan membawa sekantong tanah yang berupa kesalahan-kesalahan, lalu kamu bersua dengan Ku tanpa menyekutukan sesuatu pun dengan Ku, tentu Aku akan mendatangimu dengan sekantong ampunan’.” (Hr.Tirmidzi).

Beberapa Nasehat
1. Guru kita Rabi’ah al-Adawiyyah ra pernah ditanya seseorang mengenai taubat, “Apakah jika aku bertaubat, maka Allah akan menerima taubatku?”
Rabi’ah menjawab dengan berang, “Dasar orang bodoh. Yang benar, karena Allah menerima taubat-mu, maka bertaubatlah kamu.”
Lalu Rabi’ah membaca ayat,

“Tsumma tâba ‘alai-him liyatûbuu, inna-llâha huwat-tawwâbur rahîm”; kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang” (Qs.at-Taubah: 118).

2. Imam Ahmad ra dan Abu Ya’la ra men-takhrij hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ghazali dalam Kitab Ihya`-nya, bahwa ketika Allah mengutuk iblis, maka iblis meminta penangguhan kepada-Nya.
Maka, Allah memberinya penangguhan sampai Hari Kiamat. Iblis berkata, “Demi kemulian Mu, aku benar-benar akan mengeluarkan dari kalbu Bani Adam selagi ruh masih ada padanya.”
Allah berfirman, “Demi kemuliaan dan keagungan Ku, Aku benar-benar akan menerima taubat darinya selagi ruh masih ada padanya.”
3. Guru kita Syekh Abu Ali ad-Daqqaq ra menasehatkan, “Salah seorang murid bertaubat, lalu menerima cobaan. Dia bertanya dalam hati, ‘Jika aku bertaubat, bagaimana hukuman atas diriku nanti?’”
Maka, terdengarlah bisikan dalam jiwanya, “Wahai fulan, kamu taat kepada Kami. Lalu Kami terima syukurmu. Kemudian kamu tinggalkan Kami, maka Kami biarkan saja dirimu. Bila kamu kembali kepada Kami, pasti Kami terima.”
Akhirnya si shantri tersebut memilih jalan taubat dan kembali kepada himmah-nya semula.”
Wahai saudaraku, renungkan sabda Nabi saw,

“Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selagi nyawanya belum sampai ke tenggorokan” (Hr.Tirmidzi).

Sebab itu seorang ibadurrahman selalu memegang wasiat Nabi saw,

“Jauhilah dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu dapat berhimpun pada diri seseorang hingga membinasakannya” (Hr.Ahmad). []


Sifat Ibadurrahman (10):


Tidak Bersumpah Palsu

“Dan, para ibadurrahaman itu (adalah): …Orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 72; 75-77).

“Orang-orang yang tidak memberi kesaksian palsu” (al-ladzîna lâ yasyhadûnaz-zûra).
Maksudnya adalah mereka orang-orang yang memberikan persaksian palsu, berbohong, dan melakukan rekayasa atas sebuah kesalahan hingga seolah tampak benar.
Seorang ibadurrahman tidak mau terjerumus pada dosa besar ini. Disebabkan Nabi saw menyetarakan kesaksian palsu itu dengan syirik kepada-Nya.

“Kesaksian palsu disetarakan dengan syirik kepada Allah” (Hr.Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Bahkan Nabi saw juga mengajarkan supaya membela saudara mukminnya yang lagi diumpat,

“Apabila seorang lelaki dijatuhkan, dan kamu termasuk di antara sekumpulan orang (yang menjatuhkannya), jadilah kamu penolong lelaki itu. Dan, cegahlah mereka (yakni kaum yang menjatuhkannya). Lalu tinggalkan mereka” (Hr.Ibnu Abud Dunya, dari Anas ra).

Seorang ibadurrahman adalah hamba Allah yang senantiasa memberikan kesaksian yang benar. Sekali pun akibat dari kesaksiannya itu akan memberatkan dirinya, anak-anaknya, keluarganya, atau kerabatnya. Hubungan yang jauh dan permusuhan dengan musuh tidak menghalanginya untuk tetap memberikan kesaksian dengan sebenar-benarnya. Dikarenakan dia memegang firman-Nya,

“Dan, janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (Qs.al-Mâ`idah: 8).

“Dan, apabila kalian berkata, maka hendaklah kalian berlaku adil kendati pun dia adalah kerabatmu” (Qs.al-An’am: 152).

Tidak Berdusta
Manakala seorang ibadurrahman dimintai suatu persaksian, maka dia tidak akan berdusta, akan disampaikannya yang benar adalah benar, yang hak tetaplah hak. Dihindari jauh-jauh perilaku khianat, berbohong, dan menipu.
Seorang ibadurrahman selalu berkata atas dasar kecakapan ilmu pengetahuan yang diamalkan dan yang telah diyakininya; dia tidak pernah menyalahinya, apalagi untuk menambah atau menguranginya. Kalau ya dikatakannya ya, bila tidak dia pun akan mengatakannya tidak. Karena dia sangat memahami firman Allah swt,

“Janganlah para saksi itu enggan (memberi keterangan), jika mereka dipanggil” (Qs.al-Baqarah: 282).

Adakalanya sebagian hamba Allah itu yang tidak ingin melakukan perilaku berdusta. Tetapi dia lebih memilih untuk menyembunyikan kesaksiannya yang nyata-nyata benar sebagai fakta.
Bagi seorang ibadurrahman perilaku ini pun akan ditinggalkannya, karena dia lebih memilih mengamalkan pesan-Nya,

“Dan, janganlah kalian menyembunyikan kesaksian. Dan, barangsiapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya dia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan, Allah Mahamengetahui apa yang kalian kerjakan” (Qs.al-Baqarah: 283).

Dari tindakan menyembunyikan persaksian, maka akan berakibat, di antaranya dapat menghilangkan hak, atau boleh jadi malah membantu tindak kejahatan, tindak kemaksiatan, dan tindak kebatilan. Bahkan yang sangat berbahaya, bisa jadi kehidupan syariat dinul Islam mengalami kemandegan, atau mungkin dunia akan mengalami keterbengkelaian. Oleh karena dinul Islam menetapkannya sebagai dosa besar, perilaku menyembunyikan persaksian.

“Dan, siapakah yang lebih dlalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian dari Allah yang ada padanya? Dan, sekali-kali Allah tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan” (Qs.al-Baqarah: 140).

Guru kita Syekh Yusuf Qardhawi mengomentarinya, “Berapa banyak hak yang disia-siakan? Berapa banyak hal-hal haram yang dilanggar? Berapa banyak kehormatan diri yang dinodai? Berapa banyak kaum yang tertindas? Semua ini terjadi karena kesaksian yang benar disembunyikan. Begitu banyak orang yang membelenggu lidahnya, tidak mau mengatakan yang benar. Padahal kebenaran itu dituntut dari mereka. Tapi nyatanya mereka tidak mengatakan kebenaran itu dengan lidah dan penannya, justru ketika mereka diharapkan untuk memberikan kesaksian yang sebenarnya. Karena kesaksian yang benar inilah kalimat Allah menjadi tinggi di dunia. Orang-orang yang memberikan kesaksian yang benar adalah mereka yang berdiri tegak dengan kesaksiannya, tidak peduli apa yang akan menimpanya, tidak takut terhadap celaan orang yang biasa mencela, tidak takut terhadap apa yang ditakuti manusia; karena biasanya manusia takut hartanya akan berkurang, rizekinya akan terampas, umurnya akan terkurangi, jika mereka memberikan kesaksian yang benar. Padahal umur dan rizeki sudah ditetapkan Allah bagi setiap orang, yang tidak akan terkurangi sedikit pun dan ajal juga tidak bisa ditunda sedetik pun atau dimajukan.”

Ingat Pesan Nabi saw
Imam Bukhari ra dan Imam Muslim ra meriwayatkan sebuah hadis dari sahabat Abu Bakar ra, bahwa Nabi saw pernah bersabda,

“Bagaimana jika aku beritahukan kepada kalian tentang dosa-dosa besar yang paling besar?” (Nabi saw mengulanginya sampai tiga kali).
Kami menjawab, “Baiklah, wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda, “Syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.”
Saat itu beliau dalam keadaan bersandar. Lalu beliau duduk. Mengingat pentingnya masalah yang disampaikan, seraya bersabda lagi, “Ketahuilah! Dan, perkataan palsu dan kesaksian palsu.”
Beliau terus-menerus mengatakannya, hingga kami berkata, “Semoga beliau diam.” Kami berkata seperti itu karena merasa kasihan kepada beliau.

Memang beliau biasa mengulang perkataan hingga tiga kali, jika sabda beliau dianggap sangat penting, untuk mengingatkan akal dan hati. Jika di sana ada orang sibuk dengan urusannya sendiri dan tidak mendengar penyampaian yang pertama, maka beliau mengulangnya hingga orang itu mendengar dan memikirkannya, sehingga benar-benar tertanam di dalam hati.
“Perkataan palsu dan kesaksian palsu,” dapat juga berarti: perilaku syirik, perilaku dusta, perbuatan yang tidak ada manfaatnya, tindakan batil, tindakan durhaka, atau aksi tipu-tipu. Oleh karena dinul Islam melarang seorang muslim secara syara’ untuk tidak menghadiri kesaksian palsu, tidak duduk dalam suatu pertemuan yang direkayasa dengan persaksian palsu, dan tidak diperbolehkan pergi ke tempat yang penuh dengan kesaksian palsu.
Apa pun maknanya, dan berbagai macam ragamnya, “perkataan palsu dan kesaksian palsu.” Maka, seorang ibadurrahman tidak akan pernah hadir dalam majelis mereka, dan tidak akan pernah mau kompromi dengan mereka dalam rangka menjastifikasi kesaksian palsu mereka sebagai tindakan yang legal.
Karena seorang ibadurrahman telah mengamalkan firman Allah swt,

“Apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya” (Qs.al-Furqân: 72).

Di sinilah seorang ibadurrahman memiliki prinsip keberagamaan yang tegas dalam kehidupan kesehariannya, “Barangsiapa yang mendatangi tempat-tempat kebatilan dan kekejian, maka dia akan terimbas oleh dosa-dosa yang telah dilakukan di tempat-tempat tersebut.”
Maka, secara filosofis dinul Islam menyatakan, “Jika dinul Islam telah mengharamkan sesuatu, maka dia juga mengharamkan apa pun yang menjurus kepada keharaman itu dan yang membantunya. ‘Dan, sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam al-qur`an, bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kalian duduk beserta mereka, hingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka (Qs.an-nisâ`: 140)’.”

Pelajaran Yang Diambil
Pernah terjadi di jaman Khalifah Umar bin Khaththab ra, ada beberapa orang yang dijatuhi hukuman karena telah meminum khamr. Tetapi ada satu orang yang tidak ikut minum khamr, melainkan dia hanya duduk-duduk saja bersama para temannya yang sedang asyik minum khamr.
Khalifah Umar bin Khaththab ra berkata, “Dia sedang berpuasa dan duduk-duduk bersama orang-orang yang meminum khamr dan berada di majelis khamr. Mulai hukuman dari orang itu.”
Khalifah Umar menetapkan hukuman yang demikian, didasarkan pada ayat-Nya yang berbunyi,

“Dan, sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam al-qur`an, bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang kafir), maka janganlah kalian duduk beserta mereka, hingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka” (Qs.an-Nisâ`: 140).

Karena memang tidak layak dan bukan pada tempatnya, bila seorang mukmin duduk atau berada pada majelis kemungkaran dan keburukan. Nabi saw telah bersabda,

“Dan, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka janganlah dia duduk di meja makan yang di sana diedarkan khamr” (Hr.Nasâ`i & Hakim).

Seorang ibadurrahman adalah seorang hamba Allah yang berpendirian teguh untuk tetap menjauh dari segala sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Karena dia sadar, bahwa dari perbuatan-perbuatan yang buruk dan dosa akan berdampak langsung pada lingkungannya. Di sinilah seorang ibadurrahman tidak berani mengambil resiko untuk terlibat dan ikut serta menanggung dosanya.
Seorang ibadurrahman benar-benar menjaga kehormatan tauhidnya, ibadahnya, dan mahabbahnya; tanpa harus melakukan sikap kompromis terhadap kebatilan, kemungkaran, keburukan, dan kemaksiatan. Dia malu kepada diri dan Rabb-nya, manakala harus bergabung dengan majelis kemungkaran. Umurnya terlalu mahal, bila dibuang secara cuma-cuma dengan dalih kemoderenan tapi harus menggadaikan akidahnya.
Seorang ibadurrahman sangat menghargai waktu, karena baginya waktu merupakan modal yang utama. Waktu begitu dihargainya, sehingga tidak ada yang terbuang begitu saja. Sebaliknya dengan secermat dan sedisiplin mungkin untuk menggunakan waktunya dengan perbuatan-perbuatan yang bernilai guna, seperti: bekerja keras mencari rizeki yang halal, dengan tekun mempelajari ilmu pengetahuan keberagamaan keislaman, dan secara istiqamah melaksanakan dzikrullah.
Seorang ibadurrahman yakin, bahwa dengan satu kata seorang hamba akan dapat membangun sebuah istana di dalam surga. Barangsiapa yang menyia-nyiakan waktunya, maka dia akan menjadi orang yang merugi. Satu kata yang baik dan benar akan memenuhi lembaran kebaikan kehidupannya. Sedangkan satu kata yang buruk lagi keji, akan menghitamkan lembaran-lembaran kehidupannya. []











Sifat Ibadurrahman (11):


Menyelami Ayat-Ayat Allah

Dinul Islam memberikan sebuah pengantar kepada umat manusia, dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan keislamannya dengan cara melalui pemahaman ayat-ayat Allah swt, yang berupa ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat qauliyah; atau ayat-ayat yang tersirat dan ayat-ayat yang tersurat; atau ayat-ayat takwiniyah dan ayat-ayat tanziliyah. Kesemuanya itu merupakan dasar pemikiran seorang hamba Allah yang harus dijadikan hujjah dalam meniti kehidupannya, guna mengejawantahkan sikap diniah di dalam keberagamaan kesehariannya.
Inilah tradisi kehidupan seorang ibadurrahman yang benar-benar menyelami keindahan, nasehat, petunjuk, dan kekuatan al-qur`an. Bahkan, tidak sekadar itu, baginya ayat-ayat Allah merupakan sumber referensi dan inspirasi yang kuat di dalam kehidupannya. Sebagaimana Allah swt telah mengapresiasinya dalam firman-Nya,

“Dan, para ibadurrahman itu (adalah): …Orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 73; 75-77).

Ayat Kauniyah & Ayat Qauliyah
Dinul Islam mengajarkan bahwa ayat-ayat Allah swt, dilihat dari keberadaannya secara fungsional ada dua kelompok, yakni ayâtul-kauniyyah (tersirat secara takwin) dan ayâtul-qauliyyah (tersurat secara tanzil).
1. Ayâtul-kauniyyah.
Maksudnya, Allah swt telah menggelar secara takwiniah ayat-ayatnya di seluruh alam universum ini. Yang secara tersirat telah menunjukkan keberadaan dan kekuasaan-Nya, bahwa Allah swt benar-benar Mahaperkasa.
Sebagaimana hal itu telah dibuktikan dengan keberadaan planet bumi di antara planet-planet yang lain, keberadaan matahari dan bulan, keberadaan bintang dan udara, keberadaan air dan api, dan keberadaan umat manusia dengan alam lingkungan biotik dan lingkungan abiotiknya.
Bagi seorang ibadurrahman realitas tersebut di atas dijadikan hujah, bahwa Allah-lah Sang Penguasa kehidupan. Sehingga dikehidupannya mengambil jalan terbaik yang ditempuhnya, yakni dengan memperbanyak rasa syukur dan meningkatkan pengabdiannya. Yang kemudian diimplementasikannya dengan: sikap ketauhidan yang kuat, sikap ibadah yang kuat, sikap mahabah yang kuat, dan sikap berusaha yang kuat.
Keempat sikap tersebut di atas sebagai hasil dari perilaku apresiasinya terhadap ayat Allah swt,

“Dan, apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang diciptakan Allah?” (Qs.al-A’râf: 185).

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat ayat-ayat bagi orang-orang yang menggunakan akal-(nya). (Dia itu adalah): orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dalam keadaan berbaring; dan mereka (selalu) memikirkan mengenai penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan (kesemuanya) ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (Qs.Ali Imran: 190-191).

“Dan, pada diri kalian, maka apakah kalian tidak memperhatikan?” (Qs.adz-Dzariyat: 21).

“Katakanlah!” “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman” (Qs.Yunus:101).

2. Ayâtul-qauliyyah.
Maksudnya, Allah azza wa jalla secara tanziliah telah menunjukkan kekuasaan-Nya, keperkasaan-Nya, dan kebesaran-Nya dengan tersurat, pada kitab-kitab dan shuhuf-shuhuf para rasul-Nya yang berupa wahyu Allah swt.
Pada kitab-kitab dan shuhuf-shuhuf tersebut, Allah swt telah mengenalkan diri-Nya. Tidak hanya itu, cerita masa lalu, berita ghaib, karakter para hamba-Nya yang mukmin; munafik; dan musyrik, bagaimana strategi memahami kehidupan dunia yang fana, bagaimana seharusnya mempersiapkan segala sesuatu untuk masa depannya di akhirat, serta bagaimana umat manusia harus mengapresiasi di kehidupannya; baik terhadap sesama manusia, terhadap hewan, terhadap tumbuhan, terhadap lingkungan ekosistim, dan terhadap makhluk-makhluk Allah yang lainnya, seperti: malaikat dan jin sekalipun. Allah swt telah menguraikannya di dalam kitab suci-Nya tersebut dengan sebenar-benarnya.
Berita yang di bawa oleh para rasul-Nya yang terdapat di dalam kitab suci, yang di akhiri dengan diturunkannya kitab suci al-qur`an. Secara qauliyah, artinya dapat dibaca atau diucapkan, merupakan buku pandu bagi para hamba Allah yang benar-benar telah mukmin kepada-Nya.
Demikianlah seorang ibadurrahman menempatkan kedudukan kitab suci al-qur`an tersebut dalam kehidupan kesehariannya. Karena memang Allah swt telah menyatakan,

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (mewahyukan) al-qur`an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Gemetar karenanya, kulit orang-orang yang takut kepada Rabb-nya. Lalu menjadi tenang kulit dan kalbu mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan, barangsiapa disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pemberi petunjuk baginya” (Qs.az-Zumar: 23).

“Dan, Kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu. Dan, petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (Qs.an-Nahl: 89).

“Dan, apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab, sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya di dalam (al-Kitab) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman” (Qs.al-Ankabut: 51).

“Dan, sesungguhnya telah Kami mudahkan al-qur`an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Qs.al-Qamar: 17).

Termasuk Yang Mana Diri Kita
alfaqir selalu menasehatkan kepada seluruh shantri dan jamaah di nDalem Kasepuhan, “Tidaklah kalian duduk dalam suatu majelis untuk mendengarkan al-qur`an, melainkan kalian keluar dengan suatu tambahan atau pengurangan. Karena Allah telah berfirman kepada kita,

“Dan, Kami turunkan dari al-qur`an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan, al-qur`an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dlalim selain kerugian”.” (Qs.al-Isrâ`: 82).

“Katakanlah!” “al-Qur`an adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan, orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedangkan al-qur`an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu seperti orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh” (Qs.Fushshilat: 44).

Sekarang marilah kita jujur terhadap diri kita sendiri, untuk memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan, guna mengetahui posisi keberadaan kita terhadap kitab suci al-qur`an tersebut. Dalam golongan manakah kita menempatkan diri terhadap al-qur`an? Semakin bertambahkah keimanan kita, di saat mendengarkan atau membaca ayat suci al-qur`an? Tergerakkah kalbu kita, bila ayat-ayat suci al-qur`an dibacakan, atau di saat kita sedang membacanya? Meneteskah air mata kita? Ataukah, kita tidak pernah mendapatkan pengaruh apa-apa dari untaian ayat-ayat Allah tersebut?
Terhadap al-qur`an, orang-orang kafir dan munafik tidak mau mendengarkan ajakannya, seruannya, perintahnya, maupun larangannya. Mereka dengan sengaja mengabaikan ayat-ayat Allah tersebut. Seperti difirmankan Allah swt,

“Dan, di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi pengetahuan (yakni, para sahabat Nabi), ‘Apa yang dikatakannya tadi?’ Mereka itulah orang-orang yang telah dikunci mati kalbu mereka oleh Allah, (karena selalu) mengikuti hawa nafsu mereka” (Qs.Muhammad: 16).

Seorang mukmin, apalagi seorang ibadurrahman, selalu membuka kalbunya terhadap al-qur`an, membuka telinganya lebar-lebar, serta membuka akal budinya dengan seluas-luasnya guna mengharap rahmat, hidayah, dan taufik-Nya. Sebagaimana telah dikabarkan oleh Allah swt,

“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yakni para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Mahapemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis” (Qs.Maryam: 58).

Nasehat & Teladan
Dalam rangka meningkatkan ma’rifatul-qur`an, hendaklah kita mengapresiasikan sekaligus mengekspresikan al-qur`an ke dalam bentuk perilaku yang indah lagi simpatik. Sebagaimana hal itu telah dinasehatkan dan di teladankan para pendahulu kita.
1. Sahabat Ibnu Mas’ud ra.
Pernah dia menasehatkan, “al-Qur`an diturunkan kepada mereka agar mereka mengetahuinya dan mengambil pelajaran darinya untuk diamalkan. Ada seseorang di antara kalian yang membaca al-qur`an dari awal sampai akhir, tanpa ada satu huruf pun yang tercecer. Namun dia mencecerkan pengamalannya.”

2. Imam Syafi’i ra.
Dia menasehatkan kepada kita, “Sesungguhnya di dalam al-qur`an itu ada satu surat yang singkat, dan sekiranya manusia mengamalkannya, maka hal itu sudah cukup baginya. Yakni firman Allah,

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran”.” (Qs.al-‘Ahsr: 1-3).

3. Seorang Arab.
Ada seorang Arab Badui menemui Nabi saw meminta kepada beliau, supaya dibacakan al-qur`an untuknya.
Maka, beliau saw membacakan beberapa surat pendek di bagian akhir al-qur`an hingga sampai pada surat az-zalzalah. Di saat beliau membaca dua ayat yang terakhir,

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan, barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula” (Qs.al-Zalzalah: 7-8).

Maka, si badui tersebut serta-merta berkata, “Cukup wahai Rasulullah, aku tidak peduli untuk mendengarkan selain dua ayat ini.”
Maksudnya, dua ayat tersebut sudah cukup untuk dijadikan hujah, bahwa balasan itu termasuk jenis amal dan disesuaikan dengan amalnya, meskipun amal itu seberat dzarrah, baik maupun buruk.
Maka, para sahabat Nabi saw merasa heran dengan sikap si badui tersebut. Lalu Nabi saw bersabda,

“Orang itu telah pergi sebagai orang yang mengerti.”

4. Abdullah bin Urwah bin az-Zubair ra bertanya kepada neneknya, Asma` binti Abu Bakar ra, “Wahai nenek, apa yang dilakukan para sahabat jika mereka mendengarkan al-qur`an atau membacanya?”
Asma` menjawab, “Wahai cucuku, mereka seperti yang digambarkan Allah. Mata mereka meneteskan air mata. Kulit mereka bergetar dan kalbu mereka tunduk.”
5. Dr.Sir.Muhammad Iqbal ra pernah menasehatkan, “Tidak ada satu pun nasihat yang lebih berharga daripada nasihat yang disampaikan ibu kepadaku selagi aku masih kecil. Ibuku menasehatkan, ‘Wahai anakku, bacalah al-qur`an! Yang seakan-akan al-qur`an itu diturunkan kepadamu’.”

Pelajaran Yang Diambil
Guna menradisikan al-qur`an dalam kehidupan keseharian di keluarga dan masyarakat, Ma’hâdul ‘Ibâdah al-Islâmi Tambak Bening Surabaya Indonesia (MIITSI) membentuk Tim 30 Kalamullah, yang berupaya sekuat tenaga untuk menradisikan ber-qur`an pada shantri dan keluarga jamaah khususnya, serta masyarakat pada umumnya.
Di mana al-qur`an bukan sekadar menjadi bahan perbincangan, tetapi lebih dari itu, ada upaya nyata untuk mengamalkannya dalam kehidupan keberagamaan keseharian seorang mukmin.
Hal ini kami lakukan, sebagai bentuk pembaharuan sikap terhadap al-qur`an, supaya di dalam kehidupan kita semakin menyatu dengan al-qur`an. Karena kami tidak ingin pada Hari Kiamat besok, al-qur`an akan memberikan persaksiannya dengan mengatakan, “Wahai Rabb, ketika masih hidup dulu orang-orang ini meremehkan aku. Membacanya, tetapi tidak masuk ke kalbunya. Bahkan tidak mau berhukum kepadaku.”
Di samping kami juga takut, bila Nabi saw akan berkata, “Wahai Rabb, sesungguhnya kaumku menjadikan al-qur`an sesuatu yang tidak pernah diperhatikannya.”
Seorang ibadurrahman adalah orang yang kehidupannya telah menyatu dengan al-qur`an, dengan ayat-ayat Allah swt. Dia hidup bersama al-qur`an. Menerapkan isinya untuk diri dan keluarganya, dengan memola pada kehidupan Rasulullah saw, dalam hal ber-qur`an. “Akhlak beliau adalah al-qur`an,” demikian komentar ibunda A`isyah ra.
Barangsiapa yang mau membuka lembaran-lembaran mush-haf al-qur`an, maka dia akan menemukan akhlak beliau saw pada teks-teks tersebut. Diri Nabi saw merupakan sosok pribadi dari al-qur`an yang berjalan. Beliau tidak sekadar menafsirinya dengan perkataan dan ungkapan, namun beliau telah meneladankan dengan wujud nyata ke dalam sebuah perilaku, akhlak, amal, dan implementasi yang kongkrit.
Wahai saudaraku sesama mukmin! Sudahkah kita membaca al-qur`an sebagaimana mestinya? Sudahkah kita menyimaknya dengan layak? Sudahkah kita memenuhi hak-hak sebagaimana seharusnya? Siapakah yang telah mampu mendengarkan atau membacanya, lalu memikirkan dan mengamalkannya, di antara kita? Sudahkah kita merasakan pengaruh dari kehadirannya? Marilah, sederetan pertanyaan ini kita jawab dengan bukti pengamalan terhadap al-qur`an dalam kehidupan kita sehari-hari. []












Sifat Ibadurrahman (12):


Mendoakan Isteri & Keluarga

“Dan, para ibadurrahman itu (adalah): …Orang-orang yang berkata, ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 74; 75-77).

Di dalam surah al-furqân ayat ke-74 tersebut di atas memberikan gambaran, bahwa dinul Islam telah mengajarkan kepada kaum muslimin untuk mentradisikan berdoa kepada Allah swt Karena berdoa merupakan implementasi ketawadlu’an, dari seorang hamba kepada Sang Khaliq jalla jalâluh. Di mana dengan berdoa, seorang hamba akan mendapatkan ketenangan jiwa, optimisme kalbu, dan semakin kuat prinsip-prinsip tauhid, ibadah, mahabbah, dan ikhtiarnya.
Seorang ibadurrahman tidaklah menyia-nyiakan kesempatan terbaik ini dengan begitu saja, melainkan dia gunakan kesempatan berdoa itu untuk memohon kepada Allah swt, agar dianugerahi para isteri dan anak keturunannya yang dapat menyenangkan hatinya (qurrata a’yunin). Dan, pada saatnya nanti dia juga berharap, supaya mereka menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.
Begitulah doa dan harapan seorang ibadurrahman, dia memanjatkan doa dan pujiannya menurut apa yang menjadi keinginannya. Karena seorang ibadurrahman mengamalkan sunnah Nabi saw dalam berdoa, di mana beliau mengucapkan doa-doanya benar-benar sesuai dengan kebutuhan, yang dipikirkan, dan yang beliau inginkan.
Sehingga di antara doa-doa beliau ada yang berisikan permohonan perbaikan urusan diniah, perbaikan urusan dunia dan akhirat, memohon tambahan kebaikan dalam kehidupan, dan menjadi kematian sebagai pelepas dari segala kejahatan. Bahkan, beliau biasa melantunkan doa-doa yang sarat dengan berbagai makna, berlindung dari kemunafikan dan akhlak yang buruk, berlindung dari cobaan yang berat, penderitaan yang terus-menerus dan lain-lainnya.
Di sinilah, kita kaum muslimin yang awam ini, hendaklah membiasakan diri memperhatikan tatakrama berdoanya seorang ibadurrahman. Di mana seorang ibadurrahman benar-benar mengetahui bagaimana seharusnya seorang mukmin berpikir, berkehendak, dan memiliki tujuan akhir di dalam kehidupannya.
Dari doa seorang ibadurrahman, sangatlah tercermin bahwa dia begitu memperhatikan kehidupan dunia ini. Tetapi dia sangat menghindari memperhatikan dunia dengan nafsu syahwatnya, sebab perhatiannya lebih tertuju pada tujuan yang lebih besar, yakni hasratnya memohon kepada Allah swt agar dinugerahi isteri dan keturunan yang menyenangkan hati (qurrata a’yunin), dan dia juga sangat berharap agar mereka dikarunia kepemimpinan atas kaum yang muttaqin.
Seorang ibadurrahman tidak selalu sibuk dengan urusan pribadinya. Namun dia juga berharap kebaikan, keberkahan, dan kemaslahatan juga merambah pada para hamba Allah yang lainnya. Dia menginginkan supaya rahmat, hidayah, dan taufiq-Nya juga dapat dirasakan orang-orang terdekatnya, termasuk dalam hal ini adalah para istri dan anak keturunannya sampai Hari Kiamat nanti.
Karena kebahagian seorang ibadurrahman, manakala melihat para isteri dan anak-anaknya serta keturunannya, dianugerahi oleh Allah swt nikmat iman, nikmat islam, dan nikmat sehatnya badan. Sehingga mereka dengan sadar dan secara sukarela telah dapat melakukan ketaatan dan penghambaan kepada Allah azza wa jalla.

Perempuan Shalihah Itu Perhiasan Dunia
Seorang ibadurrahman selalu mendambakan kehadiran seorang isteri yang shalihah, dikarenakan isteri yang shalihah merupakan perhiasan dunia.

“Dunia ini perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah perempuan shalihah” (Hadis Shahîh).

Kehadirannya merupakan pancaran hidayah kebaikan, yang akan selalu mendorong peran dan fungsi suaminya untuk mendapatkan taufiq-Nya.
Telah disabdakan Nabi saw,

“Tidaklah seorang mukmin mendapatkan sesuatu yang lebih baik setelah takwa kepada Allah, selain dari isteri yang shalihah. Jika dia menyuruhnya, maka istrinya itu menaatinya. Jika dia memandangnya, maka isterinya itu membuatnya senang. Jika dia memberikan bagian kepadanya, maka istrinya itu berbuat baik kepadanya. Jika dia meninggalkannya, maka isterinya itu menjaga dirinya sendiri dan harta suaminya” (Hr.Ibnu Majah).

Lalu Nabi saw membaca ayat,

“Maka, perempuan yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada; oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…” (Qs.an-Nisâ`: 34).

Dinul Islam mengajarkan, bahwa keberadaan isteri yang dapat menyenangkan hati dan mata suaminya, adalah unsur utama yang dapat mendatangkan kebahagiaan dalam rumah tangganya. Disabdakan Nabi saw,

“Di antara kebahagiaan Bani Adam, ialah isteri yang shalihah, tempat tinggal yang layak, dan kendaraan yang layak pula” (Hr.Ahmad).

Di riwayat lain, Nabi saw juga pernah bersabda,

“Empat perkara, barangsiapa yang diberi empat perkara ini, maka dia telah diberi kebaikan dunia dan akhirat. Yakni: (1)Hati yang selalu bersyukur; (2)Lisan yang selalu berdzikir; (3)Badan yang sabar menghadapi ujian; dan (4)Isteri yang tidak menimbulkan kesukaran dalam dirinya dan hartanya” (Hr.Thabrani).

Seorang isteri yang shalihah adalah laksana mutiara zamrud katulistiwa. Apalagi di tengah kehidupan masyarakat yang konon mengklaim dirinya sebagai masyarakat modern, ternyata bukan komedernan yang diperolehnya malainkan sebuah kekosongan nilai (anomali). Kehadiran isteri yang shalihah, niscaya akan sangat membantu suaminya di dalam melaksanakan tugas keberagamaannya.
Konon pernah terjadi di jaman orang-orang terdahulu, setiap kali suaminya hendak pamit untuk berangkat berdagang, isterinya selalu berpesan, “Wahai suamiku, janganlah kamu mencari hasil yang haram, karena aku dapat bersabar menghadapi lapar dan dahaga, namun kita tidak sabar karena api neraka dan kemurkaan Allah.”
Seorang isteri yang shalihah, yakin benar bahwa hidup dan kehidupan, rizeki dan ma`isyah kesemuanya datangnya dari sisi Allah swt, termasuk yang mencukupi segala kebutuhannya. Sehingga tidak pernah gentar dengan kondisi perekonomian keluarga yang acap kali serba kekurangan. Malah sebaliknya, isteri yang shalihah senantiasa mendorong suaminya untuk selalu taat dan patuh kepada Allah swt dalam kondisi apa pun, dan bagaimana pun.
Sebagaimana dikatakan cucunda Nabi saw Sayyidina Hasan ra, bahwa makna ayat yang berarti penyenang hati di dalam surah al-furqân ayat ke-74, itu berarti konteks dunia, “Demi Allah, itu berlaku di dunia.”
Sedangkan menurut sahabat Ikrimah ra, makna qurrata a’yunin adalah, “Memiliki sikap ketaatan kepada Allah jalla jalâluh, bukan kedudukannya atau kecantikannya.”
Dinul Islam mengajarkan kepada kaum muslimin, supaya mendapatkan isteri yang shalihah, yaitu isteri yang taat kepada diniahnya. Seperti telah dipesankan Nabi saw,

“Perempuan itu dinikahi karena empat perkara: (1)Karena hartanya; (2)Keturunannya; (3)Kecantikannya; dan (4)Karena diniahnya. Carilah perempuan yang taat kepada diniahnya, niscaya hal itu cukup bagimu” (Hr.Bukhari dan Muslim).

Oleh karena seorang ibadurrahman selalu menghendaki kebaikan dan kemaslahatan terhadap orang-orang terdekatnya, seperti para isteri, anak-anak, dan cucu-cucunya. Dia sangat mengharapkan agar mereka benar-benar mendapatkan kebaikan di sisi Allah jalla jalâluh.

Beberapa Teladan
Seorang ibadurrahman memegang kuat ayat ke-6 surah at-tahrim,

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya, adalah manusia dan batu.”

Dan, ayat di atas merupakan ekspresi keberagamaan yang mendalam, yang kemudian diimplementasikan ke dalam perilaku keberagamaan kesehariannya.
Dari kenyataan tersebut, dapatlah kiranya diambil pelajaran, dari beberapa teladan yang pernah dilakoni oleh saudara-saudara kita di Jamaah nDalem Kasepuhan Surabaya, antara lain:
1. Adalah Mahfudz Ahmad Muhammad, shantri yang satu ini sangat tekun mengikuti seluruh kegiatan ma’had. Namun dia masih merasa ada ganjalan, disebabkan isterinya belum ikut mengaji. Dan, dalam kesehariannya belum menggunakan jilbab (hijâb). Dengan kata lain, jilbab baru sekadar menjadi pakaian ‘dinas pengajian ibu-ibu’ sebagaimana lazimnya para muslimah jaman sekarang ini.
Dengan keistiqamahannya, dia selalu memohon kepada Allah swt agar isterinya dikarunia akhlak yang shalihah. Ternyata hampir empat tahun doa itu baru dikabulkan oleh Allah swt.
Sekarang isterinya, dengan kesadarannya sendiri telah mau datang di majelis pengajian Keluarga Sakinah di nDalem Kasepuhan. Tidak hanya itu, jilbab telah menutup auratnya, meski berada di dalam rumah suaminya. Shalat fardlunya berjamaah bersama para anaknya yang masih kecil-kecil, malam tak pernah terlewatkan tanpa qiyamul lail.
Si suami hanya bisa bersyukur dan menangis, begitu mudahnya bila Allah itu menghendaki seseorang menjadi baik. Gumannya dalam hati.
2. Pengalaman Haji Musthafa Ahmad, bila si isteri dianjurkan untuk berjilbab selalu jawabannya klise, yaitu malu.
Akhirnya dia memohon kepada Allah swt agar dapat menunaikan ibadah haji bersama isterinya. Allah mengabulkannya, yakni di 1996 pergi haji bersama isteri. Mulai saat itu, setelah pulang dari ibadah haji si isteri tidak pernah lagi membuka auratnya.
Bahkan, di 2001 pergi haji lagi bersama keluarganya, yang mengejutkan namun manjadikan si suami sujud syukur, bahwa isterinya telah mengambil keputusan di Makkah, setibanya di tanah air nanti, akan mengundurkan diri dari Bank Mandiri. Semata-mata ingin lebih produktif di dalam membina mental, karakter, dan akhlak anak-anaknya. Karena dia tidak rela, bila para anak-anaknya lebih dekat dengan orang lain. Karena memang sang suaminya ditakdirkan Allah telah mencukupi segala-galanya.
3. Adalah pengakuan Haji Muhammad Syahlan, bila bercerita mengenai isterinya matanya langsung berkaca-kaca. Karena dia bersyukur kepada Allah swt.
Menurut ceritanya, seandainya dia tidak menikah dengan isterinya tersebut, mungkin sampai detik ini dia tetap tidak dapat membaca al-qur`an dengan baik dan benar.
Lebih dari itu kebiasaan buruknya mungkin tidak dapat berhenti, yaitu main lotre (baca: togel). Maklum si isteri adalah shantriwati asuhan dari al-maghfurlah Allahu yarham KH.Mundzir, Ma’had Ma`una Sari Bandar Kidul, Kediri, Jatim.
Tidak sekadar membaca al-qur`an, tetapi adab dan akhlak juga menjadi ‘mata kuliah’ pokok di saat-saat pengantin baru. Hasilnya dia sangat merasakannya sekarang ini, setelah umur memasuki kepala lima. “Benar, apa yang dipesankan Nabi kita, agar mencari isteri yang shalihah, karena memang sangat penting dalam berumah tangga,” demikian nasehatnya kepada putera-puterinya.
Pengalaman keberagamaan yang diwakili oleh ketiga saudara kita tersebut di atas, merupakan implementasi sebagai seorang suami yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt kelak, dan inilah cara berpikir seorang ibadurrahman. Sebab Nabi saw telah bersabda,

“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin mengenai apa yang dipimpinnya, apakah dia menjaga ataukah menyia-nyiakan, hingga seorang lelaki ditanya mengenai anggota keluarganya” (Hr.Nasâ`i dan Ibnu Hibban, dari Anas ra).

Di riwayat lain, Nabi saw bersabda,

“Setiap orang di antara kalian menjadi pemimpin, dan akan ditanyai mengenai apa yang dipimpinnya. Seorang imam menjadi pemimpin, dan akan ditanya mengenai apa yang dipimpinnya. Seorang lelaki menjadi pemimpin di tengah keluarganya, dan akan ditanyai mengenai apa yang dipimpinnya. Seorang perempuan menjadi pemimpin di rumah suaminya, dan akan ditanyai mengenai apa yang dipimpinnya. Seorang pembantu menjadi pemimpin terhadap harta tuanya, dan akan ditanya mengenai apa yang dipimpinnya. Setiap orang di antara kalian menjadi pemimpin, dan akan ditanya mengenai apa yang dipimpinnya” (Hr.Bukhari & Muslim).

Demikianlah seorang ibadurrahman sangat hati-hati di dalam membina keluarganya. Karena kebahagiaan hakiki, baginya adalah terdapatnya isteri yang shalihah, anak-anak yang shalih dan shalihah, dan keluarga yang sakinah.
Dia tidak banyak berharap, kecuali berkeinginan bahwa di dalam keluarganya telah terjadi tradisi ‘kecerdasan keberagamaan’, yang memola pada al-qur`an dan as-sunnah Nabi saw. []



Penutup


Kesempurnaan adalah milik-Nya. Terampungkannya buku yang alfaqir susun ini semata, karena rahmat dan pertolongan-Nya. Sekaligus menjawab banyaknya pertanyaan, baik yang terlontar maupun yang cukup menjadikan tanda tanya. Apa itu lambang huruf ‘ain (ع)?
Awalnya, dari sebuah jagongan rutin –sebulan sekali-- di sebuah kampung padat di Surabaya, Kapas Madya IV-P. Salah seorang dari mereka ada yang punya usul, “Daripada pembicaraan tidak fokus, alangkah baiknya, jika dibahas satu atau dua ayat dari Kitab Suci al-Qur`an.” Ternyata usulan tersebut disepakati, dengan ijin-Nya akhirnya berjalanlah “acara” tersebut. Sampai akhirnya alfaqir hijrah ke Tambak Bening II-20, Surabaya; 10 Oktober 1996.
Di luar dugaan, ternyata animo masyarakat banyak yang berminat dengan model penyampaian dan pendekatan pemikiran yang alfaqir tawarkan. Hingga di sini “acara jagongan” tersebut belum memiliki sebuah nama, sebagaimana komitmen awal alfaqir untuk tidak menggunakan nama atau simbol atau seragam tertentu.
Tetapi, Dia berkehendak lain, saudara tua kami, KH.Abdul Adhim Dimyati dari Jombang, hasil istikharahnya mengusulkan sebuah nama, yaitu Ma’hâdul Ibâdah al-Islâmi (Pondok Pesantren al-Ibadah, red). Dengan alasan yang masuk akal dia katakan, “Semua orang Islam kan butuh beribadah kepada Allah azza wa jalla. Tanpa pandang bulu, tidak ada partai, tidak ada ormas, tidak ada aliran, dan tidak ada kelompok.”
Dan, dengan melalui istikharah pula alfaqir menentukan trade mark apa kiranya yang pas dari sebuah nama Ma’hâdul Ibâdah al-Islâmi, biar mudah diingat, gampang dikenal, dan bersifat khas. Akhirnya ketemulah jawabannya, yakni huruf ‘ain yang merupakan huruf awal dari akar kata al-‘ibâdah, yaitu: ‘ain-ba`-dal.
Setelah disepakati dan diterima oleh semua jamaah, hingga suatu ketika guru kami, KHA.Mustofa Bisri (Gus Mus, red) bertanya mengenai apa itu lambang huruf ‘ain. Subhânallah, seketika itu beliau mengatakannya, “Ibadurrahman….” Sehingga mulai saat itu, kami menyosialisasikan dan mengomunikasikan kepada semua jamaah dan kalangan mengenai di balik makna huruf ‘ain, yaitu ibadurrahman.
Dan, apa yang telah alfaqir tulis di dalam buku ini sebagai panduan di Ma’had Tee-Bee mengenai bagaimana seorang ibadurrahman yang dapat menjadi teladan di: keluarganya, masyarakatnya, dan bangsanya.
Memang terasa berat di dalam mengamalkannya, tapi kami yakin Allah azza wa jalla akan menolong setiap hamba-Nya yang berjuang dengan sungguh-sungguh dalam memperjuangkan kebenaran. Wal ladzîna jâhadu fî-nâ lanahdiyan-nahum subûlanâ….[]


من زار قبري وجبت له شفاعتي
(عن ابن عمر، إبن عدى فى الكامل و بيهقى فى شعب الإيمان، و فى كنز العمال 42583\15\651)