tag:blogger.com,1999:blog-46504332415677052192024-03-08T04:43:13.629-08:00Beranda Wahyu 1Bersama Allah dan Rasulullah Menuju Kemenangan!Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.comBlogger20125truetag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-9217934878699140352010-09-20T17:54:00.000-07:002010-09-20T17:54:07.227-07:00jadilah orang baikjadi orang penting itu baik, namun jauh lebih penting jadi orang baik. maka jadilah ORANG BAIK!Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-33928675012011054372010-09-04T01:51:00.001-07:002010-09-04T01:51:43.476-07:00MAKNA MUKMINIman menurut bahasa adalah membenarkan. Sewaktu kecil penulis pernah ngaji di salah satu pesantren salaf disitu diajari mata pelajaran tauhid sebutlah aqidatul awam, dikatakan apa yang dimaksud dengan iman?<br />
Iman ialah “Iqraru bil-lisan, wa tasdiqu bil-qalbi, wal a’malu bil-arkan aw bil-afāl” yang dimaksud iman yaitu: sebuah keyakinan yang diucapkan dengan lisan diyakini di dalam hati dan diamalkan dalam perbuatan.<br />
Jadi dari konteks di atas iman itu adalah perpaduan dari ketiga pilar, atau dengan kata lain iman itu dibagi dalam tiga tingkatan yaitu, <br />
Iqraru bil-lisan Pengakuan dengan lisan, maksudnya seseorang benar-benar mangakui akan adanya Allah sebagai Tuhan dan tidak ada sesembahan selain Dia. Namun tingkatan iman yang (pertama) demikian ini sering kali mengalami keguncangan ketika terjadi problem dalam hidupnya, seperti kekurangan ekonomi, kematian, kena fitnahan. Cepat perpaling kepada kekufuran dan tidak ridha terhadap keputusan Allah swt.<br />
Inilah kebanyakan iman orang awam dari masyarakat kita, yang sering kali menyalahkan Allah jika sedang diberi karunia berupa ujian dari-Nya. Padahal Allah pernah berfirman dalam hadis qudsi, “Barangsiapa yang tidak ridha dengan keputusanKu dan tidak sabar atas ujianKu maka hendanya carilah Tuhan selain Aku.”<br />
Tashdziqu bil-qalbi meyakini di dalam hati, Jadi hatinya benar-benar yakin bahwa tiada sesembahan selain Allah. Yang menghidupkan dan dan mematikan hanya Dia. Sumer dari segala sumber.<br />
Tiada tempat bergantung dan bersandar kecuali hanya kepada Allah. Jadi Allah swt sudah menjadi nafas keidupan. Hidupnya senantiasa bersama Allah swt.<br />
Dan tingkatan Iman yang demikian ini adalah iman yang sangat sulit untuk dicondongkan. Berbeda dengan tingkatan iman yang pertama, karena dalam tingkatan yang kedua ini iman seseorang benar-benar telah tertancap dalam hati yang paling dalam sehingga sangat sulit di dicondongkan walau diintimidasi, diteror, atau dibunuh sekalipun.<br />
Dan ini pernah dilakonkan oleh seorang shalihah pada jaman rezim Fir’aun. Yaitu Ibunda Masithah. Beliau beserta keluarganya rela dimasukkan kedalam tungku yang berisi air mendidih demi mempertahankan akidah keimanan terhadap Allah swt.<br />
Juga pernah terjadi pada sahabat nabi saw Bilal bin Rabbah r.hu, Rela dipukul dan dijemur di padang pasir dengan mengenakan baju besi. Demi mempertahankan akidahnya ”Ahad,Ahad, Ahad”<br />
Juga sahabat Khubab bin Arat, yang disisir kepalanya dengan besi membara serta diletakkan pada punggungnya batu membara sehingga menurut peneuturannya sediri bara api itu tidak padam kecuali dengan darahnya yang mengalir demi mempertahankan Akidah dan keyakinannya.<br />
Juga sahabat Hubaib bin ’Adi, yang tubuhnya dipotong satu persatu. Namun tetap tegar dengan nama Allah swt. [1]<br />
Dan masih banyak sahabat-sahabat nabi yang mengalami penyiksaan seperti itu demi mempertahankan akidah dan keyakinannya.<br />
Demikianlah hebatnya kekuatan iman jika sudah merasuk ke dalam hati. Sulit dilepaskan meskipun nyawa harus menjadi taruhannya.<br />
A’malu bil-arkan diamalkan dalam perbuatan. Jadi perilaku kesehariannya adalah cerminan orang beriman. Berjalannya, makannya, bergaulnya, cara berpikirnya; dan sebagainya. Dan inilah perilaku Rasulullah saw beliaulah teladan dalam berIslam berIman dan berIhsan dalam kehidupan bagi seluruh manusia hingga hari Kiamat.<br />
Sedangkan yang disebut dengan Mukmin adalah orang yang telah mengakui dengan lisannya tentang adanya Allah swt, dan meyakini-Nya di dalam hati, kemudian mengamalkan keyakinannya tersebut dalam perbuatan sehari-hari. Dalam artian Mukmin itu adalah orang yang telah mengejawantahkan Pilar Iman dalam kehidupan kesehariannya.<br />
Jika dalam bab Islam yang disebut Muslim adalah yang penting mengerjakan perintah Allah seperti shalat atau dalam artian ibadah dinilai dari dhahirnya saja. Maka dalam bab iman ini yang disebut dengan Mukmin adalah ketundukan dalam hati seperti shalat yang dinilai adalah pada kekhusyukannya di dalam shalat.<br />
Yakni ibadah dinilai dari batinnya. Jadi bukan hanya sekedar mengerjakan shalat tapi lebih dari itu khusyuk dalam shalatnya. Sebagaimana yang diterangkan dalam al-qur’an tentang kriteria orang Mukmin,<br />
”Sungguh beruntung orang-orang mukmin, yaitu mereka yang khusyuk di dalam shalatnya.” (Qs. al-Mukminun: 1-2)<br />
<br />
Jadi yang dimaksud dengan Mukmin ialah seseorang tersebut benar-benar mangakui akan adanya Allah swt sebagai Tuhan dan tidak ada sesembahan selain Dia. Dan meyakini Allah swt di dalam hatinya, dalam artian hatinya benar-benar yakin bahwa yang menghidupkan dan mematikan hanya Allah. Tiada tempat bergantung dan bersandar kecuali hanya kepada Allah swt. Allah swt sudah menjadi nafas kehidupan. Hidupnya senantiasa bersama Allah swt.<br />
Nah, hidup yang senantiasa bersama Allah itu ia ejawantahkan dalam perbuatan sehari-hari. Jadi perilaku kesehariannya adalah cerminan orang Mukmin . Berjalannya, makannya, bergaulnya, cara berpikirnya, dan sebagainya.<br />
Dan orang Mukmin sejati dalam kehidupan ini tidak lain adalah Rasulullah saw, beliaulah prototipe Mukmin sejati, hal itu bisa kita lihat dalam sirah nabi, yang mana aktivitas beliau mulai bangun tidur hingga tidur kembali adalah cerminan orang Mukmin. Beliau senantiasa menghambakan diri kepada Allah swt, mendahulukan kepentingan umatnya, menyayangi hewan dan tumbuh-tumbuhan.<br />
Oleh karenanya jika ingin menjadi mukmin sejati contoh dan teladanilah Rasulullah saw. Sebab hanya beliau teladan yang paripurna, dan beliaulah Mukmin sejati. Teladani beliau dengan mengejawantahkan rukun iman dalam kehidupan. <br />
Secara pokok iman memiliki enam rukun sesuai dengan yang disebutkan dalam hadis Jibril tatkala ia bertanya kepada Nabi saw tentang iman, lalu beliau menjawab,<br />
”Iman adalah engkau percaya kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan percaya kepada taqdir-Nya, yang baik dan yang buruk.”<br />
<br />
[1] Sosok Para Sahabat Nabi sawBeranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-66459327797168152062010-09-04T01:50:00.000-07:002010-09-04T01:50:27.899-07:00MENYATAKAN DUA KALIMAH SYAHADAT Makna ”Lailaha illallah”Makna Lailaha illallah adalah meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah swt. Yang berarti upaya menyerahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla Pencipta alam semesta, serta menjauhkan semua bentuk peribadatan kepada selain-Nya. Lailaha illallah atau tauhid memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam Islam. Sebab tauhid merupakan hak Allah yang paling besar atas para hamba-Nya.<br />
Maka orang yang memahami tauhid atau Lailaha illallah ialah mereka yang tunduk, patuh, dan taat kepada Allah swt. Sehingga segala bentuk aktifitas dalam kehidupannya adalah ibadah kepada-Nya. Caranya adalah dengan menjalankan kehidupan ini dengan menjadikan al-qur’an dan as-sunnah sebagai dasar acuan aktifitas kehidupan, baik dalam hal keyakinan, hukum halal-haram, dalam berakhlak, bermuamalah, dan lain sebagainya.<br />
<br />
Maka tidak boleh seseorang Muslim mempersempit makna ibadah. Karena ibadah bukan hanya jenis amal-amal yang terkait dengan masjid saja. Seperti: shalat, haji, puasa, zakat dan semisalnya. Ibadah itu meliputi segala aktifitas di rumah, di kantor, di pasar, di jalan, dalam politik, hukum dan lain-lain.<br />
Dengan demikian seseorang Muslim yang mengamalkan La ilaha illallah senantiasa meniatkan dan menujukan segala aktifitas kehidupannya hanya kepada Allah swt, dengan menggunakan pedoman al-qur’an dan as-sunnah serta ilmu pengetahuan diniah.<br />
Dalam hadis yang terkenal dari shahabat yang mulia Mu’adz bin Jabal r. hu, Rasulullah saw bertanya kepadanya : <br />
<br />
عَنْ مُعَاذٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ فَقَالَ يَا مُعَاذُ هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ قُلْتُ اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا<br />
“Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya dan hak hamba-hamba-Nya atas Allah?” Mu’adz menjawab: Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Rasulullah saw bersabda : “Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan hak hamba atas Allah Dia tidak akan menyiksa hamba-Nya yang tidak menyekutukan dengan sesuatu apapun” (Hr. Bukhari dan Muslim)[1]<br />
<br />
Juga dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat ‘Abdullah bin Umar r.hu bahwa Nabi saw bersabda :<br />
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسَةٍ عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللهُ …<br />
“Agama Islam dibangun di atas lima dasar Syahadah bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah (la ilaha illallahu)...” (Hr. Bukhari dan Muslim)[2]<br />
<br />
Oleh karenanya pernyataan La ilaha illallah adalah merupakan pedoman yang sempurna bagi kehidupan. Ia akan terealisasi jika mempersembahkan setiap ibadah hanya untuk Allah swt. Hal itu akan terwujud apabila seorang muslim tunduk dan patuh kepada Allah, dengan kata lain penyerahan total segenap perintah dan tingkah laku manusia yang ditunjukkan dengan comitmen dan consisten 100% terhadap segala aktifitas kehidupannya hanya berdasar dan bersumber dari Allah swt.<br />
<br />
Seseorang yang telah menjadikan Allah sebagai nafas kehidupannya maka ia tidak akan gentar oleh apapun yang menimpa dirinya. Contoh yang paling nyata dalam kehidupan ini adalah Rasulullah saw, suatu ketika beliau tidur di bawah pohon besar, digantungkannya pedang di atas pohon, tiba-tiba datang orang kafir mengacungkan pedangnya tepat dileher Nabi saw, seraya berkata “Muhammad siapa sekarang yang akan menolongmu?” dengan tenang Rasulullah saw menjawab, “Allah!”. Seketika itu tubuh orang kafir langsung gemetar dan jatuhlah pedangnya.<br />
Demikianlah prototipe orang yang telah menjadikan Allah swt sebagai nafas kehidupan, maka suaranya saja dapat menggetarkan hati dan tubuh orang kafir.<br />
<br />
[1] Hr. Bukhari hadis nomor: 2644, juz: IX, halaman: 459. Hr. Muslim hadis nomor: 44, juz: I, halaman: 131.<br />
[2] Hr Muslim hadis nomor: 19, juz: 1, halaman: 101. Hr Bukhari hadis nomor: 7, juz: 1, halaman: 11.<br />
[3] Qs. al-Jumu’ah: 5 “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-10305094748345244912010-09-04T01:47:00.001-07:002010-09-04T01:47:48.323-07:00MEYAKINI KEBERADAAN ALLAH SWTHati Yang Iman Kepada Allah Swt<br />
Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada) yang disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan [sifat 20], dan disucikan dari sifat-sifat kekurangan. Dia Maha Esa, Mahabenar, Tempat bergantung para makhluk, tunggal (tidak ada yang setara dengan Dia), Pencipta segala makhluk, Yang melakukan segala yang dikehendakiNya, dan mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya.<br />
Sebagaimana firman-Nya,<br />
”Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (Qs. al-Ihlash: 1-4)<br />
Masalah keimanan adalah masalah hati. Sedangkan hati itu bermacam-macam, ada orang yang hatinya lembut sehingga mudah menerima hidayah (tauhid) sebagaimana sahabat Abu Bakar as-Sidiq. Hal ini terbukti ketika Rasulullah saw pulang dari isra’ mi’raj beliau langusung iman kepada Rasulullah saw. Namun juga ada hati yang keras bahkan lebih keras dari pada batu, sehingga sulit untuk dimasuki hidayah Allah swt. Sebagaimana paman nabi saw Abu Jahal dan Abu Lahab. Meskipun mereka masih ada hubungan kerabat dengan nabi saw tapi hati mereka keras sehingga hidayah tetap tidak bisa masuk.<br />
Hati yang bersih disebut juga dengan hati yang selamat (qalbun salim). Keadaan hati yang selamat adalah dambaan dari setiap hamba Allah yang beriman kepada-Nya. Hati yang selamat adalah hati yang selalu diperbaiki oleh pemiliknya, atas pertolongan Allah azza wa jalla. Itulah yang disebut hati yang sehat (qalbun 'afiah). Dan, tidak ada jalan yang paling cepat di dalam memperbaiki hati kita, kecuali dengan menanamkan rasa iman secara tekun, disiplin, dan sungguh-sungguh ke dalam hati. Keberadaan hati yang beriman bagi seseorang yang memilikinya, sungguh merupakan anugerah yang sangat mulia bagi seorang hamba yang telah dipilih-Nya.<br />
Tapi, apakah demikian halnya dengan hati orang yang munafik dan kafir kepada Allah azza wa jalla? Jawabannya, adalah tidak. Hati orang munafik, adalah cerminan dari hati seorang hamba yang sakit, atau berpenyakit. Dan hati orang kafir, adalah cerminan hati yang keras lagi membatu. Maka, celaka dan merugilah bila seorang hamba Allah mempunyai hati yang sedang sakit (qalbun mar īdl) atau sedang mengeras (qalbun muqasid). Hati seorang kafir atau munafik sangat sulit untuk menerima petunjuk Allah swt dan setiap ajakan-ajakan kebaikan, di bandingkan dengan hatinya orang-orang mukmin.<br />
Ingat dalam peristiwa isra` wal mi'raj Nabi saw, sebelum beliau di isra` dan mi'raj-kan oleh-Nya dari Makkah menuju Baitul Maqdis, dan dari Baitul Maqdis ke Shiddratul Muntahâ. Nabi saw lebih dahulu harus mengalami "operasi kecil" di mana hati beliau dikeluarkan dari dada untuk kemudian dicuci lebih dahulu oleh dua malaikat-Nya.<br />
Tujuannya sangat jelas, agar Rasulullah saw nantinya tidak melakukan perbuatan maksiat dan dosa kepada Allah swt. Maka, beliau mendapatkan gelar "pribadi yang maksum", yaitu sosok manusia yang tidak akan berbuat salah dikarenakan beliau selalu dijaga oleh-Nya secara langsung.<br />
Inilah pelajaran buat kaum yang beriman kepada Allah swt, bahwa perbaikan hati dan penyucian diri merupakan perbuatan yang sangat penting dan harus dilakukan oleh kaum mukmin, yang dalam kehidupannya tidak mungkin terbebas dari dosa dan maksiat kepada-Nya.<br />
Dikarenakan umat beliau, pribadinya hanya sekadar berkedudukan mahfudz, yaitu hati seseorang akan terjaga oleh-Nya, bila si pemilik hati selalu menjaganya dari perbuatan dosa dan maksiat. Bila seseorang berbuat dosa dan maksiat kepada Allah swt, maka saat itu imannya tercabut dari hati itu.<br />
Dengan demikian di dalam hati yang mahfudz masih terdapat peluang yang sangat besar untuk dapat melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Meski karena keimanannya pula si pemilik hati itu segera menaubati dan menyesali atas perbuatan dosa dan maksiatnya tersebut kepada Allah azza wa jalla.<br />
Itulah yang disabdakan Nabi saw mengenai kondisi hati seorang mukmin, di mana di saat seorang hamba melakukan dosa. Maka, akan muncul bintik hitam di dalam hati tersebut. Jika dosa dan maksiat dilakukan berkali-kali tanpa ditaubatinya, maka bintik-bintik hitam itu akan terus bertambah tebal dan tingginya di dalam hati. Namun, jika si pemilik hati menyesali dan menaubatinya, maka hatinya akan kembali bersih, bercahaya, dan mengkilat; apabila bintik-bintik hitamnya hanya sedikit.<br />
Untuk lebih jelasnya mari kita kaji satu hadis Nabi saw tentang macam-macamnya hati sebagai berikut,<br />
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ: قَلْبٌ أَجْرَدُ فِيْهِ مِثْلُ السِّـرَاجِ يَزْهَرُ، وَقَلْبٌ أَغْـلَفُ مَرْبُطٌ عَلَيْهِ غِلاَفُهُ، وقَلْبٌ مَنْكُوسٌ، وَقَلْبٌ مُصَفَّحٌ، فَأَمَّا الْقَلْبُ اْلأَجْرَدُ فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ، وَ أَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ فَقَلْبُ الْمُنَافِقِ عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ، وَ أَمَّا الْقَلْبُ الْمُصَفَّحُ فَقَلْبُ فِيْهِ إِيْمَانٌ وَنِفَاقٌ فَمَثَلُ اْلإِيْمَانِ فِيْهِ كَمَثَلِ الْقَرْحَةِ يُمِدُّهَا الْقَيْحُ وَالدَّمُ، فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى اْلأُخْرَى غَلَبَتْ عَلَيْهِ<br />
Dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri r.hu, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Hati itu ada empat macam: 1).Hati yang bersih, di dalamnya ada semacam lentera yang bersinar; 2).Hati yang terbungkus yang terikat dan padanya ada bungkusnya; 3).Hati yang terbalik; dan 4).Hati yang dibentangkan. Adapun hati yang bersih adalah hati seorang mukmin. Adapun hati yang terbalik adalah hati seorang munafik, dia tahu tetapi mengingkari. Adapun hati yang terbentang adalah hati yang padanya ada iman dan kemunafikan, dan perumpamaan iman yang ada padanya adalah seperti sayuran yang disuplai air yang bersih; sedangkan perumpamaan kemunafikan yang ada padanya adalah seperti bisul yang disuplai nanah dan darah. Mana di antara kedua suplai itu yang dominan atas lainnya, maka dia yang menang” (Hr. Ahmad).[1]<br />
Qalbun ajradun. Yaitu hati yang bersih, yang di dalamnya terdapat semacam lentera yang bersinar. Hati inilah yang siap menerima semua petunjuk Allah swt. Oleh karenanya orang yang hatinya bersih disebut orang yang beriman (mukmin) sebab hanya orang mukmin saja yang patuh dan tunduk kepada setiap petunjuk dan perintah-Nya.<br />
Di dalam al-qur’an hati orang-orang yang beriman disebut dengan qalbun salim. Hati yang tidak ada keraguan dalam keimanan kepada Allah swt.<br />
Sebagaimana pernah dicontohkan oleh sahabat Abu Bakar as-Shidiq. Yang menurut kebanyakan cerita, Abu Bakar diberi gelar as-Shidiq adalah ketika Rasulullah saw pulang dari isra’ dan mi’raj beliau langsung mengimaninya. Inilah yang disebut dengan keimanan yang tidak ada keraguan padanya.<br />
Qalbun aghlafun. Ialah hati yang terbungkus yang terikat. Hati ini pada dasarnya dimiliki oleh orang-orang yang pandai dan cerdas. Namun dengan kecerdasannya tersebut bukan lebih mendekatkan diri kepada Allah swt, tetapi justru menambah jauhnya dari Allah swt. Kebanyakan orang yang dikaruniai hati semacam ini suka “mengotak-atik” akalnya sehingga menyangka tindakan dan keputusannya adalah paling baik dan benar. Namun dalam kenyataannya pikirannya yang telah dikuasai oleh setan tersebut adalah salah dan sesat, sebab setan telah menghiasi dan membelenggu pikiranya.<br />
Sebagaimana difirmankan-Nya,<br />
<br />
“…Dan syaitan telah menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang berpandangan tajam” (Qs. al-Ankabut:38)<br />
<br />
Dalam ayat yang lain,<br />
<br />
“…Sebenarnya orang-orang kafir itu dijadikan (oleh syaitan) memandang baik tipu daya mereka dan dihalanginya dari jalan (yang benar).” (Qs.ar-Ra’du: 33).<br />
Ini adalah hatinya orang-orang kafir semisal Fir’aun, yang menyangka bahwa ia yang paling benar dan paling berkuasa sehingga berani mengaku Tuhan. Nah prasangka demikian inilah yang menjadikan seseorang semakin jauh dari Allah dan petunjuknya. Juga Haman, dan Qarun, yang sangat gila dengan harta, meraka berpikir bahwa dengan harta meraka dapat membeli segala-galanya. Padahal Allah sekali-kali tidak pernah bisa disuap dengan harta. Bahkan harta itu sendiri pada hakekatnya adalah titipan dari Allah. Maka prasangka yang demikian inilah yang menjadikan ia mereka semakin jauh dari hidayah Allah swt.<br />
Qalbun mangkūsun, Hati yang terbalik, adalah hati orang-orang munafik. Mereka tahu tentang kebenaran adanya Allah swt namun mengingkari keberadaannya. Percaya kepada Allah swt tetapi tidak mau mengerjakan perintah-Nya. Mereka beranggapan bahwa Agama yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah adalah bohong. Sehingga diantara mereka (kaum munafik) mengolok-olok Muhammad bahwa agamanya hayalah tipu daya belaka. Sebagaimana diabadikan dalam al-qur’an,<br />
<br />
“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata :"Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada Kami melainkan tipu daya" (Qs. al-Ahzâb[33]: 12)<br />
Qalbun mushaffahun, Hati yang dibentangkan. Ini adalah hati yang dimiliki oleh orang yang beriman, namun didalam keimanannya masih ada kemunafikan. Sehingga ia menyampur-adukkan antara iman dan kemunafikan. Dalam keagamaannya terdapat istilah populer, “Shalat oke, maksiat jalan terus.” Dia percaya kepada Allah swt. Namun dengan serta-merta menolak dan mengabaikan perintah-Nya, dalam artian ia percaya bahwa al-qur’an adalah petunjuk orang-orang yang beriman, namun ia melemparkannya di atas punggung dan mengabaikannya [samikna wa ashaina] kami dengar tentang Allah tapi kami mendurhakainya. <br />
Ia lebih cenderung kepada kemaksiatan dari pada ketaatan. Sehingga ia tidak lebih dari seekor keledai yang membawa kitab suci. Sebagaimana kaum Yahudi yang diberikan kitab Taurat. Mengetahui tetapi tidak mengamalkannya. Mereka mengatahui tentang kerasulan Muhammad bin Abdullah di dalam Taurat, namun kebanyakan dari mereka mengingkarinya. Demikianlah makna dari firman-Nya,<br />
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Qs. al-Jumu’ah [62]: 5)”<br />
Sebagai orang yang mengimani adanya Allah swt dan hal yang ghaib—termasuk meyakini hal-hal yang tidak masuk akal yang itu datangnya dari Rasulullah saw—berarti dalam setiap hal kita senantiasa merasa dalam penglihatan Allah swt. Dengan demikian kita dengan sendirinya akan selalu berusaha menjadi orang yang terbaik dalam hidup ini. Menjadi yang terbaik dihadap Allah. Terbaik dengan makhluk Allah. Terbaik dalam segala hal dan lini kehidupan.<br />
Contoh pribadi Mukmin paling jelas dalam kehidupan ini adalah Rasulullah ibunda Khadijah r. ha, dan sahabat Nabi saw, yaitu Abu Bakar as-Siddiq r. hu, yang langsung percaya dan iman terhadap cerita yang disampaikan Nabi saw setelah Isra’ mi’raj, walau tidak masuk akal sekalipun. Sebab iman bukan wilayah akal tapi wilayah hati. Maka beliau mendapat gelar as-Siddiq.<br />
Hingga ada ungkapan yang mengatakan bahwa, ”Seandainya iman Abu Bakar diletakkan dalam timbangan yang satu dan iman umat seluruh penduduk bumi di letakan pada timbangan yang lain maka, niscaya iman Abu Bakar lebih berat dari iman seluruh penduduk bumi.”<br />
Wallahu a’lamBeranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-23961263392442342382010-09-04T01:46:00.000-07:002010-09-04T01:46:25.095-07:00MEYAKINI ADANYA MALAIKAT ALLAH SWTMeyakini keberadaan Malaikat Allah swt adalah perkara wajib bagi seorang mukmin dan salah-satu pilar dalam pilar-pilar Iman. Dan Iman kepada para malaikat-Nya adalah bagian dari sikap Iman seorang mukmin kepada masalah yang ghaib. Sekali lagi iman adalah masalah hati. Hati mukmin senantiasa mengimani apapun yang datangnya dari Rasulullah saw walaupun hal itu tidak masuk akal, seperti isra’ mi’raj Rasulullah saw.<br />
Karenanya sebagai seorang mukmin, dalam masalah yang ghaib lebih bersifat tawaqquf (mendiamkan karena mengimaninya-red). Hal itu sebagai perwujudan dari keyakinannya bahwa masalah ghaib merupakan hak mutlak Allah swt yang Mahamengetahui.<br />
Seseorang yang telah dikaruniai keimanan yang mapan lagi matang hanya akan membicarakan malaikat bila didukung oleh wahyu (al-qur’an) dan sunnah (hadis). Apabila dari kedua nash tersebut tidak ada jaminan orisinalitas, maka dia lebih memilih untuk mengambil sikap diam. Ketimbang menjadikannya perselisihan pendapat yang tidak berdasar (ikhtilaf). Di samping juga berusaha dengan keras, sekali pun yang di-ikhtilaf-kan memiliki dasar pijakan nash karena masih berada dalam wilayah ijtihadiah. Namun untuk meminimalkan ikhtilaf; seorang mukmin memilih bersikap diam dan mendiamkannya.<br />
<br />
Sebab mereka telah berkeyakinan bahwa keberadaan malaikat adalah sesuatu yang mutlak untuk diimani. Sedangkan mengenai seluk-beluk atas existensi malaikat sepenuhnya diserahkan kepada Allah swt. Sebab, seorang mukmin sangat menyadari bahwa manusia tidak ada kecakapan dengan persoalan yang ghaib. Karena tidak ada kecakapan, maka yang terjadi adalah sekadar "kira-kira" atau "mungkin". Betapa bahayanya jika suatu keilmuan dan kebenaran tentang kemaujudan malaikat hanya melahirkan ketetapan dan keputusan mengenai existensi malaikat yang mendasarkan sekadar pada "perkiraan" atau "kemungkinan". Oleh sebab itu dalam membahas malaikat harus didukung dengan nash. Demikianlah kepribadian seorang mukmin mukmin terhadap keimanannya dengan para malaikat-Nya.<br />
Iman kepada Malaikat adalah yakin dan membenarkan bahwa Malaikat itu ada, diciptakan oleh Allah swt dari cahaya [nur]. Dalam artian wajib hukumnya meyakini adanya malaikat, walaupun kita tidak dapat melihat mereka. Allah menciptakan mereka dari cahaya. Mereka menyembah Allah dan selalu taat kepada-Nya, mereka tidak pernah berdosa.<br />
Sebagai orang yang mukmin kita wajib mengimani adanya Malaikat Allah, sebab yang mengatakannya adalah Allah lewat Rasulullah dalam al-qur’an, yang mana ada banyak ayat dalam al-qur’an dan hadis yang menerangkan tentang penciptaan Malaikat,<br />
Firman Allah swt,<br />
<br />
“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. Fâthir [35] :1)<br />
$¨B àáÏÿù=tƒ `ÏB @Aöqs% žwÎ) Ïm÷ƒy‰s9 ë=‹Ï%u‘ Ó‰ŠÏGtã ÇÊÑÈ <br />
”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (Qs. Qâf [50]: 18)<br />
Dan demikian pula banyak hadis yang menerangkan keberadaan Malaikat Allah swt di muka bumi yang wajib kita imani diantaranya sabda beliau saw,<br />
<br />
صَفْوَانُ بن عَسَّالٍ الْمُرَادِيُّ، قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ وَهُوَ مُتَّكِئٌ فِي الْمَسْجِدِ عَلَى بُرْدٍ لَهُ، فَقُلْتُ لَهُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي جِئْتُ أَطْلُبُ الْعِلْمَ، فَقَالَ:"مَرْحَبًا بطالبِ الْعِلْمِ، طَالِبُ الْعِلْمِ لَتَحُفُّهُ الْمَلائِكَةُ وَتُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا، ثُمَّ يَرْكَبُ بَعْضُهُ بَعْضًا حَتَّى يَبْلُغُوا السَّمَاءَ الدُّنْيَا مِنْ حُبِّهِمْ لِمَا يَطْلُبُ، فَمَا جِئْتَ تَطْلُبُ؟"<br />
Shafwan bin 'Assal al-Mawardi pernah mendatangi Rasulullah saw ketika beliau sedang bersandar pada serban merahnya di masjid. Safwan menyapanya," Rasulullah, saya datang untuk belajar." Beliau bersabda; "Selamat datang, penuntut ilmu. Penuntut ilmu itu dinaungi oleh sayap para malaikat, antara satu malaikat dengan lainya saling berpegangan, hingga mereaka sampai kelangit dunia. Hal itu mereka lakukan karena cinta mereka terhadap penuntut ilmu. (Hr. Thabrani).[1]<br />
Shafwan bin 'Assal mendengar Rasulullah saw bersabda; malaikat pasti menghamparkan sayapnya untuk setiap orang yang keluar dari rumahnya untuk mencari ilmu, karena cinta mereka terhadap penuntut ilmu." (Hr. Ibnu Majah).<br />
<br />
عَنْ عَلِيِّ رَضِيَّ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ: أَمَرَنَا بِالسِّوَاكِ فَقَالَ: إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا قَامَ يُصَلِّيّ أَتَاهُ الْمَلَكُ فَقَامَ خَلْفَهُ، فَيَسْمَعُ لقراءته وَيَدْنُوْ مِنْهُ كُلَمَا قَرَأَاَيَةً أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا حَتَّى يَضَعَ فَاهُ عَلَى فِيْهِ فَمَا يَخْرُجُ مِنْ فِيْهِ شَيْىءٌ مِنَ الْقُرْآنَ إِلاَّ صَارَ فِيْ جَوْفِ الْمَلَكِ, فَطَهَّرُوْا أَفْوَاهَكُمْ لِلْقُرْآنَ<br />
‘Ali sangat menganjurkan bersiwak dan pernah berkata, Rasulullah saw bersabda; “Jika seseorang bersiwak, kemudian melaksanakan shalat, maka seorang malaikat akan berdiri dielakangnya untuk mendengarkan bacaannya. Setiap kali ia membaca satu ayat, malaikat tersebut mendatanginya, sehingga mulutnya bertemu dengan mulut malaikat itu. Setiap ayat yang keluar dari mulutnya. Langsung tersalur ketubuh malaikat. Oleh karena itu, ketika membaca al-Qur'an, bersihkanlah mulut kalian terlebih dahulu. (Hr. al-Baihaqi).[2]<br />
Ayat dan hadis di atas cukup sebagi bukti bahwa Allah swt menciptakan Malaikat yang wajib kita imani. Dan Allah menciptakan malaikat itu tak lain adalah untuk membantu para hamba-Nya khususnya manusia dalam mengemban tugas kekhalifahan di Dunia ini.<br />
Walaupun manusia tidak dapat melihat malaikat tetapi jika Allah berkehendak maka malaikat dapat dilihat oleh manusia, yang biasanya terjadi pada para nabi dan rasul. Malaikat selalu menampakan diri dalam wujud laki-laki kepada para nabi dan rasul. Seperti terjadi kepada nabi Ibrahim dan Muhammad saw.<br />
Selanjutnya dengan beriman kepada Malaikat Allah swt diharapkan dalam setiap keadaan merasa bahwa gerak-gerik yang dilakukan oleh seseorang tidak lepas dari pemantauan malaikat, sehingga tidak berani melanggar perintah Allah swt. Selain itu juga diikuti dengan mencontoh sifat-sifatnya yang mulia<br />
Dengan demikian beriman kepada Malaikat-Nya berarti percaya bahwa Allah swt telah menciptakan makhluk halus yang dinamakan malaikat, dengan mengimani malaikat Allah (beriman adanya malaikat) diharapkan agar dalam kehidupan ini manusia,<br />
· Semakin meyakini Kebesaran, Kekuatan dan keMahakuasaan Allah swt.<br />
· Bersyukur kepada-Nya, karena telah menciptakan para malaikat untuk membantu kehidupan dan kepentingan manusia dan jin.<br />
· Menumbuhkan cinta kepada amal shalih, karena mengetahui ibadah para malaikat.<br />
· Merasa takut bermaksiat karena meyakini berbagai tugas malaikat seperti mencatat perbuatannya, mencabut nyawa dan menyiksa di neraka.<br />
· Cinta kepada malaikat karena kedekatan ibadahnya kepada Allah swt, dan karena mereka selalu membantu dan mendoakan kita.<br />
Wallahu a’lam<br />
<br />
[1] Hr. Thabrani hadis nomor: 7196, juz: 7, halaman: 49.<br />
[2] Hr. al-Baihaqi hadis nomor: 2051, juz: 5, halaman: 130.Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-2647771397586931662010-09-04T01:44:00.001-07:002010-09-04T01:44:57.296-07:00MAKNA MUSLIMIslam ialah sebuah agama atau keyakinan dan orang yang memeluk keyakinan agama Islam dan taat terhadap aturannya disebut muslim. Jadi yang disebut dengan muslim adalah seseorang yang telah nurut terhadap peraturan-peraturan Islam, ini berarti penyerahan total 100 persen dirinya hanya kepada Allah swt.<br />
Oleh karenanya jika seseorang yang telah menjalankan kelima rukun Islam dengan baik dan benar[1] maka ia disebut muslim! Jika belum maka sebaliknya! Karena makna muslim adalah menyerahkan diri secara total dan tunduk patuh kepada Allah swt. Sebagaimana wasiat Nabi Ibrahim dan Yakub di dalam al-quran. “Jangan sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan berserah diri kepada Allah.”[2] <br />
Juga di dalam al-qur’an surah Ali- Imran: 102.<br />
<br />
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.”<br />
Akhir ayat ini ”muslimun” sering diartikan “Keadaan beragama Islam.”<br />
Padahal kalau kita analisa pengertian ayat tersebut di atas tidak sesuai dengan pemahaman alias kurang pas atau lebih tepatnya pemahaman yang “membodohi” umat. Sebab beragama Islam tidak sama dengan muslim karena yang disebut dengan muslim ialah seseorang yang telah berserah diri kepada Allah 100%! Sedangkan orang yang beragama Islam belum tentu berserah diri kepada Allah swt.<br />
Walaupun dia percaya bahwa Allah itu ada dan Muhammad itu Rasul dan utusan-Nya. Sebab banyak orang yang mengaku beragama Islam yang masih suka mencuri timbangan, korupsi, ngentit, nggibah, memfitnah, adu domba, aniaya, dan lain-lain. Itu artinya dia belum berserah diri kepada Allah swt, tapi baru beragama Islam.<br />
Jika ada orang yang beragama Islam tapi tidak menjalankan syari’at Islam dan senantiasa berbuat kedhaliman kemudian dia mati? Apakah dia telah mati dalam keadaan muslim? Apakah itu yang dikehendaki Nabi Ibrahim dan Yakub? Tentu tidak, kalau hanya beragama Islam sangatlah mudah, Nabi Ibrahim dan Yakub tidak perlu mewanti-wanti putranya. Kalau hanya mengucapkan dua kalimat sahadat didepan saksi. Maka disebut berIslam. Tapi yang berat adalah mengamalkan dan mengejawantahkan dua kalimat sahadat tersebut di dalam kehidupan sehari-hari sebagai cerminan orang yang berserah diri kepada Allah swt.<br />
Orang yang telah berserah diri kepada Allah inilah yang disebut dengan Muslim. Di dalam bahasa al-qur’an disebut “wa ufauwidhu amri ilallah”[3] berserah diri kepada Allah swt, yang dalam bahasa jawa di artikan “ngglundung semprong marang Allah".<br />
Jadi ia benar-benar menyerahkan totalitas hidupnya hanya untuk Allah swt. Dan hal ini pernah dicontohkan oleh kekasih Allah Ibrahim as,<br />
ketika dilempar ke dalam api raja Namrud. Lalu beliau dengan tenang mengucapkan “hasbiyallah wani’mal wakil”. (Cukuplah Allah sebagai pelindung.)<br />
Juga diabadikan di dalam al-qur’an,<br />
<br />
”Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi Dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Qs. Ali-Imrân [3]: 67)<br />
Dicontohkan pula oleh putranya yaitu nabi Isma’il as, ketika hendak disembelih oleh ayahnya, beliau pasrah kepada Allah swt dengan mengucapkan “Satajidunî insyâ allahu minas-shâbirîn”.<br />
Sebagaimana Firman Allah swt,<br />
<br />
”Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar". (Qs. ash-Shâffât [37]: 102)<br />
Juga yang di lakonkan oleh Nabi Muhammad saw bersama Abu Bakar as-Siddiq ketika berada dalam gua Tsur, bersembunyi dari kejaran orang-orang kafir. Abu Bakar risau, kawatir, tapi kemudian Rasulullah saw menenangkan dengan mengucapkan ”La tahzan Innallaha ma’ana” Jangan kawatir wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah bersama kita. Sabda Nabi tersebut adalah bukti dari kepasrahan beliau kepada Allah swt. Itulah muslim, menyerahkan segala urusan dan bergantung kepada Allah, serta senantiasa merasa bersama Allah swt.<br />
Dan pada hakikatnya semua para nabi dan rasul Allah adalah muslim alias berserah diri kepada Allah swt. Sebagai umat Muhammad yang mengimani agama Islam dan kemusliman semua Nabi dan Rasul Allah sudah sepatutnya kita meneladani mereka sebagai hamba yang ”Muslimûn”. Nah, tanda dari penyerahan diri kepada Allah swt itu diimplementasikan dengan mengerjakan rukun Islam yang lima.<br />
<br />
<br />
[1] Ukuran baik dan benar adalah Neraca syari’at [al-qur’an, as-sunnah, ilmu pengetahuan diniah].<br />
[2] Qs. Al-Baqarah: 132. “Dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".<br />
<br />
<br />
[3] Qs. al-Mukmin: 44Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-22195729020716278572010-09-04T01:43:00.001-07:002010-09-04T01:43:29.484-07:00MENUNAIKAN HAJI KE MASY’ARIL HARAMIbadah haji adalah rukun Islam yang ke-lima, yang diwajibkan kepada orang-orang yang telah ”mampu”. Secara umum, tujuan pokok ibadah haji sebagaimana disebutkan dalam surat al-Hajj 27-28, adalah “agar manusia menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan agar mereka mengingat dan menyebut nama Allah”.<br />
Ibadah haji merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam yang telah sanggup untuk melaksanakannya, baik itu secara jasmani maupun secara rohani. Sanggup berarti mampu menyediakan bekal selama diperjalanan sampai pulang ke negerinya. Sanggup juga bermakna mempunyai harta untuk keluarga yang ditinggalkannya selama melaksanakan ibadah haji. Dengan demikian Seorang fakir yang tidak mempunyai harta untuk menghidupi diri dan kelurganya maka tidaklah wajib melaksanakan ibadah haji.<br />
Dan begitu juga ketika seseorang memiliki harta yang cukup untuk perbekalan tetapi tidak ada kendaraan untuk pergi melaksanakan ibadah haji karena tempatnya yang jauh dan tidak bisa ditempuh dengan berjalan kaki maka tidaklah wajib ibadah haji. Haji tidak wajib bila ada kendaraan akan tetapi perjalanannya tidak aman atau akan mendapatkan berbagai macam bahaya. Makna “mampu” bukan hanya mampu secara material, melainkan juga mampu secara mental dan spiritual dan ini yang terpenting.<br />
Sebelum pergi haji, seseorang harus sudah membersihkan dirinya dari jeratan duniawi (dimanasik dulu) dan sebaik-baik bekal untuk melaksanakan ibadah haji adalah taqwa.<br />
Persiapan menjelang ibadah haji adalah dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Artinya seseorang yang akan melaksanakan ibadah haji sudah tergambar kebersihan dirinya sebelum melaksanakan ibadah haji tersebut. Ditunjukkan dengan shalat yang tepat waktu dan khusyuk, suka berderma, memuliakan anak yatim dan fakir miskin, rajin mengerjakan amalan-amalan sunnah yang kesemuanya itu ia lakukan semata mencari ridha Allah swt.<br />
Sehingga sepulang dari haji nantinya, dia dapat menerapkan segala simbol yang dilaluinya selama ibadah haji di masaril haram dalam kehidupan sehari-hari setelah kembali ke negaranya masing-masing.<br />
Bukan sepulang dari haji malah melakukan korupsi secara lihai, pandai membohongi masyarakat. Pergi haji juga bukan untuk menutupi kecacatan aib dalam politik seseorang. Bukan untuk menebus dosa politik! Tapi sebaliknya pergi haji adalah bertujuan untuk meningkatkan mutu kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ibadah haji menjadikan hidup bersih, hidup benar, dan hidup tidak menyakiti orang lain.<br />
Karena Allah swt telah berfirman,<br />
“… Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan…” (Qs. al-Baqarah: 197)<br />
Menurut ayat di atas artinya seseorang yang telah berihram (memakai baju ihram) dilarang melakuakan tiga hal yaitu, rafats atau aktivitas seksual, tindakan fisik, dan berbantah-bantahan.<br />
<br />
Pertama tidak boleh rafats, berihram sebenarnya merupakan lambang penyucian batin. Dalam artian berihram mengandung makna melepaskan dan membebaskan diri dari lambang material dan ikatan kemanusiaan, mengkosongkan diri dari mentalitas keduniawiaan, membersihkan diri dari nafsu serakah angkara murka, kesombongan serta kesewenang-wenangan. Oleh karenanya pelaku haji harus mengenakan pakaian sederhana yang berupa balitan kain putih tanpa jahitan. Dalam upaya menyucikan jiwa, manusia harus bisa meredam gejolak birahinya. Sehingga semua hal yang mengarah pada pembangkitan nafsu birahi harus ditiadakan!<br />
Kedua larangan berbuat fisik. Perbuatan fisik yang dimaksud ialah perbuatan yang menyimpang atau melangar hukum Allah swt. Pebuatan keji dan mungkar sebagaimana diterangkan pada ayat di atas tidak boleh dilakukan. Dalam pengertian fisik ketika berihram adalah membunuh. Baik membunuh manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Maksud pelanggaran dalam berihram ini, agar seseorang sepulangnya dari perjalanan haji tidak berbuat aniaya terhadap makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan. Apalagi membunuhnya. Kalau toh akan melakukan penebangan itu tidak sampai menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Inilah ajaran Islam! Ajaran yang indah dalam kahidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.<br />
Ketiga larangan bertengkar. Artinya segala macam bentuk pertengkaran dilarang! Dalam berihram tidak ada lagi perdebatan dan bantah-bantahan saling mencaci dan lain sebagainya. Kalau kita bayangkan, alangkah harmonisnya kehidupan negeri ini, bila orang-orang yang telah pergi haji itu bisa menerapkan perinsip-prinsip berihram dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya sebatas formalitas-dhahirnya saja.<br />
Sebab apalah artinya bila tata cara berihram itu dilakukan sebatas formalitas? Apa gunanya haji berkali-kali bila ibadah ihram itu tidak lagi membekas? Kalau mau jujur, banyak orang yang naik haji itu kehilangan makna sepiritualnya. Kehilangan ”ruhnya” haji. Padahal seharusnya orang yang telah berhaji diharapkan sekembalinya dari tanah suci terjadi perubahan perilaku yang siknifikan. Tercermin dengan tambahnya rasa takut kepada Allah swt yang ditandai dengan ibadahnya yang semakin meningkat. Hubungan kepada sesama makhluk Allah semakin bagus dan indah yang ditunjukkan dengan berbudi pekerti yang luhur dalam setiap langkah hidupnya.<br />
Maka yang perlu ditradisikan oleh segenap umat Islam umumnya dan jamaah haji khususnya senantiasa merubah pikiran dan cara berpikirnya, sikap serta perilaku tindakan yang lebih bermanfaat untuk masyarakat dan orang lain, jangan sampai memiliki persepsi bahwa ibadah haji itu hanya untuk Allah, justru yang paling penting adalah ibadah haji itu diperuntukkan bagi sesama manusia dengan cara selalu menjaga, menghormati, menghargai serta saling menjunjung tinggi martabat manusia. Sebagai wujud dari perilaku ihsan yaitu senantiasa merasa dilihat oleh Allah swt dalam keadaan yang bagaimanapun. Dan senantiasa mengingat dan menyebut nama-Nya.<br />
Inilah yang disebut dengan haji mabrur. Haji yang mampu mentransformasikan pribadi menjadi insan shalih dan berbudi luhur, haji yang mampu menghadirkan pribadi Rasulullah saw dalam jiwa mereka, haji yang menjadikan seseorang semakin taat terhadap Allah dan rasul-Nya. Semakin peduli terhadap lingkungan, tanaman dan sebagainya. Inilah haji yang dalam hadis Nabi dijanjikan dengan surga.<br />
”Wal hajjul mabruru laisa lahul jazāu illal jannah.” Tidak ada balasan yang pantas bagi haji mabrur kecuali surga.”<br />
Ibadah haji mengandung banyak hikmah besar dalam kehidupan rohani seorang Muslim, serta mengandung kemaslahatan bagi seluruh ummat Islam pada sisi agama dan dunianya. Diantara hikmah itu adalah:<br />
Ø Haji merupakan manifestasi ketundukan kepada Allah swt semata. Orang yang menunaikan ibadah haji meninggalkan segala kemewahan dan keindahan, dengan mengenakan busana ihram sebagai manifestasi kefakirannya dan kebutuhannya kepada Allah, serta menanggalkan masalah duniawi, dan segala kesibukan yang dapat membelokkannya dari keikhlasan menyembah Tuhannya.<br />
Ø Melaksanakan ibadah haji merupakan ungkapan syukur atas nikmat harta dan kesehatan. Dalam haji ungkapan syukur atas kedua nikmat terbesar ini dicurahkan, dan dalam haji pula manusia melakukan perjuangan jiwa raga, menafkahkan hartanya dalam rangka mentaati, serta mendekatkan diri kepada Tuhannya.<br />
Ø Haji menempa jiwa agar memiliki semangat juang tinggi. Dalam hal ini dibutuhkan kesabaran, daya tahan, kedisiplinan, dan akhlak yang tinggi agar manusia saling menolong satu sama lain.<br />
Ø Umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul pada pusat pengendali roh dan qolbu mereka. Segala perbedaan antara manusia menjadi sirna, mereka semua bersatu dalam suatu konferensi manusia terbesar, yang diwarnai kebaikan, kebajikan dan permusyawarahan, serta sikap saling menasehati, saling menolong dalam kebaikan. Tujuan utamanya adalah mengingatkan diri pada Allah swt.<br />
Ø Haji menyimpan kenangan di hati, mampu membangkitkan semangat ibadah yang sempurna dan ketundukan tiada henti kepada perintah Allah swt. Serta mengajarkan keimanan yang menyentuh jiwa dan mengarahkannya pada Tuhan dengan sikap taat dan menghindari kesenangan duniawi.<br />
Subhanallah, alangkah indahnya kehidupan Republik ini jika orang yang pergi haji mau memahami dan menerapkan makna-makna simbol di dalam rangkaian ibadah haji! Yang hasil ahirnya seseorang yang selesai menunaikan ibadah haji senantiasa mengingat dan menyebut nama Allah swt kapan pun, dimana pun dan dalam keadaan yang bagaimanapun.<br />
<br />
Wallhu a’lamBeranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-49315785918938092872010-09-04T01:42:00.001-07:002010-09-04T01:42:32.764-07:00PUASA RAMADHAN DENGAN IKHLAS KARENA ALLAH SWTPuasa dibulan Ramadlan adalah rukun Islam yang ke-empat. Adalah ayat yang sangat populer ditelinga kita yang setiap kali datang bulan ramadlan pasti dibaca oleh mubaligh-mubaligh dan para dai. Yaitu firman-Nya,<br />
$yg•ƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6ø‹n=tæ ãP$u‹Å_Á9$# $yJx. |=ÏGä. ’n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ <br />
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Qs. al-Baqarah [2]:183)<br />
Ayat ini menegaskan bahwa yang wajib berpuasa adalah orang-orang yang beriman dan inti dari berpuasa ialah menjadikan setiap pelakunya menuju taqwa kepada Allah swt.<br />
Orang yang berpuasa berarti diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah, yakni dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Inilah tujuan agung dari disyari’atkan puasa. Jadi bukan hanya sekedar melatih untuk meninggalkan makan, dan minum.<br />
Terlebih dari itu kita dilatih untuk bisa mengendalikan nafsu sahwat yang nyata [makan, minum, menggauli istri, dan lain sebagainya] dan nafsu sahwat samar [keinginan menjadi populer, menghibah, ingin menjadi ini dan itu, dan lain sebagainya]. Yang hasilnya adalah menjadi insan muttaqin.<br />
Maka dalam berpuasa itu juga mengandung makna syahadat, zakat dan shalat. Sebab orang yang berpuasa bisa merasakan penderitaan orang-orang fakir miskin dan kaum dhuafa’, dari situlah akan muncul rasa empati terhadap fakir miskin dan kaum dhuafa’ sehingga hati terdorong untuk memberi dan memuliakan mereka, nah memberi inilah diwujudkan dengan mengeluarkan zakat fitrah sebagai penyempurna amal ibadah puasa dibulan ramadlan.<br />
Dalam puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga tapi juga menahan hawa nafsu yang meledak-ledak. Dalam artian meledak-ledaknya nafsu syahwat di hari-hari biasa, dapat dikendalikan pada bulan puasa sehingga puasa akan terasa sangat nikmat bila kita meng-Allah-kan Allah alias mempersembahkan amal ibadah kita hanya untuk Allah semata. Sedangkan meng-Allah-kan Allah itu sendiri adalah bukti dari pada shalat yang khusyuk. Shalat khusyuk bisa tercipta jika seseorang mengamalkan syahadat dengan baik dan benar serta ikhlas dalam kehidupan.<br />
Oleh karenanya apabila kita membaca ayat tersebut [Qs. al-Baqarah [2]:183], maka tentulah kita mengetahui apa hikmah diwajibkan puasa, yakni takwa dan menghambakan diri kepada Allah swt.<br />
Adapun takwa itu sendiri adalah berusaha sekuat tenaga mengerjakan perintah-perintah Allah swt dan meninggalkan segenap larangan-larangan-Nya. Serta menghormati dan menyayangi sesama makhluk Allah dimuka bumi. Nabi Muhammad saw bersabda,<br />
“Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap amalan [dia] meninggalkan makanan dan minumannya.” (Hr. Bukhari)<br />
Berdasarkan dalil ini, maka diperintahkan dengan kuat terhadap setiap orang yang berpuasa untuk mengerjakan segenap kewajiban, demikian juga menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya baik berupa perkataan maupun perbuatan. Perintah untuk tidak mencela, ghibah (menggunjing orang lain), berdusta, mengadu domba antar manusia, menjual barang dagangan yang haram, dan menjahui semua hal yang dapat melalaikan dari ketaatan kepada Allah swt, serta menjauhi segala bentuk keharaman lainnya.<br />
Apabila seseorang mengerjakan kebaikan itu dalam satu bulan penuh dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah swt. Maka Allah swt akan mengampuni dosa-dosanya yang telah berlalu, dan menjanjikan surga-Nya. Yang mana hasil akhir atau dampak dari berpuasa sebulan penuh yang dilakukan hanya dengan mengharapkan ridha Allah swt adalah menjadi hamba yang semakin mendekatkan diri kepada Allah dan takut kepada Allah dengan kualitas Islam dan Iman yang terus meningkat didalam perilaku kehidupan.<br />
Inilah balasan bagi orang yang berpuasa dengan sungguh-sungguh, dalam artian puasa yang dilakukan benar-benar berusaha sekuat tenaga untuk menghindarkan diri segala hal-hal yang membatalkan puasa dan segenap perbuatan yang dilarang oleh-Nya sehingga hasil yang dicapai nantinya adalah insan muttaqin.<br />
Akan tetapi betapa sedihnya, kebanyakan orang yang berpuasa tidak membedakan antara hari puasanya dengan hari berbukanya. Mereka tetap menjalani kebiasaan buruk yang biasa mereka lakukan yakni meninggalkan kewajiban-kewajiban dan mengerjakan keharaman-keharaman. Mereka tidak mendapatlan pahala puasa Ramadhan, Naudzubillah min dzalik.<br />
Dibalik itu semua yang tak kalah pentingnya dalam berpuasa adalah Allah menjadikan kesehatan baginya dan juga tubuhnya, sehingga mengapa Allah memerintahkan puasa bagi umatnya hal ini karena kasih sayang-Nya terhadap para hamba-hamba-Nya dengan tujuan agar para hamba-Nya memiliki badan yang senantiasa sehat karena didalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat.<br />
Hal ini tidak hanya Allah perintahkan kepada kita saja melainkan juga kepada orang-orang terdahulu sebelum kita. Karena hal ini dimaksudkan jika kita berpuasa maka secara otomatis dalam tubuh kita metabolisme akan berjalan dengan baik sehingga membuat badan kita sehat dan jiwa kita yang kuat.<br />
Jika kita beribadah kepada Allah swt dalam kondisi badan sehat dan kuat maka insya Allah akan menambah kekhusukan kita dalam melakukan peribadatan tersebut, karena badan kita dikaruniai kesehatan oleh-Nya. Sehingga kita bisa merasakan manisnya iman pada saat beribadah kepada Allah, shalat semakin khusuk dan mantab. Yang ada adalah syukur dan syukur kepada Allah swt. Dan semoga kita dikaruniakan oleh-Nya ketambahan iman serta digolongkan menjadi manusia yang mulia dihadapan-Nya, insya Allah.<br />
Oleh karenanya Ramadlan adalah bulan kemuliaan bagi orang yang cerdas akal dan nalarnya. Itulah sebabnya, bagi seseorang yang al-kayyis (cerdas nalar dan akal)-nya selalu berharap setahun itu menjadi bulan Ramadlan selamanya.<br />
Sungguh menjadi kerugian terbesar, jika Ramadlan tidak mengalami Perubahan Perilaku, untuk menjadi lebih baik, benar lagi lurus. Ramadlan dengan puasa merupakan saranan yang tepat untuk menjadi seseorang berkepribadian menarik, harmonis, energik, tawadhu’ dan satun. Maka, tidak ada hubungannya orang puasa dengan loyo.<br />
Sebaliknya, dengan puasa seseorang menjadi lebih: energik, dinamis, sehat, menarik, harmonis, dan satun serta rendah hati di keseharian hidupnya. Karena dengan puasa otak menjadi semakin jernih dan cerdas. Nafsu syahwat menjadi terkendali. Tekanan darah cenderung stabil. Dan, gerak kehidupan menjadi lebih terkontrol. Dan inilah yang dimaksud dengan pribadi muttaqin! Pribadi yang senantiasa energik, dinamis, sehat, menarik, harmonis, sabar, syukur dan satun di keseharian hidupnya.<br />
Pada akhirnya puasa membuat orang menjadi pribadi muttaqin, pribadi yang muttaqin ditunjukkan dengan sikapnya yang senantiasa berada dalam aturan Allah dan rasul-Nya. Menghindari perbuatan keji dan munkar, berlaku baik kepada tetangga, memberi makan fakir miskin, tidak menyia-nyiakan anak yatim, rendah hati dalam kehidupan.<br />
Wallahu a’lam.Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-3099988256871369372010-09-04T01:41:00.001-07:002010-09-04T01:41:31.332-07:00Zakat Wujud dari Rahmatan lil- AlaminAkhlak pemurah merupakan karakter yang ada pada setiap orang dermawan. Seorang yang dermawan di dalam membantu orang lain atau menolong saudaranya, benar-benar murni karena Allah. Sebaliknya, jika orang yang mengeluarkan harta bendanya disebabkan ada maunya maka, orang jenis ini tidak dapat dikatakan sebagai orang yang dermawan.<br />
Islam tidak hanya mengajarkan untuk dermawan tapi juga luhur dan murah hati. Pribadi yang luhur adalah insan yang suka memberikan lebih dari apa yang diminta, suka mendermakan lebih dari apa yang diwajibkan. Ia suka memberikan sesuatu, kendati tidak diminta dan tidak dituntut terlebih dahulu. Ia suka berderma (memberi sahadaqah) dikala siang maupun malam, dan dikala longgar maupun sempit itulah yang didalam al-quran disebut sebagai orang yang “muhsinin”.<br />
Yaitu orang-orang yang mendapat jaminan surga-Nya, yang luasnya seluas langit dan bumi. Sebab itulah, telah turun sejumlah ayat al-qur'an dan hadits Rasulullah yang mulia sebagai pembawa berita gembira bagi orang-orang yang berderma, luhur dan murah hati. Sebagaimana firman-Nya,<br />
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi. Dan kelak Dia benar-benar mendapat kepuasan.”(Qs. al-Layl: 17-21)<br />
<br />
Demikianlah makna dibalik perintah zakat, yaitu diantaranya mempererat persaudaraan diantara kaum muslimin-mukmin, untuk meratakan status sosial yang ada pada masyarakat Islam, mengentas kemiskinan, menolong kaum yang lemah.<br />
Sehingga setelah Rasulullah wafat dan pemerintahan digantikan oleh khlifah Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khatab, perintah zakat ini benar-benar diterapkan mengingat betapa besar makna dibalik perintah zakat tersebut sampai-sampai orang yang enggan membayar zakat diperbolehkannya untuk dibunuh. Hal ini tak lain bertujuan agar terciptanya rasa saling memiliki antara orang yang berzakat dan penerima zakat. Dan menjadikannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.<br />
Zakat mendorong orang menjadi dermawan, orang yang dermawan adalah orang yang baik lagi bijaksana memberi tanpa pamrih alias ihlas karena Allah swt, yang dia harapkan adalah ridha dan cinta Allah swt supaya kelak di akhirat dapat melihat wajah Agung-Nya<br />
Selain itu makna dibalik perintah zakat adalah untuk mensucikan harta benda kaum muslimin-mukmin. Sehingga menjadikan harta mereka tidak hanya bersih secara dhahir melainkan juga batin. Seseorang muslim-mukmin yang hidupnya dalam keadaan suci baik harta, jiwa dan raganya, maka dalam beribadah pun tidak akan bercokol dalam hatinya sedikitpun untuk menyekutukan Allah swt. Karena dalam harta, jiwa dan raganya sudah suci sehingga secara otomatis hal ini akan mudah untuk bersemayam didalam hatinya kalimat tauhid yang menjadikan dirinya semakin takut kepada Allah swt.<br />
<br />
Oleh karenanya zakat sebagai salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada para hambanya agar dirinya menjadi hamba yang selalu bersyukur dengan segala nikmat dan karunia yang diberikan oleh-Nya. Sehinga tidak ada lagi rasa iri dalam hati. Dari sinilah akan terwujud rahmatan lil alamin dalam setiap sendi kehidupan.<br />
Wallahu a’lamBeranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-68581010307406760082010-09-04T01:39:00.001-07:002010-09-04T01:39:48.330-07:00MENGELUARKAN ZAKATDefinisi Zakat<br />
<br />
Apakah zakat itu? Dalam bahasa Arab, zakat ialah kata dasar (isim masdar) dari fi’il (perbuatan) zaka. Zaka dari aspek bahasa ialah suci, bersih, subur, tumbuh, berkembang, berkah dan terpuji. Maka yang disebut dengan zakat adalah penyuci, pembersih, penyubur, penumbuh, pengembang, dan pemberkah harta.<br />
Oleh karenanya bisa dianalogikan, harta yang dizakatkan itu sebenarnya akan menjadikan harta si pemilik itu bersih, makin subur dan dapat terus berkembang serta bertambah berkah.<br />
<br />
Disamping itu orang yang mengeluarkan zakat juga akan dikurniakan Allah swt dengan sifat terpuji dan limpahan keberkahan di dalam kehidupannya. Sebab itulah Nabi pernah mengingatkan kepada kita semua:<br />
<br />
عَنْ جَابِرِ قَالَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَدَى زَكَاةَ مَالِهِ ، فَقَدْ ذَهَبَ عَنْهُ شَرَّهُ<br />
Dari sahabat Jabir r.hu, ia berkata Rasulullah saw bersabda, “Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu, maka engkau telah menghindari kejahatannya daripadamu.” (Hr. Thabrani). [1]<br />
<br />
Dan juga dalam sebuah hadis, “Sesungguhnya Allah telah memfardukan zakat sebagai penyuci harta.” (Hr. Bukhari).<br />
<br />
Sebenarnya kalau kita mau mengkaji al-qur’an lebih dalam maka kita akan menemukan pemahaman bahwa sesungguhnya zakat itu sangat erat kaitannya dengan shalat khusyuk. Sebab salah satu bukti dari shalat khusyuk adalah memberi makan anak yatim dan menyantuni fakir miskin. Jika shalatnya tidak bisa menghantarkan pada hal di atas maka itulah yang disebut dalam al-qur’an surat al-Mâun sebagai pendusta agama! Berarti dia masih lalai dalam shalatnya! Belum sampai pada derajat shalat khusyuk.<br />
Karena jika shalat seseorang itu khusyuk maka sudah semestinya ia menuniakan zakat. Sebab inti daripada shalat khusyuk adalah terwujudnya akhlaqul karimah dan sebagai “rahmatan lil ‘alamîn” menjadi rahmat bagi seluruh alam. Jadi seseorang yang telah mengaku muslim hendaknya selalu bersikap santun, arif dan bijaksana meminjam istilah Syaikh Miftahul Luthfi Muhammad “meng-Allah-kan Allah, me-Manusia-kan manusaia, dan meng-Alam-kan alam.”<br />
<br />
Dan bukti dari semua itu diantaranya adalah menyantuni fakir dan miskin. Dengan cara memuliakan dan mencukupi kebutuhan mereka. Tentu saja sesuai dengan kemampuan yang ia miliki.<br />
Di dalam al-qur’an surah Ali-Imran: 134 Allah berfirman,<br />
<br />
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”<br />
Orang muslim ialah mereka yang menginfakkan hartanya baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Hal itu dikuatkan oleh sabda Nabi saw,<br />
<br />
عَنْ حَكِيْم بن حِزَامُ رضي الله عنه قَالَ: قاَلَ رَسُوْلُ الله J: اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلىَ،<br />
Dari sahabat Hakim bin Hizam r.hu, dia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.”[2]<br />
<br />
Berdasarkan hadis di atas, seorang muslim-mukmin diajari oleh Rasulullah saw untuk berperilaku derma dan pemurah. Suka berkurban untuk kepentingan masyarakat, dan mau mengulurkan tangannya kepada siapa saja yang memerlukan. Pemikiran yang dibangun Rasulullah saw. Ialah menjadikan seorang muslim terbiasa dengan "tangan di atas". Sebaliknya, harus malu manakala "tangannya di bawah". Inilah sebuah kecerdasan sosial yang hendak dibangun oleh dinul Islam.<br />
<br />
[1] Hr. Thabrani hadis nomor: 1639, juz: 4, halaman: 99.<br />
[2] Hadis ini jiga diriwayatkan olah Imam Ahmad r.hu dalam Musnad-nya, Juz XXI, hal 170, hadis nomor 15026. Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab-nya, Juz III, hal. 102. Dan, Imam Baihaqi dalam as-Sunanul Kubrâ, Juz IV, hal. 177Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-76362413296097873082010-09-04T01:38:00.000-07:002010-09-04T01:38:03.838-07:00SHALAT YANG SEMPURNAMakna Shalat Khusuk<br />
Komunikasi langsung dengan Allah swt setelah berikrar 2 kalimat syahadat yaitu mendirikan shalat. Shalat adalah bentuk ibadah yang berupa penghambaan makhluk kepada Sang Khaliq dengan waktu, tempat dan kondisi yang sangat khusus tanpa melakukan aktifitas yang lain selain shalat itu sendiri. Sedangkan ibadah yang lain dapat dilakukan dengan melakukan aktifitas lainnya asal dengan niat untuk ibadah<br />
Shalat adalah perintah Allah swt kepada para hamba-Nya, sebagaimana firman Allah “wamā khalaqtul jinna wal insa illā liyakbūdunî” Bahwa Allah swt tidak menciptakan jin dan manusia melainkan mutlaq hanya untuk beribadah kepada-Nya.[1] Itulah yang harus benar-benar dicamkan oleh semua makhluk yang merasa dirinya al-insan. Sebab itulah shalat merupakan tugas pokok bagi seseorang yang telah mengakui bahwa tidak ada illah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah.<br />
Di dalam peristiwa perjalanan isra’ dan mi’raj nabi Muhammad saw, menerima oleh-oleh terbesar bagi beliau khususnya dan umat Islam pada umumnya yaitu shalat lima waktu dalam sehari semalam. Mengapa dikatakan “oleh-oleh” yang paling besar. Sebab dengan shalatlah ummat Muhammad menjadi mulia. Mulia dipandangan makhluk dan Allah swt.<br />
Lalu pertanyaannya shalat yang bagaimanakah yang menjadikan seorang hamba itu mulia? Apakah semua shalat? Sebab di dalam al-qur’an Allah tidak mengancam orang yang minum khamer tapi yang diancam ialah mereka yang shalat “yang lalai dalam shalatnya” [2]<br />
Jawabannya ialah tidak semua shalat. Sebab hanya shalat yang khusuklah yang dapat merubah perilaku pasca shalat. Nah shalat yang dapat merubah perilaku itulah yang menjadikan seseorang menjadi mulia dimata Allah dan segenap makhluk-Nya. Dan shalat yang bisa merubah perilaku adalah shalat yang khusuk.<br />
Shalat yang khusyuk ialah shalat yang benar-benar mencari ridha Allah swt. Dan pasca shalat merubah perilaku kearah yang lebih baik sehingga terwujudlah rahmatan lil’alamin dalam kehidupan. Sebab bila ibadah shalat telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi, dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuaya merupakan keburukan dan sumber malapetaka di muka bumi.<br />
Tidak bisa dipegangi artinya ibadah shalat tidak dapat dirasakan manfaatnya bagi kesejahteraan hidup. Misalnya secara teoritis banyak orang yang pandai berdalil bahwa shalat harus dikerjakan secara khusuk. Tetapi fakta yang terjadi melatih seseorang untuk bisa khusuk itu tidak gampang. Bukan hanya yang dilatih yang tidak dapat mengerjakan shalat khusuk, tetapi kebanyakan yang melatih pun belum tentu bisa mengerjakan shalat dengan khusuk.<br />
Sedangkan bagi orang-orang yang melupakan dan mengabaikan makna shalat khusyuk, hanya akan mendapat murka-Nya. dalam artian shalat yang dikerjakan oleh kebanyakan orang telah kehilangan ‘ruh dan maknanya’. Shalat merupakan hal yang mencelakakan manusia bila hanya dikerjakan sebagai pemenuhan formalitas, hanya sebatas mengugurkan kewajiban, alias tidak mampu memberikan manfaat bagi pelakunya dan orang lain. Al-qur’an telah mengkritik dengan Firman-Nya,<br />
×@÷ƒuqsù šú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEŸx|¹ tbqèd$y™ ÇÎÈ tûïÏ%©!$# öNèd šcrâä!#t�ムÇÏÈ tbqãèuZôJtƒur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ <br />
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (Qs. al-Mâ’un: 4-7)<br />
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan shalat bukanlah sebuah tujuan dalam hidup ini. Namun shalat merupakan sebuah etika dalam kehidupan beragama. Makna dan tujuan dibalik pelaksanaan shalat itulah yang tidak boleh diabaikan. Perilaku orang yang shalat dan yang tidak shalat harus berbeda. Karena dampak dari shalat yang khusuk tercermin dalam kehidupan sehari-hari dengan terwujudnya kehidupan yang rahman lil ‘alamin.<br />
Kasih sayang terhadap sesama, perhatian terhadap lingkungan, tidak membuat onar, taat terhadap rambu-rambu lalu lintas. Dengan demikian orang yang shalat khusyuk ditandai dengan ‘hidup bersih, benar, dan tidak menyakiti orang lain.<br />
Maka orang yang shalat hendaknya, memberi makan orang-orang miskin dan tidak menghardik anak yatim. Jika tidak demikian maka inilah yang disebut al-qur’an dengan pendusta agama![3]<br />
Sebagaimana sekarang ini kita menyaksikan keadaan demikian di negeri ini. Tempat ibadah penuh sesak. Berbondong-bondong orang yang melakukan formalitas ibadat—apalagi shalat dua Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha-red). Tetapi perilaku negatif kian hari semakin meningkat. Terbukti korupsi di negeri ini tergolong nomor wahid.<br />
Rasa solidaritas, sepenanggungan seperasaan, semakin kandas. Para elit pemerintahan cuek, tak acuh pada penderitaan orang banyak, orang kaya tidak mau memperhatikan yang miskin. Yang penting gue enjoy. Keagamaan hanya sebatas pada simbul, dan identitas diri belaka. Belum sampai pada penghayatan keagamaan. Akhirnya apa yang terjadi…? Bencana melanda negeri ini. Mala petaka tak kunjung usai, sejak pertengahan 1977 sampai sekarang. Ini semua bisa terjadi karena kita cuma riyak dalam beragama [seolah-olah beragama].<br />
Sehingga praktik keagamaan tidak berimplikasi—membekas terhadap “amar ma’ruf nahi munkar” seolah-olah praktik shalat itu tidak terkait dengan akhlak atau budi pekerti dan perjuangan hidup. Sehingga timbulah istilah “shalat oke dan maksiat jalan terus”. Dengan kata lain rukun Islam dikerjakan, perintah dan larangan pun diabaikan. Sehingga sebagian besar umat bangsa ini belum mampu menjadikan shalat sebagai motivator kecerdasan keagamaan.<br />
Jika seseorang telah mancapai derajat menjadikan shalat sebagai motivator kecerdasan, maka insya Allah hidupnya akan selalu berdzikir kepada Allah swt baik dalam keadaan bergerak, berdiri, rukuk, dan sujud dalam satu kesatuan, maka terciptalah ketenangan batin. Di dalam shalat ada ‘washala’ yaitu tindakan untuk menghubungkan, menyatukan diri dengan Tuhan. Bila ini tercapai maka lahirlah ‘kasih’ yang terejawantahkan dalam kehidupan dengan tercegahnya seseorang dari perbuatan keji dan munkar.<br />
Demikianlah shalat yang khusyuk yaitu shalat yang didasari dengan rasa cinta kepada Allah swt. Dan menyadari dengan sepenuh hati bahwa diri ini tidak lebih dari seorang hamba-Nya. Serta senantiasa merasa diawasi oleh-Nya. Sehingga yang timbul adalah rasa penghambaan yang totalitas. Bukan karena inginkan ini dan itu. Sebagaimana diterangakan oleh Imam Ibn Atha’ illah al-Assakandari di dalam Hikamnya, menukil pernyataan Rabi’ah al-Adawiyah dalam satu munajatnya;<br />
“Ya Allah jika aku menyembah Engkau karena mengharapkan surga, maka campakkanlah surga kepadaku. Jika aku menyembah Engkau karena takut akan neraka, maka lemparkanlah aku kedalam neraka Engkau. Namun jika aku menyembah Engkau semata karena cintaku kepada Engkau, maka perkenankanlah aku melihat Wajah Agung Engkau.”[4]<br />
<br />
[1] Qs. adz-Dzariyat [51]: 56<br />
[2] Qs. al-Mâ’ûn: [107]: 4-5<br />
[3] Qs. al-Mâ’un [107] : 1-3<br />
[4] Syarah al-Hikam, H. Salem BahresyBeranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-51866812311244424532010-09-02T20:15:00.001-07:002010-09-02T20:15:22.800-07:00ibadur RahmanSifat Ibadurrahman (1):<br />
<br />
<br />
Rendah Hati<br />
<br />
Dinul Islam telah memberikan beberapa karakteristik seorang hamba Allah swt, yang benar-benar merupakan pilihan-Nya. Yang mana kenyataan itu telah Allah swt sendiri tegaskan pada Kitab Suci al-Qur`an, di antaranya seperti yang terdapat pada surat al-furqân ayat ke-63 sampai pada akhir ayat ke-77. <br />
<br />
“Para ibadurrahman (adalah): Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati…; Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya; mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman; Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 63, 75-77).<br />
<br />
Ibadurrahman merupakan hamba Allah swt yang telah dipilih-Nya sendiri, dengan segala sifat dan karakteristiknya. Bagi Allah swt, dia adalah teladan untuk umat manusia, agar pola kehidupannya benar-benar diikutinya. Seorang ibadurrahman, yakni para hamba Allah swt yang di-nisbat-kan hanya kepada Allah swt.<br />
Iblis dan setan merasa jengkel dan berputus asa, guna merayu dan menyusup ke dalam hati seorang ibadurrahman. Dikarenakan, sudah tidak ada lagi celah yang dapat dijadikan iblis dan setan untuk memperdayainya. Apalagi guna menguasainya sangatlah tidak mungkin. Kenyataan ini dilukiskan Allah swt di dalam Kitab Suci-Nya, <br />
<br />
“Iblis berkata, ‘Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba Mu yang mukhlis di antara mereka’.” (Qs.Shâd: 82-83).<br />
<br />
Pernyataan yang bernada kecewa yang disampaikan oleh iblis itu, dijawab oleh Allah swt dengan penegasan-Nya, <br />
<br />
“Sesungguhnya hamba-hamba Ku, kalian tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan, cukuplah Rabb-mu sebagai Penjaga” (Qs.al-Isrâ`: 65). <br />
<br />
Ibadurrahman adalah prototipe segolongan hamba Allah swt yang senantiasa kehidupannya diliputi dan dilindungi oleh rahmat-Nya yang agung. Rahmat Allah swt seolah menjadikannya telah berada di sebuah benteng yang kokoh kuat lagi aman. Itulah manakala rahmat Allah telah melindungi para hamba yang telah dipilih-Nya. Dikarenakan ibadurrahman dalam hidup dan kehidupannya benar-benar telah menyandarkan segala sesuatunya hanya kepada Allah swt, yang memiliki Dzat Mahasuci, Mahakuasa, dan Mahabesar.<br />
Sangat berbeda dengan para hamba thaghut, hamba alkohol, hamba narkotik, hamba perempuan, hamba jabatan, hamba syahwat, hamba kekuasaan, dan hamba dunia. Mereka lebih memilih untuk mengingkari-Nya. Karena setan dan iblis telah menjadi sandaran utama dalam hidup dan kehidupannya. Baik dalam kenyataannya dilakukan dengan terang-terangan atau secara sembunyi-sembunyi. Malah sangat mungkin dilakukannya dengan penuh kepura-puraan. <br />
Yang terakhir inilah, yang sangat membahayakan kehidupan kaum mukminin. Sebab, kaum mukminin jarang yang terasa, bila tauhidnya telah dicondongkannya, sedemikian rupa sampai pada kulminasinya, seorang mukmin itu telah asing dan merasa jauh dengan tradisi diniahnya. Inilah nestapa potret kebanyakan saudara-saudara kita kaum muslimin di negara, yang konon penduduknya pemeluk Islam-nya sangat banyak ini.<br />
Sudah saatnya kaum muslimin Indonesia mampu melahirkan sumber daya umat, yang berkualitas ibadurrahman sebagai generasi rabbani. Mereka adalah para hamba Allah swt yang mengetahui-Nya, menyadari kekuasaan-Nya, dan memenuhi hak-hak-Nya. Mereka merupakan para hamba yang mukhlis, dan selalu dimukhliskan oleh-Nya. Mereka selalu melakukan pengabdian secara langgeng lagi ajeg, sehingga Allah swt melanggengkan dan mengajegkan rahmat-Nya. Mereka senantiasa berusaha memurnikan pengamalan dinul Islam karena-Nya, sehingga Allah swt memurnikan dinul Islamnya bagi mereka. Inilah kualitas umat Islam yang sangat dinantikan kehadirannya, guna menjadi penyelamat masa depan bangsa Indonesia.<br />
<br />
Mendapatkan Cahaya Allah swt<br />
Seorang ibadurrahman di dalam kehidupannya benar-benar telah menerima dan memahami dinul Islam, baik secara lisan, secara kalbu, dan secara amal perbuatan. Sehingga dia telah mendapatkan cahaya Allah azza wa jalla. Dari cahaya-Nya itulah dia terbimbing menjadi hamba Allah yang berkarakter, berkepribadian, dan mempunyai jati diri. Seperti telah diungkapkan-Nya, <br />
<br />
“Maka, apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) dinul Islam, lalu dia mendapat cahaya dari Rabb-nya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka, kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata” (Qs.az-Zumar: 22). <br />
<br />
Dari ayat tersebut di atas yang berbunyi, “Afa man syaraha-llâhu shadrahû lil-islâm, fa huwa ‘alâ nûrim-mir-rabbihî…” <br />
Maka, secara konseptual dinul Islam telah menjadikan kaum mukminin menjadi generasi rabbani yang berkualitaskan ibadurrahman, dengan segala sifat dan karakteristiknya yang positif lagi indah. Disebabkan telah mendapatkan cahaya Allah jalla jalâluh (fa huwa ‘alâ nûrim mir-rabbihî) di dalam segenap aspek kehidupannya. Yang di dalam surat al-furqân ayat ke-63 sampai dengan ayat ke-74 telah disebutkan Allah swt dengan jelas ciri-cirinya. Seperti telah difirmankan Allah swt, <br />
<br />
“Dan, hamba-hamba Rabb yang Mahapenyayang itu (adalah): Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati…” (Qs.al-Furqân: 63). <br />
<br />
Ibadurrahman, bila berjalan di muka bumi dia sangat rendah hati, tawadlu’, dan lemah lembut. Berjalan dengan penuh wibawa dan rasa hormat; tetapi dia tidak sombong dan membusungkan dada. <br />
Dia sangat memahami, bahwa kejadiannya berasal dari tanah. Sehingga tidak ada yang pantas untuk dipamerkan dan dilebihkan, karena sadar, suatu ketika bila saatnya tiba, dia pun akan ditelan oleh tanah yang saat ini diinjaknya. <br />
Dia tidak adi gang, adi gung, adi guno, dan sopo iro sopo ingsung. Dia tetap sadar, bahwa seluruh kejadian dan kenyataan yang ada di dunia ini, adalah berasal dari Allah jalla jalaaluh (mâ sya`allâh, kullum min ‘indi-llâh). Karena itu Allah azza wa jalla menginformasikan, <br />
<br />
“Dan, janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi. Dan, sekali-kali tidak akan sampai setinggi gunung” (Qs.al-Isrâ`: 37).<br />
<br />
Ayat tersebut di atas telah menegaskan, bila Allah azza wa jalla itu melarang para hamba-Nya yang mukmin untuk berlaku sambong lagi membanggakan diri. Sebaliknya, Allah swt sangat mencintai para hamba-Nya yang berperilaku rendah hati lagi tawadlu’. <br />
Sehingga seorang Luqman yang waliyyullah itu telah memberikan wasiat khusus kepada anaknya, <br />
<br />
“Dan, janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong). Dan, janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan, sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara, ialah suara keledai” (Qs.Luqmân: 18-19).<br />
<br />
Ayat di atas memberikan teladan kepada kita, bahwa Luqman benar-benar telah menempatkan dirinya, sebagai pengajar sekaligus sebagai pendidik bagi anaknya. <br />
Inilah hakikat pendidikan dan pengajaran Rasulullah saw, yang sebenarnya menjadi tujuan utama dalam sebuah proses belajar mengajar. Bukan semata-mata melakukan olah pikir dan akal, guna memberdayakan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi justru malah melahirkan kekosongan nilai dan tradisi akhlak yang luhur.<br />
Di sinilah para orang tua dan para guru sangat berperan dalam memberikan keteladanan yang benar, sebagai seorang pendidik (al-mu’allim) dan pengajar (al-murabbi). Sehingga anak-anak, para remaja, dan para pemuda benar-benar memiliki akhlak rendah hati, seperti yang telah diteladankan oleh uswah kita, Rasulullah Muhammad saw. <br />
<br />
Teladan<br />
Bagaimanakah berjalan dengan rendah hati, dan akhlak rendah hati yang sebenarnya itu. Ada beberapa teladan yang telah dicontohkan oleh baginda Nabi saw dan para sahabat beliau. Antara lain:<br />
1. Diriwayatkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib kw, bahwa Nabi saw di saat berjalan badan beliau bergerak-gerak seperti sedang meniti jalan menurun. Ini merupakan jalannya orang yang penuh semangat dan pemberani.<br />
2. Diceritakan oleh sahabat Abu Hurairah ra, <br />
<br />
“Aku tidak melihat sesuatu pun yang lebih bagus daripada diri Rasulullah saw. Seolah-olah matahari berjalan di muka beliau. Aku juga tidak melihat seseorang yang lebih cepat jalannya dari pada beliau, seakan-akan bumi menjadi turun di hadapan beliau. Kami sudah berusaha untuk menyeimbangi beliau, tapi beliau seperti tidak peduli.” <br />
<br />
Maksudnya, beliau berjalan antara cepat dan lamban. Tidak tergesa-gesa, juga tidak bermalas-malasan. <br />
<br />
“Waspada itu datangnya dari Allah. Sedangkan tergesa-gesa itu datangnya dari setan,” demikian sabda Nabi saw (Hr.Baihaqi, dari Anas ra, Kitâb Mukhtârul Ahâdis, no.26).<br />
<br />
Demikianlah jalannya seorang ibadurrahman, dengan kekuatan ruhani yang rabbani, dia berjalan dengan menunjukkan kekuatannya tetapi tetap penuh kewibawaan yang dihormati.<br />
3. Suatu ketika sahabat Umar bin Khaththab ra melihat seorang pemuda sedang berjalan dalam keadaan gontai. <br />
Dia bertanya kepada pemuda tersebut, “Apakah kamu sedang sakit ?” <br />
Pemuda itu menjawab, “Aku, tidak sakit.” <br />
Lalu, Umar berkata, “Kalau begitu kamu, jangan jalan seperti itu.” <br />
4. Salah seorang sahabat perempuan Nabi saw sedang melihat sekelompok anak muda yang berjalan dengan pelan-pelan. Sahabat tersebut bertanya, “Siapakah mereka itu ?” <br />
Di jawab sahabat yang lain, “Mereka adalah para pemuda ahli ibadah.” <br />
Sahabat perempuan itu berkata, “Demi Allah, jika berjalan, Umar adalah orang yang paling cepat. Jika berkata, suaranya paling lantang. Jika memukul, maka pukulannya menyakitkan. Tapi dia juga seorang ahli ibadah yang sebenarnya.”<br />
5. Suatu ketika sahabat Umar bin Khaththab ra, melihat seseorang yang pura-pura menampakkan kekhusyukan dalam shalatnya, sambil menggeleng-gelengkan kepala. Maka, serta merta Umar mengambil sebutir biji jagung, lalu disambitkan kepada orang tersebut, sambil berkata, “Ada apa kamu ini? Tegakkanlah kepalamu dan jangan membuat agama kami mati, sehingga Allah membuatmu mati. Sesungguhnya kekhusyukan itu ada di dalam hati, dan bukan berada di leher.”<br />
Inilah yang dimaksud dengan berjalan dengan akhlak rendah hati, lemah lembut, dan tawadlu’. Di mana seorang ibadurrahman tersebut masih menunjukkan kekuatannya, sedikit mempercepat langkah kakinya, jalannya sesuai dengan perawakannya, umurnya, dan kemampuannya tidak dibuat-buat. Karena selalu ingat dengan pesan Rasulullah saw, <br />
“Siapa yang merasa sombong di dalam dirinya, atau congkak saat berjalan. Maka, dia berjumpa Allah dalam keadaan mendapat murka dari-Nya” (Hr.Ahmad & Hakim).<br />
<br />
Sebagaimana juga disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
“Sebaik-baik ibadahnya orang-orang mukmin, adalah merendahkan diri” (Dari Ibunda Aisyah ra).<br />
<br />
6. Adalah Qarun, tatkala dia keluar dari rumahnya memamerkan perhiasannya kepada segenap manusia, berjalan dengan sombong lagi congkak. Lalu, Allah swt membenamkan dirinya, perhiasan dan tempat tinggalnya ke perut bumi, sehingga tak satu pun miliknya yang tersisa. <br />
<br />
“Maka, Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka, tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap adzab Allah, dan tiadalah dia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)” (Qs.al-Qashash: 81).<br />
<br />
Pelajaran Yang Diambil<br />
Sayyiduna Rasulullah Muhammad saw adalah orang yang paling banyak merendahkan diri. Padahal kita semua tahu, bagaimana kedudukan beliau di sisi Allah swt dan di antara para makhluk-Nya. Beliau lebih suka berjalan di belakang para sahabatnya. Beliau tetap berperilaku, bertutur kata, dan berdandan sebagaimana para sahabatnya. Beliau duduk dengan mereka tanpa ada perbedaan sedikit pun. <br />
Suatu ketika ada seseorang yang belum mengenalnya mencari beliau, tidak mengetahui mana yang namanya Muhammad Rasulullah itu. Orang asing tersebut terus bertanya, “Mana yang namanya Muhammad? Mana di antara kalian yang menjadi cucu Abdul Muthalib?”<br />
Di tengah keluarga pun beliau biasa mengerjakan berbagai macam pekerjaan rumah tangga, seperti: menambal pakaian yang robek, menyambung tali sandal putus, memerah susu sendiri, membuah adonan kue bersama-sama para pelayannya; kesemuanya dikerjakan dengan sentuhan tangan suci beliau. <br />
Dengan para isterinya tidak pernah berkata kasar, apalagi sampai main kasar, seperti menendang atau menempeleng. Karena menurut beliau perilaku kasar dan bengis terhadap isteri, bukan karakter lelaki mukmin yang mulia. <br />
<br />
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya (isterinya), dan aku adalah contoh terbaik dalam berperilaku terhadap keluargaku. Tidak akan menghormati perempuan, melainkan lelaki yang mulia. Sebaliknya, lelaki yang merendahkan perempuan adalah yang tidak berbudi luhur” (Hadîs Shahîh).<br />
<br />
Itulah sebuah teladan dari pribadi yang agung, yang menjadi panutan sejati (uswah) bagi seluruh umat manusia, khususnya bagi para umatnya sampai Hari Kiamat datang. <br />
<br />
“Kâna ahsanan-nâsi khuluqan”; beliau adalah orang yang paling berbudi luhur” (Kitâb Jam’ush Shaghîr, Juz.IV, no.4508). <br />
<br />
“Sesungguhnya Allah menjadikan aku sebagai hamba yang mulia, dan tidak menjadikan aku sebagai orang yang lalim lagi kejam,” demikian sabdanya dalam sebuah hadis shahih.<br />
<br />
Setiap kita harus belajar berperilaku rendah hati, yakni berjalan di muka bumi ini dengan akhlak malu, tidak sombong, dan tidak kejam. Inilah proses awal untuk mencapai kedudukan ruhani rabbani seorang hamba yang bergelar ibadurrahman. <br />
Kiranya layak dilantunkan doa al-faqir di bawah ini, <br />
<br />
“Ya Allah, jadikanlah kami para hamba Mu yang rendah hati lagi mulia, dan janganlah Engkau jadikan kami (para hamba Mu) yang lalim lagi kejam. <br />
<br />
Sifat Ibadurrahman (2):<br />
<br />
<br />
Murah Hati<br />
<br />
Akhlak murah hati adalah karakteristik seorang ibadurrahman yang kedua. Seperti telah diajarkan dalam dinul Islam, bahwa seorang hamba yang merendahkan diri kepada Allah, maka Allah swt akan meninggikan kedudukan hamba tersebut, baik di sisi-Nya maupun di hadapan para makhluk-Nya. <br />
Dalam sifatnya yang kedua ini, seorang ibadurrahman diuji oleh Allah swt dalam menjaga perilaku simpatiknya terhadap para hamba Allah yang jahil lagi bodoh. <br />
<br />
“Para ibadurrahman itu (adalah): …Apabila orang-orang jahil menyapa mereka, maka mereka mengucapkan kata-kata yang baik… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 63, 75-77). <br />
<br />
Seorang hamba yang jahil menurut pandangan al-qur`an, adalah setiap orang yang melakukan pendurhakaan kepada Allah swt. Orang tipe ini di dalam kehidupannya memberi kekuasaan dan keleluasaan terhadap hawa nafsunya. Sehingga kebenaran wahyu Allah dan nasehat-nasehat dinul Islam menjadi terabaikan. Bahkan, tidak jarang orang-orang seperti ini memiliki kecenderungan untuk melawan atau menyeleweng dari ketentuan Allah swt. Disebabkan fasilitas Allah yang berupa akal menjadi tidak berdaya dan takluk di hadapan kekuatan sang nafsu. <br />
Sebagaimana seorang Nabi Yusuf as yang tampan rupawan, secara membabi-buta mendapatkan luapan nafsu birahi seorang Zulaikha yang cantik jelita lagi berkedudukan. Tetapi dengan bimbingan Allah swt dan rahmat-Nya yang agung, beliau terselamatkan dari fitnah yang sangat besar itu. Seperti dikatakannya, “Dan, jika tidak Engkau (Allah) hindarkan aku dari tipu dayanya. Tentu aku akan cenderung untuk memenuhi keinginannya. Dan, tentulah aku termasuk orang-orang yang jahil.”<br />
Pribadi seorang yang jahil, adalah pribadi yang pecah (split of personality), tidak ada pegangan dalam hidupnya, cenderung asal bicara lebih dikarenakan suka atau tidak suka. Kehidupannya diwarnai dengan sentimen yang tinggi terhadap orang lain yang tidak disukainya. <br />
Seorang yang jahil mempunyai tabiat mengolok-olok masalah yang prinsip dan mengejek atas kebenaran. Sehingga tidak jarang mereka itu dicap dari jaman ke jaman: sebagai pendurhaka kepada Allah azza wa jalla, orang yang akhlaknya buruk, dan orang yang menuruti hawa nafsunya. Ternyata bumi yang kita diami ini dipenuhi oleh orang-orang yang memiliki tabiat jahil. <br />
Namun, seorang ibadurrahman hatinya dibuat komitmen lagi penuh konsisten (CC) terhadap agamanya oleh Allah azza wa jalla. Sehingga jiwanya tidak begitu menanggapinya. Apalagi merisaukannya di dalam menghadapi orang-orang yang jahil kepadanya. <br />
Sebaliknya, seorang ibadurrahman telah mendapatkan kemuliaan dari Allah swt berupa ke-istiqamah-an kalbu, perilaku, dan kehidupannya. Karena dia telah mampu menjaga istiqamah lidahnya. Nabi saw bersabda, <br />
<br />
“Iman seorang hamba tidak istiqamah, sebelum hatinya istiqamah. Hatinya tidak istiqamah, sebelum lidahnya istiqamah” (Hr.Ahmad).<br />
<br />
Di sinilah kehidupan seorang ibadurrahman benar-benar telah mendapatkan: ketenangan, ketentraman, segenap aktifitas dapat dijalankannya, tidak ada perasaan putus asa, dan tidak sibuk mengurusi kebatilan orang lain.<br />
<br />
Balas Keburukan Dengan Kebaikan<br />
“…Mengucapkan kata-kata yang baik…” Maksudnya, membebaskan ucapan, perkataan, dan lisan dari perbuatan yang dosa dan maksiat kepada Allah swt.<br />
Seorang ibadurrahman semaksimal mungkin menghindarkan perbuatan-perbuatan yang tercela, khususnya tercela ucapannya, tercela perkataannya, dan tercela lisannya. <br />
Seorang ibadurrahman, tidak akan membalas keburukan dengan keburukan. Meskipun dia mempunyai hak untuk membalasnya. Meskipun dia sanggup membalas satu takaran dengan dua takaran. Meskipun dia sanggup membalas satu pukulan dengan dua pukulan. <br />
Tetapi, dia lebih memilih untuk memaafkannya, karena dia sadar bahwa yang dihadapinya adalah orang yang jahil lagi bodoh. Di samping dia memegang teguh prinsip spiritual, “Balaslah keburukan dengan kebaikan’’ (fa turaddus-sayyi`at bil-khairât). <br />
“…Mengucapkan kata-kata yang baik…” Artinya, seorang ibadurrahman selalu mengucapkan perkataan yang benar di hadapan Allah jalla jalaaluh, demi kebahagiaan akhiratnya. Sehingga seluruh aktifitas hidupnya digunakan untuk kepentingan dinul Islam, menolong agama Allah, dan menegakkan kebenaran.<br />
“…Mengucapkan kata-kata yang baik…” Berarti juga, mengucapkan salam sejahtera terhadap ketololannya orang-orang yang jahil. <br />
Sahabat Anas bin Malik ra mengomentari ayat tersebut dengan mengatakan, “Maksudnya (ayat itu) adalah seseorang yang apabila ada saudaranya mencaci dirinya, maka dia berkata, ‘Jika apa yang kamu katakan ini benar, semoga Allah mengampuni kesalahanku, dan jika apa yang kamu katakan itu dusta, semoga Allah mengampuni kesalahan-mu’.” Seperti diterangkan dalam firman-Nya, <br />
<br />
“Dan, apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya. Dan, mereka berkata, ‘Bagi kami amal-amal kami, dan bagi kalian amal-amal kalian; kesejahteraan atas diri kalian, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil’.” (Qs.al-Qashash: 55).<br />
<br />
Demikianlah kondisi ruhaniah seorang ibadurrahman, sangat indah lagi simpatik, “Kami mempunyai jalan sendiri, dan kamu juga mempunyai jalan sendiri. Kami tidak mau meninggalkan jalan kami, untuk tetap berjalan beriringan bersama kamu di jalanmu.” <br />
Karena itu para ibadurrahman tidak pernah menanggapi perilaku orang-orang jahil, meski dirinya dapat dan memiliki hak untuk membalasnya dengan yang serupa. Tetapi dia lebih mengambil jalan yang simpatik, seperti yang sering dilakukan di dalam dakwahnya Nabi saw.<br />
<br />
Teladan<br />
Guna menguatkan kehendak dan membulatkan niat kemukminan dan keislaman, agar mempunyai perilaku seorang ibadurrahman, ada baiknya al-faqir sebutkan beberapa teladan yang dapat ditiru, yakni:<br />
1. Adalah Nabi Isa as, suatu ketika beliau lewat didepan sekelompok orang-orang Yahudi, di mana mereka melontarkan kata-kata yang jorok dan tidak senonoh kepada nabiyullah tersebut. Tetapi beliau menanggapinya dengan baik dan santun. <br />
Salah seorang sahabatnya bertanya, “Orang-orang itu telah melontarkan kata-kata yang tidak senonoh kepadamu. Namun engkau justru mengatakan yang baik kepada mereka.” <br />
Beliau menjawab, “Segala sesuatu mengeluarkan apa yang ada di dalamnya.”<br />
Maksudnya, barangsiapa yang di dalam dirinya ada kebaikan, tentu dia akan mengeluarkan kebaikan. Sebaliknya, barangsiapa yang di dalam dirinya hanya ada keburukan, tentu dia akan mengeluarkan keburukan.<br />
2. Disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi ra, mengenai cabang-cabang iman, dari Amr bin Syu’aib ra, dari ayahnya, dari kakeknya, <br />
“Apabila Allah sudah menghimpun seluruh makhluk, maka ada penyeru yang berkata, ‘Mana orang-orang yang mempunyai keutamaan?’” <br />
Maka, ada sekumpulan orang yang jumlahnya tidak seberapa banyak, berdiri lalu cepat-cepat pergi ke surga. Mereka disambut para malaikat dengan sambil bertanya, ‘Kami melihat kalian buru-buru pergi ke surga. Siapakah kalian ini?’ <br />
Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang memiliki keutamaan.’ <br />
Para malaikat bertanya, ‘Apa keutamaan kalian?’ <br />
Mereka menjawab, ‘Jika kami didlalimi, maka kami sabar. Jika kami disakiti, maka kami memaafkan. Jika kami dijahili, maka kami menahan diri.’ <br />
Lalu dikatakan kepada mereka, “Masuklah surga, dan alangkah nikmatnya pahala orang-orang yang beramal.”<br />
3. Ada seseorang yang menemui sahabat Nabi saw Abdullah bin Abbas ra, langsung mengumpat dan memakinya serta menjelek-jelekkannya. Ibnu Abbas membiarkannya sambil diam. Lalu dia memanggil pelayannya, Ikrimah dan berkata, “Wahai Ikrimah, selidikilah orang itu, apakah dia mempunyai keperluan? Kalau dia mempunyai keperluan, penuhilah keperluannya.”<br />
Seketika itu orang tersebut menundukkan kepalanya, karena merasa malu dengan sahabat Nabi tersebut, akhirnya orang itu beranjak pergi.<br />
4. Ali Zainul ‘Abidin bin Husain bin Ali ra, suatu ketika dia dijelek-jelekkan oleh seseorang yang tidak dikenal. Maka, cucu Nabi saw itu meminta pelayannya untuk memberikan baju yang dipakainya kepada orang yang memakinya, bahkan ditambah dengan uang seribu dirham.<br />
5. Ada seseorang yang mencaci orang lain di dekat Nabi saw. Tapi orang yang dicaci justru berkata kepada orang yang memakinya, “Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepadamu.” <br />
Yang demikian ini sebagai pengamalan terhadap kandungan ayat, “…Apabila orang-orang jahil menyapa mereka, maka mereka mengucapkan kata-kata yang baik….”<br />
Lalu, Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya ada seorang malaikat di antara kalian berdua yang membelamu. Setiap kali orang itu mencacimu.” <br />
Maka, malaikat berkata, “Kamu dan kamu lebih berhak.” <br />
Tapi ketika kamu mengatakan, “Kesejahteraan atas dirimu.” <br />
Maka, malaikat berkata, “Tidak, tapi pahala bagimu dan kamu lebih berhak.”<br />
Maksudnya, Allah swt mengutus seorang malaikat untuk membela orang yang dicaci itu, yang menahan lidah dan amarahnya, serta tidak mau meladeni cercaan orang yang jahil dengan tindakan yang serupa.<br />
<br />
Ibrah<br />
Seorang ibadurrahman sangat berkehendak dengan penuh hasrat, supaya dia termasuk para hamba Allah yang mempunyai keutamaan-keutamaan, seperti yang disebutkan dalam hadis Nabi saw yang diriwayatkan Imam Baihaqi ra tersebut di atas. <br />
Dinul Islam mengajarkan kepada para pemeluknya, bahwa seorang hamba Allah swt memiliki dua martabat spiritual, yakni: martabat keadilan dan martabat keutamaan. Martabat keadilan, artinya menghadapi keburukan dengan keburukan yang serupa. Sedangkan, martabat keutamaan adalah menghadapi keburukan dengan kebaikan. <br />
Dengan kata lain, ada dua cara dalam bersikap dan berperilaku di dalam menghadapi segala sesuatu, yaitu: cara yang baik dan cara yang lebih baik. Orang tua kami (Qir. Zainuddin Ali Basyah al-Hajj) pernah menasehatkan, <br />
<br />
“Maka, tolaklah kejahatan atau keburukan yang menimpamu dengan cara yang lebih baik, dengan perkataan yang paling indah yang kamu miliki, tunjukkan sikapmu yang penuh simpatik lagi toleran (tasamuh), dan biasakan melihatnya dengan kasih-sayang. Insya Allah, dia akan menjadi teman setiamu. Karena manusia itu akan menjadi tawanan kebaikan. Bila, kamu berbuat baik kepada seseorang, maka perbuatan baikmu itu akan mengikatnya. Dan, kemudian kamu akan saling merasa senasib sepenanggungan.” <br />
<br />
Untuk itu alfaqir mengajak supaya direnungkan firman Allah swt, <br />
<br />
“Dan, tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (Qs.Fushshilat: 34).<br />
<br />
Juga sabda Nabi saw, <br />
<br />
“Cintailah kekasihmu secara wajar-wajar saja, barangkali dia kelak menjadi musuhmu. Dan, bencilah orang yang kamu benci dengan sewajarnya (tidak terlalu membencinya), barangkali dia kemudian hari menjadi kekasihmu” (Hr.Tirmidzi, Kitâb Mukhtârul Ahâdis, no.45).<br />
<br />
Jadilah pemaaf, yaitu memaafkan seseorang yang memang layak untuk mendapatkannya. Perlakukanlah setiap manusia menurut kesanggupannya, dan jangan sekali-kali menuntut kesempurnaan seorang hamba.<br />
Berpalinglah dari orang yang jahil. Begitulah yang biasa dilakukan orang-orang yang mulia dari umat Nabi Muhammad saw ini, di mana menghadapi keburukan dengan kebaikan. Inilah akhlak seorang mukmin, dia tidak harus menyibukkan dirinya dengan kejahilan seorang yang bertabiat jahil. Seorang mukmin lebih layak menyibukkan diri dengan urusan yang lain, seperti: banyak berdzikrullah, dzikrul-maut, menggeluti majelis ilmu, dan menyibukkan diri dengan mempraktekkan sunnah Rasulullah saw. <br />
Inilah salah satu karakteristik umat Nabi Muhammad saw, umat yang penuh kasih-sayang, kelembutan, murah hati, dan memiliki ilmu. Mereka tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang sepele, remeh, dan yang dapat menimbulkan pertikaian antar sesama. Mereka meninggalkan perilaku tercela, seperti: membela diri, membela kepentingan kelompok, organisasi, partai, ‘jamaah’, atau golongannya.<br />
Sebaliknya, seluruh aktifitas dan amal perbuatan senantiasa disandarkan kepada Allah swt. Semata-mata guna menegakkan akidah Islam, membela kebenaran syari’atullah, dan mendorong lahirnya pemberdayaan umat Islam.<br />
Demikianlah akhlak yang agung dari seorang ibadurrahman. Dia mempunyai jiwa yang lapang, tabiat yang mulia, dan cakrawala keilmuan yang luwas lagi luwes.<br />
Demi Allah, dunia ini terlalu nista untuk melahirkan sebuah pertikaian, pertumpahan darah, putusnya persaudaraan, dan menjual agama Allah swt. Karena di sisi Allah swt, dunia laksana butiran debu yang tak sebanding dengan kekuasaan-Nya. Begitu tololnya, bila seorang menusia mempertaruhkan dirinya guna memenuhi ambisi pribadinya, hingga akhirnya dirinya menjadi ‘mesin’ pembunuh, ‘mesin’ provokasi, dan ‘mesin’ pengkhianat.<br />
Wahai manusia mengapa kamu bela mati-matian diri kalian? Siapakah sebenarnya kalian itu, dihadapan Allah swt? Kamu adalah seonggok tanah liat yang berjalan, karena rahmat-Nya. Kamu berasal dari setetes air yang menjijikkan, yang telah dirahmati-Nya dengan kehidupan. Kamu berdaya karena rahmat-Nya. Kehidupanmu merupakan rahmat-Nya. Oleh sebab, marahlah karena-Nya. Bencilah karena-Nya. Hiduplah karena-Nya. Matilah karena-Nya. Tunjukkan kasih-sayang kalian kepada sesama mukmin. Bersikap keraslah kepada orang yang mengingkari-Nya. Sebab, lambat atau cepat, seorang fasik akan mencondongkan akidah tauhid kalian.<br />
Wahai saudaraku, pahamilah firman Allah swt, <br />
<br />
“Yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk. Dan, mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (Qs.az-Zumar: 18). []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Sifat Ibadurrahman (3):<br />
<br />
<br />
Mendirikan Shalat Malam<br />
<br />
Karakteristik seorang ibadurrahman, menurut Allah swt, sebagaimana telah difirmankan-Nya adalah melalui malam harinya dengan qiyyaamul-lail. <br />
<br />
“Para ibadurrahman (adalah): …Orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 64, 75-77). <br />
<br />
Allah swt memberikan informasi kepada kita mengenai keadaan seorang ibadurrahman, tatkala malam mulai merangkak dibungkus kegelapannya. Dia berdiri antara sujud dan berdoa. Padahal kebanyakan manusia sudah banyak yang terlelap dengan tidur nyenyaknya. Malah ada yang menghabiskan malam mulianya hanya dengan begadang, cangkruk, bahkan tidak jarang banyak manusia yang melakukan tindak kemaksiatan. <br />
Seorang ibadurrahman diberi rahmat Allah swt pada waktu malam harinya, dengan banyak menempelkan keningnya pada tanah tempat sujudnya, guna menghadap kepada ‘wajah Allah swt’. Inilah kondisi ruhani seorang hamba yang paling dekat dengan Rabb-nya. Seperti telah disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
“Keadaan yang membuat hamba paling dekat dengan Rabb-nya, adalah ketika dia dalam keadaan sujud. Maka, perbanyaklah doa (saat sujud itu)” (Hr.Muslim, Abu Dawud, dan Nasâ`i).<br />
<br />
“Saat yang paling baik antara Rabb dengan hamba, adalah pada tengah malam yang akhir. Jika kamu sanggup termasuk orang yang mengingat Allah pada saat itu, maka lakukanlah” (Hr.Tirmidzi).<br />
<br />
Keadaan ruhani seorang hamba yang demikian itu, di dalam al-qur`an diperumpamakan, <br />
<br />
“(Apakah kamu wahai orang musyrik lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri; sedangkan dia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya? Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’” (Qs.az-Zumar: 9).<br />
<br />
“Lambung mereka jauh dari tempat tidur, sedangkan mereka berdoa kepada Rabb-nya dengan harap-harap cemas. Dan, mereka menafkahkan sebagian rizeki yang Kami berikan kepada mereka” (Qs.as-Sajdah: 16).<br />
<br />
Rasulullah saw juga menceritakan keadaan seorang ibadurrahman yang tekun qiyyâmul-lail dengan sabdanya, <br />
<br />
“Rabb kalian ta’ajub kepada dua orang: (1)Seseorang yang meninggalkan tempat tidur dan selimutnya di antara keluarga dan orang yang dicintainya untuk mengerjakan shalat. Maka, Allah berfirman, ‘Lihatlah hamba Ku yang meninggalkan tempat tidur dan selimutnya di antara orang yang dicintainya dan keluarganya untuk mengerjakan shalat, karena menyukai apa yang ada di sisi Ku dan takut apa yang ada di sisi Ku’. (2)Seseorang yang berperang di jalan Allah, yang rekan-rekannya mengalami kekalahan dan dia tahu apa yang akan terjadi padanya dalam kekalahan itu dan apa yang dia dapatkan jika kembali. Maka, dia kembali hingga darahnya tertumpah. Maka, Allah berfirman, ‘Lihatlah hamba Ku yang telah kembali, karena mengharapkan apa yang ada di sisi Ku dan takut apa yang ada di sisi Ku, hingga darahnya tertumpah’.” (Hr.Ahmad, dari Ibnu Mas’ud ra).<br />
<br />
Munculnya perasaan ‘harap-harap cemas’ itulah, sehingga seorang ibadurrahman memohon kekuatan dari-Nya untuk dapat meninggalkan tempat tidurnya, guna bersujud dan merebahkan diri secara totalitas kehadapan Allah swt, sebagai Sang Khaliq jalla jalâluh.<br />
Hadis Nabi saw tersebut di atas memberikan pelajaran ruhani kepada kaum mukminin, bahwa kedua orang itu sama-sama melakukan jihad dan perjuangan yang hebat. Orang yang pertama berjuang ‘menghabiskan’ malamnya bersama dengan Allah swt, guna memperoleh ridla-Nya. Dan, orang kedua berjuang hingga titik darah penghabisan mengurbankan nyawa, guna mempertahankan dinullah.<br />
Seorang ibadurrahman sangat hormat di dalam membagi waktunya dalam memenuhi hak dan kewajibannya. Siangnya digunakan untuk bekerja, dalam rangka pemenuhan kebutuhan perutnya. Bila, malam telah datang dia membangunkan dirinya, dalam rangka memenuhi kebutuhan kalbunya. Telah terjadi kesepakatan di dalam keluarganya, untuk jarang-jarang berada di ‘tempat tidurnya’ ketika malam mulai mendekap. <br />
Giat bekerja di waktu siang. Sedikit tidur di waktu malam. Di penghujung malamnya yang mulia, tepatnya di waktu sahur, dia memohon ampunan kepada Rabb-nya. Semuanya dilaksanakan karena atas dasar kesadarannya yang tertinggi, bahwa dirinya sangat terbatas, amalnya terbatas, ilmunya terbatas, kesehatannya terbatas, dan umurnya terbatas. Sehingga dia selalu memohon kepada Allah azza wa jalla agar diberinya rahmat, yang berupa perilaku istiqamah dan mudawwamah; dalam beribadah, bersyukur, dan menebarkan kasih-sayang. Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, berada di dalam pertamanan surga yang lengkap dengan mata airnya; sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan, di akhir-akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah)” (Qs.adz-Dzariyat: 15-18).<br />
<br />
Beberapa Keteladanan<br />
Guna menguatkan keimanan agar kita terdorong untuk menirunya, ada baiknya alfaqir berikan beberapa keteladanan. Antara lain:<br />
1. Ada seorang salaf yang memiliki pelayan, dia sangat rajin bangun malam untuk qiyâmul-lail. <br />
Orang salaf tersebut memberitahu pelayannya, “Shalat malammu mempengaruhi kerjamu di siang hari.”<br />
Pelayan itu menjawab, “Lalu, apa yang harus aku lakukan? Jika aku ingat surga, maka kerinduanku terasa amat panjang. Dan, jika aku ingat neraka, maka ketakutanku semakin menjadi-jadi. Bagaimana mungkin aku dapat tidur, sementara aku berada di antara ketakutan yang selalu mengikutiku dan kerinduan yang menggundahkan kalbuku?”<br />
2. Ibunda ‘Aisyah ra pernah mengisahkan kehidupan malam Rasulullah saw. <br />
Di mana beliau selalu mendirikan shalat malam, sampai-sampai kedua telapak kaki beliau pecah-pecah dan bengkak-bengkak. <br />
Maka, Ibunda ‘Aisyah ra bertanya, “Mengapa engkau berbuat seperti itu, padahal dosa-dosa engkau yang lampau telah diampuni, begitu pula dosa-dosa engkau yang akan datang?” <br />
Maka, baginda Nabi saw menjawab, “Tidak bolehkah jika aku suka menjadi seorang hamba yang bersyukur?”<br />
3. Suatu hari Ubaid bin Umair ra dan Atha’ bin Abu Rabbah ra bersilaturahmi ke rumah Ibunda ‘Aisyah ra. <br />
Lalu bertanya, “Beritahukanlah kepada kami sesuatu yang paling menakjubkan, yang engkau lihat pada diri Rasulullah saw!”<br />
Setelah diam sejenak, Ibunda ‘Aisyah ra menjawab, “Suatu malam beliau berkata kepadaku, ‘Wahai ‘Aisyah, biarkan aku malam ini beribadah kepada Rabb-ku.”<br />
Aku berkata, “Demi Allah, aku suka selalu dekat dengan engkau. Tetapi, aku juga suka apa yang membuat engkau senang.”<br />
Maka, beliau bangkit, bersuci lalu berdiri untuk mengerjakan shalat. Beliau terus-menerus menangis. Lalu beliau duduk dan masih tetap menangis, sampai janggut beliau basah oleh air mata. Kemudian beliau berdiri dan tetap menangis sampai tanah di dekat beliau basah. Hingga datanglah sahabat Bilal ra untuk mengumandangkan adzan shalat. <br />
Ketika sahabat Bilal mengetahui keadaan Rasulullah saw yang sedang menangis. Bilal bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau menangis padahal Allah telah mengampuni seluruh dosa engkau yang telah lampau, dan seluruh dosa yang akan datang.”<br />
Beliau menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur? Pada malam ini telah turun satu ayat. Kecelakaanlah bagi orang yang membacanya, dan tidak memikirkan kandungannya. ‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Dan, silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal’.” (Qs.Ali ‘Imran: 190).<br />
4. Di nDalem Kasepuhan Ma’had Tee-Bee Surabaya, seluruh shantri dan jamaah diimbau untuk memiliki kebiasaan qiyamul lail, yakni menghidupkan kegiatan malam dengan mandi, shalat-shalat sunnah, dzikrullah, tilawah al-qur`an, dan muthala’ah ilmu pengetahuan. Seluruhnya dilakukan dengan cara ‘shantri mandiri aktif’ (sharitif), kecuali yang muqim di nDalem Kasepuhan, keseluruhan kegiatan dilakukannya secara berjamaah; yakni dalam Program Human Boarding Quantum and Compentency (HBQC).<br />
Kesemuanya ini bertujuan untuk menghidupkan sunnah bangun malam, yang memang sangat berat untuk dilakukan. <br />
Bila, seseorang merasa berat dan malas untuk bangun malam, maka segeralah meneliti dirinya; mungkin terdapat kesalahan, dosa dlahir maupun dosa batin. Kemudian cepat-cepatlah bertaubat dengan disertai kesungguhan kalbu (mujahadah). Niscaya, kalbunya akan kembali bercahaya. Sehingga tidak ada lagi yang mampu menghalangi niatnya untuk hadir dalam ‘majelis gerak thawaf rabbani’, dengan mendirikan qiyâmul-lail.<br />
<br />
Pelajaran Yang Diambil<br />
Shalat malam seorang mukmin kelak akan menjadi cahaya di akhirat. Sehingga seorang ibadurrahman tidak akan pernah meninggalkannya. Seorang hamba yang meninggalkan shalat malam, dia tidak dapat dikatakan sebagai hamba yang mencintai Allah jalla jalâluh.<br />
Adalah, Sayyidusy Syekh Abbul Abbas Ahmad bin Muhammad at-Tijani ra sangat menganjurkan kepada para sahabat dan murid-muridnya, untuk melakukan shalâtul-lail. <br />
<br />
“Kalau kamu merasa tidak enak badan, sakit atau lain sebagainya, usahakanlah bangun sebelum terbit fajar. Lalu mengerjakan shalat, meskipun hanya dua rakaat (walau secara singkat). Setelah itu mengerjakan shalat fajar dan shalat subuh. Tidak mengapa kamu mengundurkan wirid (aurad tijaniyah, red) sampai waktu dluha umpamanya” (Lihat Kitâb Bughyatul Mustafid, hal.388).<br />
<br />
Pernah terjadi ada sebagian murid beliau yang meminta dispensasi, “Syekh, aku tidak mampu bangun sebelum terbit fajar. Malah seringkali aku terlambat mendirikan shalat, sampai matahari menjelang terbit. Aku sangat sulit untuk meninggalkannya.” <br />
Syekh Ahmad Tijani menjawab, “Kamu seorang yang tidak pantas mengamalkan thariqah kami. Karena itu lepaskanlah wirid kami darimu” (Lihat Kitâb Bughyatul Mustafid, hal.385). <br />
Syekh Ahmad bin Rifa’i ra juga sangat menekankan kepada para muridnya untuk membiasakan mendirikan shalâtul-lail.<br />
Syekh Ali al-Khawwas ra memerintahkan para muridnya untuk berniat akan bangun malam, pada sore harinya. Bahkan, dengan niat itu saja sudah merupakan kebaikan dan mendapat pahala karenanya.<br />
Ketiga guru kita tersebut di atas, benar-benar berkehendak untuk mengimplementasikan sabda Nabi saw, <br />
<br />
“Tekunilah qiyâmul-lail. Karena sesungguhnya qiyâmul-lail itu kebiasaan kaum shalihin sebelum kalian, mendekatkan diri kepada Allah ta’ala, mencegah dari perbuatan dosa, menebus kejelekan, dan mencegah penyakit dari tubuh” (Hr.Ahmad, Tirmidzi, Baihaqi, Ibnu Asakir, Thabrani, dan Ibnu Sunni).<br />
<br />
Bangun malam (qiyâmul-lail) adalah identitas seorang ibadurrahman. Demikianlah kalbu seorang ibadurrahman telah dapat menjadi pelita, cahaya, dan sinar yang cemerlang; karena kelanggengannya mendirikan shalat malam. Kalbunya telah bercahaya, putih kemilau laksana mutiara. Sehingga dalam hidupnya, seorang ibadurrahman memiliki kalbu yang tenang, pribadi yang matang, satunya kata dengan perbuatan, dan limpahan rahmat-Nya yang terus didapatkan. <br />
Seperti yang pernah terjadi di masa tabi’in, ada beberapa sahabat yang mempunyai sekali wudlu`, dari shalat isya` sampai shalat subuh. Mereka adalah: sahabat Sa’id bin Musayyab ra, Fudlail bin Iyadl ra, Wahib bin Wardi ra, dll.<br />
Inilah para hamba Allah swt yang berperilaku ibadurrahman, karena dirinya ahli qiyâmul-lail. Maka, Allah swt memberikan keistimewaan yang utama. <br />
<br />
“Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuknya, yaitu (bermacam-macam kenikmatan) yang menyedapkan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan (qiyâmul-lail)” (Qs.as-Sajdah: 17).<br />
<br />
Mengingat qiyâmul-lail merupakan anjuran kepada segenap kaum mukminin, perlulah alfaqir tunjukkan beberapa strategi, supaya kita dapat melazimkan shalâtul-lail, insyâ Allah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:<br />
1. Lakukan tajdidul-wudlu’ (selalu memperbaharui wudlu’), utamanya setelah shalat isya` atau di saat mau tidur.<br />
2. Perbanyak dzikrullah menjelang tidurnya, sehingga tertidur dalam kondisi dzikir.<br />
3. Perut jangan terlalu kenyang.<br />
4. Hindari makanan atau minuman yang haram dan syubhat, termasuk rizeki yang digunakan untuk memperolehnya.<br />
5. Hindari perilaku maksiat dan dosa di siang harinya.<br />
6. Perbanyak minum air putih di saat mau tidur, karena sunnatullahnya empat jam kemudian terasa ingin kencing. Insyâ Allah, lelapnya tidur tidak akan mampu menahan keinginan kencingnya.<br />
Wahai saudaraku sesama muslim, renungkan firman-Nya, <br />
<br />
“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Qs.al-Baqarah: 153). []<br />
<br />
<br />
<br />
Sifat Ibadurrahman (4):<br />
<br />
<br />
Takut Neraka<br />
<br />
Karakteristik seorang ibadurrahman yang keempat, adalah terdapatnya perasaan ‘harap-harap cemas’ di dalam dirinya. Sebab dia selalu mengkhawatirkan keadaannya di sisi Allah swt kelak. Terlebih setelah mendengar firman-Nya, <br />
<br />
“Dan, tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabb, adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan. Lalu, Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang dlalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut” (Qs.Maryam: 71-72).<br />
<br />
Karena kenyataan itu merupakan masa depannya yang sebenarnya. Sehingga dia sedikit sekali melakukan tidur malam, dan berusaha seoptimal mungkin merebut dunianya untuk dijadikan fasilitas utama dalam memenuhi keinginannya tersebut. Seperti telah digambarkan di dalam al-qur`an, <br />
<br />
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah)” (Qs.adz-Dzariyat: 17-18).<br />
<br />
Allah swt telah menyifatinya dan memberinya pahala terhadap seorang ibadurrahman. <br />
<br />
“Para ibadurrahman itu (adalah): …Orang-orang yang berkata, ‘Wahai Rabb kami, jauhkanlah adzab Jahannam dari kami, sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.’ Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 65, 75-77). <br />
<br />
Perasaan harap-harap cemas seorang ibadurrahman, semata-mata didorong oleh adanya rasa takut kepada Allah swt. Dia mencemaskan keadaannya di akhirat. Dia memikirkan rasanya kematian, karena kenyataan ini pasti akan dialaminya. Dia mengkhawatirkan keadaan amalnya tidak mencukupi kelak pada Hari Kebangkitan. Begitu juga dengan hisabnya. Masih harus menunggu lagi keputusan dari Allah swt. Apakah di surga? Ataukah harus melalui neraka lebih dahulu?<br />
Tidak begitu muluk-muluk, seorang ibadurrahman selalu menyadari bahwa dirinya belum layak mendapatkan surga. Tetapi dirinya sangat takut dengan neraka Jahannam. Karena gambaran Jahannam itu adalah, <br />
<br />
“…Yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (Qs.at-Tahrim: 6).<br />
<br />
Adakah tempat yang lebih buruk ketimbang neraka Jahannam? Tidaklah kita takut dengan keadaan seperti ini? Oleh sebab, seorang ibadurrahman selalu merintih, berdoa, munajat, dan bertawajuh kepada Allah azza wa jalla, dengan rintihannya, <br />
<br />
“Wahai Rabb kami, jauhkanlah siksa Jahannam dari kami. Sesungguhnya siksanya itu adalah kebinasaan yang kekal” (Qs.al-Furqân: 66).<br />
<br />
Manusia harus berada di antara takut dan berharap, tidak boleh terlalu dikuasai harapan sehingga mereka merasa dirinya aman dari nerakanya Allah swt. Sebaliknya, mereka tidak dikuasai oleh perasaan takut, sehingga di dalam dirinya muncul perasaan putus asa dari rahmatnya Allah swt.<br />
Dunia itu tidak kekal. Kehidupan seorang manusia juga tidak kekal. Manusia hanya sekadar tamu, karena dirinya adalah seorang musafir yang pasti akan melanjutkan perjalanannya, untuk mencapai tujuannya yang hakiki. <br />
Sama-sama sebagai musafir, namun adakalanya salah di dalam memilih jalan. Karena mereka berani meninggalkan ‘pedoman perjalanan’, sehingga tidak sedikit para musafir itu mengalami kesesatan yang nyata. Demikianlah akhir dari sebuah perjalanan panjang yang melelahkan dalam kehidupan seorang manusia. Tetapi ternyata kenyataan pahitlah yang diterima, karena nerakalah tempat kembalinya. Realitas inilah yang sangat ditakutkan oleh seorang ibadurrahman. <br />
<br />
Keteladanan<br />
Ada beberapa perilaku yang dapat dijadikan teladan dalam kehidupan kita. Sehingga kita akan memiliki kekuatan iman dan tauhid, guna untuk diteladani bersama. Antara lain yang dialami:<br />
1. Adalah seorang Ibnu Abi Maisarah, pemuda shalih yang senantiasa menangis tatkala handak tidur di kasurnya. <br />
Selalu dia bergumam terhadap dirinya sendiri, “Sekiranya saja ibu tidak pernah melahirkan aku.” <br />
Ibu pemuda itu mendengar apa yang digumamkan putranya. Lalu, si ibu menimpalinya, “Wahai puteraku, Allah telah berbuat baik kepadaku ketika menuntun dirimu kepada Islam.”<br />
Ibnu Abi Maisarah menjawab, “Wahai ibuku, tapi Allah telah mengabarkan bahwa kita semua akan menghampiri neraka, dan tidak mengabarkan apakah kita bisa keluar dari sana.”<br />
2. Rasulullah Muhammad saw adalah hamba Allah yang sudah pasti dosanya yang telah lalu dan yang akan datang akan diampuni oleh-Nya. Namun beliau senantisa berdoa kepada Allah swt supaya mendapat perlindungan-Nya dari siksa api neraka. <br />
Di samping selalu membaca doa, “Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan berilah kami kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.” <br />
Beliau juga mengajarkan doa ini kepada para sahabatnya, <br />
<br />
“Ucapkanlah: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari siksa Jahannam, aku berlindung kepada Mu dari siksa kubur, aku berlindung kepada Mu dari cobaan al-Masihud Dajjâl, dan aku berlindung kepada Mu dari cobaan hidup serta mati’.” (Muttafaqun ‘alaih).<br />
<br />
Doa ini selalu beliau ucapkan di setiap akhir shalat setelah membaca tasyahud, dan itu disunnahkan buat kita, agar kita mengamalkannya.<br />
3. Nabi Isa putera Ibunda Maryam as pernah berkata, “Berapa banyak badan yang bagus, lisan yang fasih, wajah yang berseri, kelak berada di atas api neraka sambil berteriak-teriak kesakitan.”<br />
Oleh karena Nabi saw biasa mengucapkan doa, <br />
<br />
“Dan, aku memohon surga kepada Mu, dan apa-apa yang mendekatkan kepadanya; berupa perkataan atau perbuatan. Dan, aku berlindung kepada Mu dari neraka, dan apa-apa yang mendekatkan kepadanya; berupa perkataan atau perbuatan” (Hr.Ibnu Majah).<br />
<br />
Beliau saw bersabda, <br />
<br />
“Barangsiapa yang memohon surga kepada Allah tiga kali, maka surga berkata, ‘Ya Allah, masukkanlah dia ke surga.’ Dan, barangsiapa yang berlindung dari neraka tiga kali. Maka, neraka berkata, ‘Ya Allah, lindungilah dia dari neraka’.” (Hr.Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasâ`i, dan Ibnu Hibbân).<br />
<br />
4. Begitu mencemaskan masa depan dirinya di sisi Allah swt. Sahabat Umar bin Khaththab ra pernah berkata, “Barangsiapa yang takut kepada Allah tidak terganggu oleh kesulitannya, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah tidak akan berbuat semaunya sendiri.”<br />
Inilah sinyal kehati-hatian dari sahabat Umar atas tindakan manusia, yang mempunyai kecenderungan melampaui batas, dan selalu menuruti hawa nafsunya. <br />
Tetapi seorang manusia tetaplah seorang hamba, yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan apa pun terhadap diri dan kehidupannya. Kesadaran tertingginya harus menerima dan mengakui, bahwa setelah hidup ada kematian. Setelah mati ada kehidupan barzah. Setelah barzah ada Hari Kiamat. Setelah kiamat ada peng-hisab-an amal. Setelah hisab ada surga dan neraka. <br />
Bagi seorang mukmin pasti akan takut terhadap kondisi dirinya mengahadapi kenyataan tersebut. Dan, hanya orang-orang dungu lagi tolol yang tidak pernah memikirkan masa depannya di sisi Allah jalla jalâluh.<br />
5. Syekh Hasan al-Basri ra, suatu ketika melewati sekelompok anak muda yang sedang tertawa terbahak-bahak. Beliau menyempatkan bertanya kepada mereka, “Wahai anak muda, mengapa kalian tertawa terbahak-bahak sedemikian rupa? Apakah kalian mengetahui akan menerima kitab kalian dengan tangan kanan atau tangan kiri?”<br />
“Tidak,” Jawab salah seorang darinya. <br />
Syekh bertanya, “Apakah kalian merasa yakin dapat menyeberangi shirath?”<br />
“Tidak,” Jawabnya. <br />
Syekh bertanya lagi, “Apakah kalian tahu akankah masuk neraka, atau selamat darinya?”<br />
“Tidak,” Jawabnya. <br />
“Lalu mengapa kalian berani tertawa terbahak-bahak?” Tanya Syekh Hasan, sampai-sampai para pemuda tersebut menangis histeris menyesali atas perbuatannya.<br />
6. Adalah Sayyid Ali Ba Faqih ra, pernah memberikan nasehat kepada alfaqir, “Wahai anakku, janganlah kamu termasuk golongan orang-orang yang membicarakan neraka sambil tertawa. Gunakanlah waktu malammu untuk mengingat dosa-dosa yang kamu lakukan di siang harimu. Sambil terus-menerus menanyakan pada dirimu sendiri, sudahkah bertakwa kepada Allah? Dan, rasakan betapa pedih dan menderitanya menjadi penduduk neraka.”<br />
Setelah Syekh berbicara, alfaqir memejamkan mata, di mana alfaqir seolah telah berada di neraka dengan segala siksaan dan kengerian. Dan, hanya berlindung pada kalimat Lâ ilâha illa-llâh, yang dibaca berulang-ulang, sambil terus memohon pertolongan-Nya. <br />
Mulai saat itulah, alfaqir tidak pernah merasakan nikmatnya makan-minum, nikmatnya rekreasi, nikmatnya tidur, dan nikmatnya berkumpul dengan isteri. Di banding dengan puncak kenikmatan menatap ‘wajah’ Allah swt di akhirat nanti.<br />
<br />
Pelajaran Yang Diambil<br />
<br />
“Dan, tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabb, adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan. Lalu, Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang dlalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut” (Qs.Maryam: 71-72). <br />
<br />
Firman Allah swt ini menegaskan, bahwa setiap manusia di antara kita akan menghampiri neraka. Tetapi Allah swt tidak pernah mengabarkan, bagaimana jalan keluar supaya selamat darinya? <br />
Sementara kenyataan hidup seorang manusia sangat jauh dari merenungkannya. Bahkan kebanyakan dari umat manusia telah melupakan dan melalaikannya. Semata karena kesibukan-kesibukan yang dibuatnya sendiri. Mereka menganggap realitas dunianyalah yang mendesak untuk dipenuhinya. Sehingga mereka berkecenderungan mengabaikan akhiratnya. Inilah gaya hidup para hamba Allah, yang tidak dianugerahi menjadi seorang ibadurrahman.<br />
Gaya hidup dan sikap hidup yang sangat jauh dari perilaku seorang ibadurrahman. Maka, manusia itu akan memiliki kecenderungan cinta dunia yang sangat melampaui batas (hubbud-dunya). Bila, hubbud-dunya sudah menghinggapi kalbunya dan merasuk syahdu ke dalam jiwanya. Sudah pasti mereka akan melalaikan kehidupan akhirat dan Hari Kiamat. Inilah pangkal kerusakan dunia.<br />
Di mana seorang manusia akan berlaku buas, menghalalkan segala cara, yang kuat menindas yang lemah, merusak alam lingkungan hidupnya, dan serakah dalam memenuhi ma`isah kehidupannya. Mereka adalah orang-orang yang mengingkari ke-Mahabesaran Allah. Sehingga mereka tidak pernah taat dan merasa takut sedikit pun terhadap segala perintah dan larangan, yang telah ditetapkan-Nya dalam syariat-Nya.<br />
Dinul Islam sangatlah ‘longgar’ atas pelaksanaan tradisi hukum dan tradisi syariahnya. Setiap manusia diberi kebebasan memilih dan berkehendak (free will), menjadi mukmin atau kafir. Namun kematian sajalah yang membatasi dan membedakan atas segalanya, dari kehidupan seorang manusia.<br />
Silahkan manusia hidup menurut kehendaknya. Silahkan manusia mengikuti hawa nafsu sepuas-puasnya. Silahkan manusia menikmati kehidupan dunia ini sesukanya. Tapi ingat umur dan hidup manusia sangatlah terbatas. Dibatasi oleh sang waktu, yang selalu mengintai, yang sewaktu-waktu akan memenggal lehernya.<br />
Keadaan yang sangat mencemaskan inilah, bagi seorang ibadurrahman selalu membuatnya gelisah akan ‘masa depannya’ di akhirat kelak. Dia tidak sanggup memejamkan matanya, dikala malam telah menyelimutinya. Dia tidak pernah merasakan enaknya makan, karena rasa hanya mampir sebentar dilidahnya. Dia sesak napas, bila mengingat bau anyirnya neraka, yang bahan bakarnya adalah para bangkai manusia pendurhaka. Sesekali, dia menghela napasnya, sambil bertanya pada dirinya, “Sudahkan aku ini menjadi orang yang bertakwa kepada Allah?” Dia tidak berani menjawabnya. Diam seribu bahasa. Jawabanya tampak pada tubuhnya yang menggigil. Dan detak jantungnya yang berubah menjadi cepat. <br />
Seorang ibadurrahman di dalam hatinya telah terpatri sabda Nabi saw, <br />
<br />
“Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, sekiranya kalian melihat apa yang pernah aku lihat. Niscaya kalian tertawa sedikit dan banyak menangis.” <br />
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang engkau lihat?” <br />
Nabi saw menjawab, “Aku pernah melihat surga dan neraka” (Hr.Muslim).<br />
<br />
Wahai saudaraku! Janganlah menjadi hamba Allah yang lalai akan dirinya sendiri, yang tertipu oleh kesibukan dan repotnya urusan duniawi kalian. Karena dunia yang selalu kalian dambakan cepat atau lambat pasti akan sirna dan musnah. <br />
Tinggalkanlah semua pikiran mengenai hal-hal yang pasti akan kalian tinggalkan. Dan, alihkan pikiran kalian kepada masa depan kalian sendiri di akhirat kelak. Sebab, sesungguhnya kalian telah diberitahu, dan telah mengerti, bahwa neraka adalah akhir yang mungkin kalian capai. Kemungkinan kalian masuk neraka, justru lebih pasti, sedangkan keselamatan kalian darinya, malah masih meragukan sekali. <br />
Wahai saudaraku! Sebagai seorang ibadurrahman, tanamkanlah di hati kalian rasa takut terhadap masa depan kalian tersebut, sehingga kalian termotivasi untuk bersiap-siap menyelamatkan diri. Renungkanlah!? Kesengsaraan, ketika mendapatkan pahit-getirnya Hari Kiamat. []<br />
<br />
Sifat Ibadurrahman (5):<br />
<br />
<br />
Sederhana <br />
Membelanjakan Harta<br />
<br />
Allah swt telah menyifati seorang ibadurrahman, yang kelima, dengan sifatnya yaitu: sederhana di dalam membelanjakan harta bendanya. Seperti telah difirmankan-Nya, <br />
<br />
“Para ibadurrahman itu (adalah): …Orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kebaikan. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 67, 75-77). <br />
<br />
Seorang ibadurrahman tidak mesti miskin papa tanpa harta benda. Tetapi sebaliknya, banyak dari mereka justru termasuk orang-orang yang kaya raya. Mereka inilah yang oleh Allah swt disifati dengan, <br />
<br />
“Lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan, dan tidak pula oleh jual beli; dari mengingat Allah” (Qs.an-Nûr: 37).<br />
<br />
Seorang ibadurrahman sangat memahami dan benar-benar mempraktekkan hak dan kewajiban terhadap harta benda yang dimilikinya. Mereka adalah seorang hamba yang telah berhasil memadukan secara harmoni, antara “gerak thawwaf materi” dengan “gerak thawwaf ruhani”. Sehingga dikehidupannya benar-benar telah mengalami sinkronisasi kebutuhan, yang pada akhirnya mereka mempunyai dinamika kehidupan “gerak thawwaf rabbani”. Seperti telah menjadi seruan Allah swt terhadap para hamba-Nya yang beriman, <br />
<br />
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta dan anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah” (Qs.al-Munâfiqûn: 9).<br />
<br />
Bagi seorang ibadurrahman, proses kehidupan di dunia haruslah seimbang lagi sederhana dalam segala hal dan kesempatan. Seorang ibadurrahman adalah seorang hamba Allah swt yang profesional hidupnya. Di mana kehidupan dunianya, ditata sedemikian rupa, sehingga benar-benar menjadi fasilitas kehidupan akhiratnya. <br />
Dia sebagaimana layaknya manusia yang lainnya, memiliki anak, isteri, dan harta benda. Tetapi seorang ibadurrahman tidak mudah terbuai dengan kesenangan-kesenangan sesaat (temporal). Karena di dalam benaknya selalu terpatri, bahwa setelah kehidupan dunia masih ada lagi kehidupan yang lebih kekal; dan dia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan dan harta miliknya di hadapan Sang Pemilik Kehidupan, Allah Jalla Jalâluh.<br />
Keberadaan dirinya, kehidupannya, dan harta bendanya; merupakan sesuatu yang harus disyukuri, karena kesemuanya itu adalah anugerah dari Allah swt yang mesti dinikmatinya. Seorang ibadurrahaman senantiasa sadar, bahwa seluruh yang dimilikinya merupakan titipan saja dari Allah swt, agar dia mampu mengurusnya, dan pasti suatu saat akan dimintai pertanggungjawabannya.<br />
Dari kesadarannya itulah, maka seorang ibadurrahman mempunyai sikap yang jelas terhadap harta benda yang dimilikinya. <br />
Pertama, dia tidak mau kikir, bila suatu saat diberi kenikmatan Allah yang berupa limpahan harta benda. <br />
Kedua, dia tidak mau bergaya hidup mewah dengan perilaku boros dan suka menghambur-hamburkan harta bendanya, bila suatu saat diamanahi Allah dengan kekayaannya. Karena dia memegang teguh wasiat Allah swt yang telah tertera di dalam Kitab Suci-Nya, <br />
<br />
“Dan, berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, orang yang dalam perjalanan; dan, janganlah kalian menghambur-hamburkan (harta benda) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan; dan, setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabb-nya. Dan, jika kalian berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Rabb kalian yang kalian harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas. Dan, janganlah kalian jadikan tangan kalian terbelenggu pada leher kalian. Dan, janganlah kalian terlalu mengulurkannya, karena itu kalian menjadi tercela lagi menyesal” (Qs.al-Isrâ`: 26-29).<br />
<br />
Oleh Rasulullah Muhammad saw, tipologi hamba Allah inilah yang hidupnya dalam kategori: sederhana, faqih pengetahuannya, dan selalu berkecukupan.<br />
Diriwayatkan sahabat Hudzaifah ra, Nabi saw bersabda, <br />
<br />
“Alangkah baiknya kesederhanaan di saat kaya. Alangkah baiknya kesederhanaan di saat miskin. Dan, alangkah baiknya kesederhanaan dalam beribadah” (Hr.Bazzar).<br />
<br />
Sahabat Abu Darda` ra juga meriwayatkan, bahwa Nabi saw pernah bersabda, <br />
<br />
“Di antara pengetahuan seseorang, adalah kesederhanaannya dalam hidupnya” (Hr.Ahmad).<br />
<br />
Juga sahabat Ibnu Mas’ud ra meriwayatkan, Nabi saw pernah bersabda, <br />
<br />
“Tidak akan kekurangan nafkahnya orang yang hidup sederhana” (Hr.Ahmad).<br />
<br />
Inilah sebuah keyakinan yang diimani oleh seorang ibadurrahman, bahwa di dalam kehidupannya dia harus sederhana, mengambil jalan tengah dalam membelanjakan harta bendanya, melakukan saving dan investasi terhadap harta bendanya, menjauhi sifat ketergantungan kepada orang lain, dan selalu berkerja keras. Namun dia tetap memenuhi kewajiban-kewajiban syar’i-nya atas harta benda yang dimilikinya, seperti: menunaikan zakat, infak, shadaqah, dan jariahnya. Hal ini telah jelaskan oleh Allah swt dalam firman-Nya, <br />
<br />
“Dan, mereka bertanya kepada kalian, apa yang mereka nafkahkan? Katakanlah! ‘Yang lebih dari keperluan’.” (Qs.al-Baqarah: 219).<br />
<br />
Di sinilah Allah swt memuji salah seorang sahabat Anshar, yang jauh lebih mengutamakan saudaranya orang-orang Muhajirin, ketimbang dirinya sendiri. <br />
<br />
“Dan, mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri (sahabat Anshar), sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan, barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Qs.al-Hasyr: 9).<br />
<br />
“Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan ‘wajah Allah’ (keridlaan Allah). Kami tidak menghendaki balasan dari kalian (orang-orang Muhajirin) dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut azab Rabb kami, pada suatu hari yang pada hari itu orang-orang yang bermuka masam penuh kesulitan” (Qs.al-Insân: 9-10).<br />
<br />
Keteladanan<br />
Sebagai teladan (uswah) kita dalam hal kesederhanaan membelanjakan harta. Ada beberapa perilaku indah yang patut untuk diteladaninya, antara lain:<br />
1. Imam al-Laits bin Sa’ad ra termasuk salah seorang muslim yang kaya raya. <br />
Pendapatannya dalam setahun dapat mencapai delapan puluh ribu dinar. Tetapi dia tidak pernah terkena wajib zakat. Dikarenakan harta benda yang dimilikinya tidak pernah genap selama satu tahun. Di mana dia selalu menyedekahkan setiap kali harta itu terkumpul. <br />
“Harta berasal dari Allah dan harus disalurkan kepada para hamba Allah,” demikian pendapatnya.<br />
Dikisahkan, suatu hari ada seorang perempuan yang menemuinya untuk meminta sedikit madu. Seketika itu dia meminta tolong pelayannya untuk mengambilkan madu, guna diberikan kepada si perempuan tersebut. Tetapi dia memberinya dalam jumlah yang sangat banyak. Ada salah seorang rekannya yang berkomentar, “Perempuan itu meminta setetes dua tetes madu kepadamu, namun kamu memberinya sebejana.”<br />
Imam Laist menjawab, “Dia meminta menurut kadar keperluannya, dan aku memberinya menurut kadar nikmat Allah yang diberikan kepadaku.”<br />
Demikianlah Imam Laist benar-benar telah mampu mengamalkan sabda Nabi saw, <br />
<br />
“Sesungguhnya Allah suka melihat pengaruh nikmat-Nya atas dirimu” (Hr.Tirmidzi dan Hakim).<br />
<br />
Di samping juga mempraktekkan firman Allah swt, <br />
<br />
“Dan, terhadap nikmat Rabb-mu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya” (Qs.adh-Dhuhâ: 11).<br />
<br />
2. Adalah Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib ra, merupakan salah satu dari deretan sahabat Nabi saw yang dianugerahi kekayaan yang berlimpah. <br />
Dalam kehidupan kesehariannya, dia mempunyai kebiasaan perilaku dermawan. Di mana setiap pengemis yang datang kepadanya tidak pernak ditolaknya. Suatu ketika dia dicela oleh seseorang yang hasud kepadanya, dengan mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang kikir. <br />
Abdullah menjawab, “Sesungguhnya Allah memberikan suatu kebiasaan kepadaku, dan ada pula suatu kebiasaan yang membuat para hamba-Nya terbiasa dengan sesuatu. Allah biasa memberiku dan aku biasa memberi para hamba-Nya, dan aku takut jika kebiasaanku ini terputus. Sehingga Allah juga memutus kebiasaan-Nya terhadap diriku.”<br />
3. Di jamaah nDalem Kasepuhan Tambak Bening, Surabaya namanya Musthafa Ahmad alHajj, selalu menangis bersama isterinya, bila tiba waktu sepertiga akhir malam, di saat shalâtul-lail. Mereka sangat takut dengan istidraj Allah swt. <br />
Tidak hanya itu, tempat tidurnya yang bagus dan kursi tamunya, sampai arlojinya yang ber-merk; dibagikan kepada para tetangga dan para teman jamaahnya. Dia dan keluarganya sangat menikmati kesederhanaan dan kesahajaan. Segala sesuatu yang disedekahkan kepada orang lain, senantiasa dicarikan yang terbaik.<br />
Suatu ketika puteranya (Muhammad Ghalib Abdurrahman, red) yang masih duduk di bangku SD, pernah bercerita kepada ibunya. “Buk, teman-teman itu banyak lho yang mobilnya tiga, mewah lagi.”<br />
Ibunya menjawab dengan nada menghibur, “Sudahlah jangan biasakan melihat orang lain. Mestinya kamu harus bersyukur. Pergi dan pulang sekolah sudah di antar jemput, walau mobil kijang-mu ketinggalan tahun, syukuri sajalah. Panas tidak kepanasan, hujan tidak kehujanan, dan terhindar dari debu.”<br />
Biasa dipanggil mbah Haji Syahlan, juga jamaah nDalem Kasepuhan, suatu hari mengalami musibah kecil. Di mana mobil yang dia kendarai, ditabrak vespa dari belakang. Anak muda yang mengendarai vespa sangat marah, karena merasa vespanya penyok. Padahal dilihat dari kesalahannya, anak muda itu yang salah karena menabrak dari belakang. Semestinya yang marah mbah Syahlan, tapi justru tidak marah, malah bertanya, “Mas, ada yang rusak?”<br />
Sambil membentak pemuda itu berkata, “Saya minta ganti rugi lima puluh ribu rupiah.” <br />
Tanpa banyak kata, mbah Syahlan memberinya delapan puluh ribu rupiah. Akhirnya, pemuda tersebut ngeloyor sambil menahan malu.<br />
Antara Musthafa Ahmad alHajj dan Muhammad Syahlan alHajj sama-sama takut terhadap perilaku kikir, sehingga di sisi Allah mereka tidak mendapatkan keberuntungan. Seperti difirmankan Allah swt, <br />
<br />
“Dan, siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Qs.al-Hasyr: 9).<br />
<br />
Pelajaran Yang Dapat Diambil<br />
Sebagai seorang ibadurrahman, dia sangat takut dengan firman Allah swt, <br />
<br />
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri, yaitu: Orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain berbuat kikir (1); (Orang-orang yang) menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka, dan Kami telah menyediakan bagi mereka siksa yang menghinakan (2); Juga orang-orang yang menafkahkan harta bendanya dengan riya` kepada manusia (3); dan, orang-orang yang tidak beriman kepada Allah serta Hari Akhir (4). Barangsiapa yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya” (Qs.an-Nisâ`: 36-38).<br />
<br />
Ayat di atas telah memberikan sifat yang tercela kepada seorang hamba Allah yang memilikinya. Di mana Allah swt telah menyifatinya dengan perilaku kikir, di saat yang sama Allah juga telah menyifatinya dengan perilaku sombong lagi riyâ`. <br />
Belum banyak yang sadar, bahwa kaum muslimin Indonesia sebenarnya masih banyak yang terhinggapi penyakit kikir untuk urusan-urusan kewajiban dinul Islam. Sebaliknya, sangat boros untuk urusan-urusan pemenuhan hawa nafsu.<br />
Sudah saatnya kita melakukan introspeksi diri, guna mengaca eksistensi kepribadian keislaman kita. Sudahkah melakukan tindakan-tindakan penyelamatan dan tindakan-tindakan efesiensi? Hal ini penting, karena harta benda yang kita miliki sebenarnya hanyalah sekadar fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Dan, harta benda itu memang titipan dari-Nya, adalah kewajiban kita untuk menunaikan akan hak-hak atas harta benda yang kita miliki. <br />
Potret seorang ibadurrahman, adalah seorang hamba Allah yang benar-benar menjaga penggunaan harta bendanya, antara boros dan kikir. Dia selalu mengambil jalan tengah dalam segala hal dalam aspek kehidupannya. Jalan tengah inilah akhlak dinul Islam yang sebenarnya.<br />
Renungkan teguran Rasulullah Muhammad saw kepada sahabat beliau, Sa’ad ra yang sedang menunaikan wudlu. <br />
<br />
“Janganlah kamu berlebih-lebihan dalam menggunakan air!”<br />
Sa’ad bertanya, “Apakah ada istilah berlebih-lebihan dalam menggunakan air?” <br />
Beliau menjawab, “Benar, meskipun kamu berada di sungai yang mengalir.” <br />
Ditegaskan beliau, “Dinul Islam itu mudah, maka barangsiapa mencoba-coba untuk mengalahkannya pasti dinul Islam dapat mengalahkannya” (Dari Abu Hurairah ra, Kitâb Mukhtârul Ahâdis, no.614, hal.71).<br />
<br />
Nabi saw juga bersabda, <br />
<br />
“Hemat di dalam berbelanja merupakan sebagian dari penghidupan. Bersikap kasih-sayang terhadap orang lain merupakan sebagian dari akal. Dan, bertanya dengan cara yang baik merupakan sebagian dari pengetahuan” (Hr.Thabrani, dari Ibnu Umar ra). []<br />
<br />
<br />
<br />
Sifat Ibadurrahman (6):<br />
<br />
<br />
Memiliki Tauhid Kuat<br />
<br />
Dinul Islam terdiri dari perintah dan larangan, yang secara esensial keduanya merupakan perintah untuk dikerjakan dari Allah swt. Yang pertama berupa perintah untuk mengerjakan sesuatu. Dan yang kedua adalah perintah untuk meninggalkan sesuatu. Seorang ibadurrahman benar-benar menaati seluruh perintah Allah swt. Karena dia memiliki kedalaman takwa dan kekuatan tauhid, sehingga akidahnya terpancang kokoh dalam kehidupan kesehariannya. <br />
Perilaku tauhid yang kuat menjadikan seorang ibadurrahman memiliki keunggulan pribadi, dibandingkan dengan manusia pada umumnya. Jiwanya selalu bangkit (khurûj). Pikirannya mengalami progresifitas. Kalbunya senantiasa melakukan gerak thawaf rabbani. Tindakannya menunjukkan keuletan dan profesional. Kesemuanya ini merupakan sifat dasar bagi para hamba yang akan dipilih Allah swt, di mana pemilik ruhani yang indah inilah, yang akan dikelompokkan ke dalam ibadurrahman. <br />
<br />
“Para ibadurrahman itu (adalah): …Orang-orang yang tidak menyembah sesembahan yang lain, beserta Allah…Mereka orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 63&68, 75-77). <br />
<br />
Seorang ibadurrahman kalbunya disediakan untuk persinggahan Allah azza wa jalla, agar dirinya dapat selalu menthawafi-Nya setiap saat. Hidupnya benar-benar diikhlaskan hanya untuk-Nya. Keadaan kalbunya senantiasa diupayakan supaya tidak direbut oleh kekuatan-kekuatan tandingan Allah swt. <br />
“Mâ kâna hammun ghairu-llâh, wa lâ yakûna muhimun ‘alâ syai`in illa-llâh”; Tidak ada cita-cita selain Allah, dan tidak ada yang dipentingkan terhadap segala sesuatu, kecuali Allah,” demikian nasehat Syekh Abul Fath Abdurrahman al-Baghdadi ra kepada alfaqir.<br />
Dikatakan Syekh Ahmad Zaraqi Abdullah ra, <br />
<br />
“Seorang ibadurrahman di dalam kehidupannya mempunyai sikap tauhid yang jelas dan kuat, ‘Aku percayakan kepada Rabb-ku yang Mahaagung dan tidak ada yang singgah di kalbuku, selain Allah’.” <br />
<br />
Seperti telah diajarkan Rasulullah saw kepada sahabat Ibnu Abbas ra, <br />
“Wahai anak muda! Aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat (tauhid): (1)Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu; (2)Jagalah Allah, niscaya kamu mendapatkan-Nya ada dihadapanmu; (3)Jika kamu meminta, maka mintalah kepada Allah; (4)Jika kamu memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah! Bahwa sekiranya umat ini bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu memberikan manfaat kepadamu; kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah bagimu. Dan, sekiranya mereka berkumpul untuk menimpakan madlarat kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu menimpakan madlarat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah bagimu. al-Qalam telah diangkat dan lembaran-lembaran kita telah mengering” (Hr.Tirmidzi).<br />
<br />
Seorang ibadurrahman benar-benar telah membebaskan dirinya dari segenap ikatan-ikatan, dia hanya diikat oleh ma’rifatullâh dan mahabbatullâh. Baginya hidup itu, “Tidak mempunyai apa-apa, dan tidak dimiliki oleh siapa-siapa, kecuali Allah;” lâ yumlik, wa lâ yumlak, illa-llâh. <br />
Dia sangat sadar, bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah yang mutlak. Yang Mahaawal, Mahaakhir, Mahadhahir, dan Mahabatin. Seluruh yang mewujud di dunia ini terjadi, jika Allah menghendakinya. Semata-mata karena Allah segala yang terjadi di kehidupan ini ada; lâ ilâha illa-llâh, al-awwâlu wal-âkhiru wadh-dhâhiru wal-bâthinu, in-syâ`allâh, mâ syâ`allâh.<br />
Seperti telah disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
“…Dan, relalah dengan segala apa yang telah diberikan Allah kepadamu, niscaya kamu akan menjadi orang yang paling kaya…” (Hr.Ahmad, dari Abu Hurairah ra).<br />
<br />
Adalah Sayyidusy Syekh Abbul Abbas Ahmad bin Muhammad at-Tijani ra senantiasa mewasiatkan kepada para muridnya, supaya tetap mengandalkan Allah swt semata dalam segala kebutuhannya.<br />
Demikian halnya, Syekh Ibnu Atha’ilah al-Iskandari ra menasehatkan, “Tidak mengandalkan makhluk adalah merupakan kesenangan ahli thariqah, dan identitas kaum ahli hakikat.”<br />
<br />
Tauhid Itu Benteng<br />
Dinul Islam datang guna membebaskan umat manusia dari perbudakan dan penyembahan kepada selain Allah swt. Ia datang untuk mengajak pada sikap dan perilaku tauhid, umat manusia dibuat aman di dalam benteng tauhid. Hal itu tampak dengan tegas pada ajaran dinul Islam yang telah nyata-nyata menentang prinsip-prinsip syirik, yang akan berakibat pada pembelengguan kreatifitas dan hilangnya kemerdekaan umat manusia di dalam kehidupannya.<br />
Seorang ibadurrahman sadar dan mengetahui, bahwa seorang hamba yang menyembah selain Allah swt. Itu lebih dikarenakan ketololan dan dorongan alami dari dalam dirinya, yang pada umumnya lebih cepat mempercayai adanya sebab yang menjadi penyebab atas suatu fenomena (pengaruh gejala).<br />
Untuk itu bagi seorang ibadurrahman telah menjadikan para nabi dan para rasul, khususnya Rasulullah Muhammad saw, sebagai pemandunya demi kebenaran dan kesempurnaan perjalanan ruhaninya (suluk) kepada Allah swt. Disebabkan peran fungsional para nabi dan para rasul, khususnya Rasulullah Muhammad saw, adalah membebaskan umat manusia dari cengkeraman syirik (politheism) dan penyembahan berhala (paganism).<br />
Kalimat lâ ilâha illa-llâh (Tidak ada sesembahan yang benar, selain Allah saja yang mutlak, red), membuktikan apa yang telah alfaqir terangkan di atas. Maksudnya, tidak adanya sesuatu yang patut disembah selain Allah swt, telah menjadi bukti nyata akan keberadaan Sang Pencipta, yang ini telah diakui oleh segenap logika sehat umat manusia. <br />
Di sinilah bila nalar seorang hamba itu sehat, maka secara otomatis akan menerima keesaan-Nya. Oleh karena seorang ibadurrahman menjatuhkan pilihannya pada implementasi kalimat tauhid dalam hidup dan kehidupan kesehariannya. Karena dia tidak ingin digolongkan pada kelompok para hamba yang akalnya kurang waras, dan dijamin bakal mengalami kerugian dunia dan akhiratnya.<br />
<br />
Keteladanan<br />
Mengenai kuatnya perilaku tauhid ini ada beberapa teladan yang dapat ditiru, guna diambil manfaatnya untuk kemudian dijadikan referensi (rujukan) sikap keberagamaan keseharian kita. Mereka antara lain:<br />
1. Zaid bin Haritsah ra adalah salah seorang sahabat Nabi saw, yang dapat dijadikan teladan mengenai perilaku tauhidnya yang sangat kuat.<br />
Suatu ketika dalam perjalanan dia di hadang orang Kurdistan yang hendak membunuhnya. Sahabat Nabi tersebut tidak gentar, apalagi takut. Karena dia telah memiliki kekuatan tauhid rububiah, seperti yang telah diajarkan dinul Islam, “Tidak ada yang mampu membunuh, kecuali Allah. Tidak ada yang dapat menolong selain Allah.” <br />
Akhirnya, dia mempunyai satu permintaan supaya diperkenankan shalat sunnah dua rakaat sebelum dibunuh, dan permintaan itu dikabul si Kurdistan. <br />
Selesai shalat sahabat tersebut terus berdoa, sebagai refleksi perilaku tauhid uluhiah-nya, dengan mengucapkan, <br />
<br />
“Ya Allah, wahai Dzat yang Mahamengasihi, wahai Dzat yang memiliki ‘Arsy yang mulia, yang Memulai, yang Mengembalikan, yang berbuat apa yang Dia kehendaki. Aku memohon kepada Mu dengan cahaya Dzat Mu yang memenuhi tiang-tiang ‘Arsy Mu. Dengan kekuasaan Mu yang Engkau kuasa mengalahkan semua makhluk Mu. Dengan rahmat Mu yang memenuhi segala sesuatu, tidak ada sesembahan selain Engkau. Dengan rahmat Mu aku memohon pertolongan. Wahai Dzat yang Mahapenolong terhadap orang-orang yang memohon pertolongan. Tolonglah aku.”<br />
Di luar dugaan!? Di saat si Kurdistan hendak mengayunkan tombaknya, terlebih dahulu dia dibunuh oleh kelebatan bayangan seseorang yang datang secara tiba-tiba sambil menunggang kuda. <br />
Si penunggang kuda itu berkata kepada Zaid, “Ketahuilah wahai Zaid! Sesungguhnya tidaklah ada seseorang yang berdoa dengan doamu itu, melainkan dikabulkan oleh Allah swt pada saat itu juga.”<br />
Setibanya di Madinah, kejadiaan yang menakjubkan itu diceritakan kepada Nabi saw. Dan, Nabi saw bersabda, “Wahai Zaid, sesungguhnya Allah telah mengajarkan asma-Nya yang Mulia kepadamu. Bila dibaca tentu dikabulkan. Bila meminta dengannya, pasti diberi.”<br />
<br />
2. Abu Darda’ ra adalah sahabat Nabi saw yang memiliki perilaku tauhid kuat lagi bersifat mukhlis. Suatu ketika mendapatkan ujian dari Allah swt, di mana kampungnya mengalami kebakaran yang sangat hebat. Pada saat terjadi kebakaran sahabat Nabi tersebut tidak berada di rumah.<br />
Ada tiga orang yang memberikan informasi mengenai terbakarnya kampungnya. “Ya Abu Darda’, rumah-mu ikut terbakar.” <br />
Di jawab oleh Abu Darda’, “Allah tidak akan melakukan yang demikian.” <br />
Inilah sikap tauhid seorang Abu Darda’ yang tetap husnudlan dengan Allah swt. Karena dia yakin dengan apa yang telah diajarkan baginda Nabi saw kepadanya mengenai sebuah doa nubuwah, <br />
<br />
“Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku. Tidak ada ilah selain Engkau, dan kepada Mu aku berserah diri. Engkau adalah Rabb ‘Arsy yang agung. Tidak ada daya upaya dan kekuatan, kecuali atas pertolongan Allah yang Mahatinggi lagi Mahaagung. Apa yang dikehendaki Allah menjadi kenyataan, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak bakal menjadi kenyataan. Aku mengetahui, bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu. Dan, Allah dengan sifat ilmu-Nya dapat menguasai segala sesuatu dan dapat menghitung segala yang ada. Ya Allah, aku berlindung kepada Mu dari kejahatan diriku dan dari kejahatan segala binatang yang Engkau kuasai. Sungguh Rabb-ku (memberikan hidayah) agar tetap di jalan yang lurus.”<br />
Abu Darda’ memberi tahu kepada ketiga orang itu, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa membaca doa di atas setiap siang dan malam, maka tidak akan ditimpa marabahaya sedikit pun.’ Padahal aku secara mudawwamah telah mengamalkannya.” <br />
Kemudian datang orang yang keempat menginformasikan, “Ya Abu Darda’, setiap kali api akan menjilat rumahmu langsung padam.” (Hr.Thabrani).<br />
<br />
3. Musthafa Ahmad alHajj, seorang shantri Ma’hâdul ‘Ibâdah al-Islâmi Tambak Bening Surabaya Indonesia (MIITSI), mobil kijangnya pernah dibobol pencuri di Pasar Turi Surabaya. <br />
Dia sangat keheranan, mengapa yang diambil pencuri itu justru barang-barang yang akan disedekahkan kepada fakir miskin, yang nilainya tidak seberapa mahal, cuma Rp.1.600.000,00. <br />
Sedangkan barang-barang lain yang lebih mahal tidak diambilnya. Dia bergumam dalam hatinya, “Ini Allah menguji aku. Ya Allah, kuatkanlah imanku.”<br />
Berceritalah dia kepada isterinya mengenai kejadian tersebut, “Dik, barang-barang yang kita beli untuk dibagi-bagikan itu telah diambil pemiliknya.” <br />
Isterinya menjawab, “Baguslah kalau begitu, kita tidak repot-repot membagikannya.” <br />
Inilah dialog tauhid yang indah karena tetap husnudlan dengan Allah swt. <br />
Ternyata esok harinya telah diganti oleh Allah swt dengan beberapa kali lipat dari nilai Rp.1.600.000,00. Sehingga dia dapat bersedekah lebih banyak lagi.<br />
<br />
Pelajaran Yang Diambil<br />
Kuatnya tauhid akan membawa kepada indahnya kebahagian hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Oleh karena seorang ibadurrahman benar-benar menempa pribadinya supaya memiliki kekuatan tauhid. Sebab seorang ibadurrahman sangat berhasrat mendapatkan kebahagiaan hidupnya, baik ketika masih di dunia terlebih setelah kematiannya. <br />
Untuk itu mari kita renungkan pernyataan tauhid yang suci dari seorang ulama di jaman Nabi Yunus as:<br />
<br />
“Dengan menyebut asma Allah, segala yang terjadi karena kehendak Allah, tidak ada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah. Segala yang terjadi karena kehendak Allah, setiap kenikmatan datangnya dari sisi Allah. Segala yang terjadi karena kehendak Allah, kebaikan itu seluruhnya berada di tangan Allah. Segala yang terjadi karena kehendak Allah, tidak ada yang dapat menolak kejahatan melainkan dengan pertolongan Allah” (Lihat Kitâb az-Zuhdu, yang ditulis Imam Ahmad bin Hambal ra). []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Sifat Ibadurrahman (7):<br />
<br />
<br />
Menghormati Kehidupan<br />
<br />
Dinul Islam telah mengajarkan kepada kaum muslimin, bahwa diturunkannya risalah langit yang berupa syariat Islam, tidak sekadar untuk menjaga dinul Islam dan mengejawantahkan akidah Islam. Namun syariat luhur itu diharapkan juga mampu menjaga darah dan jiwa umat manusia, tanpa terkecuali. <br />
Bahkan lebih dari itu, seorang ibadurrahman harus berupaya mengimplementasikan nilai-nilai ‘hak-hak asasi manusia’ dalam pengertian yang sebenarnya, seperti: menjaga kehormatan, menjaga kesucian, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta benda. Demikianlah hak-hak kehidupan seorang hamba yang harus tetap dijaga dan dipertahankan, sebagai refleksi dari perilaku penghormatan terhadap kehidupan seorang manusia. Sebagaimana Allah swt telah berfirman, <br />
<br />
“Para ibadurrahman itu: …Tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan (alasan) yang benar… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 63&68; 75-77). <br />
<br />
Dinul Islam datang sebagai risalah yang membawa syariat pengharaman atas penumpahan darah, dan melarang seseorang melanggar hak hidup setiap jiwa yang telah dirahmati-Nya dengan kehidupan; kecuali semata-mata memang dibenarkan oleh syara’. <br />
Secara substansial syariat Islam telah menegaskan, bahwa setiap kehidupan jiwa seseorang mendapat perlindungan dari tradisi hukum Islam. Oleh karena tradisi al-qur`an menyertakan, perilaku membunuh dengan tindakan syirik kepada Allah swt. Dan, Nabi saw juga telah menegaskan, <br />
<br />
“Mencaci maki seorang muslim itu fasik, membunuhnya adalah kafir” (Muttafaqun ‘alaih).<br />
<br />
Jiwa yang terlindungi adalah jiwa yang diharamkan untuk dibunuh. Itulah jiwa yang telah menerima dan mengucapkan, “Lâ ilâha illa-lâh, Muhammadur rasûlullâh.” Jiwa inilah yang darah, harta benda, dan hidupnya terlindungan oleh syara’. <br />
<br />
“Setiap muslim atas muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya” (Hr.Muslim dan Ahmad).<br />
<br />
Termasuk jiwa yang terlindungi, antara lain: non-muslim yang mengikat perjanjian dengan umat Islam (penguasa muslim), seorang non-muslim yang telah mendapatkan perlindungan dari seorang muslim, dan setiap orang yang berdamai dengan kaum muslimin serta patuh kepada mereka. <br />
<br />
“…Dan, jika mereka tidak memerangi kalian serta mengemukakan perdamaian kepada kalian. Maka, Allah tidak memberi jalan bagi kalian (untuk menawan dan membunuh) mereka” (Qs.an-Nisâ`: 90).<br />
<br />
Telah disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
“Barangsiapa yang membunuh orang (non-muslim) yang terikat perjanjian damai, maka dia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga itu tercium dari jarak perjalanan selama empat puluh tahun” (Hr.Bukhari).<br />
<br />
Dalam sabdanya yang lain, <br />
<br />
“Tidak diperbolehkan darah seseorang yang bersaksi, ‘bahwa tiada ilah selain Allah dan aku adalah Rasulullah’, kecuali karena salah satu dari tiga hal: (1)Perempuan bersuami yang berzina; (2)Jiwa yang dibalas dengan jiwa; dan (3)Orang yang meninggalkan agamanya (dinul Islam) lagi memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin” (Hr.Bukhari dan Muslim). <br />
<br />
Tradisi hukum Islam dan tradisi yurisprodensi Islam sangat mengecam tindakan pembunuhun yang dilakukan secara sengaja, oleh siapa pun. <br />
<br />
“…Bahwasanya, barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi. Maka, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan, barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya” (Qs.al-Mâ`idah: 32). <br />
<br />
Secara khusus, al-qur`an juga melarang pembunuhan sesama mukmin. <br />
<br />
“Dan, tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tidak sengaja” (Qs.an-Nisâ`: 92). <br />
<br />
Tetapi ‘tidak sengaja’ bukan berarti dengan mudah seseorang dapat menghindar dari tanggungjawabnya, atas perilaku pembunuhan yang telah dilakukannya. Maka, al-qur`an mengharuskan puasa dua bulan berturut-turut sebagai penggantinya (kaffarah). Sehari gagal, maka haruslah diulanginya dari awal. Sebab hal ini sebagai wujud taubat kepada Allah swt. <br />
<br />
“Maka, hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah” (Qs.an-Nisâ`: 92).<br />
<br />
Sebaliknya, bila pembunuhan itu dilakukan secara sengaja terhadap seorang mukmin, <br />
<br />
“…Maka, balasannya adalah neraka Jahannam. Dia kekal di dalamnya. Dan, Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan siksa yang besar baginya” (Qs.an-Nisâ`: 93). <br />
<br />
Seorang Ibadurrahman itu bijaksana<br />
Berdasarkan realitas dari beberapa dalil naqli tersebut di atas, maka seorang ibadurrahman sangat hati-hati, teliti, dan waspada; sebelum mengambil suatu tindakan syara’. Sehingga dalam berperilaku dia santun lagi bijaksana. <br />
Ada beberapa sikap bijaksana seorang ibadurrahman, di dalam mengejawantahkan dalil-dalil naqli yang membahas mengenai pembunuhan: (a).Perempuan bersuami yang berzina; (b).Membunuh dengan sengaja; dan (c).Orang murtad.<br />
(a).Perzinahan yang dilakukan perempuan yang bersuami, harus dikuatkan dengan persaksian empat orang saksi, yang melihat perbuatan zinanya secara langsung. Atau, perempuan itu membuat pengakuan langsung di hadapan hakim Islam. Atau, perempuan tersebut membuat pernyataan pengakuan atas perbuatannya kepada penguasa muslim. Dan, hal itu harus diulanginya sampai empat kali, berturut-turut. Inilah dasar keputusan untuk menjatuhkan hukuman mati, terhadap perempuan pezina tersebut.<br />
Seorang ibadurrahman mengikuti prosedur syar’i, di mana perseorangan tidak dapat membuat keputusan sendiri atas perilaku pembunuhan, terhadap orang lain. Hal ini sangat berbahaya dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. <br />
Seorang ibadurrahaman mengetahui, barangsiapa yang melakukan pengambilan keputusan secara perseorangan, maka apa yang telah dilakukannya itu bukan didasarkan atas kecemburuan (ghirah) terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah swt. Sebaliknya, perbuatan yang dilakukannya itu semata-mata taqlid buta (ikut-ikutan) yang diatas-namakan kepada dinul Islam. Inilah realitas yang banyak terjadi di negeri ini. Sangat memalukan.<br />
Jadi, seorang ibadurrahman sangatlah hati-hati di dalam mengejawantahkan tradisi hukum Islam, semata karena dia menghendaki segenap perilakunya didasarkan atas kehendak Allah, kejernihan berpikir, dan kebersihan kalbu. Bukan merampas hak orang lain dengan mengatasnamakan dinul Islam. Inilah kebejatan nafsu para manusia yang terkutuk, semata-mata menutupi kemunafikannya.<br />
(b).Dinul Islam telah memberikan prinsip dasar terhadap seseorang yang membunuh dengan sengaja, “Satu nyawa dibalas dengan satu nyawa pula.” Inilah qishash. <br />
<br />
“Dan, dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal; supaya kalian bertakwa” (Qs.al-Baqarah: 179).<br />
<br />
Allah swt telah melarang, <br />
<br />
“Dan, janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan, barangsiapa dibunuh secara dlalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya. Tetapi janganlah ahli warisnya itu melampaui batas dalam membunuh…” (Qs.al-Isrâ`: 33).<br />
<br />
Namun seorang ibadurrahman akan memilih untuk memaafkan kepada orang yang membunuhnya, atau dia juga akan memaafkannya bila dia menjadi ahli waris korban pembunuhan. <br />
<br />
“Maka, barangsiapa mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik. Dan, hendaklah (yang diberi maaf) membayar (denda) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kalian dan suatu rahmat” (Qs.al-Baqarah: 178).<br />
<br />
(c).Seseorang yang murtad (pindah agama) dari Islam darahnya adalah halal. Tetapi seorang ibadurrahman mendukung pendapat yang mengatakan, “Hukuman mati tidak dijatuhkan kepada orang yang murtad karena membela dirinya, dan tidak terang-terangan dalam kemurtadannya itu. Dan, hisabnya terserah kepada Allah swt.” <br />
Seorang ibadurrahman lebih memilih pendekatan memanusiakan manusia di dalam mengaktualisasikan tradisi hukum Islam, yakni memberikan nasehat supaya cepat-cepat taubat dan segera kembali jalan dinul Islam yang diridlai; atau mengajaknya dialog guna menemukan latar belakang masalahnya; atau melakukan pendekatan-pendekatan tazkiyatun-nafs yang bersifat intuition quotient (In-Q) dan holistic quotient (HQ).<br />
<br />
Islam Menghormati Jiwa manusia<br />
Pembunuhan merupakan masalah yang besar dalam kehidupam seorang hamba Allah. Seorang manusia tidak diperkenankan untuk main hakim sendiri, dalam melakukan eksekusi, malainkan harus diserahkan kepada hakim melalui proses pengadilan, ada pembacaan dakwaan, dan ada pembelaan. Tetapi pada prinsipnya dinul Islam telah mengharamkan penumpahan darah, baik darah orang Islam maupun non-muslim yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin.<br />
Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup dan melangsungkan kehidupannya, hal itu tidak boleh diabaikan apalagi melakukan pelanggaran atasnya, dinul Islam mengutuk perbuatan tersebut. Meskipun terhadap anak-anak balita, bahkan janin yang dikandung, juga mendapat hak yang sama. Sebagaimana layaknya hak pada manusia dewasa. Maka, hukuman yang dijatuhkan karena tindak kejahatan terhadap anak kecil juga sama dengan hukuman yang dijatuhkan karena tindak kejahatan terhadap orang dewasa.<br />
Demikianlah cara dinul Islam menghormati jiwa seorang manusia. Bahkan, dinul Islam juga melarang seseorang untuk membunuh dirinya sendiri (bunuh diri, red). <br />
<br />
“Dan, janganlah kalian membunuh diri kalian. Sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepada kalian” (Qs.an-Nisâ`: 29). <br />
<br />
Telah disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
“Barangsiapa yang terjun dari sebuah gunung hingga membunuh dirinya, maka dia berada di dalam neraka Jahannam; yang juga terjun di dalamnya, kekal dan dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Barangsiapa menelan racun hingga membunuh dirinya, maka racunnya itu berada di tangannya dan dia menelannya di neraka Jahannam, kekal dan dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Barangsiapa bunuh diri dengan sepotong besi, maka sepotong besi itu ada di tangannya seraya memukuli dirinya dengan besi itu di dalam neraka Jahannam, kekal dan dikekalkan di dalamnya selama-lamanya” (Hr.Bukhari dan Muslim).<br />
<br />
Beliau saw juga bersabda, <br />
<br />
“Orang yang mencekik dirinya sendiri hingga mati, maka dia juga akan mencekik dirinya di neraka. Barangsiapa yang membunuh dirinya, maka dia juga akan membunuh dirinya di neraka. Barangsiapa yang menceburkan dirinya hingga mati, maka dia juga akan menceburkan dirinya di neraka” (Hr.Bukhari).<br />
<br />
Inilah ketetapan dinul Islam yang harus diimani dan ditaati oleh kaum mukminin. Karena itu janganlah sekali-kali kita melakukan pembunuhan, dan jangan pula ikut membantu dalam proses pembunuhan, meski hanya berupa penggalan kata-kata yang dapat memprovokasi lahirnya pembunuhan.<br />
Kiranya tepatlah kita panjatkan doa nubuwah, yang pernah dipakai Nabi saw di saat Perang Uhud. <br />
<br />
“Ya Allah, segala puji bagi Mu. Ya Allah, tidak ada yang dapat memungut apa yang Engkau hamparkan, tidak ada yang dapat menghamparkan apa yang Engkau pungut. Tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepada orang yang Engkau sesatkan, dan tidak ada yang dapat memberi kesesatan kepada orang yang Engkau beri petunjuk. Tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau berikan. Tidak ada yang dapat mendekatkan apa yang Engkau dekatkan. <br />
Ya Allah, hamparkanlah kepada kami dari barakah Mu, rahmat Mu, karunia Mu, dan rizeki Mu.<br />
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kenikmatan yang kekal kepada Mu, yang tidak berubah dan habis. <br />
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pertolongan kepada Mu di saat lemah, dan keamanan pada saat ketakutan.<br />
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari kejahatan yang Engkau berikan kepada kami dan kejahatan yang Engkau tahan dari kami.<br />
Ya Allah, buatlah kami mencintai iman dan buatlah iman itu bagus di dalam hati kami. Buatlah kami membenci kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan. Jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mengikuti jalan kebenaran.<br />
Ya Allah, matikanlah kami dalam keadaan muslim dan hidupkanlah kami dalam keadaan muslim. Himpunlah kami bersama orang-orang shalih tanpa ada kehinaan dan bukan dalam keadaan mendapat cobaan. <br />
Ya Allah, musuhilah orang-orang kafir yang mendustakan para rasul Mu dan menghalangi manusia dari jalan Mu. Berikanlah siksaan dan adzab Mu terhadap mereka.<br />
Ya Allah, musuhilah orang-orang kafir yang telah diberi al-Kitab. Engkau adalah sesembahan yang benar” (Hr.Bukhari dan Ahmad).<br />
<br />
Rasulullah saw telah memberikan peringatan agar umat Islam tidak lagi menghidupkan tradisi jahiliah, yakni saling bermusuhan dan saling membunuh. Maka, secara khusus beliau saw berkhutbah kepada 114.000 ribu kaum muslimin pada haji wadâ`-nya, <br />
<br />
“Janganlah kalian kembali menjadi kafir sesudahku, sehingga sebagian di antara kalian memenggal leher sebagian yang lain.” []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Sifat Ibadurrahman (8):<br />
<br />
<br />
Menjauhi Zina<br />
<br />
Dinul Islam tidak sekadar menjaga ad-dîn dan akidah serta menjauhkan para hamba Allah ta’ala dari perilaku syirik. Tetapi Islam sebagai sebuah risalah yang paripurna juga memberikan aturan main (nidham) yang utuh buat umat manusia, agar mereka hidup dengan tentram dan sejahtera. Salah satunya adalah, dinul Islam menjaga kehormatan jiwa dan menjaga keturunannya supaya tetap mulia, sebagai seorang manusia bukan sebagai binatang. Yang mana hal itu dibuktikannya dengan diharamkannya zina beserta segala yang memfasilitasinya. Allah berfirman, <br />
<br />
“Para ibadurrahman itu: …Tidak berzina… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 68; 75-77). <br />
<br />
<br />
Menurut Allah azza wa jalla hamba yang terpilih yang disebut ibadurrahman, dia tidak melakukan dosa besar, yakni berbuat zina. Dikarenakan Allah jalla jalâluh telah mengharamkannya, yang hal itu telah dinyatakan langsung di dalam Kitab Suci-Nya. <br />
<br />
“Dan, janganlah kalian mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan yang keji dan suatu jalan yang teramat keji” (Qs.al-Isrâ`: 32). <br />
<br />
Berdasarkan pada naqliah Allah swt inilah, dinul Islam mengharamkan seluruh aktifitas yang dapat menimbulkan rangsangan birahi seksual seorang manusia, baik langsung maupun yang tidak langsung. Apakah itu melalui gambar, nyanyian, gerak tubuh, tanda, pandangan mata, berduaan dengan lain jenis bukan mahramnya (khalwat), bersolek, berhias, dan segenap perilaku yang menimbulkan dan mengarahkan kepada perbuatan cabul (mesum). <br />
Sebaliknya, dinul Islam berkehendak agar lingkungan kehidupan keseharian seorang hamba Allah itu benar-benar steril dari kesemuanya tersebut di atas. Tujuannya tidak lain supaya hidup dan kehidupan umat manusia atau masyarakat itu aman, tentram, sejahtera, dan terhormat nilai kemanusiaannya (muru`ah). <br />
Dalam pandangan Islam perilaku perzinahan dan perbuatan zina, adalah suatu gambaran mengenai kerusakan kehidupan akhlak. Di mana hal ini mempunyai korelasi positif dengan perbuatan riba dan perilaku membungakan uang, yaitu si kaya menghisap si miskin; sehingga pelaksanaan riba merupakan gambaran rusaknya kehidupan perekonomian di kalangan umat manusia. Oleh karena Nabi saw memperingatkan kaum mukminin dengan sabdanya, <br />
<br />
“Jika muncul zina dan riba di suatu negeri, berarti mereka telah menghalalkan siksa Allah bagi diri mereka” (Hr.Hakim).<br />
<br />
Banyak orang pinter atau pakar berdalih, bahwa lokalisasi merupakan alternatif yang terbaik untuk mengatasi masalah perzinahan. Ternyata apa hasilnya, justru menimbulkan masalah baru yang jauh lebih pelik. Dalam hal ekonomi, para pakar dan kaum cerdik pandai berpendapat hanya dengan sistem bunga, kehidupan umat manusia akan mengalami progresivitas. Ternyata hasilnya umat manusia mengalami kebingungan menentukan paradigma kemanfaatan, guna meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.<br />
Oleh karenanya alfaqir menasehati, “Sangat berbahaya orang pandai yang tolol. Itulah bedanya antara orang yang bodoh lagi tolol, dengan yang pandai tetapi tolol. Suatu keberuntungan orang yang tolol dengan ketololannya. Itulah bedanya antara orang yang alim lagi pandai, dengan orang yang pandai tetapi tidak alim. Celakanya, kelompok pertama jumlahnya jauh lebih banyak. Untuk itu peganglah ayat Allah, <br />
<br />
‘…Dan, (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin’.” (Qs.al-Mâ`idah: 50). <br />
<br />
Zina Memuculkan Kerusakan<br />
Dinul Islam datang di alam dunia, semata merupakan kehendak Allah swt, supaya kehidupan masyarakat manusia bersih dari perilaku keji lagi mesum, yang konon memang merupakan kesukaan dari mereka kaum penghamba syahwat dan perempuan; atau perempuan penghamba kejantanan seorang lelaki. Yang mana telah Allah gambarkan dalam kehidupan keluarga Nabi Adam as, yakni perseteruan yang sengit antara Qabil dan Habil dikarenakan masalah ber-syahwat dengan perempuan.<br />
Oleh sebab umat manusia sekarang ini, yang notabene-nya merupakan generasi Nabi Adam as (mim bani Adam), secara substansial terbagi ke dalam dua kelompok, antara keturunan Qabil ataukah keturunannya Habil. <br />
Dinul Islam mengharamkan perilaku zina dan segenap praktek perzinahan, seperti: hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang lelaki di luar nikah, perilaku homoseksual yang dilakukan antara seorang lelaki dengan lelaki, dan perilaku lesbian yang dilakukan antara seorang perempuan dengan perempuan; tidak lain karena praktek mesum tersebut sangat tidak manusiawi lagi keji, yang hanya pantas dilakukan oleh seekor hewan. Oleh karena tradisi hukum Islam dan tradisi yurisprodensi Islam menjatuhkan hukuman yang sangat berat bagi para pelaku praktek mesum tersebut. <br />
Sayang di negeri yang konon jumlah penduduk muslimnya sangat banyak ini, mereka belum bisa berbuat banyak meng-kultural-kan kedua tradisi formalitas administratif syar’i tersebut, yang insya Allah akan membawa kepada kehidupan umat manusia yang beradab, bermartabat, dan disegani.<br />
Padahal dalilnya sudah jelas, baik di dalam al-qur`an maupun hadis Nabi saw, <br />
<br />
“Dan, orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap para isteri mereka, atau budak yang mereka miliki. Maka, sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela” (Qs.al-Mukminun: 5-6).<br />
<br />
“Barangsiapa yang menjamin bagiku (Nabi saw) apa yang ada di antara kedua janggutnya (lisan dan mulut). Dan, apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan), maka aku (Nabi saw) menjamin surga baginya” (Hr.Bukhari).<br />
<br />
Bahkan Nabi saw berwasiat kepada kaum perempuan, <br />
<br />
“Jika seorang perempuan shalat lima waktunya, puasa pada bulan Ramadlannya, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya; maka dikatakan kepadanya, ‘Masuklah surga dari pintu surga mana pun yang kamu kehendaki’.” (Hr.Ahmad dan Thabrani).<br />
<br />
Secara khusus Nabi saw juga mewanti-wanti umatnya agar tidak melakukan praktek zina, utamanya dengan isteri tetangga. Seperti diriwayatkan sahabat Ibnu Mas’ud ra di dalam Kitab Shahihain, dia berkata, <br />
<br />
“Aku bertanya kepada Rasulullah saw, ‘Apakah dosa yang paling besar di sisi Allah?’” <br />
Beliau menjawab, “Jika kamu membuat tandingan bagi Allah, padahal Dia-lah yang menciptakanmu.”<br />
Aku berkata, “Sungguh yang demikian itu sangat besar. Lalu apa lagi?” <br />
Beliau menjawab, “Jika kamu membunuh anakmu karena takut dia makan bersamamu.”<br />
Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” <br />
Beliau menjawab, “Lalu, jika kamu menzinahi isteri tetanggamu.”<br />
Kemudian turunlah ayat, “Dan, orang-orang yang tidak menyembah sesembahan yang lain bersama Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia (mendapat) dosanya” (Qs.al-Furqân: 68).<br />
<br />
Seorang ibadurrahman berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi dan menghindar dari perilaku zina dan praktek perzinahan. Sadar karena perbuatan mesum tersebut akan membawa kehancuran pada keluarganya, masyarakatnya, umat manusia, dan murka Allah swt. Hanya dengan dasar iman lagi islam, seorang ibadurrahman melakukan penghindaran tersebut. Meski kenyataannya dari perbuatan yang keji itu Allah telah menggelar ayatnya, yang berupa penyakit sipilis, gonore, cengger ayam, AIDS, cacat mata pada anaknya, azab Allah, dan siksa-siksa Allah yang lainnya; di mana hal itu juga berdampak pada kehidupan masyarakatnya yang rentan dengan kemrosotan akhlak (dekadensi moral). Nabi saw bersabda, <br />
<br />
“Wahai orang-orang Muhajirin, lima perkara jika kalian diuji dengannya dan aku berlindung kepada Allah agar kalian (tidak menemuinya), yaitu sekali-kali kekejian (perzinahan) tidak muncul di suatu kaum hingga mereka memperlihatkannya, melainkan wabah penyakit thaa`uun dan aujaa’ akan berjangkit di tengah mereka, yang tidak pernah ada di antara orang-orang sebelum mereka yang telah lampau…” (Hr.Ibnu Majah dan Hakim).<br />
<br />
Dengan jelas Nabi saw juga telah menyabdakannya, <br />
<br />
“Umatku senantiasa dalam kebaikan selagi anak hasil zina tidak menyebar di tengah mereka. Jika anak hasil zina menyebar di tengah mereka lalu mereka ragu-ragu, maka Allah melingkupi mereka dengan siksa” (Hr.Ahmad).<br />
<br />
Jika disuatu masyarakat anak hasil hubungan perzinahan sudah menyebar di tengah kehidupan mereka. Maka, sudah barang tantu garis nasab mereka telah campur aduk dan terputus. Belum lagi pengkhianatan antara suami terhadap isteri, atau isteri terhadap suami sudah merupakan mode dan trend masyarakat, yang katanya telah modern ini. Dapatlah dipastikan bahwa masyarakat itu akan mengalami kerusakan, lambat atau cepat, yang tampak atau yang tersembunyi. <br />
Diharamkannya praktek perzinahan oleh syariat Islam, semata Allah swt hendak melindungi, menjaga, dan mengangkat derajat kehormatan keluarga, individu, dan seluruh masyarakat Islam; supaya mereka tetap suci, bersih, dan tidak ternoda akibat gejolak syahwatnya telah melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ‘âbid yang khalifah. Di sinilah seorang ibadurrahman benar-benar meninggalkan perbuatan zina semata karena iman dan takwa kepada Allah swt.<br />
<br />
Therapi<br />
Sedangkan dinul Islam telah memberikan jalan keluar yang sangat bijaksana perihal mengatasi gejolak syahwat birahi, antara lelaki dengan lawan jenisnya atau sebaliknya perempuan dengan lawan jenisnya. Telah difirmankan Allah swt, <br />
<br />
“Katakanlah kepada lelaki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka perbuat’. Katakanlah kepada perempuan yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan, hendaklah menutupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasanya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-suadara lelaki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau kaum perempuan muslimah, atau para budak yang mereka miliki, atau para pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti aurat perempuan. Dan, janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan” (Qs.an-Nûr: 30-31).<br />
<br />
Sedangkan Nabi saw bersabda, <br />
<br />
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian mampu menikah, maka hendaklah dia menikah. Karena yang demikian itu lebih dapat menahan pandangan mata dan lebih dapat menjaga kemaluan” (Hr.Bukhari dan Muslim).<br />
<br />
Dan, Allah swt juga telah menganjurkan, <br />
<br />
“Dan, nikahkanlah kaum bujangan di antara kalian, dan orang-orang yang layak (nikah) dari para hamba sahaya kalian yang lelaki dan para hamba sahaya kalian yang perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya…” (Qs.an-Nûr: 32).<br />
<br />
“Dan, orang-orang yang tidak mampu nikah hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya…” (Qs.an-Nûr: 33). <br />
<br />
Pelajaran Yang Diambil<br />
Dari aksiomatik Islam tentang perzinahan itulah, maka seorang ibadurrahman selalu merenungkan nasehat dari Syekh Ibnu Atha`illah al-Iskandari ra yang mengatakan, “Tiada dikhawatirkan untukmu jalan yang membingungkan, akan tetapi yang dikhawatirkan adalah kemenangan hawa nafsu atas akal dan keimananmu.” <br />
Seorang ibadurrahman selalu ingat, bahwa syahwat birahi merupakan kehendak setan dan bersifat instingtif, guna menipu hamba Allah supaya lalai dari mengingat-Nya. Setan dapat menyamarkan sifatnya dan mempermainkan para hamba Allah dengan panggilan syahwat birahinya. Sehingga setan mampu memasuki dinding kalbunya, lalu melepaskan iman dari kalbu tersebut hingga lebur pada penyerupaan diri ke dalam sifat-sifat hamba. Setelah kalbu dan hasrat hamba dikuasainya, maka setan dengan segara akan menghancurkannya. Maka, berubahlah sifat kemanusiaannya menjadi sebuah perangai setan, bahkan kadangkala hewan.<br />
Seorang ibadurrahman sadar, bahwa setan dengan segala bujuk rayunya akan mampu menembus kalbunya, manakala kalbu hamba itu telah rusak. Hal itu disebabkan karena mereka lalai dengan Allah swt, sisi lain mereka senantiasa mengikuti pengaruh duniawi dan hiruk-pikuknya para manusia pengabdi dunia di dalam mengarungi hidupnya. Renungkan firman Allah, <br />
<br />
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. Tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui” (Qs.an-Nûr: 21). []<br />
<br />
<br />
Sifat Ibadurrahman (9):<br />
<br />
<br />
Taubat Nasuha<br />
<br />
Dinul Islam mengajarkan bahwa taubatan nasuha merupakan ibadah batin yang harus dilakukan seorang mukmin, guna menyempurnakan pelaksanaan ibadah dlahirnya. Seorang ibadurrahman dalam keberagamaannya benar-benar memperhatikan ajaran tersebut, sehingga dengan susah-payah selalu ditunaikannya. Sadar bila di dalam kehidupannya sangat rentan dengan perilaku dosa dan maksiat kepada Allah swt. <br />
Karena seorang hamba, selain Rasulullah saw, di hadapan Allah hanyalah berkedudukan menjaga diri dari berlaku dosa dan maksiat kepada-Nya, bila terpeleset atau terjerumus maka harus cepat melakukan taubat kepada Allah swt (maqâmul-mahfudz). Disebabkan seorang ibadurrahman selalu merenungi sabda Nabi saw, <br />
<br />
“Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak berdosa. Dan, jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak melekat pada dirinya” (Hr.Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Hakim; dari Ibnu Mas’ud ra).<br />
<br />
Allah telah menyifati hamba-Nya yang berperilaku seperti di atas dengan firman-Nya, <br />
<br />
“Para ibadurrahman itu (adalah): …Orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Dan, adalah Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang; dan, orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shalih, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 70-71; 75-77).<br />
<br />
Taubatan nasuha adalah sikap pribadi seorang ibadurrahman yang teguh untuk kembali kepada jalan Allah, karena sadar atas segala perbuatan yang telah dikerjakannya keliru disebabkan nyata-nyata telah melanggar syariat Islam; sehingga melahirkan perilaku yang istiqamah dan mudawwamah dalam bertaubat karena terhindar dari perilaku kepura-puraan, kepalsuan, dan dusta. <br />
Seorang ibadurrahman berusaha sekuat tenaga untuk tetap meng-istiqamah-i dan men-dawam-kan perilaku taubatan nasuha. Dikarenakan Allah azza wa jalla telah membuka pintu taubatnya secara lebar-lebar, sampai datangnya Hari Kiamat. Seperti telah disabdakan Nabi saw, <br />
“Sesungguhnya Allah membentangkan Tangan-Nya pada malam hari untuk mengampuni orang yang berbuat keburukan pada siang hari. Dan, membentangkan Tangan-Nya pada siang hari untuk mengampuni orang yang berbuat keburukan pada malam hari, hingga saat matahari terbit dari arah tenggelamnya (Hari Kiamat)” (Hr.Muslim dan Nasâ`i).<br />
<br />
Rukun & Syarat Taubat<br />
Demi terwujudnya taubat nasuha dalam kehidupan seorang mukmin, maka seorang yang bertaubat (tâ`ib) haruslah memenuhi beberapa rukun dan syarat, guna keberhasilan taubatnya, di antaranya:<br />
1. Niat yang disertai dengan hasrat yang kuat.<br />
Taubat menjadi tidak ada manfaatnya, bila tidak disertai dengan niat yang penuh hasrat. <br />
Kesungguhannya dalam bertaubat haruslah dibarengi dengan hasrat yang kuat, sehingga posisi ruhani tidak berada di antara dosa dan kemaksiatan. Perilaku yang demikian tidak dapat dikatakan taubat, sebaliknya itulah yang disebut dengan kedurhakaan yang sesungguhnya.<br />
Niat yang disertai dengan hasrat yang benar dalam bertaubat, itulah yang disebut dengan sebenar-benarnya taubat. Karena di dalam hatinya seorang taa`ib telah terjadi pengingkaran atas perbuatan yang menimbulkan perbuatan itu ditaubatinya. <br />
Inilah sikap yang sulit di dalam melakukan proses taubat, sehingga tidak jarang seorang hamba berkehendak melakukan taubat justru malah jatuh ke dalam kedurhakaan. Proses pembimbingan dalam hal ini sangatlah penting untuk dilakukan, sehingga taubatnya memenuhi harapan dan tepat sasaran.<br />
Dengan kuatnya hasrat bertaubat, maka seorang taa`ib telah berketatapan hati untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan maksiatnya. Sebaliknya, secara sadar si taa`ib memaksimalkan proses pengabdiannya dengan mengejawantahkan keislaman dan keimanannya dalam kehidupan keseharian keberagamaannya.<br />
2. Menyesal.<br />
Penyesalan adalah rukun taubat yang paling utama, artinya taubat tanpa melakukan penyesalan sangat dipertanyakan sikap taubatnya. <br />
<br />
Sahabat Anas ra pernah ditanya mengenai hal itu, “Apakah Nabi saw pernah bersabda, ‘Penyesalan itu adalah taubat?” <br />
Beliau menjawab, “Ya” (Hr.Ahmad, Ibnu Hibbân, dan Hakim).<br />
<br />
Sebagaimana masalah haji, Nabi saw telah menyabdakan bahwa, “Haji itu adalah Arafah.” Artinya, pelaksanaan ibadah haji menjadi tidak sah manakala meninggalkan rukun utamanya, yaitu wukuf di Padang Arafah. <br />
Demikian halnya dengan taubat, maka taubatnya tidak akan diterima Allah azza wa jalla, bila seorang tâ`ib dalam taubatnya meninggalkan rukun utamanya, yakni menyesal.<br />
Menyesal adalah refleksi kalbu yang gundah, gelisah, khawatir, takut, dan sedih; manakala ingat akan segenap dosa dan maksiat yang pernah dilakukannya. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, perasaan serba salah selalu menghantui setiap kegiatan yang dilakukannya. Tipologi orang macam ini telah disebutkan di dalam hadis qudsi, <br />
<br />
“Sesungguhnya Aku, jin, dan manusia berada dalam kabar yang besar. Aku yang menciptakan, sementara selain Ku yang disembah. Aku yang memberi rizeki, sementara selain Ku yang disyukuri. Kebaikan Ku turun kepada hamba, dan kejahatan mereka naik kepada Ku. Aku suka melimpahkan nikmat Ku kepada mereka dan Aku tidak membutuhkan mereka, namun mereka marah kepada Ku dengan mengerjakan berbagai macam kedurhakaan; padahal mereka sangat membutuhkan Aku” (Hr.Hakim dan Tirmidzi).<br />
<br />
Penyesalan seorang tâ`ib, sebagai wujud penghadiran atas segala nikmat dan karunia-Nya, yang secara bersamaan juga menghadirkan pengakuan atas segenap dosa dan kemaksiatan yang telah dilakukannya. Sehingga beban kalbunya mencair dan pikirannya menjadi jernih, serta air matanya mencuci noda dan dosa yang telah mengotorinya. Dengan demikian taubatnya dapat dilakukannya secara istiqamah dan mudawwamah. Seperti telah digambarkan Allah pada kasusnya Ka’ab bin Malik ra, Hilal bin Umayyah ra, dan Mararah bin Rabi’ ra, mereka disalahkan karena tidak mau ikut berperang, <br />
<br />
“Dan, terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas. Dan, jiwa pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah; melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang” (Qs.at-Taubah: 118).<br />
<br />
3. Meninggalkan perbuatan dosanya.<br />
Secara esensial taubat adalah wujud jiwa yang bergejolak karena berhasrat menuju pada bangunan jiwa yang shalih. Sehingga jiwa itu telah mengalami peralihan dari kedurhakaan kepada ketaatan, dari keburukan ke arah kebaikan, peralihan dari jalan setan kepada jalan Allah jalla jalaaluh, dan perpindahan secara revolusioner dari kondisi serba gelap menjadi kondisi serba cahaya, yakni cahaya Allah azza wa jalla, cahaya Muhammad saw, dan cahaya kalbu.<br />
Taubat juga berarti merubah jalan kehidupannya, dari mengingkari-Nya menjadi mengimani-Nya, meninggalkan para teman yang menjadikan dirinya bertaubat, dan meninggalkan tempat guna hijrah kepada tempat yang memberikan penghidupan akan keislaman dan keimanannya.<br />
<br />
Buah-Buah Taubat<br />
Taubat adalah sebuah ibadah batin yang menjadi tuntutan bagi segenap kaum muslimin, utamanya bagi seorang ibadurrhaman, <br />
<br />
“Dan, bertaubatlah kalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung” (Qs.an-Nûr: 31).<br />
<br />
“Dan, sesungguhnya Aku Mahapengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, lalu tetap di jalan yang benar” (Qs.Thâhâ: 82).<br />
<br />
Taubat yang benar akan memiliki buah yang bermanfaat, karena seorang taa`ib, seperti telah difirmankan-Nya, <br />
<br />
“…melainkan, orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal shalih. Maka, kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Dan, adalah Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang” (Qs.al-Furqân: 70).<br />
<br />
Buah taubat yang pertama: maka, kehidupan seorang ibadurrahman telah mengalami perubahan seratus delapan puluh derajat. Di mana segala keburukan, kemaksiatan, kedurhakaan, dan dosa telah dia tinggalkan. Lalu dia menggantinya dengan segenap kebaikan, ketaatan, ketauhidan, keislaman, dan keimanan. Syahwatnya benar-benar telah dapat dikendalikannya dengan kekuatan tarbiyah dan ta’lim rabbaniyahnya.<br />
Sedangkan buah taubat yang kedua: perilakunya seorang ibadurrahman semakin teguh dengan keistiqamahan dan kemudawamahan. Sehingga dalam melakukan pendekatan diri kepada Allah tidak kenal menyerah dan putus asa, sedikit demi sedikit direngkuhnya kelezatan taubatan nasuha-nya, sambil terus melakukan permohonan ampun agar dapat pertolongan segera dari sisi-Nya. Digambarkan dalam hadis qudsi, <br />
<br />
“Jika dia mendekat kepada Ku satu jengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu hasta. Jika dia mendekat kepada Ku satu hasta, maka Aku mendekat kepadanya satu ba’a. Jika dia mendatangi Ku dengan berjalan kaki, maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat” (Hr.Bukhari dan Muslim).<br />
<br />
Dalam hadis qudsi yang lain disebutkan, <br />
<br />
“Allah berfirman, ‘Wahai anak Adam, selagi kamu berdoa dan berharap kepada Ku, niscaya Aku akan mengampuni bagimu atas apa pun yang ada padamu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, sekiranya dosa-dosamu mencapai lengkung langit, lalu kamu memohon ampunan kepada Ku, niscaya Aku mengampuni-mu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika kamu mendatangi Ku dengan membawa sekantong tanah yang berupa kesalahan-kesalahan, lalu kamu bersua dengan Ku tanpa menyekutukan sesuatu pun dengan Ku, tentu Aku akan mendatangimu dengan sekantong ampunan’.” (Hr.Tirmidzi).<br />
<br />
Beberapa Nasehat<br />
1. Guru kita Rabi’ah al-Adawiyyah ra pernah ditanya seseorang mengenai taubat, “Apakah jika aku bertaubat, maka Allah akan menerima taubatku?” <br />
Rabi’ah menjawab dengan berang, “Dasar orang bodoh. Yang benar, karena Allah menerima taubat-mu, maka bertaubatlah kamu.” <br />
Lalu Rabi’ah membaca ayat, <br />
<br />
“Tsumma tâba ‘alai-him liyatûbuu, inna-llâha huwat-tawwâbur rahîm”; kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang” (Qs.at-Taubah: 118). <br />
<br />
2. Imam Ahmad ra dan Abu Ya’la ra men-takhrij hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ghazali dalam Kitab Ihya`-nya, bahwa ketika Allah mengutuk iblis, maka iblis meminta penangguhan kepada-Nya. <br />
Maka, Allah memberinya penangguhan sampai Hari Kiamat. Iblis berkata, “Demi kemulian Mu, aku benar-benar akan mengeluarkan dari kalbu Bani Adam selagi ruh masih ada padanya.” <br />
Allah berfirman, “Demi kemuliaan dan keagungan Ku, Aku benar-benar akan menerima taubat darinya selagi ruh masih ada padanya.” <br />
3. Guru kita Syekh Abu Ali ad-Daqqaq ra menasehatkan, “Salah seorang murid bertaubat, lalu menerima cobaan. Dia bertanya dalam hati, ‘Jika aku bertaubat, bagaimana hukuman atas diriku nanti?’” <br />
Maka, terdengarlah bisikan dalam jiwanya, “Wahai fulan, kamu taat kepada Kami. Lalu Kami terima syukurmu. Kemudian kamu tinggalkan Kami, maka Kami biarkan saja dirimu. Bila kamu kembali kepada Kami, pasti Kami terima.” <br />
Akhirnya si shantri tersebut memilih jalan taubat dan kembali kepada himmah-nya semula.” <br />
Wahai saudaraku, renungkan sabda Nabi saw, <br />
<br />
“Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selagi nyawanya belum sampai ke tenggorokan” (Hr.Tirmidzi).<br />
<br />
Sebab itu seorang ibadurrahman selalu memegang wasiat Nabi saw, <br />
<br />
“Jauhilah dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu dapat berhimpun pada diri seseorang hingga membinasakannya” (Hr.Ahmad). []<br />
<br />
<br />
Sifat Ibadurrahman (10):<br />
<br />
<br />
Tidak Bersumpah Palsu<br />
<br />
“Dan, para ibadurrahaman itu (adalah): …Orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 72; 75-77). <br />
<br />
“Orang-orang yang tidak memberi kesaksian palsu” (al-ladzîna lâ yasyhadûnaz-zûra). <br />
Maksudnya adalah mereka orang-orang yang memberikan persaksian palsu, berbohong, dan melakukan rekayasa atas sebuah kesalahan hingga seolah tampak benar. <br />
Seorang ibadurrahman tidak mau terjerumus pada dosa besar ini. Disebabkan Nabi saw menyetarakan kesaksian palsu itu dengan syirik kepada-Nya. <br />
<br />
“Kesaksian palsu disetarakan dengan syirik kepada Allah” (Hr.Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).<br />
Bahkan Nabi saw juga mengajarkan supaya membela saudara mukminnya yang lagi diumpat, <br />
<br />
“Apabila seorang lelaki dijatuhkan, dan kamu termasuk di antara sekumpulan orang (yang menjatuhkannya), jadilah kamu penolong lelaki itu. Dan, cegahlah mereka (yakni kaum yang menjatuhkannya). Lalu tinggalkan mereka” (Hr.Ibnu Abud Dunya, dari Anas ra).<br />
<br />
Seorang ibadurrahman adalah hamba Allah yang senantiasa memberikan kesaksian yang benar. Sekali pun akibat dari kesaksiannya itu akan memberatkan dirinya, anak-anaknya, keluarganya, atau kerabatnya. Hubungan yang jauh dan permusuhan dengan musuh tidak menghalanginya untuk tetap memberikan kesaksian dengan sebenar-benarnya. Dikarenakan dia memegang firman-Nya, <br />
<br />
“Dan, janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (Qs.al-Mâ`idah: 8).<br />
<br />
“Dan, apabila kalian berkata, maka hendaklah kalian berlaku adil kendati pun dia adalah kerabatmu” (Qs.al-An’am: 152).<br />
<br />
Tidak Berdusta<br />
Manakala seorang ibadurrahman dimintai suatu persaksian, maka dia tidak akan berdusta, akan disampaikannya yang benar adalah benar, yang hak tetaplah hak. Dihindari jauh-jauh perilaku khianat, berbohong, dan menipu. <br />
Seorang ibadurrahman selalu berkata atas dasar kecakapan ilmu pengetahuan yang diamalkan dan yang telah diyakininya; dia tidak pernah menyalahinya, apalagi untuk menambah atau menguranginya. Kalau ya dikatakannya ya, bila tidak dia pun akan mengatakannya tidak. Karena dia sangat memahami firman Allah swt, <br />
<br />
“Janganlah para saksi itu enggan (memberi keterangan), jika mereka dipanggil” (Qs.al-Baqarah: 282).<br />
<br />
Adakalanya sebagian hamba Allah itu yang tidak ingin melakukan perilaku berdusta. Tetapi dia lebih memilih untuk menyembunyikan kesaksiannya yang nyata-nyata benar sebagai fakta. <br />
Bagi seorang ibadurrahman perilaku ini pun akan ditinggalkannya, karena dia lebih memilih mengamalkan pesan-Nya, <br />
<br />
“Dan, janganlah kalian menyembunyikan kesaksian. Dan, barangsiapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya dia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan, Allah Mahamengetahui apa yang kalian kerjakan” (Qs.al-Baqarah: 283).<br />
<br />
Dari tindakan menyembunyikan persaksian, maka akan berakibat, di antaranya dapat menghilangkan hak, atau boleh jadi malah membantu tindak kejahatan, tindak kemaksiatan, dan tindak kebatilan. Bahkan yang sangat berbahaya, bisa jadi kehidupan syariat dinul Islam mengalami kemandegan, atau mungkin dunia akan mengalami keterbengkelaian. Oleh karena dinul Islam menetapkannya sebagai dosa besar, perilaku menyembunyikan persaksian. <br />
<br />
“Dan, siapakah yang lebih dlalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian dari Allah yang ada padanya? Dan, sekali-kali Allah tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan” (Qs.al-Baqarah: 140).<br />
<br />
Guru kita Syekh Yusuf Qardhawi mengomentarinya, “Berapa banyak hak yang disia-siakan? Berapa banyak hal-hal haram yang dilanggar? Berapa banyak kehormatan diri yang dinodai? Berapa banyak kaum yang tertindas? Semua ini terjadi karena kesaksian yang benar disembunyikan. Begitu banyak orang yang membelenggu lidahnya, tidak mau mengatakan yang benar. Padahal kebenaran itu dituntut dari mereka. Tapi nyatanya mereka tidak mengatakan kebenaran itu dengan lidah dan penannya, justru ketika mereka diharapkan untuk memberikan kesaksian yang sebenarnya. Karena kesaksian yang benar inilah kalimat Allah menjadi tinggi di dunia. Orang-orang yang memberikan kesaksian yang benar adalah mereka yang berdiri tegak dengan kesaksiannya, tidak peduli apa yang akan menimpanya, tidak takut terhadap celaan orang yang biasa mencela, tidak takut terhadap apa yang ditakuti manusia; karena biasanya manusia takut hartanya akan berkurang, rizekinya akan terampas, umurnya akan terkurangi, jika mereka memberikan kesaksian yang benar. Padahal umur dan rizeki sudah ditetapkan Allah bagi setiap orang, yang tidak akan terkurangi sedikit pun dan ajal juga tidak bisa ditunda sedetik pun atau dimajukan.”<br />
<br />
Ingat Pesan Nabi saw<br />
Imam Bukhari ra dan Imam Muslim ra meriwayatkan sebuah hadis dari sahabat Abu Bakar ra, bahwa Nabi saw pernah bersabda, <br />
<br />
“Bagaimana jika aku beritahukan kepada kalian tentang dosa-dosa besar yang paling besar?” (Nabi saw mengulanginya sampai tiga kali).<br />
Kami menjawab, “Baiklah, wahai Rasulullah.”<br />
Beliau bersabda, “Syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.”<br />
Saat itu beliau dalam keadaan bersandar. Lalu beliau duduk. Mengingat pentingnya masalah yang disampaikan, seraya bersabda lagi, “Ketahuilah! Dan, perkataan palsu dan kesaksian palsu.”<br />
Beliau terus-menerus mengatakannya, hingga kami berkata, “Semoga beliau diam.” Kami berkata seperti itu karena merasa kasihan kepada beliau. <br />
<br />
Memang beliau biasa mengulang perkataan hingga tiga kali, jika sabda beliau dianggap sangat penting, untuk mengingatkan akal dan hati. Jika di sana ada orang sibuk dengan urusannya sendiri dan tidak mendengar penyampaian yang pertama, maka beliau mengulangnya hingga orang itu mendengar dan memikirkannya, sehingga benar-benar tertanam di dalam hati.<br />
“Perkataan palsu dan kesaksian palsu,” dapat juga berarti: perilaku syirik, perilaku dusta, perbuatan yang tidak ada manfaatnya, tindakan batil, tindakan durhaka, atau aksi tipu-tipu. Oleh karena dinul Islam melarang seorang muslim secara syara’ untuk tidak menghadiri kesaksian palsu, tidak duduk dalam suatu pertemuan yang direkayasa dengan persaksian palsu, dan tidak diperbolehkan pergi ke tempat yang penuh dengan kesaksian palsu.<br />
Apa pun maknanya, dan berbagai macam ragamnya, “perkataan palsu dan kesaksian palsu.” Maka, seorang ibadurrahman tidak akan pernah hadir dalam majelis mereka, dan tidak akan pernah mau kompromi dengan mereka dalam rangka menjastifikasi kesaksian palsu mereka sebagai tindakan yang legal. <br />
Karena seorang ibadurrahman telah mengamalkan firman Allah swt, <br />
<br />
“Apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya” (Qs.al-Furqân: 72).<br />
<br />
Di sinilah seorang ibadurrahman memiliki prinsip keberagamaan yang tegas dalam kehidupan kesehariannya, “Barangsiapa yang mendatangi tempat-tempat kebatilan dan kekejian, maka dia akan terimbas oleh dosa-dosa yang telah dilakukan di tempat-tempat tersebut.” <br />
Maka, secara filosofis dinul Islam menyatakan, “Jika dinul Islam telah mengharamkan sesuatu, maka dia juga mengharamkan apa pun yang menjurus kepada keharaman itu dan yang membantunya. ‘Dan, sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam al-qur`an, bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kalian duduk beserta mereka, hingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka (Qs.an-nisâ`: 140)’.”<br />
<br />
Pelajaran Yang Diambil<br />
Pernah terjadi di jaman Khalifah Umar bin Khaththab ra, ada beberapa orang yang dijatuhi hukuman karena telah meminum khamr. Tetapi ada satu orang yang tidak ikut minum khamr, melainkan dia hanya duduk-duduk saja bersama para temannya yang sedang asyik minum khamr. <br />
Khalifah Umar bin Khaththab ra berkata, “Dia sedang berpuasa dan duduk-duduk bersama orang-orang yang meminum khamr dan berada di majelis khamr. Mulai hukuman dari orang itu.”<br />
Khalifah Umar menetapkan hukuman yang demikian, didasarkan pada ayat-Nya yang berbunyi, <br />
<br />
“Dan, sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam al-qur`an, bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang kafir), maka janganlah kalian duduk beserta mereka, hingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka” (Qs.an-Nisâ`: 140).<br />
<br />
Karena memang tidak layak dan bukan pada tempatnya, bila seorang mukmin duduk atau berada pada majelis kemungkaran dan keburukan. Nabi saw telah bersabda, <br />
<br />
“Dan, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka janganlah dia duduk di meja makan yang di sana diedarkan khamr” (Hr.Nasâ`i & Hakim). <br />
<br />
Seorang ibadurrahman adalah seorang hamba Allah yang berpendirian teguh untuk tetap menjauh dari segala sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Karena dia sadar, bahwa dari perbuatan-perbuatan yang buruk dan dosa akan berdampak langsung pada lingkungannya. Di sinilah seorang ibadurrahman tidak berani mengambil resiko untuk terlibat dan ikut serta menanggung dosanya. <br />
Seorang ibadurrahman benar-benar menjaga kehormatan tauhidnya, ibadahnya, dan mahabbahnya; tanpa harus melakukan sikap kompromis terhadap kebatilan, kemungkaran, keburukan, dan kemaksiatan. Dia malu kepada diri dan Rabb-nya, manakala harus bergabung dengan majelis kemungkaran. Umurnya terlalu mahal, bila dibuang secara cuma-cuma dengan dalih kemoderenan tapi harus menggadaikan akidahnya. <br />
Seorang ibadurrahman sangat menghargai waktu, karena baginya waktu merupakan modal yang utama. Waktu begitu dihargainya, sehingga tidak ada yang terbuang begitu saja. Sebaliknya dengan secermat dan sedisiplin mungkin untuk menggunakan waktunya dengan perbuatan-perbuatan yang bernilai guna, seperti: bekerja keras mencari rizeki yang halal, dengan tekun mempelajari ilmu pengetahuan keberagamaan keislaman, dan secara istiqamah melaksanakan dzikrullah. <br />
Seorang ibadurrahman yakin, bahwa dengan satu kata seorang hamba akan dapat membangun sebuah istana di dalam surga. Barangsiapa yang menyia-nyiakan waktunya, maka dia akan menjadi orang yang merugi. Satu kata yang baik dan benar akan memenuhi lembaran kebaikan kehidupannya. Sedangkan satu kata yang buruk lagi keji, akan menghitamkan lembaran-lembaran kehidupannya. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Sifat Ibadurrahman (11):<br />
<br />
<br />
Menyelami Ayat-Ayat Allah <br />
<br />
Dinul Islam memberikan sebuah pengantar kepada umat manusia, dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan keislamannya dengan cara melalui pemahaman ayat-ayat Allah swt, yang berupa ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat qauliyah; atau ayat-ayat yang tersirat dan ayat-ayat yang tersurat; atau ayat-ayat takwiniyah dan ayat-ayat tanziliyah. Kesemuanya itu merupakan dasar pemikiran seorang hamba Allah yang harus dijadikan hujjah dalam meniti kehidupannya, guna mengejawantahkan sikap diniah di dalam keberagamaan kesehariannya.<br />
Inilah tradisi kehidupan seorang ibadurrahman yang benar-benar menyelami keindahan, nasehat, petunjuk, dan kekuatan al-qur`an. Bahkan, tidak sekadar itu, baginya ayat-ayat Allah merupakan sumber referensi dan inspirasi yang kuat di dalam kehidupannya. Sebagaimana Allah swt telah mengapresiasinya dalam firman-Nya, <br />
<br />
“Dan, para ibadurrahman itu (adalah): …Orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta… Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 73; 75-77). <br />
<br />
Ayat Kauniyah & Ayat Qauliyah<br />
Dinul Islam mengajarkan bahwa ayat-ayat Allah swt, dilihat dari keberadaannya secara fungsional ada dua kelompok, yakni ayâtul-kauniyyah (tersirat secara takwin) dan ayâtul-qauliyyah (tersurat secara tanzil).<br />
1. Ayâtul-kauniyyah.<br />
Maksudnya, Allah swt telah menggelar secara takwiniah ayat-ayatnya di seluruh alam universum ini. Yang secara tersirat telah menunjukkan keberadaan dan kekuasaan-Nya, bahwa Allah swt benar-benar Mahaperkasa. <br />
Sebagaimana hal itu telah dibuktikan dengan keberadaan planet bumi di antara planet-planet yang lain, keberadaan matahari dan bulan, keberadaan bintang dan udara, keberadaan air dan api, dan keberadaan umat manusia dengan alam lingkungan biotik dan lingkungan abiotiknya.<br />
Bagi seorang ibadurrahman realitas tersebut di atas dijadikan hujah, bahwa Allah-lah Sang Penguasa kehidupan. Sehingga dikehidupannya mengambil jalan terbaik yang ditempuhnya, yakni dengan memperbanyak rasa syukur dan meningkatkan pengabdiannya. Yang kemudian diimplementasikannya dengan: sikap ketauhidan yang kuat, sikap ibadah yang kuat, sikap mahabah yang kuat, dan sikap berusaha yang kuat.<br />
Keempat sikap tersebut di atas sebagai hasil dari perilaku apresiasinya terhadap ayat Allah swt, <br />
<br />
“Dan, apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang diciptakan Allah?” (Qs.al-A’râf: 185).<br />
<br />
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat ayat-ayat bagi orang-orang yang menggunakan akal-(nya). (Dia itu adalah): orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dalam keadaan berbaring; dan mereka (selalu) memikirkan mengenai penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan (kesemuanya) ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (Qs.Ali Imran: 190-191).<br />
<br />
“Dan, pada diri kalian, maka apakah kalian tidak memperhatikan?” (Qs.adz-Dzariyat: 21).<br />
<br />
“Katakanlah!” “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman” (Qs.Yunus:101).<br />
<br />
2. Ayâtul-qauliyyah.<br />
Maksudnya, Allah azza wa jalla secara tanziliah telah menunjukkan kekuasaan-Nya, keperkasaan-Nya, dan kebesaran-Nya dengan tersurat, pada kitab-kitab dan shuhuf-shuhuf para rasul-Nya yang berupa wahyu Allah swt. <br />
Pada kitab-kitab dan shuhuf-shuhuf tersebut, Allah swt telah mengenalkan diri-Nya. Tidak hanya itu, cerita masa lalu, berita ghaib, karakter para hamba-Nya yang mukmin; munafik; dan musyrik, bagaimana strategi memahami kehidupan dunia yang fana, bagaimana seharusnya mempersiapkan segala sesuatu untuk masa depannya di akhirat, serta bagaimana umat manusia harus mengapresiasi di kehidupannya; baik terhadap sesama manusia, terhadap hewan, terhadap tumbuhan, terhadap lingkungan ekosistim, dan terhadap makhluk-makhluk Allah yang lainnya, seperti: malaikat dan jin sekalipun. Allah swt telah menguraikannya di dalam kitab suci-Nya tersebut dengan sebenar-benarnya. <br />
Berita yang di bawa oleh para rasul-Nya yang terdapat di dalam kitab suci, yang di akhiri dengan diturunkannya kitab suci al-qur`an. Secara qauliyah, artinya dapat dibaca atau diucapkan, merupakan buku pandu bagi para hamba Allah yang benar-benar telah mukmin kepada-Nya. <br />
Demikianlah seorang ibadurrahman menempatkan kedudukan kitab suci al-qur`an tersebut dalam kehidupan kesehariannya. Karena memang Allah swt telah menyatakan, <br />
<br />
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (mewahyukan) al-qur`an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Gemetar karenanya, kulit orang-orang yang takut kepada Rabb-nya. Lalu menjadi tenang kulit dan kalbu mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan, barangsiapa disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pemberi petunjuk baginya” (Qs.az-Zumar: 23).<br />
<br />
“Dan, Kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu. Dan, petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (Qs.an-Nahl: 89).<br />
<br />
“Dan, apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab, sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya di dalam (al-Kitab) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman” (Qs.al-Ankabut: 51).<br />
<br />
“Dan, sesungguhnya telah Kami mudahkan al-qur`an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Qs.al-Qamar: 17).<br />
<br />
Termasuk Yang Mana Diri Kita<br />
alfaqir selalu menasehatkan kepada seluruh shantri dan jamaah di nDalem Kasepuhan, “Tidaklah kalian duduk dalam suatu majelis untuk mendengarkan al-qur`an, melainkan kalian keluar dengan suatu tambahan atau pengurangan. Karena Allah telah berfirman kepada kita, <br />
<br />
“Dan, Kami turunkan dari al-qur`an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan, al-qur`an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dlalim selain kerugian”.” (Qs.al-Isrâ`: 82).<br />
<br />
“Katakanlah!” “al-Qur`an adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan, orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedangkan al-qur`an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu seperti orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh” (Qs.Fushshilat: 44).<br />
<br />
Sekarang marilah kita jujur terhadap diri kita sendiri, untuk memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan, guna mengetahui posisi keberadaan kita terhadap kitab suci al-qur`an tersebut. Dalam golongan manakah kita menempatkan diri terhadap al-qur`an? Semakin bertambahkah keimanan kita, di saat mendengarkan atau membaca ayat suci al-qur`an? Tergerakkah kalbu kita, bila ayat-ayat suci al-qur`an dibacakan, atau di saat kita sedang membacanya? Meneteskah air mata kita? Ataukah, kita tidak pernah mendapatkan pengaruh apa-apa dari untaian ayat-ayat Allah tersebut? <br />
Terhadap al-qur`an, orang-orang kafir dan munafik tidak mau mendengarkan ajakannya, seruannya, perintahnya, maupun larangannya. Mereka dengan sengaja mengabaikan ayat-ayat Allah tersebut. Seperti difirmankan Allah swt, <br />
<br />
“Dan, di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi pengetahuan (yakni, para sahabat Nabi), ‘Apa yang dikatakannya tadi?’ Mereka itulah orang-orang yang telah dikunci mati kalbu mereka oleh Allah, (karena selalu) mengikuti hawa nafsu mereka” (Qs.Muhammad: 16).<br />
<br />
Seorang mukmin, apalagi seorang ibadurrahman, selalu membuka kalbunya terhadap al-qur`an, membuka telinganya lebar-lebar, serta membuka akal budinya dengan seluas-luasnya guna mengharap rahmat, hidayah, dan taufik-Nya. Sebagaimana telah dikabarkan oleh Allah swt, <br />
<br />
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yakni para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Mahapemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis” (Qs.Maryam: 58).<br />
<br />
Nasehat & Teladan<br />
Dalam rangka meningkatkan ma’rifatul-qur`an, hendaklah kita mengapresiasikan sekaligus mengekspresikan al-qur`an ke dalam bentuk perilaku yang indah lagi simpatik. Sebagaimana hal itu telah dinasehatkan dan di teladankan para pendahulu kita.<br />
1. Sahabat Ibnu Mas’ud ra. <br />
Pernah dia menasehatkan, “al-Qur`an diturunkan kepada mereka agar mereka mengetahuinya dan mengambil pelajaran darinya untuk diamalkan. Ada seseorang di antara kalian yang membaca al-qur`an dari awal sampai akhir, tanpa ada satu huruf pun yang tercecer. Namun dia mencecerkan pengamalannya.”<br />
<br />
2. Imam Syafi’i ra. <br />
Dia menasehatkan kepada kita, “Sesungguhnya di dalam al-qur`an itu ada satu surat yang singkat, dan sekiranya manusia mengamalkannya, maka hal itu sudah cukup baginya. Yakni firman Allah, <br />
<br />
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran”.” (Qs.al-‘Ahsr: 1-3).<br />
<br />
3. Seorang Arab.<br />
Ada seorang Arab Badui menemui Nabi saw meminta kepada beliau, supaya dibacakan al-qur`an untuknya. <br />
Maka, beliau saw membacakan beberapa surat pendek di bagian akhir al-qur`an hingga sampai pada surat az-zalzalah. Di saat beliau membaca dua ayat yang terakhir, <br />
<br />
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan, barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula” (Qs.al-Zalzalah: 7-8).<br />
<br />
Maka, si badui tersebut serta-merta berkata, “Cukup wahai Rasulullah, aku tidak peduli untuk mendengarkan selain dua ayat ini.” <br />
Maksudnya, dua ayat tersebut sudah cukup untuk dijadikan hujah, bahwa balasan itu termasuk jenis amal dan disesuaikan dengan amalnya, meskipun amal itu seberat dzarrah, baik maupun buruk. <br />
Maka, para sahabat Nabi saw merasa heran dengan sikap si badui tersebut. Lalu Nabi saw bersabda, <br />
<br />
“Orang itu telah pergi sebagai orang yang mengerti.”<br />
<br />
4. Abdullah bin Urwah bin az-Zubair ra bertanya kepada neneknya, Asma` binti Abu Bakar ra, “Wahai nenek, apa yang dilakukan para sahabat jika mereka mendengarkan al-qur`an atau membacanya?” <br />
Asma` menjawab, “Wahai cucuku, mereka seperti yang digambarkan Allah. Mata mereka meneteskan air mata. Kulit mereka bergetar dan kalbu mereka tunduk.”<br />
5. Dr.Sir.Muhammad Iqbal ra pernah menasehatkan, “Tidak ada satu pun nasihat yang lebih berharga daripada nasihat yang disampaikan ibu kepadaku selagi aku masih kecil. Ibuku menasehatkan, ‘Wahai anakku, bacalah al-qur`an! Yang seakan-akan al-qur`an itu diturunkan kepadamu’.”<br />
<br />
Pelajaran Yang Diambil<br />
Guna menradisikan al-qur`an dalam kehidupan keseharian di keluarga dan masyarakat, Ma’hâdul ‘Ibâdah al-Islâmi Tambak Bening Surabaya Indonesia (MIITSI) membentuk Tim 30 Kalamullah, yang berupaya sekuat tenaga untuk menradisikan ber-qur`an pada shantri dan keluarga jamaah khususnya, serta masyarakat pada umumnya. <br />
Di mana al-qur`an bukan sekadar menjadi bahan perbincangan, tetapi lebih dari itu, ada upaya nyata untuk mengamalkannya dalam kehidupan keberagamaan keseharian seorang mukmin.<br />
Hal ini kami lakukan, sebagai bentuk pembaharuan sikap terhadap al-qur`an, supaya di dalam kehidupan kita semakin menyatu dengan al-qur`an. Karena kami tidak ingin pada Hari Kiamat besok, al-qur`an akan memberikan persaksiannya dengan mengatakan, “Wahai Rabb, ketika masih hidup dulu orang-orang ini meremehkan aku. Membacanya, tetapi tidak masuk ke kalbunya. Bahkan tidak mau berhukum kepadaku.”<br />
Di samping kami juga takut, bila Nabi saw akan berkata, “Wahai Rabb, sesungguhnya kaumku menjadikan al-qur`an sesuatu yang tidak pernah diperhatikannya.”<br />
Seorang ibadurrahman adalah orang yang kehidupannya telah menyatu dengan al-qur`an, dengan ayat-ayat Allah swt. Dia hidup bersama al-qur`an. Menerapkan isinya untuk diri dan keluarganya, dengan memola pada kehidupan Rasulullah saw, dalam hal ber-qur`an. “Akhlak beliau adalah al-qur`an,” demikian komentar ibunda A`isyah ra.<br />
Barangsiapa yang mau membuka lembaran-lembaran mush-haf al-qur`an, maka dia akan menemukan akhlak beliau saw pada teks-teks tersebut. Diri Nabi saw merupakan sosok pribadi dari al-qur`an yang berjalan. Beliau tidak sekadar menafsirinya dengan perkataan dan ungkapan, namun beliau telah meneladankan dengan wujud nyata ke dalam sebuah perilaku, akhlak, amal, dan implementasi yang kongkrit. <br />
Wahai saudaraku sesama mukmin! Sudahkah kita membaca al-qur`an sebagaimana mestinya? Sudahkah kita menyimaknya dengan layak? Sudahkah kita memenuhi hak-hak sebagaimana seharusnya? Siapakah yang telah mampu mendengarkan atau membacanya, lalu memikirkan dan mengamalkannya, di antara kita? Sudahkah kita merasakan pengaruh dari kehadirannya? Marilah, sederetan pertanyaan ini kita jawab dengan bukti pengamalan terhadap al-qur`an dalam kehidupan kita sehari-hari. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Sifat Ibadurrahman (12):<br />
<br />
<br />
Mendoakan Isteri & Keluarga<br />
<br />
“Dan, para ibadurrahman itu (adalah): …Orang-orang yang berkata, ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ‘Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada ibadah kalian. (Tetapi bagaimana kalian beribadah kepada-Nya) padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (adzab) pasti (menimpa kalian)” (Qs.al-Furqân: 74; 75-77). <br />
<br />
Di dalam surah al-furqân ayat ke-74 tersebut di atas memberikan gambaran, bahwa dinul Islam telah mengajarkan kepada kaum muslimin untuk mentradisikan berdoa kepada Allah swt Karena berdoa merupakan implementasi ketawadlu’an, dari seorang hamba kepada Sang Khaliq jalla jalâluh. Di mana dengan berdoa, seorang hamba akan mendapatkan ketenangan jiwa, optimisme kalbu, dan semakin kuat prinsip-prinsip tauhid, ibadah, mahabbah, dan ikhtiarnya.<br />
Seorang ibadurrahman tidaklah menyia-nyiakan kesempatan terbaik ini dengan begitu saja, melainkan dia gunakan kesempatan berdoa itu untuk memohon kepada Allah swt, agar dianugerahi para isteri dan anak keturunannya yang dapat menyenangkan hatinya (qurrata a’yunin). Dan, pada saatnya nanti dia juga berharap, supaya mereka menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.<br />
Begitulah doa dan harapan seorang ibadurrahman, dia memanjatkan doa dan pujiannya menurut apa yang menjadi keinginannya. Karena seorang ibadurrahman mengamalkan sunnah Nabi saw dalam berdoa, di mana beliau mengucapkan doa-doanya benar-benar sesuai dengan kebutuhan, yang dipikirkan, dan yang beliau inginkan. <br />
Sehingga di antara doa-doa beliau ada yang berisikan permohonan perbaikan urusan diniah, perbaikan urusan dunia dan akhirat, memohon tambahan kebaikan dalam kehidupan, dan menjadi kematian sebagai pelepas dari segala kejahatan. Bahkan, beliau biasa melantunkan doa-doa yang sarat dengan berbagai makna, berlindung dari kemunafikan dan akhlak yang buruk, berlindung dari cobaan yang berat, penderitaan yang terus-menerus dan lain-lainnya.<br />
Di sinilah, kita kaum muslimin yang awam ini, hendaklah membiasakan diri memperhatikan tatakrama berdoanya seorang ibadurrahman. Di mana seorang ibadurrahman benar-benar mengetahui bagaimana seharusnya seorang mukmin berpikir, berkehendak, dan memiliki tujuan akhir di dalam kehidupannya.<br />
Dari doa seorang ibadurrahman, sangatlah tercermin bahwa dia begitu memperhatikan kehidupan dunia ini. Tetapi dia sangat menghindari memperhatikan dunia dengan nafsu syahwatnya, sebab perhatiannya lebih tertuju pada tujuan yang lebih besar, yakni hasratnya memohon kepada Allah swt agar dinugerahi isteri dan keturunan yang menyenangkan hati (qurrata a’yunin), dan dia juga sangat berharap agar mereka dikarunia kepemimpinan atas kaum yang muttaqin.<br />
Seorang ibadurrahman tidak selalu sibuk dengan urusan pribadinya. Namun dia juga berharap kebaikan, keberkahan, dan kemaslahatan juga merambah pada para hamba Allah yang lainnya. Dia menginginkan supaya rahmat, hidayah, dan taufiq-Nya juga dapat dirasakan orang-orang terdekatnya, termasuk dalam hal ini adalah para istri dan anak keturunannya sampai Hari Kiamat nanti. <br />
Karena kebahagian seorang ibadurrahman, manakala melihat para isteri dan anak-anaknya serta keturunannya, dianugerahi oleh Allah swt nikmat iman, nikmat islam, dan nikmat sehatnya badan. Sehingga mereka dengan sadar dan secara sukarela telah dapat melakukan ketaatan dan penghambaan kepada Allah azza wa jalla.<br />
<br />
Perempuan Shalihah Itu Perhiasan Dunia<br />
Seorang ibadurrahman selalu mendambakan kehadiran seorang isteri yang shalihah, dikarenakan isteri yang shalihah merupakan perhiasan dunia. <br />
<br />
“Dunia ini perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah perempuan shalihah” (Hadis Shahîh). <br />
<br />
Kehadirannya merupakan pancaran hidayah kebaikan, yang akan selalu mendorong peran dan fungsi suaminya untuk mendapatkan taufiq-Nya. <br />
Telah disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
“Tidaklah seorang mukmin mendapatkan sesuatu yang lebih baik setelah takwa kepada Allah, selain dari isteri yang shalihah. Jika dia menyuruhnya, maka istrinya itu menaatinya. Jika dia memandangnya, maka isterinya itu membuatnya senang. Jika dia memberikan bagian kepadanya, maka istrinya itu berbuat baik kepadanya. Jika dia meninggalkannya, maka isterinya itu menjaga dirinya sendiri dan harta suaminya” (Hr.Ibnu Majah).<br />
<br />
Lalu Nabi saw membaca ayat, <br />
<br />
“Maka, perempuan yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada; oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…” (Qs.an-Nisâ`: 34).<br />
<br />
Dinul Islam mengajarkan, bahwa keberadaan isteri yang dapat menyenangkan hati dan mata suaminya, adalah unsur utama yang dapat mendatangkan kebahagiaan dalam rumah tangganya. Disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
“Di antara kebahagiaan Bani Adam, ialah isteri yang shalihah, tempat tinggal yang layak, dan kendaraan yang layak pula” (Hr.Ahmad). <br />
<br />
Di riwayat lain, Nabi saw juga pernah bersabda, <br />
<br />
“Empat perkara, barangsiapa yang diberi empat perkara ini, maka dia telah diberi kebaikan dunia dan akhirat. Yakni: (1)Hati yang selalu bersyukur; (2)Lisan yang selalu berdzikir; (3)Badan yang sabar menghadapi ujian; dan (4)Isteri yang tidak menimbulkan kesukaran dalam dirinya dan hartanya” (Hr.Thabrani).<br />
<br />
Seorang isteri yang shalihah adalah laksana mutiara zamrud katulistiwa. Apalagi di tengah kehidupan masyarakat yang konon mengklaim dirinya sebagai masyarakat modern, ternyata bukan komedernan yang diperolehnya malainkan sebuah kekosongan nilai (anomali). Kehadiran isteri yang shalihah, niscaya akan sangat membantu suaminya di dalam melaksanakan tugas keberagamaannya. <br />
Konon pernah terjadi di jaman orang-orang terdahulu, setiap kali suaminya hendak pamit untuk berangkat berdagang, isterinya selalu berpesan, “Wahai suamiku, janganlah kamu mencari hasil yang haram, karena aku dapat bersabar menghadapi lapar dan dahaga, namun kita tidak sabar karena api neraka dan kemurkaan Allah.”<br />
Seorang isteri yang shalihah, yakin benar bahwa hidup dan kehidupan, rizeki dan ma`isyah kesemuanya datangnya dari sisi Allah swt, termasuk yang mencukupi segala kebutuhannya. Sehingga tidak pernah gentar dengan kondisi perekonomian keluarga yang acap kali serba kekurangan. Malah sebaliknya, isteri yang shalihah senantiasa mendorong suaminya untuk selalu taat dan patuh kepada Allah swt dalam kondisi apa pun, dan bagaimana pun. <br />
Sebagaimana dikatakan cucunda Nabi saw Sayyidina Hasan ra, bahwa makna ayat yang berarti penyenang hati di dalam surah al-furqân ayat ke-74, itu berarti konteks dunia, “Demi Allah, itu berlaku di dunia.” <br />
Sedangkan menurut sahabat Ikrimah ra, makna qurrata a’yunin adalah, “Memiliki sikap ketaatan kepada Allah jalla jalâluh, bukan kedudukannya atau kecantikannya.”<br />
Dinul Islam mengajarkan kepada kaum muslimin, supaya mendapatkan isteri yang shalihah, yaitu isteri yang taat kepada diniahnya. Seperti telah dipesankan Nabi saw, <br />
<br />
“Perempuan itu dinikahi karena empat perkara: (1)Karena hartanya; (2)Keturunannya; (3)Kecantikannya; dan (4)Karena diniahnya. Carilah perempuan yang taat kepada diniahnya, niscaya hal itu cukup bagimu” (Hr.Bukhari dan Muslim).<br />
<br />
Oleh karena seorang ibadurrahman selalu menghendaki kebaikan dan kemaslahatan terhadap orang-orang terdekatnya, seperti para isteri, anak-anak, dan cucu-cucunya. Dia sangat mengharapkan agar mereka benar-benar mendapatkan kebaikan di sisi Allah jalla jalâluh.<br />
<br />
Beberapa Teladan<br />
Seorang ibadurrahman memegang kuat ayat ke-6 surah at-tahrim, <br />
<br />
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya, adalah manusia dan batu.”<br />
<br />
Dan, ayat di atas merupakan ekspresi keberagamaan yang mendalam, yang kemudian diimplementasikan ke dalam perilaku keberagamaan kesehariannya. <br />
Dari kenyataan tersebut, dapatlah kiranya diambil pelajaran, dari beberapa teladan yang pernah dilakoni oleh saudara-saudara kita di Jamaah nDalem Kasepuhan Surabaya, antara lain:<br />
1. Adalah Mahfudz Ahmad Muhammad, shantri yang satu ini sangat tekun mengikuti seluruh kegiatan ma’had. Namun dia masih merasa ada ganjalan, disebabkan isterinya belum ikut mengaji. Dan, dalam kesehariannya belum menggunakan jilbab (hijâb). Dengan kata lain, jilbab baru sekadar menjadi pakaian ‘dinas pengajian ibu-ibu’ sebagaimana lazimnya para muslimah jaman sekarang ini. <br />
Dengan keistiqamahannya, dia selalu memohon kepada Allah swt agar isterinya dikarunia akhlak yang shalihah. Ternyata hampir empat tahun doa itu baru dikabulkan oleh Allah swt. <br />
Sekarang isterinya, dengan kesadarannya sendiri telah mau datang di majelis pengajian Keluarga Sakinah di nDalem Kasepuhan. Tidak hanya itu, jilbab telah menutup auratnya, meski berada di dalam rumah suaminya. Shalat fardlunya berjamaah bersama para anaknya yang masih kecil-kecil, malam tak pernah terlewatkan tanpa qiyamul lail. <br />
Si suami hanya bisa bersyukur dan menangis, begitu mudahnya bila Allah itu menghendaki seseorang menjadi baik. Gumannya dalam hati.<br />
2. Pengalaman Haji Musthafa Ahmad, bila si isteri dianjurkan untuk berjilbab selalu jawabannya klise, yaitu malu. <br />
Akhirnya dia memohon kepada Allah swt agar dapat menunaikan ibadah haji bersama isterinya. Allah mengabulkannya, yakni di 1996 pergi haji bersama isteri. Mulai saat itu, setelah pulang dari ibadah haji si isteri tidak pernah lagi membuka auratnya.<br />
Bahkan, di 2001 pergi haji lagi bersama keluarganya, yang mengejutkan namun manjadikan si suami sujud syukur, bahwa isterinya telah mengambil keputusan di Makkah, setibanya di tanah air nanti, akan mengundurkan diri dari Bank Mandiri. Semata-mata ingin lebih produktif di dalam membina mental, karakter, dan akhlak anak-anaknya. Karena dia tidak rela, bila para anak-anaknya lebih dekat dengan orang lain. Karena memang sang suaminya ditakdirkan Allah telah mencukupi segala-galanya.<br />
3. Adalah pengakuan Haji Muhammad Syahlan, bila bercerita mengenai isterinya matanya langsung berkaca-kaca. Karena dia bersyukur kepada Allah swt. <br />
Menurut ceritanya, seandainya dia tidak menikah dengan isterinya tersebut, mungkin sampai detik ini dia tetap tidak dapat membaca al-qur`an dengan baik dan benar. <br />
Lebih dari itu kebiasaan buruknya mungkin tidak dapat berhenti, yaitu main lotre (baca: togel). Maklum si isteri adalah shantriwati asuhan dari al-maghfurlah Allahu yarham KH.Mundzir, Ma’had Ma`una Sari Bandar Kidul, Kediri, Jatim. <br />
Tidak sekadar membaca al-qur`an, tetapi adab dan akhlak juga menjadi ‘mata kuliah’ pokok di saat-saat pengantin baru. Hasilnya dia sangat merasakannya sekarang ini, setelah umur memasuki kepala lima. “Benar, apa yang dipesankan Nabi kita, agar mencari isteri yang shalihah, karena memang sangat penting dalam berumah tangga,” demikian nasehatnya kepada putera-puterinya.<br />
Pengalaman keberagamaan yang diwakili oleh ketiga saudara kita tersebut di atas, merupakan implementasi sebagai seorang suami yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt kelak, dan inilah cara berpikir seorang ibadurrahman. Sebab Nabi saw telah bersabda, <br />
<br />
“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin mengenai apa yang dipimpinnya, apakah dia menjaga ataukah menyia-nyiakan, hingga seorang lelaki ditanya mengenai anggota keluarganya” (Hr.Nasâ`i dan Ibnu Hibban, dari Anas ra).<br />
<br />
Di riwayat lain, Nabi saw bersabda, <br />
<br />
“Setiap orang di antara kalian menjadi pemimpin, dan akan ditanyai mengenai apa yang dipimpinnya. Seorang imam menjadi pemimpin, dan akan ditanya mengenai apa yang dipimpinnya. Seorang lelaki menjadi pemimpin di tengah keluarganya, dan akan ditanyai mengenai apa yang dipimpinnya. Seorang perempuan menjadi pemimpin di rumah suaminya, dan akan ditanyai mengenai apa yang dipimpinnya. Seorang pembantu menjadi pemimpin terhadap harta tuanya, dan akan ditanya mengenai apa yang dipimpinnya. Setiap orang di antara kalian menjadi pemimpin, dan akan ditanya mengenai apa yang dipimpinnya” (Hr.Bukhari & Muslim).<br />
<br />
Demikianlah seorang ibadurrahman sangat hati-hati di dalam membina keluarganya. Karena kebahagiaan hakiki, baginya adalah terdapatnya isteri yang shalihah, anak-anak yang shalih dan shalihah, dan keluarga yang sakinah. <br />
Dia tidak banyak berharap, kecuali berkeinginan bahwa di dalam keluarganya telah terjadi tradisi ‘kecerdasan keberagamaan’, yang memola pada al-qur`an dan as-sunnah Nabi saw. []<br />
<br />
<br />
<br />
Penutup<br />
<br />
<br />
Kesempurnaan adalah milik-Nya. Terampungkannya buku yang alfaqir susun ini semata, karena rahmat dan pertolongan-Nya. Sekaligus menjawab banyaknya pertanyaan, baik yang terlontar maupun yang cukup menjadikan tanda tanya. Apa itu lambang huruf ‘ain (ع)?<br />
Awalnya, dari sebuah jagongan rutin –sebulan sekali-- di sebuah kampung padat di Surabaya, Kapas Madya IV-P. Salah seorang dari mereka ada yang punya usul, “Daripada pembicaraan tidak fokus, alangkah baiknya, jika dibahas satu atau dua ayat dari Kitab Suci al-Qur`an.” Ternyata usulan tersebut disepakati, dengan ijin-Nya akhirnya berjalanlah “acara” tersebut. Sampai akhirnya alfaqir hijrah ke Tambak Bening II-20, Surabaya; 10 Oktober 1996. <br />
Di luar dugaan, ternyata animo masyarakat banyak yang berminat dengan model penyampaian dan pendekatan pemikiran yang alfaqir tawarkan. Hingga di sini “acara jagongan” tersebut belum memiliki sebuah nama, sebagaimana komitmen awal alfaqir untuk tidak menggunakan nama atau simbol atau seragam tertentu. <br />
Tetapi, Dia berkehendak lain, saudara tua kami, KH.Abdul Adhim Dimyati dari Jombang, hasil istikharahnya mengusulkan sebuah nama, yaitu Ma’hâdul Ibâdah al-Islâmi (Pondok Pesantren al-Ibadah, red). Dengan alasan yang masuk akal dia katakan, “Semua orang Islam kan butuh beribadah kepada Allah azza wa jalla. Tanpa pandang bulu, tidak ada partai, tidak ada ormas, tidak ada aliran, dan tidak ada kelompok.”<br />
Dan, dengan melalui istikharah pula alfaqir menentukan trade mark apa kiranya yang pas dari sebuah nama Ma’hâdul Ibâdah al-Islâmi, biar mudah diingat, gampang dikenal, dan bersifat khas. Akhirnya ketemulah jawabannya, yakni huruf ‘ain yang merupakan huruf awal dari akar kata al-‘ibâdah, yaitu: ‘ain-ba`-dal. <br />
Setelah disepakati dan diterima oleh semua jamaah, hingga suatu ketika guru kami, KHA.Mustofa Bisri (Gus Mus, red) bertanya mengenai apa itu lambang huruf ‘ain. Subhânallah, seketika itu beliau mengatakannya, “Ibadurrahman….” Sehingga mulai saat itu, kami menyosialisasikan dan mengomunikasikan kepada semua jamaah dan kalangan mengenai di balik makna huruf ‘ain, yaitu ibadurrahman. <br />
Dan, apa yang telah alfaqir tulis di dalam buku ini sebagai panduan di Ma’had Tee-Bee mengenai bagaimana seorang ibadurrahman yang dapat menjadi teladan di: keluarganya, masyarakatnya, dan bangsanya. <br />
Memang terasa berat di dalam mengamalkannya, tapi kami yakin Allah azza wa jalla akan menolong setiap hamba-Nya yang berjuang dengan sungguh-sungguh dalam memperjuangkan kebenaran. Wal ladzîna jâhadu fî-nâ lanahdiyan-nahum subûlanâ….[]<br />
<br />
<br />
من زار قبري وجبت له شفاعتي <br />
(عن ابن عمر، إبن عدى فى الكامل و بيهقى فى شعب الإيمان، و فى كنز العمال 42583\15\651)Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-58929039614931885782010-09-02T20:10:00.001-07:002010-09-02T20:10:46.765-07:00Manusia-manusia SURGAMuhammad s<br />
<br />
<br />
أَنَا أَكْثَرُ النَّاسِ تَبَعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ, وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ يَقْرَعُ بَابُ الْجَنَّةِ.<br />
“Saya adalah orang yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat dan saya adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu surga.”(Hr. Muslim)<br />
<br />
Dari Abu Hurairah d, Rasulullahs bersabda,<br />
<br />
أَنَا أَوَّلُ مَنْ يَفْتَحُ الْجَنَّةِ…<br />
“Saya adalah orang yang pertama kali membuka pintu surga…<br />
<br />
<br />
Kelahiran Muhammad<br />
<br />
M<br />
akkah, 12 Rabiul Awal tahun gajah. Cahaya putih bersinar terang menerangi istana-istana Syam. Bintang-bintang berkedip memberikan isyarat kegembiraan. Angin pun diam, hanya sesekali saja bersemilir membelai ranting-rangting, semak-semak dan dedaunan kurma yang terpaku melihat peristiwa menakjuban. Gunung-gunung, batu-batu dan semua alam ini melantunkan kegembiraannya dengan syair-syair dan lagu-lagu kegaiaban. <br />
Akan tetapi tidak demikian adanya dengan Istana Kisra yang penuh kecongkakan dan kesombongan. Malam itu bergetar dan terus bergetar hingga empat belas balkon istananya runtuh, danaunya meluap, api keabadian orang Persia padam, padahal selama seribu tahun belum pernah mati. Alam menyambut kelahiran Muhammad dengan bahasanya sendiri-sendiri, melantunkan syair-syair kehidupan.<br />
Muhammad dilahirkan dalam keadaan yatim. Ayah beliau telah wafat saat dia di kandung ibunya. Yang menyambutnya saat itu tiada lain adalah kakeknya sendiri, Abdul Muthalib. Kala itu dengan membawa Muhammad kecil, kakek beliau, Abdul Muthalib dengan sangat gembira memasukkannya ke dalam ka’bah seraya melantunkan syair sebagai doa dan munajat kepada Allah swt, <br />
<br />
”Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkanku anak ini.<br />
Anak yang memilki andil dan mampu membimbing orang-orang ketika masih dalam buaian.<br />
Aku melindungkannya kepada Allah dengan kebenaran ka’bah yang memilki pilar-pilar ini, <br />
sehingga aku melihatnya beranjak dewasa<br />
Aku pun melindungkannya dari kejahatan orang-orang yang mempunyai kebencian, <br />
Dari orang-orang yang hasad yang suka mengganggu dan mengacaukan”.1<br />
<br />
Tidak hanya Abdul Muthalib yang bersyair, akan tetapi Jin pun menyambutnya dengan syair, <br />
<br />
”Aku bersumpah tidak seorang wanita pun dari golongan manusia yang telah melahirkan Muhammad selain ia (aminah).<br />
Seorang wanita dari suku Zuhrah yang memilki sifat-sifat terpuji dan selamat dari kecelaan para suku-suku, bahkan mereka memujinya.<br />
Wanita itu telah melahirkan manusia terbaik yaitu Ahmad.<br />
Orang yang terbaik itu dimuliakan<br />
serta orang tuanya pun dimuliakan juga.”<br />
<br />
Wahai penduduk Bat-ha’! jangan kalian samakan<br />
Bedakan perkara ini dengan kejadian yang telah lalu. Sesungguhnya itu adalah asal kalian pada zaman dahulu<br />
atau bagian kalian pada zaman yang akan datang nanti.<br />
Bawalah kepada kami seorang perempuan dari orang-orang terdahulu ataupun yang ada sekarang ini selain perempuan dari golongan mereka (bani Zuhrah)<br />
yang serupa dengannya (Aminah) serta memilki janin seperti Nabi yang sangat bertakwa.2<br />
<br />
Malam kelahirannya adalah malam anugerah. Tidak hanya untuk keluarganya, orang-orang di sekelilingnya dan orang arab. Akan tetapi anugerah juga bagi semesta alam. Seorang anak yang menggetarkan bumi, langit dan arsnya Allah telah lahir. Seorang anak yang akan membawa risalah suci terakhir dari Tuhan semesta alam. Seorang Nabi penutup zaman. <br />
Satu tanda lagi mengiringi kelahiran Muhammad. Suatu tanda yang menunjukkan beliau benar-benar calon utusan-Nya. Beliau lahir dalam keadaan di hitan. Allah menjaga auratnya dengan menghitan Muhammad sejak dalam kandungan. Hal inilah yang membuat kakeknya takjub, terkesima melihat cucunya lalu berkata, ”Anakku ini akan mempunyai pengaruh”. Dia berkata dengan wajah optimis dan keyakinan yang tinggi bahwa cucunya kelak akan menjadi manusia yang berkedudukan tinggi.<br />
<br />
<br />
Muhammad Kecil<br />
Waktu terus berjalan. Saat demi saat, detik demi detik. Satu minggu, sebulan, setahun berlalu dan roda jaman terus bergulir membawa Muhammad menginjak usia dua tahun. Di pangkuan halimah, Muhammad kecil tumbuh begitu cepat. Beliau termasuk anak yang sehat, sangat berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Beliau tumbuh sehari seperti pertumbuhan anak-anak dalam sebulan. Beliau tumbuh sebulan seperti pertumbuhan anak-anak dalam setahun.<br />
Keberkahan, memang ada pada diri Muhammad saw. Keberkahan itu juga menyertai orang yang menyusuinya, Halimah. Semenjak menyusui Muhammad, Halimah dan suaminya mendapatkan keberkahan yang begitu banyak serta menyaksikan keistimewaan-keistimewaan diri Muhammad kecil dibanding anak-anak yang lain.<br />
Saat itu musim paceklik. Tiada hujan turun beberapa lama, tumbuh-tumbuhan mati, air sumber tiada mengalir lagi. Di padang yang gersang penggembala halimah dan penggembala-penggembala yang lain menggembalakan kambing mereka masing-masing. Suatu keanehan terjadi. Kambing-kambing Halimah pulang dalam keadaan gemuk dan berisi. Namun kambing-kambing penggembala selain Halimah (penggembala lain) pulang dalam keadaan kelaparan, kurus dan sekarat. Tak satupun kambing mereka menghasilkan setetes susu untuk diminum. Akan tetapi kambing Halimah mengalirkan susu yang melimpah. Sehingga salah seorang dari mereka berujar, ”Celakalah kalian! Apakah kalian tidak bisa menggembala kambing seperti penggembala Halimah? Rasa kecewa dan marah. <br />
Kehidupan keluarga hari demi hari berkecukupan bersama Rasulullah hingga beberapa tahun sampai suatu saat satu peristiwa lagi yang di alami pada diri Muhammad yang sangat menakjubkan dan membuat Halimah binti Abu Dzu’aib dan istrinya selalu khawatir dan takut akan keselamatan Muhammad. Lalu dengan rasa terpaksa atas desakan istrinya halimah Muhammad kepada ibu kandungnya sendiri. <br />
Dia berucap, ”Wahai halimah! Sungguh aku takut anak ini tertimpa musibah”. Dengan nada dan mimik kekhawatiran al-Haris bin Abdul ’Uzza (istri Halimah) memberikan nasehat kepada isterinya.<br />
”Kalau begitu pergilah dan bawalah dia kembali kepada ibunya sebelum apa yang kita kuatirkan benar-benar terjadi padanya”. Jawab Halimah dengan kekhawatiran yang sama.<br />
Setelah sampai di hadapan Aminah, mereka tidak tahu untuk berkata-kata. Sejenak mereka membisu, dan saling pandang. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang akan mereka utarakan. Suasana hening.<br />
”Mengapa kalian mengembalikannya kepadaku? Bukankah kalian menginginkannya?”. Halimah membuyarkan ketegunan mereka. Dengan terpaksa dan nada terbata-bata mereka menjawab dan memberitahukan kejadian demi kejadian yang dialami Muhammad saw. <br />
”Suatu ketika, saat Muhammad bermain bersama saudara-saudaranya di belakang rumah, tiba-tiba datanglah saudaranya sambil berlari. Lalu dia berkata kepadaku dan ayahnya, ”Tolong, tengoklah saudaraku yang Qurays itu. Ia telah didatangi oleh dua orang lelaki. Mereka menelentangkannya, lalu mereka membedah perutnya”. Maka, aku dan suamiku berlari menuju beliau. Kami menemukannya dalam keadaan pingsan dan pucat pasi”. Apa yang terjadi denganmu, wahai anakku? Tanya suamiku.<br />
Puteramu menjawab, ”Dua orang lelaki mendatangiku. Mereka memakai baju putih. Mereka membaringkanku lalu membedah perutku. Sungguh aku tidak mengerti apa yang mereka perbuat”.<br />
”Karena alasan inilah kami ingin mengembalikan puteramu, wahai halimah”.<br />
Wajah halimah saat itu tidak begitu kaget. Karena dia sudah menyadari keanehan anaknya sejak masih dalam kandungan.<br />
Ibunda Muhammad berkata, ”Apakah kalian kuatir kepadanya? Sebenarnya puteraku mempunyai keanehan. Bukankah sudah kuceritakan kepada kalian? Sesungguhnya, aku belum pernah merasakan kehamilan yang lebih mudah dan lebih berkah dibanding ketika aku mengandungnya. Aku melahirkannya tidak sebagaimana anak-anak lain dilahirkan. Ia lahir dengan meletakkan tangannya di tanah seraya menengadahkan kepalanya kelangit. Biarkanlah ia bersama kalian, dan janganlah kalian heran.” 4<br />
Lalu halimah membawa Muhammad saw pulang, dan kembali hidup bersamanya. Sejak saat itulah Muhammad kecil tidak pernah ditinggal jauh oleh Halimah. Sejak saat itu pula Halimah menyaksikan Muhammad selalu diikuti mendung. Bila Nabi berhenti, awan itu ikut berhenti. Bila Nabi berjalan awan pun ikut berjalan.<br />
<br />
***<br />
Hari demi hari terus bersambung, bersambung pula usia Muhammad s. Halimah memutuskan untuk mengembalikan Beliau ke pangkuan ibundanya tercinta. Akan tetapi tak lama kemudian ibunya, Aminah binti Wahab meninggal dunia saat menempuh perjalanan ke Madinah. Ketika itu Muhammad berusia enam tahun, jadilah Muhammad s anak yatim piatu, hidup tanpa ayah dan ibu.<br />
Kedudukan ibunya digantikan oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Dia hidup bersama cucunya dengan kelembutan dan kasih sayang yang sangat dalam, sebagaimana Aminah mencintai Muhammad. Dia mencintai cucunya melebihi anaknya sendiri. Ia selalu menemaninya setiap saat. Mengawasinya saat sendirian dan saat Muhammad tidur. Tak seorangpun boleh menyakitinya.<br />
Selang dua tahun, kebahagiaan itu digantikan dengan duka. Abdul Muthalib berangkat ke rafiqil a’la. Saat itu Abdul Muthalib 82 tahun.5 Sebelum malaikat maut mendatanginya, ia berpesan agar penjagaan dan pengasuhan diserahkan kepada Abu Thalib. Semua anaknya menangisinya, demikian juga Rasulullah menangisi kepergiannya seorang kakek mulia yang selama ini melindungi dan menjaganya bagaikan seorang orangtua. Belia menangis disamping tempat tidur yang tak kan pernah kembali lagi. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
1.Hr. Ibnu Sa’ad, Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir.<br />
2.al-Wafa’ Hal 74<br />
3. al-Wafa’ Hal 87 <br />
4. HR. Abu Nu’aim, al-Baihaqi, dan Ibnu Katsir/ al-Wafa’ Hal 87<br />
3. Ada yang meriwayatkan, Abdul Muthalib meninggal diusia 110 dan 120, Wallahu a’lam. <br />
<br />
Pada malam itu semua memberitahukan kelahiran Muhammad saw. Memberikan saksi bahwa Muhammad Nabi akhir jaman telah di lahirkan. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Abu Bakar <br />
Ash-Shiddiq d <br />
<br />
<br />
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ s :مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ صَائِمًا؟ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَا. فَمَنْ تَبِعَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ جَنَازَةً؟ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: أَنَا. فَمَنْ أَطْعَمَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: أَنَا. فَمَنْ عَادَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ مَرِيْضًا؟ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ: أَناَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ s : مَا اجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ.<br />
Diriwayatkan dari Abu Hurairah d, ia berkata Rasulullah s pernah bertanya, “Siapa diantara kalian yang pagi ini berpuasa?” Abu Bakar ra menjawab, “saya”. Beliau bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang hari ini telah mengiringkan jenazah? Abu Bakar menjawab: “Saya”. Beliau bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang hari ini telah memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya”. Beliau bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang hari ini telah menjenguk orang sakit?” Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, “saya”. Maka Rasulullah s bersabda, “tidaklah amalan-amalan tersebut menyatu dalam diri seseorang kecuali dia akan masuk surga.(HR. Muslim)<br />
<br />
<br />
...قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَا عَلَى أَحَدٌ يُدْعَى مِنْ تِلْكَ اْلاَبْوَابِ مِنْ ضَرُوْرَةٍ, فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ اْلاَبْوَابِ كُلِّهَا؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ s :نَعَمْ, وَأَرْجُو أَنْ تَكُوْنَ مِنْهُمْ.<br />
“… Abu Bakar Ash-Shiddiq d menanyakan, ”Seseorang dipanggil dari pintu-pintu (surga) tersebut sesuai dengan amal baiknya, lalu apakah ada orang yang dipanggil dari semua pintu?” Rasulullah s menjawab, “Ya, ada, dan aku berharap kau termasuk kelompok itu” .(HR. Bukhari & Muslim) <br />
<br />
<br />
...فَجَاءَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, فَدَفَعَ الْبَابَ, فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ فَقَالَ: أَبُوْ بَكْرٍ. فَقُلْتُ عَلَى رِسْلِكَ. قَالَ: نَعَمْ. ثُمَّ ذَهَبْتُ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ! هَذَا أَبُوْ بَكْرٍ يَسْتَأْذِنُ؟ فَقَالَ: ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِا الْجَنَّةِ.قَالَ فَأَقْبَلْتُ حَتىَّ قُلْتُ ِلأَبِي بَكْرٍ: ادْخُلْ وَرَسُوْلُ اللهِ s يُبَشِّرُكَ بِاالْجَنَّةِ…<br />
...Kemudian datanglah Abu Bakar d, lalu dia mendorong pintu, maka aku bertanya, ”Siapa ini?” Dia menjawab, ”Abu Bakar”. Aku katakan, ”Pelan-pelan saja!” Dia menjawab, ”Ya”. Aku mendekat kepada Rasulullah s lalu aku katakan, ”Ya Rasulullah, ada Abu Bakar minta ijin masuk kemari?” Rasulullah saw menjawab, ”Suruh dia masuk dan beritahukan surga kepadanya! Kata Abu Musa: Aku kembali menemui Abu Bakar lalu aku katakan kepadanya, ”Silahkan masuk dan Rasulullah menyampaikan kepadamu kabar gembira tentang surga”....(Hr. Bukhari & Muslim) <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Umar bin Khaththab d<br />
<br />
<br />
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, عَنِ النَّبِيِّ s أَنَّهُ قَالَ: بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ, إِذَ رَأَيْتَنِي فِي الْجَنَّةِ, فَإِذَا امْرَأَةٌ تَوَضَّأُ إِلىَ جَانِبِ قَصْرٍ, فَقُلْتُ: لِمَنْ هَذَا؟ فَقَالُوْا : لِعُمَرِبْنِ الْخَطَّابِ. فَذَكَرْتُ غَيْرَةَ عُمَرَ, فَوَلَّيْتُ مُدْبِرًا. <br />
قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: فَبَكَى عُمَرُ وَنَحْنُ جَمِيْعًا فِي ذَالِكَ الْمَجْلِسِ مَعَ رَسُوْلُ اللهِ s ثُمَّ قَالَ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُوْلُ اللهِ! أَعَلَيْكَ أَغَارُ؟ <br />
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dari Nabi s beliau bersabda: Ketika aku sedang tidur, aku bermimpi di dalam surga, tiba-tiba ada seorang perempuan membersihkan dirinya dengan air di sebelah sebuah istana, kemudian aku tanyakan, “Milik siapa istana ini?” Mereka menjawab, “Milik Umar bin Khaththab”. Maka aku tuturkan kecemburuan Umar, lalu aku berpaling.<br />
Kata Abu Hurairah: Kemudian Umar menangis yang ketika itu kami semua berada di majelis tersebut bersama Rasulullah s, kemudian Umar mengatakan, “Ya Rasulullah, demi ayah dan ibuku, apakah aku cemburu kepada Anda?”.(Hr. Bukhari & Muslim)<br />
<br />
<br />
...ثُمَّ رَجَعْتُ فَجَلَسْتُ, وَقَدْ تَرَكْتُ أَخِي يَتَوَاالضَّأُ وَيَلْحَقُنِيْ, فَقُلْتُ: إِنْ يُرِدِ اللهُ بِفُلاَنٍ خَيْرًا, يَأْتِ بِهِ.فَأِذَا إِنْسَانٌ يُحَرِّكُ الْبَابَ, فَقُلْتُ مَنْ هَذَا؟ فَقَالَ: عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ. فَقُلْتُ: عَلَى رِسْلِكَ. ثُمَّ جِئْتُ إِلَى رَسُوْلُ اللهِ s , فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ, وَقُلْتُ: هَذَا عُمَرُ يَسْتَأْذِنُ؟ قَالَ: ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ. فَجِئْتُ عُمَرُ d, فَقُلْتُ: أَذِنْ وَيُبَشِّرُكَ رَسُوْلُ الله s بِالْجَنَّةِ...<br />
…Kemudian aku duduk kembali. Ketika itu aku meninggalkan saudaraku yang sedang berwudlu dan akan menyusulku. Kataku, ”Kalau Allah menghendaki kebaikan bagi saudaraku itu pasti Allah akan mendatangkannya”. Tiba-tiba ada seseorang menggerak-gerakkan pintu, lalu aku bertanya, ”Siapa ini?” Dia menjawab, ”Umar bin Khaththab”. Aku katakan, ”Pelan-pelan saja!” Aku mendekat kepada Rasulullah s, lalu aku ucapakan salam kepada beliau, kemudian aku katakan, “Ada Umar mohon ijin masuk kemari?” Rasulullah s menjawab, “Sutuh dia masuk dan beritahukan surga kepadanya!” Aku dekati Umar d, lslu aku katakan, “Rasulullah s menyilahkan masuk dan menyampaikan berita gembira tentang surga kepadamu.”...(Hr. Bukhari & Muslim)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
MUtsman bin Affan d<br />
<br />
<br />
...ثُمَّ رَجَعْتُ فَجَلَسْتُ, فَقُلْتُ: إِنْ يُرِدِ اللهُ بِفُلاَنٍ خَيْرًا, يَأْتِ بِهِ.فَجَاءَ إِنْسَانٌ فَحَرَّكَ الْبَابَ, فَقُلْتُ مَنْ هَذَا؟ فَقَالَ:عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ. فَقُلْتُ: عَلَى رِسْلِكَ. قَالَ: وَجِئْتُ النَّبِي s , فَأَخْبَرْتَهُ, فَقَالَ: ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ مَعَ بَلْوَى تُصِيْبُهُ.قاَلَ: فَجِئْتُ فَقُلْتُ: أُدْخُلْ وَيُبَشِّرُكَ رَسُوْلُ اللهِ s بِالْجَنَّةِ مَعَ الْبَلْوَى تُصِيْبُكَ...<br />
…“Kemudian aku duduk kembali sambil mengatakan: Kalau Allah menghendaki kebaiakan bagi saudaraku maka pasti Allah akan mendatangkannya. Ada lagi seseorang datang, lalu dia gerak-gerakkan pintu, maka aku bertanya, “Siapa ini?” Dia menjawab, “Ustman bin Affan”. Aku katakan “Pelan-pelan saja!” Kata Abu Musa: Aku mendekati Nabi s lalu aku beritahukan tentang Utsman. Rasulullah saw menjawab, ”Suruh dia masuk dan beritahukan surga kepadanya serta cobaan-cobaan yang akan menimpanya”. Kata Abu Musa: Aku dekati Utsman bin Afan lalu aku katakan, ”Silahkan masuk dan Rasulullah s menyampaikan kabar genbira tentang surga kepadamu serta cobaan-cobaan yang akan menimpamu”...(Hr. Bukhari & Muslim)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah d<br />
<br />
<br />
أَنَا أَكْثَرُ النَّاسِ تَبَعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ, وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ يَقْرَعُ بَابُ الْجَنَّةِ.<br />
“Saya adalah orang yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat dan saya adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu surga.”(Hr. Muslim)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Siti Khadijah رَضِيَ اللهُ عَنْهَا<br />
<br />
<br />
“Sebaik-baik wanita penghuni surga adalah Khadijah binti Khuwalid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim, isteri Fir’aun.”(Hr. Ahmad & Abu Hatim dari Abu Hurairah)<br />
<br />
<br />
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ d قَالَ: أَتَي جِبْرِيْلُ النَّبِيَّ s فَقَالَ: يَارَسُوْلُ اللهِ! هَذِهِ خَدِيْجَةُ قَدْ أَتَتْكَ, مَعَهَا إِنَاءٌ فِيْهِ إِدَامٌ (أَوْ:طَعَامٌ, أَوْ شَرَبٌ), فَأِذَا هِيَ أَتَتْكَ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلاَمَ مِنْ رَبِّهَا عَزَّ وَجَلَّ وَ مِنِّي, وَبَشِّرْهَا بِبَيْتِ فِي الْجَنَّةِ مِنْ قَصَبٍ, لاَ صَخَبَ فِيْهِ وَلاَ نَصَبَ.<br />
Diriwayatkan dari Abu Hurairah d, dia berkata: Jibril datang kepada Nabi s lalu dia mengatakan, ”Ya Rasulullah ini dia Khadijah, dia datang kepada anda dengan sewadah lauk pauk (atau makanan, atau minuman). Ketika dia datang kepada anda ucapkan salam kepadanya dari Tuhannya dan dariku, serta beritahukan kepadanya bahwa rumahnya di surga yang terbuat dari emas dan perak tanpa ada kebisingan dan tanpa ada susah payah”. (Hr. Bukhari & Muslim) <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Siti Farimah رَضِيَ اللهُ عَنْهَا<br />
<br />
<br />
“Sebaik-baik wanita penghuni surga adalah Khadijah binti Khuwalid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim, isteri Fir’aun.”(Hr. Ahmad & Abu Hatim dari Abu Hurairah)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Maryam binti Imran رَضِيَ اللهُ عَنْهَا<br />
<br />
<br />
“Sebaik-baik wanita penghuni surga adalah Khadijah binti Khuwalid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim, isteri Fir’aun.”(Hr. Ahmad & Abu Hatim dari Abu Hurairah)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Asiyah binti <br />
Muzahim رَضِيَ اللهُ عَنْهَا<br />
<br />
<br />
“Sebaik-baik wanita penghuni surga adalah Khadijah binti Khuwalid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim, isteri Fir’aun.”(Hr. Ahmad & Abu Hatim dari Abu Hurairah)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Bilal bin Rabah d<br />
<br />
<br />
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ d قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ s لِبِلالٍ صَلاَةَ الْغَدَاةِ: يَابِلاَلٌ! حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ عِنْدَكَ فِي اْلإِسْلاَمِ مَنْفَعَةٌ, فَإِنِّي سَمِعْتُ الَّيْلَةَ خَشْفَ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ. قَالَ بِلاَلٌ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً فِي اْلإِسْلاَمِ أَرْجَى عِنْدِي مَنْفَعَةٌ مِنْ أَنِّي لاَ أَتَطَهَّرُ طَهُوْرًا تَامًّا, فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ وَلاَ نَهَارٍ, إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَالِكَ الطُّهُوْرِ مَا كَتَبَ اللهُ لِي أَنْ أُصَلَِّيَ. <br />
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah d, dia berkata: Rasulullah s pernah bertanya kepad Bilal ketika shalat subuh, ”Hai bilal katakan kepadaku apa amalanmu yang paling besar pahalanya yang pernah kau lakukan di dalam Islam, karena aku tadi malam mendengar derap sandalmu di hadapanku di dalam surga?” Kata Bilal, ”Aku tidak mengerjakan amal perbuatan yang paling besar pahalanya di dalam Islam selain aku bersuci dengan sempurna baik pada waktu malam ataupun siang hari hanya untuk mengerjakan shalat yang telah diwajibkan kepadaku oleh Allah dengan kesucian yang sempurna tersebut”. (Hr. Bukhari & Muslim)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Ummu Sulaim رَضِيَ اللهُ عَنْهَا<br />
<br />
<br />
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ d عَنِ النَِّبِّي s قَالَ: دَخَلْتُ الْجَنَّةَ, فَسَمِعْتُ خَشْفَةً, فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ قَالُو: هَذِهِ الْغُمَيْصَاءُ بِنْتُ مُلْحَانَ أُمُّ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ. <br />
Diriwayatkan dari Anas bin Malik d dari Nabi sbeliau bersabda: Aku masuk ke dalam surga, lalu aku dengar derap langkah yang cepat, kemudian aku tanyakan, “siapa ini?” Para penghuni surga menjawab, “Ini al-Ghumaisha’ binti Milham, ibu Anas bin Malik (Ummu Sulaim) (Hr. Ahmad & Abu Hatim dari Abu Hurairah)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Abdullah bin Salam d<br />
<br />
<br />
عَنْ عاَمِرِبْنِ سَعْدٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي يَقُوْلُ: ماَ سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ s يَقُوْلُ لِحَيِّ يَمْشِي: إِنَّهُ فِي الْجَنَّةِ إِلاَّ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمٍ.<br />
Diriwayatkan dari ’Amr bin Sa’ad dia berkata: Aku pernah mendengar ayahku mengatakan, ”Aku tidak pernah mendengar Rasulullah s mengatakan kepada seseorang yang berjalan, ‘Dia akan masuk surga’, melainkan kepada Abdullah bin Salam”. (Hr. Bukhari & Muslim)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Abu Musa al-’Anshari d<br />
<br />
<br />
فَقَالَ النَّبِيُّ s : أَللَّهُمَّ إِغْفِرْ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ قَيْسٍ ذَنْبَهُ, وَأَدْخِلْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُدْخَلاً كَرِيْمًا. <br />
...Nabi s berdoa, ”Ya Allah, ampunilah dosa Abdullah bin Qays (Abu Musa) dan masukkanlah dia pada hari kiamat ke tempat yang mulia (surga) (Hr. Muslim)Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-65578388499670725392010-09-02T20:08:00.001-07:002010-09-02T20:08:53.301-07:00quantum BelivingMEMAHAMI KEJADIAN MANUSIA<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Adalah anugerah yang sangat besar, bila kita sebagai hamba Allah dikarunia-Nya dapat memahami kejadian manusia, sebagaimana yang telah diterangkan di dalam al-qur`an. Karena tidak semua manusia diberi pengetahuan akan hal itu. Atau mungkin dia sangat mengerti akan proses tersebut, tapi menolaknya begitu saja. Atau, boleh jadi kejadian manusia dianggapnya sesuatu yang wajar-wajar saja.<br />
Yang jelas bagi kaum mukminin, anugerah Allah swt yang berupa dapat memahami kejadian manusia akan mendorongnya untuk berperilaku tauhid. Sedangkan perilaku tauhidullâh merupakan entry point pada pengamalan nilai-nilai syariah dan akhlak secara implementatif. Sementara, Allah azza wa jalla telah membekali kehidupan umat manusia dengan "fitrah yang berkembang", yakni berupa potensi takwa dan perilaku jujur. Disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
“Bertakwalah kepada Allah sesungguhnya takwa itu mengandung semua kebaikan…” (Hr.Abu Ya’la, dari sahabat Abu Sa’id ra).<br />
<br />
Dalam riwayat yang lain juga disabdakan, <br />
<br />
“Amal surga adalah jujur. Apabila seorang hamba berbuat jujur berarti ia telah bertakwa. Apabila ia bertakwa berarti ia beriman, dan apabila ia beriman berarti ia masuk surga. Amal neraka adalah dusta. Apabila seorang hamba berdusta berarti ia telah berbuat durhaka, dan apabila ia berbuat durhaka berarti ia telah ingkar. Apabila ia ingkar berarti ia masuk neraka” (Hr.Ahmad, dari sahabat Ibnu Umar ra).<br />
<br />
Artinya, manusia sebagai makhluk yang berjiwa, secara personal dia memiliki kejadian yang paripurna (fî ahsani taqwîm: qs.at-tîn; 4) dengan bentuk yang bagus (fa ahsana shuwara-kum: qs:at-taghâbun; 3). Inilah kemampuan dasar seorang hamba Allah yang harus di-quantum-kan kepada sebuah kepribadian berperikemanusiaan, yang di dalam al-qur`an disebut kepribadian râdliatam mardliah (Qs.al-Fajr: 28).<br />
Kepribadian râdliatam mardliah adalah sosok pribadi unggul dengan perilaku tenang (muthma`innah), yang tetap menjaga keseimbangan kehidupannya, baik dalam konteks kehidupan dunia maupun dalam konteks kehidupan akhirat. Hanya hamba Allah yang bertipologikan jiwa muthma`innah yang kelak diseru-Nya masuk ke dalam hizbun-Nya dan surga-Nya (Qs.al-Fajr: 29-30).<br />
<br />
Tahapan Penciptaan Manusia<br />
<br />
“Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah liat. Lalu, Kami jadikan dia air mani yang tersimpan dalam tempat yang kokoh sekali. Kamudian, dari air mani itu, Kami jadikan segumpal darah. Kemudian, segumpal darah Kami jadikan gumpalan (janin); dan gumpalan itu Kami jadikan tulang-belulang, sedangkan tulang itu Kami bungkus dengan daging. Lalu, Kami kembangkan menjadi makhluk lain lagi. Dan, Kami tidak melalaikan ciptaan Kami” (Qs.al-Mu`minûn: 12-14). <br />
<br />
Dari teks ayat al-qur`an tersebut di atas, maka dapatlah dipahami bahwa kejadian manusia dalam tingkatan prenatal (sebelum kelahiran, red) meliputi beberapa tahapan, sebagai berikut: Nutfah (tetesan atau setitik air); Alaqah (berbentuk seperti lintah); Mudghah (berbentuk seperti kunyahan); Idham (tulang-tulang atau tengkorak); kasaunal idham bil-idham (daging atau otot yang membungkus tulang-tulang); dan an-nasya’ (pembentukan janin yang nyata).<br />
Memahami kejadian manusia yang runtut lagi rapi tersebut, maka Allah ta'âlâ lalu bertanya kepada umat manusia. Dan, sudah barangtentu pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, <br />
<br />
“Mâ lakum lâ tarjûna-llâhi waqârâ, wa qad khalaqa-kum athwârâ;" mengapa kalian tidak percaya akan kebesaran Allah. Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kalian dalam beberapa tingkatan kejadian? (Qs.Nûh: 13-14).<br />
<br />
Dari sini jelaslah bahwa kejadian manusia tidak seluruhnya berasal dari air mani (nutfah). Sebaliknya, unsur Ilahiah-lah yang paling mutlak di balik kejadian umat manusia di kehidupannya. Terlepas umat manusia itu mau percaya atau tidak akan kejadiannya, karena sebagian dari mereka ada yang membutuhkan bukti-bukti nyata. Namun dengan jelas dan pasti bagaimana Allah telah menakdirkan kehidupan seorang hamba-Nya. Sebagai kaum mukminin, kita harus meyakini bahwa gambaran kongkrit tentang kejadian manusia di dalam Kitab Suci al-Qur`an merupakan fasilitas untuk semakin kokohnya perilaku tauhidullâh, di dalam kehidupan keseharian mulai bangun tidur sampai tidur kembali. Dan, tentunya hal ini berbeda sekali dengan pola kepribadian kaum kafirin dan kaum munafikin yang nyata-nyata mengingkari dan mengkhianati atas kejadian mereka.<br />
<br />
Manusia Itu Makhluk Seimbang<br />
Mengenai manusia sebagai makhluk yang seimbang, hal itu telah ditegaskan oleh Allah swt, <br />
<br />
“Wab-taghi fî mâ âtâka-llâhud dâral `âkhirata wa lâ tansa nashîbaka minad-dunyâ”; dan, carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat. Dan, janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (Qs.al-Qashash: 77).<br />
<br />
Secara prinsipil manusia telah dianugerahi Allah azza wa jalla sebagai makhluk bi-dimensional, yakni makhluk yang memiliki jiwa dan jasad, akal dan ruh, kemampuan dlahir dan kemampuan batin, kemampuan menangkap fenomena duniawiah dan kemampuan menangkap fenomena ukhrawiah. Sedangkan amanah yang di sandangnya, harus tetap dipraktekkan di kehidupan kesehariannya secara seimbang (balancing way). Karena hanya dengan keseimbangan di kehidupannya seorang hamba Allah telah memenuhi prinsip-prinsip kejadiannya. Keadaan inilah yang tidak dipunyai makhluk-makhluk Allah yang lainnya. <br />
Maka tidaklah benar, bahkan syariat Islam sangat melarangnya, bila ada seorang muslim yang begitu kelewat batas mencintai dunia melupakan masa depan akhiratnya. Atau pun sebaliknya, sangat mementingkan akhiratnya sehingga begitu saja menelantarkan kehidupan dunianya. <br />
Dinul Islam hanya menghendaki agar kaum muslimin benar-benar mengapresiasi di kedua kehidupannya tersebut. Sehingga dengan bekal ke-tauhid-annya seorang hamba kelak dapat mempertanggung-jawabkan segala kejadiannya di hadapan-Nya. Karenanya, Allah azza wa jalla menganugerahi fasilitas kepada segenap umat manusia berupa: intelligence, emotional, dan intuitional; semata untuk tetap memahami dan memahamkan di kehidupan keseharian seorang hamba supaya tetap berpedoman kepada al-qur`an dan al-hadis. Inilah yang disebut dengan kecerdasan wahyu (Revelation Quotient). Sebab, hanya seorang hamba Allah yang berkecerdasan wahyu yang dapat memiliki keseimbangan di dalam kehidupannya. Itu artinya manusia tersebut telah memenuhi prinsip kejadiannya sebagai makhluk yang seimbang.<br />
<br />
<br />
Manusia Itu Makhluk Serasi <br />
Keserasian hidup dalam kehidupan seorang hamba sangatlah ditentukan oleh adanya keseimbangan dalam melakukan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, yakni kebutuhan jiwanya dan kebutuhan tubuhnya. Oleh karena disebut berkepribadian serasi manakala pribadi itu telah melaksanakan hak dan kewajiban secara adil lagi hanif. <br />
Adapun hak dan kewajiban pribadi di dalam kehidupannya, antara lain: a).Memperhitungkan kemampuan tubuh; b).Menjaga kesehatannya; c).Memahami kekuatannya; dan d).Memenuhi segenap kebutuhannya dalam batas-batas yang diperkenankan oleh dinul Islam. Dan, di saat yang sama pribadi tersebut berpegang teguh pada tauhidullah dan akhlakul karimah, yang disertai dengan pengamalan kongkrit rukun iman dan rukun Islam di dalam kehidupan kesehariannya. <br />
Jadi, pribadi yang serasi merupakan sebuah pribadi mukmin, yang secara maksimal berusaha mengamankan potensi takwa dan perilaku jujur, guna mendapatkan anugerah Allah jalla jalâluh sebagai hamba-Nya yang berkepribadian râdliatam mardliah dengan kedudukan ruhani bernafsukan muthma`innah. Dapatlah dipahami bahwa pribadi yang serasi, ialah pribadi yang tidak tunduk-patuh kepada kekuatan hawa nafsu syahwatnya, sebaliknya ia tetap mereferensikan dirinya kepada al-qur`an dan as-sunnah; di samping tetap memenuhi hak dan kewajiban atas pribadinya. Sebagaimana firman-Nya, <br />
<br />
“Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya. Maka, apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau, apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak. Bahkan, mereka lebih sesat jalan” (Qs.al-Furqân: 43-44).<br />
<br />
Pribadi serasi adalah sosok pribadi yang indah, sebab pribadi tersebut bersifat manusiawi lagi memanusiakan manusia. Karena sosok pribadi ini benar-benar telah mengamalkan perilaku ihsan di keseharian kehidupannya secara implementatif lagi nyata. Dan hal ini sangat realistis di dalam ajaran Islam, di mana dinul Islam ajarannya bersifat lurus lagi penuh toleran. Seperti telah disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
“Bu'itstu bil-hanafiyyatis samhah, wa man khâlafa sunnatî fa-laisa minnî;” aku diutus dengan agama yang lurus lagi penuh toleran. Dan, barangsiapa yang menyalahi akan sunnahku, maka bukanlah ia dari umatku (Hr.al-Khathib; Kitâb al-Jamî'ush Shaghîr, Juz II, hal.185). <br />
<br />
Munculnya Konflik Kejiwaan<br />
Hampir setiap orang pernah mengalami konflik kejiwaan. Ada yang dapat mengatasinya. Ada yang frustasi terhadapnya. Bahkan, yang paling fatal ada juga yang berputus asa dari rahmat-Nya. Karenanya, dinul Islam sangat mengecam terhadap seorang mukmin yang suka mengambil jalan pintas atau perilaku instan, sebagai orang yang tidak sabar terhadap kehendak-kehendak Allah azza wa jalla.<br />
Biasanya konflik psikis terjadi lebih dikarenakan adanya dua "medan magnit" yang sama-sama memiliki tarikan yang kuat. Yang satu berkeinginan men-setan-kan orang, yang lain berkehendak untuk me-malaikat-kan orang. Padahal yang terbaik dan benar adalah sekali manusia tetap manusia yang menjadikan dinul Islam sebagai pegangan hidupnya. <br />
Jadi yang dikehendaki oleh-Nya adalah mewujudnya figur seorang ‘ibâdurrahman yang berkepribadian râdliatam mardliah (Baca buku alfaqîr yang berjudul "Pesona Ibadurahman", 2003, red). Bukan sebaliknya, sebuah kepribadian yang kotor dengan segala tipu muslihatnya, sehingga dengan mudah dan berani melakukan pengkhianatan-pengkhianatan atas "takwa tastemony"-nya. Inilah dua pribadi yang berbeda yang telah digambarkan oleh Allah swt di dalam al-qur`an yang seringkali mengalami konflik psikis. <br />
<br />
“Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Dan, adapun bagi orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya” (Qs.an-Nazi’ât: 37-41).<br />
<br />
Berdasarkan teks ayat tersebut di atas, maka konflik psikis dapat meliputi beberapa aspek, seperti: a).Konflik psikis antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual; b).Konflik psikis antara pemenuhan ibadah kepada-Nya dengan mengikuti hawa nafsu; dan c).Konflik psikis disebabkan pertentangan kehendak antara yang dlahir dengan yang batin. <br />
Namun cukup untuk dijadikan pijakan berpikir kita, bahwa sesuatu yang selain Allah tidak boleh dijadikan tempat bersandar, bergantung, dan berharap. Karena hal itu akan mendorong seseorang untuk melakukan pengingkaran-pengingkaran atas fitrahnya. Dan, inilah awal mula munculnya konflik psikis, karena diakui atau tidak, sampai kapan pun manusia tidak akan pernah dapat menata kehidupannya. Oleh karena bagi kaum yang mukmin kepada Allah azza wa jalla mereka diseru, <br />
<br />
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari dzikrullah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi” (Qs.al-Munafiqûn: 9). <br />
<br />
Bagi kaum mukminin terjadinya konflik psikis, hendaklah dipahaminya sebagai anugerah dari-Nya untuk maju dan melakukan lompatan-lompatan perubahan yang lebih konstruktif. Di sinilah fasilitas ketauhidan --seperti: emosi, intelejensia, dan spiritual-- yang telah dikaruniakan-Nya kepada manusia diuji, masihkah menjadikan al-qur`an dan al-hadis sebagai pedoman dan pembimbing kehidupannya. Atau malah sebaliknya, manusia itu menganggap bahwa kecerdasan emosi, kecerdasan intelejensia, dan kecerdasan spiritual sudah cukup untuk menyelesaikannya. <br />
Ingat, apalah artinya kecerdasan manusia, kepribadian manusia, dan kehendak manusia. Bila hal itu di banding dengan rahmat-Nya buat kita. Karena ternyata kecerdasan, kepribadian, kehendak, dan kejadian manusia itu sendiri; tidak lain adalah rahmat-Nya semata buat kehidupan umat manusia. <br />
<br />
“Wa qulil haqqu mir Rabbi-kum, fa man-syâ`a falyu`min wa man-syâ`a falyakfur”; dan katakanlah, ‘Kebenaran itu datangnya dari Rabb kalian. Maka, barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman. Dan, barangsiapa ingin (kafir), biarlah ia kafir…” (Qs.al-Kahfi: 29). []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
PERKEMBANGAN MANUSIA<br />
DALAM AL-QUR`AN<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Kitab Suci al-Qur`an sebagai blue print Ilahiah yang telah dimukjizatkan kepada Rasulullah saw, telah mengukuhkan kedudukan fase-fase perkembangan janin. Sebagaimana telah dinyatakan dalam firman-Nya surat al-mu`minûn ayat ke 12-14,<br />
<br />
“Kami telah menciptakan manusia dari sari pati tanah liat. Lalu, Kami jadikan dia air mani yang tersimpan dalam tempat yang kokoh sekali. Kamudian, dari air mani itu, Kami jadikan segumpal darah. Kemudian, segumpal darah Kami jadikan gumpalan (janin); dan gumpalan itu Kami jadikan tulang-belulang, sedangkan tulang itu Kami bungkus dengan daging. Lalu, Kami kembangkan menjadi makhluk lain lagi. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.” <br />
<br />
Bahkan di dalam surat az-zumar ayat ke-6 telah difirmankan-Nya, <br />
<br />
“Dia (Allah) menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan.”<br />
<br />
Dinyatakan pula dengan firman-Nya yang lain pada surat al-hajj ayat ke-5, <br />
<br />
“Wahai manusia, jika kalian dalam keraguan mengenai kebangkitan (dari kubur); maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kalian dari tanah. Kemudian, dari setetes air mani. Lalu, dari segumpal darah. Kemudian , dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kalian dan Kami tetapkan dalam rahim; segenap apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan. Lalu, Kami keluarkan kalian sebagai bayi. Kamudian (dengan berangsur-angsur) kalian sampailah kepada kedewasaan dan di antara kalian ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kalian yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya ia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya.” <br />
<br />
Dari teks ayat al-qur`an tersebut di atas, maka dapatlah dipahami bahwa kejadian manusia dalam tingkatan prenatal meliputi beberapa tahapan, sebagai berikut: <br />
1. Nutfah.<br />
Semenjak salah satu sperma suami membuahi ovum sang isteri, maka inilah fase awal dari pembentukan janin seorang anak manusia di proses kehamilan ibunya. Al-Qur`an menyebutnya sebagai fase nutfah, yakni kumpulan dari sperma dan ovum yang menetes; dan inilah yang lazim dikatakan dengan benih. <br />
Setelah berumur kurang lebih dua minggu, maka benih berubah dengan mengalami penambahan sel-sel yang telah dibuahi, al-qur`an menyebutnya sebagai fase alaqah.<br />
2. Alaqah.<br />
Di dalam fase ini, ovum yang dibuahi beralih tempat dari ovarium ke arah rahim dan menempel pada dindingnya. Lalu, selaput janin mulai terbentuk. Kemudian, terentanglah tali pusar yang menghubungan ovum yang dibuahi dengan si ibu, guna memperoleh sari makanan dari darah si ibu. Dari sinilah fase mudlghah terbentuk.<br />
3. Mudlghah.<br />
Di fase mudlghah (embryonic stage) segenap peralatan tubuh telah terbentuk, yang dalam istilah al-qur`an disebut, “Lalu dari segumpal daging yang sempurna dan yang tidak sempurna;” (tsumma min mudlghatim mukhallaqah wa ghairi mukhallaqah). <br />
Fase kehidupan janin ini berlangsung dari akhir minggu kedua sampai akhir bulan kedua. Di mana hal ini sebagai fase awal tahapan janin; yang al-qur`an menyebutnya sebagai fase idham (fetus stage). <br />
Pada fase ini janin sudah dapat dirangsang dengan kekuatan keyakinan ibunya, ayahnya, dan anggota keluarga batihnya. Dan inilah yang dikatakan dengan rangsangan internal (stimuli internal).<br />
4. Idham. <br />
Dalam fase idham ini janin mengalami perkembangan dan perubahan yang demikian sangat cepat, sampai pada akhirnya janin siap untuk dilahirkan ke alam dunia. <br />
Pada permulaan fase idham sel-sel tulang mulai terbentuk dan yang secara otomatis menggantikan sel-sel tulang rawan yang telah ada pada fase-fase sebelumnnya. <br />
Di fase ini janin sudah dapat dirangsang dari luar dengan menggunakan suara-suara yang lembut, atau sentuhan-sentuhan yang mengandung harapan. Inilah yang disebut rangsangan eksternal (stimuli eksternal). <br />
Menurut alfaqîr di usia kandungan inilah yang ideal sebagai awal dari pendidikan ketauhidan bagi seorang muslim. Disebabkan janin memiliki haknya untuk hidup bertakwa dan berperilaku jujur serta mendapatkan hak pendidikan dininya.<br />
5. Kasaunal Idham Bil Idham.<br />
Pada tahapan selanjutnya janin di dalam rahim sang ibu, secara sunnatullah akan terbungkus dengan kulit ketuban (amnion stage). Yang mana ia sangat berguna bagi perkembangan janin, baik dari getaran, tekanan, dan hentakan-hentakan yang dialami oleh sang ibu; baik rangsangan (stimuli) yang datangnya dari dalam, yakni hati dan kejiwaan (psikis) si ibu maupun stimuli yang datangnya dari luar kandungan si ibu. Seperti diisyaratkan-Nya, <br />
<br />
“Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina? Lalu, Kami letakkan ia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu yang ditentukan. Kemudian, Kami tentukan (bentuknya). Maka, Kami-lah sebaik-baik yang menentukan” (Qs.al-Mursalât: 21-23).<br />
<br />
6. an-Nasya’.<br />
Inilah fase terakhir dari kehidupan janin di dalam perut seorang ibu, hanya dengan takdir-Nya semata bayi akan siap lahir menghuni bumi sebagai pendatang baru.<br />
Demikianlah Allah swt menyebutnya sebagai tahapan di ketiga kegelapan kehidupan seorang manusia di dalam perut ibunya, yakni: a).Tahapan kegelapan perut (fase ovarium); b).Tahapan kegelapan plasenta (fase tuba fallopi); dan c).Tahapan kegelapan rahim (fase rahim). Sedangkan Nabi saw telah bersabda, <br />
<br />
“Sesungguhnya Allah ta’âlâ telah mengutus seorang malaikat untuk menangani rahim. Malaikat bertanya, 'Wahai Rabb, ia masih berupa nutfah. Wahai Rabb, ia telah menjadi alaqah. Wahai Rabb, ia telah berubah menjadi segumpal daging'.”<br />
Apabila Allah hendak menyelesaikan penciptaan rahim, malaikat bertanya, “Wahai Rabb, apakah ia celaka atau bahagia? Laki-laki atau perempuan? Bagaimana rizekinya? Dan kapan ajalnya?” Maka, hal tersebut dituliskan (ditetapkan) untuknya sejak ia berada dalam perut ibunya (Hr.Bukhari & Muslim, dari Anas bin Malik ra; MA. vin. hal.282).<br />
<br />
<br />
Pertumbuhan Pasca Kelahiran<br />
Diisyaratkan oleh Allah swt di dalam al-qur`an beberapa fase pertumbuhan manusia semenjak ia dilahirkan ke dunia, <br />
<br />
“Dia-lah yang menciptakan kalian dari tanah. Kemudian, dari setetes air mani; sesudah itu dari segumpal darah. Lalu, dilahirkannya kalian sebagai seorang anak; kemudian (kalian dibiarkan hidup) agar kalian sampai pada usia dewasa. Lalu, (dibiarkan kalian hidup lagi) sampai usia tua, di antara kalian ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami buat demikian) supaya kalian sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kalian memahaminya” (Qs.al-Mukminûn: 67).<br />
<br />
Dan, dinyatakan dalam surat ar-rûm ayat ke-54, <br />
<br />
“Allah, Dia-lah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah. Lalu, Dia menjadikan kalian sesudah lemah itu menjadi kuat. Kemudian, Dia menjadikan kalian sesudah kuat itu lemah kembali dan beruban. Dia menciptakan segala apa yang dikehendaki-Nya, dan Dia-lah yang Mahamengetahui lagi Mahakuasa.”<br />
<br />
Juga ditegaskan dalam firman-Nya, <br />
<br />
“Allah menciptakan kalian, lalu mewafatkan kalian. Dan, di antara kalian ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (usia lanjut), supaya ia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahakuasa” (Qs.an-Nahl: 70). <br />
<br />
“Dan, barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan ia dalam kejadiannya. Maka, apakah mereka tidak memikirkannya?” (Qs.Yâsîn: 68).<br />
<br />
Dari ketiga firman Allah swt tersebut di atas, maka dapatlah dipahami bahwa di kehidupan umat manusia --sudah barangtentu antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya ditakdirkan oleh Allah swt dengan kemampuan yang beragam-- manusia memiliki tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan di pasca kelahirannya, yaitu sebagai berikut:<br />
<br />
1. Masa Bayi.<br />
Adalah tahapan awal seorang Bani Adam menjejakkan kakinya di bumi Allah swt. Secara fisik ia masih dalam kondisi lemah, begitu pula secara psikis. Namun secara inderawiah, ia telah dibekali-Nya ketajaman indera pendengaran. Di sinilah syariat Islam mengajarkan, agar setiap bayi muslim yang terlahirkan di dunia, di telinga kanannya di-adzan-kan dan di telinga kirinya di-iqamah-kan. Demikianlah didikan tauhid awal yang harus ditanamkan di keluarga muslim.<br />
Dengan harapan dipertumbuhan inderanya yang begitu cepat, yakni mengalami perkembangan sensitifitas fungsional dari pendengaran, penglihatan, peraba, lisan, akal, dan hati. Masa bayi tetap dalam keteguhan didikan dan keteladan perilaku tauhid, adab, dan perilaku islamiah. Disebabkan di usia batita, ia hendak melakukan pengulangan dari didikan tauhid dan keteladan yang telah dilakukan kedua orang tuanya dan anggota keluarganya, utamanya di saat bayi masih berada di usia pra-janin. <br />
<br />
2. Masa Kanak-Kanak.<br />
Adalah masa di mana calon manusia itu mengalami proses peniruan dari orang-orang yang berada di sekitarnya (imitasi internal), atau sosok orang yang telah difigurkan oleh keluarganya (imitasi eksternal). <br />
Di sinilah peran orang tua dan anggota keluarga sangat menunjang di dalam memberikan pewenteran (sibghah) sosok kepribadian mukmin, dengan menradisikan keteladanan; terutama di dalam mengamankan fitrah takwa dan perilaku jujur.<br />
<br />
3. Masa Remaja.<br />
Adalah situasi kondisi kejiwaan sebelum mencapai kematangan. Biasanya ditandai dengan perilaku: reaktif, labil, sensitif, idealis, dan kehendak-kehendak yang besar. <br />
Di usia ini orang tua dan anggota keluarga sangat berperan dalam memperkuat karakter keteladanannya. Di samping harus mencarikan guru yang dapat mendampinginya di dalam proses menuntut ilmu pengetahuan diniah. Atau, memilihkan lembaga pengembangan keilmuan yang didukung dengan tradisi keilmuan yang mapan, yang diejawantahkan ke dalam: sikap, perilaku, kemampuan, keahlian, pembakatan, keimanan, dan keislaman.<br />
<br />
4. Masa Dewasa.<br />
Adalah situasi kejiwaan memasuki wilayah ketenangan dan kemapaman. Sudah tidak lagi terjadi perubahan cepat dan pergolakan batin yang cenderung meledak-ledak. Ia lebih dewasa, matang, dan cenderung sudah memiliki kepribadian. <br />
Akan tetapi masing-masing manusia memiliki kapasitas yang berbeda-beda. Hanya manusia yang melaksanakan hak dan kewajiban dinul Islam-nya ia akan berkemampuan dan mempunyai kompetensi yang tinggi dalam melakukan survival di kehidupannya.<br />
Meski demikian, kematangan psikis dan intelektualnya tetap harus melakukan pembelajaran atas hak dan kewajiban. Disebabkan kekuatan kejiwaannya dan kepribadiannya belumlah memiliki kematangan dalam pengalamannya (experiences).<br />
Oleh karena, orang tua, keluarga, dan guru sangat berperan di dalam menumbuh-cerdaskan kompetensi keberagamaannya; sehingga dinul Islam tidak dipahaminya sebagai pendekatan mistik (klenik), namun lebih dipahaminya sebagai “sang juru selamat” di dalam kehidupannya.<br />
<br />
5. Masa Tua.<br />
Di usia tua manusia sudah mulai mengalami penurunan, terutama dari aspek jasmani. Sehingga lambat laun diikuti oleh penurunan kualitas inderanya. Akan tetapi ia masih produktif dengan kekuatan estestika kepribadiannya yang telah mapan di usia dewasanya. <br />
Namun sebaliknya bila di usia dewasanya tidak mapan segenap kemampuan budi pekertinya, relijiusitasnya, dan keilmuannya. Maka, di usianya tersebut manusia memiliki kecenderungan besar akan berperilaku rancu dan kontra-produktif.<br />
<br />
6. Masa Usia Lanjut.<br />
Ini adalah masa yang sangat sulit bagi manusia yang telah diberi umur panjang oleh-Nya. Namun akan menjadi kekasih-Nya, bila ia mampu menjaganya dengan kemampuan ilmu diniah, meng-qur`an-kan hatinya, dan bagus akhlaknya. <br />
Apabila ketiga syarat itu tidak dimilikinya, maka ia akan menjadi manusia yang bermentalitas pikun. Sehingga segenap perilaku kekanak-kanakannya akan muncul kembali, dan jauh lebih rancu ketimbang seorang anak yang berada di usianya.<br />
<br />
Pertumbuhan Indera<br />
Difirmankan oleh Allah swt, <br />
<br />
“Dan, Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati; supaya kalian bersyukur” (Qs.an-Nahl: 78). <br />
<br />
Dari ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa bayi yang baru lahir sampai pada bulan keempat, sangat kuat di indera pendengarannya. Oleh karena logislah ajaran Islam yang menyariatkan adzan dan iqamah pada telinga kanan dan kiri terhadap bayi yang baru dilahirkan. Bahkan diriwayatkan, harus saling mendahului di dalam membisikkan sesuatu kepada telinga bayi yang baru lahir. Bisikan tauhid, atau bisikan setan; demikianlah sibghah awal sebagai calon seorang khalifah-Nya di muka bumi.<br />
Di usia awal kelahiran itulah bayi telah mampu merespon dengan baik sebuah rangsangan (stimuli) yang dihasilkan oleh bunyi-bunyian atau suara yang keras. Dan seterusnya mengalami perkembangan indera pendengarannya hingga mencapai kesempurnaannya pada umur tiga belas tahun lebih sedikit.<br />
Dan hal itu sangat berbeda dengan kemampuan indera penglihatan. Ia benar-benar dapat berfungsi pada penggal kedua tahun pertama dari usianya. Berdasarkan beberapa kajian fisiologis modern, di mana telah terbukti, bahwa anak-anak tidak mampu melihat sesuatu secara jelas dalam fase dini dari umurnya. Sebaliknya, bayi telah mampu mendengar suara-suara yang keras. Maka, dari bukti empiris itulah diletakkannya oleh Allah swt kata as-sam’u mendahului kata al-abshâr sangat masuk akal. Bahkan, oleh Allah swt, pendengaran di letakkan dalam posisi tunggal (singular): as-sam’u, sedangkan penglihatan dalam posisi jamak (plural): al-abshâr.<br />
Adapun penyebutan hati setelah penyebutan indera pendengaran dan indera penglihatan. Bahkan, oleh Allah diletakkan dalam posisi jamak (plural): al-af’idah dari singular: al-fu’adah. Mengandung banyak hikmah, khususnya bagi kemampuan penguasaan atas ilmu pengetahuan diniah. Disebabkan persepsi intelektual dapat terbentuk manakala kemampuan indera pendengaran dan indera penglihatan telah matang dalam berpersepsi. <br />
Karenanya, adalah tugas kita untuk tetap mengoptimalkan dan memaksimalkan kemampuan ketiga indera tersebut. Dikarenakan ketiga indera itu merupakan fasilitas hidayah dari-Nya buat umat manusia, agar mereka mendapatkan taufik-Nya. <br />
Artinya, dari ketiga indera tersebut di atas seorang hamba Allah harus dapat mengembangkan sekaligus mendayagunakannya secara konstruktif-positif. Hingga pada akhirnya seseorang hamba itu memiliki kepribadian râdliatam mardliah. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
KEPRIBADIAN MENURUT AL-QUR`AN<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Dinul Islam mengajarkan bahwa pribadi manusia merupakan pribadi yang bersifat Ilahiah. Sebab ruh seorang hamba adalah ruh yang siap menerima kilatan-kilatan Ilahiah. Begitu tingginya kedudukan ruhani seorang manusia di sisi Allah swt, sampai malaikat pun harus menghormatinya. <br />
<br />
“Maka, apabila telah Ku sempurnakan kejadiannya dan Ku tiupkan kepadannya ruh Ku. Hendaklah kalian (para malaikat) bersujud kepadanya” (Qs.Shad: 72). <br />
<br />
“Fa idzâ sawwaitu-hu wa nafakh-tu fî-hi mir-rûhî, fa-qa’û la-hu sâjidîna”; maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah Ku tiupkan ke dalamnya ruh Ku. Tunduklah kalian (para malaikat) kepadanya dengan bersujud” (Qs.al-Hijr: 29).<br />
<br />
Dari dua teks firman Allah azza wa jalla tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa kata “rûhî”, yang dalam bahasa Indonesia menjadi “ruh Ku”; sebenarnya adalah rûhun ilahiah, yaitu ruh yang bersifat ke-Ilahi-an. <br />
Artinya secara fitrah, ruh manusia memiliki lompatan (quantum) lebih cerdas ketimbang para malaikat-Nya. Apabila ia tetap berpegang pada kecerdasan wahyu. Namun bila meninggalkan atau menjauh dari pola kecerdasan wahyu, di saat yang sama, ia dapat jatuh ke dalam lembah kesesatan yang nyata. Bahkan tidak jarang meluncur ke dalam insting hewani (gharizatul-hayawan). <br />
Kesempurnaan kejadian manusia merupakan cerminan betapa sempurnanya kepribadian seorang hamba di sisi-Nya. Kenyataan ini oleh Allah swt diabadikan di dalam al-qur`an, <br />
<br />
“La-qad khalaq-nâl insâna fî ahsani taqwîmin”; sungguh benar telah Kami ciptakan seorang manusia dalam bentuk paripurna” (Qs.at-Tîn: 4).<br />
<br />
Akan tetapi sifat paripurnanya akan hancur berantakan manakala pribadinya tidak mempunyai perilaku takwallah. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya, <br />
<br />
“Tsumma radadnâhu asfala sâfilîn;” lalu, Kami kembalikan ia ke dalam suatu tempat yang sangat bawah (Qs.at-Tîn: 5).<br />
<br />
Kepribadian yang paripurna seorang hamba telah dimilikinya sejak di jaman alam ruh. Di mana saat itu Allah azza wa jalla sempat mentauhidkan para ruh, dengan pertanyaan-Nya, <br />
<br />
“Alastu bi rabbikum?” <br />
Maka, serta merta para ruh itu menjawabnya, “Qalû balâ syahidnâ” (Qs.al-A’râf: 172).<br />
<br />
Dialognya Allah dengan para ruh tersebut merupakan dialog ketauhidan. Yang mana sebelum Allah swt meniupkan ruh-Nya ke alam rahim di kehidupan para janin, Dia telah meminta kesaksian para ruh akan eksistensi ke-Ilahi-an-Nya. Dan, ternyata para ruh telah memberikan kesaksiannya. Inilah awal dari sebuah sikap takwa yang dibangun oleh para ruh. Sedangkan jawaban para ruh atas kesaksiannya tersebut adalah awal dari komitmen terhadap perilaku jujur.<br />
<br />
Bayi Lahir Berfitrah<br />
Setiap bayi yang lahir selalu memiliki potensi yang berkembang (fitrah). Berkembang ke arah konstruktif atau berkembang ke arah destruktif. Kesemuanya kata Nabi saw, kembali pada peran kedua orang tuanya dan lingkungan keluarga yang dipunyainya. Sedangkan Allah azza wa jalla sendiri telah mengiformasikan, bahwa sungguh berbahagialah para hamba yang membersihkan jiwanya. Dan, sungguh merugilah para hamba yang mengotori jiwanya (qad aflaha man zakkâhâ, wa qad khâba man dassâhâ, qs.asy-syams; 9-10).<br />
Dapatlah dimengerti bila setiap bayi yang terlahir ke alam dunia ini telah dibekali oleh-Nya potensi takwa dan perilaku jujur. Inilah yang di dalam al-qur`an disebut sebagai pribadi yang paripurna (ahsani taqwîm). Model pribadi ahsani taqwîm merupakan bentuk yang sangat cocok dengan pola kehidupan masyarakat dunia. <br />
Namun pola kehidupan dunia dengan segala tipu muslihatnya, seringkali menghancur-luluhlantakkan pribadi ahsani taqwîm. Padahal diharapkan dengan berbekal pada pola kepribadian ahsani taqwîm seorang hamba akan mampu melesat kepada pola kepribadian râdliatam mardliah (Qs.al-Fajr: 28).<br />
Tetapi kesemuanya tidak mudah, bekal nafsu yang diterima manusia dari Allah swt. Apabila tidak dididik dengan baik lagi benar. Maka, ia akan menjadi sumber kerancuan dan kerusakan kepribadian pemiliknya. Karena secara esensial nafsu syahwat selalu bersifat merusak, kecuali nafsu seorang hamba Allah yang telah mendapatkan rahmat-Nya (Qs.Yûsuf: 53).<br />
Demi menjaga keselamatan, keutuhan, dan ketahanan nafsu itulah Allah swt memberikan buku pandu keseharian, yakni al-qur`an. Sedangkan pengejawantahannya langsung diterjemahkan oleh Rasulullah Muhammad saw ke dalam perilaku harian beliau mulai bangun tidur sampai tidur kembali. Sampai-sampai Ibunda ‘A`isyah ra berkomentar, bahwa kepribadian Nabi saw adalah kepribadian al-qur`an. <br />
Jadi, kepribadian yang ingin melakukan lompatan dengan cepat, maka ia harus menjadikan al-qur`an dan as-sunnah sebagai pandu kecerdasan nalarnya. Sementara nalar manusia oleh Allah swt telah difasilitasi dengan emosional, intelegensia, dan spiritual. Dalam konsep ajaran Islam, emosional, intelegensia, dan spiritual hanya merupakan fasilitas dari Allah swt untuk melakukan ke-taqarrub-an dengan-Nya. <br />
Sedangkan kecerdasan intuisi, yakni kecerdasan yang terpolakan dengan wahyu (al-qur`an dan al-hadis) yang akan mampu menggerakkan fasilitas EIS (emosional, intelejensia, dan spiritual) di dalam berpikir, berbudaya, dan berperadaban. Dengan tetap pada garis perjuangan untuk melanjutkan perilaku jujur, sebagai perilaku bawaan dari alam ruh. <br />
Dapatlah dipahami bahwa seorang yang bersikap takwa maka ia akan berperilaku jujur. Sedangkan kejujuran marupakan buah dari ketakwaan. Bila ada seseorang yang mengaku telah bertakwa kepada Allah swt. Namun dalam perilaku kesehariannya tidak jujur, maka ia adalah seorang yang berperilaku nifak. Dan, tipologi orang macam ini oleh al-qur`an dicap sebagai orang yang berkepribadian munafik (dis-integreted of personality). <br />
Kenyataan telah membuktikan bahwa banyak orang telah menjadi pintar, namun kepandaiannya tidak dibarengi dengan perilaku jujur; apa jadinya? Banyak orang telah menjadi professional, tetapi tidak dibarengi dengan sikap takwa; apa jadinya? Banyak juga orang yang mengerti tentang agama Islam, bahkan tidak sedikit mereka telah memiliki "sebutan-sebutan suci", tetapi sekali lagi, tidak dibarengi dengan sikap takwa dan perilaku jujur; apa jadinya? <br />
Fenomena di atas telah melahirkan perilaku rancu di kalangan kaum muslimin, karena memang kaum muslimin telah mengidap penyakit ambivalensi terhadap dinul Islam. Perhatikan di sekeliling kita, banyak orang telah mengaku beragama Islam namun mereka tidak begitu mukmin. Sedangkan yang telah mengaku mukmin, dalam kenyataannya mereka belum begitu yakin dengan dinul Islam. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
MACAM-MACAM KEPRIBADIAN <br />
MENURUT AL-QUR`AN<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Manusia di dalam kehidupannya mempunyai pola keragaman kepribadian. Dari keragamaan kepribadian yang dimiliki oleh umat manusia itu, ia justru menjadi sosok makhluk Allah swt di muka bumi yang menarik untuk dicermati keberadaannya. Karena dari keragamaan kepribadiannya manusia diajak bernalar logis oleh Allah azza wa jalla, apakah ia menjatuhkan pilihan kehidupan yang benar, atau memilih pada pilihan-pilihan yang salah? <br />
Kitab Suci al-Qur`an telah menjelaskannya, bahwa berdasarkan akidahnya, umat manusia dibedakan ke dalam tiga pola kepribadian pokok, yakni: <br />
<br />
1. Kepribadian Orang Yang Beriman. <br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu: orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, orang-orang yang menunaikan zakat, orang-orang yang menjaga kemaluannya --kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas-- orang-orang yang memelihara amanah (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalat (fardlu)-nya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, yakni yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya” (Qs.al-Mukminûn: 1-11).<br />
<br />
2. Kepribadian Orang Yang Kafir. <br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Katakanlah, ‘Wahai orang-orang yang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian bukan penyembah Rabb yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah, kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah Rabb yang aku sembah. Untuk kalianlah ajaran kalian, dan untukkulah dinul Islamku’.” (Qs.al-Kâfirûn: 1-6). <br />
<br />
3. Kepribadian Orang Yang Munafik. <br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka bertanya, ‘Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasulullah’.” <br />
Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.<br />
Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai “perisai”. Lalu mereka menghalangi (menusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati. Karena itu mereka tidak dapat mengerti.<br />
Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan “kayu yang tersandar”. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka. Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?<br />
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagi kalian.” Mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri.<br />
Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka. Allah tidak akan mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik, yakni mereka orang-orang yang mengatakan, “Janganlah kalian memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin, red) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar --meninggalkan Rasulullah.” <br />
Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami. Mereka berkata, “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya.”<br />
Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin; tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. (Qs.al-Munâfiqûn: 1-8).<br />
<br />
Ketiga pola inilah yang sah untuk menilai seseorang hamba di dalam perilaku kehidupannya. Mukminkah? Atau kafirkah? Atau munafikkah? <br />
Namun sebelum melakukan penilaian atas orang lain, tentunya pertanyaan-pertanyaan itu juga sah-sah saja dipertanyakan buat dirinya sendiri. Seperti yang dilakukan oleh guru kita, KHA.Mustofa Bisri, dalam puisi “Islam”-nya, dibait terakhir beliau mengajak kepada segenap manusia untuk merenungi kembali dengan pertanyaan yang sangat mendasar, “Islamkah aku?”<br />
Diskripsi al-qur`an mengenai ketiga pola kepribadian manusia, semata memberikan pesan kepada segenap umat manusia, bahwa pada saatnya nanti Allah swt menilai para hamba-Nya dari komprehensif-integral kekuatan akidah Islamnya. Dengan demikian segala perintah dan larangan yang datangnya dari Allah swt, atau yang datangnya melalui Rasulullah saw, atau yang datangnya dari fatwa dinul Islam; kesemuanya bermuara pada pembangunan akidah dan bagusnya akidah Islam yang dimilikinya.<br />
<br />
Kepribadian Kaum Mukminin<br />
Di dalam al-qur`an banyak ayat yang telah menyifati perilaku kaum mukminin, bahkan secara jelas juga diterangkan mengenai karakter kemukminan seorang hamba. Akan tetapi menurut al-faqir secara pokok ada sembilan karakter yang sangat melekat dengan sebutan mukmin, yaitu:<br />
<br />
1. Karakter yang berkaitan dengan perilaku akidahnya.<br />
Kaum mukminin sangat komitmen lagi konsisten dengan pengamalan rukun Islam dan rukun iman secara implementatif.<br />
2. Karakter yang berkaitan dengan perilaku ibadahnya.<br />
Kaum mukminin sangat kuat dalam hal beribadah, seperti: menyembah Allah swt; shalat lima waktu; puasa ramadlan; menunaikan zakat mâl; jihad di jalan-Nya baik dengan harta benda maupun nyawa; bertakwa; selalu dzikrullah; selalu meminta maghfirah-Nya; taslim kepada-Nya; dan tilawah al-qur`an.<br />
3. Karakter yang berkaitan dengan mu’amalahnya.<br />
Kaum mukminin dalam berhubungan sosial dengan orang lain selalu: mendahulukan kepentingan orang lain; memaafkan kesalahan orang lain; suka berderma; suka bekerjasama; tidak suka meninggalkan jamaah kaum muslimin; memerintahkan kebenaran; mencegah kemungkaran; dan selalu menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak ada manfaatnya.<br />
4. Karakter yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaannya.<br />
Kaum mukminin selalu menjaga keharmonisan hubungan kekeluargaannya, baik dengan kedua orang tuanya, tanggung jawab terhadap anggota keluarganya, dan ikhlas membiayai ma`isyah keluarganya.<br />
5. Karakter yang berkaitan dengan adab dan akhlaknya.<br />
Kaum mukminin sangat menonjol dalam perilaku adab dan akhlaknya, seperti dalam perilaku: sabar; lapang dada; lurus; adil; melaksanakan amanah; menepati janji; menjauhi dosa besar maupun kecil; tawadlu’; istiqamah; mudawamah; tazkiatun nafs; memiliki kehendak yang kuat; dan mampu mengendalikan nafsu syahwat mereka.<br />
6. Karakter yang berkaitan dengan perasaan dan emosinya.<br />
Kaum mukminin senantiasa mempunyai sikap: mahabbatullâh; khasyatullâh; tidak berputus asa dari rahmatullah; hubbil khair; menahan marah dan mampu mengendalikan amarah mereka; tidak suka memusuhi orang lain dan menyakitinya; tidak dengki kepada orang lain; tidak sombong; suka bertaubat dan mempertahankan taubatan nasuha; dan penyayang.<br />
7. Karakter yang berkaitan dengan sifat intelektual dan pengetahuannya.<br />
Kaum mukminin memiliki kemauan yang suci lagi ikhlas di dalam menuntut ilmu pengetahuan diniah, di antaranya: mempunyai keinginan yang kuat lagi jujur dalam menuntut ilmu; selalu tafakkur dan tadabbur atas segenap ciptaan-Nya; tidak mengikuti sesuatu yang masih dugaan; teliti dalam segenap perilakunya; bebas dalam berpikir dan berakidah.<br />
8. Karakter yang berkaitan dengan kehidupan praktis, pragmatis, profesional, dan skill.<br />
Kaum mukminin di dalam kompetensi kehidupannya senantiasa mendahulukan: kejujuran; sempurna dalam bekerja; giat dalam berusaha; dan bersungguh-sungguh di dalam mencari rizeki yang halal.<br />
9. Karakter yang berkaitan dengan wujud fisiknya.<br />
Kaum mukminin memiliki bentuk tubuh yang selalu diusahakannya tetap dalam keadaan: Sehat; Bersih; Kuat; Suci; dan Terhindar dari najis.<br />
Manusia yang bertipologikan kepribadian mukminin sangat cocok untuk memegang kendali atas kehidupan umat manusia. Disebabkan mereka benar-benar mampu menjaga fitrah bawaan yang berupa prinsip takwa dan perilaku jujur. Bahkan, mereka juga telah mampu melesatkan kepribadiannya menjadi sebuah pribadi râdliatam mardliah dengan kedudukan nafsu mereka muthma`innah.<br />
Karenanya, kedudukan khalifah Allah di muka bumi merupakan warisan bagi kaum mukminin dari-Nya. Tidak hanya itu, seluruh fasilitas ke-Tuhan-an juga diwariskan kepada kaum mukminin. Sebagaimana telah difirmankan-Nya, <br />
<br />
“Lalu al-Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara para hamba Kami (isthafainâ min ‘ibâdinâ). Kemudian di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri (dhâlimul linafsi-hî) dan di antara mereka ada yang pertengahan (muqtashidun) dan di antara mereka ada (pula) yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan ijin Allah (sâbiqum bil-khairâti bi-idzni-llâhi). Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” (Qs.Fâthir: 32).<br />
<br />
<br />
Kepribadian Kaum Kafirin<br />
Secara jelas al-qur`an telah banyak mewartakan tipologi dan karakter kaum munafik. Namun secara pokok al-faqir mengelompokkannya ke dalam 7 kelompok karakter, antara lain: <br />
1. Karakter yang berkaitan dengan perilaku akidahnya.<br />
Kaum kafirin tidak mengimani rukun Islam yang lima dan rukun iman yang enam. Dengan kata lain mereka benar-benar secara nyata mengikari keberadaan tauhidullah.<br />
2. Karakter yang berkaitan dengan perilaku ibadahnya.<br />
Kaum kafirin dalam praktek ibadahnya mengambil selain Allah swt sebagai tempat berharap dan bersandar. Bahkan secara ekstrim mereka telah berani menafikkan peran Allah swt di dalam kehidupan mereka.<br />
3. Karakter yang berkaitan dengan hubungan-hubungan sosialnya.<br />
Kaum kafirin memiliki sikap dan perilaku yang: dlalim; suka bermusuhan; suka menghina; suka membenci; suka mengajak kepada yang mungkar lagi durhaka; dan suka menghalangi orang beriman untuk berbuat benar.<br />
4. Karakter yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaannya.<br />
Kaum kafirin memiliki sikap sosial yang menonjol, yaitu: gampang putus asa; gampang memutuskan silaturahmi; dan gampang memarahi kepada orang yang tidak disukai.<br />
5. Karakter yang berkaitan dengan adab dan akhlaknya.<br />
Kaum kafirin dalam berperilaku adab dan akhlaknya boleh dibilang telah cacat secara syar’i. Karena mereka lebih memilih kehidupan yang diwarnai dengan perilaku takabur, menuruti perintah nafsu syahwat, materialis, hedonis, suka berperilaku serong, dan suka mengingkari janji.<br />
6. Karakter yang berkaitan dengan perasaan dan emosinya.<br />
Kaum kafirin mempunyai watak pendengki dan suka hasud terhadap orang yang diberi kenikmatan dan anugerah oleh Allah swt. Mereka selalu berupaya dan berpikir, bahwa yang layak mendapatkan kenikmatan dan kemudahan adalah diri mereka.<br />
7. Karakter yang berkaitan dengan sifat intelektual dan pengetahuannya.<br />
Kaum kafirin memiliki pikiran yang statis (jumud), tidak mampu bernalar logis, tidak mampu berpikir runtut, kalbunya tertutup, taklid buta terhadap tradisi moyangnya, dan suka memperdayakan orang lain.<br />
Di dalam al-qur`an dengan jelas kaum kafirin itu digambarkan sebagai, <br />
<br />
“Khatama-llâhu ‘alâ qulûbi-him wa ‘alâ sam’i-him wa ‘alâ abshâri-him ghisyâwatunw wa la-hum ‘adzâbun ‘adhîmun”; (kaum) yang Allah telah mengunci mati hati, telinga, dan penglihatannya ditutup” (Qs.al-Baqarah: 7).<br />
<br />
Jelaslah, bahwa pribadi kaum kafirin tidak layak untuk mengemban suatu tugas amanah. Dan, tidak pantas untuk mendapatkan kepercayaan dari kaum mukminin.<br />
<br />
Kepribadian Kaum Munafikin<br />
Dari segi akidah, kepribadian orang munafik adalah kepribadian yang: lemah; peragu; ambivalensi; hipokrit; dusta, khianat; tidak tepat janji; tidak amanah; dan tidak memiliki sikap jelas lagi tegas terhadap masalah keimanannya kepada Allah swt. <br />
Guna mengecek diri kita sendiri, termasuk munafikkah atau tidak, maka sangat relevan 7 karakter yang alfaqîr susun sebagai alat kontrol buat kehidupan kita sehari-hari di dalam bertauhid atau berakidah supaya diri kita tidak termasuk hamba Allah yang berkepribadian munafik. Karakter itu antara lain:<br />
<br />
1. Karakter yang berkaitan dengan perilaku akidahnya.<br />
Kaum munafikin tidak memiliki sikap yang tegas terhadap akidah tauhid. Orang Jawa bilang, mereka itu adalah “orang yang ela-ilu”. Di saat kumpul kaum muslimin mereka menunjukkan "seolah-olah" muslim. Tetapi bila telah berkumpul dengan orang musyrik, mereka sangat tampak kemusyrikannya.<br />
2. Karakter yang berkaitan dengan perilaku ibadahnya.<br />
Kaum munafikin di dalam melaksanakan ibadah dengan setengah hati. Shalat yang didirikan mereka dengan sikap bermalas-malasan. Tetapi jika dihadapan banyak orang mereka ingin mendapatkan pujian, dengan kata lain perilaku mereka adalah riya`.<br />
3. Karakter yang berkaitan dengan hubungan sosialnya.<br />
Kaum munafikin hidupnya secara total digunakan untuk mempengaruhi orang lain, supaya orang lain tersebut melaksanakan kemungkaran dan kemaksiatan. Berbagai upaya selalu mereka lakukan agar diri mereka mendapatkan kepercayaan, misalnya: mulutnya manis; sering mengucapkan sumpah; suka merayu; menebar isu adu domba; biasanya berpenampilan meyakinkan; dan menghalalkan segala cara.<br />
4. Karakter yang berkaitan dengan adab dan akhlaknya.<br />
Kaum munafikin perilaku adab dan akhlaknya sangat buruk, contoh: khianat; mengharap pamrih; penakut; pembohong; kikir; hedonis; oportunis; penghamba nafsu syahwat; dan tidak percaya diri.<br />
5. Karakter yang berkaitan dengan perasaan dan emosinya.<br />
Kaum munafikin di kehidupannya tidak mau susah, mereka selalu mau enaknya sendiri dan selalu mau menangnya sendiri. Dalam kondisi yang bagaimana pun mereka tetap tidak mau disalahkan, dalam istilah alfaqîr, “Kaum munafik senantiasa berebut benar, sedangkan kaum mukminin selalu berebut salah.”<br />
6. Karakter yang berkaitan dengan sifat intelektual dan pengetahuannya.<br />
Kaum munafikin dalam kehidupannya tidak pernah sungguh-sungguh di dalam mendalami dan memahami suatu keilmuan. Sehingga ilmu yang di dapatkan mereka masih canggung, menurut istilah alfaqîr, “Kaum munafikin itu laksana buah ‘mangga krenggo’. Dikatakan masak, masih terasa masam. Dibilang mentah, bentuknya sudah masak.” <br />
Orang yang berkepribadian munafik adalah tipologi manusia yang tidak berkarakter. Oleh karenanya kaum munafikin sangat tidak cocok menjadi pemimpin, ulama, pejabat, anggota legislatif, pedagang, pengusaha. Dan dia bukan teman yang sejati untuk diakrabi. Allah sendiri kelak akan mengadzabnya dengan adzab yang pedih, seperti dijelaskan dalam firman-Nya, <br />
<br />
“Innal munâfiqîna fid-darkil asfali minan-nâri, wa lant-tajida la-hum nashîran”; sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan paling bawah dari neraka. Dan, sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan seorang penolong pun” (Qs.an-Nisâ`: 145).<br />
<br />
<br />
Terapi<br />
Kehadiran dinul Islam di muka bumi ini merupakan therapi buat kehidupan umat manusia, agar mereka menetapi jalan yang satu secara utuh. Tidak mengambil jalan lain yang merugikan diri sendiri dan makhluk lain. Sedangkan pedoman di dalam berjalan tersebut dibukukan dengan baik dan benar di mus-hab suci al-qur`an. <br />
Laksana seorang musafir. Musafir yang bijak selalu tidak melupakan bekal yang terbaik, dan bekal terbaik itu adalah kompas. Sedangkan kompas kehidupan adalah al-qur`an dan al-hadis. Wa-llâhu a’lamu bish shawâb. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
FUNGSI AKAL <br />
MENURUT AL-QUR`AN<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Keberadaan akal pada kehidupan umat manusia adalah merupakan fasilitas hidayah, di mana hal itu sangat berguna di dalam memperoleh taufik Allah swt. Oleh karena seorang manusia yang benar di dalam memanfaatkan fasilitas akalnya, maka ia akan menjadi manusia “cerdas yang berketuhanan”; demikian al-qur`an menyebutnya sebagai ulul albâb atau ulul abshâr. <br />
Demikian itulah, yang membedakan seorang manusia dengan makhluk Allah swt, yang disebut binatang. Disebabkan binatang di dalam kehidupannya lebih didominasi oleh kekuatan gharizah-nya, atau lebih bersifat instinktif; karena memang hayawan tidak diberi akal oleh Allah azza wa jalla. <br />
Jadi, seorang manusia yang di dalam kehidupannya tidak mengoptimalkan peran dan fungsi akalnya guna menerima hidayah-Nya --yang berujung pada perolehan taufik, maka ia lebih rendah ketimbang al-hayawan. Seperti telah disindirkan Allah swt kepada manusia golongan tersebut di atas, <br />
<br />
“Sesungguhnya binatang yang seburuk-buruknya di sisi Allah, ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa pun (alias tidak menggunakan akalnya, red)” (Qs.al-Anfâl: 22).<br />
<br />
“Atau, apakah kalian mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya” (Qs.al-Furqân: 44).<br />
<br />
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan segala apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia (Allah) suburkan bumi setelah tandusnya, serta Dia (Allah) sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, pengisaran angin, awan yang dikendalikan antara langit-bumi. Sungguh nyata kekuasaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang menggunakan akalnya” (Qs.al-Baqarah: 164).<br />
<br />
Dari ayat tersebut di atas, dapatlah dimengerti bahwa Allah jalla jalâluh memfasilitasi manusia berupa akal itu semata agar diguna-maksimalkan di dalam melakukan pemahaman atas setiap fenomena alam, dan detailisasi akan setiap firman Allah swt yang termaktub di dalam mushab al-qur`an. Dengan demikian keberadaan indera secara fungsional menjadi optimal. Akan tetapi optimalisasi akal dan indera manusia tetap berbuah pada kuatnya kemusliman-keimanan-keyakinan seorang hamba kepada Pencipta-Nya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,<br />
<br />
”Maka, apakah mereka tidak berjalan di muka bumi agar mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi adalah hati yang ada di dalam dada” (Qs.al-Hajj: 46).<br />
<br />
<br />
Fungsi Akal<br />
Paparan alfaqîr di atas secara naratif telah mendiskripsikan dengan jelas, bahwa akal merupakan fasilitas nalar logis yang berkekuatan, yang dianugerahkan oleh Allah swt kepada umat manusia sebagai alat berpikir dan alat untuk mempertimbangkan, serta memikirkan baik-buruknya sesuatu. <br />
Sedangkan kedudukan akal di kehidupan umat manusia bersifat ruhaniah, yang secara teologis akal sangat berguna untuk melakukan ijtihad. Artinya, bahwa dengan perilaku ijtihadi, seorang muslim dapat merumuskan segala sesuatu --terutama yang bersifat formalitas administratif syar’i yang tidak di-tafsili-kan secara rinci di dalam al-qur`an maupun al-hadis. <br />
Sehingga umat manusia --khususnya kaum mukminin, akan mendapatkan kemaslahatan dan kesejahteraan di dalam hidupnya; baik di kehidupan duniawiah maupun di kehidupan ukhrawiah.<br />
Bahkan, ajaran Islam memberikan jaminan kepada seseorang yang telah memenuhi syarat ijtihad dan melakukan ijtihad; bila ia salah mendapatkan pahala satu. Sebaliknya manakala ia benar di dalam ijtihadnya, maka ia mendapatkan dua pahala (Hr.Bukhari).<br />
Oleh karena dinul Islam sangat mendorong di dalam menggunakan akalnya di dalam kehidupan umat manusia. <br />
<br />
“Maka, hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air hujan. Lalu, Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Kemudian, Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu; anggur, sayur-sayuran, zaitun, pohon kurma, perkebunan, buah-buahan, dan rerumputan untuk kebahagiaan kalian dan untuk binatang-binatang ternak kalian” (Qs.’Abasa: 24-32).<br />
<br />
Oleh karena berdasarkan gejala dinamika sosial umat manusia, maka akal manusia berfungsi: <br />
1. Dlaruriah. <br />
Akal dapat difungsi-aktifkan dengan kuat lagi sungguh-sungguh yang bersifat mendesak guna untuk memelihara dinul Islam, jiwa, ruh, nasab, dan harta benda. <br />
2. Hajiah. <br />
Fungsi akal dapat dioptimalkan semata karena adanya kebutuhan untuk menolak kesulitan dan kesukaran. <br />
3. Tahsiniah. <br />
Dengan sekuat tenaga akal akan selalu dapat digunakan sebagai pendorong untuk melakukan yang lebih baik dari beberapa yang baik.<br />
Adalah suatu kenyataan bila di dalam menggunakan akal, manusia harus tetap di dampingi oleh wahyu (al-qur`an & al-hadis, red) dan Ilmu Pengetahuan Diniah (IPD); sehingga jalan keluar (problems solving) yang dihasilkannya benar-benar optimal. Disebabkan, buah dari kerja keras akal (ijtihad, red) adalah sejahtera dan maslahahnya kehidupan umat manusia. Demikianlah dinamika sosial umat terus berkembang dan berjalan bersama siklusnya hingga Hari Kiamat.<br />
Karena akal itu bersifat ruhaniah, maka adalah tugas kaum muslimin supaya menjaga akalnya dari: <br />
1. Kontaminasi nafsu syahwat yang korup dan dekaden.<br />
2. Tercampurnya perilaku maksiat dan durhaka di setiap kesempatan. <br />
3. Keserakahan, tiran, dan diktator karena kuatnya dorongan lingkungannya<br />
Tetapi sebaliknya, akal seorang muslim yang berkeimanan dan berkeyakinan, maka: <br />
1. Ia dengan akal budinya selalu mencari ridla-Nya.<br />
2. Dengan akal budinya ia bersih dari nafsu syahwat murahan.<br />
3. Dengan akal budinya ia bersih dari segala noda maksiat dan kedurhakaan. <br />
<br />
Langkah-Langkah Menggunakan Akal<br />
Adalah suatu pelajaran yang sangat berharga yang telah dididikkan buat kaum muslimin dari 'ibrah-nya Nabiullah Ibrahim as. Di mana dari kisahnya tersebut dapat diambil suatu hikmah, yakni cara berpikir yang ditempuh Nabi Ibrahmi as untuk sampai kepada makrifatullah; bahwa alam semesta ini yang menciptakan adalah Allah swt.<br />
<br />
Pertama. Kesadaran Akan Adanya Problematika.<br />
<br />
”Dan, (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada ayah angkatnya Azar, “Pantaskah ayah menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat ayah dan kaum ayah dalam kesesatan yang nyata.”<br />
Demikianlah, Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami yang terdapat di langit dan di bumi; supaya ia termasuk orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, Ibrahim melihat sebuah bintang; lalu ia berkata, “Inilah Rabbku.” <br />
Tetapi tatkala bintang itu tenggelam Ibrahim berkata, ”Aku tidak suka kepada yang tenggelam.”<br />
Lalu tatkala Ibrahim melihat bulan terbit, ia berkata, ”Inilah Rabbku”.<br />
Tetapi setelah bulan itu terbenam, ia berkata, ”Sesungguhnya, jika Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”<br />
Kemudian tatkala Ibrahim melihat matahari terbit, ia berkata, ”Inilah Rabbku, ini yang lebih besar.”<br />
Maka, tatkala matahari itu telah terbenam, ia berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada dinullah yang hanif. Dan, aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik” (Qs.al-An’âm: 74-79).<br />
<br />
Penggunaan akal (pemikiran, red) yang dilakukan Nabi Ibrahim as berawal, karena beliau as merasakan adanya problematika --dan di saat yang bersamaan terdapat juga dorongan yang kuat untuk memecahkannya. Hal ini dikarenakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya, yakni makrifatullah.<br />
<br />
Kedua. Menghimpunan Data Mengenai Problematika Yang Dihadapi.<br />
<br />
Lalu Ibrahim berkata, “Apakah kalian menyembah patung-patung yang kalian pahat itu?” (Qs.ash-Shaffat: 95). <br />
<br />
Setelah merasakan adanya problematika, maka Nabiyullah Ibrahim as berusaha untuk menggali data sebanyak mungkin dan sejelas mungkin. <br />
Memilih dan memilah data seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim as, sehingga masing-masing data dapat dikelompokkan menurut prioritasnya masing-masing, dengan harapan setelah data terkumpulkan secara prioritas, maka ia akan memiliki akurasi yang tepat. Sedangkan data yang tidak tepat tidak digunakan sebagai penarikan suatu hipotesa.<br />
<br />
Ketiga. Penyusunan Hipotesa.<br />
Nabi Ibrahim berkata, <br />
<br />
“Maka mengapa kalian menyembah selain Allah; sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak pula memberi madlarat kepada kalian? Ah, celakalah kalian beserta apa yang kalian sembah, selain Allah. Apakah kalian tidak memahaminya?” (Qs.al-Anbiyâ`: 66-67).<br />
<br />
Setelah Nabi Ibrahim as mengumpulkan dan menglasifikasi segenap data dan informasi, maka di benak pikiran beliau as telah terlintas banyak problems solving atau banyak hipotesa yang dapat di simpulkan secara sementara. Dengan harapan hal itu akan menjadi jalan keluar yang terbaik bagi diri dan kaumnya.<br />
<br />
Keempat. Penilaian Terhadap Hipotesa.<br />
Nabi Ibrahim melihat sebuah bintang; lalu ia berkata, “Inilah Rabb-ku.” <br />
Tetapi tatkala bintang itu tenggelam Ibrahim berkata, “Aku tidak suka kepada yang tenggelam.”<br />
Lalu tatkala Ibrahim melihat bulan terbit, ia berkata, “Inilah Rabbku.”<br />
Tetapi setelah bulan itu terbenam, ia berkata, ”Sesungguhnya, jika Rabb-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”<br />
Kemudian tatkala Ibrahim melihat matahari terbit, ia berkata, “Inilah Rabb-ku, ini yang lebih besar.”<br />
Maka, tatkala matahari itu telah terbenam, ia berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan….”<br />
<br />
Kesadaran Nabi Ibrahim as akan kekeliruannya di dalam penyembahan, yakni terhadap bintang, bulan, dan matahari; tidak kepada Allah azza wa jalla. Dan bagi seorang Ibrahim, berhala, bintang, bulan, dan matahari memang tidak layak untuk disembah dan dijadikan sesembahan buat dirinya juga orang lain (umat manusia, red). <br />
Di saat itu munculah desakan yang sangat kuat akan lahirnya suatu problematika dalam dirinya, sehingga jiwa beliau as mengalami gejolak yang sangat hebat. Hingga pada akhirnya lahirlah pertanyaan, “Siapakah Rabb alam semesta?”<br />
<br />
Kelima. Pengujian Kebenaran Hipotesa.<br />
<br />
“Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami yang terdapat di langit dan di bumi. Dan Kami memperlihatkannya agar ia termasuk orang-orang yang yakin.” (Qs.al-An’âm: 75).<br />
<br />
Akhirnya Nabi Ibrahim as membuang hipotesanya yang salah, karena terlalu gegabah dan ceroboh, disebabkan belum melakukan pengamatan dan penelitian secara seksama terhadap segenap fenomena tetapi beliau as langsung menyusun hipotesanya. <br />
Namun setelah menyadari hipotesanya salah, maka ia mengadakan revisi atas hipotesanya dengan mengatakan, <br />
<br />
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada dinullah yang hanif. Dan, aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik” (Qs.al-An’âm: 79).<br />
<br />
<br />
Adab Menggunakan Akal<br />
Pada Lembar Jum’at Nasional al-Fath, nomer ke-80, tahun III/2002M-1423H; alfaqîr telah menulis kegunaan dan kedudukan akal, dengan judul “Adab Menggunakan Akal”. Yang secara garis besar dapat alfaqîr simpulkan sebagai berikut:<br />
1. Akal Digunakan Untuk Memahami Kekuasaan-Nya. <br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa” (Qs.al-Anbiyâ`: 22). <br />
<br />
2. Akal Digunakan Untuk Memahami Ayat-Ayat al-Qur`ân. <br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka segenap ayat Kami di seluruh ufuk (penjuru alam semesta, red); dan pada diri mereka sendiri, hingga jelaslah bagi mereka bahwa al-qur`an itu benar….” (Qs.Fushshilat: 53). <br />
<br />
3. Akal Digunakan Untuk Memahami Fenomena Alam Semesta Sebagai Hasil Ciptaan-Nya. <br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Maka, hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan? Ia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi lelaki dan tulang dada perempuan” (Qs.ath-Thâriq: 5-7). <br />
<br />
4. Akal Digunakan Untuk Mengembangkan Kreatifitas, Namun Kreatifitas Akal Sangatlah Terbatas. <br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Katakanlah, ‘Ruh itu adalah urusan Rabbku, tidaklah kalian diberi ilmu pengetahuan diniah melainkan mutlak sedikit’.” (Qs.al-Isrâ`: 85). <br />
<br />
5. Akal Digunakan Untuk Memahami Kebenaran. <br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“…Sebab itu sampaikanlah berita gembira kepada para hamba Ku yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang memiliki akal” (Qs.az-Zumar: 18). <br />
<br />
6. Kedudukan Akal Manusia Adalah Bersifat Nisbi. <br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Dan, mengapa mereka tidak memikirkan kejadian diri mereka sendiri? Allah tidak menjadikan langit dan bumi, serta segenap apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan….” (Qs.ar-Rûm: 8). <br />
<br />
7. Kedudukan Akal Manusia Bersifat Terbatas. <br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Dia (Allah) mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka. Dan, tidaklah mereka dapat meliputinya dengan ilmunya” (Qs.Thâha: 110). <br />
<br />
Dengan pencapaian ilmu pengetahuan diniah yang telah di ijinkan oleh Allah swt, akal dapat digunakan untuk memahami peristiwa metafisik (Qs.al-An’âm: 74-79). <br />
<br />
8. Daya Kerja Akal Supaya Tetap Optimal, Maka Harus Selalu Didampingi & Berdampingan Dengan Wahyu (al-qur`an & al-hadis, red). <br />
<br />
Telah difirmankan Allah swt, <br />
<br />
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka segenap ayat Kami di seluruh ufuk (penjuru alam semesta, red); dan pada diri mereka sendiri, hingga jelaslah bagi mereka bahwa al-qur`an itu benar….” (Qs.Fushshilat: 53).<br />
<br />
<br />
Sikap Seorang Mukmin Terhadap Akal<br />
Dari apa yang telah alfaqîr sampaikan di atas, maka seorang mukmin harus memiliki sikap yang benar terhadap akalnya, yakni:<br />
1. Harus commitment & consistent (CC), bahwa akal hanyalah alat syariat guna melaksanakan wahyu-Nya dalam kehidupan sehari-hari. <br />
2. Akal harus mampu mendorong pemiliknya, supaya CC terhadap perilaku sami’nâ wa atha’nâ tsummas tatha’nâ. <br />
3. Akal harus mampu mendorong pemiliknya, supaya CC terhadap kemutlakkan wahyu. <br />
4. Kemampuan akal manusia adalah terbatas lagi bersifat nisbi dan berubah-ubah, sedangkan eksistensi senantiasa dapat diperbaharui. <br />
5. Harus CC, bahwa fungsi akal merupakan fasilitas hidayah guna melahirkan sikap dan perilaku yakin pada kepribadian muslim-mukmin; terhadap kebesaran dan kekuasaan-Nya. <br />
6. Harus CC, bahwa fungsi akal salah satunya adalah memaksimalkan yang maslahah dan meminimalkan yang madlarat. <br />
7. Harus CC, bahwa reproduksi penalaran logis akal sehatnya sejalan dengan wahyu. <br />
8. Harus CC, bahwa reproduksi penalaran logis akal sehatnya dimaksimalkan untuk mendorong terciptanya suasana dan perilaku ijtihadi, bila telah terjadi kemandegan (jumud) di dalam melakukan reaktualisasi, purifikasi, dan dinamisasi tradisi hukum Islam. <br />
9. Harus CC, bahwa akal berkewajiban memahami yang mujmal (umum). Disebabkan adalah merupakan hak syariat untuk menentukan hukum-hukum yang tafsili (rinci). <br />
10. Harus CC, bahwa adakalanya akal harus mengakui terdapat beberapa hal yang ia tidak mampu memahami muatan-muatan syariat. <br />
11. Secara prinsipil asas hukum itu merupakan kebolehan (ibahah), sampai Allah swt menurunkan syariat yang melarangnya. <br />
12. Akal merupakan sumber hukum yang tidak berdiri sendiri melainkan produk hukum yang dicapainya adalah kenisbiannya di dalam memahami al-qur`an & al-hadis.<br />
Sebaliknya seorang mukmin harus menghindarkan dirinya dari berpikir salah dan rancu, di antaranya:<br />
a. Keberadaan akalnya mengingkari eksistensi-Nya, rasul-Nya, kitab suci-Nya, sirah nabawiah, para sahabat nabi, dan Ilmu Pengetahuan Diniah (IPD). <br />
b. Keberadaan akalnya diberdayakan untuk memaksimalkan yang madlarat, merusak, menipu, dan merekayasa. <br />
c. Keberadaan akalnya secara sistematis digunakan untuk memanipulasi peran dan eksistensi wahyu-Nya. <br />
d. Keberadaan akalnya digunakan untuk melawan syariatullah. <br />
e. Tidak dibenarkan akal mengharuskan-Nya dalam hal-hal tertentu. <br />
f. Adalah suatu kesalahan besar bila mengganggap bahwa penalaran logis akal sehat merupakan suatu kemutlakkan; terutama di dalam menafsirkan al-qur`an dan al-hadis. Disebabkan manusia bukanlah shahibusy syar’i, seperti Allah swt dan rasul-Nya. <br />
Karena akal adalah anugerah yang sangat berharga buat manusia, hingga pada akhirnya seorang manusia memiliki mahkota keimanan, etos kerja keislaman, dan wacana ilmu pengetahuan diniah. Dan, tidak ada makhluk yang paling kufur nikmat di alam semesta ini, kecuali manusia yang tidak memaksimalkan peran dan fungsi akalnya di dalam mendapatkan kedalaman misi dan visi tauhidullah.<br />
Adalah tidak benar bila dinul Islam memasung kreatifitas kaum muslimin untuk berdaya, guna menjadikan manusia unggul yang memiliki jatidiri dan citra diri sebagai seorang qualified human. Sebab, kaum mukminin merupakan komunitas unggul dengan kehidupan yang mapan lagi sejahtera, berdaya guna dan berdaya juang dengan penuh commitment & consistent. Sehingga relijiusitas kemuslimannya berkemampuan untuk melayani umat manusia dengan semangat penuh pengabdian kepada Allah jalla jalâluh(Lihat Lembar Jum’at Nasional al-Fath, nomer ke-92, tahun III/2003M-1423H). [] <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
KEDUDUKAN ILMU <br />
MENURUT AL-QUR`AN<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Ilmu adalah fasilitas berpikir bagi umat manusia. Sedangkan berpikir merupakan fasilitas manusia untuk meningkatkan keimanan dan keislaman mereka. Sebagaimana kita ketahui, Allah azza wa jalla telah menganugerahi kepada umat manusia berupa fasilitas akal dan indera. Artinya, dinul Islam secara teologis hendak memberikan pesan kepada segenap umat manusia, bahwa kejadiannya yang azali dan asasi adalah tersempurnakannya manusia dengan “sikap takwa” dan “perilaku jujur” (Baca MAYAra Edisi 02/Th.I, hal. 2, “Quantum Believing”).<br />
Sementara dalam konteks dunia, manusia harus mampu mempertahankan kejadian fitrinya yang telah diparipurnakan oleh-Nya. Dan, oleh Allah swt manusia guna mempertahankan survival-nya telah dikaruniai-Nya dengan segenap perangkat yang berupa fasilitas-fasilitas hidayah, supaya seorang hamba Allah dalam kondisi yang bagaimana pun tetap dapat melakukan pengabdian dan keharmonian di kehidupan dunianya yang fana. <br />
Oleh karena, fasilitas-fasilitas hidayah yang berupa: indera, akal, ilmu, dan wahyu; harus dimaksimalkan kedudukannya secara fungsional, dalam rangka meningkatkan iman dan takwallah. Dari meningkatnya sikap dan perilaku keimanan atau ketakwaan, maka akan lahir sikap dan perilaku tauhid yang matang lagi mapan. Sedangkan tauhid yang tangguh adalah benteng kokoh dan dasar yang hebat untuk dapat tegaknya sebuah “bangunan keislaman” seorang hamba di muka bumi. Adapun dinul Islam akan dapat berjalan secara implementatif bila seorang muslim telah dapat berlaku jujur (tidak bohong, red). <br />
Di sinilah kedudukan ilmu menjadi sangat penting di kehidupan seorang muslim. Karena memaksimalkan peran akal dan indera di dalam berolah pikir guna meningkatkan iman dan takwa merupakan kewajiban bagi seorang muslim. Dan, kedudukan ilmu menjadi bagian tak terpisahkan di dalam memfasilitasi seorang hamba Allah di dalam melakukan olah pikirnya. Sebab itu, Allah azza wa jalla memberikan kedudukan yang berbeda antara hamba yang berilmu pengetahuan diniah dengan yang tidak memilikinya. Pun pula berbeda derajatnya di sisi-Nya, seorang hamba yang memiliki ilmu pengetahuan diniah lagi diamalkan dengan seorang hamba yang ilmunya tidak diamalkannya. Kata Allah swt dalam firman-Nya, <br />
<br />
“Yarfa’il-Lâhul ladzîna âmanû minkum wal-ladzîna ûthul ‘ilma darajât;” dinaikkan oleh Allah kedudukan orang yang beriman lagi berilmu pengetahuan beberapa derajat di antara kalian (Qs.al-Mujadalah: 11). <br />
<br />
Bahkan secara jelas Allah ta'âlâ mempersilahkan kepada segenap umat manusia, baik dengan asumsinya atau melihat kenyataan empirisnya mengenai keberagamaan kedudukan umat manusia, bila dilihat berdasarkan kualitas keilmuannya. <br />
<br />
“Undhur! kaifa fadl-dlalnâ ba’dlahum ‘alâ ba’dlin;” perhatikan, bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain (Qs.al-Isrâ`: 21). <br />
<br />
Di sinilah kaum mukminin harus mengimani lagi memahami ayat, <br />
<br />
"Narfa’u darajâtim man nasyâ`u wa fauqa kulli dzî ‘ilmin ‘alîmun;” Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki. Dan, di setiap orang yang berilmu pengetahuan masih ada Dzat yang Mahamengetahui (Qs.Yûnus: 76.<br />
<br />
Dari ketiga ayat tersebut di atas, kaum mukminin harus yakin, bahwa seorang hamba Allah yang telah berilmu pengetahuan diniah kedudukannya di sisi Allah swt akan berbeda dengan para hamba Allah yang tidak berilmu pengetahuan. <br />
Di dunianya saja sangat berbeda jauh status sosialnya, antara yang berilmu pengetahuan diniah dengan yang pintar. Bandingkan dengan para sarjana dengan segala titelnya. Bandingkan dengan para ulama dengan segala sebutannya. Yang pasti Allah azza wa jalla hanya menerima ilmu pengetahuan yang didasarkan semata mencari ridla-Nya. <br />
Wal hasil, ilmu tersebut dapat mengantarkan kepribadian para pemilikinya memiliki nafsu muthma`innah dan berkepribadian râdliatam mardlîah. Bila hal ini tidak dimiliki oleh seorang ahli ilmu, maka ia akan tersesat dan kelak di sisi-Nya tergolong menjadi hamba Allah yang merugi. <br />
<br />
Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan Diniah<br />
Bagi kaum mukminin al-qur`ân, al-hadîs, dan al-'âlam merupakan segenap sumber berpikir, disebabkan ayat-ayat-Nya yang terhampar untuk dipahami umat manusia guna mendapatkan kebesaran dan kekuasaan Allah swt, yang mana ayat-ayat itu terdiri dari “ayat qauliah” dan “ayat kauniah”. Bila al-qur`ân dan al-hadîs adalah ayat qauliah, maka al-‘âlam merupakan ayat kauniah. <br />
Namun prinsipnya jelas, seluruh keilmuan yang telah dimiliki oleh seorang hamba harus bermuara pada terjadinya “keharmonian” kehidupan umat manusia, dan “kemakrifatan” dengan Rabb-nya. Karenanya, Allah azza wa jalla menegur umat manusia yang perilaku dis-harmoni dan ghafil ‘indal-ma’rifah dengan firman-Nya, <br />
<br />
“Mereka hanya mengetahui yang dhahir saja dari kehidupan dunia, sedangkan mereka tentang kehidupan akhirat adalah lalai” (Qs.ar-Rûm: 7).<br />
<br />
Secara garis besar sumber ilmu pengetahuan diniah dapat dibedakan, antara: sumber-sumber yang bersifat Ilahiah dan sumber-sumber yang bersifat insaniah. Demikian halnya dengan mempelajari kedudukan Rasulullah saw sebagai shâhibusy syar’i (pembuat undang-undang, red), harus dilihat kedudukan Nabi saw dalam dua aspek: aspek nubuwah dan aspek basyariah. <br />
Artinya, dilihat dari sudut kenabian segala apa yang telah beliau ucapkan (qauliah), amalkan (‘amaliah), setujui (taqririah), dan di-himmah-kan; umat manusia harus sami’nâ wa atha’nâ tsummas tatha’nâ (taken for grented). <br />
Sebaliknya, bila ditinjau dari sebagai seorang manusia, asumsi beliau merupakan ruang gerak akal untuk melakukan: penelitian, penemuan, pengkajian, dan percobaan. <br />
<br />
Dikisahkan oleh sahabat Thalhah bin Abdullah ra, aku bersama Rasulullah saw melewati suatu kaum yang tengah berada di puncak pohon kurma. Lalu, beliau bertanya, “Apa yang tengah diperbuat mereka?”<br />
Para sahabat menjawab, "Mereka sedang melakukan penyerbukan, dengan menjadikan yang jantan pada yang betina, lalu ia dikawinkan.”<br />
Nabi bersabda, “Apa yang aku duga hal itu tidak bermanfaat sedikit pun.”<br />
Thalhah berkata, “Maka, mereka diberi tahu atas hal itu, dan mereka meninggalkannya.”<br />
<br />
Lalu diinformasikan kepada Rasulullah saw akan kegagalan panen mereka pada tahun itu. Maka beliau bersabda, <br />
<br />
“Jika penyerbukan itu bermanfaat bagi mereka, maka biarkanlah mereka mengerjakannya. Karena sesungguhnya aku hanya menduga berdasarkan asumsi, di mana janganlah kalian --secara mutlak-- mengambil contoh atas tindakanku yang berdasarkan pada asumsi. Akan tetapi, jika aku berbicara kepada kalian tentang Allah ta’âlâ, walau hanya sedikit. Maka, ambillah ia. Karena sesungguhnya aku tidaklah akan pernah berdusta kepada Allah swt” (Hr.Muslim; syarah Imam Nawawi, Bab “Fadla`il”, Juz XV, hal.116-117). <br />
<br />
Dalam riwayat yang lain diterangkan, Nabi saw bersabda, <br />
<br />
“Kalian lebih mengetahui perkara-perkara dunia kalian” (Hr.Muslim; syarah Imam Nawawi, bab “Fadla`il”, Juz XV, hal.118). <br />
<br />
Dari sini jelas, bahwa Rasulullah saw sebagai shâhibusy syar’i telah memberikan ruang gerak akal umat manusia untuk selalu melakukan reproduksi pemikiran dalam proses belajar-mengajar, dengan jalan: penelitian, penemuan, pengkajian, dan percobaan; sebagai jawaban-jawaban baru bagi situasi-situasi baru yang terjadi di kehidupannya. Juga sebagai solusi bagi setiap kali munculnya berbagai problematika hidupnya. <br />
Demikianlah dinul Islam mengakui kedudukan ilmu pengetahuan diniah, begitu seimbang dan harmoninya kehidupan seorang muslim manakala mereka mau mengikuti jejak Rasulullah saw. Perhatikan bagaimana kehidupan para sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in, salafush-shâlih, ulama`ullah, dan shâlihîn memandu kehidupannya dengan pola menejeman kecerdasan intuisional (In-Q). <br />
Inilah sebuah napak tilas reproduksi keilmuan yang telah diajarkan oleh Nabiullah Idris as (Lihat Bagan Reproduksi Pemikiran Nabi Idris; juga baca MAYAra Edisi 06/Th.I, hal.22-23, “Kisah Nabi Idris”).<br />
<br />
Kunci Ilmu Itu Bahasa<br />
Dalam surat al-baqarah ayat ke 31-33 disebutkan, <br />
<br />
“Dan, Dia (Allah) telah mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya.” Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, “Sebutkanlah kepada Ku nama-nama benda itu jika kalian memang yang benar?”<br />
Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau-lah yang Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.”<br />
Allah berfirman, “Wahai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.”<br />
Maka setelah diberitahukan kepada mereka nama-nama benda itu, lalu Allah berfirman, “Bukankah sudah Aku katakan kepada kalian, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, serta mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan.”<br />
<br />
Allah azza wa jalla telah menuntun kaum muslimin dengan kisah Nabiullah Adam as. Di mana Nabi Adam as di sisi-Nya telah didudukkan sebagai makhluk yang berderajat karena keilmuan yang telah dimilikinya. Sedangkan keilmuan Nabi Adam as sendiri entry point-nya adalah pembelajarannya atas kemampuannya berbahasa yang telah dianugerahkan-Nya kepadanya. Di sinilah para malaikat memberikan penghormatan karena kedudukan Nabi Adam as, yang secara keilmuan dapat dipertanggung-jawabkan di sisi-Nya.<br />
Sementara iblis tidak mau memberikan penghormatan kepada Nabi Adam as, karena memang iblis telah digelayuti rasa hasud dan dengki terhadap Nabi Adam as. Sehingga mereka lebih memilih jalan kesombongan yang berakhir dengan terkutuknya segenap keluarga dan anak keturunannya dari sisi-Nya (Baca MAYAra Edisi 05/Th.I, hal.4-5, “Kisah Nabi Adam”).<br />
Memang secara tekstual yang dimaksud bahasa adalah simbol komunikasi dua arah. Akan tetapi yang dimaksud dengan bahasa sebagai kunci ilmu pengetahuan diniah, adalah kemampuan seorang hamba di dalam membentuk sekaligus membangun sebuah konsep di dalam kehidupannya; sekali pun telah melewati batas-batas waktu dan tempat, demikianlah reproduksi pemikiran manusia akan terbentuk. <br />
Dan, akan lebih dahsyat lagi perkembangaannya bila manusia tersebut mau komitmen dan konsisten dengan sikap dan perilaku tauhidnya. Disebabkan, sifat manusia adalah senantiasa suka mempelajari segala sesuatu yang bersifat baru, mengungkap hubungan-hubungannya serta korelasi-korelasi antara segala sesuatunya, menarik kesimpulan-kesimpulan dasar dan undang-undang, melakukan inovasi serta penemuan. Dengan kata lain, ia telah melakukan apresiasi secara utuh lagi menyeluruh atas segenap fasilitas hidayah yang telah dianugerahkan kepada dirinya. <br />
Proses belajar tersebut di atas memang pernah dialami oleh Nabi Adam as sebagai abul-basyar (bapak umat manusia, red). Namun demikian realitas tersebut niscaya juga akan dialami oleh anak keturunannya (bani Adam, red). <br />
Demikianlah manusia melakukan kategorisasi atas benda-benda guna melakukan konklusi terhadap segenap benda yang berada di sekelilingnya. Itulah kemampuan manusia di dalam “berbahasa” terhadap lingkungannya. Sehingga dengan anugerah akal, indera, ilmu, dan wahyu; seorang manusia akan mampu membuat konsep, memaparkan diskripsi, berilustrasi, menganalisis, menerima informasi dan segenap fakta baru untuk kemudian dilakukan reproduksi pemikiran yang akurat, insya Allah.<br />
<br />
Cara-Cara Belajar<br />
Secara prinsip manusia menemukan cara belajarnya dengan jalan: imitasi, eksperimen, dan berpikir. Ketiga langkah tersebut oleh al-qur`an telah diakui keberadaannya dalam rangka memberdayakan umat manusia, agar manusia tersebut menjadi manusia yang berkualitas, di samping sebagai wujud nyata dari meningkatnya modal sosial (social capital). Dikarenakan di kehidupannya umat manusia dapat survive manakala mereka benar-benar berdaya akan investasi modal manusianya (human capital investment). <br />
<br />
Imitasi<br />
Allah azza wa jalla telah menerangkan proses belajar secara imitasi pada surat al-mâ`idah ayat ke-31. Lalu, Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil, red), bagaimana ia seharusnya menguburkan mayat saudaranya (Habil, red).<br />
Berkata Qabil, “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti seekor burung gagak itu. Hingga aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini!” Karena itu, jadilah ia di antara orang-orang yang menyesal.<br />
Manusia secara naluriah memiliki kecenderungan yang kuat akan proses imitasi terhadap sesuatu yang terdapat di sekelilingnya, bilamana akal dan inderanya mampu menangkapnya. Dari sinilah akan muncul reproduksi pemikiran di dalam proses belajarnya. Pada tingkat imitasi tersebut, yang lebih banyak terjadi manusia belajar pada fenomena alam dan setiap peristiwa yang terjadi pada meliunya, sebagaimana yang telah dipertontonkan oleh Qabil di dalam ayat tersebut di atas.<br />
Memahami teks di atas, maka seorang muslim secara prefentif ia harus mampu menciptakan keteladanan pada dirinya, seperti kepribadian teladan yang telah dimiliki oleh Rasulullah saw dan Khalilullah Ibrahim as. Disebabkan, suri teladan yang baik lagi benar (uswatun hasanatun) mempunyai peranan yang sangat besar lagi penting dalam setiap proses pendidikan dan pengajaran. <br />
<br />
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu uswatun hasanatun (transmisi energi), yaitu bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan Hari Kiamat, serta ia banyak berdzikrullah” (Qs.al-Ahzab: 21). <br />
<br />
“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu bagi orang yang mengharap pahala Allah dan keselamatan Hari Kemudian. Barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah; Dia-lah yang Mahakaya lagi Mahaterpuji” (Qs.al-Mumtahanah: 6)<br />
<br />
Jadi alangkah naifnya manakala seorang muslim menjadikan non-qur`an dan non-sunnah sebagai acuan atau referensi proses imitasinya. Suatu misal, dalam hal shalat dan haji, Rasulullah saw jelas dan tegas telah memberikan acuan imitasi bagi kaum mukminin, “Shallû kamâ ra`aitumunnî ushallî” dan “Khudzdzû ‘annî manâsika kum”. <br />
Islam adalah Islam. Artinya, Islam bukan yang lainnya dan tidak dapat dibanding-bandingkan dengan sesuatu yang berada di luar sistemnya. Bila kehidupan umat manusia, atau seorang manusia ingin baik silahkan mengimitasi dengan segala hal yang telah diangkatnya sebagai fenomena transmisi energi (uswatun hasanatun). <br />
Tidak perlu susah-susah berusaha mencocok-cocokkan nilai Islam dengan nilai-nilai yang lainnya. Karenanya memang tidaklah sebanding. Ingat, al-islâmu ya’lu wa lâ yu’lâ ‘alaih. Di sinilah kaum muslimin harus pandai-pandai benar memanfaatkan ruang gerak akalnya dengan berpikir secara maksimal, supaya mendapatkan hasil yang optimal, sebagai wujud nyata dari proses reproduksi pemikirannya. <br />
<br />
Eksperimen<br />
Allah swt telah menerangkan pentingnya tindakan eksperimen dalam belajar, hanya dengan eksperimen seseorang akan menemukan data dan fakta sehingga ia dapat melakukan reproduksi pemikirannya. <br />
<br />
“Mereka (manusia) hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia. Sedangkan mengenai kehidupan akhirat adalah lalai” (Qs.ar-Rûm: 7).<br />
<br />
Berdasarkan pemikiran Imam al-Qurthubi ra dalam buku tafsirnya dan Syekh Ibnu Katsir ra dalam buku tafsirnya, dapatlah dipahami bahwa sebagian besar umat manusia hanya semata mencari keuntungan duniawiah dengan segala administrasinya. Di mana mereka senantiasa melakukan percobaan dan penelitian dalam rangka eksperimen, semata untuk menyejahterakan kehidupan dunianya. Hanya sedikit sekali umat manusia yang melakukan eksperimen yang digunakan untuk kepentingan tauhidnya. <br />
Demikianlah para musuh Islam selalu menghendaki agar kaum muslimin menjadi luntur sikap eksperimen tauhidiahnya. Sebab, mereka sangat ketakutan manakala kaum muslimin memiliki perilaku ikhlas dan sikap tauhid yang benar lagi kuat. Karena kenyataannya selama ini, tepatnya setelah jatuhnya kekhalifahan usmani, kaum muslimin merupakan pangsa pasar yang menjanjikan bagi mereka. <br />
Sudah saatnya kaum muslimin secara pribadi-pribadi menekuni lagi dunia eksperimen, observasi, dan penemuan guna menjawab tantangan jaman yang terus berubah secara cepat. Harus digalakkan lagi pada kehidupan kaum muslimin dengan tradisi laboratorium, perpustakaan, dan penangkaran-penangkaran. Tidak diragukan lagi, perhatian al-qur`an dengan mengajak umat manusia untuk memperhatikan dan berpikir dalam merespon fenomena alam dengan segala apa yang terdapat di dalamnya. Adalah menunjukkan kompetennya Allah swt untuk mengajak umat manusia supaya selalu belajar, dengan cara melalui memaksimalkan perhatian mereka terhadap benda-benda, dengan melakukan eksperimen praktis di kehidupan kesehariannya.<br />
<br />
Berpikir<br />
Allah swt telah meletakkan dasar berpikir bagi umat manusia, sehingga manusia di dalam aktifitasnya dapat meminimalkan kesalahannya, yakni dengan jalan musyawarah. Oleh karena dalam suatu riwayat diterangkan, tidak akan merugi orang yang melakukan musyawarah. <br />
<br />
“Dan, orang-orang yang menerima seruan Rabb-mu serta mendirikan shalat, sedang urusan mereka itu diputuskan dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizeki yang Kami berikan kepada mereka” (Qs.asy-Syûra: 38).<br />
<br />
Adapun musyawarah tekniknya bermacam-macam dapat dengan cara: berdiskusi, berdialog, seminar, lokakarya, simposium, dan konsensus. Jelasnya kesemuanya merupakan langkah strategis seorang manusia, atau sekelompok manusia dalam melakukan reproduksi pemikirannya. <br />
Adalah suatu kenyataan di saat manusia berpikir dalam memecahkan persoalan tertentu, di waktu yang bersamaan ia melakukan sejenis usaha uji coba secara rasional di dalam benaknya. Ia meneliti dalam benaknya solusi-solusi yang berbeda-beda untuk memecahkan problemnya. Ia menolak solusi-solusi yang keliru atau tidak relevan dan legitimit.<br />
Dengan jalan berpikir manusia belajar mencari model pemecahan-pemecahan problematika baru bagi persoalan dirinya, lalu mengungkapkan korelasi antar segala sesuatu dan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi, menarik kesimpulan-kesimpulan dasar dan teori-teori baru, akhirnya ia memperoleh petunjuk baru atas penemuan dan penciptaan yang baru pula. <br />
Dapatlah disimpulkan, bahwa dengan keilmuan diniah yang mapan manusia akan menemukan segala sesuatu yang baru, yang sangat berguna di dalam kehidupannya. Hanya dengan ilmu pengetahuan diniah, segalanya terasa mudah dan menyenangkan. Karena, bila suatu amal tanpa dibarengi dengan keilmuan yang mapan, maka kurang sempurnalah amal perbuatan tersebut, utamanya amal yang menyangkut hubungan dengan Allah swt. Tapi harus selalu diingat, bahwa keilmuan yang kita miliki semata untuk mencari ridla-Nya. Karenanya, tidak bermartabat, bila kita sangat membanggakan ilmu kita, sebab ilmu yang ada pada diri kita hanya sekadar amanah-Nya, yang kelak pasti akan dimintai pertanggung-jawabannya. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BERPIKIR MENURUT AL-QUR`AN<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Manusia dapat berpikir adalah sunnatullah. Manusia mampu menggunakan akalnya untuk berpikir merupakan fitrah. Manusia tidak berpikir adalah lemah. Sedangkan, manusia berpikir salah karena disebabkan ceroboh. <br />
Fenomena kapasitas, kreatifitas, dan kemampuan inovasi seorang manusia di dalam berpikir; benar-benar telah mendapatkan jaminan dari-Nya. Sebagaimana juga telah dijaminkan kepada Nabi Ibrahim as, <br />
<br />
“Dan, demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami (yang terdapat) di langit serta di bumi. Dan, Kami (memperlihatkannya) agar Ibrahim termasuk orang-orang yang yakin” (Qs.al-An’âm: 75).<br />
<br />
Allah swt lewat al-qur`an benar-benar menekankan kepada kehidupan umat manusia agar mereka selalu berpikir dengan segala kreatifitas dan inovasinya. Sehingga manusia penghuni bumi ini secara nyata akan terhindar dari segala pemasungan kreatifitas dan kemandegan inovasi. <br />
Karenanya, al-qur`an dengan cerdas memberikan kritik kepada segenap manusia yang berupaya menafikan peran akal mereka. Atau, atau dengan sengaja membuang peran akal pikiran mereka untuk berkreatif dan berinovatif, dengan menjadikan pemikiran manusia tersebut terpasung atau mandeg (jumud). <br />
<br />
“Dan, apabila dikatakan kepada mereka, 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’.”<br />
Maka mereka menjawab, “Tidak, akan tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan moyang kami.”<br />
(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak pula mendapatkan petunjuk? (Qs.al-Baqarah: 170).<br />
<br />
Sementara, Kitab Suci al-Qur`an selalu mengajak kepada segenap umat manusia untuk selalu memahami fenomena alam, fenomena makhluk hidup, fenomena kejiwaan, dan fenomena ke-Mahabesar-an Allah swt. <br />
Ajakan berpikir lebih ditekankan kepada segala hal yang berada dalam wilayah asumsi kenisbian akal pikiran seorang manusia. Sedangkan, wilayah-wilayah yang mutlak (absolutly) merupakan sesuatu yang sudah final, misalnya: wilayah ta’abudiah. <br />
Dan, dalam konteks kenabian, maka Rasulullah saw pemegang otoritas tertinggi sebagai shâhibusy syar’i dalam aspek nubuwah. Karena beliaulah manusia di muka bumi yang paling sempurna keislamannya dengan segala kemutlakkannya. <br />
Sedangkan, siapa pun manusia, keislaman mereka adalah nisbi; alias keislaman yang terbatas. Di sinilah seorang muslim, bila mereka menghendaki menjadi muslim kaffah. Mau tidak mau, mereka harus melakukan pendekatan-pendekatan yang benar terhadap “keislaman yang mutlak” atas Rasulullah saw dan atas al-qur`ânul karîm.<br />
Karenanya, Allah ta’âlâ melarang kaum muslimin untuk mengikuti “perkataan dan ide yang tidak dipahami” serta “tanpa adanya kejelasan fakta dan bukti yang shahih”. Seperti telah difirmankan-Nya, <br />
<br />
“Janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati; semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya” (Qs.al-Isrâ`: 36).<br />
<br />
“Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, dan mengikuti setiap bisikan setan yang sangat jahat” (Qs.al-Hajj: 3). <br />
<br />
“Dan, di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk, dan tanpa wahyu yang bercahaya” (Qs.al-Hajj: 8). <br />
<br />
“(Yaitu): orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat sangat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang” (Qs.al-Mu’min: 35). <br />
<br />
“Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka, tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya. Karena itu, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sebab, sesungguhnya Dia Mahamendengar lagi Mahamelihat” (Qs.al-Mu’min: 56).<br />
<br />
<br />
Kesalahan-Kesalahan Berpikir<br />
Berdasarkan segala apa yang telah alfaqîr paparkan di atas tidak menutup kemungkinan, di dalam berpikir manusia mengalami kesalahan-kesalahan dalam berpikir. Bahkan, terkadang pikiran menghadapi banyak rintangan, hingga pemikiran-pemikiran yang tergagaskan menjadi menyimpang dari metode yang benar, dan akhirnya terhalangi untuk kepada kebenaran hakekat yang sesungguhnya. Adapun macam-macam kesalahan berpikir, di antaranya:<br />
1. Dikarenakan Sombong.<br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“(Ada) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat sangat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang” (Qs.al-Mu’min: 35).<br />
<br />
2. Dikarenakan Lalai.<br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran, dan juga penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah. Dan, mereka itulah orang-orang yang lalai” (Qs.al-Furqân: 44).<br />
<br />
3. Dikarenakan Bersikukuh Pada Tradisi Lama Yang Salah.<br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Mereka berkata, ‘Apakah kalian datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang telah kami dapati dari moyang kami mengerjakannya?” (Qs.Yûnus: 78).<br />
<br />
4. Dikarenakan Tahayul.<br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Allah sekali-kali tidak pernah menyariatkan atas adanya bahirah, saibah, washilah, dan ham. Akan tetapi, orang-orang kafir membuat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti” (Qs.al-Mâ`idah: 103).<br />
<br />
Ada kepercayaan yang berbau tahayul di masyarakat jahiliah, seperti: Bahîrah, yakni unta betina yang telah beranak sebanyak 5 kali, dan anak yang kelima jantan. Lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, dan tidak boleh ditunggangi serta tidak boleh diambil air susunya. Sâibah, yakni unta betina yang dibiarkan ke mana saja. Washîlah, yakni seekor domba betina yang melahirkan anak kembar, yang terdiri dari jantan dan betina. Yang jantan disebut washilah, di mana ia tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala. Dan, Hâm, yakni unta jantan yang tidak boleh diganggu gugat lagi, karena telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali.<br />
5. Dikarenakan Khurafat.<br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang telah diturunkan oleh Allah dan mengikuti jejak Rasul’.” <br />
Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.”<br />
Dan, apakah mereka akan mengikuti jejak moyang mereka, walaupun moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk? (Qs.al-Mâ`idah: 104).<br />
<br />
6. Dikarenakan Tidak Cukup Bukti Ilmiah.<br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Dan, kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun akan berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka kerjakan” (Qs.Yânus: 36).<br />
<br />
“Jika kalian mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta terhadap Allah” (Qs.al-An’âm: 116).<br />
<br />
7. Dikarenakan Adanya Kecenderungan Emosi.<br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Maka, pernahkah kalian melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Rabb-nya, di mana Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya. (Lalu) Allah mengunci mati pendengaran serta hatinya, dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka, siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Maka, mengapa kalian tidak mengambil pelajaran!” (Qs.al-Jatsiah: 23).<br />
<br />
8. Dikarenakan Adanya Kecenderungan Simpati.<br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Itu tidak lain, hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengadakannya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan untuk (menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka” (Qs.an-Najm: 23).<br />
<br />
9. Dikarenakan Bisikan Setan.<br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, dan mengikuti setiap bisikan setan yang sangat jahat” (Qs.al-Hajj: 3).<br />
<br />
10. Dikarenakan Mengikuti Hawa Nafsunya.<br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Akan tetapi, orang-orang yang lalim itu mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan” (Qs.ar-Rûm: 29).<br />
<br />
11. Dikarenakan Memang Telah Mengingkari-Nya.<br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak mau memahami” (Qs.ar-Rûm: 59).<br />
<br />
<br />
Bagaimana Seharusnya Berpikir<br />
Di samping telah mengetahui beberapa kesalahan di dalam berpikir, maka seorang manusia di dalam berpikir harus lebih mengedepankan: a).Moralitas al-qur`an; b).Moralitas as-sunnah; dan c).Moralitas ilmu pengetahuan diniah (independensi). <br />
Karena, seseorang yang telah melakukan aktifitas berpikir dengan meninggalkan konsep moralitas yang jernih, maka ia pasti akan terjebak pada pemikiran yang: a).Berpihak (dependensi)); b).Bersifat tendensius; c).Bersifat sentimentil; d).Bersikap sekterian; e).Bersifat aliran; dan f).Bersikap fanatisme; yang kesemuanya ini akan menjadikan hasil olah pikirnya sangat emosional dan jauh dari kebenaran. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
CARA BERPIKIR<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Manusia oleh Allah swt dalam kejadiannya telah dibekali suatu potensi yang dapat dikembangkan oleh pemiliknya, sampai pada ilmu pengetahuan diniah yang mampu mengantar seseorang dapat mengetahui dan memahami kekuasaan-Nya dan kebesaran-Nya. Inilah potensi makrifat yang senantiasa menyertai kehidupan seorang manusia di mana saja berada, dan di saat dia menjadi apa saja di posisi kehidupannya. <br />
Namun seringkali, karena begitu kuatnya dominasi nafsu syahwatnya, seorang manusia lalai akan keberadaan sebuah potensi Ilahiah yang sangat hebat tersebut, di dalam mendorong terjadinya setiap perubahan yang berarti secara positif-konstruktif di dalam kehidupannya. Demi mencapai kehidupan harmoni yang diridlai oleh Allah azza wa jalla. <br />
Adalah tugas kita, sebagai seorang yang beriman kepada Allah jalla jalâluh untuk tetap selalu menjaga kedudukan kalbu fitri agar senantiasa dalam rengkuhan kerahmatan-Nya. Sebab, apa artinya kehidupan seorang hamba Allah yang selalu berada di luar atmosfir kerahmatan-Nya. <br />
Itu sama halnya dengan orang yang mengharapkan sesuatu yang diinginkannya, tetapi sesuatu itu berada di dalam almari kaca. Dia sangat berharap sesuatu itu dapat menjadi miliknya, namun apakah mungkin bila ia tidak membuka almari tersebut dengan kuncinya. Sekali pun almari itu kepunyaannya. <br />
Bisa saja terjadi dengan membobol almari kaca tersebut secara instan dengan memecahkan kaca-kacanya, tapi itu bukan perbuatan orang yang diberi kamampuan oleh Allah swt untuk melakukan olah pikir. Akan tetapi kenyataannya cara instan itulah yang banyak dipilih oleh manusia-manusia kapitalis yang berteoligikan industrialis. <br />
Dan, anehnya kaum muslimin telah banyak mengonsumsi cara berpikir tersebut. Sehingga lambat namun pasti banyak kaum muslimin yang asing (gharib) dengan “cara berpikirnya sendiri”, yang mereferensi pada reproduksi cara berpikir sebagai manusia yang berke-Tuhan-an. Renungkan drama kosmis yang dilakonkan oleh Nabi Adam as dengan Ibunda Hawa as, <br />
<br />
“Dan, Kami berfirman, ‘Wahai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini. Makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai. Akan tetapi, janganlah kalian dekati pohon ini, yang menyebabkan kalian termasuk orang-orang yang lalim’.” <br />
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu, serta dikeluarkan dari keadaan semula. Kami (Allah) berfirman, “Turunlah kalian! Sebagian kalian menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di bumi, serta kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” <br />
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya. Allah Mahamenerima taubat (hamba-Nya) lagi Mahapenyayang (Qs.al-Baqarah: 35-37).<br />
<br />
Berdasarkan diskripsi dalam surat al-baqarah tersebut di atas, maka jelaslah bahwa Allah azza wa jalla telah membekali kehidupan seorang manusia dengan kemampuan Ilahiah-nya di dalam menghadapi segenap problematika kehidupannya, mulai dari: cara berpikir; menentukan pilihan; mengambil suatu keputusan; memaksimalkan kemanfaatan; berpikir kreatif dan inovatif; sampai pada pemecahan masalah dan mengambil suatu kesimpulan, kesemuanya tersebut telah melekat bersamaan dengan kejadiannya. <br />
Dengan demikian segenap kemampuan tersebut manakala tidak dimaksimalkan keberadaannya, di dalam kehidupan seorang manusia, maka layak ia menerima sebutan sebagai manusia kafir. Di mana ia nyata-nyata menentang dan melakukan perlawanan atas kekuatan Ilahiah yang menyertai kejadiannya. <br />
<br />
Memahami Cara Berpikir<br />
Masalah yang dihadapi sama, namun masing-masing dari manusia memiliki pandangan yang berbeda-beda di dalam menyikapinya, hal itu dikarenakan masing-masing dari mereka mempunyai cara berpikir yang berbeda-beda pula. Di sinilah awal dari munculnya sikap plural, bahkan pada tahap tertentu seseorang manusia dapat terjebak pada sikap sekterian. <br />
Dalam proses berpikir, kedua sikap tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sudah barangtentu bagi seorang muslim, tugasnya adalah memaksimalkan yang positif dan meminimalkan yang negatif. Tanpa harus melakukan tuduhan dan menyalahkan pihak mana pun. Namun semua yang telah terjadi harus dihadapinya dengan memaksimalkan daya kreatifnya dan daya inovatifnya di dalam berpikir. Atau, ketika memikirkan sesuatu guna mendapatkan solusi terbaik dan problem-solvings. Seperti telah dijelaskan oleh Allah swt, <br />
<br />
“Bacalah, dengan menyebut nama Rabb-mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan, Rabbmu-lah yang Mahapemurah yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa saja yang tidak diketahui (oleh manusia)” (Qs.al-‘Alaq: 1-5). <br />
<br />
“Dia-lah yang menciptakan manusia, mengajarnya pandai bicara” (Qs.ar-Rahmân: 2-3). <br />
<br />
Adapun cara-cara manusia berpikir dalam rangka berpengetahuan (knowledge) dan berilmu pengetahuan diniah (science of diniah), di antaranya: <br />
<br />
1. Berpikir Pola Taklid.<br />
Cara berpikir pola taklid, adalah kategoris belajar yang masih banyak diikuti oleh mayoritas umat manusia. Cara ini akan mampu melejitkan seseorang manakala orang yang ditaklidinya benar-benar memiliki keteladanan. Namun sebaliknya, ia akan menjadi daya perusak yang hebat bila yang ditaklidinya bukan manusia berketeladanan. <br />
Karenanya, dinul Islam telah memberikan arahan yang jelas kepada kaum muslimin agar mengambil teladan dari para nabi dan para rasul; khususnya Rasulullah saw beserta para sahabatnya dan orang-orang shalih yang mengikutinya. <br />
<br />
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka” (Qs.al-An’âm: 90).<br />
<br />
Tetapi di saat yang bersamaan, mereka harus meninggalkan perilaku taklid atas pengetahuan dari manusia-manusia yang telah nyata mengafiri Rabb-nya. <br />
<br />
“Mereka berkata, ‘Apakah kalian datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja, dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?'” (Qs.al-An’âm: 70).<br />
<br />
Dan, apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!” <br />
Maka, mereka menjawab, “Tidak, akan tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami.” <br />
(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apa pun, dan tidak pula mendapat petunjuk (Qs.al-Baqarah: 170). <br />
<br />
2. Berpikir Pola Tajribah.<br />
Sebagai ilustrasi, diceritakan dari sahabat Thalhah bin Abdullah ra, ia berkata, <br />
<br />
“Aku bersama Rasulullah saw melewati suatu kaum yang tengah berada di puncak pohon kurma.”<br />
Lalu beliau bertanya, “Apa yang mereka lakukan?”<br />
Para sahabat menjawab, “Mereka sedang melakukan penyerbukan, dengan menjadikan yang jantan pada yang betina, lalu ia dikawinkan.”<br />
Rasulullah saw berkata, “Apa yang aku duga hal itu tidak bermanfaat sedikit pun.”<br />
Thalhah berkata, “Maka, mereka diberi tahu atas hal itu, dan mereka meninggalkannya.”<br />
Kemudian dikabarkan kepada Rasulullah saw akan kegagalan panen mereka pada tahun itu. Maka, beliau berkata, “Jika penyerbukan itu bermanfaat bagi mereka, maka biarlah mereka mengerjakannya. Karena sesungguhnya aku hanya menduga berdasarkan asumsi, di mana janganlah kalian –secara mutlak-- mengambil contoh atas tindakanku yang berdasarkan pada asumsi. Akan tetapi, jika aku berbicara kepada kalian tentang Allah swt, walau hanya sedikit, maka ambillah ia. Karena sesungguhnya aku tidaklah akan pernah berdusta kepada Allah swt” (Hr.Muslim; Lihat Kitab Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, Bab al-Faha’il, Jilid XV, hal.116-117; Lihat Dr. Usman Najati, 1987). Lihat bagan Reproduksi Pemikiran Nabi Idris as; MAYAra Edisi 06/Th.I/Pebruari 2003M/Dzulhijjah 1423H, hal.23).<br />
<br />
Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda, <br />
<br />
“Kalian lebih mengetahui perkara-perkara dunia kalian;” antum a’lamu bi umûrid dunyâ kum.<br />
<br />
Dari dua pernyataan Nabi saw, “Jika hal itu bermanfaat bagi mereka, maka kerjakanlah oleh mereka,” dan, “Kalian lebih mengetahui dengan perkara-perkara dunia kalian.” <br />
Hal ini menunjukkan, bahwa umat manusia di dalam menyelesaikan problematika kehidupannya, selalu berusaha mencari sesuatu yang baru dan bersifat efisien. <br />
Karena sifatnya sesuatu yang baru, maka kegagalan dan ketidak-sempurnaan dari sebuah teori atau asumsi itu hal yang wajar. Namun yang terpenting, sebagai manusia muslim yang dianugerahi oleh-Nya segenap fasilitas hidayah, seperti: indera, akal, ilmu, dan iman harus berani melakukan eksperimen (tajribah) di kehidupan kesehariannya. <br />
Dengan harapan hidupnya jauh lebih mudah, efektif, efisien, kreatif, dan inovatif berdasarkan kajian-kajian, penelitian-penelitian, riset, dan asumsi-asumsi. <br />
Sehingga hasil dari cara berpikirnya itu dapat dinikmati oleh banyak orang dan menyejahterakan kehidupan umat manusia, dengan tetap berpegang pada prinsip: tidak eksploitasi, tidak ekspansi, tidak kolonisasi, dan tidak imperialis. Inilah yang membedakan seorang pemikir muslim dengan seorang pemikir kafir. <br />
<br />
3. Berpikir Pola Coba-Coba.<br />
Telah difirmankan oleh Allah swt, <br />
<br />
“…Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka” (Qs.an-Najm: 23). <br />
<br />
Bagi seorang muslim, berpikir dengan pola coba-coba, merupakan bagian dari usaha pengembangan diri atas sesuatu yang telah diimaninya dan diyakininya. Hal ini dilakukannya semata untuk memberdayakan fungsi dan tugas kekhalifahan yang telah di-taklif-kan oleh Allah swt kepada dirinya. Dikarenakan secara ajaran (teologi), dinul Islam melarang kaum muslimin dengan pola hidup bergantung kepada sesama makhluk dan banyak mengharap kepada makhluk. <br />
Karenanya, dengan fasilitas, seperti: indera, akal, ilmu, dan iman; seorang muslim harus mampu mempertahankan hidupnya secara baik dan benar (survival), dengan banyak melakukan upaya percobaan-percobaan. Yang secara esensial, hal itu ditujukan agar hidupnya mendapatkan kemudahan-kemudahan sebagai akibat langsung dan tidak langsung dari proses berpikirnya.<br />
Hal itu berbeda dengan seorang kafir, ia melakukan olah pikir karena adanya keragu-raguan dan keheranan. Sehingga di dalam proses berpikirnya, ia sama sekali tidak melibatkan keberadaan iman sebagai salah satu fasilitas hidayah hidupnya. Sebaliknya, ia begitu intens menjadikan nafsu syahwat sebagai referensi utamanya, sehingga hasil akhirnya adalah lahirnya manusia-manusia double standart. Seperti telah difirmankan-Nya, <br />
<br />
“Akan tetapi, orang-orang yang lalim itu mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan” (Qs.ar-Rûm: 29). Lihat bagan Reproduksi Pemikiran Barat Modern; MAYAra Edisi 08/Th.I/April 2003M/Shafar 1424H, hal.4.<br />
<br />
4. Berpikir Pola Ra’yu.<br />
Berpikir pola akal (ra’yu), semata sebagai sarana dzikrullah atas segenap ayat-ayat Allah swt yang telah tersurat dan tersirat di kehidupannya. Dengan menjadikan akal sebagai fasilitas olah pikir, guna memperoleh perilaku tauhid dan sains yang mampu memberdayakan keberadaannya sebagai seorang khalifah Allah di muka bumi. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi; silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang dzikrullah sambil berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, seraya mengucap, <br />
<br />
"Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa mereka’.” (Qs.Ali Imrân: 190-191). Lihat bagan Fungsi Akal; MAYAra Edisi 06/Th.I/Pebruari 2003M/Dzulhijjah 1423H, hal.3.<br />
<br />
5. Berpikir Pola Natijah Atas Fenomena.<br />
Berpikir pola ini, misalnya dapat dijumpai di al-qur`an:<br />
<br />
• Katakanlah, “Berjalanlah di muka bumi, dan perhatikanlah bagimana Allah menciptakan manusia dari permulaannya” (Qs.al-Ankabût: 20). <br />
<br />
• Katakanlah, “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan juga di bumi!” (Qs.Yûnus: 101). <br />
<br />
• “Dan, apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit serta bumi, dan segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah?” (Qs.al-A’râf: 185).<br />
<br />
Seorang muslim dengan fasilitas hidayah-Nya, yang berupa: indera, akal, ilmu, dan iman; hendaklah mampu mengambil suatu kesimpulan (natijah) di setiap fenomena, baik yang yang berada di alam, lingkungan hidupnya, dan pada dirinya sendiri. Seperti yang pernah terjadi pada Nabiullah Ibrahim as, <br />
<br />
“Dan, demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami (yang terdapat) di langit serta di bumi. Kami (memperlihatkan) agar Ibrahim termasuk orang-orang yang yakin” (Qs.al-An’âm: 75). Lihat bagan Reproduksi Pemikiran Nabi Ibrahim as; MAYAra Edisi 07/Th.I/Maret 2003M/Muharram 1424H, hal.6. <br />
<br />
6. Berpikir Pola Profetis.<br />
Allah swt berfirman, <br />
<br />
“Dan, sesungguhnya telah Kami mudahkan al-qur`an untuk pelajaran. Karenanya, adakah orang yang mau mengambil pelajaran (atasnya)” (Qs.al-Qamar: 17).<br />
<br />
Oleh Allah swt teks ayat tersebut diulangi lagi pada surat yang sama di ayat ke-22, 32, dan 40. Sedangkan di dalam surat al-a’râf ayat ke-204, telah difirmankan, <br />
<br />
“Dan, apabila dibacakan al-qur`an, maka dengarkanlah baik-baik, serta perhatikanlah dengan sungguh-sungguh agar kalian mendapat rahmat.” <br />
<br />
Di sinilah Allah swt menegaskan pernyataan profetis-Nya, <br />
<br />
“Dan, al-qur`an itu telah Kami turunkan secara berangsung-angsur, agar kalian membacakannya perlahan-lahan kepada manusia. Kami menurunkannya bagian demi bagian” (Qs.al-Isrâ`: 106). <br />
<br />
Metode Percepatan Berpikir<br />
Dalam rangka memperoleh kemampuan pikir yang unggul, cepat, dan cermat; ada beberapa metode percepatan berpikir yang perlu dipraktekkan oleh kaum muslimin dalam melakukan reproduksi pemikiran terhadap: Kitab Suci al-Qur`an, Sunnah Nabawiah, Ijtihad, Riset, dan Metodologi. <br />
Sudah barangtentu yang menjadi bahan kajiannya adalah di wilayah-wilayah asumsi dan dhanni. Dikarenakan, wilayah-wilayah teleologis dan qath’i telah final, tidak perlu lagi diadakan redifinisi. Adapun beberapa metode percepatan berpikir itu, di antaranya:<br />
<br />
1. Berpikir Mandiri.<br />
Seorang muslim mulai sekarang dituntut untuk membiasakan berpikir mandiri, tidak bergantung kepada siapa pun dan lembaga mana pun. Disebabkan referensinya sudah jelas, yakni: al-qur`an, as-sunnah, produk ijtihad, produk riset, produk penelitian, dan produk asumsi-intuisi; tinggal bagaimana kita melakukan pengolahan data guna memperoleh “idea of progress”. Sehingga al-qur`an dan as-sunnah benar-benar menjadi sumber dari segala sumber kehidupan seorang muslim, tidak seperti sekarang dua pusaka tersebut seolah menjadi pihak tertuduh, pasif, dan tidak berdaya. <br />
<br />
2. Berpikir Imajiner.<br />
Kepada anak-anak kaum muslimin, mulai dari kandungan, sampai di usia 0-6 bln, 6 bln-4 thn, 4-8 thn, masa pubertas awal, dan pubertas akhir (edoleson). Di beri peluang seluas-luasnya untuk menumpahkan imajinernya, sehingga mereka terbiasa berpikir kreatif dan inovatif. <br />
Karenanya, orang tua, lembaga pendidikan, masyarakat kaum muslimin, dan para ulama harus melakukan pembenahan cara berpikirnya; bila tidak ingin ditinggal oleh kekuatan imajiner yang telah melesatkan pribadi-pribadi muda dari generasi unggul kaum muslimin di masa-masa mendatang. <br />
<br />
3. Berpikir Spontan.<br />
Mulai saat ini kaum muslimin harus membiasakan berpikir spontan. Supaya dapat melakukannya di kehidupan kesehariannya mereka harus memiliki tradisi: <br />
a. Tekun membaca. <br />
b. Mencatat dalam diary segala apa yang telah dibaca.<br />
c. Menulisnya ke dalam improvisasi lepas.<br />
d. Melakukan koreksi dan pembenahan.<br />
e. Mengoleksinya guna reproduksi selanjutnya.<br />
f. Membiasakan berpikir dengan mengait-ngaitkan problematika. <br />
Apabila lima langkah tersebut telah dimiliki, dan telah dijadikan habits kaum muslimin di kehidupan kesehariannya; tidak mustahil dalam waktu relatif singkat di negeri ini akan memiliki: penulis-penulis muda berbakat, peneliti-peneliti muda brilian, periset-periset jenius, dan generasi muda-generasi muda yang profesional di bidangnya masing-masing. <br />
Insya Allah, dari ketiga metode percepatan tersebut di atas dalam waktu yang relatif singkat akan menjadikan kaum muslim mempunyai modal pemberdayaan manusia mulia (Human Elyon) dengan kualifikasi: Jujur; Profesional; Kreatif; dan Inovatif. <br />
<br />
Cara Menumbuhkan Masyarakat Iqra`<br />
Alfaqîr memiliki resep buat kaum muslimin, agar di kehidupan masyarakat muslim mempunyai kemampuan dalam ber-“iqra`”, yakni dengan melalui 12 tahapan:<br />
1. Memaksimalkan peran media elektronika, seperti: Radio; TV; Komputer; Internet; dan World Wide Web. <br />
2. Mengoptimalkan penguasaan atas internet dan komputer.<br />
3. Merubah cara pandang orang tua di dalam memahami hasil sebuah proses pendidikan, tujuan pendidikan, dan konsekuensi pendidikan.<br />
4. Memberikan rizeki, makanan, dan minuman kepada anak secara halal; dengan membiasakan tangan kanan sebagai fasilitas makan dan minum, sebagai skala prioritas.<br />
5. Mengoptimalkan imajiner anak-anak di usia 0-6 bln; 6 bln-4 thn; 4-8 thn dengan daya dukung yang maksimal.<br />
6. Mengejar ketertinggalan dengan banyak menyelenggarakan diklat dan trainning. <br />
7. Mengapresiasi kemampuan belajar masing-masing individu. <br />
8. Memberikan pembelajaran kepada kaum muslimin tentang cara belajar dan cara berpikir. <br />
9. Menjadikan segenap alam semesta dan lingkungan sebagai fasilitas iqra`. <br />
10. Awali dari diri sendiri. <br />
11. Bersikap sami’nâ wa atha`nâ tsummas tatha`nâ.<br />
12. Memaksimalkan kemampuan fenomenologis, yaitu mengaitkan berbagai macam fenomena dengan nalar logisnya.<br />
<br />
Kaum muslimin telah tertinggal 100 abad dari Barat dan Eropa, kita tidak dapat bergantung lagi secara terus-menerus. Saatnyalah sekarang, kita melakukan percepatan yang cermat dalam rangka memposisikan diri sebagai umat unggul yang jujur, profesional, kreatif, dan inovatif dengan terus memberikan alternatif-alternatif di kehidupan ini yang menguntungkan kemanusiaan --utamanya bagi kaum muslimin. Dengan demikian akan merangsang lahirnya generasi muslim unggul yang di dukung oleh otak yang cerdas dan hati yang ikhlas, itulah cara berpikir yang dikehendaki oleh al-qur`an. [] <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
BERPIKIR KREATIF & INOVATIF <br />
MENURUT AL-QUR`AN<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Berpikir kreatif dan inovatif bagi seorang muslim adalah wajib. Dikarenakan dengan daya kreasi dan daya inovasinya pesan langit yang terdapat di dalam Kitab Suci al-Qur`an; insyâ Allâh akan mampu dibumikan secara implementatif. <br />
Inilah wilayah asumsi dari penalaran akal manusia di dalam menaati pesan-pesan wahyu yang belum mewujud di kehidupan keseharian mereka. Sehingga kaum muslimin tidak sibuk dengan urusan-urusan “egoisme beragama”, yang secara tidak langsung, disengaja atau tidak, akan meninggalkan wilayah-wilayah “kemanfaatan-sosial beragama”. <br />
Padahal manakala mereka mau meyakini surat ar-ra’du ayat ke-11, <br />
<br />
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran -di muka dan di belakangnya- mereka menjaganya atas perintah Allah --yaitu malaikat muhafadzah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan --sebab-sebab kemunduran mereka-- yang ada pada diri mereka sendiri. Dan, apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”<br />
<br />
Dan, surat al-hasyr ayat ke-18, <br />
<br />
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah; dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang kalian kerjakan.” <br />
<br />
Maka dengan cepat lagi cermat mereka akan mampu berpikir kreatif dan inovatif. Sebab, secara umum Allah azza wa jalla telah memberikan sinyal-sinyal Ilahiah (divine energy transmition) mengenai perlunya perubahan yang cepat dalam setiap kepribadian mukmin di dalam mengimani dan meyakini kehendak-kehendak-Nya dalam takdir ikhtiriah-Nya. Sehingga dalam waktu yang relatif sangat cepat pula, mereka akan mengamalkan nilai-nilai ke-Islam-an yang harmoni lagi berke-mandiri-an.<br />
Dikarenakan, setiap manusia telah dikarunia oleh-Nya akan kemampuan untuk berinovasi dan berkreasi. Hanya saja, mungkin dari kebanyakan mereka --tak terkecuali kaum muslimin-- tidak pernah atau jarang mendayagunakannya. Dan, anehnya manusia tersebut rela hidup di kehidupannya sebagai “budak rutinitas” dan “terpenjarakan dalam ke-jumud-an” pemikiran yang taklid buta. <br />
Oleh karena, seorang mukmin di sisi Allah swt merupakan “manusia mulia” (Human Elyon), dengan karakternya yang selalu berkehendak untuk memperbaharui segenap potensi yang terdapat di dalam dirinya. Sebagaimana telah dipahami secara profetis, bahwa manusia mukmin khususnya, mereka telah dipersiapkan oleh Allah azza wa jalla untuk dapat berubah dan bergerak maju dengan cepat dalam rangka memenuhi survival-nya (Baca juga buku alfaqîr yang berjudul "Human Elyon: Citra Manusia Holistik Indonesia Modern", 2005, red).<br />
<br />
Mengembangkan Potensi Diri Dengan Revolusi Berpikir<br />
Guna menumbuhkan dan mendorong kaum muslimin berpikir kreatif dan inovatif. Maka, segenap kaum muslimin harus berani melakukan perubahan secara besar-besaran di dalam berpikir (revolusi berpikir, red), yang diwujudkan dengan membiasakan menghargai setiap perbedaan pandangan, atau cara berpikir yang dilakukan oleh masing-masing hamba Allah tersebut. <br />
Pemikiran yang menyebutkan bahwa, “semua hasil pemikiran itu benar”. Terkadang tidak dapat diterima oleh seseorang atau sekolompok orang --khususnya kaum muslimin, yang di kehidupan kesehariannya telah terpolakan dengan "sistem belajar" yang menanamkan secara formal dan doktriner, ke dalam pola pikir mereka bahwa, “sebenarnya yang benar itu hanya satu jawaban, dalam suatu kebenaran”.<br />
Prinsip yang mengatakan bahwa, “kebenaran itu satu”, adalah hal yang sangat penting bagi problematika matematis; misalnya: 1+1=2. Angka dua merupakan angka yang pasti dalam problematis matematika. <br />
Tetapi, persoalan yang mendasar lagi substantif adalah, bahwa sebagian besar persoalan yang dihadapi oleh umat manusia --tak terkecuali kaum muslimin, merupakan realitas kongkrit yang tidak mungkin diubah dengan serta-merta ke dalam persoalan matematis, seperti tersebut di atas. <br />
Di dalam kehidupan seorang hamba, terdapat banyak persoalan yang pelik dan sulit untuk dicari jawabannya. Di samping itu persoalan yang muncul acap kali memiliki sejumlah jawaban yang benar, sesuai dengan problem yang mereka alami. <br />
Artinya, di dalam kehidupan seorang manusia, bila angka 1 dijumlahkan dengan angka 1, sama dengan tak terhingga. Sebab, di dalam realitas kehidupan, manusia hanya berkewenangan merencanakan dan Allah-lah yang menentukan. Apabila 99,9% secara teori dikatakan berhasil, maka yang 0,01% yang menentukan; apakah rencana itu berhasil atau gagal. <br />
Karena segala apa yang terjadi di kehidupan ini merupakan kehendak Allah swt, bukan wilayah problematika matematis belaka. Oleh sebab itu manusia mukmin harus mengucapkan kata, “insyâ Allâh”, untuk memperoleh kreatifitas mereka dan inovasi mereka. Sebagaimana telah diberi acuan kreatifitas dan inovasi oleh Allah swt, <br />
<br />
“Dan, janganlah sekali-hali kamu (Muhammad) mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan esok pagi’; kecuali (dengan mengatakan), ‘Insyâ Allâh.’ Dan, ingatlah kepada Rabbmu (Muhammad), jika kamu lupa, dan katakanlah, ‘’Asâ anyyah-diyani Rabbî li-aqraba min hâdzâ rasyadâ’; mudah-mudahan Rabbku akan memberi petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini’.” (Qs.al-Kahfi: 23-24).<br />
<br />
Guna mendapatkan keselarasan antara, wilayah yang 99,9% dengan wilayah yang 0,01%; seperti yang telah difirmankan-Nya, <br />
<br />
“Mudah-mudahan Rabb-ku akan memberi petunjuk kepada yang ‘lebih dekat kebenarannya’ daripada ini’.” (Qs.al-Kahfi: 24). <br />
<br />
Maka, kiranya perlulah seorang manusia mengasah dan mengembangkan segenap potensi dirinya, seperti:<br />
<br />
1. Kecerdasan.<br />
Kecerdasan manusia dibentuk melalui penguasaan terhadap bahasa, seperti yang telah diberikan oleh Allah ta’âlâ kepada Nabi Adam as. Bagi kehidupan umat manusia, keberadaan bahasa adalah sarana yang memfasilitasi pembentukan asumsi. Sedangkan dari kumpulan-kumpulan asumsi, seorang manusia akan menyusun teori atau hipotesanya dengan kekuatan analisanya. Sehingga dari waktu ke waktu seorang yang berpikiran cerdas akan melahirkan kreasinya dan inovasinya. <br />
Dan, hal itu akan terus berubah seiring dengan jaman yang menyertainya, dengan kata lain, kecerdasannya telah mampu mengantarkan menjadi manusia pembaharu di dalam melakukan tajdid (pembaharuan). <br />
Contoh, dengan kecerdasannya yang kreatif dan inovatif, Nabi Idris as yang mendapatkan pelajaran risalah tauhid dari Nabi Syits as, beliau mampu: menemukan jarum pembuat pakaian, berternak kuda, dan menemukan metode baca-tulis; adalah Nabi Nuh as, secara kreatif dan inovasi beliau mengaktualisasikan perintah membuat kapal, dengan terlebih dahulu menanam pohon dengan jenis bibit unggul; adalah Nabi Ibrahim as dengan reproduksi berpikirnya yang ilmiah, beliau ditolong oleh Allah swt untuk menemukan-Nya; dan adalah Nabi Muhammad saw dengan nalar cerdasnya --sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul-- beliau telah mampu menyatukan pertikaian antar suku, yakni dengan meletakkan Hajar Aswad di atas serban sari beliau, kemudian segenap pemuka suku yang bertikai bersama-sama mengangkatnya untuk meletakkan kembali Hajar Aswad pada tempatnya.<br />
<br />
2. Bakat.<br />
Setiap akal manusia dibekali oleh Allah swt dengan potensi pembakatan. Apabila potensi ini tidak dikembangkan, maka bakat yang menakjubkan sekali pun akan terpendam dan digilas oleh orang lain, yang notabene-nya tidak berbakat, namun ia menekuni secara disiplin perilaku titen, tlaten, open; terhadap segenap apa yang disukainya, insyâ Allâh panen. <br />
Maka, yang terbaik dan benar adalah potensi bakat yang dikembangkan secara disiplin ke dalam perilaku titen, tlaten, dan open. <br />
<br />
3. Pengabdian.<br />
Akal manusia haruslah dipotensikan dengan keterbimbingan semangat pengabdian kepada Allah swt. Perilaku ini justru akan melahirkan pengembangan daya kreasi dan daya inovasi seseorang di dalam kehidupannya. Apabila Allah azza wa jalla telah menetapkan, bahwa manusia diciptakan-Nya secara mutlak untuk beribadah kepada-Nya. Maka, sikap dan perilaku pengabdian seorang hamba (al-‘ibâdah), justru akan melahirkan sikap, perilaku, pola pikir, dan menejemen kepribadian yang kreatif dan inovatif. <br />
Misalnya, seorang muslim yang hendak mendirikan ibadah shalat lima waktu; maka secara kreatif dan inovatif, ia harus menyediakan: pakaian penutup aurat yang suci, tempat yang suci, ilmunya shalat, dan makanan yang halâlan thayyiban. Dan, untuk memenuhi syarat sah dan syarat rukun shalat, maka seorang mushallî(orang yang shalat, red) harus kreatif dan inovatif, guna mempersiapkan bekal shalat, baik dari aspek material dan imaterial, aspek dlahir dan batin. <br />
Demikian halnya dengan ibadah puasa, zakat mal, haji, dan menuntut ilmu pengetahuan diniah; bila hal ini termasuk ke dalam unsur pengabdian yang sifatnya langsung kepada Allah swt (‘ibâdah mahdlah). Padahal di dalam dinul Islam, juga dikenal adanya unsur ibadah yang tidak langsung, dan skope kemanfaatannya jauh lebih luas (‘ibâdah ghairu mahdlah).<br />
Jadi jelaslah, manakala seorang muslim menunaikan ibadahnya semata karena Allah swt, maka seharusnya ia akan menjadi manusia yang sangat kreatif dan sangat inovatif. Apabila yang terjadi malah sebaliknya, maka seorang hamba tersebut salah di dalam memahami pesan pengabdian tersebut di atas.<br />
<br />
4. Quantum.<br />
Akal manusia telah dianugerahi oleh Allah swt kemampuan untuk melesat maju, laksana sebuah batu meteor. Terbukti Allah azza wa jalla telah menantang mereka dengan firman-Nya, <br />
<br />
“Wahai segenap jin dan manusia, jika kalian sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi. Maka, lintasilah! Kalian tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan” (Qs.ar-Rahmân: 33). <br />
<br />
Ayat tersebut di atas, adalah dorongan nyata dari Allah jalla jalâluh, agar setiap manusia, khususnya kaum mukminin memaksimalkan potensi quantum mereka dengan mengoptimalkan daya kreasi dan daya inovasi mereka. Sementara tradisi Islam sangat kaya akan khazanah quantum yang masih disepelekan, seperti: Khasyyatullâh sebagai metode quantum; Tawakal sebagai metode quantum; Zuhud sebagai metode quantum; Tazkiah sebagai metode quantum; Iqra` sebagai metode quantum; Tarbiah wa ta’ulum sebagai metode quantum; dst.<br />
Terbukti di dalam Madrasatun Nabawiah model metode quantum yang demikian, pernah dilaksanakan oleh para sahabat nabi atas bimbingan, keteladanan, dan petunjuk langsung dari Rasulullah saw. <br />
Ternyata hasilnya sangat luar biasa, dan cukup spektakuler. Baik keberhasilan dari aspek budaya, peradaban, pendidikan, geografis, politik, bernegara, ukhuwah islamiah, dan sains; maupun dalam aspek pembentukan sikap, perilaku, pola pikir, dan menejemen kepribadian yang tangguh.<br />
Juga di masa-masa abad keemasan Islam, seperti: di Cordoba (Spanyol), di Baghdad (Irak), dan di Turki Usmani (Turki). Hampir kesemuanya dapat dipahami, bahwa kesuksesan demi kesuksesan yang diraih oleh umat Islam, karena mereka memahami, bahwa Islam adalah agama yang mendorong pemeluknya supaya berperilaku dan berpola pikir kreatif dan inovatif. <br />
<br />
5. Pengalaman.<br />
Akal manusia memiliki kemampuan untuk melakukan reproduksi atas suatu pengalaman. Dan di dalam menunjang keberhasilan hidup seorang manusia, suatu pengalaman sangat pula mentukan. Sehingga Allah swt telah memperingatkan hal itu, <br />
<br />
“Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin” (Qs.at-Takâtsur: 3-5).<br />
<br />
Bila ada orang yang mengatakan bahwa, “Pengalaman adalah guru yang terbaik.” Maka, hal itu adalah dapat diterima oleh akal sehat manusia. <br />
Allah swt saja di dalam mendidik para nabi, para rasul, dan para kekasih-Nya; juga dengan kekuatan pengalaman-pengalaman. Dan, dari berbagai macam pengalaman pula seseorang itu nantinya, insyâ Allâh akan memiliki pola perilaku dan pola pikir yang kreatif dan inovatif; entah banyak atau sedikit, entah dimaksimalkan atau dibiarkan begitu saja eksistensi pengalamannya tersebut di dalam kehidupannya. <br />
<br />
Modal Dasar Berpikir <br />
Kedudukan akal manusia dengan kemampuan berpikirnya, haruslah dikembangkan dengan baik dan benar. Sedangkan salah satu metode pengembangannya adalah secara kreatif dan inovatif. Adapun kemampuan akal itu, antara lain: <br />
<br />
1. Spontanitas.<br />
Akal manusia dianugerahi oleh Allah swt, kemampuan berpikir secara spontan. Meski hasilnya, laksana bayi yang baru lahir. Tetapi lambat-laun, bila difasilitasi dengan baik dan benar, insya Allah akan dapat tumbuh dewasa dan mencapai kesempurnaan. <br />
Adalah sudah menjadi ketetapan-Nya, bahwa akal manusia bila dalam keadaan terdesak akan mampu melakukan pemikiran spontan. Berpikir spontan menjadi kurang efektif manakala “niat berpikirnya” salah, dan muatan materi berpikirnya tidak terbimbing oleh wahyu.<br />
<br />
2. Elastisitas.<br />
Akal manusia oleh Allah swt, diberi kemampuan untuk dapat menghasilkan pikiran yang sangat variatif. Dari kekuatan variasi berpikirnya itulah, manusia di kehidupannya akan selalu memiliki komunitas yang plural dan heterogen. Karena itu, sangat sulit manusia diwujudkan dalam satu kesatuan yang seragam, atau sama persis. Contoh para sahabat Nabi Muhammad saw sendiri, memiliki banyak perbedaan dan keragaman; baik dari segi kemampuan, kekayaan, cara berpikir, dan di dalam memahami sesuatu. <br />
Namun dengan keberadaan al-qur`an dan Nabi Muhammad saw sebagai seorang “rasûlullâh”, keragaman dan perbedaan tertampung dalam sebuah “ikatan suci” lâ ilâha illa-llâh Muhammadur rasûlullâh (tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah kecuali Allah, Muhammad itu utusan Allah). <br />
<br />
3. Orisinilitas.<br />
Akal manusia mempunyai kemampuan untuk mencipta sesuatu yang baru, yang dikehidupannya nyata-nyata belum ada. Kemampuan ini pun merupakan karunia-Nya, sebagai bekal agar manusia dapat melakukan upaya-upaya mempertahankan dirinya dan mengisi kehidupannya. <br />
Betapa hebatnya, bila kaum muslimin mampu memaksimalkan peran akal orisinilitasnya; di samping mereka telah mendapat jaminan-Nya, Allah azza wa jalla telah menyertai kehidupan mereka dengan pedoman yang benar (Kitab Suci al-Qur`an, red) dan teladan yang sempurna (Rasulullah Muhammad saw, red). <br />
<br />
4. Kepribadian.<br />
Kedudukan akal manusia akan mampu berkembang dengan pesat, bila eksistensinya didukung oleh menejemen kepribadian yang benar. <br />
Menejemen kepribadian yang benar adalah, pendayagunaan secara utuh lagi benar, terhadap segenap potensi bawaan yang bersifat Ilahiah ke dalam pengamalan nyata yang terbimbing wahyu. <br />
Maksudnya, setiap manusia lahir senantiasa dibekali oleh Allah swt dua potensi yakni, sikap takwa dan perilaku jujur; yang dengan bimbingan wahyu potensi tersebut dapat diberdayakan hingga pada kedudukan pribadi râdliatam mardliah dengan keberadaan nafsu muthma`innah.<br />
<br />
5. Lingkungan.<br />
Lingkungan merupakan tempat pertama yang berperan besar di dalam mendorong lahirnya kemampuan akal yang kreatif dan inovatif. Yang dimaksud lingkungan adalah: <br />
a. Peran orang tua.<br />
b. Peran guru. <br />
c. Kebiasaan-kebiasaan (habits). <br />
d. Rizeki yang halal. <br />
e. Peran teman.<br />
f. Peran keluarga. <br />
g. Pengalaman.<br />
h. Hambatan-hambatan yang menyertainya.<br />
<br />
Berpikir Kreatif<br />
Secara etimologis, kreatif adalah mendesain kebiasaan-kebiasaan (habits) dan tradisi-tradisi kemauan manusia, guna menjadi kemampuan yang memunculkan kekuatan-kekuatan dan potensi-potensi baru tanpa ada contoh sebelumnya. <br />
Adapun sikap dan perilaku kreatif, bilamana telah memenuhi beberapa kategori sebagai sifat-sifat yang baru dan unik pada formasi finalnya, meski beberapa unsurnya telah ada sebelumnya.<br />
Sementara, Dr.Abdul Halim Mahmud as-Sayyid di dalam bukunya yang berjudul al-Ibda` berpendapat, “Kreatifitas adalah suatu proses yang menghasilkan karya baru yang bisa diterima oleh komunitas tertentu, atau bisa diakui oleh mereka sebagai sesuatu yang bermanfaat.”<br />
Sedangkan, Dr.Hilmi al-Mulaiji (1985) dalam bukunya Sikulujiatul Ibtikar mengatakan, “Kreatifitas adalah kemampuan berpikir untuk meraih hasil-hasil yang variatif dan baru, serta memungkinkan untuk diaplikasikan, baik dalam bidang keilmuan, kesenian, kesusastraan, maupun bidang kehidupan lain yang melimpah.”<br />
Akan tetapi suatu gagasan belumlah cukup dianggap kreatif lantaran termasuk sebagai sesuatu gagasan yang baru. Dikarenakan sebuah gagasan kreatif itu harus memenuhi unsur kesesuaian dengan kondisi obyektif yang tercermin dalam dukungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.<br />
Maka dari itu, seseorang itu dikatakan jenius, manakala ia telah mampu memperlihatkan keunggulan, keistimewaan, dan karakter secara jelas. Atau, ditindaklanjutinya atas kemauan yang dimilikinya ke wujud kemampuan. Sehingga seseorang itu mempunyai kekuatan kreatif dan inovatif di kehidupan kesehariannya di tengah-tengah komunitasnya pada satu bidang atau lebih dari berbagai bidang aktivitas pemikiran, keilmuan, dan teknologi.<br />
Oleh karenanya, seseorang disebut jenius, bilamana dia telah memiliki sifat: keunggulan intelektual; keunggulan emosi; keunggulan spiritual; keunggulan motivasi; dan keunggulan komunikasi, yang diberdayagunakan secara kontinuitas di medan apa pun dari wilayah-wilayah kehidupan kemanusiaannya. <br />
Sedangkan, seorang muslim dikatakan jenius, manakala dia telah mampu mendesain kelima kekuatan unggul di atas ke dalam frame berpikir, bersikap, dan berperilaku dengan keunggulan dan kekuatan intuisional-nya yang secara mutlak mereferensi pada: ma’rifatul-qur`ân; ma’rifatus-sunnah; ma’rifatush-shalâh; dan ma’rifatullâh.<br />
<br />
Berpikir Inovatif<br />
Secara definisi, inovatif adalah proses pengalaman seseorang terhadap ‘sesuatu’, yang diperolehnya dari pendayagunaan pemikiran, kemampuan berimajinasi, dan kemampuan mengapresiasi terhadap berbagai stimulan dan individu yang berada di sekitar lingkungannya, yang secara nyata berusaha menghasilkan ‘sesuatu yang baru’, baik bagi dirinya sendiri atau pun bagi komunitasnya.<br />
Adapun ‘sesuatu yang baru’ itu haruslah memenuhi karakteristik: <br />
1. Azas manfaat; ‘sesuatu yang baru’ tersebut harus bermanfaat buat lingkungannya, atau untuk kehidupan manusia yang lainnya. <br />
2. Azas relatif; ‘sesuatu yang baru’ itu sifatnya adalah relatif. Bisa jadi, ia merupakan hal baru bagi seseorang, tetapi tidaklah demikian bagi orang yang lainnya. Atau boleh jadi, ia adalah baru bagi dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. <br />
3. Azas utilitas; ‘sesuatu yang baru’ itu telah memenuhi nilai fungsional dan nilai operasional, yang berdayaguna untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang dirasakan oleh seseorang atau pun komunitas tertentu.<br />
Dengan demikian tindakan inovasi adalah suatu hasil pendayagunaan kemauan dan kemampuan secara cermat, tepat, dan aktual; guna menghasilkan desain karya baru di bidang kehidupan umat manusia, sehingga dengan desain karya baru tersebut seorang manusia hidupnya lebih sejahtera dan terpenuhinya unsur kemanusiaannya. <br />
Oleh karenanya, dasar dari tindakan inovasi tidak lain, yakni kekuatan reproduksi berpikir secara imajiner. Sehingga secara cepat dan apresiatif dapat ‘menerjemahkan’: fenomena-fenomena, simbol-simbol, konsep-konsep, pesan-pesan, nasihat-nasihat, pemikiran-pemikiran, dan alam; secara implementatif yang berkelanjutan sebagai sikap dan perilaku antisipatif (Dalam hal ini, kita dapat mencermati kisah para nabi dan rasul; para sahabat Nabi saw, para tabi’in, para tabiut-tabi’in, para waliullâh, dan para ulama`ullâh, red).<br />
Dikarenakan berpikir inovasi itu sama halnya dengan melahirkan gagasan-gagasan baru, di luar frame berpikir yang status quo atau yang telah ada secara kolot (conservative). Maka, hendaknya secara pokok berpikir inovasi memiliki karakteristik dasar “P3LO”, sebagai berikut:<br />
1. Peka; dikarenakan terdapatnya kepekaan dan ketajaman yang cermat lagi akurat di dalam menangkap munculnya berbagai problematika dan fenomena, baik fenomena sosial maupun fenomena alam. <br />
Sementara, kebanyakan orang tidak pernah memperhatikan problematika dan fenomena tersebut secara peka dan tajam, disebabkan adanya anggapan bahwa problematika dan fenomena yang muncul itu merupakan sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja.<br />
2. Produktif; memiliki kemampuan menjawab sebanyak mungkin dari satu macam problematika atau satu macam fenomena, yang kemudian secara produktif ditentukan skala prioritasnya sejalan dengan kebutuhan dan kepentingan dirinya atau komunitasnya.<br />
3. Pelangi; terdapatnya kemampuan berpikir yang variatif, dikarenakan sikap apresiasinya yang tinggi terhadap munculnya setiap problematika dan fenomena.<br />
4. Lentur; mempunyai kemampuan bersikap luwes, berpikiran luwas, dan memahami problematika atau pun fenomena secara mendalam.<br />
5. Orisinil; apa yang telah dilahirkannya sebagai sebuah produk baru, atau sebuah karya baru, atau ‘sesuatu yang baru’ adalah merupakan keaslian dari sebuah kemampuan di dalam menggagas dan memberikan jawaban yang belum pernah dipikirkan oleh orang lain; atau bisa jadi ‘sesuatu’ itu telah ada namun belum memiliki kemasan aktual, sehingga perlu diperbaharui untuk kemudian ditawarkan atau dikomunikasi kepada orang lain, lingkungannya, dan komunitasnya.<br />
<br />
Inovatorkah Kita?<br />
Insya Allah, bila kita berada di antara term yang alfaqîr tulis di bawah ini, sudah dapat dikategorikan sebagai seorang yang berkepribadian inovatif”<br />
1. Penemu: adalah seseorang yang dikaruniai oleh Allah azza wa jalla dapat menyuguhkan temuan pertamanya, baik berupa benda; desain; sains; high-tech; sastra; teknologi tepat guna; model; pola; konsep; dst.<br />
2. Perakit: adalah seseorang yang dianugerahi oleh Allah azza wa jalla dapat melakukan modifikasi terhadap segala sesuatu yang telah ditemukan oleh seseorang, sebagaimana yang terdapat pada nomer 1.<br />
3. Pengembang: adalah kemampuan seseorang dalam mengembangkan hasil kerja penemu dan perakit dengan menambah-nambah hasil modifikasinya, yang biasanya dilakukan dengan studi, riset, dan metodologi dalam menyeguhkan sesuatu yang baru.<br />
4. Peniru: adalah kemampuan seseorang di dalam melakukan proses imitasi dari hasil kerja para penemu, perakit, dan pengembang di dalam menyuguhkan sesuatu yang baru; namun segalanya sangat berbeda dengan orisinalitas para pendahulunya (penemu, perakit, dan pengembang, red).<br />
5. Pembaharu: adalah kemampuan seseorang di dalam melakukan pengkajian atas segala sesuatu yang telah ditemukan, dirakit, dikembangkan, dan ditiru; di dalam menyuguhkan sesuatu yang baru. Tetapi, segenap apa yang telah disuguhkan oleh para: penemu, perakit, pengembang, dan peniru sudah tidak relevan lagi dengan kondisi jaman dan geografis. Bertumpu pada realitas bahwa apa yang telah disuguhkan para pendahulunya itu sudah tidak sesuai. Padahal ‘sesuatu’ itu dulunya telah dianggap baru, ternyata sudah tidak sesuai dengan kondisi jaman dan geografisnya, sehingga diputuskan untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan.<br />
<br />
Berpikir Kreatif & Inovatif Itu Sunnatullah<br />
Berpikir kreatif dan inovatif adalah anugerah dari-Nya dan hal itu adalah sunnatullah, bagi siapa saja yang telah mampu melakukannya. Itu artinya, mereka telah dikarunia-Nya dengan derajat-derajat yang lebih baik di banding mereka, para manusia yang telah mengalami stagnasi di dalam proses berpikirnya.<br />
Berpikir kreatif dan inovatif adalah mendayagunakan fungsi dan peran akal secara optimal, dalam rangka mewujudkan sebuah karakter kemanusiaan yang dibekali oleh-Nya kemampuan untuk melakukan perubahan-perubahan. Sehingga kreatifitas dan inovasinya akan melahirkan sesuatu yang baru, atau melakukan pembenahan-pembenahan secara praktis sehingga akan juga menjadi sesuatu yang baru. Di sinilah akan lahir: <br />
a. Perilaku yang berbeda.<br />
b. Sikap yang teguh lagi berkarakter.<br />
c. Berani mengambil resiko.<br />
d. Bertanggung jawab atas gagasan.<br />
e. Menolak rutinitas.<br />
f. Menghindari suasana monoton.<br />
g. Mendobrak kondisi status quo.<br />
h. Membuka taklid.<br />
Maka, dapatlah diambil suatu konklusi bahwa berpikir kreatif dan inovatif, lebih dikarenakan terdapatnya kemauan untuk melakukan tindakan menejerial atas kecerdasan intuisional (In-Q), dengan mendayagunakan secara optimal atas kemampuan: Intellegent Quotient (IQ); Emotional Quotient (EQ); Spiritual Quotient (SQ); Adversity Quotient (AQ); dan Motivation Quotient (MQ), yang bertumpukan pada sejumlah kemampuan akal, seperti: spontanitas, elastisitas, dan orisinilitas, dan sifat-sifat kepribadian kreatif-inovatif, seperti: kecerdasan, bakat, pengabdian, quantum, dan pengalaman; di samping harmoninya mengatasi tekanan lingkungan yang kerapkali tidak memberikan dukungan atas munculnya pemikiran kreatif-inovatif, yang pada akhirnya dapat melahirkan ‘sesuatu yang baru’ yang inovatif, yang bersifat solusi inovatif atas munculnya problematika dan fenomena.<br />
Karenanya, pemikiran kreatif dan inovatif mempunyai sifat-sifat istimewa (tamayyuz), semisal: orisinal, bermanfaat, dapat diterima segenap lapisan masyarakat, dan pada saat yang mengundang kekaguman pada diri orang lain.<br />
Dapatlah diasumsikan, bahwa ciri pokok inovasi, yakni berusaha agar orang lain mendapatkan kemudahan dari hasil kreasinya. Sedangkan secara inovatif, hal itu dapat dengan mudah diterima oleh siapa saja. <br />
<br />
Sifat Seorang Inovator & Seorang Kreator <br />
Adalah suatu keyakinan alfaqîr, bahwa setiap hamba Allah senantiasa terlahir dengan segenap potensi dan kemampuan-kemampuan tertentu, yang hal itu adalah sifat bawaan dari setiap seorang bayi. Demikian pula dengan makhluk-makhluk non manusia, mereka juga dibekali dengan potensi dan segenap kemampuan-kemampuan tertentu. <br />
Namun dalam perjalanan kehidupannya, manusia mengasah dan menajamkan pengetahuan dan ilmunya dengan kekuatan akal sebagai platform tindakan inovasi dan tindakan kreasinya, dikarenakan sebagai usaha mempertahankan kehidupannya dari segala sesuatu. Sedangkan hewan dan tumbuhan dalam perjalanannya hanya mengikuti kebiasaan dan kondisi lingkungannya di mana berada, yang hal itu bertumpu pada platform instinktif belaka dalam rangka mempertahankan kehidupannya. <br />
Guna memahami segenap potensi dan kemampuan diri, supaya kita dapat melesat menjadi yang terbaik. Maka, alangkah baiknya bila kita memahami sifat-sifat melekat atau sifat-sifat bawaan sebagai seorang inovator dan kreator; baik yang disadari maupun yang belum diketahuinya, sebagai berikut (baca juga buku alfaqîr yang berjudul "52 Langkah: Membangun Pribadi Kreatif & Inovatif", 2003, red):<br />
<br />
1. Percaya Diri (PD). <br />
Memiliki kepercayaan diri yang besar; Mampu merealisasikan segenap tujuannya dan melaksanakan berbagai usaha yang terkait dengannya, tanpa ada perasaan ujub dan takabur; Berpendapat independen dan obyektif, dikarenakan mendasarkan pendapatnya pada data dan keilmuan.<br />
<br />
2. Kritis. <br />
Memiliki sifat kritis terhadap sesuatu yang telah menjadi kesimpulan, atau yang telah dijalankan oleh kebanyakan orang. Sehingga dirinya berusaha untuk melakukan kaji ulang, demi menyokong pendapatnya dan dia yakin bahwa pendapatnya adalah independen.<br />
<br />
3. Analitis. <br />
Bersikap mempertanyakan terhadap segala sesuatu yang masih berada di wilayah asumsi pemikiran, dan menerima dengan sikap iman atas segala sesuatu yang telah menjadi ketentuan Allah swt dan rasul-Nya. Oleh karena dia berani mempertanyakan kembali setiap aplikasi hukum, teori, dan prinsip umum yang bagi orang lain tidak pernah dipersoalkan. Tetapi bagi dirinya, hal itu dapat mendatangkan banyak pertanyaan yang dapat dikembangkan.<br />
<br />
4. Menghindari Rutinitas. <br />
Berusaha memperhatikan dan mencermati setiap makna, isyarat, ibrah, teladan, informasi, dan fenomena-fenomena yang dianggapnya urgen; sementara orang lain tidaklah menganggapnya demikian. Dikarenakan dia selalu berkecenderungan pada setiap perubahan, dinamika, dan pembaharuan.<br />
<br />
5. Titen, Tlaten, Open. <br />
Memiliki sikap teliti, tekun, dan menjaga di setiap gagasan yang dikembangkannya; tidak pernah menyerah dan berputus asa. Kegagalan baginya merupakan cambukan untuk mencari alternatif dan solusi sebanyak-banyaknya, sehingga problematika mampu dihadapinya dengan percaya diri, tawakal, qana’ah, sabar, iman, dan yakin. Baginya cercaan, hinaan, ejekan, fitnahan, dan tantangan adalah sesuatu yang harus dilaluinya dengan sikap memaafkan dan kasih-sayang; sehingga kesemuanya tadi (cercaan, hinaan, ejekan, fitnahan, dan tantangan) didesain untuk membangun perilaku cinta (mahabbah) di dalam dirinya.<br />
<br />
6. Tidak Fanatisme & Memaksakan Kehendak. <br />
Menghindari perilaku dominasi, memaksa, dan fanatisme; sebaliknya dia juga tidak mau didominasi, dipaksa, dan difanatikkan. Dia sangat menghormati perbedaan dan pendapat yang berkembang. Tetapi bila fenomena tersebut tidak didukung data yang jelas, maka dia memilihnya untuk mendiamkannya (tawaquf). <br />
<br />
7. Kebenaran Pendapat Adalah Nisbi. <br />
Sangat diyakini bahwa selain yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya, adalah kebenaran nisbi atau relatif. Oleh sebab itu dia tidak pernah menerima segala sesuatu yang mapan selagi hal itu merupakan hasil pemikiran manusia.<br />
<br />
8. Memahami Target & Tujuan. <br />
Memaksimalkan target dan tujuan yang dapat dicapainya dengan mengambil resiko sekecil-kecilnya, dengan perhitungan terdapat peluang besar akan keberhasilannya. Dia melakukan yang demikian dikarenakan sangat memahami target-target yang ditetapkan dan tujuan-tujuan yang telah dijadikan acuannya.<br />
<br />
9. Selalu Siap. <br />
Senantiasa siap menghadapi segala kemungkinan terburuk yang terjadi, sekalipun problematika itu muncul dalam kondisi yang tidak menentu. Strategi yang dijalankannya, dia memaksimal usaha di saat kondisi-kondisi yang pasti lagi jelas; namun dalam kondisi yang serba sulit, chaos, dan tidak menentu dia memaksimalkan sikap bertahan.<br />
<br />
10. Tidak Memastikan Rencana. <br />
Dia sadar bahwa ketentuan dan ketetapan hanya milik Allah azza wa jalla. Keberadaan rencana (tadzbir) hanya sebatas ikhtiar, bukan jaminan atau kepastian. Maka, dia selalu siap melakukan perubahan-perubahan atas rencana-rencananya dikarenakan berubahnya situasi dan kondisi atau berubahnya tempat dan waktu.<br />
<br />
11. Elastisitas Dalam Berpikir. <br />
Senantiasa berpikir jauh ke depan disebabkan pertimbangan-pertimbangan asas kemanfaatan. Tetapi dia memiliki kelenturan berpikir di dalam menyikapi setiap munculnya fenomena-fenomena.<br />
<br />
12. Bekerja Secara Mandiri. <br />
Alasannya, dengan kemandirian dia dapat melakukan refleksi, perenungan, dan konsentrasi berpikir; meskipun dirinya juga berkemampuan untuk bekerja secara kolektif maupun marger.<br />
<br />
13. Banyak Mendapatkan Perlawanan. <br />
Seringkali pola pikir dan pendapatnya mendapat reaksi keras dari teman sejawat, kerabat, famili, dan orang lain. Namun mendapatkan perlakuan yang demikian, dia selalu memaafkannya, dengan suatu keyakinan karena mereka yang berseberangan sebagai akibat saja dari ketidakpahamannya terhadap pribadi dan pemikiran orang lain.<br />
<br />
14. Memberdayakan Kualitas Seseorang. <br />
Selalu membekali dirinya dan orang lain dengan sesuatu yang baru, yang dapat dimanfaatkan dan diamalkan oleh orang lain; sebab apa yang dibekalkanya bersifat mudah dan memudahkan serta dapat menyejahterakan.<br />
<br />
15. Berkemampuan Imajiner. <br />
Segala apa yang terlintas dalam akal budi dan kalbu nuraninya, selalu mendorongnya untuk melakukan perenungan, pemahaman, dan pemikiran sehingga akan muncul kekuatan imajiner yang dapat merangsang kreatifitas dan inovasi.<br />
<br />
16. Selalu Berdiskusi. <br />
Kesempatan yang diperolehnya, seringkali dijadikan topik bahasan yang baginya sangat menarik untuk didiskusikan, dengan teman karib; teman sejawat; keluarga; konselor; cerdik-pandai; dan ulama.<br />
<br />
17. Pemikirannya Luwas, Luwes, dan Mendalam. <br />
Selalu berusaha melakukan penelaahan dan penelitian guna mendapatkan akurasi data dan akurasi informasi secara primer.<br />
<br />
18. Berkemampuan Intuitif. <br />
Mampu mendeteksi segala hal yang terdapat di lingkungannya, sehingga secara seksama dia dapat mengatasi setiap persoalan-persoalan yang krusial.<br />
<br />
19. Bersifat Instinktif. <br />
Dengan cepat dapat merasakan keganjilan-keganjilan, kekurangan-kekurangan, dan kelainan-kelainan yang dirasakannya di setiap kesempatan dalam segala hal.<br />
<br />
20. Orisinilitas Dalam Berpikir. <br />
Menghindari berpikir taklid buta terhadap setiap hasil pemikiran seseorang. Akan tetapi dia dapat menerima keragaman konsep dikarenakan dia memiliki kemampuan untuk berinteraksi.<br />
<br />
21. Bersikap Independensi. <br />
Dia tidak mau mengekor kepada siapa pun; Tidak mau mencontoh orang lain; Tidak mau bekerja kepada orang lain; Tidak mau diatur-atur dengan ketentuan-ketentuan yang tidak pasti; dan Tidak mau terikat dengan kaidah-kaidah yang kaku.<br />
<br />
22. Mendalami Setiap Gagasan Yang Baru. <br />
Dia selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan, hal itu dimaksudkan sebagai upaya untuk mendalami segala sesuatu yang baru dikenalnya. <br />
<br />
23. Sabar. <br />
Berusaha melakukan pengendalian diri dan pengekangan hawa nafsu. Sehingga apa pun yang terjadi, baik hal itu berupa kebahagiaan maupun hal itu berupa penderitaan selalu diterimanya dengan nalar logisnya, bukan dengan sentimentil perasaannya.<br />
<br />
24. Berkompetensi. <br />
Memiliki keragaman kecenderungan, sehingga dia berusaha meningkatkan kualitas dan nilai kemampuannya dengan cara melalui: pendidikan, penguasaan keahlian, meningkatkan kemampuan secara berjenjang, dan banyak pengalaman terhadap segenap hal yang ditekuninya.<br />
<br />
25. Tidak Pernah Menunda-Nunda Pekerjaan. <br />
Apa pun yang telah menjadi komitmen dan konsistensinya, maka dalam kondisi yang bagaimana pun dia tetap serius, berkarya, dan melaksanakan tugasnya.<br />
<br />
26. CC (Commitment & Consistent). <br />
Bila dirinya telah CC, maka dia akan memikul tanggung jawab tersebut, memiliki kekuatan kehendak, tekun, dan sabar dalam menghadapi setiap datangnya kendala.<br />
<br />
27. Banyak Solusi. <br />
Mempunyai banyak solusi meski yang dihadapinya hanya satu persoalan. Bahkan seringkali solusi yang ditawarkan tidak lazim bagi kebanyakan orang, atau karena dia menggunakan sesuatu yang inovatif.<br />
<br />
28. Tidak Stres. <br />
Memiliki kekebalan terhadap stres, depresi, goncang, dan kekhawatiran yang berlebih-lebihan. <br />
<br />
29. Obsesinya Terus Meningkat. <br />
Memiliki kapasitas obsesi yang terus meningkat, dan dia selalu dapat mengikuti kemudian menerjemahkannya ke dalam perilaku yang sangat implementatif.<br />
<br />
30. Ada Keistimewaan. <br />
Allah swt memberinya kemampuan pada dirinya untuk dapat menata gagasannya, sehingga dia dapat menampilkan ide dan gagasannya secara berurutan serta berkesinambungan.<br />
<br />
31. Mencintai Gagasannya. <br />
Sangat bersemangat terhadap gagasan dan ide-idenya, guna merealisasikan ide dan gagasannya dia berani mencurahkan waktu, tenaga, dan biaya demi optimalisasi dan realisasi.<br />
<br />
32. Tidak Arogan. <br />
Perilakunya santun dan tidak pernah meremehkan orang lain, sebab setiap ketentuan itu datangnya pasti dari sisi Allah swt; itulah yang absolut.<br />
<br />
33. Bereaksi Cepat. <br />
Memiliki kemampuan bereaksi dengan cepat, spontan, adaptif, tetapi tetap bersifat fleksibel.<br />
<br />
34. Memiliki Motivasi Sukses. <br />
Baik sebagai motivasi, meningkatkannya, dan mempertahankan kesuksesannya.<br />
<br />
35. Berkepribadian Menarik. <br />
Diwujudkan dengan cermat dan cepat di dalam menetapkan setiap keputusan, di samping dia berkepribadian independen.<br />
<br />
36. Memiliki Semangat Kebersamaan. <br />
Hal ini disadari bahwa hidup di dunia ini penuh dengan keragaman, maka sikap yang diambil adalah selalu mendahulukan kebersamaan ketimbang mendahulukan kepentingan-kepentingan selain itu; tentunya dengan dibarengi pelaksanaan prinsip, “Bersama Boleh Beda”.<br />
<br />
37. Tidak Berhenti Berpikir. <br />
Berhenti berpikir itu pertanda kematian.<br />
<br />
38. Mental Juara. <br />
Memiliki mental juara, karena merasa dirinya mampu untuk itu.<br />
<br />
39. Bertanya Supaya Paham. <br />
Tidak malu bertanya, demi sebuah kepahaman dan kebenaran. Dia sadar bahwa bertanya adalah kuncinya ilmu pengetahuan.<br />
<br />
40. Berpengaruh. <br />
Mengerti segenap hal dan memahami segala apa yang telah menjadi keahliannya. Dia dapat berbicara bilamana menguasai data, manakala tidak paham maka dia akan mengatakan bahwa dirinya tidak tahu. Dari sini dia memiliki skala kepengaruhan yang sangat luas, dan terus meluas seolah tak mampu dibendung.<br />
<br />
41. Mengelola Pengalaman. <br />
Pengalaman baginya adalah potensi yang harus didesain secara urut dan berkesinambungan, bila sudah tersambung dia akan memiliki sebuah keyakinan.<br />
<br />
42. Cerdas. <br />
Memiliki kecepatan di dalam memahami segala sesuatu, dikarenakan dia memang cerdas.<br />
<br />
43. Be Happy. <br />
Selalu berpenampilan riang, bahagia, tenang. Sehingga keberadaannya di tengah-tengah keluarganya, masyarakatnya, dan komunitasnya senantiasa disukai.<br />
<br />
44. Asas Manfaat. <br />
Bila sesuatu itu tidak bermanfaat, maka serta-merta dia dengan cepat meninggalkannya. Sehingga orang yang tidak memahaminya, memiliki kecenderungan untuk mengatakan sebagai orang yang berubah-ubah.<br />
<br />
45. Berbahasa Lembut. <br />
Dia begitu mahir menempatan kata-kata di dalam hati orang lain, sehingga orang lain menjadi suka atau cinta.<br />
<br />
46. Pandai Berekspresi. <br />
Kuatnya keterlibatan intuitif di dalam mempengaruhi ekspresinya. <br />
<br />
47. Memorinya Kuat. <br />
Memiliki daya ingat yang tajam lagi kuat, meski dalam kondisi yang tersulit sekali pun.<br />
<br />
48. Tidak Mengeluh. <br />
Memiliki keteguhan kalbu, sehingga apa pun yang dialami dan menimpa dirinya, selalu dihadapinya dengan tidak mengeluh.<br />
<br />
49. Suka Membantu. <br />
Terdapat keinginan yang kuat untuk suka memberi, suka membantu, dan suka menolong; dengan prinsip ikut meringankan penderitaan orang lain.<br />
<br />
50. Husnudlan. <br />
Selalu berpikiran positif, dengan asumsi bahwa, sebaik-baik orang akan selalu ada keburukan dan kekurangannya. Sebaliknya, sejelek-jelek orang akan selalu ada kebaikan dan kelabihannya.<br />
<br />
51. Qana’ah. <br />
Senantiasa berpikir positif atas dirinya sendiri.<br />
<br />
52. Jujur. <br />
CC antara ucapan, pikiran, dan perbuatan; sehingga dia memiliki kematangan dalam berkepribadian.<br />
<br />
Bahasa Yang Membunuh<br />
Dalam kehidupan umat manusia, khususnya kaum muslimin, seringkali; baik disengaja atau tidak telah melakukan pembunuhan terhadap sebuah proses kreatif-inovatif –dan hal itu sangat berbahaya bila menimpa anak-anak kita, sebab mulai sedini mungkin kecerdasan dan kejeniusannya telah terenggut. Sehingga tak jarang mereka tidak berani melakukan tindakan-tindakan alternatif, meski hasilnya sebenarnya merupakan sebuah jawaban atas terjadinya kebuntuhan dari sebuah problematika. <br />
Ketidak-beranian tersebut sebenarnya karena ketidak-biasaannya di dalam menggagas, atau bisa jadi keterpasungan kreatifitas akibat dari ketakutannya terhadap bahasa-bahasa membunuh, atau memang terdapat sebuah usaha untuk membunuh setiap lahirnya kreatifitas dan inovasi.<br />
Karenanya, bagi seorang muslim yang menjadikan kecerdasan qur`ani dan kecerdasan hadisi, sebagai lingkungan kecerdasan sosial baik secara teori dan praktek. Hal itu merupakan daya dukung utama untuk lahirnya kecerdasan intuisi, yang membuahkan kecerdasan-kecerdasan lain di kehidupan umat manusia. Sebaliknya, mereka yang terjebak dengan egoisme keagamaan dan atau egoisme kelompok, maka lambat atau cepat, lingkungan atau struktural akan membiarkannya, atau bisa jadi membenturkannya begitu saja di setiap terjadinya kreatifitas dan enovasi kepada dinding-dinding kekolotan, yang dengan kokohnya akan membatasi produktifitas dan kreatifitas; sehingga tamatlah riwayat dari sebuah inovasi.<br />
Apa yang telah alfaqîr paparkan, mari cermati segenap ungkapan, baik spontan atau disengaja yang dapat membunuh lahirnya gagasan baru, yang di wilayah asumsi ijtihadi sebenarnya sangat dibutuhkan bagi kehidupan umat manusia.<br />
Inilah beberapa contoh bahasa beracun yang terkadang kita gunakan untuk membunuh lahirnya kreatifitas dan inovasi:<br />
1. Maaf ide-ide anda tidak bermutu. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk mendengarkannya. <br />
2. Kita dahulu pernah mencobanya, apa hasilnya?<br />
3. Wah, ide anda sangat membebani rupanya?!<br />
4. Gagasan anda sulit dilaksanakan.<br />
5. Kita tidak mampu melaksanakan gagasan-gagasan tersebut.<br />
6. Sebenarnya hal itu berada di luar tanggung jawab kita.<br />
7. Sudahlah, tidak usah neko-neko.<br />
8. Gara-gara ide anda, kita semua harus melakukan perubahan secara menyeluruh.<br />
9. Waktu kita terbatas, buatlah sesederhana mungkin gagasan anda.<br />
10. Itu sama halnya menyia-nyiakan segala fasilitas yang telah diberikan kepadanya.<br />
11. Dasar bodoh!<br />
12. Jangan munafik kamu!?<br />
13. Kita tidak ada pengalaman untuk dapat merealisasikan ide-ide anda.<br />
14. Anda tidak usah merepotkan diri sendiri. Kenapa sih harus banyak mengurus orang lain?!<br />
15. Sudahlah, turuti saja kemauannya.<br />
16. Sudahlah, yang penting beres.<br />
17. Ini sudah jamannya, jangan sok suci. Orang jujur akan hancur.<br />
18. Cari yang haram saja susah, apalagi cari yang halal.<br />
19. Jangan aneh-aneh kamu yang biasa-biasa saja. Saya belum pernah mendengarnya, gagasan macam apa itu?<br />
20. Jangan idealis, sudahlah yang realistis saja.<br />
21. Mengapa harus melakukan perubahan, biarkan saja semua berjalanan sebagaimana mestinya.<br />
22. Sekarang ini belum waktunya.<br />
23. Gagasan anda terlalu prematur untuk sebuah perubahan yang besar.<br />
24. Dana kita tidak memungkinkan.<br />
25. Apakah mampu kita merubah perilaku orang lain?<br />
26. Apakah mau dia diberitahu?<br />
27. Kamu itu siapa, kok mau melakukan perubahan.<br />
28. Tidak mungkin, jangan mimpi la…youw.<br />
29. Saya tidak mampu melaksanakan ide-ide anda, lebih baiknya kamu sendiri yang melaksanakannya, kan ide itu datangnya dari kamu.<br />
30. Lakukanlah apa yang hendak kamu lakukan. Saya tidak ikut-ikut.<br />
31. Apa mungkin pimpinan kita menyetujui?<br />
32. Apa beliau setuju dengan kecerdasan gagasan-gagasanmu?<br />
33. Yang pasti hanya sedikit yang mendukung idemu.<br />
34. Gara-gara idemu, kita menjadi bahan ejekan.<br />
35. Mungkin sepuluh tahun lagi, idemu itu mendapat dukungan.<br />
36. Untuk sekarang jangan harap ada yang mau mendukung.<br />
37. Metode apa ini, kami sebelumnya tidak pernah menggunakan yang macam-macam.<br />
38. Rupanya kita belum siap melaksanakan gagasan ini.<br />
39. Tidak dianggarkan untuk ide-ide yang seperti itu.<br />
40. Mbok yaho jangan muluk-muluk, saya khawatir nanti kamu jatuh.<br />
41. Jika ide kamu itu bagus, pasti sudah banyak yang mendukungnya.<br />
42. Itu artinya, ide kamu jelek. Tidak relevan dengan pikiran kita-kita.<br />
43. Dahulu ada orang yang seperti kamu jalan pikirannya, ternyata juga tidak tercapai cita-citanya.<br />
44. Dia itu shalat, kok masih mau berbohong?!<br />
45. Kamu jangan sok berlagak, pasti kamu akan tahu sendiri akibatnya.<br />
46. Gagasan anda bisa didiskusikan di lain waktu saja.<br />
47. Ini bukan tempat yang cocok untuk membahasnya.<br />
48. Membuat begitu saja kok tidak bisa. Sebenarnya apa yang dapat anda lakukan?!<br />
49. Wah, kita bukan maqamnya!<br />
50. Tidak ada kapasitas dalam diri kita. Sudahlah jangan ikut-ikut.<br />
51. Sekarang ini proyek kita sangat banyak.<br />
52. Maaf, saya sangat sibuk.<br />
53. Mengganggu saja kamu ini.<br />
54. Dasar kamu, otakmu tidak berguna.<br />
55. Paling yang begitu-begitu saja. Perhatikan dia itu usianya sudah kepala tiga, toh belum nikah juga.<br />
56. Laksana bunga, mekarnya ada batas waktunya.<br />
57. Jangan khawatir, wong masih muda saja. Nanti sajalah jika umurmu sudah memasuki kepala empat.<br />
58. Gaya kamu! Anak kemarin sore saja sok tahu.<br />
59. Jangan khawatir semuanya berjalan sesuai dengan rencana.<br />
60. Saya yakin, anda akan menjadi orang yang merugi, bila gagasan itu benar-benar kamu sampaikan kepadanya.<br />
61. Berpikirlah yang sesuai dengan umum, biar tidak menjadi bahan tertawaan dan gunjingan.<br />
62. Saya jamin, pasti dia tidak akan menerima usulan anda.<br />
63. Jangan bergerak terlalu cepat, yang rugi nanti kamu sendiri.<br />
64. Lebih baik menunggu saja.<br />
65. Perhatikan, berhasilkah dia?<br />
66. Itu artinya kami harus menambah jam lembur.<br />
67. Mana mungkin.<br />
68. Tidak mungkin.<br />
69. Tulis saja ide-ide kamu, bila ada waktu senggang nanti akan saya baca.<br />
70. Jangan membual.<br />
71. Apa sih maumu?<br />
72. Mana aturannya? Tidak ada tata tertibnya kan?<br />
73. Hal itu tidak cocok buat orang macam kita.<br />
74. Itu teorinya, apakah mungkin teori sama persis dengan prakteknya?<br />
75. Benarkah kamu berani?<br />
76. Kami kekurangan tenaga untuk melaksanakannya.<br />
77. Jangan berkata begitu kalau tidak mencukupinya.<br />
78. Hati-hati nanti kamu jatuh.<br />
79. Modern ya modern, tapi jangan kebablasan.<br />
80. Kamu itu lho, ngomong kok aneh, seperti barang antik saja.<br />
81. Coba pahamilah perasaan kami.<br />
82. Problematika kami tidak sekadar itu, tapi lebih besar lagi. Oleh karena jangan ganggu kami.<br />
83. Ok! Saya akan bentuk panitianya. Jika sudah selesai nanti akan saya beritahu kamu.<br />
84. Semua itu bukan salah kita.<br />
85. Semua itu bukan masalah kita.<br />
86. Kamu itu terlalu inovatif.<br />
87. Kamu itu terlalu kreatif.<br />
88. Mbok… jangan aktif-aktif, nanti kamu cepat bosan.<br />
89. Jangan begitulah caranya.<br />
90. Kamu itu sudah ketinggalan jaman.<br />
91. Apakah mampu kamu meyakinkan publik?<br />
92. Mengapa baru sekarang kamu sampaikan?<br />
93. Apakah kita harus kembali kebelakang?<br />
94. Komoditas kita masih tetap meningkat.<br />
95. Itu semua tidak ada kaitannya. Cobalah berpikir yang lain saja.<br />
96. Kita ini harus mengikuti aturan mainnya. Jika tidak, mana mungkin berhasil!?<br />
97. Maaf, tidak ada dalam rencana kami!<br />
98. Maaf, hal itu tidak ada dalam anggaran kami!<br />
99. Jadilah kamu seperti saya!<br />
100. Tidak mungkin kamu menggapainya, percayalah dengan omongan saya.<br />
<br />
Kendala-Kendala Berpikir Kreatif & Inovatif<br />
Kendala-kendala ini tidak lain adalah variabel yang beragam, di mana kendala itu seringkali menghalangi munculnya pemikiran kreatif dan inovatif pada diri seorang.<br />
Kendala-kendala tersebut biasanya meliputi: struktural, lingkungan, kepribadian, pendidikan, emosional, dan motivasional; yang sewaktu-waktu akan menghadang lahirnya sebuah kreatifitas dan inovasi. Di samping itu, baik langsung maupun tidak langsung juga akan memangkas pertumbuhan dan perkembangannya, bahkan tidak jarang kemunculannya atau kelahirannya.<br />
Sebagaimana yang telah alfaqîr saksikan di kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pesantren, mereka sebenarnya memiliki daya kreatifitas dan daya inovasi yang hebat. Tetapi tidak jarang (baca: seringkali) mereka harus menghadapi atau berhadapan dengan kultur mereka yang memasung kreatifitasnya. Sehingga kecerdasan dan kejeniusan yang mereka miliki harus mengalami persalinan prematur. Dengan demikian mereka tidak pernah lagi memahami dan mengerti akan kemampuan keunggulan diri mereka di dalam survival di kehidupannya. Dan hal ini sangat merugikan kaum muslimin, karena otak-otak yang cemerlang dengan segenap pencerahannya harus memasuki tempat pemasungan, bila tidak tiang gantungan.<br />
Kenyataan itu lebih diperparah lagi, dengan keadaan tradisi status quo di mana kaum muslimin lebih banyak mengejar konsekuensi ketimbang berlomba-lomba mempertahankan (baca: merebut) substansi secara esensial. Artinya, mereka tidak mau bersusah-payah untuk menemukan sesuatu, atau berbuat yang lebih kreatif lagi; karena mereka beranggapan bahwa apa yang telah dilakukannya telah mencapai maksimal. Sehingga mereka memilih upaya penyelamatan daripada mengejar proses kemajuan namun mengandung berbagai macam resiko. Dan, kondisi yang demikian akan berpengaruh langsung pada kualitas: kerja, belajar, ibadah, berusaha, dan berpikir. Yang pada akhirnya mereka akan menjadi manusia yang tergolong ber-social capital rendah. <br />
Adapun kendala-kendala yang seringkali muncul dalam sebuah proses kreatif dan inovasi, sebagai berikut:<br />
1. Kekurangan daya dukung sarana dan prasarana.<br />
2. Terdapatnya aturan yang tidak memanusiakan manusia. Sebab, manusia dianggapnya sebagai robot yang terprogram.<br />
3. Hilangnya kemauan, semangat, dan motivasi.<br />
4. Terdapatnya tekanan-tekanan kelembagaan yang hal itu sangat tidak menguntungkan, sehingga pertumbuhannya menjadi mandul dan stagnan.<br />
5. Tidak terdapatnya iklim inovatif di lingkungan: pekerjaan, belajar, keluarga, masyarakat, dan di semua jenjang kehidupan.<br />
6. Cepat berpuas diri.<br />
7. Terdapatnya perasaan khawatir dan curiga terhadap segala hal yang baru.<br />
8. Tidak biasa hidup dengan disiplin waktu. Sehingga cenderung berperilaku jam karet di dalam mengisi waktu-waktunya.<br />
9. Tidak pernah memperhatikan kontrol atas kualitas. Dikarenakan selalu mengejar target-target kuantitas dalam rangkan sekadar memenuhi formalitas.<br />
10. Tidak cepat menyesuaikan dengan terjadinya perubahan-perubahan, terutama dalam lingkungannya yang baru.<br />
11. Pola pendekatan yang digunakan dari atas ke bawah (trickel down effect). Tidak dibiasakan dengan pendekatan partisipasi aktif dari bawah (bottom up).<br />
12. Tidak adanya kerja tim yang solid. Disebabkan adanya: saling curiga, saling menuduh, saling melempar tanggung jawab, saling mengumpat, dan terjadinya salah paham.<br />
13. Tidak adanya kesempatan untuk kreatif dan inovatif di lembaga tersebut.<br />
14. Sangat sibuk dengan problematika hidup, seperti: pekerjaan, rumah tangga, dan anak.<br />
15. Lingkungan yang tidak mendukung untuk terjadinya inovasi dan kreatifitas.<br />
16. Terjadinya ritme kerja yang cepat, dan cenderung instan.<br />
17. Terjadinya like and dislike.<br />
18. Terjadinya sekterian.<br />
19. Tidak adanya evaluasi, atau terlalu lamanya tenggang waktu antara pelaksanaan kerja dengan proses evaluasi.<br />
20. Padatnya waktu dengan hal-hal bersifat rutin, sehingga tidak memberi peluang untuk berpikir, berkreasi, dan bereksperimen.<br />
21. Menjadi orang kepercayaan, adalah keadaan yang menjadikan diri seseorang terpasung kreatifitasnya.<br />
22. Tidak cerdas.<br />
23. Profesi yang digeluti tidak mendukung untuk terjadinya inovasi.<br />
24. Terjebak pada figuritas, sehingga segala sesuatunya cenderung sentralistik.<br />
25. Boros waktu dan dana hanya untuk meeting-meeting.<br />
26. Tidak terdapatnya kesempatan untuk melakukan perubahan-perubahan.<br />
27. Tumpang-tindihnya kebijakan-kebijakan umum di lembaga tersebut.<br />
28. Tidak memahami sifat, karakter, dan kiat-kiat untuk berinovasi.<br />
29. Terdapatnya pribadi-pribadi para tokoh yang tidak dapat diajak untuk berpikir kreatif dan inovatif.<br />
30. Terdapatnya nepotisme, atau KKN di dalam memilih dan menempatkan personal.<br />
31. Tidak adanya platform dalam sistem operasionalnya.<br />
32. Terdapatnya pribadi-pribadi futur, sehingga lemah dan loyo di dalam menyelesaikan segenap amanah yang telah ditugaskan kepadanya.<br />
33. Tidak terdapatnya agenda kerja, schedule, dan perencanaan yang matang.<br />
34. Taklid terhadap segenap apa yang telah dipercayainya, tanpa mau menerima pembaharuan-pembaharuan yang bersifat kritis.<br />
35. Ketidaksiapannya lembaga di dalam menyukseskan pikiran-pikiran kreatif dan inovatif.<br />
36. Merasa putus asa dengan lingkungan yang tidak siap menerima perubahan yang ditawarkannya, padahal pekerjaan atau aktifitas yang dilakukannya benar-benar untuk kesejahteraan publik.<br />
37. Terlalu banyak alasan, sebagai langkah awal untuk membela diri (apologia).<br />
38. Memegang filsafat berpikir yang salah, misal, “Segala apa yang telah anda ketahui itu jauh lebih utama, ketimbang segala hal yang belum anda ketahui.”<br />
39. Takut gagal, sehingga takut berusaha. Akhirnya dia memilih menekuni yang rutinitas.<br />
40. Terdapatnya cercaan dan sedikitnya perhatian bagi orang-orang yang kreatif dan inovatif.<br />
41. Terdapatnya karakter kepribadian yang hanya siap menerima perintah.<br />
42. Tidak mau merekrut orang-orang yang berkepribadian kreatif dan inovatif.<br />
43. Tidak terdapatnya pembinaan dan pembibitan yang intensif guna melahirkan kader-kader yang kreatif dan inovatif.<br />
44. Berpikiran dan berwawasan sempit, sehingga tidak berlapang dada dengan hadirnya sesuatu yang inovatif.<br />
45. Tidak tahan dan imune dengan terjadinya perbedaan.<br />
46. Tidak berani melakukan pengurbanan, dalam rangka menunjang kesuksesan gagasan inovasinya.<br />
47. Tidak berpengalaman.<br />
48. Banyak menggantungkan kepada orang lain.<br />
49. Tidak mau memahami kepribadian, karakter, watak, dan kehendak-kehendak orang lain.<br />
50. Tidak punya keahlian.<br />
51. Tidak punya jaringan kontak person dengan orang-orang kreatif dan inovatif.<br />
52. Takut dituduh pembuat onar.<br />
53. Tidak tersedianya kesempatan untuk bebas mengemukakan pendapat.<br />
<br />
Mendorong & Mengembangkan Pemikiran Inovatif<br />
Pemikiran inovatif adalah identik dengan kebiasaan berpikir di kalangan kaum muslimin di negeri ini. Sebagaimana hal itu memang telah diteladankan oleh para Walisongo dan para ulama sepuh kita di Nusantara ini. Perhatikan, bagaimana dakwah Islam di Nusantara ini dapat berhasil, dikarenakan kerja kreatif dan inovatif para Walisongo dan para ulama Nusantara ketika itu. Di mana mereka selalu berpikir, agar masyarakat Nusantara yang notabene-nya adalah masyarakat berpaham dinamisme, animisme, hindu, budha, dan kepercayaan-kepercayaan lain; dengan kultur agraris. Dapat dengan mudah menerima pesan-pesan Islam, dan semaksimal mungkin untuk dihindari benturan-benturan sosial yang akan membawa jatuh kurban pada pihak orang-orang yang tidak berdosa. Sehingga ditemukanlah model-model dakwah yang inovatif untuk ukuran waktu itu, seperti: Wayang kulit; Mocopat; Arsitektur masjid; Gamelan; Sarung; Blangkon; Tembang dolanan; Pengajian; Kopyah hitam; Bubur suro; Arsitektur rumah joglo; Terbang jedor; dan masih banyak yang lainnya.<br />
Untuk konteks bangsa Indonesia, sekarang ini memiliki sumber daya manusia yang luar biasa cukup banyak, tinggal bagaimana kita mendesain mereka menjadi sebuah produk pemberdayaan yang unggul. Betapa bangsa kita akan menjadi sebuah pemimpin dunia, bila human capital investment benar-benar diberdayakan hingga menjadi social capital yang handal dan tangguh. Insya Allah dalam waktu yang relatif singkat, sumber daya alam negeri ini akan disulap menjadi ‘mesin pencetak uang’ tanpa harus melakukan eksploitasi atas sumber daya alam tersebut. <br />
Rusaknya alam di negeri ini lebih disebabkan rendahnya social capital masyarakat bangsa ini. Rendahnya social capital mereka, disebabkan model pendidikan nasional dan model pendidikan agama tidak signifikan dalam melahirkan peserta didiknya menjadi manusia-manusia kreatif dan inovatif. Sebaliknya, model pendidikan yang ada lebih menjadikan peserta didik seperti robot yang tidak memiliki kemampuan inovasi sama sekali.<br />
Padahal yang tidak boleh dilupakan, setiap manusia dilahirkan Allah azza wa jalla ke muka bumi ini dengan segenap potensi yang dapat dikembangkan, agar mereka mampu melakukan survival atas lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alamnya. <br />
Sudah saatnya bangsa Indonesia membenahi model pendidikannya, dan para cerdik-pandai serta para ulama juga harus berani merubah model pendidikan yang disampaikan melalui lembaga-lembaga mereka. Jika tidak, akan semakin banyak manusia-manusia terdidik lahir di negeri ini, namun mereka tidak memiliki kualitas yang berarti sebagai agen perubahan demi terciptanya tradisi berpikir inovatif. Sebaliknya, mereka akan menjadi beban pemerintah dikarenakan social capital mereka sangat rendah. <br />
Alfaqîr yakin, bila kondisi sangat kondusif untuk melakukan pengembangan pemikiran inovatif di kalangan kaum muslimin di negeri ini. Maka, dalam waktu yang relatif singkat akan terjadi kejutan besar, dan bangsa Indonesia akan menjadi pemimpin yang progresif di dunia ini dalam rangka menciptakan persemakmuran mardlatillah. <br />
Di mana para inovator di negeri ini akan menciptakan berbagai schedule kerja yang baru dan kreatif, serta solusi-solusi yang ditawarkan tidak konservatif yang selalu berkecenderungan mendukung terciptanya iklim taklid dan kondisi status quo; guna memecahkan permasalahan yang telah mendera bangsa yang sangat kita cintai ini. <br />
<br />
Hidup Manusia Selalu Inovatif<br />
Siapa pun tidak mampu membendung kreatifitas dan daya inovasi seseorang. Dikarenakan, manusia di mana pun ditakdirkan oleh Allah jalla jalâluh hidup dan bersosial diri selalu mengembangkan daya inovasinya, baik dalam bentuk yang paling sangat sederhana hingga lompatan-lompatan inovasi yang sangat cepat dengan menciptakan kejutan-kejutan besar. Itulah anugerah Allah swt.<br />
Coba renungkan perjalanan inovasi umat manusia di dunia ini. Berawal dari sebuah gendongan atau memikul beban. Tetapi, inovasi pemikiran mendorongnya untuk lebih ringan kerjanya tetapi kapasitas barang yang diangkut semakin banyak, ditemukanlah gerobak. Dari gerobak terus berkembang hingga ditemukan alat-alat angkut darat, laut dan udara.<br />
Begitu juga berawal dari menggesek dua batu untuk mendapatkan percikan api. Namun lalu berkembang pada penggunaan energi listrik, air, angin, dan matahari untuk mendapatkan percikan api.<br />
Juga, di dalam mendapatkan berita-berita. Dulu para ‘orang pintar’ menggunakan jasa telepati. Tetapi, sekarang telah berkembang dengan demikian pesatnya, untuk mengetahui kabar dan berita, kita cukup menghidupkan radio atau TV, tinggal angkat gagang telephone atau handphone. <br />
Kondisi inilah yang oleh Ki Ronggowarsito digambarkan dengan pesan relijiusnya, “Besok jika telah ada tenggelamnya kapas dan terapungnya batu hitam. Jenggolo Manik dapat dilihat dari Blambangan….”<br />
Tidak diragukan lagi, semua yang alfaqîr paparkan di atas merupakan kerja inovatif pemikiran umat manusia dari waktu ke waktu. Dan, realitas itu akan semakin berkembang dan terus berlanjut, bahkan dengan sangat cepat. Bila kaum muslimin, khususnya para ulama, cendekiawan muslim, intelektual muslim, dan mahasiswa muslim tidak mau mengimbanginya dengan lompatan-lompatan; mustahil akan terjadi kejutan besar. Kita tidak dapat menunggu. Tetapi kita harus bekerja keras untuk selalu melakukan pengembangan pemikiran inovatif, baik dalam lingkup: yayasan-yayasan Islam, lembaga sosial, pondok pesantren, lembaga pendidikan, sosial ekonomi, budaya; skala nasional dan internasional; dll.<br />
Oleh karena dalam semua tingkatan kehidupan kaum muslimin, harus menciptakan lingkungan yang kondusif untuk memotivasi pemikiran inovasi. Dengan mendayagunakan berbagai sarana bantu demi lahir dan munculnya pengembangan pemikiran inovatif. Misalnya, semakin ditradisikannya di lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan menggunakan model pendidikan curah gagasan, menulis esai, penelitian sosial, riset, pengembangan metodologi, dan mulai dikenalkan cara berpikir filosofis yang meliputi: ontologi, axiologi, dan epistimologi ilmu pengetahuan. Sehingga hal ini diharapkan akan mampu mendorong lahirnya sebuah kreatifitas berpikir di dalam melakukan pengembangan pemikiran inovatif, sebagai bentuk nuansa baru di kehidupan kaum muslimin. <br />
Fokus pengembangan berpikir inovatif, di samping kepada segenap sumber daya manusia di negeri ini --lingkungan, budaya, tradisi, habits, wacana, dan media-- juga harus diinovasikan pula, guna mempercepat terjadi kejutan besar tersebut. <br />
Karenanya, para pendidik dan para ulama, dituntut pula untuk memperhatikan pemeliharaan inovasi dan memotivasi kreatifitas, serta menciptakan suasana yang kondusif bagi perkembangan anak didik dan shantri yang inovatif. <br />
Seperti dikatakan Dr.Sayid al-Hawari, “Kita harus mencoba alternatif-alternatif yang baru dan kreatif dalam kehidupan kita. Karena kekuatan hakiki kita bersemayam dalam batin kita yang paling dalam. Metode paling ampuh untuk menghadapi rasa takut, adalah dengan bersikap sebagai pemberani yang siap menantang apa yang kita takuti. Ketika masih kanak-kanak, kita adalah orang-orang yang kreatif dan gemar berpetualang. Kita dulu sering mencoba dan bertanya-tanya, serta mendayagunakan imajinasi kita secara mengagumkan. Tetapi ketika besar, kita semuanya justru belajar untuk menempuh jalan yang sama, dan bersikap masa bodoh terhadap jalan lain yang belum ditempuh oleh siapa pun. Sesungguhnya kekuatan yang tersembunyi masih tetap ada dan terpendam dalam jiwa kita, dan kita masih bisa menggerakkannya kapan saja untuk mendorong kita menuju keberhasilan.” (Baca juga Buku 52 Langkah: Membangun Kepribadian Kreatif & Inovatif; yang kami tulis bersama isteri, red).<br />
Oleh karena di dalam hidup keseharian kita, sebagai seorang muslim-mukmin harus benar-benar memperhatikan setiap kata-kata yang meluncur dari mulut orang lain, atau yang justru kita ucapkan sendiri. Disebabkan, kita sering menganggap remeh lalu-lintas kata-kata yang terjadi di sekeliling kita. Padahal bagi orang yang memiliki pemikiran inovatif, justru dari lalu-lintas kata-kata tersebut akan muncul hal-hal yang inovatif, sesuatu yang besar, daya cipta, dan kehendak-kehendak yang dahsyat. Sebab, kata-kata yang meluncur keluar tersebut bagi telinga seorang yang inovatif akan melahirkan: kerja inovasi, pembaharuan, dan kreatifitas. <br />
Adapun contoh kata-kata tersebut, antara lain:<br />
1. Topik yang sungguh bagus.<br />
2. Luar biasa cara penyampaian anda.<br />
3. Sungguh anda telah melahirkan gagasan yang jenius.<br />
4. Semoga Allah ta’âlâ memberkahimu.<br />
5. Semoga Allah swt selalu menyertakan kesuksesan buatmu.<br />
6. Anda tipe orang yang dibutuhkan umat.<br />
7. Semoga Allah azza wa jalla meridlaimu menjadi pemimpin di negeri ini.<br />
8. Sungguh ini inovasi baru.<br />
9. Bismillâhi masyâ Allâh. Lâ quwwata illâ billâh.<br />
10. Subhâna-llâh. Wa-llâhu akbar.<br />
11. Ini sesuatu yang baru bagi kami.<br />
12. Yakinlah! Allah swt niscaya akan menolongmu.<br />
13. Insyâ Allâh, aku dapat membantumu.<br />
14. Masyâ Allâh, lâ quwwata illâ billâh.<br />
15. Antum khairun nâs.<br />
16. Kamu memang is the best.<br />
17. Luar biasa, jika kaum muslimin di negeri ini mau mengikuti langkah-langkahmu.<br />
<br />
Kiat Mengembangkan Kemampuan Inovasi & Kreatifitas Berpikir Anda<br />
1. Yakinilah, bahwa daya inovasi dan kreatifitas ada juga dalam diri anda. Sebab, hal itu memang telah dianugerahkan oleh-Nya kepada setiap hamba-Nya. Harus percaya, jika Allah ta’âlâ telah menakdirkan anda sebagai manusia yang kreatif. Oleh sebab itu, lakukanlah sekarang! Temukan kemampuan diri anda! Buang jauh-jauh yang membuat anda ragu-ragu! Dan, berkonsultasilah dengan orang-orang yang anda anggap mampu membantu anda.<br />
2. Realisasikan cita-cita, terutama realisasikan yang orang lain tidak mampu merealisasikannya. Ingat! Kreatifitas adalah kemampuan nalar logis berpikir yang mendorong seseorang untuk berupaya dan mencari sesuatu yang baru.<br />
3. Jangan takut salah, bila anda salah itu berarti awal dari sebuah kerja kreatif supaya selanjutnya tidak mengulangi kesalahan yang semisal. Sadarilah! Kegagalan adalah jalan keberhasilan. Dan, barangsiapa yang diawalnya terbakar, maka diakhirnya ia akan terang benderang. Ingat! Sesuatu yang menjemukan diawalnya, maka bila tetap ditekuni anda akan merasakan keberhasilannya.<br />
4. Percayalah dengan realitas, bila anda menghendaki menjadi orang besar di masa yang akan datang percayalah akan eksistensi realitas. Karena keberhasilan dan kegagalan adalah realitas itu sendiri. Tidak ada jaminan kemewahan akan mampu menghantarkan anda menjadi orang besar. Dikarenakan kemewahan merupakan sesuatu yang semu sifatnya, bukan realitas.<br />
5. Biasakan menerima perbedaan, kehidupan manusia tidak dapat dijawab dengan jawaban matematis. Begitu juga dengan problematika hidup, ia tidak dapat diatasi pula dengan persoalan matematis. Biasakan diri anda dapat menerima ragam pendapat dan sudut pandang yang bermacam-macam dari orang lain. Yang penting anda harus mampu mendesain keragaman dan heterogenitas itu sebagai modal untuk melakukan inovasi. Biasakan pula anda berpikir terbuka dan melakukan interaksi sosial dengan siapa saja yang mendukung ide-ide kreatifitas anda.<br />
6. Siap menerima kritik, lahirnya karya kreatif selalu menuntut sikap berlapang dada. Karena faktor subyektifitas akhirnya menjadi berbeda itu hal yang biasa. Yang penting anda harus tetap menghormati pendapat orang lain dan pengalaman para orang tua. Tanpa harus merasa tersudut dan gagal.<br />
7. Harus ahli, pemikiran inovatif adalah ‘air mata kemanusiaan’, ia akan terus mengalir hingga Hari Kiamat. Masa depan kehidupan dunia ini tergantung pada keahlian manusia-manusia yang berpikiran inovatif. Karena hanya manusia yang ahli saja yang mampu memanfaatkan ‘air mata kemanusiaan’ tersebut.<br />
8. Selalu inovatif, jika anda tidak ingin lembaga yang anda pimpin mati atau hancur berantakan. Selalulah anda mendesain lembaga tersebut dengan kerja inovasi yang terus-menerus.<br />
9. Hindari rutinitas, ketahuilah rutinitas itu laksana peti mati. Jika anda tidak ingin mati kehabisan oksigen segeralah melompat keluar. Dan, segera pula dayagunakan kemampuan-kemampuan terpendam yang anda miliki, masih tersimpan rapi dan orisinil pada: ruh, kalbu, jiwa, dan emosi kesadaran anda.<br />
10. Membangkitkan potensi intusi, manusia diciptakan Allah azza wa jalla telah dibekali dengan kekuatan-kekuatan yang akan mampu mendorongnya kepada puncak keberhasilan. Tetapi seringkali anda menelantarkan dan menyepelekan kekuatan dahsyat tersebut. Terbukti, anda lebih mengejar konsekuensi ketimbang substansi. Terbukti, anda lebih penyelamatan dengan memilih berlindung di balik ketiak rutinitas. Terbukti, anda sangat sibuk mencari identitas anda. Terbukti, anda hanya menghidupkan sebagian otak anda.<br />
11. Taufik dan pertolongan Allah swt, yakinlah Allah ta’âlâ akan menolong orang yang mau kreatif dan inovatif. Oleh karena harus disadari, bila yang terjadi dari setiap kekuatan berpikir dan berinovasi, semata karena anda dituntun oleh taufik-Nya dan anda mendapat pertolongan-Nya. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DESAIN MENGEMBANGKAN <br />
INOVASI & KREATIFITAS <br />
BERPIKIR ALA MENEJEMEN NABAWI<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Adalah guru kami Syaikh Datuk Ali Muntaha dalam bukunya, yang berjudul al-Munjiat, menasihatkan, “Wahai anakku, sesungguhnya kemampuan seorang manusia itu laksana arus air yang deras, atau sungai yang airnya terus mengalir tanpa berhenti sebelum sampai ke muara, dan akhirnya ke samudera luas. Adapun seorang mu’allim (seorang ulama) yang cerdas adalah mereka yang pandai membuka setiap sumbatan yang menyumbat di setiap aliran air sungai tersebut, atau pandai di dalam menghubungkan jaringan air itu sehingga sampai ke muara. Dan, suatu perbuatan yang aniaya, bila ia membuat segalanya tersumbat, sehingga air tidak dapat lagi mengalir sebagaimana mestinya.” <br />
Apa yang menjadi nasihat datuk kami itu adalah desain jelas yang telah diletakkan oleh Rasulullah saw, di dalam mengembangkan sebuah inovasi & kreatifitas berpikir. Terlebih hal itu sangat penting, bila seorang muslim menghendaki menjadi pribadi yang berjiwa wirausaha dan wiraswasta (entreprenuership). Dan, tampaknya para sahabat Nabi memiliki kemampuan yang handal di bidang itu, terbukti: <br />
Pertama, mampu lepas dari embargo dagang kaum kafir Makkah. <br />
Jika Nabi saw beserta para sahabatnya tidak memiliki jiwa inovatif & kreatif, maka kaum muslimin telah hancur dari awal perjalanan dakwahnya. Di mana tidak (?), dalam beberapa waktu, mereka tidak diperkenankan untuk melakukan kontak dagang. Bahkan, hampir semua masyarakat Quraisy tidak mau melakukan transaksi dagang dengan kaum muslimin, pada waktu itu. <br />
Ternyata dalam kondisi yang sangat genting tersebut, Rasulullah saw mampu menyadarkan para sahabatnya yang rata-rata baru memeluk dinul Islam. Desain inilah, yang patut kita teladani sebagai sebuah keberhasilan menejemen dari seorang “putera padang pasir”, yang sebelumnya tidak pernah sekolah dan bergaul dengan dunia luar --di luar Makkah.<br />
Kedua, mampu membangun Negara Islam Madinah, suatu model negara yang tiada tandingannya hingga Hari Kiamat. <br />
Keberhasilan kaum muslimin saat diembargo ketika masih berada di Makkah, telah dijadikan pelajaran yang sangat berharga, sehingga hal itu tidak boleh terulang lagi. Maka dari itu, saat pasca hijrah di Madinah, Rasulullah saw bersama para sahabatnya yang rata-rata telah solid memeluk dinul Islam, tidak mau lagi kecolongan dengan tipu muslihat dan kelicikan para kafir Quraisy, para Badui, dan para Yahudi.<br />
Sehingga langkah awal yang dilakukan Nabi saw saat tiba di Madinah adalah: <br />
1. Mendirikan masjid.<br />
2. Menyaudarakan segenap kaum muslimin dari golongan Anshar dengan golongan Muhajirin.<br />
3. Menjadikan masjid sebagai sentral kegiatan dan laboratorium sosial kemasyarakatan.<br />
Dan, ternyata hasilnya luar biasa, dalam waktu yang relatif sangat singkat untuk ukuran mendirikan sebuah sistem dalam suatu negara. Apa yang telah menjadi azzam beliau beserta para sahabat dan kaum muslimin, sehingga segera terwujud. <br />
Sekali lagi Rasulullah saw benar-benar telah mempraktekkan sebuah menejemen pemberdayaan dengan mengembangkan inovasi & kreatifitas berpikir, di kalangan sahabat dan masyarakat Arab ketika itu. <br />
<br />
Keberhasilan Pola Pendidikan Nabawi<br />
Pola pendidikan nabawi dalam mendorong terjadinya pengembangan inovasi dan kreatifitas berpikir di kalangan sahabat Nabi, sungguh luar biasa keberhasilannya dan dampak langsung yang terjadi di masyarakat yang tinggal di Jazirah Arabia; khususnya yang bermukim di sekitar wilayah Makkah dan wilayah Madinah. <br />
Hal itu dapat dilihat dari para figur yang dihasilkan dari proses pendidikan ala menejemen nabawi, dengan berbagai keahlian dan keragaman kemampuan yang bersifat kompetensi, sehingga menghasilkan berbagai macam peran di dalam mendesain pemberdayaan di masyarakat jahiliah. <br />
Apa yang telah dilakukan oleh Nabi saw di dalam melakukan kaderisasi di kalangan sahabatnya, benar-benar merupakan sebuah “sistem dakwah” yang didukung dengan aktualisasi “epistimologi Islam”, sebagai sebuah platform pemberdayaan “manusia mulia" yang cerdas. <br />
Sehingga dalam waktu yang sangat cepat, beliau telah membuat simpatik masyarakat jazirah Arabia dan sekitarnya. Dari perilaku simpatik masyarakat itulah, beliau dapat diterima oleh siapa saja. Dengan demikian visi-misi dinul Islam secara mudah dapat diterima sebagian masyarakat jahiliah di dalam melakukan perubahan demi perubahan, guna menerima “pesan langit” yang berupa risalah islamiah dan kerasulan beliau dalam rangka meredesain masyarakat manusia agar mau menerima ajaran tauhid yang lebih dahulu disosialisasikan dan dikomunikasikan oleh Nabi Ibrahim as. Seperti telah diketahui, bahwa “epistimologi Islam” telah diletakkan oleh Nabi Ibrahim as.<br />
Rasulullah saw telah mewariskan “sistem dakwah” dan “epistimologi Islam” secara apik dan disiplin, kepada para sahabat beliau; khususnya sahabat Abu Bakar as-Shiddiq ra dan sahabat Umar bin Khaththab ra. Dan, seterusnya mereka juga telah mewariskan “sistem dakwah”, “epistimologi Islam”, dan “metodologi dakwah”; berkat pemikiran-pemikiran yang dilakukan secara ijtihadi.<br />
Tradisi yang demikian bagus dan dinamik ini terus bergulir secara turun-temurun kepada generasi Islam, mulai generasi: sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, salafush shalih, dan ulama abad pertengahan, seperti: Jabir bin Hayyan (peletak ilmu kimia modern), Ibnu Sina (peletak dasar-dasar pencangkokan tulang), Ibnu Khaldun (peletak dasar pembuatan peta dunia), al-Khawarizmi (penemu bilangan pecahan desimal dan peletak dasar ilmu al-jabar), ar-Razi (penemu teori kimia baru yang sangat bermanfaat buat dunia kedokteran), Ibnu Hazm (ulama, ilmuwan, sejarahwan, failosof, fuqaha’ dan mufasir), al-Gazali (ulama, ilmuwan, mutashawifin, teolog, dan inqiunis sejati), Ibnu Rusyd (failosof dan pemikir muslim), al-Kindi (failosof dan cendekiawan muslim), Ibnu Taimiah (peletak dasar teori pasar, muhadis, fuqaha’, ulama, dan reformer), dll.<br />
Dan, tradisi di atas terus berkembang hingga lahirlah para ulama kontemporer, fuqaha’ muakhir, teolog mujaddid, dan ilmu-ilmu modern yang lainnya. Sebut saja: Prof.Dr.Abdussalam, Ayatullah Ruhullah Kumaini, Dr.Hasan Hanafi, Dr.Abdurrahman ad-Dakhil Wahid, KH.Sahal Mahfudz, Abdulkarim Soroush, asy-Syahid al-Imam Hasan al-Bana, Prof.Dr.HM.Quraish Shihab, Prof.Dr.Alwi Shihab, Abul A'la al-Maududi, dll.<br />
<br />
<br />
Tiga Dasar Pola Pendidikan Nabawi<br />
Jika kita cermati di dalam sejarah dan sirah nabawi, maka dapat ditemukan tiga hal pokok sebagai dasar dari pola pendidikan nabawi, yang telah dimenejemenkan, yaitu:<br />
1. Menghindarkan dari pola pikir jumud (mandeg).<br />
2. Mendorong terjadinya transparansi intelektual.<br />
3. Mengembangkan curah gagasan sebagai sarana pemberdayaan.<br />
Guna memahami ketiga dasar pola pendidikan nabawi, tepatlah kiranya diriwayatkan sebuah hadis Nabi saw yang dirawikan oleh Imam Bukhari ra dan Imam Muslim ra dalam Kitab Bulûghul Marâm. Di mana telah diriwayatkan, bahwa pada Perang Ahzab, Nabi saw telah bersabda, <br />
<br />
“Janganlah salah seorang di antara kalian menunaikan shalat ashar, kecuali di Bani Quraidlah.”<br />
<br />
Beberapa rombongan sahabat mendapati waktu ashar di tengah perjalanan. Maka, sebagian dari mereka berkata, “Kami tidak akan shalat ashar, sampai kami tiba di Bani Quraidlah.”<br />
Dan, sebagian yang lain ada yang berkomentar, “Kami akan shalat, tidak ada larangan bagi kami untuk melakukannya.”<br />
Lalu, kejadian tersebut mereka ceritakan kepada Rasulullah saw. Dan, beliau sama sekali tidak menyalahkan salah satu pihak dari mereka.<br />
Bila, diperhatikan secara seksama golongan pertama mewakili pola pemikiran yang mengambil hujah dari “dhahir nash”. <br />
Sebagaimana diketahui bahwa dhahir nash berbunyi, <br />
<br />
“Janganlah salah seorang di antara kalian menunaikan shalat ashar, kecuali di Bani Quraidlah.” <br />
<br />
Bagi golongan pertama, apa yang tertera di dalam dhahirnya nash, maka itulah yang harus dipahami dan dijadikan sebagai hujah. Jika keluar dari pemahaman yang demikian, maka golongan ini menganggapnya sebagai perilaku yang menentang sunnah Rasulullah saw.<br />
Adapun untuk golongan yang kedua mewakili pola pemikiran yang mengambil hujah dari “menyimpulkan makna-makna yang tersirat dalam nash”. Golongan ini berpikiran kritis, dalam rangka memahami apa sebenarnya yang menjadi maksud nash, atau hikmah apa yang terdapat di balik kandungan nash tersebut. <br />
Dalam konteks hadis Nabi saw tersebut di atas, golongan kedua beranggapan bahwa, Rasulullah saw hanya memerintahkan agar mereka bergerak dengan sangat cepat. Oleh karenanya, menunaikan shalat ashar sebelum sesampainya di Bani Quraidlah bukan sesuatu yang bertentangan dengan kandungan nash. Artinya, selama shalat yang didirikan untuk tidak membuat rombongan itu terlambat untuk sampai di Bani Quraidlah; tidak ada masalah, masih sejalan dengan maksud nash.<br />
Dan, apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi tersebut merupakan cerminan, bahwa di dalam dinul Islam sangat menghargai bagi setiap muslim-mukmin yang mau mengerahkan segenap kemampuannya untuk berijtihad. Jika memang mereka telah memenuhi: syarat, adab, dan akhlak berijtihad.<br />
Di samping itu dinul Islam --dalam hal ini Nabi saw-- benar-benar menghormati pemikiran yang berbeda, asal tidak keluar dari semangat, pesan, dan ruh daripada nash yang ada. Sebaliknya, Islam justru mendorongnya ke dalam iklim untuk saling memahami jika terjadi perbedaan di dalam berinovasi dan berkreatifitas dalam berpikir. Maksudnya, dari kedua golongan sahabat Nabi yang melakukan aktifitas berpikir itu secara nyata telah dihormati oleh Nabi saw. <br />
Luar biasa pribadi Rasulullah saw, melihat kondisi yang erat dengan interaksi sosial tersebut, beliau benar-benar telah memberikan keteladanan kepada para sahabatnya, dan secara umum kepada segenap umat manusia. Bahwa, sikap beliau yang membolehkan kedua sahabatnya berbeda itu, benar-benar beliau berkehendak supaya tidak lagi terjadi tradisi jumud (stagnasi), seperti yang lazim terjadi di masyarakat jahiliah. Dalam konteks hadis Nabi saw tersebut di atas, beliau tidak menghendaki terjadinya keseragaman di dalam berpikir dan berpendapat. <br />
Sebaliknya, Nabi saw menghendaki terjadinya keterbukaan di dalam berpikir dan menyampaikan pendapat. Sedangkan, bila terjadi perbedaan pendapat, itu sebuah konsekuensi yang mesti diterima. Disebabkan, bisa jadi perbedaan yang muncul lebih dikarenakan sudut pandangannya saja yang berbeda. Dan, hal ini biarkan saja terjadi sebagaimana “mengalirnya air yang mengalir menuju muara, untuk kemudian bergabung dengan samudera-Nya”. <br />
Manakala kondisi seperti di atas itu dapat dijaga, maka tidak akan pernah terjadi “pemasungan kreatifitas”. Justru yang terjadi adalah “perubahan berpikir”, sehingga tidak ada lagi “saluran tersumbat”, “air menggenang”, dan “air meluap”. Demikianlah rahmat Allah azza wa jalla di dalam menganugerahi dan mengarunia proses inovasi dan berpikir kreatif di kalangan para hamba-Nya. <br />
Pilar asasi di dalam mengembangkan daya inovasi dan kreatifitas berpikir, tidak lain adalah terjadinya “perbedaan pendapat”. Apabila di dalam berinteraksi dan berkomunikasi tidak terjadi “perbedaan pendapat”, maka dinamika kehidupan umat manusia menjadi kosong, interaksi sosial dengan masyarakat menjadi bebas tanpa ada pahala dari-Nya (baca juga buku yang alfaqîr susun dengan judul "Indahnya Perbedaan", 2003, red). <br />
Jika Rasulullah saw saja telah memberikan keteladanan kepada kita semua. Maka, sudah selayaknya bila para: ulama, pejabat, pemimpin, dan pendidik untuk selalu mendorong agar muncul sikap dan perilaku, sebagai berikut: <br />
1. Senantiasa mendorong terjadinya pengembangan inovasi dan kreatifitas berpikir.<br />
2. Senantiasa mendorong agar tidak terjadi kejumudan di dalam berpikir.<br />
3. Senantiasa mendorong terjadinya keterbukaan intelektual.<br />
4. Senantiasa memotivasi supaya tidak sesering mungkin untuk melakukan perbedaan pendapat.<br />
5. Senantiasa memahami sesuatu di dalam menangkap berbagai problematika yang muncul.<br />
6. Senantiasa berpikir logis, kritis, analitis, dan menghindarkan diri dari berpikir mistis.<br />
<br />
Memecahkan Persoalan Secara Inovatif<br />
Diriwayatkan dalam sirah nabawiah pernah terjadi peristiwa restorasi Ka’bah, hampir seluruh kabilah yang berada di wilayah kekuasaan suku Quraisy, beramai-ramai ikut terlibat di dalam proyek restorasi tersebut. Masing-masing kabilah mengambil bagian, mana yang mereka suka untuk dibangunnya secara sendiri-sendiri. <br />
Dan, menjadi persoalan besar, hampir saja menjadikan pertikaian di antara kabilah yang terlibat proyek restorasi Ka’bah tersebut, ketika sampai pada tahapan merestorasi pojok Hajar Aswad. Pertikaian yang telah mengarah kepada terjadinya peperangan itu telah membuat masing-masing kabilah sangat tegang, kejadian itu hampir satu minggu lamanya.<br />
Masing-masing dari kabilah merasa yang paling berhak untuk mengembalikan ‘batu hitam’ itu ke tempatnya semula. Karena dari masing-masing kabilah berebut benar, akhirnya yang terjadi adalah dari kabilah-kabilah yang ada kesemuanya merasa paling benar. Dan, hal itu tidak akan terjadi, bila kabilah-kabilah yang ada “berebut salah”, karena mereka menyadari tentunya bahwa semuanya dapat diatasi dengan jalan dialogis dan musyawarah untuk mufakat.<br />
Akhirnya pertumpahan darah dapat dihindari dengan segera, setelah tokoh paling senior dari suku Quraisy, yang bernama Abu Umaiah bin Mughirah bin Abdillah bin Amr bin Makhzum; memimpin musyawarah di dalam Masjidil Haram. Kemudian disepakati, “Barangsiapa ada orang yang masuk pintu masjid duluan, itulah orang yang berhak mengembalikan si batu hitam.”<br />
Ternyata tidak begitu lama dari acara kemufakatan dalam musyawarah itu, datanglah seorang pemuda, yang tak lain adalah Muhammad bin Abdullah. Di saat para tokoh Quraisy melihat kedatangannya, maka serta merta mereka berseru, “Inilah orang yang terpercaya (al-âmin). Kami ridla dengan Muhammad.”<br />
Beberapa saat pemuda yang bernama Muhammad bin Abdullah menerima pengaduan duduk perkaranya yang sebenarnya terjadi. Setelah beliau memahami dengan seksama, lalu beliau berkata, “Bawakan untukku sebuah kain.”<br />
Setelah kain di dapat, maka lalu pemuda yang bernama Muhammad bin Abdullah tersebut mengangkat si batu hitam itu ke atas kain yang telah beliau hamparkan di tanah. Kemudian beliau memberikan aba-aba seraya berkata, “Hendaknya setiap kabilah memegang setiap ujung dari kain ini, dan mengangkatnya bersama-sama.” <br />
Dengan patuh para tokoh yang mewakili kabilahnya masing-masing tersebut beramai-ramai mengangkat si batu hitam untuk didekatkan dengan tempatnya. Baru setelah benar-benar dekat Muhammad bin Abdullah mengangkat batu hitam itu dengan kedua tangannya, guna meletakkan Hajar Aswad tersebut di tempatnya, yakni “pojok Aswad” (ruknul aswad). Begitulah, akhirnya Ka’bah benar-benar selesai direstorasi 18 tahun sebelum hijrah Nabi saw ke Madinah.<br />
Keberhasilan gagasan Rasulullah saw ketika itu, menandakan bahwa beliau sangat inovatif dan berpikir kreatif di saat masyarakatnya sedang mengalami krisis. Dengan ide briliannya itulah, Rasulullah saw menunjukkan kelasnya tersendiri di jajaran tokoh masyarakat Quraisy, meski umurnya masih relatif sangat muda. Kecerdasannya di dalam menggagas ide yang inovatif dan lompatan berpikirnya yang sangat kreatif, telah membuat kekaguman di kalangan suku Quraisy. <br />
<br />
Nabi Selalu Memotivasi Untuk Terjadinya Perubahan<br />
Diriwayatkan, Rasulullah saw mendapatkan informasi, bahwa kafilah dagang Quraisy telah datang dari Syam. Dengan tujuan untuk segera kembali ke Makkah, dikarenakan kafilah tersebut membawa harta yang banyak. Lalu, Rasulullah saw memerintahkan para sahabat untuk segera melakukan penghadangan.<br />
Apa yang hendak dilakukan oleh Nabi saw, ternyata telah diketahui oleh Abu Sufyan, selaku pemimpin rombongan kafilah. Maka, segera ia mengirimkan orang ke Makkah untuk memberikan pertolongan dengan cepat. Sebab, bila tidak dilakukan dengan cepat, maka harta yang banyak akan jatuh ke tangan orang lain. Dengan kelihaiannya, Abu Sufyan bersama kafilah dagangnya dapat meloloskan diri dari kepungan tentara kaum muslimin. <br />
Pada saat itulah, pasukan kaum muslimin tidak berhadapan dengan kafilah dagang dalam rangka untuk melakukan penyergapan. Sebaliknya, pasukan kaum muslimin berhadapan dengan pasukan kafir Quraisy dengan jumlah personil dan peralatan yang tidak sebanding. <br />
Menangkap perubahan yang 180o dari rencana semula, ternyata Rasulullah saw tidak nervous sama sekali. Sebaliknya, beliau semakin tampak lebih cerdas di dalam menyelesaikan kemelut itu. Karena, jika salah di dalam mengambil keputusan dan berstrategi, akibatnya sangat fatal nanti, yaitu akan menelan banyak korban dari pihak kaum muslimin.<br />
Maka, kondisi yang terburuk yang dialami Nabi saw ketika itu, beliau menentukan langkah-langkah praktis-strategis, di antaranya:<br />
1. Terdapatnya keyakinan Nabi saw, bahwa segala sesuatu itu akan mengalami perubahan sejalan dengan perubahan waktu. Dengan kata lain, ijtihad itu dapat berubah sesuai dengan waktu dan tempat.<br />
2. Terdapatnya perilaku disiplin Nabi saw di dalam menetapkan dan menjalankan sesuatu.<br />
3. Terdapatnya sikap waspada di kehidupan Rasulullah saw.<br />
4. Terdapatnya kemampuan Rasulullah saw di dalam melakukan interaksi sosial, dengan sikon yang berubah 180o, tetapi beliau masih tetap inovatif.<br />
5. Terdapatnya kemampuan untuk mengetahui seberapa besar jumlah pasukan musuh, dan hal ini sangat penting.<br />
6. Terdapatnya sikap Nabi saw kongkrit dalam rangka melakukan konsolidasi internal kaum muslimin.<br />
7. Terdapatnya habits bermusyawarah dalam tradisi nabawiah.<br />
8. Terdapatnya keikhlasan di dalam berdoa kepada-Nya. Karena beliau yakin, yang mampu menolong hanyalah Dia, dan datangnya kemenangan pun juga dari-Nya.<br />
9. Terdapatnya kemampuan inovatif dan berpikir kreatif Nabi saw di dalam menangkap setiap perubahan-perubahan.<br />
<br />
Nabi Selalu Memotivasi Supaya Muncul Pemikiran Inovatif & Kreatif<br />
Guna memperoleh data yang lengkap bagaimana Nabi saw di dalam memotivasi sahabatnya, sehingga muncul pemikiran yang inovatif & kreatif. Alangkah bagusnya alfaqîr kutipkan riwayat dalam sirah nabawi, di saat Nabi saw melakukan persiapan di dalam Perang Badar (Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, ar-Rahîqum Makhtûm, Bahtsun fis Siratin Nabawiah ‘ala Shahibiha Afdhalish Shalati Was Salam, 1414H).<br />
Rasulullah saw membawa pasukannya ke mata air Badr, agar dapat mendahului pasukan orang-orang Quraisy. Sehingga mereka bisa menghalangi orang-orang Quraisy untuk menguasai mata air itu. Maka, pada petang hari mereka sudah tiba di dekat mata air Badr. <br />
Di sinilah Hubab bin Mundzir ra tampil layaknya seorang penasihat militer, seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau mengenai keputusan berhenti di tempat ini? Apakah ini tempat berhenti yang diturunkan Allah kepada engkau? Jika begitu keadaannya, maka tidak ada pilihan lain bagi kami untuk maju atau mundur dari tempat ini. Ataukah ini sekadar pendapat, siasat, dan taktik perang?”<br />
Nabi saw menjawab, “Ini adalah pendapatku, siasat, dan taktik perang.”<br />
Hubab berkata, “Wahai Rasulullah, menurutku tidak tepat jika kita berhenti di sini. Pindahkanlah orang-orang ke tempat yang lebih dekat lagi dengan mata air daripada mereka (pasukan Quraisy, red). Kita berhenti di tempat itu dan kita timbun kolam-kolam di belakang mereka. Lalu, kita buat kolam yang kita isi air hingga penuh. Setelah kita berperang menghadapi mereka. Kita bisa minum dan mereka tidak bisa.”<br />
Nabi saw bersabda, “Kamu telah menyampaikan pendapat yang jitu.”<br />
Maka, Rasulullah saw memindahkan pasukannya, sehingga jarak mereka dengan mata air lebih dekat daripada pihak pasukan Quraisy. Separoh malam mereka berada di tempat itu, lalu mereka membuat sebuah kolam air dan menimbun kolam-kolam yang lain.<br />
Dari nukilan peristiwa sirah tersebut di atas, jelaslah bahwa Rasulullah saw sosok pemimpin yang memiliki kepribadian yang senantiasa mendorong terciptanya pengembangan inovasi dan berpikir kreatif. Dan, beliau bukan pribadi yang tiran, di mana untuk selalu memaksakan kehendaknya. Terbukti, Nabi saw menerima saran strategi militer dari seorang prajurit semisal sahabat Hubab.<br />
Tidak hanya dalam satu kasus tersebut di atas, Nabi saw melakukan tindakan be motivated terhadap para sahabatnya. Masih dalam peristiwa sirah di ‘ainul badr. Tatkala pasukan kaum muslimin sudah berhenti di tempat yang dimaksudkan, dekat dengan mata air, maka sahabat Sa’d bin Mu’adz ra mengusulkan kepada Nabi saw, bagaimana jika orang-orang muslim membuat tempat khusus bagi beliau untuk memberikan komando, sekaligus sebagai antisipasi adanya serangan yang mendadak serta kemungkinan jika mereka terdesak dan sebelum memastikan kemenangan.<br />
Sahabat Sa’d berkata, “Wahai nabiullah, bagaimana jika kami membuat sebuah tenda bagi engkau dan kami siapkan kendaraan di sisi engkau, kemudian biarlah kami yang menghadapi musuh? Jika Allah memberikan kemenangan kepada kita atas musuh, maka memang itulah yang kami sukai. Tapi, jika hasilnya lain, maka engkau bisa langsung duduk di atas kendaraan, lalu bisa menyusul orang-orang di belakang kami. Di sana masih ada beberapa orang yang tidak ikut bergabung dengan kami. Wahai nabiullah, mereka jauh lebih mencintai engkau daripada cinta kami kepada engkau. Jika mereka menganggap bahwa engkau harus menghadapi perang, tentu mereka tidak akan mangkir dari sisi engkau. Allah pasti membela engkau bersama mereka, memberikan nasihat kepada engkau dan berjihad bersama engkau.”<br />
Maka, Rasulullah saw memohon dan mendoakan kebaikan sahabat Sa’d. Lalu, pasukan kaum muslimin membuat sebuah tenda di tempat yang tinggi, tepatnya di sebelah timur laut dari medan perang…(Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, 1414H).<br />
Dari peristiwa sirah kedua yang alfaqîr paparkan di atas, juga menunjukkan bahwa Rasulullah saw memahami usulan baik dari sahabat Sa’d. Sehingga dengan reaksi spontan beliau mendoakannya, dan membiarkan pasukan di bawah komandonya Sa’d membuat tenda sebagaimana yang diusulkan oleh sang komandan.<br />
Dalam Perang Khandaq, Rasulullah saw pun juga menerima usulan strategis yang disampaikan oleh sahabat Salman al-Farisi ra. Di mana informasi yang sampai kepada Rasulullah saw, bahwa dalam waktu yang relatif sudah dekat Kota Madinah akan diserang dari berbagai penjuru oleh kaum kafir Quraisy dan orang-orang Yahudi yang membelot, dengan berkekuatan 10 ribu pasukan. <br />
Nabi saw segera menyelenggarakan majelis tertinggi permusyawaratan, untuk merencanakan pertahanan atas Kota Madinah. Setelah diskusi dan terjadi dialog yang melelahkan, akhirnya disepakati oleh majelis untuk menggunakan usulan sahabat Salman al-Farisi ra.<br />
Dikatakan oleh sahabat Salman, “Wahai Rasulullah, dulu jika kami orang-orang Parsi sedang dikepung musuh, maka kami membuat parit di sekitar kami.”<br />
Apa yang menjadi usulan Salman, sebelumnya tidak pernah dikenal oleh bangsa Arab dalam berperang. Namun Rasulullah saw segera mem-follow up-i usulan yang sangat bijaksana tersebut. Di mana setiap sepuluh kaum muslimin diharuskan menggali parit sepanjang 40 hasta (Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, 1414H).<br />
Hasilnya sungguh luar biasa, pasukan kaum muslimin yang berjumlah 3.000 orang dapat mengalahkan pasukan kualisi kafir Quraisy yang berjumlah 10.000 orang.<br />
Melalui ketiga usulan dalam peristiwa sirah yang alfaqîr terangkan di atas, kini kita menjadi lebih tahu bahwa sebenarnya Nabi saw senantiasa memotivasi para sahabat dan kaum muslimin, agar mereka melakukan pemikiran-pemikiran yang inovatif dan kreatif, membuka peluang yang lebar untuk merealisasikannya, dan mengadopsinya tanpa memandang siapa yang mengajukan usulan atau gagasan tersebut; baik yang datangnya dari tokoh masyarakat maupun dari kalangan masyarakat yang tidak populer.<br />
Dari peristiwa sirah tersebut di atas, semakin jelas bahwa Nabi saw tidak memangkas atau memasung kreatifitas dan daya inovasi dari sebuah pemikiran yang dilontarkan manusia biasa non nubuwah, dengan bingkai kenubuwahan beliau sebagai sosok pribadi yang maksum, yang tidak tersentuh oleh kesalahan sedikit pun.<br />
Dalam peristiwa di atas Rasulullah saw benar-benar menjunjung tinggi kaidah umum Islam, yang menegaskan bahwa hendaknya setiap muslim tidak mengabaikan akalnya yang merdeka dan pemikirannya yang jeli, baik dalam perilaku maupun dalam semua urusan dan kondisinya. <br />
Syariat Islam sama sekali tidak suka bila kaum muslimin mengikuti dan mengekor bangsa lain tanpa dilandasi kepahaman. Pada saat yang sama, syariat Islam merasa senang bila mereka menghimpun segenap sisi kebaikan dan semua prinsip yang mendatangkan manfaat, di mana pun hal itu ada dan ditemukan. <br />
<br />
Nabi Biasa Merekrut Pribadi-Pribadi Unggul<br />
Adalah Rasulullah saw sosok pribadi unggul yang senantiasa mendorong tumbuh berkembangnya para bibit unggul, khususnya di kalangan sahabat beliau. Bahkan dalam menejemen pemberdayaan, beliau memiliki cara tersendiri di dalam merekrut para bibit unggul guna memperkuat sistem menejerial dakwah Islam di kala itu. Dikarenakan, beliau sadar bahwa pribadi-pribadi yang unggul juga merupakan salah satu faktor penentu di dalam keberhasilan dakwah Islam.<br />
Secara teknis Nabi saw memiliki dua cara di dalam merekrut bibit unggul: <br />
a. Mencari orang yang berbakat<br />
b. Berdoa kepada Allah azza wa jalla.<br />
Pertama, Mencari orang yang berbakat.<br />
Diriwayatkan setelah penaklukan Kota Makkah (fathul Makkah), Rasulullah saw memerintahkan sahabat Bilal bin Abi Rabbah ra untuk mengumandangkan adzan di atas Ka’bah. Maka, dengan segera sahabat Bilal memenuhi perintah Rasulullah saw tersebut, dan itulah adzan pertama kali yang dikumandangkan oleh Bilal di Makkah. Di saat Bilal mengumandangkan adzan, banyak dari orang-orang Quraisy yang kaget campur bingung, bahkan tidak sedikit yang mengejek dan membenci adzannya sahabat Bilal. <br />
Tak terkecuali dengan seorang pemuda belia, yang saat itu umurnya baru 16 tahun, yaitu Abu Mahdzurah al-Jumahi Salamah bin Mayar; di mana Mahdzurah memiliki suara yang paling bagus di antara mereka, setelah terdengar semakin lantang dan keras di dalam menirukan adzannya Bilal dengan nada adzan yang mengejek. Maka, serta merta Rasulullah saw memerintahkannya agar perbuatan pemuda itu dihentikan dan membawanya untuk menghadap kepada beliau.<br />
Mendengar dipanggil oleh Rasulullah saw, Mahdzurah sontak menjadi kaget campur takut, jangan-jangan nanti dibunuh oleh Nabi saw. Ternyata apa yang diasumsikannya, bahwa dia pasti akan dibunuh menjadi salah, sebab setelah Mahdzurah berada di hadapan Nabi saw, beliau mengusap keningnya dan dadanya dengan tangan beliau.<br />
Setelah kejadian tersebut Abu Mahdzurah berkomentar, “Mata hatiku pun penuh dengan keimanan dan keyakinan, serta aku tahu bahwa beliau adalah Rasulullah. Setelah itu, Rasul saw mendektekan dan mengajarkan adzan kepadaku, serta memerintahkanku agar menjadi muadzin penduduk Makkah, padahal usiaku pada waktu itu baru 16 tahun.” (Kitâb Fikih Sirah, yang ditulis Dr.Muhammad Said Ramadhan al-Buthi).<br />
Berdasarkan peristiwa sirah tersebut di atas, maka dapatlah kiranya pengenalan atas pribadi berbakat menjadi acuan pemberdayaan di dalam melakukan rekrutmen para bibit unggul. Supaya tidak terjadi salah pilih di dalam melakukan pengaderan dan pengembangan pemberdayaan. <br />
Kedua, Berdoa kepada Allah azza wa jalla.<br />
Dalam riwayat yang masyhur, Nabi saw pernah berdoa kepada Allah azza wa jalla supaya dua Umar, maksudnya: Amr bin Hisyam dan Umar bin Khaththab menjadi kekuatan dinul Islam. <br />
Pandangan Rasulullah saw sangat logis, dikarenakan kedua orang tersebut sangat berpengaruh di Makkah, khususnya di masyarakat Quraisy pada waktu itu. Dan, ternyata oleh Allah swt, Umar bin Khaththab-lah yang dipilih-Nya untuk memperkuat barisan dakwah kaum muslimin. <br />
Dengan memeluknya Umar bin Khaththab menjadi muslim, maka muncul semangat baru di kalangan kaum muslimin (esprit de corp). Di sisi yang lain, masyarakat Quraisy menjadi tidak berani main-main dan menyepelekan kaum muslimin, utamanya Rasulullah saw; sebab Nabi saw dengan kaum muslimin keberadaannya menjadi diperhitungkan.<br />
Dalam sirah yang kedua tersebut di atas, Rasulullah saw menggunakan pendekatan berdoa di dalam melakukan rekrutmen sumber daya unggul guna memperkuat barisan kaum muslimin.<br />
Oleh karena dikatakan seorang bijak, “Yang melindungi orang-orang yang unggul adalah orang yang unggul. Sebab, tidak tahu keunggulan seseorang, jika tidak sesama orang-orang unggul. Maka, untuk mencari orang unggul perhatikan dengan seksama siapa saja yang berada di sekelilingnya, dan kepada siapa dia merujukkan segenap persoalan di dalam kehidupannya.”<br />
Diriwayatkan dalam sebuah sabdanya, Nabi saw berkata, <br />
<br />
“Jauhilah teman yang buruk. Sesungguhnya kamu akan dikenal dengan (keburukan)-nya” (Hr.Ibnu Asakir).<br />
<br />
<br />
Nabi Mendorong Lahirnya Sebuah Ijtihad<br />
Ijtihad adalah “ruang gerak” intelektualitas, intuisionalitas, dan relijiusitas seorang muslim di dalam berusaha mengerti, memahami, melengkapi, dan mengamalkan praktek keberagamaannya. Sementara ruh ijtihad adalah inovasi, kreatifitas, dan apresiasi. Mengenai hal ini dinul Islam sangat mendorongnya, seperti telah diteladankan Nabi saw, di mana beliau senantiasa memotivasi lahirnya ijtihad tersebut. Suatu misal, terdapat di dalam dua riwayat sirah yang masyhur mengenai “hadis Mu’adz bin Jabal” dan “hadis tayamum Amru bin Ash”. <br />
Pertama, Mengenai “hadis Mu’adz bin Jabal”.<br />
Di saat Nabi saw hendak mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau bertanya, “Dengan apa kamu akan memutuskan?”<br />
Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan dengan Kitabullah.”<br />
Nabi saw bertanya, “Jika kamu tidak menemukannya?”<br />
Mu’adz menjawab, “(Aku putuskan) dengan sunnah Rasulullah.”<br />
Nabi saw bertanya, “Jika kamu tidak menemukannya?”<br />
Mu’adz menjawab, “Aku berijtihad menggunakan pendapatku.” Lalu, Nabi pun menepuk dada Mu’adz, seraya bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah dan membimbingnya kepada apa yang diridlai oleh Allah azza wa jalla.”<br />
Hadis Mu’adz tersebut di atas memberikan pendidikan kepada kaum muslimin, bahwa seorang Rasulullah yang maksum telah mampu memberikan dorongan kecerdasan berpikir, sehingga mendorong sahabatnya untuk berpikir kreatif dan melakukan tindakan inovatif, dengan cara “menepuk dadanya” dan ucapan beliau, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah….”<br />
Kedua, Mengenai “hadis tayamum Amru bin Ash”.<br />
Diriwayatkan saat sahabat Amru bin Ash ra diutus Perang Dzatus Salasil, ia berkata, “Aku bermimpi junub pada malam yang sangat dingin. Aku khawatir jika mandi aku akan mati, maka aku bertayamum. Lalu melaksanakan shalat subuh bersama teman-temanku.”<br />
Ketika kami datang menghadap Rasulullah saw, mereka menceritakan hal itu kepada beliau. Nabi bersabda, “Wahai Amr, kamu melaksanakan shalat bersama teman-temanmu, sedang kamu dalam keadaan junub?”<br />
Aku menjawab, “Aku ingat firman Allah, ‘…dan, janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya, Allah Mahapenyayang kepadamu’ (Qs.an-nisâ`: 29). Karenanya aku bertayamum, lalu melaksanakan shalat.”<br />
Rasulullah saw tertawa, dan tidak mengatakan apa pun (Hr.Ahmad, Abu Dawud, Hakim, Daruquthni, dan Ibnu Hibban).<br />
Hadis Amru bin Ash tersebut di atas, memberikan pendidikan kepada kaum muslimin, bahwa tertawanya dan diamnya Rasulullah saw, sebagai bentuk ketetapan (taqririah) atas ijtihad sahabat Amru bin Ash ra, mengenai dibolehkannya tayamum pada cuaca yang sangat dingin. <br />
<br />
Nabi Mendidik Dirinya Dengan Kepribadian Yang Matang<br />
Dalam suatu riwayat diterangkan, bahwa Nabi saw sebelum diangkat menjadi rasul, berhari-hari beliau habiskan waktunya untuk berkhalwat (membangun kepribadian MAQ & EIn-Q, red) di Gua Hira; terutama jika datang Bulan Ramadlan. Yang dikerjakan beliau ketika di dalam gua, lebih memperbanyak kuantitas dan kualitas dzikrullah dan tafakur; semata ditujukan untuk meningkatkan ketaqaruban beliau kepada Allah jalla jalâluh. <br />
Segenap apa yang dilakukan Nabi saw ketika berada di dalam gua, tidak lain adalah untuk mempersiapkan keunggulan kepribadian beliau sebagai seorang insan kamil, yang kemudian diangkat oleh-Nya sebagai salah seorang utusan-Nya. Jadi, capaian yang diperoleh Nabi saw selama berkhalwat di dalam gua, adalah melesatnya kepribadian beliau di puncak kreatifitas dan inovasi dengan mental yang tangguh yang dijiwai dengan hidupnya rûhul ilahiah.<br />
Adapun secara khusus banyak hadis yang menerangkan keunggulan dan kematangan pribadi Nabi saw, antara lain:<br />
1. Beliau saw pernah mengucapkan di salah satu doanya, <br />
<br />
“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan, dan matikanlah aku selaku orang miskin” (Hr.Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim).<br />
<br />
2. Diriwayatkan, pada suatu ketika Nabi saw datang ke rumah isteri beliau, A`isyah binti Abu Bakar ra. Ternyata di rumahnya tidak ada makanan. Keadaan seperti itu diterimanya dengan sabar. Lalu, beliau menahan laparnya dengan berpuasa” (Hr.Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasâ`i).<br />
3. Diriwayatkan oleh Ibunda A`isyah ra, bahwa pada suatu malam Nabi saw mengerjakan shalat malam, di dalam shalat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaat shalatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya, namun beliau tetap terus melakukan shalat sampai azdannya Bilal bin Abi Rabbah terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi saw demikian tekun melakukan shalat, Ibunda A`isyah bertanya, “Wahai junjunganku, bukankah dosa engkau yang terdahulu dan yang akan datang telah diampuni Allah? Mengapa engkau masih banyak melakukan shalat?”<br />
Nabi saw menjawab, “Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur” (Hr.Bukhari & Muslim).<br />
4. Diriwayatkan sahabat Ali bin Abi Thalib kw, ia berkata, <br />
<br />
“Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, kita tidak pernah berlomba-lomba untuk melakukan suatu kebaikan, melainkan Abu Bakar selalu mendahului kita dalam melakukannya.”<br />
<br />
5. Diceritakan oleh Ziyad, ia berkata, “Aku mendengar Mughirah ra berkata, <br />
<br />
“Adalah Nabi saw mendirikan shalat sampai kedua kakinya lecet.”<br />
Ketika ada yang mengatakan ini dan itu kepada beliau, beliau hanya menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?” (Hr.Bukhari, dari Mus’ir, dari Abu Nu’aim).<br />
<br />
Jadi, sosok pribadi Nabi saw, atau sosok para sahabat beliau benar-benar mencerminkan pribadi yang matang, sehingga dengan mudah mampu melesatkan kreatiftas dan inovasinya.<br />
<br />
Nabi Selalu Menciptakan Kondisi Be Motivated<br />
Dalam rangka menumbuhkan kondisi yang memotivasi (be motivated) seseorang agar dapat bangkit dengan segala kreatifitas dan inovasinya. Rasulullah saw banyak memberikan penghargaan-penghargaan (reward), di antaranya:<br />
1. Pemberian gelar pada nama sahabatnya.<br />
Banyak dari sahabat beliau yang telah mendapatkan gelar atau julukan yang memotivasi dari beliau, misalnya: Abu Bakar ash-Shiddîq (pembenar); Umar bin Khaththab al-Faruq (pembeda yang hak dengan yang batil); Hamzah bin Abdul Muthalib Asadullâh (singa Allah); Abu Ubaidah Aminu Hadzihil Ummah (bendaharawan umat Islam); Khalid bin Walid Syaifullâh al-Maslul (pedang Allah yang terhunus); dan Zaid bin Haritsah Hubbu Rasulillâh (kesayangan Rasulullah).<br />
2. Pemberian tanggung jawab.<br />
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra, ia berkata, <br />
<br />
“Ketika akan pergi Perang Khaibar, Rasulullah saw bersabda, ‘Aku akan memberikan bendera ini kepada orang yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, yang Allah akan meletakkan kemenangan di tangannya’.”<br />
Berkata sahabat Umar bin Khaththab ra, “Aku tidak pernah ingin memegang pimpinan kecuali pada saat itu, maka aku menunjukkan diri karena ingin dipanggil oleh Rasulullah saw.”<br />
Mendadak Rasulullah saw memanggil sahabat Ali bin Abi Thalib kw, dan memberikan bendera itu kepadanya, sambil dipesan, “Berjalanlah! Dan, janganlah menoleh ke belakang sehingga Allah memenangkan kamu.”<br />
Maka, berjalanlah Ali beberapa langkah, kemudian berhenti tetapi tidak menoleh sambil menjerit, “Ya Rasulullah, atas dasar apa aku memerangi orang?”<br />
Nabi saw menjawab, “Perangilah mereka sehingga mengaku, bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan Muhammad, Rasulullah. Maka, apabila mereka telah mengakui demikian, berarti mereka telah terpelihara harta dan darah mereka, kecuali dengan haknya dan perhitungan mereka terserah kepada Allah ta’âlâ” (Hr.Muslim, Kitâb Riâdlush Shâlihîn).<br />
3. Pemberian harapan yang nyata.<br />
Diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khaththab ra, ia berkata, <br />
<br />
“Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya segenap amal itu tergantung dari niatnya. Dan, sesungguhnya segala sesuatu itu diterima dikarenakan niatnya. Maka, barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan, barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya terhadap apa yang menjadi keinginannya’.” (Muttafaqun ‘alaih).<br />
<br />
Dan, juga diterangkan dalam riwayat dari sahabat Anas bin Malik ra, Rasulullah saw bersabda dalam apa yang dikatakan dari firman-Nya, <br />
<br />
“Jika seorang hamba mendekat kapada Ku sejengkal, maka aku mendekat kepadanya sehasta. Jika mendekat kepada Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Dan, jika datang kepada Ku berjalan, Aku datang kepadanya berjalan cepat” (Hr.Bukhari, hadis qudsi, Kitâb Riâdlush Shâlihîn). <br />
<br />
4. Pemberian pengakuan.<br />
Nabi saw pernah berkata kepada Ja’far ra, dikatakan dalam suatu riwayat, “Kamu sangat mirip denganku dalam sifat-sifat fisik dan akhlak.”<br />
Demikian halnya, Nabi saw juga pernah berkata kepada Ustman bin Affan ra, “Tidak akan membahayakan Ustman apa yang dilakukannya setelah hari ini.”<br />
Kepada sahabat Abu Dzar al-Ghifari ra, beliau berkata, “Selama tumbuhan masih rindang dan debu masih bertebaran, tidak akan ada ahli bahasa yang lebih jujur, dan lebih jitu perkataannya daripada Abu Dzar.”<br />
Dari ketiga “pemberian” Rasulullah saw, maka lembaga pendidikan atau lembaga pengaderan akan mampu mengarahkan segenap potensi dan bakat yang dimilikinya. Sehingga pada suatu saat ia mencapai pada kesuksesan, dikarenakan ia memang memiliki perilaku percaya diri. (Baca buku alfaqîr yang berjudul "Filsafat Manusia: Upaya Memanusiakan Manusia", 2004, red).<br />
Pemberian motivasi dan semangat, baik dalam bentuk: harapan, pengakuan, hadiah, atau spirit; hal itu sangatlah penting di dalam melakukan pengaderan atau proses pendidikan. Sebab, para kader atau murid akan terangsang untuk berpikir kreatif, inovatif, kritis, dan apresitif. Dan, pemimpin, ulama, pendidik, trainer, atau orang tua yang baik adalah mereka yang memahami karakter dan kepribadian atas mereka yang dipimpinnya, dididiknya, dilatihnya, dan anak-anaknya.<br />
<br />
Nabi Mendorong Inovasi & Kreatifitas Dengan CC<br />
Jika kaum muslimin mau mempelajari sirah nabawiah, niscaya mereka akan menemukan identitas, kepribadian, dan karakter mereka yang sebenarnya. Nabi saw di setiap kesempatan selalu mendorong dan memotivasi para sahabat khususnya, serta kaum muslimin pada umumnya, agar mereka menjadi kader-kader unggul di dalam menopang kesuksesan dakwah Islam. Beliau saw sangat memahami, terlebih berdasarkan pada pola pendidikan wahyu, bahwa kesuksesan suatu program atau rencana mesti didukung dengan beberapa elemen penting, seperti: <br />
1. Kemampuan intelektual.<br />
2. Kematangan emosi.<br />
3. Kesucian hati (jiwa).<br />
4. Kepribadian bagus.<br />
5. Conditioning & Timing (CT).<br />
6. Dukungan lingkungan.<br />
Maka, berdasarkan keenam elemen tersebut di atas, Nabi saw mendesain para sahabatnya dan kaum muslimin awal, yang terimplementasikan pada pola pendidikan nabawi yang bercirikan: <br />
a. Pengembangan kemampuan interpersonal skill, dalam rangka mempertebal keyakinan dan keimanan.<br />
b. Pengembangan kemampuan social skill, dalam rangka memotivasi untuk tetap survival.<br />
c. Pengembangan kemampuan intuitional skill, dalam rangka mendorong terjadinya percepatan keyakinan (Quantum Believing) guna melahirkan kader yang berkualitas dan berkemampuan muhaddats.<br />
Sehingga bukan sesuatu yang asing bagi para sahabat beliau, bila di majelis-majelis di mana Nabi saw hadir, suasana menjadi beliau kembangkan dengan “curah gagasan”, seperti: tanya jawab, diskusi, dialog, dan brain storming. <br />
Inilah habits yang dibangun oleh beliau, supaya para sahabatnya ikut merasakan manisnya iman dan indahnya dinul Islam. Karenanya, Nabi saw tidak pernah berusaha menyeragamkan para sahabatnya ke dalam bingkai “satu warna”, “satu keinginan”, dan “satu pemahaman”. Dikarenakan yang dikehendaki oleh syariatullah hanya "satu Tuhan" (Allâhu ahad), sedangkan di luar “Allâhu ahad”, adalah sebuah kenisbian.<br />
Beberapa peristiwa sirah yang menunjukkan terjadinya curah gagasan antara Nabi saw dengan para sahabatnya:<br />
1. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra, ia berkata, <br />
<br />
“Bersabda Rasulullah saw, ‘Sedang-sedang sajalah kalian, dan tetapkanlah dalam beramal. Ketahuilah oleh kalian, bahwa tak seorang pun dapat selamat hanya karena bergantung dengan amalnya’.” <br />
Sahabat bertanya, “Tidak juga engkau, ya Rasulullah?” <br />
Nabi saw menjawab, “Tidak pula aku, kecuali jika Allah memberiku rahmat dan keutamaan-Nya” (Hr.Muslim).<br />
<br />
2. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra, ia berkata, <br />
<br />
“Rasulullah saw ditanya, ‘Siapakah manusia yang termulia?’” <br />
Nabi saw menjawab, “Yang paling bertakwa.” <br />
Berkata si penanya, “Bukan mengenai itu yang kami tanyakan?” <br />
Menjawab Nabi saw, “Yusuf putera Nabiyullah Ya’qub, putera Nabiyullah Ishaq, putera Nabiyullah Ibrahim.” <br />
Berkata lagi si penanya, “Bukan itu yang kami tanyakan?” <br />
Bersabda Nabi saw, “Tentang turunan bangsa Arab yang kamu tanyakan? Yang baik di masa jahiliah dan baik dalam masa Islam, manakala mereka tafaqquh fid dîn” (Hr.Bukhari & Muslim).<br />
<br />
3. Diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata, <br />
<br />
“Bersabda Rasulullah saw, ‘Akan terjadi sepeninggalku nanti sifat monopoli (al-atsarah) dan problematika kemungkaran.” <br />
Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pesan engkau kepada kami jika menghadapi hal itu?” <br />
Nabi saw bersabda, “Kalian tunaikan kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah untuk mendapatkan hak kalian” (Hr.Bukhari & Muslim).<br />
<br />
<br />
Eden Eklektisisme<br />
Demi keberhasilan sebuah pengembangan dan pemberdayaan secara maksimal, manakala masing-masing anggota masyarakat sudah saling mengerti, saling memahami, saling menyadari, dan saling melengkapi; bahwa sudah saatnya kaum muslimin memasuki suatu “era saling memberi” (eden ekletisisme). Baik dalam hal: perekonomian, pemikiran, dan madzab. <br />
Sehingga dalam waktu yang relatif cepat akan terbangun satu jaringan kekuatan perekonomian kaum muslimin. Problem sosial-relijius dan problem sosial-ekonomi adalah problem yang sama-sama pentingnya. Seperti telah dicontohkan dalam sirah, bahwa Rasulullah saw setelah hijrah ke Madinah, di samping beliau mendirikan masjid, beliau juga mendirikan pasar.<br />
Simbol “masjid” dan “pasar”, identik dengan realitas “dunia” dan “akhirat”. Sementara dinul Islam mengajarkan, “Kejarlah akhirat kalian, tapi jangan kalian lupakan dunia kalian.” Itu sama halnya, “Makmurkan masjid kalian, tapi jangan lupakan pasar kalian.”<br />
Demikianlah memahami Menejemen Nabawiah di dalam mendorong kreatifitas berpikir dan inovasi di kalangan sahabat beliau khususnya, dan kaum muslimin pada umumnya hingga Hari Kiamat. <br />
Kata kunci kreatif dan inovasi adalah terbangunnya mentalitas yang tangguh lagi handal, seperti: percaya diri, jujur, ada kemampuan, ada kekuatan, tidak berputus asa, memiliki jiwa wirausaha, dan tidak futur. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
MENDESAIN KREATIFITAS & INOVASI BERPIKIR PADA DIRI ANAK<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Rasulullah saw, di dalam Kitâb Jam’ush Shaghîr, dalam suatu riwayat pernah bersabda, “al-Usrah madrasatul ulâ”; rumah adalah lembaga pendidikan yang pertama (utama). Marilah dipahami, bahwa sabda Nabi saw tersebut di atas adalah bentuk perhatian beliau yang begitu besar dan intens pada dunia pendidikan keluarga muslim. <br />
Disebabkan secara teologis, dinul Islam mengajarkan, bahwa keluarga merupakan lembaga utama yang memiliki tugas pokok di dalam mendesain atau mempola anggotanya, dengan tetap berkarakterkan muslim-mukmin yang bercirikan solidnya kualitas tauhid. <br />
Prinsip pemberdayaan anggota keluarga, sebagai bagian dari lembaga sosial di kehidupan masyarakat manusia, di dalam dinul Islam benar-benar sangat diperhatikan oleh syariat Islam. Terbukti, ada beberapa ajaran Islam yang termanifestasikan ke dalam bentuk etika sosial, yang kesemuanya itu adalah produk: akidah, syariah, akhlak, dan adab Islam. Misalnya saja, untuk membangun keluarga muslim, pintu masuknya adalah dengan lembaga pernikahan. <br />
Juga di dalam mempersiapkan anak sebagai seorang kadernya Islam, maka hak awal di kehidupannya adalah menerima ajaran mentalitas dan perilaku tauhid, seperti terdapatnya lembaga talkin, yaitu didikan kalimat "Lâ ilâha illa-llâh” di saat bayi masih di dalam kandungan. <br />
Ada pula habits tauhid, semisal diadzankan di telinga kanan dan diiqamahkan di telinga kiri bayi yang baru saja lahir ke alam dunia. Atau, dilembagakannya pula tradisi keilmuan, seperti mengajari anak baca-tulis-berhitung dan ulumul qur`an; ada pula tradisi sosial, seperti akikah, seperti melatih anak sedini mungkin agar gemar berderma; ada pula tradisi qurbah, seperti khitan --khususnya bagi anak lelaki-- hal itu sangat positif untuk membiasakan hidup bersih, sehat, dan bertanggung jawab; ada pula tradisi nubuwah, seperti mencintai keluarga Rasul saw (ahlil bait); dan masih banyak bentuk-bentuk tradisi yang positif-konstruktif di dalam dinul Islam, yang sangat bermanfaat guna mendesain kreatifitas & inovasi berpikir anak-anak kaum muslim-mukmin. <br />
Yang pasti, dinul Islam dengan perangkatnya yang lengkap telah memfasilitasi kaum muslimin-mukmin untuk berdaya mulai di usia kandungan ibunya, dan itu kesempurnaan syariah Islam. Artinya, segenap in-put intuisional, seperti: akidah, syariah, akhlak, adab, ilmu, alam, akal, indera, dan wahyu; harus dilakukan process intuitional di kehidupan seorang hamba. <br />
Dikarenakan di dalam process intuitional, seorang anak yang telah memiliki in-put intuisional akan benar-benar memiliki kepribadian yang matang lagi berkarakter, yang hal itu dapat dilihat dari kematangan: interpersonal skill, social skill, dan intuisional skill. Di mana kenyataan itu menjadi sangat penting keberadaannya dalam kehidupan seorang anak, sebab ia telah mempunyai: kualitas pembangunan sikap mental intuisional yang mantap; kualitas pembangunan perilaku tauhid yang mapan; dan terdapatnya pengejawantahan etika sosial di kehidupan keseharian anak tersebut.<br />
Sehingga out-put intuisional yang dihasilkan adalah lahirnya manusia model insan kamil, yakni Rasulullah saw. Yang kemudian secara geneologis (al-musalsal) melahirkan sosok citra manusia holistik pasca Rasulullah saw sebagai seorang "manusia mulia" (human elyon), yang prototipe-nya pernah ada, seperti: sahabat Abu Bakar ra & sahabat Umar ra, sahabat Usman ra & sahabat Ali kw, sahabat Muhajirin-Anshar, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para salafush shalih. Mereka semua adalah para hamba Allah yang dianugerahi-Nya kualitas kepribadian yang mauhid, yaitu sosok pribadi yang “berkualitas bilangan satu”, atas sikap penerimaannya terhadap eksistensi Allah dan takdir-Nya, benar-benar telah menjadikan kepribadiannya tersebut memiliki “kekuatan digit satu”. <br />
Mereka para "manusia mulia" tersebut merupakan bagian terpenting dalam perjalanan dakwah Islam di kehidupan kaum muslimin-mukmin yang nyata-nyata bertenagakan tauhid. Dengan kekuatan dan kemampuan lâ ilâha illa-llâh yang tak terbendung oleh siapa pun dan apa pun. Dengan kata lain, mereka telah memiki kekuatan yang tak terbatas (unlimited power) dengan daya dukung kekuatan utamanya adalah divine energy transmition (DET) dan revelation energy transmition (RET).<br />
Bagi para orang tua, pendidik, ulama, dan trainner; mereka harus benar-benar memahami process intuitional sebagai kekuatan melompat dalam percepatan keyakinan (quantum believing), guna meredesain dan merekonstruksi manusia mulia menjadi bagian yang sangat penting dari ummat terbaik (khaira ummah) di muka bumi ini. Sehingga tugas mereka tidak lain adalah menyediakan platform-nya, agar dengan cepat anak-anak kaum muslimin-mukmin dapat segera bergerak dan melaju dengan cepat dan akurat. Dengan demikian mereka benar-benar mendorong terciptanya proses tazkiah & dzikrullah ke dalam lembaga sosial keberagamaan keislamaan, yang terus berkembang dan dinamis. <br />
<br />
3 In 1 Dalam Mendidik Anak<br />
Pembangunan sikap mental intuisional yang berpijak pada pengembangan interpersonal skill; Pembangunan perilaku tauhid yang berpijak pada pengembangan social skill; dan Pengejawantahan etika sosial yang berpijak pada intuitional skill, ketiganya harus dipadukan secara selaras dan serasi, hingga benar-benar menjadi satu kesatuan yang seimbang, yang tumbuh dan berkembang di dalam kepribadian anak. <br />
Sudah barangtentu hal itu harus sejalan dengan masa-masa perkembangan usia anak-anak tersebut. Sebab, bukan merupakan proses pendidikan yang baik bila di dalam melakukan proses didik dan proses ajar terdapat: kekakuan, pemasungan kreatifitas, taklid, monoton, kasar, loyo, bengis, hipokrit, materialisme, nihilisme, apatisme, anomali, dan mendekte. <br />
Sebaliknya, proses didik dan proses ajar hendaknya di desain dengan kekuatan: keteladanan, imajiner, berpikir berkait, curah gagasan, analisa data, hipotesa, perenungan, dan dilatih kepekaannya dalam membaca fenomena-fenomena, baik: alam, ayat, sosial, politik, budaya, informasi-komunikasi, militer, dan ekonomi. Dengan demikian anak-anak akan membiasakan dirinya untuk melakukan penjelajahan intelektual dan kerja keilmuan, baik secara mandiri maupun secara kolektif sosial. <br />
<br />
Interpersonal Skill<br />
Anak, sudah barangtentu sesuai dengan umurnya harus diajarkan dengan pendidikan yang sederhana dan tepat guna. Sehingga nantinya akan lahir sosok manusia yang berkepribadian matang. <br />
Di dalam dinul Islam, kekuatan interpersonal skill seorang muslim-mukmin, adalah dapat diperoleh dengan terbentuknya kualitas tauhid yang benar. Karena hanya dengan bertauhid secara benar, maka seorang anak akan memiliki kualitas kepribadian yang matang kelak setelah ia menjadi manusia dewasa. <br />
Coba perhatikan dalam sirah nabawi, mulai: saat di dalam kandungan telah ditinggal wafat ayahanda tercintanya; lahir sebagai bayi yang di usia balita ditinggal wafat ibunda tercintanya; hidup dengan ngenger dari satu keluarga ke keluarga lainnya; karena ikut orang maka beliau secara total hidupnya digunakan untuk dapat membantu meringankan beban tanggungan yang diikuti, seperti: menjadi penggembala dan karir dagang. Jika, kita mau memperhatikan di fase-fase ini Nabi saw benar-benar dihadapkan pada tantangan yang bersifat perseorang, yakni utamanya setelah Nabi saw memasuki usia remaja yang ummi dan pemuda ummi di saat beliau masih dikenal dengan nama Muhammad bin Abdullah. <br />
Sedangkan secara manusiawi, beliau berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengatasi segenap tantangan tersebut. Dan, hal itu beliau wujudkan dengan sikap sering melakukan tahanut, tafakkur, dan tadabbur. <br />
Tahanut artinya, beliau banyak menyendiri di tempat-tempat sunyi guna melakukan "kalkulasi kejiwaan", hingga pada puncaknya beliau benar-benar mampu mengelola jiwanya menjadi cerminan cahaya-Nya di muka bumi. Saksi sejarah tempat tahanut Nabi saw, adalah Gua Hira`. <br />
Tafakkur artinya, beliau banyak melakukan ‘olah pikir’ di dalam memahami diri, lingkungan, orang lain, alam, budaya, dan segenap fenomena yang menarik buat ditafakkuri. <br />
Tadabbur artinya, beliau berusaha memahamkan sekaligus memadukan secara simultan lagi sinergi antara akal intelektualitas dengan akal budi untuk menjadi kekuatan yang padu dan utuh. Sehingga setiap fenomena yang beliau berkenan mentadaburinya, lalu ditangkapnya sebagai motivasi nyata (motivation quotient) di dalam menerima kehadiran Allah azza wa jalla di dalam hati beliau. <br />
Hasilnya, Nabi saw benar-benar memiliki kualitas tauhid yang sempurna. Sehingga masa muda beliau, benar-benar bermanfaat buat diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan kaumnya. Dan, hasil pola pendidikan Nabi saw, seperti: ngenger (ikut orang, red) dan angon (mengembala ternak, red) benar-benar telah menjadikan beliau sosok manusia paripurna (al-insânul kamîl) dengan kepribadian mandiri, ulet, matang, jujur, rendah hati, tahu diri, dan kuat sekali di dalam melakukan pengendalian diri. <br />
<br />
Social Skill<br />
Keberhasilan pola pendidikan ngenger & angon ala menejemen pendidikan nabawi, yang tampak pada kepribadian beliau yang mandiri, matang, ulet, jujur, rendah hati, tahu diri, dan pengendalian diri. Ternyata merupakan modal dasar di dalam mengembangkan social skill seseorang, tak terkecuali kepribadian Nabi saw. <br />
Bedanya di fase ini Nabi saw telah diangkat menjadi rasulullah (bi’tsar rasûl). Ternyata ditetapkannya oleh Allah jalla jalâluh menjadi utusan-Nya, seolah telah membuka wacana baru dan front baru, bahkan seringkali Nabi saw harus menghadapinya secara fisikal. <br />
Terjadinya penentangan, pemboikotan, pemblokadean, penyiksaan, pembunuhan dari kaum kafir Quraisy atas kaum muslimin awal; benar-benar telah menguji nyali dan keberanian Nabi saw di dalam menetapkan setiap kebijakan yang harus diambilnya (adversity quotient). Dan, kematangan interpersonal skill Nabi saw, juga merupakan salah satu penentu keberhasilan dakwah risalah islamiah beliau di Makkah. <br />
Kematangan social skill Nabi saw di dalam menghadapi kekuatan sosial kaum kafir Makkah, ternyata dukungan terbesarnya datang dari kematangan interpersonal skill Nabi saw sewaktu anak-anak, remaja, dan pemuda. Dengan kata lain, keberhasilan Nabi saw di dalam melakukan dekonstruksi sosial, budaya, agama, dan ilmu pengetahuan atas penduduk Makkah. Karena ditunjang oleh kemampuan individual Nabi saw yang memang telah matang di saat mudanya (emotional quotient). <br />
Di dalam sirah nabawi telah tercatat, bahwa Nabi saw beserta kaum muslimin pernah diembargo ekonomi. Ternyata Nabi saw dengan ketrampilan sosialnya (social skill) dapat mengatasinya, bahkan pihak kafir Makkah sempat putus asa. <br />
Juga dicatat dalam sirah nabawi, di Makkah Nabi saw pada awalnya dipercaya sebagai tempat penitipan barang-barang berharga para penduduk Makkah. Bahkan, dari sifat amanah dan jujurnya beliau mendapat gelar dari penduduk Makkah, sebagai al-amîn (orang yang terpercaya dan jujur, red). Ternyata kematangan social skill Nabi saw telah mendorong lahirnya: sikap percaya diri (self confidence) dan perilaku jujur (honesty). <br />
<br />
Intuitional Skill<br />
Jika di dalam interpersonal skill, lahir anak-anak dengan kualitas kepribadian: Tahu Diri (asy-Syakur) & Pengendalian Diri (ash-Shabur). Maka, di dalam social skill, akan lahir anak-anak dengan kualitas kepribadian: Percaya Diri (self confidence) & Jujur (honesty). Sedangkan, di dalam intuitional skill, anak-anak akan memiliki kualitas kepribadian: Husnudlan bil-lâh & Muhlisîna lahud-dîn (senantiasa berpikiran positif dengan Allah dan selalu ikhlas di dalam melakukan pengabdian bersama dinul Islam). <br />
Maka, ketiga rûhut tarbiah wa ta’limiah tersebut di atas harus dididikkan secara utuh, padu, berkelanjutan, dan terevaluasi kepada segenap anak-anak kaum muslimin; atau kepada para anak didik kaum muslimin mulai dari: kandungan, batita, balita, remaja, dan pemuda. Sehingga segenap in-put intuitional benar-benar mengalami process intuitional yang alamiah, dengan demikian out-put intuitional yang dihasilkannya pun benar-benar bibit unggul. <br />
Laksana bermain sepak bola, maka fungsi pelatih adalah mengembangkan kemampuan individual para pemainnya supaya melesat berkembang, namun tetap disatukan ke dalam kerja team yang solid, dengan tetap menerima satu komando dari sang pelatih. <br />
Oleh karena para guru, dosen, ustadz, kiai, ulama, orang tua, dan trainner hendaklah mendudukkan diri mereka sebagai seorang pelatih; sehingga mereka dapat melakukan menejemen pembinaan dengan tepat sasaran, efektif, dan berhasil guna.<br />
<br />
Apa Itu Intuisi?<br />
Intuisi adalah kemampuan seorang hamba di dalam menerima segenap eksistensi Allah azza wa jalla dan menerima segenap kehendak-Nya. Maka, bagi seorang muslim, intuisi yang dimilikinya harus terukur dengan neraca syariat. Dikarenakan nafas kehidupan seorang muslim-mukmin adalah wahyu, yaitu al-qur`an & al-mîzân. <br />
Dengan demikian, bila manusia menurut kejadiannya dipahami sebagai human being, maka kekuatan intuisional seorang muslim adalah meliputi potensi-potensi: intelektual; emosional; dan spiritual. <br />
Adapun mengenai potensi spiritual tidak pas bila dimaknai sebagai potensi keberagamaan, apalagi dimaknai sebagai potensi keislaman. Sebab, seorang yang atheis sekalipun ia tetap memiliki potensi spiritual sebagai anugerah dari-Nya. Namun potensi spiritual lebih cocok jika dimaknai sebagai kemampuan di dalam menemukan kekuatan-kekuatan non-material.<br />
<br />
Didiklah Anak Dengan Kekuatan Mauhîd<br />
Kunci kesuksesan hidup seorang hamba adalah, jika dia bahagia di dunia dan di akhirat, dan kelak dia dijauhkan dari neraka Jahannam. Sementara, tidak ada fasilitas yang paling tepat di dalam mencapai kebahagiaan tersebut melainkan terdapatnya kualitas tauhid yang benar. Dan, kualitas tauhid tidak akan pernah mencapai kebenaran manakala seorang hamba tersebut tidak memiliki kekuatan mauhid di kehidupan akal intelektualitasnya dan di kehidupan akal budi pekertinya. <br />
Maka, adalah merupakan kewajiban dari setiap orang tua dan guru, meletakkan platform ketauhidan pada pendidikan anak-anaknya mulai di dalam kandungan, atau sedini mungkin bagi para guru. <br />
Hanya dengan kekuatan mauhid, anak-anak kita akan menemukan bakatnya, dan hal itu sangat membantu bagi para orang tua dan para guru untuk mengembangkan proses pembakatan. Adapun pembakatan itu sendiri sangatlah berguna bagi seseorang di dalam mengembangkan survival kehidupannya di muka bumi. <br />
Dan, hanya dengan daya survival yang berkekuatan mauhid, maka seorang anak akan terlatih menjadi anak-anak yang kreatif & inovatif. Kreatifitas dan inovasi akan menjadi lebih sempurna, bilamana si anak telah mampu menemukan kemampuan kreatifitasnya dan daya inovasinya secara mandiri dan berkelanjutan. <br />
<br />
Kiat-Kiat Mengembangkan Kreatifitas & Inovasi Berpikir Pada Anak<br />
1. Berilah anak-anak dengan fasilitas kehidupannya yang serba halal dan thayib.<br />
2. Perbanyaklah dengan perilaku berketeladanan, terutama dalam hal kemandirian dan keislaman.<br />
3. Didiklah dengan semangat peluk-cium, agar terbiasa husnudlan dengan siapa pun, terutama dengan Allah jalla jalâluh.<br />
4. Tanamkan sikap tahu diri.<br />
5. Tanamkan sikap pengendalian diri.<br />
6. Tanamkan sikap percaya diri.<br />
7. Tanamkan sikap jujur.<br />
8. Tanamkan sikap husnudlan bil-lâh.<br />
9. Tanamkan sikap muhlishûna lahud-dîn.<br />
10. Buat kesepatakan dengan anak-anak kita, termasuk di dalam menetapkan hadiah & sanksi (reward & punishment).<br />
11. Hargailah kekuatan imajiner anak-anak kita.<br />
12. Berlakulah dengan lemah-lembut dan hindari praktek kekerasan, caci-maki, menghardik, memukul, dan mengancam.<br />
13. Berilah arahan yang jelas lagi tegas.<br />
14. Jadikanlah Rasulullah saw sebagai tokoh yang diidolakan.<br />
15. Hargailah karya-karya anak-anak kita dengan memberikan apresiasi yang tinggi. Sehingga mereka ada semangat baru di dalam berkreasi dan berinovasi.<br />
16. Sampaikan informasi, bahwa kesalahan, kekurangan, dan kenisbian itu sifat manusiawi yang pasti pernah terjadi pada diri setiap orang. Sehingga anak-anak kita tidak pesimis, sebaliknya mereka akan tetap optimis dengan usaha-usahanya yang telah dilakukannya secara mandiri.<br />
17. Jangan membiasakan membanding-bandingkan antara anak yang satu dengan anak yang lain. Apalagi sampai membandingkannya dengan anak-anak orang lain. Sebab, di dalam mendidik anak yang harus dihindari adalah jangan membuat mental anak-anak tertekan atau down.<br />
18. Biarkan berkembang anak-anak sesuai dengan usianya. Hindari pemaksaan dan memberikan muatan pemikiran yang berlebih-lebihan.<br />
19. Dorong selalu agar diri anak dapat berubah dengan cepat. Tapi harus diterima segala keterbatasan dan kemampuan yang dimilikinya.<br />
20. Apresiasilah keberhasilan mereka dalam bidang akhlak, etiket, ilmu pengetahuan, kegemarannya membaca, dan berpikir. Jika perlu sediakan hadiah-hadiah khusus, sehingga si anak terlecut terus untuk menjadi yang terbaik.<br />
21. Hindari memuji dan memarahi anak di depan teman-temannya.<br />
22. Arahkan anak untuk membiasakan berperilaku: murah senyum, rapi, wangi, dan tahu diri; semata sebagai pengejawantahan rasa syukur kepada Allah azza wa jalla. <br />
23. Jika anak disekolahkan atau dishantrikan, carilah lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki ke-16 habits tersebut di atas.<br />
24. Ajarilah si anak untuk suka berterus-terang dalam menyampaikan kebenaran-kebenaran, sekalipun harus mengkritik orang tuanya sendiri.<br />
25. Doronglah mereka untuk menjadi anak-anak yang titen, tlaten, lan open. <br />
26. Ajarilah mereka untuk suka berusaha, dan usahakan mereka tidak berada di lingkungan yang suka menggantungkan hidupnya dengan cara ‘menunggu’. Sebaliknya, dorong mereka untuk membiasakan ‘merebut’ dalam memperjuang kebenaran. <br />
27. Doakan mereka dengan istiqamah dan perasaan be happy.<br />
<br />
Nasihat Alfaqîr<br />
Wahai saudaraku, setiap anak yang terlahirkan ke alam dunia dalam keadaan jenius. Hanya karena kebodohan orang tuanyalah, atau bisa jadi karena kebodohan para gurunyalah, anak-anak kita menjadi manusia biasa. <br />
Jangan sekali-kali, sebagai orang tua mengukur keberhasilan anak dengan berlimpahnya materi, atau nyamannya kedudukan, atau hebatnya populeritas, atau kelancaran di dalam berusaha. <br />
Tetapi, sebagai orang tua, kita harus bangga bila suatu saat anak-anak kita mampu meninggalkan yang syirik, subhat, makruh, dan haram. Banggalah, bila anak-anak dapat melaksanakan akidah, syariah, akhlak, dan adab Islam dengan baik dan benar. <br />
Semoga kita, keluarga kita, dan generasi kita, senantiasa ditolong oleh-Nya di dalam memberdayakan segenap fasilitas yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
MEMBEKALI BERPIKIR <br />
KREATIF & INOVATIF DENGAN <br />
MENGUASAI ILMU PENGETAHUAN <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Adalah sahabat Mu’adz bin Jabal ra yang berpendapat, “Ilmu adalah imam, dan amal adalah pengikutnya.”<br />
Yang kemudian, di jaman generasi tabi’ut tabi’in, sahabat Umar bin Abdul Azis ra, secara khusus menekankan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan diniah. Di mana ia mengatakan, “Barangsiapa berbuat tidak berdasarkan ilmu, maka yang merusak akan lebih banyak daripada yang memperbaiki.” Demikian diterangkan oleh Ibnu Abdulbaraj ra di dalam Kitâb Jami’ Bayânul Ilmi, jilid I, hal.33. <br />
Sementara, ulama generasi salaf, seperti Imam Hasan al-Bashri ra, seperti dikutip oleh Syaikhul Islam Ibnul Qayyim al-Jauziah ra dalam bukunya Miftâh Dârus Sa’adah halaman 82, dia mengatakan, “Orang yang bekerja tidak berlandaskan ilmu, ibarat orang yang berjalan di lorong yang salah. Dan, orang yang bekerja tidak atas dasar ilmu akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Maka, tuntutlah ilmu yang tidak merusak ibadah, dan beribadahlah dengan tidak mengabaikan ilmu. Karena ada suatu kaum yang beribadah, namun meninggalkan ilmu. Mereka menghadapi umat Muhammad dengan menghunus pedang. Jikalau mereka menuntut ilmu, mereka tidak akan tersesat dalam perbuatan mereka.”<br />
Mengomentari pendapat Imam Hasan al-Bashri ra tersebut di atas, Syaikh Yusuf Qardlawi (1999) mengatakan, “Yang dimaksud ‘suatu kaum’ tersebut adalah Khawarij yang melakukan kerusakan bukan karena kelalaian mereka dalam beribadah. Mereka berpuasa dan melaksanakan ajaran Allah. Sehingga disebutkan dalam sebuah hadis shahih, ‘Sebagian dari kalian akan merasa remeh shalatnya jika dibandingkan shalat mereka dan puasanya jika dibandingkan dengan puasa mereka. Kelemahan Khawarij adalah kelemahan dalam fikih, tidak mendalam dalam memahami al-qur`an. Jika mereka membaca al-qur`an, maka bacaannya tidak melampaui tenggorokan mereka, atau membaca namun tidak menggunakan akal pikiran, sehingga dapat menerangi dan memberikan petunjuk.”<br />
Di dalam teologi Islam, ilmu adalah bukti keimanan. Mendahulukan menuntut dan menguasai ilmu pengetahuan adalah wajib. Karena hal itu akan mengantarkan seseorang yang berilmu kepada pencerahan amal shalih. Dan, hanya dengan ilmu pula: akal, hati, jiwa, dan ruh; insya Allah akan mengalami pencerahan eksistensi di dalam berkeimanan dan taslim kepada-Nya. Sebagaimana diterangkan-Nya, <br />
<br />
“Dan, agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini, bahwa al-qur`an itulah yang benar dari Rabb-mu. Lalu mereka beriman dan kalbu mereka tunduk kepadanya. Dan, sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus;” wa li-ya’lamal ladzîna `ûtul ‘ilma anna-hul haqqu minr-Rabbika fayu`minû bi-hî fa-tukhbita la-hû qulûbu-hum, wa inna-llâha lahâdil ladzîna `amanû ilâ shirâthim mustaqîmin (Qs.al-Hajj: 54).<br />
<br />
Dari ayat di atas dapat dipahami logika ayatnya, bahwa kerangka ilmu pengetahuan diniah, adalah ilmu-iman-tunduk (ikhbata). Di mana sifatnya saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya (eclecticism).<br />
al-‘Ilmu, posisi kata “ilmu” dalam surat al-hajj ayat ke-54, adalah mendahului kata “iman”. Dan hal itu, diwujudkan-Nya dengan turunnya surat yang pertama adalah surat al-'alaq ayat ke 1-5, <br />
<br />
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mu yang Mahapemurah; yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya…..”<br />
<br />
Pada ayat ini, manusia tak terkecuali kaum muslimin-mukmin, diseru untuk ‘membaca’ baik dari aspek teks dan konteks pembacaan atas segenap ayat-ayat Allah azza wa jalla. Dan hal itu, diulang dua kali, dengan menempatkan kata “iqra`” dalam kedudukan sebagai kata kerja perintah yang tidak membutuhkan obyek (fi’il amar sekaligus fi’il muta’addi). Baru Allah swt menyebutkan “kalam” pada kalimat berikutnya, yang berfungsi sebagai fasilitas keilmuan, yakni: menulis & mencatat guna melakukan recording atas suatu ilmu pengetahuan. <br />
Sehingga dapat dipahami, bahwa kunci menguasai suatu ilmu, atau ilmu pengetahuan diniah adalah membaca & menulis (reading & writing).<br />
al-Iman, dalam surat al-hajj ayat ke-54, adalah buah dari seorang yang berilmu. Disebabkan, ilmu dan iman yang bersifat eklektis akan membuahkan amal shalih yang shahih (benar). Dan, hanya dengan memiliki ilmu pengetahuan diniah, seseorang akan benar di dalam menempatkan niatnya dan menunaikan amal perbuatannya. Sebagaimana dijelaskan-Nya, <br />
<br />
“Wahai orang yang berselimut, bangunlah. Lalu, berilah peringatan. Dan, agungkanlah Rabb-mu, bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa, janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan bersabarlah untuk (memenuhi perintah) Rabb-mu” (Qs.al-Mudatstsir: 1-7).<br />
<br />
Memang ayat ini mengajak bicara (mukhaththab) kepada Nabi saw, akan tetapi makna yang terkandung di dalamnya adalah buat segenap umat beliau saw.<br />
Ikhbata, oleh Allah azza wa jalla kata “ikhbata” yang berarti “merendahkan diri” (khusyu’) diposisikan pada urutan ketiga setelah kata “ilmu” dan “iman”. <br />
Hal ini mengandung maksud, bahwa puncak keislaman seorang muslim dalam posisi keimanannya adalah berperilaku khusyu`. Artinya, seorang muslim yang menguasai ilmu pengetahuan diniah, dia akan kreatif dan inovatif dengan ilmu yang dimilikinya. Sehingga segenap amal perbuatan yang ditunaikannya menjadi benar, namun realitas tersebut tidak menjadikannya ‘tinggi hati’; sebaliknya ia semakin ‘rendah hati’.<br />
Demikianlah tipologi manusia cerdas dan pandai, namun ia tetap arif dan bijaksana di dalam menjalani kehidupan kesehariannya. Dialah manusia yang disifati sebagai seorang yang alim (al-‘alim), sebagai pencerminan dari sifat Allah yang Mahamengetahui (al-‘âlimu).<br />
<br />
Berbagai Cara Untuk Memperoleh Ilmu<br />
Pada prinsipnya segenap ilmu adalah milik-Nya. Karena hanya Dia-lah yang memiliki sifat al-‘âlim, atau yang Mahamengetahui. Akan tetapi untuk memperoleh ilmu-Nya. Dia telah memberikan banyak jalan di dalam mempelajari dan memahami ayat-ayat-Nya. Secara garis besar ada empat model pendekatan guna memperoleh ilmu-Nya: Ta’allum; Tadabbur; Tafakkur; dan Ilham. Atau, bisa jadi oleh Allah azza wa jalla seorang hamba Allah dianugerahi-Nya memiliki keempat kemampuan tersebut. <br />
1. Model Ta’allum.<br />
Ini adalah model yang paling banyak dikenal dengan istilah belajar mengajar, yang lazim terjadi di negeri ini. Ada guru dan ada murid. Biasanya berbentuk klasikal, atau berada di ruang tertentu dengan segenap fasilitasnya. Tetapi dilihat dari peserta didiknya, hal itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Ta’allum lit-Tilmîd dan Ta’allum lith-Thâlib. <br />
Ta’allum lit-Tilmîd adalah proses belajar mengajar yang mengandalkan peran guru sebagai pengajar dan pendidik. Sehingga guru dituntut untuk aktif, sementara murid hanya berperan secara pasif di dalam proses penggalian ilmu. <br />
Dengan kata lain, murid hanya bersifat menerima pengarahan saja dari gurunya (tilmîd). Sekalipun, di Indonesia sudah diterapkan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), ternyata masih banyak menghadapi kendala, alias sistem CBSA tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. <br />
Ujung-ujungnya para siswa kita tidak produktif di dalam berkarya, karena rendahnya daya kreatif dan inovatif. Disebabkan mereka terbiasa ‘menerima’ dari gurunya, sehingga mereka lebih memilih untuk ‘menerima’ saja daripada harus mencari dan menggali yang banyak tantangan dan resikonya. Inilah salah satu sebab, mengapa SDM bangsa ini rendah. Karena sejak awal pola pendidikan dengan habits kreatif dan inovatif tidak dibiasakan di dunia pendidikan kita, yang terendah; semisal: TK (Taman Kanak-Kanak); SD (Sekolah Dasar); SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama); dan SMU (Sekolah Menengah Umum).<br />
Ta’allum lith-Thâlib adalah proses belajar mengajar yang mengandalkan pendayagunaan penelitian dan penalaran. Diharapkan mereka mampu melakukan penemuan-penemuan dan mencari sesuatu yang baru yang bermanfaat buat kehidupan (thâlib), sehingga mampu membawa kesejahteraan umat manusia. <br />
Untuk konteks Indonesia ada penjenjangan tingkatan (strata) yang lazim dikenal dengan S-1; S-2; dan S-3. Tapi sayang untuk yang di strata satu, tampaknya idealisasi dari proses thâlib tidak berjalan. Dan, jika menghendaki proses thâlib berjalan guna mendapatkan ilmu yang sebenarnya, maka ia harus menempuh strata dua dan seterusnya. Jika tidak, maka lulusan strata satu hanya sama dengan “lulusan SMU plus”. Dikarenakan masih lemah dalam bidang penalaran (reasoning) dan penelitiaan (research and metodology). <br />
Padahal semestinya seseorang yang telah menyelesaikan strata satu dengan proses thâlib, dengan kemampuan reasoning, research, and metodology. Maka, ia akan memahami dan menguasai epistimologi, axiologi, dan ontologi dari sebuah ilmu pengetahuan. <br />
Dengan demikian seorang sarjana S-1, apalagi dia seorang muslim-mukmin, maka ia akan menjadi manusia unggul dengan habits ilmu pengetahuan diniah yang mapan yang dimilikinya. Sedangkan, dari habits itulah seseorang akan memiliki daya saing, daya juang, daya cipta, dan daya inovasi yang sangat hebat. Artinya, ia akan menjadi orang yang ulet di dalam menjaga survival-nya. Kemampuan inilah yang sementara waktu hilang dari para generasi muda Islam, hampir di belahan dunia Islam, tak terkecuali di negeri kita. <br />
2. Model Tadabbur.<br />
Adalah model mempelajari ilmu pengetahuan dengan melalui perenungan (tadabbur). Biasanya pendekatan yang digunakan adalah bersifat filosofis, dengan menjadikan penalaran (reasoning) dan logika sebagai alat bantu berpikirnya. <br />
Model pendidikan dengan pola tadabbur dapat dicapai dengan sistem ta’allum dan atau autodidak (belajar mandiri). <br />
Sedangkan tolok ukur sebagai sebuah ilmu pengetahuan, ia terukur dengan tiga pilar filsafat ilmu pengetahuan, yakni: epistemologi; axiologi; dan ontologi.<br />
3. Model Tafakkur.<br />
Adalah cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan jalan memfokuskan pemikiran terhadap suatu cabang keilmuan. Di dalam model tafakkur metode pendekatan yang digunakan adalah bersifat scientific, dengan menjadikan data empiris, baik deduksi maupun induksi sebagai dasar berpikirnya dalam rangka mengembangkan sebuah keilmuan yang berkategorikan ilmiah. <br />
Sebagaimana di model tadabbur, maka di model tafakkur pun untuk mengukur kualifikasi keilmuannya tetap harus menggunakan tiga pilar filsafat ilmu pengetahuan, yakni: epistemologi; axiologi; dan ontologi.<br />
4. Model Ilham.<br />
Adalah salah satu cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan diniah. Tetapi model ilham agak berbeda dengan model-model sebelumnya. Dikarenakan keilmuan yang diperoleh oleh seseorang tersebut bersifat langsung dari Allah swt (laduni). <br />
Karena sifatnya yang langsung dari-Nya, sudah barangtentu tidak setiap orang dari para hamba-Nya memiliki kemampuan tersebut. Mereka yang dianugerahi oleh Allah azza wa jalla kemampuan ilmu laduni, dapat digolongkan ke dalam empat kelompok, yaitu: a.)Para nabi dan para rasul; b.)Orang-orang shalih; c.)Orang-orang muttaqin; dan d.)Orang-orang yang hatinya bersih (zaki wa dzakir).<br />
<br />
Suplemen Quantum Ilmu Pengetahuan Diniah<br />
Guna mendapatkan kecerdasan yang melompat cepat dengan akurasi yang tinggi untuk memperoleh kebenaran dari sebuah ilmu pengetahuan. Di dalam ajaran Islam ada beberapa menu tambahan (suplemen), sehingga seseorang dapat ber-quantum di dalam memperoleh ilmu pengetahuan diniah tersebut. <br />
Hal ini penting untuk diketahui dan dipelajari kaum muslimin-mukmin agar, khususnya para generasi muda muslim, pola kehidupan yang dibangunnya memiliki habits ilmu pengetahuan, yakni: <br />
a. Terdapatnya penalaran (reasoning).<br />
b. Logis.<br />
c. Research & Metodology.<br />
d. Berpikir Kereatif & Inovatif.<br />
e. Biasa berbeda.<br />
f. Responsif terhadap fenomena.<br />
g. Membaca & Menulis (reading & writing). <br />
Habits di atas menjadi sangat penting, manakala hal itu dijadikan fasilitas bantu di dalam menerjemahkan pesan agama dalam konteks kehidupan sosial yang beretika. Sebab, bila kita salah di dalam melakukan penerjemahan atas pesan agama. Maka, gairah dan ghirah ber-Islam menjadi mandeg (stagnasi). Dan, sudah barangtentu hal ini akan berakibat hilangnya daya survival di dalam merespon setiap fenomena kehidupan yang terus berkembang dan berubah dengan cepat. <br />
Maka, jika ajaran Islam berada di persimpangan jalan, atau tidak mampu menjawab tantangan modernitas. Sebenarnya, bukan dinul Islam-nya yang salah. Tetapi, ada dua hal pokok yang harus dicermati: <br />
Pertama, kaum musliminnya yang tidak responsif terhadap setiap terjadinya perubahan dan percepatan. Hal ini sebagai akibat, karena tidak memiliki habits ilmu pengetahuan diniah tersebut di atas. <br />
Kedua, adanya kesalahan dari pihak Barat modern yang terlalu terburu-buru menilai Islam disamakan dengan Arab. <br />
Dari realitas tersebut di atas sudah saatnya kaum muslimin-mukmin meng-quantum-kan dirinya, guna menjadi umat unggul dengan menguasai ilmu pengetahuan diniah, yakni melalui:<br />
1. Tazkiah & dzikrullah.<br />
2. Zuhud.<br />
3. Khasyatullâh.<br />
4. Library dan atau kumpul dengan orang alim.<br />
5. Shalat sunnah li hifdzil qur`ân.<br />
6. Tarbiatul hamli.<br />
Dari keenam fasilitas quantum tersebut di atas, maka kemampuan otak manusia baik yang kanan maupun yang kiri dapat dilecut dengan tambahan-tambahan menu. Sehingga peran kedua otak tersebut menjadi optimal. <br />
Dan, hal itu akan menjadi kekuatan dahsyat bila pemilik otak itu adalah seorang muslim-mukmin, sebab oleh Allah jalla jalâluh seorang muslim-mukmin dibekali dikehidupannya dengan: ilmu, akal, indera, kalbu, iman, dan wahyu.<br />
Sebagaimana kita tahu, bahwa selama belajar dengan model ta’allum, otak yang banyak digunakan dan diasah adalah sebelah kanan. Adapun otak sebelah kiri lebih banyak didiamkan alias pasif. <br />
Sedangkan dengan keenam fasilitas quantum tersebut, maka fungsi kedua otak, insya Allah akan lebih optimal. Seperti diketahui, otak kanan memiliki tiga kemampuan pokok: Intelejensi (IQ); Emosi (EQ); dan Spiritual (SQ). Dan, otak sebelah kiri juga mempunyai tiga kemampuan dasar, yakni: Insting (indera keenam); Musik (kemampuan apresiasi); dan Wirid (waridullah). <br />
<br />
Adab Menuntut Ilmu<br />
Seorang muslim dan muslimah wajib hukumnya menuntut ilmu pengetahuan. Bahkan, secara teologis tidak ada batasan waktu di dalam menuntut ilmu. Seperti dikatakan Nabi saw, “Mulai dari ayunan sampai liang lahat.” <br />
Betapa pentingnya eksistensi ilmu pengetahuan diniah dalam kehidupan seorang muslim-mukmin. Maka, tidak dibenarkan jika ada seorang muslim-mukmin yang berpaling dari ilmu pengetahuan. Karena ilmu memiliki peran penting di dalam kehidupan keseharian seorang muslim, maka di dalam menuntut ilmu seorang muslim harus benar-benar memenuhi adabnya. Sehingga kelak ilmu yang dimilikinya dapat bermanfaat secara luas, baik di dunia maupun di akhirat kelak, insya Allah. <br />
Adab-adab itu antara lain (baca juga dalam buku alfaqîr yang berjudul "Filsafat Manusia: Upaya Memanusiakan Manusia", 2004, red):<br />
1. Niatnya harus benar.<br />
2. Mencari ridla Allah swt.<br />
3. Bekalnya harus halal.<br />
4. Ada perasaan senang terhadap ilmu yang akan dan sedang dipelajarinya (be happy).<br />
5. Berperilaku sabar (be patient).<br />
6. Berlaku hati-hati (be careful).<br />
7. Bersikap kreatif (be creative).<br />
8. Belajar dari pengalaman (be experienced).<br />
9. Mohon petunjuk dan bimbingan-Nya (istikharah).<br />
10. Titipkan pada guru yang shalih-shalihah.<br />
11. Carikan guru yang memiliki akhlak kasih-sayang.<br />
12. Memiliki ghirah keilmuan (be motivated).<br />
13. Menyampaikannya kepada orang lain.<br />
14. Berlaku jujur.<br />
15. Bertanya bila tidak paham.<br />
16. Tuntutlah ilmu yang bermanfaat.<br />
17. Berperilaku tawadlu’ (rendah hati).<br />
18. Jangan pura-pura pintar.<br />
19. Takutlah kepada Allah swt.<br />
20. Jangan banyak bertanya.<br />
21. Berperilaku zuhud.<br />
22. Rendah hati terhadap para gurunya.<br />
23. Mempelajari dan menguasai bahasa.<br />
24. Mempelajari pokok-pokok tauhid lebih dahulu, lalu mempelajari fiqih.<br />
25. Mempelajari dasar-dasar jalan menuju akhirat.<br />
26. Memahami ilmu-ilmu pelengkap.<br />
27. Menguasai reading & writing.<br />
28. Berkehendak tafaqquh fid dîn.<br />
29. Mengerti ilmu duniawiah.<br />
30. Menghindari taklid.<br />
31. Mengamalkan ilmunya.<br />
32. Dilarang menyebarluaskan ilmu atau pemikiran yang sesat.<br />
33. Membicarakan ilmu sebatas yang dikuasainya.<br />
34. Mempermudah orang lain.<br />
Demikianlah beberapa adab penting bagi seorang muslim di dalam menuntut ilmu, insya Allah ilmu yang dimiliki nantinya akan bermanfaat di dunia dan di akhirat. Sebab, banyak terjadi seseorang itu ketika sedang belajar --saat sekolah, atau kuliah, atau mondok-- pandainya luar biasa. Tetapi setelah akhir dewasa, ketika sama-sama terjun di masyarakat untuk mengamalkan ilmunya, tidak sedikit mereka yang bermanfaat di lingkungannya karena memenuhi beberapa adab dari ke-35 adab menuntut ilmu tersebut di atas.<br />
<br />
Adab Terhadap Guru<br />
Di dalam teologi Islam guru memiliki kedudukan yang sangat mulia. Karena ia adalah seorang hamba yang dikarunia menghantarkan seseorang untuk menguasai ilmu guna mengenal Rabb-nya. Seseorang yang memahami ilmunya shalat, ilmunya zakat, ilmunya haji, ilmunya puasa, ilmunya mempelajari al-qur`an, ilmunya mempelajari al-hadis; dan masih banyak yang lainnya, kesemuanya itu karena peran dan jasa para guru kita. <br />
Karenanya, tidak ada adab yang pas buat mereka, kecuali kita benar-benar berperilaku, sebagai berikut:<br />
1. Menghormatinya.<br />
2. Mempelajari pendidikannya.<br />
3. Mengikuti arahannya.<br />
4. Meneladani akhlak bagusnya.<br />
5. Merendahkan diri terhadapnya.<br />
6. Tidak mengecewakan harapan kalbunya.<br />
7. Bersabar terhadapnya.<br />
8. Mengikuti pelajarannya dengan sopan.<br />
9. Mendoakannya.<br />
10. Harus mendapatkan ijinnya.<br />
11. Bermajelis dalam keadaan bersih.<br />
12. Selalu senang dengan gurunya.<br />
13. Hindari memboroskan waktu.<br />
14. Memperhatikan pembicaraannya.<br />
15. Memanggilnya dengan hormat.<br />
16. Mengamalkan ilmu dan fatwanya, tetapi tetap bersikap kritis tidak taklid.<br />
17. Berlaku lemah-lembut lagi bersikap penuh kasih-sayang terhadapnya.<br />
18. Ber-azzam dengan cepat untuk menguasai ilmu yang dimiliki gurunya (al-‘alim), sebagai bekal untuk menjadi seorang memahami sebuah ilmu pengetahuan (faqih).<br />
19. Selalu bersandar kepada neraca syariat, bila menerima keilmuan dan sesuatu yang baru yang di dapat dari para gurunya.<br />
20. Menjaga hubungan silaturahmi dengannya, keluarganya, dan keturunannya (jika kuasa).<br />
<br />
Umat Islam Harus Menguasai Ilmu Pengetahuan Diniah<br />
Mungkin dengan alfaqîr memunculkan istilah Ilmu Pengetahuan Diniah, banyak orang bertanya, atau mungkin juga malah tidak setuju. Tapi, sebagai wujud kepedulian seorang muslim yang hendak menampilkan "epistemologi baru" di dalam paradigma keislaman kekinian. Sudah saatnya untuk melakukan pembenahan terhadap istilah-istilah, yang mungkin, adakalanya juga tidak pas. Akan tetapi secara maknawi memiliki kandungan makna yang sepaham, tidak masalah; kita harus jalan terus.<br />
Misalnya, di dalam konsep Islam, tidak ada istilah penyebutan “ilmu dunia” dan “ilmu akhirat”. Sebab, secara teologis ilmu itu cuma satu, yakni ilmunya Allah (‘ilmu-llâh). Dan, penyebutan itu sangat berbahaya, jika kaum muslimin tidak memahaminya. Karena diidentikkan, Barat modern sebagai pemilik “ilmu dunia”, sehingga ada anggapan itulah yang maju dan dapat menguasai dunia. Sementara, dunia Islam atau umat Islam itu pemilik “ilmu akhirat”, makanya tidak maju, hidup di gurun-gurun pasir, terbelakang, dan berada di kelompok dunia ketiga; yang identik dengan ‘budak’ Barat modern.<br />
Sudah saatnya, kaum muslimin kembali kepada khazanahnya yang mulia lagi suci; yakni membangun peradaban umat manusia dengan epistemologi kerahmatan, dengan platform keilmuan dan kemanusiaan. Sehingga persemakmuran mardlâtillâh segera terwujud di bawah kepemimpinan progresif kaum muslimin yang berkarakter kreatif & inovatif.<br />
Untuk mewujudkan proyek besar itu, tidak ada jalan yang tercepat, termurah, dan mudah dijalankan bagi kaum muslimin-mukmin. Kacuali dengan menciptakan habits ilmu pengetahuan diniah di rumah tangga kita masing-masing. Mulai sedini mungkin anak-anak dan generasi muda Islam harus terbiasa dengan habits tersebut. Tanpa habits itu, tidak mungkin kaum muslimin-mukmin dalam waktu cepat dapat menguasai ilmu pengetahuan diniah. Padahal penguasaan ilmu pengetahuan diniah merupakan prasyarat untuk menciptakan persemakmuran mardlâtillâh, yang progresif dengan naungan qur`an yang terimplementasi ke dalam wujud kerahmatan yang nyata. <br />
Di sinilah, Islam sebagai ajaran, ad-dîn, way of life, ideologi, dan prinsip-prinsip kemanusiaan menjadi inspirasi besar (great inspiration) sebuah peradaban umat manusia yang berdinamika. Maka, fitrah sebagai agama sejati yang mampu membebaskan manusia dari segenap tiran, penindasan, feodalisme, dan imprealisme akan menjadi kenyataan. Dan, itulah yang ditakuti oleh kaum zionis yang berlindung di balik fatamorgana Barat modern. <br />
Oleh sebab fenomenanya adalah kaum muslimin-mukmin jangan sampai memiliki kemampuan dan kemauan untuk menemukan fitrah keagamaan dan keberagamaannya. Dan, inilah grand desaign yang sedang diperjuangkan untuk kemudian dilembagakan secara internasional. Akibatnya, kebesaran Islam hanya sebatas buih yang berada di lautan. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
THE SIX HABITS MENG-QUANTUM-KAN BERPIKIR KREATIF & INOVATIF <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Jika kaum muslimin-mukmin mau mencermati dan menggali khazanah ilmu pengetahuan diniah dan tradisi nubuwah. Maka, akan diketemukan the six habits pokok, yang insya Allah akan mampu me-mi’raj-kan (quantum) siapa saja yang memilikinya. <br />
Tapi sayang, kaum muslimin telah kehilangan karakter dan mental percaya dirinya (self confidence). Sehingga mereka kerapkali terjebak dengan tipu muslihat epistemologi Barat modern, yang jauh dari esensi wahyu. Manakala kaum muslimin tidak hati-hati, alias latah dengan pola pikir Barat yang sengaja ditanamkan buat "orang-orang Timur". Maka, mereka tidak akan pernah tahu dengan potensi yang dimiliki oleh dirinya. Tragisnya, dengan penyakit Barat yang manular dan sekarang telah memasuki stadium menyerang syaraf kaum muslimin ini, membuat kaum muslimin “lupa diri”. <br />
Artinya, akibat "benturan" yang keras, yang memang kaum muslimin tidak pernah siap untuk berbenturan terhadap Barat modern. Akibatnya membuat kaum muslimin kena penyakit insomia, yakni lupa ingatan dalam "satu jeda". Dan, untuk menyadarkannya kembali tidak ada jalan lain, kecuali kaum muslimin harus "dibenturkan" kembali supaya segar dan kembali ingatannya. <br />
Sebab, jika kaum muslimin terlalu lama mengidap penyakit insomia. Jelas mereka akan kehilangan karakter dan jatidiri sebagai umat unggul. Dan, sesuatu yang sangat membahayakan manakala kaum muslimin telah kehilangan karakter dan jatidiri. Akibatnya, mereka akan dipermainkan oleh lawan-lawannya, yang setiap saat siap menerkamnya. Atau, minimal para musuh Islam dengan mudah mempermainkan kaum muslimin. Sehingga mereka menjadi bahan ejekan dan sasaran provokasi murahan, yang ujung-ujungnya adalah mem-vetacompli eksistensi kaum muslimin dengan segenap isu fiktif yang dihembuskan sebagai bahan perbincangan yang memalukan.<br />
<br />
Quantum Itu Mi’raj<br />
Terlepas setuju atau tidak. Artinya, semakna atau bahkan tidak nyrempet sama sekali, menurut alfaqîr, kata "mi’raj" dengan tanda kutiplah yang cocok dengan makna quantum, yang saat ini sedang populer. Atau, memang sengaja dipopulerkan oleh pihak-pihak tertentu?<br />
Inti dari quantum adalah perubahan yang cepat, bahkan disertai dengan lompatan-lompatan yang seringkali sulit untuk diramalkan. <br />
Pun pula dengan "mi’raj", ia adalah keterangan suatu kondisi di mana telah terjadi “perjalanan yang cepat” yang disertai dengan perubahan-perubahan yang sangat singkat. Dan, inilah khazanah sains di dalam Islam yang harus terus digali guna diambil manfaatnya. Sehingga kaum muslimin dapat merasakan "nikmatnya beragama" --khususnya merasa bahagia sebagai seorang muslim yang unggul dan menjadi kaum yang terbaik di muka bumi ini (khaira ummah). <br />
Bila, seorang intelektual muslim sekelas Sayyid Husein Nasr pernah mengatakan, “Bahwa dunia Islam telah tertinggal 100 tahun dari Barat.” <br />
Maka, apakah kita secara otomatis menjadi pesimis dengan pernyataan tersebut. Tentu jawabannya, adalah tidak. Sebab, hakikat kehidupan di alam dunia ini sedetik dapat berubah. Dan, perubahan itu bisa jadi dengan sangat cepat dan sulit diramalkan sebelumnya. Itulah percepatan. Laksana terbangnya seekor buraq, yang pernah ditunggangi oleh Rasulullah saw dalam peristiwa isra` wal mi’raj. Dengan cukup semalam, Nabi saw dapat melakukan percepatan perjalanan dari Masjidil Haram-Masjidil Aqsha-Sidratul Muntahâ; dengan pergi-pulang dalam sebagian malam. <br />
Demikian rahasia-rahasia ilmu pengetahuan dan sains yang belum terungkap. Akan tetapi suatu waktu dengan percepatan penguasaan ilmu pengetahuan diniah, dan lompatan berpikir di kalangan kaum muslimin-mukmin. Tidak mustahil, yang sekarang masih dinyatakan sebagai rahasia ilmu pengetahuan atau rahasia alam, suatu saat akan menjadi hal yang biasa buat kehidupan umat manusia. <br />
Dulu, seorang futurolog muslim Jawa, yang bernama Ki Ronggowarsito pernah memberikan pernyataan futurologis-nya, “Bahwa besok Kerajaan Blambangan di Banyuwangi dapat dilihat dari Kerajaan Jenggala Manik di Kediri.” <br />
Atau, juga pernyataannya mengenai, “Suatu masa di mana, ada batu hitam yang terapung. Dan, kapas yang tenggelam.” <br />
Ternyata, apa yang pernah diramalkan oleh Ki Ronggowarsito telah menjadi kenyataan semua. Sebenarnya, Ki Ronggowarsito tidak pernah meramalkan mengenai kejadian-kejadian yang bakal terjadi. Dia hanya mengungkapkan dari apa yang pernah dipelajarinya berdasarkan ilmu yang dimilikinya. <br />
Demikianlah bila kekuatan dan kemampuan otak kanan dan otak kiri seorang manusia bersatu dan dihidupkan, maka dia akan mampu melakukan percepatan-percepatan dan lompatan-lompatan. Itu sama halnya yang pernah terjadi pada diri para nabi, para rasul, para sahabat, dan para waliullah; khususnya Rasulullah saw. <br />
<br />
The Six Habits<br />
Guna melakukan percepatan dan lompatan-lompatan, khususnya di dalam berkarya, berpikir, berilmu, dan berpengetahuan. Sehingga kaum muslimin dalam waktu yang sangat cepat dapat melakukan peningkatan pemberdayaan atas kreatifitasnya dan inovasinya. Adalah sangat penting untuk dimiliki kaum muslimin dengan segera, dan secepatnya harus disosialisasikan serta selalu dikomunikasikan kepada jamaah kaum muslimin di republik ini, yang konon merupakan "penikmat" sekaligus "tumbal" dari setiap terjadinya perubahan di negeri ini; yakni “keenam khazanah ‘mi’raj’” (the six quantum). <br />
Yang mana dari the six quantum tersebut, kaum muslimin dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dengan cepat kaum muslimin dapat menguasai ilmu pengetahuan diniah, sains, teknologi, dan memiliki SDM yang unggul. Keenam khazanah ‘mi’raj’ itu adalah:<br />
1. Habits Tazkiah & Dzikrullâh. <br />
Adalah tazkiah & dzikrullâh sebagai salah satu metode ‘mij’raj’ kaum muslimin-mukmin di dalam mengembangkan pemberdayaan mereka. Sebab, dengan hati yang telah dibersihkan (tazkiah) dan selalu dihidupkan dengan asma-Nya (dzikrullâh), akan mampu melakukan kerja besar yang berupa percepatan dan lompatan pemikiran, keilmuan, dan bisa jadi penemuan atau perakitan.<br />
Para nabi dan para rasul, para waliyullah dan para ulama Allah; rata-rata dari mereka telah mampu menghidupkan secara harmonis antara otak kiri dengan otak kanannya. Sehingga segenap apa yang dilakukan dan dipikirkannya senantiasa berbuah kemanfaatan dalam ruang lingkup waktu, yang kadangkala jauh lebih cepat mendahului umur di mana mereka hidup. Bahkan, yang seringkali terjadi, sang pemikir atau sang pemrakarsa atau sang penemunya tidak ikut menikmati hasil kerja intelektualnya tersebut.<br />
Hanya hati yang dihidupkan dengan tazkiah & dzikrullâh, niscaya Allah azza wa jalla akan memberikan hidayah yang berupa ilmu-Nya. Sebab, dikejadian ruh kemanusiaan kita terdapat ruh ke-Tuhan-an, bahkan secara khusus di dalam kalbu seorang muslim dibekali oleh-Nya dengan "penjaga kalbu" (wâridullâh). Sebagaimana difirmankan-Nya, <br />
<br />
“…Dan, barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan, Allah Mahamengetahui segala sesuatu” (Qs.at-Taghâbun: 11).<br />
<br />
“Yahdî qalbahu” bila dihubungkan dengan asma-Nya, “’alî mun” dalam ayat tersebut di atas. Maka, hanya dengan bekal tazkiah & dzikrullâh seorang muslim akan mendapatkan kekuatan imannya yang murni dan CC (commitment & consistent). Sehingga dengan mudah, secara teleogis Allah jalla jalâluh akan menjadikan kalbu hamba-Nya tersebut kaya dan cepat menerima ilmu pengetahuan yang langsung dari-Nya.<br />
Oleh karenanya, merupakan tugas keilmuan bagi para orang tua, guru, ustadz, khatib, kiai, ulama, trainer, dan wartawan muslim untuk selalu mengampayekan dan mengekspos “habits tazkiah & dzikrullâh” di setiap kesempatan. Sehingga di kehidupan keseharian kaum muslimin senantiasa dihidupkan dengan habits tazkiah & dzikrullâh.<br />
2. Habits Zuhud. <br />
Adalah “habits zuhud” harus dijadikan habits keluarga muslim, khususnya di kalangan remajanya. Sehingga para remaja muslim tidak dijadikan sasaran operasional para bandar narkoba; atau, gerakan-gerakan sempalan yang seringkali mengatasnamakan Islam, padahal yang sebenarnya terjadi adalah pemanfaatan secara sepihak atas para pemuda Islam, sebagai “agen kekerasan” mereka para musuh Islam.<br />
Jika matrix sosial yang dibangun oleh Rasulullah saw, bahwa pemuda yang masuk surga adalah pemuda yang CC di dalam taubatnya. Maka, sudah dapat dipastikan, jika seorang remaja atau pemuda memiliki kemampuan dan kemauan taubat; insya Allah mereka jauh lebih mudah diarahkan untuk manjadi seorang pemuda yang zâhid (mengerjakan zuhud). <br />
Artinya, kelak setelah mengamalkan ilmunya mereka benar-benar dapat mengamalkan perilaku zuhud-nya. Sementara, di dalam dinul Islam diajarkan bahwa seorang hamba yang berperilaku zuhud akan diberi ilmu oleh Allah “secara langsung”. Seperti telah disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
“Barangsiapa ber-zuhud terhadap perkara duniawi, niscaya Allah akan: (1).Mengajarkan ilmu kepadanya tanpa belajar; (2).Memberinya petunjuk tanpa pembimbing; (3).Menjadikannya sebagai orang yang tajam pandangan hatinya; dan (4).Membukakan kasyaf hatinya dari kegelapan;” man zahada fid-dunyâ ‘allamahu-llâhu bi lâ ta’allumin, wa hadâ-hu bi lâ hidâyatin, wa ja’ala-hu bashîran, wa kasyafa ‘anhul ‘amâ (Hr.Abu Na’im, dari Ali bin Abi Thalib kw).<br />
<br />
Oleh karenanya, berlaku zuhud-lah manakala ilmunya kepingin berkah dan mendapatkan ladduni-Nya. Ingat, yang dikehendaki-Nya bukan kepandaiannya, akan tetapi ketakwaannya.<br />
3. Habits Khasyatullâh.<br />
Habits khasyatullâh merupakan salah satu metode ‘mi’raj’. Di mana seorang hamba Allah harus benar-benar takut kepada-Nya. Bukan seperti ketakutannya terhadap singa atau hewan buas yang lainnya. <br />
Ambil saja contoh dari khasyatullâh para nabi dan para rasul, serta para sahabat nabi dan para waliyullah.<br />
Nabi Dawud as mendengar asma Allah azza wa jalla dibacakan di sampingnya, seketika itu juga beliau pingsan. Atau, sahabat Ali bin Abi Thalib kw, setiap kali mu’adzin mengumandangkan adzan-nya, maka ia mengalami ketakutan yang luar biasa. <br />
Siapa yang tidak kenal dengan Nabi Dawud as dan sahabat Ali bin Abi Thalib kw. Keduanya merupakan sama-sama orang-orang jenius yang pernah dimiliki oleh sejarah peradaban umat manusia. <br />
Sebagaimana diriwayatkan oleh Sahal ra, bahwa Nabi saw pernah bersabda, <br />
<br />
“Pokok hikmah (ilmu pengetahuan) adalah takut kepada Allah azza wa jalla;” ra`sul hikmati, makhâfatu-llâhi azza wa jalla (Hr.Sahal).<br />
<br />
Oleh sebab itu, kita harus mendorong terjadinya habits khasyatullâh di kehidupan keluarga muslim, khususnya di kalangan para remaja muslim.<br />
4. Habits Library Dan Atau Kumpul Dengan Orang Alim.<br />
Adalah wasiat Lukman kepada anaknya, “Wahai anakku, duduklah bersama orang-orang yang berilmu, dan dekatilah mereka dengan kedua lututmu. Karena sesungguhnya Allah azza wa jalla menghidupkan kalbu dengan cahaya hikmah-Nya, sebagaiamana Dia menghidupkan bumi dengan air hujan” (al-Hujjatul Islâm al-Imam al-Ghazali ra, Kitâb Ihyâ` Ulumuddîn & Imam az-Zubaidi ra, Kitâb al-Ittihaf, Syarah Ihya` Ulumuddin).<br />
Seorang murid ilmunya akan bermanfaat bila mendapatkan ridla dari para gurunya. Apabila orang tua adalah orang tua dunia, maka para guru merupakan para orang tua akhirat, disebabkan ulama (guru) masih berperan hingga di akhirat. Oleh karena wajiblah bagi para murid untuk memuliakan para gurunya. Telah disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
“Kalian belajarlah ilmu pengetahuan diniah dan ilmu sakinah; juga agungkanlah suatu ilmu pengetahuan. Dan, kalian berendah-hatilah kepada para guru kalian yang telah mengajarkannya;” ta’allamûl ‘ilma wa ta’allamû lil-‘ilmis sakînata wal waqâra; wa tawâdla’û li man tata’allamûna min-hu (Hr.Abu Na’im, dari Umar ra).<br />
<br />
Sudah saatnya di setiap keluarga muslim memiliki habits perpustakaan mini. Atau, hendaknya putera-puteri muslim memiliki habits berkumpul dengan orang-orang alim, dan atau guru-guru yang akhlak dan adabnya, serta ilmu dan ketakwaannya dapat dipertanggung-jawabkan kepada-Nya. <br />
5. Habits Shalat Sunnah Li Hifdzil Qur`ân.<br />
Adalah Abdullah bin Abbas ra menuturkan, <br />
<br />
“Pada saat kami sedang berada di rumah Rasulullah saw tiba-tiba datanglah Ali bin Abi Thalib kw. Lalu, ia berkata, ‘Bi abî anta wa ummi;’ --istilah Arab kuno untuk menekankan suatu pernyataan, al-qur`an nyaris lepas dari dadaku --hilang dari ingatanku. Aku merasa tidak lagi dapat menguasainya (menghafalnya)!’”<br />
Rasulullah saw menanggapinya, “Wahai Abul Hasan, kuajarkan kepadamu beberapa kalimat yang dengan itu Allah akan memberi manfaat kepadamu. Dan, itu bermanfaat juga bagi orang yang belajar kepadamu. Bahkan, kalimat-kalimat itu akan memantapkan di dalam dadamu apa yang telah kamu pelajari.”<br />
Sahabat Ali menjawab, “Baiklah, wahai Rasulullah, ajarilah aku.”<br />
Beliau saw berkata, “Jika kamu dapat, setiap malam Jum’at bangunlah di pertigaan malam (terakhir). Saat itu tersaksikan oleh para malaikat (masyhudah), dan doa pada saat itu pun mustajab. Saudaraku Ya’qub mengatakan kepada para puteranya, ‘Akan kumohonkan ampun kepada Rabb-ku bagi kalian.’”<br />
Beliau lalu berkata, “Hingga malam Jum’at, wahai Abul Hasan, jika kamu tidak dapat bangun tidur di pertigaan malam (terakhir). Bangunlah tengah malam. Jika tidak dapat juga, bangunlah pada awal malam. Lalu, shalatlah empat rakaat. Pada rakaat pertama bacalah fâtihatul kitâb dan surat yâsîn. Pada rakaat kedua fâtihatul kitâb dan surah ha-mim dukhan. Pada rakaat ketiga fâtihatul kitâb dan surat alif-lam-mim tanzilus sajdah. Dan, pada rakaat keempat fâtihatul kitâb dan surah tabarakal mufashshal. Usai bertasyahud berpuji syukurlah kepada Allah, dan pujilah Allah dengan sebaik-baiknya. Lalu bershalawatlah untukku dan semua nabi dan rasul. Kemudian mohonlah ampunan (kepada Allah) untuk kaum mukminin-mukminat dan untuk para saudaramu yang telah mendahului beriman. Pada akhir semuanya itu berdoalah, “Ya Allah Pencipta langit & bumi, yang Maha-agung, Mahamulia, lagi Mahakuasa; (yang kekuasaan-Nya) tidak dapat diganggu gugat.<br />
Aku mohon kepada Mu, ya Allah, ya Rahman; dengan keagungan Mu dan dengan cahaya wajah Mu, agar Engkau memastikan kalbuku untuk dapat menghafal Kitab Mu, sebagaimana Engkau telah mengajarkannya kepadaku. Karuniailah aku kemampuan membacanya menurut cara yang mendatangkan keridlaan Mu kepadaku.<br />
Ya Allah Pencipta langit & bumi, yang Maha-agung, Mahamulia, lagi Mahakuasa; (yang kekuasaan-Nya) tidak dapat diganggu gugat.<br />
Aku mohon kepada Mu, ya Allah, ya Rahman, agar dengan keagungan Mu dan cahaya wajah Mu, dan dengan Kitab Mu, Engkau berkenan menerangi penglihatanku dan melancarkan lidahku. Dengan keagungan Mu itu bukalah kalbuku. Lalu, lapangkanlah dadaku dan berdayakanlah badanku. Karena tiada yang menolongku menemukan kebenaran selain Engkau, dan tiada pula yang dapat mendatangkannya selain Engkau. Tiada daya dan tiada kekuatan, kecuali seijin Allah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.”<br />
“Wahai Abul Hasan, hendaklah kamu lakukan semuanya itu pada tiga hari Jum’at, lima hari Jum’at, atau tujuh hari Jum’at. Kamu akan terkabul, bi idznillâh. Demi Allah yang mengutusku membawa kebenaran, Allah sama sekali tidak akan membuat keliru orang beriman” (Hr.Tirmidzi, menurutnya sebagai hadis hasan gharib. Dan, Imam Hakim ra men-shahih-kannya; Kitab Syaraful Ummatil Muhammadiah, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani).<br />
<br />
6. Habits Tarbiatul Hamli.<br />
Dinul Islam mengajarkan, bahwa hak pertama yang harus diperoleh seorang janin di dalam kandungan ibunya adalah kalimat talkin, “lâ ilâha illa-llâh”. <br />
Dan, memang di setiap kesempatan janin dapat dididik dan diajari dengan “dasar-dasar kehidupan” dan “dasar-dasar keilmuan”, baik dari ibunya maupun dari bapaknya, atau bahkan dari lingkungannya di mana si janin berada di saat ibunya sedang mengandungnya. <br />
Sementara, perbuatan-perbuatan tafa’ul guna mendapatkan kualitas yang hebat dari si janin kelak setelah menjadi manusia dewasa. Sudah dapat dididikkan diusia kandungannya. Boleh dibilang, kita menghendaki anak kita kelak menjadi ini dan itu, maka mulai di dalam kandungan sudah dapat dipersiapkan dengan matang, insyâ Allâh. <br />
Jika, habits tarbiyatul hamli cukup sukses dan mendapatkan sambutan yang hangat di Barat --sebut saja Amerika Serikat. Mengapa kita sebagai sang pemilik metode tersebut lupa dengan khazanah ‘mi’raj’-nya?!<br />
Betapa ruginya Islam, manakala anak-anak kaum muslimin yang lahir ke alam dunia ini hanya menjadi “pelengkap-penderita” saja di dalam percaturan peradaban dunia yang global.<br />
Dari keenam fasilitas quantum tersebut di atas, maka kemampuan otak manusia baik yang kanan maupun yang kiri dapat dilecut dengan tambahan-tambahan menu. Sehingga peran kedua otak tersebut menjadi optimal. <br />
Dan, hal itu akan menjadi kekuatan dahsyat bila pemilik otak itu adalah seorang muslim-mukmin, sebab oleh Allah jalla jalâluh seorang muslim-mukmin dibekali dikehidupannya dengan: ilmu, akal, indera, kalbu, iman, dan wahyu. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
MENGHIDUPKAN THE THREE HABITS ILMU LADUNI GUNA MENDORONG <br />
BERPIKIR KREATIF & INOVATIF<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Ada tiga habits seorang hamba dapat mendapatkan ilmu laduni-Nya. Dan, ketiga habits itu adalah khazanah kaum muslimin yang sudah mulai ditinggalkan. Yang di jaman keemasan Islam, habits tersebut telah dicontohkan dan dilakukan oleh sebagian besar kalangan terdidik dari kaum muslimin; hasilnya sungguh luar biasa, di mana kaum muslimin mendapatkan percepatan keilmuan dan akhlak, yang didukung dengan pengamalan adab Islam secara implementatif. Tidak hanya mereka, bahkan para nabi dan para rasul pun juga memiliki habits ilmu laduni tersebut.<br />
Ketiga habits untuk mendorong mendapatkan ilmu laduni-Nya, adalah:<br />
1. Langsung dari-Nya.<br />
2. Melalui riadlah (olah hati).<br />
3. Melalui ketekunan berpikir (lazimatut tafakkur).<br />
Untuk habits nomor satu dan dua di atas merupakan sarana yang bersifat ikhtiari, sehingga seorang hamba akan memperoleh ilmu laduni-Nya. <br />
Bila, dari ketiga habits tersebut, salah satu saja ada pada diri seseorang di kehidupannya. Maka, orang tersebut akan memiliki "daya laduni" yang dapat melahirkan pikiran kreatif dan inovatif. Apalagi, bila ketiga-tiga habits itu ada pada diri seseorang. Insya Allah, kaum muslimin akan memiliki pemikir yang ulama dan ulama yang pemikir; pemimpin yang ulama dan ulama yang pemimpin; ulama yang pejuang dan pejuang yang ulama; dst. <br />
Jadi, jelaslah ilmu laduni bukan sesuatu yang harus disakralkan. Dan, sebaliknya harus ditentang habis-habisan untuk tidak mempercayai keberadaanya. Sebab, siapa pun dari hamba Allah akan dapat memperolehnya, kesemuanya tergantung Allah azza wa jalla; dan memenuhi syaratkah seseorang tersebut untuk mendapatkan ilmu tersebut. Renungkanlah firman-Nya, <br />
<br />
"Dan, barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah ('ilmullâh), tidaklah ia mempunyai cahaya (al-'ilmu) sedikit pun" (Qs.an-Nûr: 40).<br />
<br />
Di samping ketiga habits di atas masih harus ada beberapa syarat, yang menurut alfaqîr hal itu sangat penting di dalam menunjang keberhasilan seseorang di dalam memperoleh ilmu laduni-Nya, yakni: <br />
1. Memenuhi adab Islam.<br />
2. Mengamalkan akhlak Islam.<br />
3. CC dengan syariatullah.<br />
4. Ikhlas di dalam beramal dan beragama.<br />
5. Terdapatnya tauhid yang kuat lagi kokoh.<br />
6. Jujur.<br />
7. Kalbu yang bening.<br />
8. Dipilih oleh Allah swt untuk mendapatkan laduni-Nya.<br />
<br />
Ilmu Laduni & Kreatifitas<br />
Adalah benar pendapat yang mengatakan, bahwa semua ilmu itu datangnya dari sisi Allah swt --memang ayat qauliah (tersurat, red) dan ayat kauniah (tersirat, red) berasal dari sisi-Nya. Dan, nyata-nyata ilmu tersebut akan dapat mendatangkan kemanfaatan serta kemaslahatan bagi umat manusia di kehidupannya. <br />
Adapun ilmu yang tidak diridlai-Nya, tapi secara sunnatullah mendapatkan ijin-Nya --dan, dunia ini pun ilmu tersebut ada, bahkan banyak juga 'penggemar'-nya-- adalah semua keilmuan yang mendatangkan malapetaka bagi umat manusia dan kehidupannya.<br />
Sedangkan, ilmu laduni merupakan salah satu ilmu-Nya yang diberikan kepada para hamba-Nya yang telah dipilih-Nya. Dengan demikian, mereka yang mendapatkan ilmu laduni adalah para hamba-Nya yang terpilih, yang telah memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana delapan syarat pokok di antaranya. Mereka yang terpilih untuk mendapatkan ilmu laduni, di antaranya: para nabi; para rasul; para waliyullah; para shalihin; para syuhada`; dan para ulamâ`ullâh. Sebut saja di antara manusia-manusia terpilih itu, antara lain: Nabi Nuh as dengan desain kapalnya; Nabi Hud as dengan desain perumahan tingkatnya; Nabi Dawud dengan baju besinya; Nabi Musa as dengan kecerdasan IQ-nya; Nabi Isa as dengan kecerdasan EQ-nya; Nabi Ismail as dengan kecerdasan SQ-nya; Nabi Muhammad saw dengan kecerdasan In-Q-nya.<br />
Sedangkan, untuk golongan para waliyullah, antara lain: sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq ra yang menyerahkan seluruh harta bendanya untuk kepentingan Islam; sahabat Umar al-Faruq ra yang menyerahkan separuh harta bendanya untuk kepentingan Islam; sahabat Abdurrahman bin Auf ra yang menyerahkan 699 unta bebannya untuk kepentingan Islam, sementara ia cukup hanya mengambil seekor unta beban untuk modal & ma`isyah; dst.<br />
Atau, dari para ulamâ`ullâh, antara lain: delapan imam madzahib dengan pemikiran fikihnya; al-Hujjatul Islam al-Imam Ghazali ra; Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Taimiah ra; Ibnu Khaldun ra; Ibnu Sina ra; Bel Geik ra; Ibnu Rusd ra; Syaikh Abduljalil (Sunan Lemah Abang, red); Walisongo; Ki Ronggowarsito (RM.Burhan, red); Syaikh Hasyim Asyari ra; Buya Hamka ra; KH.Wahid Hasyim ra; dsb. <br />
Pada prinsipnya para tokoh yang alfaqîr sebut di atas, dan sebenarnya masih sangat banyak lagi di dunia ini yang telah mendapatkan ilmu laduni-Nya. Adalah mewakili para hamba Allah yang kreatif dan inovatif di masanya. Dengan demikian, antara ilmu laduni dan kreatifitas berpikir sangat dekat sekali, sehingga tidak jarang mereka yang telah mendapatkan ilmu laduni-Nya menjadi sosok yang inovatif. <br />
Tetapi patut dicatat, bahwa tidak selalu orang yang inovatif telah mendapatkan ilmu laduni-Nya, bisa jadi "kelebihan-kelebihan" yang di dapat seseorang tersebut merupakan istidraj dari Allah ta'âlâ, sehingga orang tersebut tambah kufurnya kepada-Nya. Contoh: Fir'aun; Hamman; Qarun; Tsa'labah; Mustafa Kemal Attaturk; Mu`awiah bin Abi Sufyan; Yazid bin Mu`awiah; Mu`awiah bin Yazid; Sah Pahlevi; Salman Rusdi; Charles Darwin; dst.<br />
<br />
Ilmu Laduni & Muhaddats<br />
Dalam sebuah hadis diriwayatkan, Nabi saw telah bersabda, <br />
<br />
“Sesungguhnya pada umat-umat sebelum kalian terdapat orang-orang yang muhaddats (raushandlauqi)” (Hr.Bukhari & Muslim, Kitâb Ihyâ` Ulumuddîn, Jilid I, Fashal Ilmu; tentang kesaksian atas sahnya thariqah shufi).<br />
<br />
Sebagaimana juga ditegaskan dalam sabdanya yang lain, <br />
<br />
“Sekiranya ada di dalam umatku seorang dari mereka (muhaddats), maka dia adalah Umar bin Khaththab” (Hr.Bukhari; Fashal Fadhlush Shahabah, bab Manaqib Umar ibnul Khaththab, hadis nomor 3486 & 1349. Hr.Muslim; Fashal Fadha`ilush Shahabah, bab Min Fadha`il Umar, hadis nomor 2398 & 1863).<br />
<br />
Muhaddats adalah orang yang hatinya mendapatkan curahan rahmat dari Allah swt secara langsung, sehingga ia dapat mengambil keputusan-keputusan pelik dengan penuh arif dan bijaksana; yang keputusan itu tidak dapat dipahami oleh orang-orang yang tidak memiliki kekuatan muhaddats tersebut.<br />
Muhaddats dapat berbentuk gambaran yang tidak dapat ditangkap oleh indera penglihatan, atau berupa bunyi yang tidak bersuara, atau berupa getaran hati yang didatangkan oleh Allah swt secara tiba-tiba. <br />
Sehingga seorang muhaddats dapat mengetahui sesuatu yang tidak diketahui, dan melihat dengan jelas sesuatu yang kasatmata (ghaib) dan tersembunyi. Hal ini merupakan karunia dan kemuliaan yang datangnya langsung dari sisi-Nya, seperti yang Allah ta’âlâ berikan kepada: para auliâ`-llâh, para shalihin, para shiddîqîn, para syuhadâ’, para muttaqîn, dan para mukminin.<br />
Jadi, muhaddats itu datang secara tiba-tiba dan tanpa disadari; dan seringkali kejadiannya merupakan "kejadian aneh" yang tidak dapat dinalar-matematikakan. Padahal sebenarnya, hal itu bukan yang nganeh-nganehi bagi Allah dan Rasul-Nya; serta bagi kaum muslimin-mukmin. Satu realitas yang mesti dipahami adalah "kejadian yang terkesan tiba-tiba di luar kontrol itu" tetap merupakan kehendak-Nya dan datangnya dari sisi-Nya. <br />
Namun bagi orang Barat yang skeptis, mereka memahami "kejadian yang tiba-tiba" itu, ya benar tiba-tiba datangnya tanpa ada campur tangan Allah azza wa jalla; kajadian ini menurut mereka disebut “intuisi”. <br />
Menurut paradigma Barat, intuisi adalah buah dari feeling. Sehingga hampir mayoritas, tak terkecuali kaum muslimin terdidik, yang notabene-nya pendidikan yang terwarnai oleh Barat zionis, akan menyamakan intuisi dengan indera keenam. <br />
Inilah bias makna yang harus didekonstruksi dengan desain ulang, agar kaum muslimin tidak dimainkan oleh kata-kata dan makna yang didefinisikan oleh Barat zionis, yang menggunakan paradigma skeptisisme (bersikap ragu-ragu sebelum berpikir, red).<br />
Bagi seorang muslim-mukmin, intuisional itu sama dengan dlauqiah, yang mana ia membawa pencerahan pada pemiliknya. Maka, alfaqîr menyebutnya secara terminologi sebagai raushandlauqi; pencerahan makrifatullah. Yang ditopang oleh dua pilar utama pencerahan, yaitu: pencerahan intelektualitas (raushanfikri) dan pencerahan hati (raushandlamiri). <br />
Ada pepatah yang mengatakan, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Demikian pula dengan makna “intuisional”, bagi alfaqîr ia memiliki terminologi yang sama arti dan makna dengan dlauqiah.<br />
Jadi, jelaslah bahwa muhaddats adalah ilmu laduni-Nya. Dapatlah dipahami, bahwa ilmu laduni-Nya itu banyak ragamnya suka-suka Allah saja mendesainnya dan suka-suka Allah saja memberikannya kepada siapa pun dalam bentuk apa pun. Dikarenakan secara kemasan ilmu laduni tidak dapat dipesan, karena persyaratan yang delapan di atas pun, masih tetap berlaku syarat yang nomor delapan, yaitu dipilih oleh-Nya untuk mendapatkan ilmu laduni-Nya. Artinya, jika ketujuh syarat telah memenuhinya, namun Allah azza wa jalla tidak memilih-Nya, maka gagallah dia untuk mnendapatkan ilmu laduni-Nya.<br />
<br />
Langsung Dari-Nya ('Allamnâhu Mil Ladunnâ 'Ilmâ)<br />
Ada ilmu laduni yang didapatkan secara langsung dari-Nya. Sehingga dari ilmunya yang "khusus" tersebut seseorang muslim dapat menciptakan sesuatu yang baru secara inovatif, sebagai akibat langsung dari ilmu laduni-Nya yang mendorongnya berpikiran kreatif. <br />
Suatu misal: Nabi Idris as, beliaulah manusia pertama yang menemukan pemintalan, jarum, mode pakaian,dan baca-tulis; padahal dari datuknya beliau hanya diajari mengenai pentingnya tauhid dalam kehidupan umat manusia. Maka, di luar ilmu yang dipelajari dan difokuskannya "secara langsung" Nabi Idris as telah mendapatkan curahan rahmat keilmuan dari Allah jalla jalâluh.<br />
Namun secara progresif, dengan ilmu laduni-Nya, Allah swt me-'mi'raj'-kan kreatifitasnya menjadi sebuah inovasi yang tidak lazim di jamannya. Dan, di situlah telah terjadi percepatan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat dan membawa kemaslahatan buat umat manusia. Bahkan, hasil dari pemikiran kreatifnya masih dapat dirasakan hingga saat ini, yakni dengan lahirnya: industri garmen; pemintalan benang; jarum; dan baca-tulis. <br />
Nabi Nuh as, di dalam memahami wahyu untuk membuat kapal (bahtera, red) beliau berpikir kreatif, yakni menanam kayu-kayu terpilih dengan kualitas yang unggul. Di samping mempersiapkan tanam-tanaman yang nantinya dapat dijadikan tali (semacam ijuk, red). <br />
Di situlah ilmu laduni-Nya mendorongnya untuk berpikir kreatif. Sehingga hasil yang dicapainya adalah sebuah karya inovatif, yang tidak lazim di jamannya; yakni membuat kapal dengan galangan yang berada di atas bukit yang jauh dari air. Padahal pada waktu itu, kapal identik dengan air. Dan, Nabi Nuh as harus rela menerima ejekan, cercaan, makian, fitnahan dari para kaumnya; bahkan puteranya sendiri, Sam (Kan'an menurut ahli kitab, red). Karena dianggap 'tidak lazim' pada waktu itu, demikianlah tantangan bagi seseorang yang berpikir kreatif, akibat dari tindakannya secara otomatis akan melahirkan resiko, ekses, dan konsekuensi. Bagi seorang yang memiliki visi-misi kreatif dan inovatif, maka dia akan berani menghadapinya dengan keteguhan dan ketegaran; di samping --sudah barangtentu-- kesabaran.<br />
Nabi Dawud as, secara laduniah dia dapat mendesain baju besi yang pada waktu itu di dalam suatu peperangan tidak lazim seorang pasukan menggunakan pelindung diri dari baju besi. Tetapi, Nabi Dawud as memberikan perlindungan kepada pasukannya dengan pengaman baju besi. Dan, seni perlidungan diri dari baju besi itu, akhirnya telah banyak mengilhami para ahli militer untuk membuat perlindungan seaman-amannya dalam sebuah pertempuran. <br />
Kemampuan Nabi Dawud as yang secara tiba-tiba itu merupakan "daya laduni" yang datangnya langsung dari-Nya. Sebagaimana difirmankan-Nya, <br />
<br />
"Dan, telah Kami ajarkan kepada Dawud membuat baju besi untuk kalian, guna memelihara kalian dalam peperangan kalian. Maka, hendaklah kalian bersyukur (kepada Allah)" (Qs.al-Anbiyâ`: 80).<br />
<br />
Nabi Dawud as oleh Allah swt tidak hanya diberi-Nya ilmu laduni di dalam mendesain baju besi. Akan tetapi, dia juga diberi ilmu laduni-Nya kemampuan sebagai seorang negarawan di dalam mengelola kekuasaan ke dalam sebuah seni memerintah. Sehingga Nabi Dawud as merupakan sosok negarawan yang memiliki style memerintah dalam sebuah pemerintahan yang didukung oleh Allah jalla jalâluh. Sebagaimana telah dinyatakan dalam firman-Nya, <br />
<br />
"…Lalu, Allah memberikan kepadanya (Dawud) pemerintahan dan hikmah --sesudah meninggalnya Thalut. Dan, mengajarkan kepadanya (Dawud) apa yang dikehendaki-Nya…" (Qs.al-Baqarah: 251).<br />
<br />
Nabi Yusuf as, oleh Allah azza wa jalla dia diberi kemampuan laduni di dalam menakwil mimpi-mimpi. Dan, akhirnya dengan kemampuan laduni-Nya, Nabi Yusuf as mampu memerintah dengan seni memerintah yang membawa kesuksesan yang gemilang di bumi Mesir. Dikarenakan, dia didukung oleh Allah jalla jalâluh di dalam mengelola pemerintahan dan kekuasaannya. Sebagaimana difirmankan-Nya, <br />
<br />
"Dan demikian pulalah, Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi. Dan, agar Kami ajarkan kepadanya tabir mimpi. Dan, Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Dan, tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah, Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik" (Qs.Yusuf: 21-22).<br />
<br />
Ada sebuah kisah yang bersifat laduniah, seperti disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
"Ketika seseorang berjalan di hutan, tiba-tiba mendengar suara dari atas awan, 'Siramkan ke kebun fulan.' Mendadak awan itu berpaling dan menuangkan airnya di tanah bebatuan. Namun salah satu selokannya dapat menerima air hujan itu semuanya. Maka, diikutinya jalan air itu, tiba-tiba sampai ke suatu kebun, di mana ada seorang berdiri di muka kebun sambil memindahkan air tersebut.<br />
Maka, ditanya, "Wahai hamba Allah, siapa namamu?"<br />
Jawabnya, "Fulan". Tepat pada nama yang didengar dari atas awan itu.<br />
Maka, orang itu balik bertanya, "Mengapa kamu menanyai namaku?"<br />
Di jawab, "Aku tadi telah mendengar suara dari awan, siramkanlah airmu di kebun fulan, yang tepat pada namamu. Maka, apakah amal perbuatanmu?"<br />
Orang tadi menjawab, "Jika itu kehendakmu, aku beritahukan. Aku selalu memperhatikan hasil kebunku ini, dan aku bagi 1/3 untuk sedekah, 1/3 untuk makanku dan keluarga, dan 1/3 untuk bibit" (Hr.Muslim; dari sahabat Abu Hurairah ra, Kitab Riyâdush Shâlihin).<br />
<br />
Di dalam cerita yang dikisahkan oleh Rasulullah saw dalam hadis di atas, tokoh fulan adalah seorang hamba Allah yang mendapatkan ilmu laduni-Nya, yakni dia memiliki keputusan untuk mengeluarkan 1/3 untuk bibit, 1/3 untuk ma`isyah, dan 1/3 untuk sedekah. Sehingga membuat takjub masyarakat di sekitarnya, karena di musim kemarau kebunnya tetap mendapatkan siraman air hujan dari Allah swt.<br />
Dan, tentunya masih banyak cerita nyata, kisah nyata, dan sejarah kaum muslimin yang membicarakan seputar ilmu laduni-Nya. Bagi kita sebagai kaum muta`akhirin, yang terpenting di dalam memahami cerita-cerita di seputar keutamaan ilmu laduni, bukan pada segi ke-fantastis-annya. Tetapi, yang harus kita lakukan adalah, bagaimana kreatifitas dan daya inovasi yang kita lakukan mendapat dukungan dari ilmu laduni-Nya. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya dalam sebuah firman, <br />
<br />
"Dan, sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui;" wa inna-hu ladzû 'ilmil li mâ 'allamna-hu, wa lâkinna aktsaran nâsi lâ ya'lamûn (Qs.Yûsuf: 68).<br />
<br />
Juga, dalam firman-Nya, <br />
<br />
"Dia (Allah) mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya" (Qs.al-`Alaq: 5).<br />
<br />
Jadi, jelaslah bahwa ilmu laduni yang di dapat "secara langsung". Benar-benar hak mutlak Allah azza wa jalla untuk memberikannya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. Meski ketujuh syarat tersebut di atas tetap berlaku, hingga seorang hamba benar-benar dikarunia ilmu laduni-Nya.<br />
<br />
Melalui Riadlah (Olah Hati)<br />
Penunaian rukun iman dan pengamalan rukun Islam. Begitu pula dengan penunaian amaliah fardliah (yang bersifat wajib 'ain, red) dan amaliah mandzubah (yang bersifat sunnah, red), mengarahnya adalah pada penegakan konsepsi takwa dan nilai-nilai tauhidullah. Dan, dari konsepsi takwa dan nilai-nilai tauhid tersebut, maka seorang muslim-mukmin diharapkan memiliki sikap dermawan (wong lumo, bahasa Jawa, red) dan perilaku tidak hubbud dunya (artinya gak nyantol ing dunyo, bahasa Jawa, red). Dari kedua pilar itulah --sikap dermawan & perilaku tidak hubbud dunya. Allah swt menjadikan 'kedua pintu-Nya' itu untuk melakukan pendekatan diri kepada-Nya. <br />
Dengan demikian riadlah (olah hati, red) yang dilakukan, benar-benar menghasilkan capaian-capaian yang kesemuanya telah menjadi syarat (kedelapan syarat, red) untuk mendapatkan ilmu laduni-Nya.<br />
Sebagaimana kisah Nabi Khidlir as dengan Nabi Musa as, di mana Nabi Musa as melakukan riadlatun nafs dengan mengikuti Nabi Khidlir as. <br />
<br />
"Maka, dia bertemu seorang hamba (Khidlir) di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami."<br />
Musa berkata kepadanya (Khidlir), "Bolehkah aku mengikutimu, agar kamu ajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang diajarkan kepadamu?!" (Qs.al-Kahfi: 65-66).<br />
<br />
Dan, masih banyak lagi kisah-kisah dari riadlah kaum shalihin, yang akhirnya mereka dipilih-Nya untuk menerima ilmu laduni-Nya. <br />
Intinya hati yang bening akan mengantarkan pemiliknya untuk meraih nafsu muthma`innah. Sedangkan kuatnya nafsu muthma`innah akan mampu mengelola daya rusak nafsu amarah dan nafsu lawwamah, ke dalam dinamika konstruktif yang sangat menguntungkan pemiliknya --termasuk di antaranya adalah mendapatkan ilmu laduni-Nya. Ilmu laduni benar-benar bersumber dari (divine energy transmition) DET & (revelation energy transmition) RET.<br />
<br />
Melalui Ketekunan Berpikir (Olah Raga Otak) <br />
Ilmu laduni-Nya dapat diraih juga dengan melalui ketekunan berpikir. Sebut saja para ulama`ullah dan cendekiawan muslim, sekaliber: Imam Maliki ra, Imam Hanafi ra, Imam Syafi'i ra, Imam Hanbali ra, Imam Bukhari ra, Imam Muslim ra, Imam Nawawi ra, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani ra, Imam Ibnu Taimiah ra, Imam Hasan al-Bana ra, Imam Khomaini ra, al-Maududi ra, Ismail al-Faruqi ra, Fazlurrahman ra, Sayyidusy Syaikh Abbul Abbas Ahmad bin Muhammad at-Tijani ra, Syaikh Abdulqadir al-Jilani al-Baghdadi ra, Imam Qusyairi ra, Syaikh Junaid al-Baghdadi ra, Syaikh Hasan as-Sadzili ra, Imam Ibnu Jazm ra, Syaikh al-Busyiri ra, Syaikh Naqshabandi ra, Imam al-Ghazali ra, Syaikh Abduljalil al-Jawi al-Makki ra, Sulthan Hadi Wijoyo ra, Raden Patah ra, Walisongo ra, dan masih banyak lagi yang lainnya; baik yang terdapat di dunia Islam maupun di Nusantara ini. <br />
Dari ketekunannya di dalam ber-tafakur, maka suatu saat bila dia termasuk yang dipilih-Nya. Dia akan disifati al-qur`an dengan firman-Nya, <br />
<br />
"Dan, bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri;" mâ fa 'altuhu 'an amî(Qs.al-Kahfi: 82).<br />
<br />
Dikarenakan terdapat jaminan dari-Nya, <br />
<br />
"Dan, bertakwalah kepada Allah. Allah niscaya mengajar kalian;" wat taqû-llâh, wa yu'allimu kumu-llâh (Qs.al-Baqarah: 282).<br />
<br />
Oleh karena di dua firman-Nya di bawah ini, Allah azza wa jalla menegaskan, <br />
<br />
"Dan, bagi orang-orang yang mendapatkan petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (pahala dari) ketakwaannya" (Qs.Muhammad: 17).<br />
<br />
"Dan, orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk mencari keridlaan Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik" (Qs.al-Ankabût: 69).<br />
<br />
<br />
Sumber Ilmu Laduni<br />
Allah azza wa jalla, Rasulullah saw, dan wahyu itulah sumber ilmu laduni. Oleh karena, merupakan perbuatan yang sangat tercela jika ada seorang muslim, yang telah berani keluar dari kerangka syariatullah dan syariatul Islam; guna mengejar untuk memperoleh ilmu laduni-Nya. <br />
Telah ditetapkan di dalam al-qur`an, bahwa prinsip ilmu laduni adalah "minallâh mâ lâ ta'lamûn;" dari Allah apa yang kalian tiada mengetahuinya (Qs.Yusuf: 86).<br />
Maksudnya, datangnya ilmu laduni itu benar-benar dari sisi Allah azza wa jalla. Dikarenakan Allah ta'âlâ telah menerangkan mengenai dasar ilmu laduni, yakni <br />
<br />
"`Atainâ-hu rahmatam min 'indinâ wa 'allamnâ-hu mil-ladunnâ 'ilmâ;" dia (hamba Kami) yang telah Kami beri rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (Qs.al-Kahfi: 65).<br />
<br />
Untuk konteks sekarang ini sudah saatnya kaum muslimin-mukmim mendidik putera-puterinya dengan ketiga pola habits ilmu laduni tersebut di atas. Di samping mengarahkan keilmuan yang dipelajari para putera-puterinya untuk memenuhi kedelapan syarat, guna memperoleh ilmu tersebut.<br />
Dinul Islam menghendaki tampilnya kaum muslimin-mukmin yang kreatif dan inovatif. Sehingga di dalam mengelola persemakmuran dunia benar-benar penuh apresiatif. Dengan demikian yang sangat mendesak dan harus dilakukan kaum muslimin adalah kejujuran dan keteladanan. Dan, tidak ada yang mampu mengembalikan kedua pilar tersebut --kejujuran & keteladanan, kecuali dengan cara: <br />
a. Menghidupkan sunnah nabawiah.<br />
b. Menghidupkan syiar masjid.<br />
c. Melembagakan kasih-sayang terhadap sesama mukmin dan segenap makhluk-Nya, ke dalam perilaku harian diri sendiri. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
QUANTUM BELIEVING BERPANGKAL<br />
PADA HATI YANG SELAMAT<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Hati yang selamat (qalbun salim) adalah dambaan dari setiap hamba Allah yang beriman kepada-Nya. Hati yang selamat adalah hati yang selalu diperbaiki oleh pemiliknya, atas pertolongan Allah azza wa jalla. Itulah yang sehat (qalbun 'afiah). Dan, tidak ada jalan yang paling cepat di dalam memperbaiki hati kita, kecuali dengan menanamkan rasa imannya secara tekun, disiplin, dan sungguh-sungguh ke dalam hatinya. <br />
Keberadaan iman bagi seseorang yang memilikinya, sungguh merupakan anugerah yang sangat mulia bagi seorang hamba yang telah dipilih-Nya. Dan, inilah pangkal dari kekuatan quantum believing (QB) guna menjadi seorang hamba yang penuh inovatif dan kreatif.<br />
Tapi, apakah demikian halnya dengan hati orang yang munafik dan kafir kepada Allah azza wa jalla? Jawabannya, adalah tidak. Hati orang munafik, adalah cerminan dari hati seorang hamba yang sakit, atau berpenyakit. <br />
Sedangkan hati orang kafir, adalah cerminan hati yang keras lagi membatu. Maka, celakalah dan merugilah bila seorang hamba Allah di dalam hatinya kedapatan hatinya sedang sakit atau sedang mengeras. Atau, bisa jadi memang hatinya selalu sakit (qalbun marîdl) dan atau selalu mengeras (qalbun muqasid). <br />
Hati seorang mukmin sangat mudah untuk di-quantum believing-kan, ketimbang hatinya orang-orang yang munafik dan atau hatinya orang-orang yang kafir. Sebab, QB sangat tidak mungkin dapat dilakukan oleh hati yang sakit, apalagi hati yang mengeras. Sangat tidak mungkin. <br />
Adapun QB merupakan daya dorong yang sangat efektif di dalam melahirkan sikap dan perilaku inovatif dan kreatif. <br />
Jika, kita mau memperhatikan perjalanan ruhani para sahabat Nabi saw. Atau, perjalanan ruhani Rasulullah saw sendiri. Selalu berpangkal pada perbaikan hati (ishlâhul qalbi) dan penyucian diri (tazkiatun nafsi). Artinya, iman seorang hamba benar-benar menjadi kunci terpenting di dalam memberdayakan hati seseorang, yang pada puncaknya hati tersebut senantiasa mengimani dan menerima keberadaan Allah jalla jalâluh, tanpa adanya campur tangan atau terlibatnya hati yang berpenyakit --hati yang keras telah nyata tidak mau menerima keberadaan-Nya. <br />
Ingat dalam peristiwa isra` wal mi'raj Nabi saw, sebelum beliau di isra` dan mi'raj-kan oleh-Nya dari Makkah menuju Baitul Maqdis, dan dari Baitul Maqdis ke Shiddratul Muntahâ. Nabi saw lebih dahulu harus mengalami "operasi kecil" di mana hati beliau dikeluarkan dari dada untuk kemudian dicuci lebih dahulu oleh dua malaikat-Nya. <br />
Tujuannya sangat jelas, agar Rasulullah saw nantinya tidak melakukan perbuatan maksiat dan dosa kepada Allah swt. Maka, beliau mendapatkan gelar "pribadi yang maksum", yaitu sosok manusia yang tidak akan berbuat salah dikarenakan beliau selalu dijaga oleh-Nya secara langsung. <br />
Inilah pelajaran buat kaum yang beriman kepada Allah azza wa jalla, bahwa perbaikan hati dan penyucian diri merupakan perbuatan yang sangat penting dan harus dilakukan oleh kaum muslimin mukmin, yang dalam kehidupannya tidak mungkin terbebas dari dosa dan maksiat kepada-Nya.<br />
Dikarenakan umat beliau, pribadinya hanya sekadar berkedudukan mahfudz, yaitu hati seseorang akan terjaga oleh-Nya, bila si pemilik hati selalu menjaganya dari perbuatan dosa dan maksiat. Bila seseorang berbuat dosa dan maksiat kepada Allah swt, maka saat itu imannya tercabut dari hati itu. <br />
Dengan demikian di dalam hati yang mahfudz masih terdapat peluang yang sangat besar untuk dapat melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Meski karena keimanannya pula si pemilik hati itu segera menaubati dan menyesali atas perbuatan dosa dan maksiatnya tersebut kepada Allah azza wa jalla. <br />
Itulah yang disabdakan Nabi saw mengenai kondisi hati seorang mukmin, di mana di saat seorang hamba melakukan dosa. Maka, akan muncul bintik hitam di dalam hati tersebut. Jika dosa dan maksiat dilakukan berkali-kali tanpa ditaubatinya, maka bintik-bintik hitam itu akan terus bertambah tebal dan tingginya di dalam hati. Namun, jika si pemilik hati menyesali dan menaubatinya, maka hatinya akan kembali bersih, bercahaya, dan mengkilat; apabila bintik-bintik hitamnya hanya sedikit. <br />
Tapi, menjadi persoalan sendiri manakala bintik hitam itu telah menjadi warna hitamnya hati, maka hati tersebut perlu dicuci kembali hingga bersih; guna mengeluarkan daqi` (bahasa Jawa: bolot-nya hati, red). Seperti telah disabdakannya, <br />
<br />
"Seorang hamba yang berbuat dosa benar-benar terdapat bintik hitam di dalam hatinya. Jika bertaubat dari dosa-dosa itu hatinya akan mengkilat dan bersih kembali. Namun, bila dosanya bertambah, bintik hitam itu pun bertambah. Inilah maksud firman Allah, 'Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka' (Qs.al-Muthaffifîn: 14)." (Hr.Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Tirmidzi, Nasâ`i, Ibnu Majah; dari sahabat Abu Hurairah. Menurut Imam Tirmidzi hadis ini shahîh).<br />
<br />
Senada dengan hadis tersebut di atas, Rasulullah saw juga pernah bersabda, <br />
<br />
"Jika seorang hamba melakukan kesalahan, maka hatinya akan berbintik hitam. Tetapi, bila dia mengurungkan niatnya untuk berbuat salah, beristighfar, dan bertaubat. Maka, hatinya berubah jadi mengkilat kembali. Bila mengulangi dosa lagi, bintik hitam itu akan bertambah tebal di dalam hatinya. Itulah yang disebut racun (penutup) yang difirmankan oleh Allah. Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka" (Hr.Nasâ`i). <br />
<br />
Maka dari itu, dalam rangka memperbaiki hati dan penyucian diri --dalam hal ini dinul Islam-- telah memberikan jalan keluar yang mudah dan sederhana untuk diamalkan. Namun manfaat dan buah yang dihasilkannya sangat luar biasa bagi QB seorang muslim, yakni di antaranya hati akan benar-benar mampu keluar dari penyakitnya dan terhindar dari kekasarannya dan kekerasannya. Dan, hal itu dapat diwujudkan dengan pelatihan ruhani, bagi seseorang yang menghendaki hatinya sembuh dari penyakit dan terjaga dari kerasnya hati. <br />
Sedangkan pelatihan ruhani itu dapat dibagi ke dalam tiga tahapan, yang harus diamalkan oleh seseorang yang sedang mengikuti pelatihan tersebut. Di antara empat tahapan latihan itu, adalah: a.)Ber-istighfar; b.)Ber-shalawat kepada Nabi saw; c.)Ber-hailalah; dan d.)Ber-tilawah al-qur`an. <br />
Dan, dari keempat metode itulah, daqi` yang berada di dalam hati akan dapat keluar atas ijin Allah, insya Allah. <br />
<br />
Memahami Asas Pendidikan<br />
Bagi orang tua, dan atau bagi pendidik, hendaklah memahami, bahwa asas pendidikan bagi seorang manusia adalah masuknya iman ke dalam hati. Atau, menerimanya hati terhadap keberadaan Allah. Atau, menerima setiap hal yang berupa ketentuan yang datangnya dari Allah dan rasul-Nya.<br />
Dengan demikian setiap proses dan aktifitas yang mengarah pada terjadinya perubahan dari munafik kepada iman. Atau, dari kufur kepada iman. Atau, dari kebodohan kepada keimanan. Adalah, sesuatu yang harus didukung percepatannya. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat kaum muslimin akan memiliki sumber daya insaninya dengan kualitas QB.<br />
Maka dari itu, percepatan perubahan keimanan pada diri anak kita, atau pada anak didik kita. Haruslah benar-benar mengarah pada terjadinya hati yang mengimani Allah azza wa jalla. Di sinilah kunci keberhasilan hidup seseorang, di dalam berkarir sebagai seorang hamba Allah yang ditugasi sebagai khalifatullah-Nya. Pertanyaannya adalah, adakah di dunia ini manusia yang tidak diciptakan oleh Allah jalla jalâluh? <br />
Artinya, setiap orang yang terlahirkan sebagai manusia, dia adalah seorang hamba Allah. Meskipun banyak pula manusia yang mengingkari kejadian tersebut, sehingga akhirnya mereka memilih jalan kefasikan dan kekafiran. Maka, orang ini tidak ada bedanya dengan setan. Inilah yang disebut syaithânul insi, yaitu setan yang berjenis manusia. Di samping terdapatnya syaithânul jinni, yakni setan yang berjenis jin (yang tersamar, red).<br />
Maka, untuk mengembalikan hati manusia pada fitrah kejadiannya, yakni hati yang bertauhid, bertakwa, dan beriman. Tidak ada cara lain, kecuali menyelamatkan hatinya dari berbagai macam penyakit dan kondisi-kondisi buruk yang dapat mempengaruhi hati seseorang itu, baik yang bersifat pengaruh langsung maupun dari pengaruh yang tidak langsung. <br />
Karenanya, asas pendidikan Islam memberikan dasar pijakan, bahwa di dalam proses belajar mengajar; baik dari pihak pendidik, peserta yang didik, pihak penyelenggara pendidikan, dan fasilitas pendidikan kesemuanya harus mampu menjadikan hati seorang hamba "selamat". <br />
Jika, bukan "hati yang selamat" yang dihasilkan di dalam sebuah proses belajar mengajar, maka sudah secara otomatis proses pendidikan itu gagal --demikian halnya dengan dakwah Islam. Sebab, ukuran kesuksesan bagi seorang hamba adalah kelak dia masuk surga atau masuk neraka. <br />
Dengan demikian dalam konteks kehidupan dunia sudah dapat dilihat, bila seseorang telah menjadikan dunia beserta perniknya hanya sekadar fasilitas untuk menjemput kebahagiaan akhirat; maka dia termasuk yang berhasil. <br />
Namun, sebaliknya bila seorang hamba di dunia tidak pernah menjadikan dunia sekadar fasilitas akhiratnya. Dengan kata lain, dia telah menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan pokoknya. Maka, kehidupan orang tersebut tidak bisa dikatakan berhasil. Meski gelar sarjananya ada di muka namanya atau di belakang namanya. Meski gajinya jutaan rupiah perbulannya. Meski dia seorang profesional muda yang bergaya hidup mewah. Meski rumahnya bagus. Meski mobilnya bagus. Meski dia berkomunitas dengan lingkungan para bangsawan sekali pun. Tapi, secara substansi, seorang hamba yang telah berani menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan pokoknya. Maka, orang tersebut telah menjual agamanya dengan material; atau menjual akhirat dengan dunianya. <br />
Sekali lagi, ukuran atau paramater keberhasilan seseorang bukan dinilai secara bendawi (materi). Tapi, seorang hamba terukur, dia dikatakan berhasil dan sukses, bila dia termasuk hamba yang dimuliakan di sisi-Nya kelak. <br />
Orang yang mengejar keuntungan duniawi, atau kesuksesan materi itu sama halnya dia telah menjatuhkan dirinya pada pangkuan kenikmatan. Dan, itu bukan sosok muslim sejati. Maka, harus kita imani firman Allah azza wa jalla dalam surat az-zumar ayat ke-22, <br />
<br />
"Apakah orang yang dibukakan Allah hatinya untuk menerima dinul Islam, lalu dia mendapatkan cahaya dari Rabb-nya; (itu sama dengan yang membatu hatinya?)."<br />
<br />
Betapa pentingnya program perbaikan hati dan penyucian diri, sampai-sampai Allah swt secara khusus berfirman kepada Nabi Muhammad Rasulullah saw di dalam surat al-muzammil ayat ke 1-5, <br />
<br />
"Hai orang yang berselimut (Nabi Muhammad saw), bangunlah di malam hari (untuk shalat sunnah), kecuali sedikit darinya, yaitu seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan, bacalah al-qur`an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat."<br />
<br />
<br />
Istighfar<br />
Pilar pendidikan Islam pertama yang sejalan dengan asas pendidikan Islam, adalah istighfar (memohon ampunan kepada Allah, red). Sebagaimana hal ini pernah ditekankan oleh Rasul-Nya yang di-bi'tsah-kan pertama kali, Nuh as, yang diabadikan di dalam surat nûh ayat ke 10-12, <br />
<br />
"Maka, aku (Nuh) katakan kepada mereka (kaumnya Nuh), 'Mohonlah ampun kepada Rabb kalian'. Sesungguhnya Dia adalah Mahapengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat, membanyakkan harta, (memberi) anak-anak (yang shalih) buat kalian, mengadakan untuk kalian kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya) untuk kalian sungai-sungai." <br />
<br />
Ayat di atas, dalam hal ini Nabi Nuh as, sangat menekankan dengan jelas lagi tegas, "Istaghfirû rabbakum, innahu kâna ghaffârâ"; mohonlah ampun kepada Rabb kalian, sungguh Dia adalah Mahapengampun. <br />
Dikarenakan hidup dan kehidupan seorang hamba Allah, tidak akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik tanpa membukanya dengan taubat yang diterima-Nya. Maka, segenap anugerah dan karunia yang dimiliki oleh seorang hamba hanya semata karena rahmat-Nya atas segala maghfirah yang diterima oleh seorang hamba itu. Jika, tanpa rahmat-Nya dan maghfirah-Nya, dalam konteks dunia, keberhasilan dan kesuksesan seseorang secara material bendawiah justru akan dapat mengantarkannya semakin jauh dan lari dari petunjuk-Nya. Sehingga seseorang hamba itu semakin durhaka kepada-Nya dengan semakin melimpah-ruahnya material yang menyejahterakannya. Tak lain hal itu sekadar memperoleh istidraj, yakni mengingkari-Nya. Demikian halnya dengan seseorang yang sukses dan berhasil dengan penguasaan atas sesuatu cabang ilmu pengetahuan, tanpa rahmat-Nya dan maghfirah-Nya, dalam konteks dunia, maka hal itu justru akan dapat mengantarkannya semakin jauh dan lari dari petunjuk-Nya. Sehingga seseorang hamba itu semakin durhaka kepada-Nya dengan semakin banyaknya ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Tak lain kesemuanya ini sekadar memperoleh istidraj, yakni dengan ilmu itu dia semakin mengingkari-Nya. <br />
Maka, dalam proses belajar mengajar di sebuah aktifitas pendidikan, segenap umat manusia harus disadarkan kembali dengan sabda Nabi saw, <br />
<br />
"Barangsiapa yang membaca istighfar dengan tekun. Allah akan memberinya jalan keluar dari segala kesusahan dan kesempitan hidupnya. Dan, Allah pasti memberinya rizeki secara tidak terduga-duga" (Hr.Abu Dawud).<br />
<br />
Pembacaan istighfar menurut hadis di atas harus terukur "dengan tekun". Hal ini dapatlah dipahami, bahwa masing-masing hati orang sangatlah berbeda-beda untuk mendapatkan perbaikan hati dan penyucian diri. <br />
Bisa jadi ada seseorang yang cukup membaca istighfar hanya dengan puluhan kali atau ratusan kali. Namun mungkin saja ada hati seseorang yang membutuhkan ratusan ribu, bahkan jutaan kali pembacaan istighfar, sampai dia memahami segenap substansi, hakikat, dan makna istighfar. <br />
Sehingga istighfar-nya benar-benar mendarah daging, yang kemudian berbuah pada perubahan sikap dan perilaku yang mencerminkan sebagai seorang yang beriman kepada Allah azza wa jalla di kehidupan keseharian; di mana pun, kapan pun, atau ketika dia menjadi apa saja. <br />
Guna mendapatkan kualitas istighfar tersebut, Nabi saw mempersyaratkannya, istighfar harus dibaca dengan tekun. Sebab, tanpa ketekunan, istighfar yang dilakukan tidak menghasilkan buah apa-apa. Bahkan, istighfar yang diamalkannya tidak mampu membuahkan pemahaman akan substansi, makna, dan hakikat daripada istighfar itu sendiri. <br />
Bila, buah istighfar telah mulai tampak ke dalam perubahan perilaku dan sikap hidupnya. Adab, akhlak, dan tauhidnya mulai tampak semakin kokoh lagi kuat. Terutama di dalam mengikat dengan sunnah nabawiah, dengan azzam untuk dapat mengamalkan syariatullah. Maka, seorang pembimbing hendaknya bersegera mengarahkannya pada shalawat Nabi Muhammad saw. Dikarenakan, shalawat nabi merupakan jalan utama untuk mencapai hati yang bercahaya. <br />
<br />
Shalawat Kepada Nabi <br />
Pilar pendidikan Islam kedua yang sejalan dengan asas pendidikan Islam, adalah shalawat nabi, yakni memohon kepada Allah supaya Dia merahmati Nabi (Muhammad saw, red). Seperti telah disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
"Barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali. Maka, dengan satu shalawat itu Allah akan bershalawat padanya sepuluh kali" (Hr.Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).<br />
<br />
Sedangkan seseorang hamba yang telah mendapatkan shalawat dari Allah azza wa jalla. Maka, dia akan keluar dari kegelapan kepada cahaya-Nya. Sebagaimana telah difirmankan-Nya, <br />
<br />
"Dia-lah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu). Atau, Dia-lah yang bershalawat kepadamu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang)" (Qs.al-Ahzab: 43).<br />
<br />
Maka, dari aspek tarbiah wa ta'allum, pembacaan shalawat yang berulang-ulang dalam setiap saat, setiap hari, dan di setiap kesempatan, sudah barangtentu atas seijin-Nya, dia akan mendapatkan buah dari pembacaan shalawat tersebut. <br />
Jika hal itu dirasa kurang, karena memang tingkat pemahaman hatinya yang berbeda-beda dari masing-masing orang. Maka, pembacaan shalawatnya dapat dilakukan secara berulang-ulang hingga ratusan ribu kali, bahkan bisa jadi mencapai jutaan kali. Yang pada puncaknya, hati seorang hamba tersebut dapat menerima dan mengimani kerasulan Muhammad saw. Yang secara totalitas seorang hamba yang hatinya telah dicahayai oleh shalawat nabi itu, siap mengikatkan dirinya dengan sunnah nabawiah mulai bangun tidur hingga tidur kembali. <br />
Sebab, tidak ada pencahayaan terbaik dari-Nya, melainkan bila di kehidupan seorang hamba dapat mencintai Rasulullah saw dengan CC-nya terhadap segenap sunnah-sunnah beliau saw. Karenanya, mahabbatullâh (cinta kepada Allah, red) saja terukur dengan mahabbatur-rasul (cinta kepada Rasulullah, red), demikian pernyataan itu dijelaskan-Nya di dalam surat ali imran ayat ke-31.<br />
Bila, hati telah dicahayai dengan shalawat nabi. Dan, buah dari pencahayaan itu telah tampak. Maka, seorang guru atau pendamping seyogyanya menghiasinya dengan pembacaan hailalah, yakni bacaan tahlîl yang berupa kalimat "Lâ ilâha illa-llâh".<br />
<br />
Hailalah<br />
Pilar pendidikan Islam ketiga yang sejalan dengan asas pendidikan Islam, adalah hailalah, yakni pengucapan dan pengungkapan kalimat tauhid "tidak ada sesembahan yang hak, kecuali Allah jalla jalâluh". Hal ini sejalan dengan sabda Nabi saw, <br />
<br />
"Perbaharuilah iman kalian."<br />
Seorang sahabat bertanya kepada beliau, "Bagaimana kami memperbaharui iman kami, wahai Rasulullah?"<br />
Beliau bersabda, "Banyak-banyaklah membaca lâ ilâha illa-llâh" (Hr.Ahmad, Nasâ`i, dan Hakim).<br />
<br />
Karena daqi` dan kualitas hati yang berbeda-beda, sebagai akibat dosa dan maksiat amali-iqtiqadi yang dilakukan juga berbeda-beda. Maka, secara kuantitas dan kualitas pembacaan dan pengungkapan kalimat tauhid itu pun juga berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan hatinya masing-masing. <br />
Bisa jadi, ada seseorang yang cukup dengan puluhan kali atau ratusan kali, dia telah dianugerahi kekuatan dan kemampuan tauhid yang kuat lagi kokoh, di samping terdapatnya kualitas tauhid yang murni karena Allah swt. <br />
Dan, mungkin saja, ada seseorang yang butuh waktu berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun untuk dapat bertauhid secara kokoh lagi kuat atau berlaku ikhlas kerena Allah ta'âlâ semata. Maka, secara universal Rasulullah saw menyabdakannya dengan, "Banyak-banyaklah membaca lâ ilâha illa-llâh."<br />
Jika, seseorang telah mampu bertauhid secara murni kepada-Nya. Dengan cara hanya menyandarkan, tergantung, berharap, meminta, dan berkeimanan hanya kepada Allah jalla jalâluh. Maka, potensi itu diberdayakan untuk membaca, memahami, dan mengamalkan segenap makna yang terkandung di dalam Kitab Suci al-Qur`an, baik mengenai ayat-ayat yang tersirat (kontekstual) maupun mengenai ayat-ayat yang tersurat (tekstual). <br />
<br />
Tilawah al-Qur`an<br />
Pilar pendidikan Islam keempat yang sejalan dengan asas pendidikan Islam, adalah tilawatul qur`ân, yakni memberdayakan akal pikiran (intellectual quotient), akal budi (emotional quotient), dan akal rasa (intuitional quotient) di dalam membaca, memahami, dan mengamalkan al-qur`an; baik secara tekstual maupun secara kontekstual, semata karena keimanannya kepada Allah azza wa jalla.<br />
Semata guna mempersiapkan diri untuk menerima dan mengimani firman-Nya, <br />
<br />
"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada, dan rahmat serta petunjuk bagi orang-orang yang beriman" (Qs.Yûnus: 57).<br />
<br />
Dari ayat tersebut di atas, kita dapat menalar dengan akal sehat kita, betapa berat dan peliknya untuk dapat menerima kesempurnaan al-qur`an yang datang ke alam dunia sebagai: pelajaran (mau'idhah); penyembuh penyakit hati (syifâ`); petunjuk (hudâ); dan rahmat (rahmah). Yang nantinya di kehidupan ini akan dijadikan guidence bagi orang-orang yang beriman. Maka, jelaslah bahwa, selain orang yang beriman al-qur`an tidak memiliki pengaruh apa-apa. Dan, boleh jadi hanya menambah keingkarannya semata di sisi Allah jalla jalâluh. <br />
Karenanya, pelatihan ruhani yang terberat di dalam perjalanan ruhani seseorang adalah CC terhadap al-qur`an. Dengan demikian tiga bekal yang telah dilakukan yang berupa: buah istighfar; buah shalawat nabi; dan buah hailalah hendaknya mampu meredesain kepribadian dan hati seorang muslim untuk siap mengikat dengan pedoman dan petunjuk yang hak, yakni Kitab Suci al-Qur`an. Inilah subtsansi dan hakikat daripada QB yang sebenarnya. <br />
Di sinilah Ilmu Pengetahuan Diniah (IPD) menjadi sangat penting guna menghidupkan cahaya dari sumber cahayanya. Karena tanpa didasari dengan ilmu pengetahuan diniah yang matang, maka keempat buah dari pelatihan ruhani yang dilakukan belum mampu merahmati alam semesta. Sementara, kedatangan dan kehadiran dinul Islam sebagai pilar di dalam penegakan rahmatal lil 'âlamîn bagi umat manusia tanpa terkecuali; bahkan lebih dari itu. <br />
Dalam mengamalkan keempat buah pelatihan ruhani tersebut di atas, yang biasa kami sebut dengan QB. Maka, daya inovasi dan kemampuan kreatifitas kaum muslimin mukmin menjadi tertantang untuk membuktikan kepada orang lain, bahwa hanya dinul Islam-lah yang paripurna dengan segala solusi yang benar. <br />
Alfaqîr yakin, bila solusi yang ditawarkan oleh dinul Islam diamalkan dengan baik dan benar. Maka, kaum muslimin mampu membuktikannya pada masyarakat publik dunia. Dan, tidak menutup kemungkinan banyak orang yang terhidayahi dan tercerahkan dengan bentuk-bentuk problems solving yang ditawarkan tersebut. Dengan demikian masa keemasan Islam sebagai pemimpin peradaban dunia yang berwajah kemanusiaan akan segera terwujud, insya Allah.<br />
<br />
Jadikan Jadwal Harian<br />
Secara ringkas dan sederhana, sudah barangtentu sesuai dengan kemampuan masing-masing orang. Maka, para ulama ahlul qalb berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukannya, "seolah" menyepakati pelatihan ruhani tersebut di atas masuk ke dalam satu paket rangkaian jadwal harian, sebagai berikut:<br />
1. Membaca istighfar 100 kali.<br />
2. Membaca shalawat nabi 100 kali.<br />
3. Membaca hailalah 100 kali<br />
4. Membaca al-qur`an dari surat atau ayat yang ringan yang telah dipahaminya. <br />
Akan tetapi di luar keempat jadwal rutin itu, kita dipersilahkan untuk meningkatkan kualitas pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ini yang disebut dengan kehidupan yang tenang dan tentram. Sebab, dengan benar dapat mengamalkan segenap perintah-Nya. Seperti dalam peningkatan: kualitas shalat berjamaah; kualitas wirid harian; kualitas qiamul lail; kualitas shalat sunnah rawatib; kualitas puasa sunnah; kualitas shalat dluha; dll.<br />
Insya Allah, bila paparan di atas dipahami dengan baik dan benar, serta diamalkan dengan baik dan benar pula. Maka, hati seseorang tersebut akan selamat. Hati yang selamat akan mampu melakukan pencerahan di setiap fasilitas hidayah-Nya yang berupa: indera, nafsu, akal, dan ilmu yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Inilah sumber daya insani unggul kaum muslimin yang diharapkan campur tangannya di dalam melakukan persemakmuran mardlatillah. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
QUANTUM BELIEVING BERPANGKAL <br />
PADA AKAL YANG SEHAT<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Akal sehat yang didukung oleh hati yang selamat (qalbun salim) adalah sangat penting keberadaannya bagi seorang hamba Allah. Seperti dikatakan di dalam pepatah, "Akal yang sehat sangat bermanfaat bagi kaum mukminin;" al-aqlus salim tanfa'u lil-mu'minîn. <br />
Karena tanpa eksistensi akal yang sehat, maka akal seseorang akan senantiasa diliputi oleh tipu daya nafsunya. Sementara, akal yang sehat hanya dapat diperoleh jika hati seseorang telah selamat. Dengan kata lain, akal sebagai fasilitas utama qalbun salim sangat berperan di dalam memberdayakan hati yang selamat ke arah posisi hati yang disebut luthfun rabbani ruhani (hati yang diliputi rasa Ilahiah yang mewujud pada kelembutan-Nya). Yaitu, hati seorang mukmin yang telah menerima "kehadiran-Nya" dengan segenap totalitas dzat, asma', dan af'al-Nya. Sebagai perwujudan langsung dari sikap imaninya terhadap dzat, asma', dan af'al-Nya. <br />
Sikap mental imani seorang muslim yang diberdayakan dengan sikap menerima-Nya di dalam hati dan akalnya. Itulah yang lazim dikatakan sebagai sikap totalitas penyerahan diri seorang hamba kepada Rabb-nya (taslim). Dan, seseorang hamba yang taslim dengan segenap "ikatakan-Nya" inilah yang disebut muslim. <br />
Dengan demikian tepatlah apa yang dikatakan oleh para ulama, "al-Aqlus salîm fî qalbis salîm;" akal yang sehat terdapat pada hati yang selamat. <br />
Bila di dalam upaya perbaikan hati (ishlahul qalbi) dan penyucian jiwa (tazkiatun nafsi) terdapat latihan ruhani yang disiplin (riadlatun nafsi). Maka, demi menjaga kesehatan akal, seorang manusia juga sangat perlu memberikan menu khusus di dalam pelatihan ruhani untuk akalnya. Dikarenakan, memang akal terletak di dalam hati manusia.<br />
Apa-apa yang telah di dapat selama pelatihan ruhani guna menjaga hati yang selamat, harus tetap dipertahankan. Sehingga di dalam olah akalnya benar-benar diridlai-Nya. Lebih dari itu eksistensi akalnya dijadikan fasilitas hidupnya di dalam melakukan pemaknaan atas nilai-nilai keagamaan, yang pada tahapan berikutnya akan melahirkan perilaku keberagamaan yang rahmatal lil ‘âlamîn. <br />
Jika menu-menu pelatihan ruhani untuk menjaga hati agar tetap selamat dengan: ber-istighfar; ber-shalawat; dan ber-hailalah. Maka, ber-tilawah al-qur`an; membaca sirah nabawiah; dan memahami al-hadîs merupakan bagian terpenting di dalam mengasah akal seseorang supaya akalnya tetap dalam kondisi sehat yang diridlai-Nya. <br />
Karena dengan melatih ruhaninya yang diwujudkan ke dalam tilawah al-qur`an; membaca sirah Nabi saw; dan memahami al-hadîs Nabi saw. Seseorang itu akan memiliki daya analisa data dan hipotesa data yang sangat kuat. Dan, kedua sikap itu sangat penting di dalam menunjang kedewasaan kepribadian dan kematangan berpikir seseorang. <br />
Sebab, akal seseorang bila tidak dilatih untuk melakukan analisa data dan hipotesa data. Bisa jadi akalnya akan terjebak pada sikap taklid dan perilaku jumud. Sedangkan, sikap taklid dan perilaku jumud sangat merusak pola pikir dan cara pandang seseorang di dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya (survival) sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah azza wa jalla. <br />
Tetapi, juga sangat membahayakan bila menu latihan akal yang berupa analisa data dan hipotesa data tersebut tidak dilandasi atau didasarkan kepada hati yang selamat. Di sinilah, kaum muslimin mukmin secara teori seharusnya lebih unggul dari siapa pun. Dikarenakan seorang muslim mukmin telah ditakdirkan memiliki kualitas hati yang selamat dan akal yang sehat, dan inilah yang layak dikatakan sebagai pribadi yang tercerahkan.<br />
Dengan kata lain, dapatlah dipahami, bahwa seorang muslim yang tidak menggunakan fasilitas hidayah yang telah diberikan kepadanya secara optimal. Dan, secara khusus melakukan penjagaan atas kedudukan hatinya agar tetap selamat. Pun pula dengan menjaga kedudukan akalnya supaya tetap sehat. Seorang muslim itu layaklah disifati sebagai seorang hamba Allah yang kufur nikmat. Sebab, tidak pernah melakukan maksimalisasi atas segenap fasilitas hidayah di dalam melakukan pendekatan diri kepada-Nya (taqarruban 'inda-llâh). <br />
<br />
<br />
Islam & Rasionalitas<br />
al-Islâm sebagai ad-dîn akan mengantar seseorang yang mengimani-Nya menyerahkan dirinya secara total dan loyal kepada segenap ikatan-Nya. Disamping itu, dia adalah pendamping kehidupan umat manusia supaya manusia di kehidupannya mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, baik sewaktu masih hidup di alam dunia maupun kelak setelah berada di alam barzah, pada Hari Kiamat, titian shirâthal mustaqîm, dan di akhirat-Nya. <br />
Sekali pun dinul Islam merupakan kekuatan moral bagi masyarakat dunia dan masyarakat manusia, meski masih banyak manusia yang mengingkarinya. Sebagai ad-dîn, dinul Islam juga memiliki strategi yang akurat di dalam memberdayakan akal seseorang; khususnya bagi para manusia yang telah beriman kepada Allah azza wa jalla. <br />
Hal itu sebagai bukti, bahwa dinul Islam merupakan ajaran langit yang sangat relevan dengan fitrah yang dimiliki manusia, siapa pun manusia itu. Dan, fitrah yang paling asasi dalam kehidupan umat manusia adalah, bahwa manusia itu merupakan makhluk dua dimensi, yakni dimensi ruh dan dimensi badan --dimensi metafisik dan dimensi material. <br />
Sedangkan dari dimensi metafisik, manusia mempunyai dua potensi hebat, baik kehebatannya sebagai perusak (destroyer) maupun kehebatannya sebagai pembangun (developer). <br />
Adapun kata kuncinya, yaitu hati seorang manusia harus dijaga keselamatannya dan akal manusia harus dijaga kesehatannya. Guna menjaga dua potensi hebat itu tidak ada yang mumpuni kecuali Islam sebagai ad-dîn yang telah menyediakan segenap fasilitas penjagaannya; dan realitas itu adalah perwujudan dari sifat ar-rahmân-nya Allah jalla jalâluh. <br />
Dalam tatanan inilah dinul Islam mengakui proses penalaran logis manusia, termasuk penalarannya dengan segenap ayat-ayat-Nya; baik ayat-ayat qauliah (ayat-ayat yang tersurat, red) maupun ayat-ayat kauniah (ayat-ayat yang tersirat, red). Kesemuanya ini memang kehendak-Nya, di samping menunjukkan ke-Mahakuasaan dan ke-Mahabesaran Allah azza wa jalla di dalam menguji para hamba-Nya yang telah mengimani-Nya; apakah dia tambah keyakinannya, sehingga menjadi hamba yang taslim mukmin, atau sebaliknya tambah jauh keingkaran mereka terhadap eksistensi Allah swt dengan segala Mahakuasa dan Mahabesar-Nya. Sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,<br />
<br />
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang. Bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia. Dan, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya; dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, pengisaran angin, dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (Qs.al-Baqarah: 164).<br />
<br />
Dan firman-Nya, <br />
<br />
“Wa fil-ardli ayâtul lil-mûqinîna wa fî anfusikum; afalâ tubshirûn;" di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada diri kalian sendiri; maka, apakah kalian tidak memperhatikan? (Qs.adz-Dzâriât: 20-21).<br />
<br />
Juga telah Allah swt firmankan, <br />
<br />
“Dan, mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Rabb-nya” (Qs.ar-Rûm: 8).<br />
<br />
Dari ketiga teks firman Allah swt tersebut di atas, dapatlah digaris-bawahi beberapa firman-Nya, seperti, "Bagi kaum yang memikirkan” (Qs.al-Baqarah: 164); "Apakah kalian tidak memperhatikan?" (Qs.adz-Dzâriyat: 20-21); dan “Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?" (Qs.ar-Rûm: 8). <br />
Ketiga teks di atas merupakan dasar pemahaman, bahwa dinul Islam mendorong kepada para pemeluknya melakukan pemberdayaan atas akal yang dimilikinya. Yaitu, dengan membiasakan diri melakukan analisa data dan hepotesa data, dengan melalui: Penelitian, Penelaahan, Pengambilan i’tibar, dan Penggalian atas setiap fenomena ayat-ayat qauliah & ayat-ayat kauniah. Artinya, dinul Islam sebagai dînus samâwât (ajaran langit) benar-benar telah diridlai-Nya untuk melakukan redesain atas kemampuan akal logisnya di dalam melakukan penalaran. Sehingga seorang mukmin tidak salah di dalam memahami fungsi akalnya di kehidupan dunianya. Karena salah di dalam meletakkan kedudukan akalnya, hal itu dapat berakibat fatal baik buat dirinya sendiri maupun terhadap kehidupan umat manusia secara umum. <br />
<br />
Difinisi Akal<br />
Dalam bahasa Arab akal (al-‘aqlu) mempunyai arti: ad-diah (denda), al-hikmah (kebijakan), husnut tasharruf (tindakan yang baik lagi tepat). <br />
Sedangkan secara terminologis, akal mengandung makna: <br />
Pertama. Kaidah-kaidah rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang melekat pada setiap manusia. <br />
Kedua. Kesiapan bawaan yang bersifat intuitif yang bila dikembangkan terpandu dengan al-qur`an merupakan kemampuan yang matang bagi setiap pribadi râdliatam mardliah. <br />
Dalam keberadaannya akal bersifat ‘ardh (aksiden), yakni bisa berfungsi dan juga bisa tidak berfungsi dalam kehidupan seorang manusia. Seperti disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
“al-Majnûna hattâ yafîqa;" …orang gila sampai ia kembali berakal (Hr.Abu Dawud, dari Ali bin Abi Thalib kw; Kitâb Sunan Abu Dâwud, Fashal al-Hudûd, vol.II, hal.339, Dârul Fikr).<br />
<br />
Sedangkan dalam fitrahnya akal bersifat intuitif, di mana akal diciptakan oleh Allah swt dengan muatan tertentu yang berupa kapasitas kemampuan dan kesiapan, yang kelak akan dapat melahirkan sejumlah aktifitas pemikiran dan penalaran yang berguna bagi kehidupannya dan kehidupan orang lain, sehingga manusia berderajat mulia di sisi Allah swt dan di jagad raya. Seperti telah difirmankan-Nya, <br />
<br />
“Wa laqad karramnâ banî âdama; wa hamalnâ hum fil-barri wal-bahri wa razaqâ hum minath-thayyibâti wa fadl-dlalnâ hum 'alâ katsîrim-mimman khalaqnâ tafdlîlâ" dan sesungguhnya telah Kami muliakan Bani Adam. Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rizeki dari yang baik-baik. Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Qs.al-Isrâ`: 70).<br />
<br />
Adapun tempat kedudukan akal berada di dalam hati, seperti telah disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
“al-'Aqlu fil-qalbî;" akal itu berada di dalam hati (Hr.Bukhari, dari Ali bin Abi Thalib kw; Kitâb Shahîh Bukhârî, Fashal al-Adâbul Mufrad, al-Maktabatul Islamiah, Istambul-Turki).<br />
<br />
Karenanya pusat penilaian Allah azza wa jalla terhadap manusia terletak di dalam hatinya, sebagaimana disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
“Inna-llâha lâ yandhuru ilâ shuwari-kum wa amwâli-kum wa lâkin-yandhuru ilâ qulûbi-kum wa a'mâli-kum;" sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa atau bentuk kalian. Tidak juga kepada jasad kalian. Tetapi, Dia (Allah) melihat kepada hati dan perbuatan kalian (Hr.Muslim, dari Abu Hurairah ra; Kitâb Shahîh Muslim, Fashal al-Bir, vol.II, hal.518, Darul Fikr).<br />
<br />
Hadis di atas merupakan tafsir atas ayat ke-179 dari surat al-a’râf yang berbunyi, <br />
<br />
“Lahum qulûbul lâ yafqahûna bihâda;" mereka mempunyai hati, tetapi mereka tidak menggunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)….” <br />
<br />
<br />
Memahami Akal Sebagai Fasilitas QB<br />
Akal sebagai salah satu fasilitas QB sangat berperan di dalam mendorong seseorang untuk memiliki sikap tauhid dan perilaku keimanan yang kokoh. Sebab, tanpa adanya satu kesatuan antara sikap tauhid dan perilaku keimanan, seorang muslim mustahil dapat mengejawantahkan pesan-pesan langit ke dalam pola kehidupan keseharian sebagai orang bumi. <br />
Namun demikian, dinul Islam tetap memberikan arahan yang tegas dan simpatik di dalam menggunakan akal. Di mana seorang muslim mukmin di dalam menggunakan akalnya harus memenuhi adab (etiket) yang menjadi ketetapan syariah dan formalitas administratif syar'i (yurisprodensi Islam). Berdasarkan al-qur`an maka akal manusia berfungsi, di antaranya sebagai berikut: <br />
1. Untuk memahami ke-Mahakuasaan Allah azza wa jalla (Qs.al-Anbiyâ`: 22)<br />
2. Untuk memahami Kitab Suci al-Qur`an (Qs.an-Nisâ`: 82).<br />
3. Untuk terciptanya kreativitas dan inovasi dalam kehidupan umat manusia (Qs.al-Baqarah: 170).<br />
4. Untuk memahami kebenaran rabbani (haqqur rabbani) (Qs.az-Zumar: 17-18).<br />
5. Untuk memahami fenomena alam di kehidupan umat manusia (Qs.al-Anbiyâ`: 110).<br />
6. Untuk mengetahui dan mengakui keterbatasan akalnya (Qs.al-Isrâ`: 85) dan (Qs.Thâhâ: 110).<br />
7. Untuk mengimani yang ghaib (Qs.al-Baqarah: 17).<br />
8. Untuk mengarahkannya agar tetap berdampingan dengan al-qur`an dan al-hadis (Qs.al-Hasyr: 2).<br />
<br />
Menuhankan Akal Sama Salahnya Dengan Yang Menjumudkannya<br />
Adalah sama-sama salahnya manusia yang menuhankan akalnya dengan manusia yang bersikap antipati terhadap penggunaan akal. Yang harus diketahui bahwa eksistensi akal dalam kehidupan seorang manusia bersifat melekat dan intuitif. Dikarenakan memang dari sananya, Allah azza wa jalla telah memfasilitaskan buat kehidupan manusia. <br />
Adalah sudah semestinya untuk memahami kedudukan akal, bahwa fungsi akal sehat di kehidupan manusia merupakan fasilitas QB guna mendinamisasikan hidayah Allah swt sampai kepada kedudukan ridla-Nya. Hal itu dapat dimanifestasikan dengan beberapa pemahaman, sebagai berikut: <br />
a. Memahami akal sekadar fasilitas hidayah. Dengan kata lain, akal merupakan alat syariat guna melaksanakan wahyu di dalam kehidupan keseharian seorang hamba. <br />
b. Akal harus tunduk terhadap wahyu dan taat terhadap segenap ketetapan syariatullah. <br />
c. Kedudukan wahyu adalah mutlak terhadap kinerja akal sehat manusia. <br />
d. Kemampuan akal sangatlah terbatas, oleh karena produk akal adalah nisbi; yakni berubah-ubah lagi dapat diperbaharui.<br />
e. Fungsi akal merupakan fasilitas untuk melahirkan sikap dan perilaku yakin terhadap kekuasaan dan kebesaran Allah swt. <br />
f. Adalah dosa hukumnya bila akal manusia sampai mengingkari Allah swt dengan segala eksistensi-Nya. <br />
g. Memaksimalkan peran akal di dalam menemukan kemaslahatan dan kemadlaratan. <br />
h. Kebenaran penalaran logis akal sehat, bila hasil pemikirannya sesuai dengan al-qur`an dan al-hadis. Sebaliknya bila hal itu bertentangan dengan keduanya, maka ia merupakan kebatilan yang menyesatkan. <br />
i. Hasil pemikiran nalar logis dapat bertentangan dengan syariat, disebabkan: Pertama. Mungkin karena itu syubhat. Kedua. Mungkin karena kelemahan dalil syariat yang digunakannya. <br />
j. Adalah kewajiban akal di dalam memahami yang global, dikarenakan adalah hak syariat untuk menentukan hukum-hukum yang rinci (tafsiliah), seperti: wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah. <br />
k. Adakalanya akal harus mengakui, terdapat beberapa hal yang ia tidak mampu memahami muatan-muatan syariat. <br />
l. Pada dasarnya asas hukum itu merupakan kebolehan (mubah), hingga Allah swt menurunkan syariat yang melarangnya.<br />
m. Tidak ada kewajiban akal untuk mengharuskan Allah swt dalam hal-hal tertentu. Sebagaimana disabdakan Nabi saw, <br />
<br />
“Lâ mukriha lahu min khalqihi;" tidak ada seorang makhluk pun yang dapat memaksa Allah” (Kitâb al-Madkhalu li-Dirâsatil ‘Aqidatil Islamiah ‘alâ Madzabi Ahlissunnah wa Jama’ah, Dr.Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah al-Buraikan). <br />
<br />
n. Akal adalah bagian dari sumber hukum yang tidak dapat berdiri sendiri. Sehingga kualitas produk hukumnya bersifat nisbi. Pun pula di dalam melakukan penelaahan dan ijtihadiah sifat kebenarannya juga nisbi. <br />
<br />
Menu Harian Untuk Melatih Akal<br />
Sebagaimana dalam pelatihan ruhani, yakni di dalam menjaga kondisi hati supaya tetap selamat. Maka, sangat perlu dilakukan oleh kaum muslimin mukmin memiliki menu harian dalam memberikan pelatihan terhadap akalnya. Tanpa memberinya pelatihan terhadap akalnya, seseorang akan sulit menggunakan akalnya sebagai fasilitas di dalam menjemput hidayah Allah azza wa jalla. Dan, sudah barangtentu pelatihan akal ini diberikan setelah kondisi hati nyata-nyata dalam keadaan selamat. <br />
Inilah dasar-dasar menejemen pendidikan Islam yang saat ini telah diabaikan para ulama, para pakar pendidikan Islam, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam; baik yang menggunakan model: sekolah, kampus, pondok pesantren, dan boarding school.<br />
Sangat tidak mungkin seorang peserta didik kelak di akhir dewasanya dapat memiliki kecakapan-kecakapan intelektual, emosional, dan intuisional. Bila, hati mereka tidak tergolong pada hati yang selamat dan akal yang sehat ketika dirinya menuntut ilmu pengetahuan diniahnya. <br />
Karenanya, para manusia yang telah terjebak dengan "logika materialis" dan "logika kapitalis", mereka beranggapan bahwa menuntut ilmu pengetahuan diniah ending-nya harus dapat mendatangkan kecukupan meteri dan meraup banyak keuntungan. Sehingga fenomena di atas ditangkap dengan sangat baik oleh para pelaku bisnis pendidikan, bahwa hal itu sangat menguntungkan dari segi orientasi keuntungan. Manakala lembaga pendidikan telah terjebak dengan profit oriented (orientasi keuntungan). Jangan harap lembaga tersebut akan benar-benar mampu mendidik dan nantinya dapat melahirkan para alumninya berkualitas sebagai ulama`-nya Allah --ulama dalam pengertian seseorang yang ahli di bidang ilmu pengetahuan diniah-- diniah jangan diarti-sempitkan dengan agama Islam; boleh jadi dia ahli informatika, ahli robot, ahli bedah tulang, ahli bedah mata, ahli gizi, ahli botani, ahli geologi, ahli tafsir, ahli hadis, dsb. Sekali pun lembaga tersebut terkenal dan memiliki fasilitas pendidikan yang tergolong memadai. Tetapi dari segi implementasi, substansi pendidikannya tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh dinul Islam. <br />
Perlulah kiranya, untuk saat ini dan di masa-masa mendatang kita mematangkan model pelatihan ruhani yang berbuah pada kesehatan akal seorang muslim mukmin. Yaitu, di antaranya dengan mempola: Tilawah al-qur`an; Membaca sirah nabawiah; dan Memahami hadis Nabi saw sebagai sebuah fasilitas di dalam penajaman analisa data dan hipotesa data. Artinya, dengan kebiasaan melakukan ketiga aktifitas di atas seorang muslim akan memiliki habits dan kemampuan dasar di dalam melakukan analisa data dan hipotesa. <br />
<br />
Akal Sehat, Keimanan Optimal<br />
Kesehatan akal seseorang di samping sangat ditentukan oleh hati yang selamat. Keberadaannya juga dipengaruhi secara langsung akan eksistensi keilmuannya. Perlu disadari bahwa penguasaan keilmuan yang salah tidak akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemiliknya. Mengapa ilmunya menjadi tidak bermanfaat. Karena hatinya tidak selamat dan akalnya tidak sehat. Maka, al-qur`an sangat mendorong kaum mukminin untuk menjaga hatinya supaya tetap selamat, memberdayakan akalnya agar tetap sehat, dan mengembangkan ilmunya guna mendapatkan ridla-Nya. <br />
Dengan kata lain, bila akalnya sehat. Lalu, didukung dengan hati yang selamat dan ilmu yang bermanfaat. Maka, secara otomatis keimanan seseorang akan mencapai titik yang optimal, insya Allah. Sedangkan optimalisasi dari sikap dan perilaku iman di kehidupan sehari-hari, adalah melembaganya cara berpikir yang disertai dengan peneguhan prinsip tauhid, bahwa di kehidupan manusia, seorang manusia harus berani menentukan kebijakan dan keputusannya, yakni, "Tidak ada sesembahan yang hak disembah, kecuali hanya Allah azza wa jalla". Yang mana akan berbuah pada implementasi tauhid yang nyata, yaitu, "(Hidup ini) tidak punya apa-apa dan tidak dipunyai oleh siapa-siapa; kecuali Allah jalla jalâluh". <br />
Karenanya, sebagai seorang muslim mukmin kita harus tetap commitment & consistent (CC) dengan koridor bertauhid, "Cukuplah bagiku Rabb-ku Allah yang Maha-agung, tidak ada yang boleh singgah (atau masuk) ke dalam hatiku selain Dia". <br />
Untuk mendukung pengamalan nyata dari sikap dan perilaku tauhid di atas. Tidak ada yang sanggup melakukannya kecuali akal sehat yang terbimbing dengan wahyu dan sunnah Nabi saw. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
QUANTUM BELIEVING GAGAL <br />
BILA NIATNYA SALAH<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Niat mempunyai peran yang sangat penting dalam sebuah aktifitas di kehidupan kaum muslimin. Suatu perbuatan dapat bernilai ibadah karena terdapatnya niat yang benar. Tetapi, karena niat yang salah suatu perbuatan yang dianggapnya mulia ternyata tidak diterima di sisi-Nya. Demikian halnya dengan QB, ia dapat gagal total juga disebabkan niatnya yang salah. <br />
Seperti telah alfaqîr paparkan dibeberapa kesempatan, baik yang berupa tulisan maupun ceramah, bahwa QB adalah sebuah proses percepatan untuk menjadi sesuatu yang lebih baik, lebih bermanfaat, dan lebih berguna bagi kehidupan umat manusia ke depan yang didasarkan pada kuatnya keyakinan dan kuatnya rasa dalam kepribadian, sehingga dengan cepat pula dapat menerima ke-Mahakuasaan dan ke-Mahabesaran Allah azza wa jalla di kehidupan kesehariannya. <br />
Karenanya, dalam rangka mendorong terjadinya percepatan QB, segenap fasilitas utamanya harus dimaksimalkan peran dan fungsinya dalam kepribadian seseorang tersebut. Tanpa adanya maksimalisasi dari peran dan fungsi dari fasilitas QB itu, maka eksistensi QB menjadi mandeg. Dengan kata lain, hasil dari percepatan QB yang dilakukan seseorang harus membawa perubahan yang cukup berarti buat kehidupan orang lain.<br />
Jika fasilitas QB meliputi: intelejensia; emosional; dan intuisional, maka niat berfungsi mendasari atas setiap kegiatan yang dilakukan oleh intelejensia, emosional, dan intuisional. Dengan niat yang benar, yakni yang didasarkan pada kekuatan dan kebenaran ilmu pengetahuan diniah, gerak intelejensia, emosional, dan intuisional menjadi terarah dan terpolakan ke dalam bingkai kebenaran yang terbimbing oleh hati yang selamat, akal yang sehat, dan sudah barangtentu harus bersumber kebenaran itu dari wahyu dan nash yang jelas (sharîh). <br />
Sebaliknya, apabila penetapan niatnya salah, gerak intelejensia, emosional, dan intuisional juga salah. Dikarenakan ketiga fasilitas QB tersebut lebih berkecenderungan untuk mengikuti tuntutan hawa nafsunya. Di sinilah, QB menjadi gagal. Sebab, apa pun yang dilakukan berdasarkan tuntutan hawa nafsu pasti berkecenderungan membawa petaka, kehinaan, dan kerusakan; baik buat diri sendiri maupun buat orang lain. Padahal sebagai makhluk yang bereksistensi sebagai hamba yang muslim lagi mukmin, keberadaan QB sangat penting dalam melakukan redesain terhadap kepribadian seorang muslim. Sehingga mampu mendorongnya ke arah percepatan pemahaman dan pengamalan yang benar akan rukun islam dan rukun iman, demikian pula dengan segenap amalan, tradisi, dan habits kaum muslimin mukmin di kehidupannya. <br />
<br />
QB & Iman Kepada Allah<br />
Iman kepada Allah jalla jalâluh adalah tiang pancang utama dalam kehidupan seorang muslim. Sedangkan, keimanan yang disertai dengan keyakinan adalah lebih kuat rasa di dalam berkeimanannya dengan-Nya. <br />
Maka dari itu, keberadaan al-qur`ân sebagai kitab suci-Nya disertai dengan wujud nyata dari eksistensi alam universum dan diutus-Nya Muhammad Rasulullah saw ke alam dunia ini. Tidak lain adalah fasilitas Ilahiah guna agar bertambah yakin dengan apa yang telah diimaninya. Artinya, mengimani-Nya harus disertai pula dengan meyakini ke-Mahakuasaan dan ke-Mahabesaran-Nya. Yang mana hal itu ditunjukkan dengan terkodifikasikannya al-qur`ân, terhamparnya alam semesta, dan terutusnya Rasulullah saw sebagai "manusia suci" (The Hollyman) yang benar-benar tak pernah tersentuh oleh yang kotor, dosa, dan maksiat kepada-Nya. <br />
Jika pengertian dan pemahaman di atas tidak di-QB-kan, maka konsepsional ajaran Islam tersebut di atas tidak pernah terimplementasikan dalam hidup keseharian. Sehingga kedudukannya sebagai manusia muslim mukmin tidak disertai dengan kepemilikan dan pengamalan atas nilai-nilai kemusliman dan keimanan. Sampai di sini, maka akan terlahirkan banyak kaum muslimin yang "tidak memahami dirinya sendiri". Di mana mereka tercerabut dari tradisi, habits, dan sumbernya yang paling hakiki tentang cara ber-dinul Islam yang benar. <br />
Namun, hal itu akan menjadi sangat berbeda manakala QB diposisikan sebagai fasilitas guna "menghidupkan" sikap mental mengimani-Nya ke dalam perilaku yang bermanfaat buat diri sendiri dan orang lain. Inilah yang dimaksudkan dengan "teologi implementatif". Di mana eksistensi "imannya kepada Allah" telah mendorongnya untuk melakukan: transformasi, apresiasi, kreatifitas, inovasi, dan produktifitas; yang kesemuanya akan melahirkan kemanfaatan-kemanfaatan sosial, di samping sudah pasti akan bermanfaat buat dirinya sendiri. Dengan demikian sikap mental dan perilaku iman kepada Allah azza wa jalla yang di-QB-kan akan membuahkan kepribadian yang matang sebagai seorang muslim mukmin yang capable & credible, yaitu kuatnya sikap mental bertauhid (hablum mina-llâh) dan perilaku sosial dalam bertauhid (hablum minan-nâs). <br />
<br />
QB & Iman Kepada Para Rasul Dan Nabi-Nya<br />
Keberadaan para nabi dan rasul merupakan "transmiter energi" buat kaum muslimin mukmin. Di samping juga menjadi "gerbang ke-Tuhan-an" bagi segenap umat manusia. Maka, berbahagialah para hamba Allah yang telah diberi kemampuan oleh-Nya dapat mengambil "transmiter energi" dari para nabi dan rasul, khususnya kaum muslimin yang dapat mengambil "transmiter energi" dari Rasulullah saw. <br />
Sebagai seorang muslim mukmin, kita harus sangat bersyukur karena mendapatkan dua kesempatan sekaligus dalam hidupnya, yakni terdapat kesempatan untuk memperoleh "transmiter energi" dan kesempatan melewati "gerbang ke-Tuhan-an". Inilah yang sering alfaqir sebut transmisi energi Ilahiah (Divine Energy Transmition atau disingkat DET) dan transmisi energi wahyu (Revelation Energy Transmition atau disingkat RET) di kehidupan kaum muslimin. Namun sayang dua kesempatan yang sangat baik itu seringkali diterlantarkan begitu saja oleh kaum muslimin.<br />
Karenanya dengan QB dua kesempatan tersebut di atas akan mampu dimaksimalkan guna mendapatkan kekuatan keyakinan, dan lezatnya rasa berkeimanan dalam sebuah kepribadian râdliatam mardliah. Sebab, QB akan dapat dimaksimalkan manakala mendasarkan percepatannya dengan menjadikan para rasul dan nabi sumber keteladanan dengan segenap platform pemikirannya.<br />
<br />
QB & Iman Kepada Para Malaikat-Nya<br />
Iman kepada para malaikat-Nya adalah bagian dari sikap iman seorang muslim kepada masalah yang ghaib. Karenanya, QB dalam masalah yang ghaib lebih bersifat tawaqquf (mendiamkan karena mengimaninya, red). Hal itu sebagai perwujudan dari keyakinannya bahwa masalah ghaib merupakan hak mutlak Allah yang Mahamengetahui-nya.<br />
Seseorang yang telah mengalami percepatan dalam QB, dia akan membicarakan malaikat bila didukung oleh wahyu dan sunnah. Apabila dari kedua nash tersebut tidak ada jaminan orisinalitas, maka dia lebih memilih untuk mengambil sikap tawaqquf. Ketimbang menjadikannya perselisihan pendapat yang tidak berdasar (ikhtilaf). Di samping juga berusaha dengan keras, sekali pun yang di-ikhtilaf-kan memiliki dasar pijakan nash karena masih berada dalam wilayah ijtihadiah. Namun untuk meminimalkan ikhtilaf; seorang qibian memilih bersikap diam dan mendiamkannya.<br />
Karenanya, percepatan QB akan membawa pada terjadinya kekuatan keyakinan bahwa keberadaan malaikat adalah sesuatu yang mutlak untuk diimani. Sedangkan mengenai seluk-beluk atas eksistensi malaikat sepenuhnya diserahkan kepada-Nya. Sebab, sangat menyadari bahwa manusia tidak ada kecakapan dengan persoalan yang ghaib. Karena tidak ada kecakapan, maka yang terjadi adalah sekadar "kira-kira" atau "mungkin". Betapa bahayanya jika suatu keilmuan dan kebenaran tentang kemaujudan malaikat hanya melahirkan ketetapan dan keputusan mengenai eksistensi malaikat yang mendasarkan sekadar pada "perkiraan" atau "kemungkinan". Oleh sebab itu dalam membahas malaikat harus didukung dengan nash. Demikianlah percepatan yang dilahirkan oleh kekuatan QB dalam mendesain kepribadian seorang muslim mukmin terhadap keimanannya dengan para malaikat-Nya.<br />
<br />
QB & Iman Kepada Kitab-Kitab-Nya<br />
Dinul Islam mengajarkan kepada kaum muslimin supaya mengimani segenap kitab suci yang pernah diturunkan kepada para nabi dan rasul yang dipilih-Nya. Dari keberadaan kitab suci itulah, maka agama-agama yang ada di dunia ini dapat dibeda-bedakan. Di samping pula dapat dibedakan berdasarkan kurun pelaksanaan dari kekuatan hukum yang menyertainya.<br />
Secara umum perbedaan antara agama samawi dan agama ardli dapat dibedakan dengan jelas. Dalam agama samawi selalu ada rasul yang diangkat oleh-Nya dengan disertai kitab suci, atau suhub. Yang mana hal itu berbeda dengan agama ardli, tidak terdapat kitab suci atau suhub dan rasul yang diangkat oleh-Nya. <br />
Karenanya, betapa hebatnya seorang muslim yang dengan percepatan keyakinan di kehidupannya, mereka memedomkan diri pada kitab suci-Nya. Sebab, di dalam mengimplementasikan QB harus tetap berpedoman dan berdampingan dengan kitab suci-Nya. Maka, tidaklah disebut QB bila dalam percepatannya meninggalkan peran dan fungsi wahyu sebagai rujukan utama yang mutlak dalam mendampingi segenap aktifitas di kehidupannya.<br />
Oleh sebab itu betapa ruginya manakala ada seorang muslim yang meninggalkan peran dan fungsi al-qur`ân. Boleh dibilang seorang muslim tersebut akan kehilangan percepatan keyakinannya. Apabila seorang muslim telah kehilangan percepatan keyakinannya, maka dia akan menjadi muslim yang: stagnan (mandeg), apatis (masa bodoh), statis (diam), tidak kreatif, dan tidak inovatif. Dikarenakan hilangnya rasa apresiasinya terhadap fenomena yang muncul di seputar kehidupannya. Dan, ini sekaligus menandakan tidak adanya habits iqra` dan habits ilmu pengetahuan diniah. Karenanya, percepatan keyakinan dengan model QB akan sangat tangguh di dalam melahirkan kekuatan keyakinannya terhadap al-qur`ân. Yang mana hal ini akan mampu melahirkan daya kreasi yang menyejahterakan buat kehidupan umat manusia, sebagai wujud nyata dari pemahaman yang benar atas al-qur`ân sesuai dengan misi al-qur`ân, yakni rahmatal lil-‘âlamîn. <br />
<br />
QB & Iman Kepada Hari Kiamat<br />
Bagi kebanyakan orang, Hari Kiamat dianggapnya masih jauh dari kehidupannya. Dengan demikian banyak pula dari manusia yang melalaikan waktu-waktu baiknya. Namun tidaklah demikian dengan hamba yang telah beriman kepada-Nya dan telah mengalami percepatan keyakinan dengan QB. Baginya Hari Kiamat merupakan sesuatu yang menakutkannya dan telah dekat waktunya, karena memang Hari Kiamat merupakan bagian dari sirrun min sirrillâh (sesuatu yang sangat dirahasiakan-Nya, red). <br />
Seorang mukmin yang 'alim dan tafaqquh fid-dîn lebih memilih untuk berlaku tawaqquf. Dikarenakan menjatuhkan keputusan atas tawaqquf dalam masalah Hari Kiamat merupakan perwujudan dari sikap mental iman yang didasarkan atas keyakinannya atas kiamat. <br />
Apapun hasilnya, berpikir mengenai Hari Kiamat tetap berbentuk praduga-praduga dan spekulasi-spekulasi, yang siapa pun boleh melakukannya; meski hal itu murni hasil dari sebuah perenungan yang kontemplatif. Namun tidaklah demikian bagi kaum muslimin yang telah menjadikan QB sebagai salah satu sarana berpikir guna menghasilkan tindakan yang implementatif dari sebuah keyakinan. Dengan demikian seorang hamba yang muslim yang telah menjadikan QB sebagai platform berpikirnya, dia hanya menerima dan meyakini masalah Hari Kiamat yang telah disebutkan oleh wahyu dan sunnah. Tanpa keberadaan daya dukung kedunya --maksudnya al-qur`ân & al-mîzan-- maka ia lebih memilih untuk diam karena keimanan yang diyakininya (tawaqquf).<br />
<br />
QB & Iman Terhadap Qadla Dan Qadar-Nya<br />
Qadla adalah ketentuan-Nya sejak jaman azali mengenai adanya sesuatu atau tidak adanya sesuatu. Sedangkan qadar, adalah penciptaan-Nya terhadap sesuatu dengan cara tertentu dan dalam waktu tertentu pula. Keberadaan qadla & qadar merupakan perwujudan nyata dari ke-Mahakuasaan, ke-Mahabesaran, ke-Maha-adilan, ke-Mahabijakan, dan ke-Mahakuatan yang secara mutlak harus diimani lagi diyakini oleh setiap hamba-Nya. Menolaknya berarti sebuah perilaku yang bernilai kufur di sisi-Nya. <br />
Kedudukan QB atas eksistensi qadla & qadar Allah azza wa jalla, akan mampu mendorong percepatan keyakinan pada diri hamba tersebut. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat yang dilanjutkan dengan konsistensi atas segenap kehendak-Nya, akan mampu mendorong hamba itu memiliki "daya kekebalan iman dan keyakinan" yang telah terpatri secara melekat di dalam hati dan jiwanya. Sehingga imannya terhadap qadla & qadar Allah azza wa jalla justru akan melahirkan daya kreatifitas dan daya inovasi, yang hal itu sangat berguna bagi masyarakat secara luas. <br />
Mengapa dapat terjadi, dikarenakan dengan daya dukung QB imannya terhadap qadla & qadar Allah azza wa jalla akan melahirkan kemampuan di dalam memahami, mana wilayah yang boleh dikreatifkan atau diinovasikan dan mana-mana wilayah yang terlarang disebabkan wilayah tersebut telah menjadi ketetapan-Nya.<br />
<br />
QB Dalam Syahadat<br />
Syahadat adalah wujud persaksian atas ketasliman, keimanan, dan keyakinan seorang hamba Allah kepada-Nya; demikian juga terhadap rasul-Nya. Karenanya, apabila dalam bersyahadat tidak utuh mulai dari: taslimnya; imannya; dan yakinnya. Maka, syahadat tersebut belumlah disebut sebagai syahadat yang utuh. <br />
Kebanyakan orang syahadatnya baru pada tahap "syahadat keislaman". Hanya sedikit dari kaum muslimin yang dapat menjaga "syahadat keimanan". Dan, sangat sedikit sekali kaum muslimin mukmin yang dapat mempertahankan dan mengembangkan "syahadat keyakinan".<br />
Oleh karena dapatlah dipahami bahwa mayoritas kaum muslimin tidak berkeimanan, dan kebanyakan kaum mukminin itu tidak berkeyakinan. Inilah penyakit hati yang harus segera diobati, sedangkan metode yang tepat dalam memberikan pengobatan hanya dengan model QB. <br />
Dengan model QB syahadat seorang muslim mukmin dapat dikembangkan dan diberdayakan menjadi sebuah kekuatan yang energik sekaligus dapat menjadi kekuatan yang dinamik. Disebabkan dengan melakukan percepatan keyakinan, seorang hamba akan mampu memaknai dengan baik dan benar akan sikap mental syahadatnya. <br />
Artinya, sebagian besar dari kaum muslimin ini syahadatnya adalah "syahadat formalisme". Oleh sebab itu harus dirubah, agar menjadi "syahadat implementatif". Sehingga kualitas keyakinannya sebagai seorang yang beriman kepada Allah azza wa jalla benar-benar dapat ditransformasikan seluas-luasnya menjadi sebuah kemanfaatan sosial dan kemaslahatan sosial. <br />
Sudah tidak jamannya lagi memaknai syahadat secara formalitas administrtaif syar'i dan bersifat latterlijk. Tapi lebih dari itu syahadat harus dimaknawikan secara implementatif dengan: <br />
1. Inna shalâtî wa nusukî wa mahyâya wa mamâtî lil-lâhi rabbil 'âlamîn, lâ syarîka lahu wa bidzâlika umirtu wa ana awwalul muslimîn; sungguh shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya; yang demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).<br />
2. Hasbiyallâhu wa ni'mal wakîl; cukup Allah-lah wakilku dan Dia-lah sebaik-baik wakil. <br />
3. Hasbî rabbî jallullâh, mâ fî qalbî ghairullâh; cukup bagiku Rabb-ku yang Maha-agung, tidak ada yang singgah dihatiku selain Allah.<br />
4. Lâ yumlik, wa lâ yumlak illa-llâh; hidup ini tidak punya apa-apa dan tidak dipunyai oleh siapa-siapa; kecuali Allah.<br />
5. Man-yattaqillâh yaj'alu mahrajaw-wa yarzuqhu min haitsu lâ yahtasib; barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Dia akan menjadikan kemudahan dan akan memberinya rizeki dari tempat yang tidak terduga-duga.<br />
6. Qad aflahâ man-zaqqahâ wa qad khâba man-dassâhâ (sungguh berbahagialah orang yang menyucikan jiwanya dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya.<br />
7. Fa idzâ faraghta fanshab, wa ilâ rabbika farghab; maka, apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain, dan hanya kepada Rabb-mulah hendaknya kamu berharap. Dan, masih banyak yang lainnya. <br />
Inilah kebutuhan yang mendesak untuk segera dijadikan habits kreatif & inovatif dalam kehidupan keseharian kaum muslimin di dalam mengamalkan konsep syahadatain yang sangat indah tersebut. <br />
<br />
QB Dalam Shalat<br />
Dinul Islam mengajarkan mendirikan shalat adalah perilaku puncak dalam pengabdian seorang hamba kepada Allah jalla jalâluh. Hanya melalui shalat seorang hamba dapat membuktikan, apakah dirinya orang taat dan patuh kepada-Nya, atau mengingkari-Nya. Hanya dengan shalat seorang hamba dapat bercakap langsung dengan-Nya di saat sujud. Hanya dengan shalat seorang hamba dapat melakukan mi'raj kepada-Nya. Hanya dengan shalat seorang hamba dapat melakukan pendidikan yang seimbang atas kepribadiannya, yakni dalam mengelola nafsunya. <br />
Karenanya di al-qur`ân dijelaskan, bahwa seorang yang beriman kepada Allah haruslah memahami setiap kata yang terucap dan setiap aktifitas yang dilakukan selama mendirikan shalat. Jika hal itu belum ditunaikan dalam shalatnya seorang hamba yang beriman, maka shalat hamba tersebut disama-persiskan dengan shalatnya orang yang sedang mabuk, yakni shalat yang tidak mengerti apa-apa.<br />
Manakala shalatnya tidak mengerti apa-apa, lalu apa yang dicapai dari sebuah pendirian shalat. Padahal dari sebuah pendirian shalat banyak nilai positif yang dapat dicapai, seperti: <br />
a. Peningkatan kualitas dan manfaat dzikrullah.<br />
b. Peningkatan amal shalih dan manfaatnya.<br />
c. Pengembangan kreatifitas kepribadian.<br />
d. Membudayakan disiplin waktu.<br />
e. Pemberdayaan modal sosial.<br />
f. Pengembangan empati sosial.<br />
g. Kesetiakawanan sosial. <br />
Yang kesemuanya telah terpadu ke dalam sebuah konsep ajaran yang integral dalam setiap aspek dalam proses pendirian shalat, misalnya ajaran itu dapat diperoleh melalui: konsep takbir; konsep iftitah; konsep ta'awudz; konsep fatihah; konsep ruku'; konsep tasbih; konsep istighfar; konsep sujud; konsep tahiat; konsep shalawat nabi; konsep syahadat; konsep doa; konsep berdiri; konsep sedekap; konsep mengangkat tangan saat takbir; konsep salam; konsep tengok kanan-tengok kiri saat salam; dan masih banyak lagi konsep-konsep yang terdapat dalam sebuah pendirian shalat, yang mana hal itu sangat tepat dalam menunjang percepatan keyakinan.<br />
Karenanya, dengan model QB shalat seorang muslim akan dapat diberdayakan dan dikembangkan sejalan dengan visi-misi shalat, yakni menghasilkan tauhid yang kuat dan dapat memberikan maksimalisasi dalam kemanfaatan sosial. Sebagaimana hal itu tergambar dari konsep takbir dan konsep salam dalam setiap salam ketika seseorang itu mendirikan shalatnya.<br />
Shalat dalam pendekatakan model QB, dipahami sebagai sesuatu yang strategis bagi kehidupan seorang yang beriman kepada Allah, dalam menjaga kualitas diri dan kepribadian yang utuh, dalam upayanya mengembangkan hubungan komunikasi kosmis dengan Allah azza wa jalla dan memberdayakan hubungan komunikasi sosial dengan sesama makhluk-Nya. Maka, betapa hebatnya seseorang yang berkepribadian sebagai seorang yang shalat (mushallî). Di samping hatinya selamat, akalnya sehat, dan ilmunya bermanfaat, yang secara konseptual hal itu dapat dilihat dalam ajaran Islam mengenai "ajaran keseimbangan", "Hablum mina-llâh, wa hablum minan-nâs" dan "Wab-taghi fîmâ âtâka-llâhud dâral-âkhirah, wa lâ tansa nashibaka minad-dunyâ".<br />
Karenanya, dalam pendekatan model QB tidak ada aspek yang kosong dari hikmah dalam setiap saat mendirikan shalat. Sehingga hasil yang dicapai setelah shalat benar-benar seorang "manusia termuliakan" (human elyon), yakni seorang hamba yang: mutawakil; muttaqin; muqinin; mukhlisin; muhsinin; muqnithin; dan sifat-sifat kosmis serta sosial yang lainnya, yang hal itu menunjukkan ketinggian budi pekerti dari seorang yang ahli shalat.<br />
Kelak pada waktu mizan di Hari Kiamat, seorang hamba akan ditanyai lebih dahulu mengenai shalatnya. Tapi ironisnya, di saat masih hidup di dunia banyak orang telah menyepelekan shalatnya. Di sinilah QB menjadi sangat penting untuk diterapkan dalam pengajaran shalat dengan segenap aspeknya. Sehingga misi-visi shalat benar-benar terejawantahkan dalam kehidupan seorang muslim mukmin dengan kualitas seorang human elyon.<br />
<br />
QB Dalam Puasa Ramadlân<br />
Dalam ibadah puasa, apakah itu puasa Ramadlân, atau puasa-puasa sunnah, substansi ajaran Islam yang terdapat di dalamnya, adalah sikap mental pengendalian diri (ash-shabûr). Khususnya dalam syariat puasa Ramadlân, capaian yang dituju dari ibadah ini tidak sekadar seseorang yang melakukan puasa (ash-shâ`im) dapat menahan diri dari: makan, minum, bersetubuh dengan isteri di siang hari, dan melakukan segenap aktifitas yang dapat membatalkannya. Tidak sekadar itu. Namun seorang yang menjalankan ibadah puasa Ramadlân sangat dituntut untuk dapat mengendalikan dirinya dan menahan gejolak hawa nafsunya, yang semata segenap "ibadah pengendalian" itu hanya diperuntukkan Allah azza wa jalla. <br />
Karenanya, setelah seseorang menjalankan puasa Ramadlân selama satu bulan, dengan model puasa yang dilakukan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Maka, pribadi muslim akan memiliki keunggulan di dalam mengelola keseimbangan ruhani, antara ruh-hati-jiwa dijadikan kekuatan untuk merubah dirinya menjadi hamba yang senantiasa diridlai-Nya. Disebabkan, sikap mental pengendalian diri yang dihasilkan dari ibadah puasa benar-benar telah mendorong dirinya untuk selalu dapat menjadi hamba-Nya yang terbaik di muka bumi ini. <br />
Dan, substansi ajaran puasa tersebut di atas harus segera disosialisasikan kepada segenap kaum muslimin mukmin, agar rutinitas ibadah tahunan ini benar-benar sesuai dengan visi-misinya. Sehingga dalam setiap tahunnya kaum muslimin mukmin akan memiliki kualitas manusia sebagai produk unggulan, atau pasca ibadah puasa Ramadlân akan tercetak banyak human elyon di kehidupan ini. <br />
Maka, syariat puasa Ramadlân bagi manusia yang berakal sangat bermanfaat dalam menempak ruhaniahnya, disebabkan orang yang berakal tersebut telah mempuasakan ruh-hati-jiwa mereka ke dalam bingkai pengendalian diri yang kuat. Memang banyak orang pandai, orang kaya, penguasa, orang terkenal; akan tetapi belumlah menjamin kepandaiannya, kekayaannya, kekuasaannya, dan populeritasnya dapat mengangkat harkat dan derajat mereka dalam kehidupan dunia yang fana ini; bila tidak disertai dengan sikap mental pengendalian diri yang kuat, akhlak yang mulia, dan adab yang terpilih.<br />
Demikian halnya dengan orang yang miskin, masyarakat awam, dan orang-orang yang tidak beruntung akibat kebijakan struktural yang sepihak; mereka semua juga harus tetap memiliki sikap mental pengendalian diri yang kuat, akhlâqul karîmah, dan adâbul musthafawiah.<br />
Karenanya, QB sangat penting diterapkan dalam proses pendidikan dan pembelajaran di ibadah puasa dalam kehidupan kaum muslimin mukmin pada Bulan Ramadlân. Dengan model pendekatan QB, maka ibadah puasa Ramadlân --termasuk dalam puasa-puasa sunnah yang lainnya-- akan mampu melahirkan percepatan keyakinan bagi kaum muslimin yang menunaikannya. <br />
Dus dengan demikian sudah barangtentu ibadah puasa Ramadlân dalam setiap tahunnya akan mencetak banyak sumber daya insani unggul kaum muslimin mukmin di negeri ini. Oleh karena dengan model pendekatan ala QB, puasa Ramadlân benar-benar dimaksimalkan sebagai suatu lembaga pendidikan ruhani tahunan yang melahirkan banyak "manusia unggul" yang bermanfaat buat dirinya sendiri, Rabb mereka, dan orang lain. <br />
Dengan kata lain, ibadah puasa Ramadlân sebagai "madrasatur ruhaniah" dengan model pendekatan QB dapat didesain menjadi sarana "out bound ruhani" dalam menempa kaum muslimin mukmin dengan kualifikasi standar, yaitu: muslim yang mukmin, dan mukmin yang yakin, yang dapat memberikan kemanfaatan secara nyata buat diri dan manusia lain, baik secara dhahir maupun batin, dikarenakan kuatnya sikap mental pengendalian diri untuk selalu menyandar dan bergantung hanya kepada-Nya. <br />
<br />
QB Dalam Zakat Mâl<br />
Substansi ajaran zakat mâl adalah munculnya sikap mental tahu diri (asy-syâkûr) pada kepribadian seorang muslim mukmin di kehidupan kesehariannya. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa untuk memiliki sikap mental tahu diri itu sangatlah sulit, jika tidak dilatih (riadlatun nafsi) dengan baik dan secara benar ruh-hati-jiwa kita. <br />
Bagi orang-orang yang telah menerima ketauhidan mereka dengan Allah azza wa jalla, penyakit hati yang dihadapinya adalah bakhil-pelit-kikir-serakah yang kesemua penyakit hati itu dalam waktu yang sangat singkat dapat merusak hati kaum muslimin mukmin di kehidupan kesehariannya. Tidak jarang banyak kaum muslimin yang terpedaya dengan bisikan hawa nafsunya untuk lebih memilih menjadi orang yang bakhil dibandingkan dengan memilih menjadi orang dermawan. <br />
Karenanya, syariat zakat mâl sangat relevan di dalam mendidik para hamba-Nya untuk memiliki sikap mental tahu diri; khususnya bagi para muslimin yang dikarunia oleh Allah jalla jalâluh harta benda dan kekayaan yang berlimpah. <br />
Syariat zakal mâl sebagai "madrasatun nafsi" jika dalam menunaikannya didasarkan hanya atas menggapai ridla-Nya. Maka, hati dan jiwa manusia yang seringkali merasa berat untuk melakukan derma harus "dipaksa" dengan ditetapkannya syariat tersebut. Dari model "paksa" itulah nantinya manusia-manusia yang berkeimanan, berkeyakinan, dan berakal akan memiliki habits sosial yang sangat bagus, yakni suka atau biasa berderma untuk mencapai kedekatannya dengan-Nya. <br />
Maka, untuk merealisasikan ide dasar mengenai substansi ajaran zakat mâl, tidak ada metode yang paling tepat melainkan dengan menggunakan model pendekatan QB. Dengan model pendekatan QB para wajib zakat akan terdorong secara sadar, bahwa dengan menunaikan zakat mâl kepribadiannya akan mengalami percepatan keyakinan, di samping bentuk konkrit dari penyucian jiwa (tazkiatun nafsi). <br />
Lebih dari itu, QB dalam zakat mâl tidak sekadar "membodohi" orang untuk gemar berzakat dengan hanya menonjolkan fadha`ilul a'mâl kepada para aghniyâ`. Tetapi QB secara lurus dan benar memberikan platform zakat mâl yang dituntunkan oleh syariat Islam. Jangan sampai zakat mâl yang secara syariat memiliki ide dasar yang bagus, namun dalam prakteknya hanya dijalankan sekadar karikatif. Di mana harta atau kekayaan yang sudah mencapai nishab dan haul-nya dikumpulkan dan dibagikan begitu saja. Tanpa harus ada apresiasi yang benar terhadap pendidikan dan pembelajaran mengenai zakat mâl. Bila, realitas ini terus dibiarkan maka yang terjadi di kehidupan kaum muslimin tidak terjadi pemerataan penikmatan atas karunia-Nya.<br />
Dengan kata lain, QB dalam zakat mâl benar-benar mendorong terciptanya sikap mental tahu diri dan terjadinya pemerataan kesejahteraan atas karunia-Nya di muka bumi yang dimotori oleh para orang kaya. Sebagaimana hal itu pernah terjadi di jaman Nabi saw, di mana para ashâb Nabi saw yang kaya dengan begitu saja, sudah barangtentu melalui kesadaran yang sangat tinggi, menyerahkan harta benda atau kekayaannya untuk kepentingan dinul Islam dan pemerataan kesejahteraan atas karunia-Nya. Sehingga dalam waktu yang relatif sangat cepat dan singkat para ashâb Nabi saw tersebut telah memiliki: komitmen akidah; komitmen syariah; komitmen akhlak; dan komitmen adab. Yang mana dari keempat komitmen tersebut lahir komitmen-komitmen sosio-teologi keislaman dan keimanan yang berkekuatan dahsyat, yakni berani berkurban harta benda, kekayaan, darah, dan nyawanya atas nama dinul Islam. Komitmen-komitmen sosio-teologi keislaman dan keimanan itu, di antaranya: komitmen komunitas; komitmen relijiusitas; dan komitmen humanitas. <br />
<br />
QB Dalam Haji<br />
Di dalam ibadah haji terangkai segenap ibadah, seperti: hati; jiwa; fisik; dan finansial. Karenanya, dalam ibadah haji, seseorang yang menunaikannya harus benar-benar memiliki kekuatan ruhani, ketahanan fisik, dan kecukupan harta benda (kekayaan, red), serta kesempatan. <br />
Dan, substansi dari ibadah haji tidak lain adalah setiap jamaah haji, baik pada saat menunaikan ibadah haji dan umrahnya, maupun ketika setelah sampainya di tanah air harus selalu mencerminkan kesuksesan haji dan umrahnya dengan segenap perilaku dan sikap mental, di antaranya: keikhlasan, kesabaran, ketawakalan, kejujuran, ketawadlu'an, kebersihan, kedisiplinan, kemandirian; yang kesemuanya diejawantahkan ke dalam perilaku syukur, baik ke hadapan-Nya maupun terhadap sesama jamaah haji. <br />
Dengan kata lain, ibadah haji yang ditempa dengan begitu banyak pembelajaran, pendidikan, dan keteladanan. Maka, seorang jamaah haji akan memiliki kematangan jiwa dan keharmonian kepribadian setelah mereka pulang ke tanah airnya. <br />
Tapi apa kenyataannya? Banyak jamaah haji, bahkan banyak pula yang telah menunaikan ibadah haji berkali-kali, yang menjadi pertanyaan, "Adakah perubahan ruhani dan akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari setelah menunaikan ibadah haji? Benarkah para jamaah haji setelah pulang ke tanah airnya, dengan gelar haji dan hajjah, telah memiliki kematangan jiwa dan keharmonian kepribadian?"<br />
QB dalam haji akan mendorong secara nyata para jamaah haji untuk memiliki apresiasi yang diwujudkan dengan daya kreatifitas dan daya inovasi. Dikarenakan, dalam platform QB haji dan umrah merupakan sarana yang tepat dan benar untuk melakukan "out bound ruhani" bagi seorang muslim yang berkesempatan menunaikannya. <br />
Terlepas dari formalitas administrtif syar'i (fikih), dalam ibadah haji memiliki kekuatan untuk mencetak pribadi-pribadi unggul yang berdedikasi tinggi terhadap kemanusiaan. Yang mana hal itu dapat dicermati dari rangkaian ibadah haji mulai dari: thawwaf; sa'i, wukuf; lempar jumrah, berbaju ihram, dan mabit (baik di Mina maupun di Muzdalifah, red). <br />
Kesemua rangkaian tersebut telah menjadi sebuah rangkaian pendidikan dan pembelajaran kepada segenap jamaah haji untuk memiliki jiwa: kepemimpinan; kemandirian; pengurbanan; pelayanan; toleransi; dan kasih-sayang. Karenanya, seseorang yang telah dianugerahi-Nya dapat menunaikan ibadah haji, secara ideal syar'i, dia akan mengalami pemberdayaan: keilmuannya, pengetahuannya, akhlaknya, dan adabnya. Dengan kata lain, dia akan memiliki kemampuan percepatan akan motivation & adversity quotient (MAQ) yang berbuah pada percepatan lahirnya emotional & intuitional quotient (EIn-Q). [] <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DIDIKKAN & AJARKAN QB <br />
MULAI SEDINI MUNGKIN<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Keberadaan QB sebuah jawaban dari latahnya kaum muslimin di dalam mengikuti perubahan jaman di kehidupannya. QB yang alfaqîr maksud adalah quantum believing, yang sebenarnya lebih pas jika diterjemahkan dengan "mi'rajul yaqin" (MY), dari seorang muslim yang mendesain dirinya untuk menjadi sosok seorang hamba Allah yang râdliatam mardliah. Yang secara nyata di dalam surah al-fajr, telah ditegaskan bahwa hanya para hamba-Nya yang berkepribadian râdliatam mardliah yang kelak dimasukkan surga-Nya. <br />
Sedangkan di sisi lain tidak mudah untuk melakukan redesain atas kepribadian kita menjadi kepribadian yang râdliatam mardliah. Tanpa terdapatnya bangunan ruhani yang kuat, dan kita juga harus sadar bahwa untuk membangun ruhani yang kuat tidak dapat dilakukan dengan kun fayakûn. Akan tetapi secara bertahap dan terevaluasi konstruks bangunan ruhani harus dimulai dari usia sedini mungkin dalam kehidupan anak-anak kaum muslimin mukmin. <br />
Model pendekatan QB atau MY, bukanlah sebuah proses produksi yang instan yang dapat dilakukan oleh seorang muslim. Tapi, lebih dari itu, QB atau MY hanya sebuah model pendekatan percepatan keyakinan yang harus dimiliki oleh setiap kaum muslimin mukmin. Dikarenakan fenomena yang muncul belakangan ini, banyak kaum muslimin yang tidak mengimani dinul Islam, di samping pula banyak dari kaum mukminin yang tidak begitu meyakini dinul Islam; baik sebagian maupun keseluruhan ajaran, terbukti telah terjadinya "Islam warna-warni" di negeri ini. <br />
Terlepas dari hak masing-masing kaum muslimin, terutama para ulamâ`-nya untuk melakukan ijtihad guna memberikan jalan keluar atas problematika umat, maka warna-warninya Islam ternyata telah diikuti dengan terjadinya warna-warninya kaum muslimin. Sebenarnya akan menjadi sesuatu yang kreatif dan dinamis, manakala warna-warni yang terjadi itu adalah diskurs keislaman dalam dataran wacana pemikiran. Karena hal itu akan membawa pada perubahan dan percepatan yang menguntungkan bagi khazanah keilmuan kaum muslimin ke depan, yang secara langsung telah terlibat dalam kehidupan "kampung global" (global village). <br />
Adalah suatu kenyataan yang masih terdapat kesenjangan dalam kehidupan kaum muslimin, yakni belum meratanya di dalam menerima akses ilmu pengetahuan, informasi-komunikasi, dakwah Islam; di samping secara skill keagamaan pun juga belum merata.<br />
Suatu misal, bolehlah Mas Ulil Abshar cs berdiskursus dan membangun mimpi-mimpi mereka dengan JIL-nya. Tapi, apakah mereka, yang konon disebut sebagai sosok cendekiawan muslim, tidakkah berpikir secara seimbang, bahwa "Mbah Kromo" wa 'alâ alihi wa ashâbihi belum dapat mendirikan shalat, dengan alasan: tidak punya sarung; tidak hafal doanya shalat; tidak fasih mengucapkan bahasa Arab; masih repot; dan masih banyak alasan-alasan yang klise lainnya. Dan, kaum model "Mbah Kromo" itu jumlahnya masih sangat banyak di negeri ini. Baginya tidak ada untungnya mau ikut JIL atau mau ikut JIN, masa bodohlah itu semua.<br />
Atau, contoh yang lain, bolehlah Mas Riziq dengan FPI-nya melakukan sweeping terhadap tempat-tempat maksiat, yang tak jarang menimbulkan rasa ketakutan dan kesinisan pada Islam itu sendiri dari pihak-pihak kaum muslimin yang tidak sependapat dengan model pendekatan FPI. Namun apakah di saat yang bersamaan Mas Riziq cs mengetahui bahwa masih banyak kaum muslimin model "Mbah Kromo" yang menjadi penduduk negeri ini belum dapat melakukan tayamum maupun shalat jenazah, jama' shalat atau pun qashar shalat. Dan, mereka tidak pernah menghiraukan apa-apa yang telah dilakukan Mas Riziq cs dengan FPI-nya, tidak ambil pusinglah dengan model-model yang kayak begituan.<br />
Juga ada contoh yang lain, seperti Mas Ja'far cs dengan salafi-nya, bolehlah melakukan "pemurnian" (?) ajaran Islam, agar tidak melenceng dari pola Islam-nya Rasulullah saw. Tapi, apakah di saat berbarengan beliau juga memahami logika dan perasaan kaum muslimin model "Mbah Kromo" yang masih buta huruf dengan huruf-huruf al-qur`an. Dan, yang harus dipahami bersama bahwa kaum muslimin model "Mbah Kromo" itu yang dibutuhkan sesuatu yang nyata, seperti: mereka itu butuh makan, tempat tinggal, dan pekerjaan; cukuplah bagi mereka jika kesemuanya itu terpenuhi. Baginya tidak penting lagi Islam itu murni atau tidak murni, sebab kaum yang model-model demikian yang mereka butuhkan adalah simple-nya saja, dan jumlah mereka juga tidak sedikit.<br />
Atau, apa yang dilakukan hizbut tahrîr, yang dengan ikhlas selalu mengajak saudaranya untuk mengimplementasikan khilafah daulah-nya. Silahkan, boleh-boleh saja, tidak ada masalah. Tapi, apakah juga pernah terpikirkan bahwa masih banyak para saudara muslimnya yang tipologinya seperti modelnya "Mbah Kromo", yang mengaku muslim karena di-KTP-nya tertuliskan "…Agama: Islam…" <br />
Jika kita mau melihat secara seksama, dan mau melakukan penelitian sosial atas sikap keagamaan dan sikap keberagamaan kaum muslimin Indonesia, insya Allah akan di dapat banyak fakta yang menunjukkan, bahwa dakwah Islam di negeri ini sudah saatnya diluruskan dan dibenahi secara bersama-sama oleh kaum muslimin mukmin yang tinggal di negeri ini, tanpa harus ada perasaan premordial, sekterian, dan kelompok. Sehingga nantinya akan dapat merumuskan sebuah model pendekatan yang akurat dalam pendidikan Islam. Sekarang ini, jelas bahwa pendidikan Islam telah gagal mempersiapkan sosok generasi terdidik yang berbasiskan keislaman untuk dapat bersaing dalam percaturan hidupnya. <br />
<br />
Kuncinya, Percepatan Keyakinan<br />
Di Indonesia, di samping negara telah mengalami multi krisis, tak terkecuali kaum muslimin pun juga mengalami multi krisis. Namun yang sangat kentara adalah krisisnya aqîdatut tauhîd kaum muslimin. Di mana seolah tidak sanggup lagi "melawan" setiap gempuran materialisme dan kapitalisme. Akibatnya, akhlak dan adab kaum muslimin menjadi sangat rendah, meski tidak keseluruhan. Dan, alfaqîr berkeyakinan bahwa juga masih banyak yang baik dan benar cara beri-Islam-nya. Namun secara prosentase bisa jadi yang akidahnya jelek itu jumlahnya terlalu banyak. Dikarenakan, percepatan keyakinan tidak sebanding dengan percepatan kemaksiatan yang nyata-nyata telah mendapat "dukungan" dari percepatan teknologi informasi-komunikasi. <br />
Pertanyaannya adalah, apakah salah keunggulan teknologi-komunikasi yang pada akhirnya dijadikan sarana percepatan kemaksiatan? Apakah produk teknologi dapat disalahkan? Tidakkah, produk teknologi tak ubahnya barang dan benda mati? Suatu contoh keberadaan pesawat televisi, apakah televisi harus dikambing-hitamkan, lantaran digunakan untuk penayangan CD porno, misalnya. Atau, sebaliknya pesawat televisi menjadi benar, ketika hanya digunakan untuk menayangkan program-program ilmu pengetahuan dan dakwah? <br />
Jawabannya jelas, yang harus bertanggung jawab adalah the man behind of the gun, yaitu para "manusia eror" (human error) yang seharusnya mereka bertanggung jawab atas sebuah kecanggihan teknologi tersebut. Namun karena akidahnya jelek, sehingga akhlak dan adab-nya pun menjadi kacau.<br />
Karenanya sudah saatnya model pendekatakan "percepatan keyakinan" (MY) dijadikan basis quantum & competency dalam pola pembelajaran dan pendidikan kaum muslimin mukmin mulai usia sedini mungkin. Maksudnya, mulai dari usia kandungan anak-anak kaum muslimin mukmin harus mulai dididik, di-wenter, dan dikenalkan dengan segenap habits keislaman yang telah ada dan pernah dipraktekkan oleh kaum muslimin di era sahabat, tabi'în, tabi'ut tabi'în, salafush shalih, dan seterusnya segenap kaum muslimin mukmin yang tetap berpegang teguh dengan alqur`ân, alhadîs, dan al-'ilmud dîniah. <br />
Apalah artinya jika seseorang itu hidup tanpa memiliki kualitas keyakinan yang kokoh kuat dalam agamanya. Sebab, yakin merupakan sendi yang terkuat dalam eksistensi keimanan seseorang yang telah mengaku dirinya sebagai seorang muslim. Betapa ruginya apabila kita membaca al-qur`an misalnya, namun segenap pikiran-hati-jiwa ini tidak yakin dengan ke-Mahabesaran dan ke-Mahakuasaan Allah azza wa jalla. Apa jadinya, dengan segenap ibadah yang kita lakukan, bila segenap pikiran-hati-jiwa ini tidak yakin dengan ke-Mahabesaran dan ke-Mahakuasaan Allah azza wa jalla. <br />
Karenanya, sudah waktunya segenap kaum muslimin mukmin mengadopsi konsep MY dalam lingkungan kesehariannya. Sehingga secara gradual hal itu akan dapat membawa segenap perubahan yang berkemanfaatan buat kreatifitas, inovasi, dan kemandirian kaum muslimin. Sebab, tanpa menggunakan model pendekatan MY, keislaman seseorang akan mengalami stagnan (jumud). Oleh sebab itu, platform MY yang berupa: 1).Keteladanan; 2).Keikhlasan; 3).Kesabaran; 4).Keilmuan; 5).Ketaqarruban (doa, munajat, dan tawajuh); 6).Keharmonisan (membenahi keluarga); 7).Kedisiplinan; 8).Ketauhidan; dan 9).Memperhatikan yang sepele, yang mendapatkan daya dukung dari motivation & adversity quotient (MAQ) yang dalam waktu cepat akan dapat melahirkan emotional & intuitional quotient (EIn-Q), harus segera dimiliki oleh setiap individu dan keluarga kaum muslimin mukmin yang mendambakan kejayaan Islam. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
PENUTUP<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Quantum Believing (QB) merupakan jawaban yang sangat tepat dari sebuah fenomena sosial kaum muslimin di negeri ini yang masih memiliki modal sosial rendah (low social capital). Sementara untuk meningkatkan kualitas diri dan citra diri kaum muslimin, seolah kita telah kehilangan referensi keislaman. Sehingga, meski tidak secara keseluruhan buruk, kita menjadi "latah" dengan mereferensi dan mengimitasi atas khazanah "orang lain". <br />
Padahal jika kita mau membuka kembali lembaran sejarah keemasan Islam, hal ini bukan berarti kita harus tenggelam dengan kejayaan masa lalu (the gold of age), segenap khazanah yang secara instan untuk ditransfer dan diaktualkan ke dalam model kekinian masih sangat banyak yang belum diungkap. Sedangkan akibat dari "buta sejarah" tersebut, kaum muslimin dalam menyejajarkan dengan "orang lain" secara membabi buta mengadopsi dan melakukan imitasi, yang seringkali disebut islamisasi, dengan harapan kenyataan itu dapat meningkatkan kualitas diri dan citra diri kaum muslimin. <br />
Benarkah realitanya demikian, ternyata sampai hari ini kaum muslimin hampir di negara mana pun tinggal, tak terkecuali di negeri ini, selalu menjadi bulan-bulanan "orang lain", seperti: sasaran fitnah; sasaran kekerasan; sasaran eksploitasi; sasaran isme-isme; dan sasaran westernisasi. Dengan alasan, tanpa dibuat sedemikian rupa sehingga, yang menurut Barat (baca: AS, red), kaum muslimin akan menjadi ancaman dunia. Dan, hanya dengan menjadikan kaum muslimin sebuah komunitas "manusia kardus" (human in box), maka Barat akan selalu mampu "mengungguli" Islam dan kaum muslimin. <br />
Dalam konteks kekekinian dan kemodernan, Barat ingin selalu memegang supremasi dunia. Sehingga jalan apa pun ditempuhnya dalam rangka mempertahankan hegemoninya. Memang itu sah-sah saja. Namun buat kita, kondisi yang hegemoni ini harus ditembus dengan kemampuan kita yang jauh lebih kreatif dan apresitaif terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sebenarnya. <br />
Karenanya, segenap motivator yang dimiliki kaum muslimin haruslah dijadikan tumbuhnya kecerdasan motivasi dan kecerdasan memahami tantangan (Motivation & Adversity Quotient). Yang dalam implementasinya didukung dengan pola five be: be happy; be patient; be careful; be creative; dan be experienced. Disebabkan, dengan terimplementasikannya five be di kehidupan keseharian seorang muslim, hal itu dapat mendorong lahirnya sikap mental: inner strong intention; self confidence; dan independency (Baca juga buku alfaqîr yang berjudul "Filsafat Manusia: Upaya Memanusiakan Manusia", 2004, red). Yang dalam waktu relatif singkat dapat menjadikan seorang muslim tersebut melakukan percepatan keyakinan (Quantum Believing), sehingga dalam waktu yang singkat pula akan didapatkan perubahan-perubahan, pembaharuan-pembaharuan, dan pemberdayaan-pemberdayaan; yang mana hal itu akan sangat bermanfaat buat kehidupan umat manusia, khususnya di kehidupan keseharian kaum muslimin. <br />
Dan, telah menjadi kenyataan bahwa kaum muslimin di negeri ini telah kehilangan sikap mental rasa percaya diri (self confidence). Akibatnya, yang paling akut dari penyakit kejiwaan tersebut adalah: kaum muslimin tidak mengerti dirinya sendiri; kaum muslimin tidak memahami dirinya sendiri; dan kaum muslimin tidak dapat saling melengkapi di kehidupannya dengan sesama kaum muslimin. Dengan kata lain, kaum muslimin telah kehilangan jatidiri disamping secara nyata juga mengalami krisis kepemimpinan. Jadi pola keteladanan dan habits iqra` yang selama ini telah dijadikan platform kehidupan keseharian kaum muslimin semenjak jaman Nabi saw hidup, telah digantikan dengan pola jahili modern dengan habits dajjal. <br />
Untuk mengatasi "ketakberdayaan" dan ketertinggalan dalam peradaban tersebut, tidak ada jalan lain kecuali kaum muslimin harus segera ditumbuhkan kembali MAQ (Motivation & Adversity Quotient) dan EIn-Q (Emotional & Intuitional Quotient). Sehingga dalam waktu yang relatif singkat kita dapat memberikan alternatif baru di kehidupan umat manusia dengan memberdayakan kemampuan mi'rajul-afragh (MF) secara optimal. Oleh karena dengan segera pula akan tumbuh kekuatan dan kemampuan seorang muslim yang tak terbatas (unlimited power). Dengan demikian, kaum muslimin di negeri ini akan memiliki modal sosial yang tinggi (high social capital), insya Allah. []Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-91940666253043745032010-09-02T20:03:00.000-07:002010-09-02T20:03:16.199-07:00pintu pintu kelembutanMenomor-Satukan Allah<br />
<br />
Menomor-satukan Allah (al-mauhîd), maksudnya adalah seorang hamba di kehidupan sehari-harinya telah menjadikan Allah azza wa jalla satu-satunya sandaran, satu-satunya gantungan, dan satu-satunya harapan. Disebabkan, dia telah meyakini, bahwa selain Allah tidak dapat dijadikan sandaran, gantungan, dan harapan dalam kehidupannya.<br />
Seorang hamba yang telah memiliki sikap mental dan perilaku mauhid, di kehidupannya benar-benar secara bulat lagi utuh, meyakini hanya Allah-lah sumber dari segala sumber dan sebab dari semua sebab yang memiliki Mahakemampuan dan Mahakuasa atas kehidupan ini. Bagi seorang yang telah mauhid, di dalam hatinya tidak ada ruangan sedikit pun melainkan semua ruangan telah terisi dengan kekuatan keyakinan terhadap-Nya. Begitu juga dengan kehidupan seorang hamba yang telah mauhid, dia sangat meyakini hanya Allah-lah yang memiliki kekuasaan dan kehendak di dalam melakonkan kehidupan para hamba-Nya.<br />
Karenanya, seorang hamba yang telah mauhid, di kehidupannya benar-benar sangat takut dengan-Nya. Disebabkan, khawatir jika belum mampu memenuhi segenap perintah dan larangan-Nya. Sehingga di setiap kesempatan dari aktifitas kehidupannya dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Baginya, dia hanya mengharapkan ridla-Nya. Di mana segenap aktifitas yang telah dilakukannya dalam rangka melakukan penghambaan terhadap-Nya itu diterima-Nya. Inilah bekal yang senantiasa dipersiapkannya guna menghadap kepada-Nya sewaktu-waktu.<br />
Bagi seseorang yang telah dikaruniai-Nya sikap mental dan perilaku mauhid. Menurutnya, kebahagiaan itu adalah jikalau di dalam dirinya dan jiwanya senantiasa memiliki keajegan di dalam "merasa takut" dengan-Nya. Karena bukan sesuatu yang mudah di kehidupan kita itu, untuk senantiasa melazimkan "rasa takut" terhadap Allah azza wa jalla.<br />
Bagi seseorang yang telah dianugerahi-Nya sikap mental dan perilaku mauhid, totalitas kejadian yang dialaminya, baik yang dirasakan; dilihat; didengar; dipikirkan; dan direnungkan benar-benar harus dapat melahirkan perasaan takut kepada-Nya. Supaya di kehidupan sosial kesehariannya dirinya hanya takut kepada Allah jalla jalâluh. Oleh sebab itu, seseorang yang telah mauhid secara intuisional meyakini firman-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya" (Qs.Qâf [50]: 37).<br />
<br />
Menurutnya, sekali saja melalaikan fungsional inderanya, maka dia akan menjadi seorang hamba yang lalai. Di setiap terjadinya kelalaian, maka nafsu syahwat mengambil alih. Sehingga jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus, maka nafsu laksana bayi yang menetek susu ibundanya. Dia akan terus mengulang dan mengulanginya, demikian seterusnya. Jika kita tidak benar-benar menyapihnya.<br />
Seseorang yang telah mauhid, di kehidupannya benar-benar menghindarkan diri dari segenap hal yang berupa:<br />
<br />
1. Kelalaian.<br />
Hati seorang hamba yang tidak diisi dengan iman, maka ia akan rapuh. Seorang yang beriman, jika hatinya tidak diwenter dengan al-qur`an, maka ia akan tandus. Karenanya, tidak ada dzikrullah yang paling agung yang harus dilakukan seorang mukmin, kecuali melazimkan tilawah al-qur`an. Sebagaimana hal itu telah diperingatkan oleh Allah swt dalam firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Maka, apakah mereka tidak memperhatikan al-qur`an ataukah hati mereka terkunci?" (Qs.Muhammad [47]: 24).<br />
<br />
Dengan demikian, jika seseorang itu berkehendak atau ber-azzam memiliki sikap mental dan perilaku mauhid. Maka, di kehidupan kesehariannya harus memiliki "tradisi memperhatikan al-qur`an".<br />
2. Kemaksiatan.<br />
Seorang hamba yang telah berbuat maksiat kepada-Nya. Maka, akan menjadikan hatinya redup, bahkan hilang dari cahaya-Nya. Kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang hamba secara terus-menerus telah menjadikan pemiliknya berjalan dalam kegelapan hati. Hal ini sangat membahayakan siapa pun. Orang seperti ini tidak akan mampu memiliki sikap mental menomor-satukan Allah. Sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Atau, seperti gelap-gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak [pula], di atasnya [lagi] awan. Gelap-gulita yang tindih-bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya. [Dan], barangsiapa yang tiada diberi cahaya [petunjuk] oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun" (Qs.an-Nûr [24]: 40).<br />
<br />
Dan, di ayat yang lain difirmankan-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Sekali-kali tidaklah [demikian], sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka" (Qs.al-Muthafifîn [83]: 14).<br />
<br />
Seorang mukmin jikalau hatinya mengalami kegelapan, seperti yang telah difirmankan-Nya. Maka, di kehidupannya pasti akan mengalami kesempitan. Itu artinya, seorang hamba yang telah memiliki sikap mental dan perilaku menomor-satukan Allah, hidupnya tidak akan mengalami kesempitan. Sebaliknya, di kehidupan kesehariannya dia akan mempunyai hati yang lapang, tenang, qana'ah, ridla, dan ikhlas.<br />
3. Serba-boleh (permisive).<br />
Sikap mental dan perilaku permisif, sangatlah membahayakan kehidupan sosial-intuisional kaum muslimin mukmin. Mereka akan memiliki kecenderungan bermegah-megahan di setiap aktifitasnya. Misalnya, di era sekarang ini, jelas yang dilakukan itu membuka aurat. Tapi dikatakannya sebagai "kecantikan & kecerdasan". Tato, itu jelas hukumnya haram. Namun dikatakan sebagai sebuah "seni". Mut'ah, itu merupakan model pernikahan yang telah diharamkan dalam Islam. Akan tetapi masih banyak kaum hidung belang dan kaum pendamba birahi, dengan mengatakannya sebagai "saling tolong-menolong". Tidakkah Allah swt telah menyatakan dalam firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur" (Qs.at-Takâtsur [102]: 1-2).<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
4. Menyia-nyiakan Waktu.<br />
Hanya orang-orang yang menghendaki kerugianlah, yang menyia-nyiakan waktunya. Sebaliknya, bagi seorang hamba yang telah mauhid, waktu benar-benar dikelola sebaik dan seefektif mungkin, agar semuanya dapat berkemanfaatan secara optimal. Sebab, seorang yang telah mauhid, secara intuisional telah mengimani firman-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Maka, apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main [saja]. Dan, bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka, Mahatinggi Allah, Raja yang sebenarnya. Tidak ada tuhan selain Dia, Rabb [yang mempunyai] 'arsy yang mulia. Dan, barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu. Maka, sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabb-nya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung. Dan, katakanlah, "Wahai Rabb-ku, berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah pemberi rahmat yang paling baik"." (Qs.al-Mu`minûn [23]: 115-118).<br />
<br />
Karenanya, Rasulullah saw dalam sabdanya juga telah memperingatkan kaum muslimin mukmin,<br />
<br />
"Ada dua nikmat yang sering dilalaikan oleh kebanyakan manusia, nikmat kesehatan dan nikmat waktu luang" (Hr.Bukhari, Ahmad, dan Tirmidzi).<br />
<br />
Dalam rangka membangun kepribadian yang menomor-satukan Allah. Maka, tidak ada kebaikan melainkan menjadikan segenap kegiatan hidupnya menjadi sarana ketaatan dan pengabdian kepada-Nya. Dan, tidak ada amal perbuatan yang paling utama setelah mengerjakan amaliah fardliah, kecuali dzikrullah. Seperti telah dijaminkan Nabi saw,<br />
<br />
"Barangsiapa yang mengucapkan, "Subhânallâhil adhîmi wa bi-hamdih"; Mahasuci Allah yang Maha-agung, dan bagi-Nya segala puji. Maka, di surga kelak, dia akan ditanamkan satu pohon kurma" (Hr.Tirmidzi, Nasa`i, Ibnu Hibban, dan Hakim).<br />
<br />
Dan, dalam firman-Nya Allah azza wa jalla juga telah menyatakan-Nya,<br />
<br />
<br />
"Karena itu, ingatlah kalian kepada Ku, niscaya Aku ingat [pula] kepada kalian. Dan, bersyukurlah kepada Ku, dan janganlah kalian mengingkari [nikmat] Ku" (Qs.al-Baqarah [2]: 152). []<br />
<br />
Benar Berketaatan Terhadap-Nya<br />
<br />
Benar berketaatan terhadap Allah (ash-shidqu), adalah sikap mental sekaligus perilaku seorang muslim yang selalu berusaha, agar di dalam berketaatan terhadap-Nya benar menurut Neraca Syariat. Inilah yang dalam bahasa harian kaum muslimin Indonesia, disebut kejujuran. <br />
Dikarenakan, apalah artinya jika seorang hamba melakukan ketaatan terhadap Allah azza wa jalla, ternyata ia salah (atau bertentangan) menurut Neraca Syariat, alias tidak jujur. <br />
Sementara, seorang muslim mulia (Human Elyon) itu berkeyakinan, apabila seorang hamba itu benar di dalam berketaatan kepada-Nya. Maka, di kehidupannya akan memiliki sikap mental takut hanya dengan Allah jalla jalâluh.<br />
Adapun seorang hamba yang telah mempunyai karakteristik takut hanya dengan Allah swt. Dia memiliki beberapa ciri melekat, yakni:<br />
<br />
1. Satunya kata dengan perbuatan.<br />
Seseorang yang jujur (ash-shidqu) di kehidupan kesehariannya mempunyai karakter yang melekat. Yaitu, selalu commitment & consistent (CC) dengan satunya kata dan perbuatan.<br />
Dia tidak pernah mencla-mencle dalam berkata, utamanya ketika dia berjanji. Dia benar-benar merupakan sosok manusia yang utuh, antara dhahir dan bathinnya. Dia selalu bersikap gentleman, jika ya ya; jika tidak, ya tidak. Dia bukannya tipologi manusia yang suka mencari muka dan suka berpura-pura di hadapan manusia. Seorang yang jujur, bukanlah model manusia musang berbulu domba. Namun luar-dalam kepribadiannya benar-benar mencerminkan seorang muslim mulia (Human Elyon).<br />
Karenanya, dalam sebuah hadis qudsi, Allah azza wa jalla telah berfirman, melalui lisan Rasulullah saw, <br />
<br />
"Akan terdapat beberapa kaum yang menampakkan kepura-puraan dalam kekhusyukan kepada manusia. Mereka memakai kulit-kulit halus domba untuk manusia. Lidah mereka lebih manis daripada madu. Hati mereka lebih pahit daripada tanaman yang rasanya sangat pahit [sejenis pohon bakung]. Maka, atas nama Ku. Aku bersumpah untuk menurunkan fitnah dan cobaan yang menjadikan orang yang lembut menjadi bingung. Apakah mereka hendak menipu Ku, ataukah mereka begitu berani kepada Ku?" (Hr.Tirmidzi; dari sahabat Abu Hurairah ra dan dari sahabat Abdullah bin Umar bin Khaththab ra. Lihat Kitâbul Misykat, no.5323 dan Kitâbut Targhîb wat-Tarhîb, no.41).<br />
<br />
Karenanya, kita harus berlindung dari segenap keburukan bathin kita itu kepada-Nya, yang jika hati kita tidak dikelola dengan baik dan benar lagi lurus, lambat tapi pasti hal itu akan merusak akidah tauhid dan akhlak-adab Islam kita.<br />
<br />
2. Memiliki totalitas kejujuran terhadap-Nya.<br />
Hidup dengan totalitas kejujuran sungguh sebuah perjuangan yang sangat berat bagi seorang hamba. Namun itulah konsekuensi logis, jika seorang hamba itu menghendaki kebahagiaan hakiki di kedua kehidupannya, yakni dunia dan akhirat.<br />
Yang di maksud totalitas kejujuran, adalah: a).Jujur dalam keadaan; b).Jujur dalam pembicaraan; c).Jujur dalam perbuatan; d).Jujur dalam berpikir; dan e).Jujur dalam berilmu pengetahuan. Yang pasti di setiap aspek kegiatan atau aktifitas di kehidupan ini, seorang hamba Allah haruslah membebaskan diri dari sikap mental riyâ` (pamer) dan sikap mental sum'ah (mencari populeritas). Dari dua sikap mental itulah seorang hamba pasti tidak akan dapat melakukan kejujuran.<br />
Dikisahkan dalam sebuah riwayat yang shahih oleh Imam Tirmidzi ra, dari Syafi al-Ashbahi ra. Dia berkata, "Aku menjumpai Abu Hurairah ra ketika dia berada di dalam masjid Rasulullah saw di Madinah."<br />
Lalu, aku berkata, "Wahai Abu Hurairah, demi Allah, aku memohon kepada engkau untuk menceritakan sebuah hadis yang kau dengar dari Rasulullah saw kepadaku."<br />
Maka, Abu Hurairah ra mengatakan, "Demi Allah, aku akan menceritakan sebuah hadis yang aku dengar dari Rasulullah saw. Lalu, dia pun menangis tersedu-sedu. Sehingga dia pingsan. Kemudian, dia pun sadar kembali. Lalu, dia mengatakan, "Aku mendengarkan Rasulullah saw bersabda, "Golongan yang pertama kali dinyalakan dengan api neraka pada Hari Kiamat nanti ada tiga." <br />
Kemudian, Rasulullah saw menyebutkan tiga golongan manusia ini. Yaitu, seorang alim (atau yang membaca al-qur`an); seorang pedagang, dan seorang mujahid. Mereka ini melakukan pekerjaan mereka dengan riya` dan sum'ah serta tidak mengikhlaskannya karena Allah ta'âlâ. Sehingga Allah akan memasukkan mereka terlebih dulu ke dalam api neraka sebelum yang lain.<br />
Syafi al-Ashbahi ra berkata, "Maka, aku pun menjumpai Mu'awiah, dan mengajarkan hadis ini kepadanya. Sedangkan dia berada di atas singgasana kekhalifahannya. Lalu, dia pun jatuh tersungkur ke bumi sambil menangis, dan berkata, "Mahabesar Allah ta'âlâ yang berfirman,<br />
<br />
• • <br />
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna; dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka; dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan" (Qs.Hûd [11]: 15-16).<br />
<br />
Karenanya, sebab rasa ketakutannya yang mendalam kepada-Nya, jangan-jangan amaliahnya tertolak di sisi-Nya. Di setiap kesempatan, setiap saat, khususnya jika hendak melakukan dakwah (tabligh), Syaikh Muhammad Fadlullah az-Zamani senantiasa menyenandungkan doanya, "Allâhummaj'alnâ da'watan mabruratan, lâ riyâ`a fî-hi wa lâ sum'ah"; Ya Allah jadikanlah buat kami dakwah yang Engkau terima, tidak ada pamer dan mencari populeritas di dalam berdakwah. Demikianlah, Syaikh Muhammad Fadlullah selalu membacanya buat segenap aktifitas ibadahnya.<br />
<br />
3. Senantiasa menyesali perbuatan buruknya.<br />
Kejujuran seorang hamba selalu ditandai dengan perasaan menyesali atas segala perbuatan buruknya. Namun di sisi lain merasa optimis dan senantiasa merasa berbahagia dengan segala perbuatan baiknya. Sebagaimana telah digambarkan dalam firman-Nya,<br />
<br />
• • <br />
"Dan, [juga] orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri. Mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan, mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal" (Qs.Ali Imrân [3]: 135-136).<br />
<br />
Karenanya, suatu ketika sahabat Umar bin Khaththab ra berpesan kepada segenap pasukan kaum muslimin. Dia mengatakan, "Wahai manusia, barangsiapa yang gembira dengan kebaikannya dan menyesal dengan kejahatannya. Maka, dialah orang yang beriman."<br />
Apabila kita merasa bahagia dan berlapang dada jika mampu memaafkan orang lain, tidak menganiaya diri sendiri, tidak merugikan orang lain, berbakti terhadap kedua orang tua, dan berperilaku jujur di setiap kesempatan. Maka, kita tergolong ke dalam hamba Allah yang telah dikaruniai-Nya iman.<br />
<br />
4. Menjaga perbuatan baik di setiap saatnya.<br />
Buah perilaku jujur yang paling kentara, adalah memaksimalkan perbuatan baiknya setiap saat. Hal itu dapat dirasakan dengan semakin meningkatnya rasa beribadah kepada-Nya, semata hal itu didorong oleh rasa imannya yang bergelora.<br />
Sehingga puncak dari kejujurannya adalah semakin mendalamnya rasa takutnya dengan Allah azza wa jalla. Rasa takut dengan-Nya harus diejawantahkan ke dalam perilaku mulia, seperti ketakutannya harus dapat mencegah dirinya jatuh kepada perilaku aniaya. Yaitu, kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan kemaksiatan.<br />
Seperti ketakutan sahabat Abdullah bin Umar bin Khaththab ra, dia berkata, "Demi Allah, aku sangat berharap semoga Allah ta'âlâ menerima sebesar biji dzarrah [atom] saja dariku."<br />
Mereka bertanya, "Mengapa?"<br />
Abdullah menjawab, "Karena Allah ta'âlâ berfirman,<br />
<br />
• <br />
"Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam [Habil dan Qabil] menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban. Maka, diterima dari salah seorang dari mereka berdua [Habil] dan tidak diterima dari yang lain [Qabil]. Ia [Qabil] berkata, "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil, "Sesungguhnya Allah hanya menerima [korban] dari orang-orang yang bertakwa" (Qs.al-Mâ`idah [5]: 27).<br />
<br />
Mereka bertanya lagi, "Apakah kamu takut, padahal kamu mengerjakan amal-amal shalih?"<br />
Dia menjawab, "Demi Allah, aku tidak takut dari amal-amal shalih. Tetapi aku takut kalau aku mengerjakan amal shalih. Lalu, Allah ta'âlâ berfirman, "Demi keagungan dan kemuliaan Ku, sesungguhnya Aku tidak menerimanya darimu." Oleh karena itu Allah swt berfirman,<br />
<br />
<br />
"Dan, jelaslah bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan" (Qs.az-Zumar [39]: 47).<br />
<br />
Jadi, jelaslah betapa sangat pentingnya perilaku jujur dan sikap mental jujur di kehidupan seorang hamba. Sebab, dengan kejujuran sajalah seorang hamba dapat memiliki rasa takut dengan-Nya secara benar. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Murni Berpengabdian Dengan-Nya<br />
<br />
Murni berpengabdian dengan-Nya (al-ikhlâsh), adalah sikap mental seorang muslim mukmin yang dengan tulus lagi murni semata hanya mengharapkan ridla-Nya. Seorang hamba yang telah bermentalkan ikhlas, di kehidupan ini hanya mengharapkan segenap amal yang dikerjakannya diterima oleh-Nya. Di samping itu dia hanya mengharapkan dapat memperoleh cinta dan kasih-sayang-Nya.<br />
Di kehidupan kesehariannya dia hanya berusaha memurnikan setiap pengabdian dan ketaatannya kepada Allah swt. Baginya hal ini merupakan perjuangan yang berat yang harus dipikulnya, demi mendapatkan cinta-Nya. Karenanya, Neraca Syariat baginya merupakan ukuran yang harus dipenuhinya dalam rangka memperoleh kebenaran yang disyariatkan-Nya. Sebagaimana dinyatakan dalam firmankan-Nya,<br />
<br />
<br />
"Janganlah kamu bersikap lemah. Dan, janganlah [pula] kamu bersedih hati. Padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi [derajatnya], jika kamu orang-orang yang beriman" (Qs.Ali Imrân [3]: 139).<br />
<br />
Adalah ciri dari seorang hamba yang telah memasuki kedudukan ruhaniah ikhlas dapat dilihat dari beberapa sifat yang melekat pada dirinya, di antaranya:<br />
<br />
1. Senantiasa Memohon Perlindungan-Nya.<br />
Seorang hamba yang ikhlas di kehidupannya. Ia tidak pernah menjadikan kekuatan apa pun selain Allah swt, untuk dijadikan sandarannya. Ia sangat teguh dengan keyakinan dan prinsip hidupnya. Bahwa, di dunia ini dan di akhirat kelak yang dapat melindungi dirinya, hanyalah Allah azza wa jalla. <br />
Sehingga oleh Allah, dia mendapatkan perlindungan pula dari makar apa pun yang akan terjadi di kehidupannya. Sebut saja: Nabi Ibrahim as; Nabi Isma`il as; dan Nabi Muhammad saw. <br />
Dan, masih banyak lagi cerita nyata di seputar kehidupan orang-orang ikhlas. Yang kehidupannya selalu mendapatkan perlindungan Allah swt secara langsung.<br />
2. Mendapatkan Perlindungan Dari Kejahatan Makhluk-Nya.<br />
Seorang hamba yang telah dapat berlaku ikhlas. Maka, di kehidupan kesehariannya pasti akan mendapatkan perlindungan-Nya dari kejahatan makhluk-Nya. <br />
Sebut saja Nabi Musa dan Nabi Harun. Dalam dakwahnya mereka berdua senantiasa mendapatkan perlindungan dari-Nya. Sehingga kekhawatirannya terhadap kejahatan orang-orang kafir tidak pernah terjadi atas keduanya. <br />
3. Senantiasa Menang Dengan Musuhnya.<br />
Betapa hebatnya sahabat Khalid bin Walid. Atau, yang terkenal dengan sebutan Abu Sulaiman. Di mana dia mampu menghancurkan para musuhnya di setiap kali peperangan dengan para musuh Islam. Hal itu bukan karena kepandainya berstrategi. Namun lebih dikarenakan keikhlasannya, sehingga di luar pengetahuannya Allah memberikan pertolongan-Nya secara langsung. Sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Maka, [yang sebenarnya] bukan kamu yang membunuh mereka. Akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka. Dan, bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar. Tetapi Allah-lah yang melempar. [Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka] dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui" (Qs.al-Anfâl [8]: 17).<br />
<br />
Begitu juga dengan yang dialami oleh Panglima Qutaibah bin Muslim ra. Kemenangan yang diperolehnya atas para musuhnya. Yang tak lain adalah para musuh agama. Lebih disebabkan, karena keikhlasan sang panglima di dalam berjuang. Sehingga kemenangan demi kemenangan dianugerahkan kepadanya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,<br />
<br />
<br />
"Jika Allah menolong kalian. Maka, tak adalah orang yang dapat mengalahkan kalian. Jika Allah membiarkan kalian [tidak memberi pertolongan]. Maka, siapakah gerangan yang dapat menolong kalian [selain] dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal" (Qs.Ali Imrân [3]: 160).<br />
<br />
4. Keturunannya Dijaga-Nya.<br />
Seorang hamba yang ikhlas pengabdiannya kepada Allah, niscaya keturunannya akan dijaga oleh-Nya. Ingat dengan kisah Nabi Ya'qub as yang pernah kehilangan puteranya. Maka, oleh-Nya puteranya dijaga, lalu diangkatnya menjadi Nabi-Nya; dialah Nabi Yusuf as. Selama puteranya hilang Nabi Ya'qub selalu membaca,<br />
<br />
<br />
"Maka, Allah adalah sebaik-baik penjaga. Dan, Dia adalah Mahapenyanyang di antara para penyanyang" (Qs.Yûsuf [12]: 64).<br />
<br />
Pun pula dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis ra, yang mengajarkan kepada 7 puteranya untuk senantiasa menjadi orang ikhlas. Yaitu, dengan mengamalkan firman-Nya,<br />
<br />
• • <br />
"Sesungguhnya pelindungku, adalah yang telah menurunkan [al-qur`an], dan Dia melindungi orang-orang yang shalih" (Qs.al-A'râf [7]: 196).<br />
<br />
Diriwayatkan, ke-7 puteranya menjadi manusia-manusia yang paling kaya, paling pandai, dan memiliki derajat yang mulia lagi tinggi di kehidupan sosialnya.<br />
5. Tubuhnya Mendapatkan Perlindungan-Nya.<br />
Seorang hamba yang benar-benar ikhlas di kehidupannya, maka Allah akan selalu menjaga tubuhnya. <br />
Sebut saja ibunda Asma` binta Abu Bakar ra, diusianya yang ke-100 tahun giginya tidak rapuh. Akal pikirannya tidak pikun. Demikian kesaksian puteranya, sahabat Urwah bin Zubair ra. <br />
6. Hewan & Binatang Mematuhinya.<br />
Seorang hamba yang ikhlas kepada-Nya akan menjadikan hewan dan binatang tunduk dan menurut dengannya. Sebut saja sahabat Uqbah bin Nafi` al-Fihri ra. Di saat membuka hutan untuk kepentingan pembangunan markas tentara di daerah Qairawan. Terlebih dahulu ia mengawali pekerjaannya dengan berdoa kepadanya. Maka, selang beberapa saat semua hewan dan binatang yang berada di situ dengan rela meninggalkan tempat tersebut. Memang inilah yang dikehendaki oleh sahabat Nafi`.<br />
7. Benda-Benda Mati Pun Akan Tunduk Kepadanya.<br />
Kekuatan seorang hamba yang ikhlas sungguh luar biasa. Benda mati pun juga tertunduk dengannya. Semata hal ini disebabkan, karena memang Allah menjaga hamba-Nya yang memurnikan ketaatan terhadap-Nya.<br />
Seperti dikisahkan dalam Shahih Bukhari, seorang hamba yang mukhlis membayar utangnya melalui botol yang dilemparkan ke laut. Dan ternyata uang itu sampai kepada si punya alamat. Padahal jaraknya sangat jauh, yakni harus menyeberangi lautan. Tapi itulah jika Allah menghendaki buat para hamba-Nya yang ikhlas.<br />
Seorang hamba yang telah ikhlas, maka di kehidupan kesehariannya selalu mengejawantahkan beberapa perilaku kebenaran lagi berkemanfaatan, yang sejalan dengan Neraca Syariat, seperti:<br />
1. Menjaga shalatnya. Hal itu ditandainya dengan: Tepat waktu; Berjama'ah; dan Khusyuk.<br />
2. Menjaga tubuhnya. Ditandainya dengan: gaya hidupnya yang sehat lagi seimbang; istirahatnya cukup; makan minumnya sehat lagi halal thayyib; olah raga teratur; Menjaga lisannya; Menjaga pendengarannya; Menjaga penglihatannya; Menjaga perutnya; dan Menjaga kemaluannya.<br />
3. Menjaga kesucian ruhnya. Diwujudkan dengan: Memperbaiki hatinya; dan Menazkiah jiwanya.<br />
4. Menjaga kehalalan rizekinya. Ditandai dengan: Menjauhkan diri dari yang haram; dan Meninggalkan segala sesuatu yang syubhat.<br />
Sedangkan secara personal (pribadi), sikap mental ikhlas itu dapat dirasakan oleh masing-masing pribadi muslim mukmin, dengan jalan meningkatnya: 1).Rasa berkeimanan; 2).Rasa berqur`an; dan 3).Rasa ketakutan dengan-Nya. <br />
Jadi, masing-masing dari kaum muslimin ini, jika mereka mau menghayati keikhlasannya. Maka, hal itu akan dapat merasakan: imannya; qur`annya; dan takutnya dengan Allah azza wa jalla.<br />
Sebab, hanya orang-orang yang suka pamer (riya`) dan mencari populeritas (sum'ah) yang tidak akan pernah mampu merasakan hadirnya: iman; qur`an; dan takut dengan-Nya. Mereka inilah orang-orang yang rugi di dunia dan di akhirat. <br />
Perilaku dan sikap mental ikhlas itu sangat penting, buat kehidupan keseharian kaum muslimin mukmin. Amaliah ikhlas sangat sulit untuk dikerjakan, bahkan kita sangat sulit untuk menilainya. Karena, amaliah ikhlas adalah anugerah-Nya kepada para hamba-Nya yang telah dicintai-Nya. <br />
Sedangkan, beberapa ciri di atas adalah panduan kita untuk memperoleh perilaku dan sikap mental tersebut dengan pertolongan-Nya. <br />
Marilah kita terus berjuang hingga nafas yang terakhir, untuk menjadi hamba-Nya yang ikhlas. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Berpengendalian Diri<br />
<br />
Berpengendalian Diri (ash-shabru), adalah sikap mental seorang hamba yang telah mampu mengendalikan dirinya dari segala sesuatu yang tidak bermanfaat lagi tidak berguna buat dirinya. Dikarenakan, dirinya sangat sadar bahwa sebagai seorang hamba Allah, ia harus selalu memiliki sikap mental berpengendalian diri, baik di saat melakukan ketaatan, menghindari (meninggalkan) kemaksiatan, dan menghadapi musibah (takdir-Nya). <br />
Sikap mental dan perilaku pengendalian diri, adalah sesuatu kedudukan ruhaniah. Yang sekaligus menunjukkan pengejawantahan sebuah kemapaman ruhiah pelakunya. <br />
Disebabkan, seorang muslim mukmin itu sadar benar, jikalau kehidupan di dunia itu merupakan "tempat ujian" yang harus dilalui oleh siapa pun yang namanya manusia. <br />
Maka, Rasulullah saw memperumpakan kehidupan dunia ini dengan "perladangan akhirat". Di mana dapatlah dipahami, bahwa hidup seorang manusia itu laksana bercocok tanam. Apa-apa yang ditanam itulah yang tumbuh. Apa-apa yang tumbuh itulah yang nanti akan dipanennya. Hal itu telah dinyatakan dalam firman-Nya,<br />
<br />
•• • <br />
"Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya [dengan perintah dan larangan]. Karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat" (Qs.al-Insân [76]: 1-2).<br />
<br />
Dan, untuk itu seorang pemimpin agama pun harus melalui "uji kesabaran" di dalam menegakkan kebenaran. Jika dirinya ingin layak menjadi seorang tokoh agama. Demikianlah yang diajarkan oleh al-qur`an. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya.<br />
<br />
<br />
"Dan, Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan, adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami" (Qs.as-Sajdah [32]: 24).<br />
<br />
Ayat di atas mengajarkan kepada kita, bahwa "sabar & yakin" haruslah menjadi pangkal dari sebuah perjuangan di dunia ini, agar kita menjadi hamba Allah yang memiliki sikap mental "berani hidup". <br />
Tanpa memiliki kesabaran dan keyakinan di dalam mengarungi kehidupan, maka seorang hamba Allah pasti akan terjerumus ke dalam perilaku-perilaku yang tidak diridlai-Nya.<br />
Maka, dinul Islam mengajarkan kepada segenap kaum muslimin mukmin, supaya di kehidupan ini benar-benar komitmen lagi konsisten terhadap kesabaran di dalam melakukan ketaatan, di dalam meninggalkan kemaksiatan, dan ketika menerima musibah (atau segenap ketentuan-Nya).<br />
Sabar di dalam ketaatan, adalah derajat pengendalian diri yang paling agung di kehidupan seorang hamba. Di mana seorang hamba sangat dituntut untuk memiliki pengendalian diri yang kuat ketika, ia melaksanakan ketaatan, terhadap ketaatan, dan di saat menjaga ketaatan.<br />
Sabar di dalam meninggalkan kemaksiatan, adalah kesadaran jiwa seorang hamba yang tidak mau menuruti hawa nafsunya yang menyuruh (mengajak) kepada perilaku maksiat. Karenanya, dengan pengendalian dirinya, seorang yang berjiwa sabar, akan terus memohon pertolongan-Nya dan senantiasa meminta ampunan-Nya.<br />
Sabar di dalam menerima segenap ketentuan-Nya, adalah tetap mendahulukan berprasangka positif kepada-Nya. Karena segenap apa yang ditetapkan buat para makhluk-Nya pasti yang terbaik dan memiliki hikmah yang agung. Itu dapat dilakukan karena di dalam diri seorang hamba yang berjiwa sabar, yakin benar bahwa Allah itu tidak pernah salah di dalam memberikan musibah kepada para hamba-Nya, dan tidak pernah salah di dalam menetapkan rizeki-Nya buat para hamba-Nya.<br />
Karenanya, dalam firman-Nya Allah menyerukan sikap sabar itu kepada kaum mukminin. Disebabkan memang kaum kafir atau kaum munafik tidak akan pernah dapat melakukan kesabaran. <br />
Mengapa hal itu terjadi pada diri kaum munafik dan kaum kafir, karena di dalam diri mereka tidak ada potensi "iman & yakin" terhadap segenap eksistensi-Nya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar" (Qs.al-Baqarah [2]: 153).<br />
<br />
Oleh sebab itu, di dalam firman-Nya yang lain Allah menyatakan, bahwa manusia di kehidupannya akan diuji dengan segala hal. Apakah dari ujian itu dapat menjadi mukmin sejati. Atau, malah sebaliknya menjadi manusia pengingkar. Sebagaimana dalam firman-Nya diterangkan,<br />
<br />
• <br />
<br />
"Dan, sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan; kelaparan; kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. [Yaitu], orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innâ lil-lâhi wa innâ ilaihi râji'ûn". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk" (Qs.al-Baqarah [2]: 155-157).<br />
<br />
Dalam menghadapi apa pun, seorang hamba yang telah dapat berjiwa sabar, akan menerimanya dengan berlapang dada. Di mana dia tidak lagi menghitung untung dan ruginya sebuah aktivitas yang dilakukannya. Baik yang telah dilakukan, sedang dilakukan maupun yang akan dilakukan. Dia yakin benar dengan skenario-Nya, yang jauh lebih rapi, lebih nyata, dan memiliki rahmat serta keutamaan bagi yang memperolehnya. Inilah yang oleh-Nya disifati dengan firman-Nya,<br />
<br />
<br />
Katakanlah, "Hai para hamba Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Rabb kalian". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan, bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (Qs.az-Zumar [39]: 10).<br />
<br />
Seorang hamba yang telah dikaruniai sikap mental dan perilaku pengendalian diri. Maka, ia telah memperoleh kemuliaan, keutamaan, dan keagungan. Baik di di kehidupan kesehariannya, terlebih kelak di sisi-Nya. Sebagaimana telah dinyatakan dalam firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Apa yang di sisi kalian akan lenyap. Dan, apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan" (Qs.an-Nahl [16]: 96).<br />
<br />
Karenanya, Allah azza wa jalla telah menetapkan dalam ketetapan-Nya, yang berupa sunnatullah. Bahwa, hidup ini penuh dengan ujian demi ujian. Yang secara esensial bertujuan untuk "kembali ke jalan-Nya". Yaitu, dengan jalan menyandarkan, menggantungkan, mengharapkan, dan berketaatan hanya dengan-Nya. Kesemuanya itu mesti harus dilaluinya dengan penuh kesabaran. Sebab, tanpa memiliki "jiwa kesabaran". Mustahil seorang hamba akan dapat melalui ujian demi ujiannya dengan baik lagi benar.<br />
Seperti dakatakan seorang bijak, "Raihlah keabadian surga-Nya itu dengan kesabaran. Tanpa kesabaran, tak mungkin kesuksesan akan kamu rasakan. Sebab, hanya kesabaran yang mampu menyertai seorang hamba di dalam menerima ujian demi ujian. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,<br />
<br />
•• • • <br />
"Apakah manusia itu mengira, bahwa mereka dibiarkan [saja] mengatakan, "Kami telah beriman". Sedang mereka tidak diuji lagi? Dan, sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka. Maka, sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar. Dan, sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta" (Qs.al-Ankabût [29]: 2-3).<br />
<br />
Wahai saudaraku, marilah belajar, dari kisah Nabi Ibrahim as; Nabi Ayub as; Nabi Yunus as; Nabi Nuh as; dan Rasulullah saw. Juga, marilah belajar dari para imam, seperti: Imam Syafi'i ra yang dipenjarakan; Imam Ahmad ra yang dipenjarakan. Dan, masih banyak kisah para hamba Allah yang dimuliakan-Nya di dunia dan di akhirat dengan sesuatu, yang menurut manusia biasa, hal itu tidak mengenakkan. Padahal dibalik kesemuanya, ada kehendak-Nya untuk meninggikan derajat para hamba-Nya.<br />
Berdasarkan "pisau analisis" alfaqîr di atas, maka jika kita dianugerahi apa saja dari sisi-Nya. Kita harus segera mengimani qadla & qadar-Nya. Sebab, Allah yang memiliki ke-Mahamutlakan. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Tahu Diri<br />
<br />
Tahu Diri (asy-syukru), adalah sikap mental seorang hamba yang memahami segala anugerah Allah azza wa jalla, untuk apa anugerah itu diberikan kepada para hamba-Nya. Sehingga di kehidupan kesehariannya senantiasa mengetahui apa-apa yang diterima dari-Nya yang berupa karunia, adalah untuk semakin meningkatkan taqwallâh (memelihara atau menjaga diri dari segala hal yang dapat menjadikan-Nya dan rasul-Nya murka, red), sebagai sarana taqarruban 'inda-llâh (menjaga diri agar posisinya selalu dekat dan mendekati-Nya), semata mencari ridla-Nya (menjaga diri supaya selalu mendapatkan cinta-Nya, red).<br />
Bagi seorang hamba yang telah dianugerahi sikap mental dan perilaku tahu diri (syâkir) oleh-Nya. Di kehidupannya ia tidak akan "menukar nikmat dengan kekafiran", menggadaikan akhirat dengan dunia, dan menuruti hawa nafsunya meninggalkan Rabb-nya. <br />
Seorang yang bergelar syakir, dia akan terus menempa diri, jiwa, dan hatinya untuk selalu memahamkan atas dirinya, bahwa ia adalah seorang makhluk yang harus senantiasa memiliki sikap mental dan perilaku tahu diri (asy-syukru). Sebagaimana dinyatakan-Nya,<br />
<br />
<br />
"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu, neraka Jahannam. Mereka masuk ke dalamnya; dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman" (Qs.Ibrâhîm [14]: 28-29).<br />
<br />
Seorang hamba yang telah berkedudukan syakir. Maka, di kehidupan sosial kesehariannya, sebagai seorang muslim mukmin, ia hanya dapat menerima segala kehendak-Nya yang telah menjadi ketetapan-Nya. <br />
Baginya kenikmatan dan karunia Allah jauh lebih besar yang telah ia perolehnya. Yang mana hal itu tak sebanding dengan ketaatan yang telah ia lakukan. Bahkan, seringkali ia masih berbuat dhalim di dalam menghamba kepada-Nya. Karenanya, Allah azza wa jalla telah menyatakan dalam firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Dan, Dia telah memberikan kepada kalian [keperluan kalian] dan segala apa yang kalian mohonkan kepada-Nya. Dan, jika kalian menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kalian menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dhalim dan sangat mengingkari [nikmat Allah]." (Qs.Ibrâhîm [14]: 34).<br />
<br />
Demikian halnya, juga telah difirmankan-Nya dalam sebuah hadis qudis, telah disabdakan Nabi saw,<br />
<br />
"Wahai anak Adam, aneh sekali kalian ini. Aku telah menciptakan kalian, tetapi kalian malah menyembah kepada selain Ku. Aku telah memberikan rizeki kepada kalian, tetapi kalian malah bersyukur kepada selain Ku. Aku mengasihi kalian dengan berbagai nikmat, sementara Aku tidak membutuhkan kalian. Tetapi kalian membenci Ku dengan berbagai kemaksiatan. Sementara kalian sangat butuh kepada Ku. Kebaikan Ku selalu turun kepada kalian, dan kejahatan kalian selalu naik kepada Ku" (Hr.Dailami; dari sahabat Ali bin Abu Thalib kw. Bi isnâdi marfu'. Lihat juga pada Kitâbuz Zuhd, Imam Ahmad; Kanzul Ummal, nomor hadis 43174; dan Faidhul Qadir, juz IV, hal.494).<br />
<br />
Senada dengan hadis qudis di atas. Allah swt dalam hadis qudis yang lain juga telah mengabarkan kepada kita melalui lisan Rasulullah saw,<br />
<br />
"Anak Adam mencela Ku. Padahal tidak sewajarnya dia mencela Ku. Ia juga mendustai Ku. Padahal tidak sewajarnya dia melakukan hal itu. Adapun celaannya itu adalah dengan perkataannya, bahwa Aku mempunyai anak. Sedangkan kedustaannya itu adalah dengan perkataannya, bahwa Dia tidak akan mengembalikanku, sebagaimana Dia menciptakanku semula" (Hr.Bukhari).<br />
<br />
Juga, difirmankan-Nya dalam sebuah hadis qudsi, <br />
<br />
"Anak Adam itu menyakiti Ku. Ia mencela masa. Dan, Aku adalah masa. Di dalam kekuasaan Ku-lah semua urusan. Aku membolak-balikkan siang dan malam" (Hr.Bukhari & Muslim).<br />
<br />
Oleh sebab itu, Allah swt berfirman,<br />
<br />
<br />
Katakanlah, "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan" (Qs.Yûnus [10]: 58).<br />
<br />
Mengomentari ayat di atas, sahabat Umar bin Khaththab ra berkata, "Apakah kamu mengira bahwa rahmat itu adalah unta? Tidak, demi Allah. Tahukah kamu apakah rahmat Allah itu?" Lelaki itu menjawab, "Tidak."<br />
Sahabat Umar menasehati, "Rahmat Allah itu, adalah beramal untuk taat kepada Allah dengan cahaya dari Allah; kamu mengharapkan rahmat-Nya; dan kamu meninggalkan maksiat dengan cahaya itu dari-Nya; dan kamu takut akan siksa-Nya."<br />
Berdasarkan pemahaman yang diajarkan sahabat Umar di atas. Maka, salah sekali jika rahmat Allah itu dipahami berupa kenikmatan duniawiah yang berselerakan syahwatiah, semisal: basahnya jabatan, mobil mewah, isteri cantik, mudahnya akses, menumpuknya materi dan harta kekayaan, lancar dalam memperoleh uang, tingginya pendidikan dengan gelar kesarjanaannya, rumah mewah, dan kesenangan-kesanangan lainnya yang bersifat rendah. Sebagaimana hal itu telah diperingatkan-Nya,<br />
<br />
• • <br />
"Dan, Allah telah membuat suatu perumpamaan [dengan] sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizekinya datang kepadanya melimpah-ruah dari segenap tempat. Tetapi [penduduk]-nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat" (Qs.an-Nahl [16]: 112).<br />
<br />
Mengomentari firman-Nya di atas, alfaqîr berpendapat, "Etika kehidupan kita dalam berbangsa telah keluar dari Neraca Syariat. Lima pilar masyarakat negeri ini telah meninggalkan tradisi sunnah yang telah Nabi saw ajarkan. Di mana orang miskinnya sudah tidak sabaran. Ulamanya tidak lagi berperilaku wara` (hati-hati) di kehidupan kesehariannya. Orang kayanya tidak lagi dermawan. Pemudanya tidak ahli taubat. Kaum perempuannya sudah tidak lagi mengutamakan rasa malu. Dan, penguasanya (termasuk para pejabatnya) tidak lagi berperilaku adil. <br />
Namun dari kelima pilar itu jika disaring. Maka, gaya hidup (lifestyle) seseorang itulah yang akan menjadikan pola hidup seseorang itu bergeser, dari ketaatan menjadi sebuah pengingkaran, dari sebuah penghambaan menjadi kedurhakaan. Dan, begitu seterusnya hingga Allah mengganti-Nya dengan generasi yang baru, yang lebih taat dengan-Nya.<br />
Maka, suatu negeri itu akan dirundung musibah, kekacauan, perang saudara, kehidupan yang serba tidak menentu, dan manusia-manusia yang susah diatur. Sebagaimana dinyatakan-Nya,<br />
<br />
• • <br />
"Dan, jika Kami hendak membinasakan suatu negeri. Maka, Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu [supaya menaati Allah]. Tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka, sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan [ketentuan Kami]. Kemudian, Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya" (Qs.al-Isrâ` [17]: 16).<br />
<br />
Mencermati firman-Nya di atas, negeri kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hanya "seolah-olah" beragama Islam. Terbukti mayoritas penduduk yang beragama Islam, belum mampu menjadi teladan di negeri sendiri. <br />
Pendangkalan demi pendangkalan atas dinul Islam, terus-menerus terjadi, bahkan sangat rapi. Dengan kekuatan media masa, terutama televisi. Praktislah kaum muslimin di negeri ini telah memiliki lifestyle yang sok mewah. Mereka lupa bahwa gaya hidupnya itu dapat "mengundang" murka-Nya. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,<br />
<br />
<br />
"Dan, berapa banyak [penduduk)] negeri yang mendurhakai perintah Rabb mereka dan rasul-rasul-Nya. Maka, Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras. Dan, Kami adzab mereka dengan adzab yang mengerikan" (Qs.at-Tahrîm [65]: 8).<br />
<br />
• <br />
"Dan, begitulah adzab Rabb-mu. Apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat dhalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras" (Qs.Hûd [11]: 102).<br />
<br />
Inilah saat yang tepat untuk merubah segenap sikap mental, perilaku, dan cara berpikir kita. Supaya kita menjadi hamba Allah yang tahu diri (bersyukur) kepada-Nya. Telah difirmankan-Nya,<br />
<br />
• <br />
Dan, [ingatlah juga], tatkala Rabb kalian memaklumkan, "Sesungguhnya jika kalian tahu diri (bersyukur). Pasti Kami akan menambah [nikmat] kepada kalian. Dan, jika kalian mengingkari [nikmat Ku]. Maka, sungguh adzab Ku sangat pedih" (Qs.Ibrâhîm [14]: 7).<br />
<br />
Karenanya, Allah azza wa jalla telah memerintahkan,<br />
<br />
• <br />
Dan, sungguh telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu, "Bersyukurlah kepada Allah. Dan, barangsiapa yang bersyukur [kepada Allah]. Maka, sungguh ia bersyukur untuk dirinya sendiri. Dan, barangsiapa yang tidak bersyukur. Maka, sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji" (Qs.Luqmân [31]: 12).<br />
<br />
Bagi seorang hamba yang tahu diri (bersyukur). Oleh Allah swt telah disediakan pahala yang dirahmati-Nya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,<br />
<br />
<br />
"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan ijin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu. Dan, barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan [pula] kepadanya pahala akhirat itu. Dan, Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur" (Qs.Ali Imrân [3]: 145).<br />
<br />
Seorang hamba yang bersyukur. Itu berarti ia adalah seorang yang bijak. Dan, seorang yang bijak selalu menghendaki kebahagiaan dunia akhirat. []<br />
<br />
<br />
Rendah Hati<br />
<br />
Rendah Hati (at-tawadlu'), adalah sikap mental seorang hamba yang menjaga dirinya, agar selalu merendahkan hati dan dirinya terhadap-Nya. Sehingga hal itu tercermin dari akhlak dan adab hariannya, di mana ia menjadi hamba yang sopan lagi santun. Dengan demikian, ia mampu memberikan pencerahan dan perubahan di masyarakat lingkungannya, bahwa dinul Islam itu benar-benar dapat memberikan rahmatal lil-'âlamîn kepada siapa pun dari makhluk-Nya.<br />
Secara prinsip perilaku rendah hati, dapat dilihat dari tiga hal pokok, yakni:<br />
1. Terdapatnya ketaatan dan penghambaan secara total lagi menyeluruh kepada Allah dan rasul-Nya. Yang mana terus dilakukannya secara meningkat dengan penuh istiqamah dan mudawamah.<br />
2. Terdapatnya keyakinan, keimanan, dan kepasrahan terhadap qadla & qadar. Hal itu diwujudkan dengan kemukminan dan kemuslimannya yang utuh, yang terejawantahkan ke dalam perilaku sosial yang berupa amal shalih.<br />
3. Terdapatnya kemurniaan dan kejujuran dalam beramal shalih. Sebab, hanya mencari ridla-Nya dalam kehidupannya. Sehingga sangat kuat di dalam mengikat dengan Neraca Syariat.<br />
Ketiga prinsip perilaku rendah hati di atas, adalah esensi dari firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam [mengerjakan] perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan, mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami" (Qs.al-Anbiyâ` [21]: 90).<br />
<br />
Seorang hamba berperilaku rendah hati. Disebabkan, ia sangat mengimani lagi meyakini firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Dan, pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan, Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan. Dan, tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya [pula], dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi. Dan, tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata [lauh mahfudz]" (Qs.al-An'âm [6]: 59).<br />
<br />
Karenanya, seorang yang telah memiliki sikap mental dan perilaku rendah hati. Dia dunia ini, bahkan setelah kematiannya, ia akan tetap menjadi "buah tutur kata yang baik". Sebagaimana dinyatakan-Nya,<br />
<br />
• • <br />
"Dan, jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang [yang datang] kemudian. Dan, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan" (Qs.asy-Syu'arâ` [26]: 84-85).<br />
<br />
Inilah para hamba-Nya yang telah mendapatkan cinta-Nya. Seperti disabdakan Nabi saw,<br />
<br />
"Apabila Allah mencintai seorang hamba. Dia akan memanggil Jibril, seraya berkata, "Sesungguhnya Allah mencintai si fulan. Maka, cintailah dia. Lalu, Jibril pun mencintainya. Kemudian, Jibril menyeru para penduduk bumi, "Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan. Maka, cintailah dia. Lalu, penduduk bumi pun mencintainya. Kemudian, diberikan tanda penerimaan baginya pada penduduk bumi" (Hr.Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi).<br />
<br />
<br />
Karenanya, seorang Nabi Sulaiman as benar-benar bersujud di atas tanah, seraya menangis dan bertawajuh kepada Rabb-nya,<br />
<br />
• <br />
Maka, ketika Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya. Dia pun berkata, "Ini termasuk karunia Rabb-ku untuk mencoba aku. Apakah aku bersyukur atau mengingkari [akan nikmat-Nya]. Dan, barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk [kebaikan] dirinya sendiri. Dan, barangsiapa yang ingkar, maka sungguh Rabb-ku Mahakaya lagi Mahamulia" (Qs.an-Naml [27]: 40).<br />
<br />
Juga, dengan Nabi Yusuf as, ia tawadlu' dengan segala yang telah diterima dari-Nya,<br />
<br />
<br />
"Wahai Rabb-ku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kerajaan, dan telah mengajarkan kepadaku sebagian tabir mimpi. [Wahai Rabb] pencipta langit dan bumi, Engkau-lah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih" (Qs.Yûsuf [12]: 101).<br />
<br />
Seperti yang telah diteladankan oleh kedua nabiullah tersebut di atas. Maka, alfaqîr memiliki tips yang sangat sederhana guna memiliki sikap mental dan perilaku rendah hati. Yaitu, memperbanyak membaca sayyidul istighfar, sekaligus merenungkan, memahami, dan mengamalkan isinya sekemampuan kita tentunya. Seperti yang telah disabdakan Nabi saw,<br />
<br />
"Wahai Allah, Engkau-lah Rabb-ku. Tidak ada [yang aku] sembah kecuali Engkau. [Engkau] telah menciptakanku. Aku adalah hamba Mu. Dan, aku tidak mampu terhadap janji dan kesepakatan dengan Mu. Aku berlindung kepada Mu dari keburukan yang telah aku perbuat. Aku mengakui segala nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku. Dan, aku juga mengakui segala dosa. Maka, ampunilah aku. Karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa, selain daripada Engkau" (Hr.Bukhari & Ahmad).<br />
<br />
Di dalam doa sayyidul istighfar telah terkandung: 1).Pengakuan seorang hamba atas eksistensi Rabb-nya; 2).Persyaksian terhadap-Nya; 3).Mengakui segenap kedlaliman dirinya; 4).Memohon perlindungan-Nya; 5).Bersyukur dengan-Nya; 6).Pengakuan atas dosa-dosa; 7).Permohonan ampunan; dan 8).Kerendah-hatian seorang hamba kepada Allah sebagai al-Khaliq.<br />
Karenanya, dalam rangka mengimplementasikan ke-8 kandungan dari sayyidul istighfar itu. Hendaknya seorang muslim, benar-benar harus menjahui beberapa sikap mental dan perilaku, sebagai berikut: 1).Jangan terlalu sedih; 2).Hindari pikiran galau; 3).Buanglah rasa gelisah; 4).Jangan hiraukan kemiskinan; 5).Jangan mengingkari nikmat-Nya dan keberadaan-Nya; 6).Perut jangan terlalu lapar; 7).Jangan berlaku khianat; 8).Hindarkan diri dari perilaku dlalim; 9).Tinggalkan perilaku sombong, riya`, dan mencari populeritas; dan 10).Tinggalkan ilmu yang tidak manfaat.<br />
Bagi seorang muslim, prinsip akidah,<br />
<br />
بِسْمِ اللهِ، وَأَسْلَمْتُ ِللهِ، لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، حَسْبِي رَبِّي جَلَّ اللهِ، مَا فِي قَلْبِي غَيْرُ اللهِ<br />
"Dengan nama Allah. Aku berserah diri kepada Allah. Tiada daya dan upaya, kecuali dengan pertolongan-Nya. Cukup bagiku Rabb-ku yang Maha-agung. Dan tidak ada yang boleh tinggal di dalam hatiku, selain Allah". <br />
<br />
Hal ini merupakan pencerminan dari firman-Nya,<br />
<br />
"Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung" (Qs.Ali Imrân [3]: 173).<br />
<br />
Karenanya, marilah kita bersegera untuk berbenah diri guna menjadi manusia sukses sajati. Seperti mereka para pendahulu kita. Yang telah dengan bagus lagi lurus telah mampu memberikan keteladanan kepada kita semua. <br />
Perilaku rendah hati akan mengantarkan pemiliknya berderajat mulia, baik di dunia terlebih kelak di akhirat. Perilaku rendah hati akan menjadikan seorang muslim, telah dianggap menjalankan agamanya. Sebab, perilaku rendah hati merupakan perilaku para nabi, para wali, dan para manusia suci. Sekarang inilah saatnya kita untuk menirunya guna mengikuti jejaknya. []<br />
<br />
Ikhlas<br />
<br />
Sikap Mental Ikhlas, adalah sebuah sikap mental seorang hamba yang memurnikan segenap aktifitasnya di dalam melakukan pengabdian kepada Allah azza wa jalla. Sebab, sangat diyakini lagi diimani bahwa segala perbuatan yang dilakukan seorang hamba di dunia ini, apabila tidak didasarkan secara murni terhadap-Nya, maka tertolak dan sia-sialah perbuatan tersebut. <br />
Karenanya, segenap perbuatan manusia yang mengingkari eksistensi Allah swt menjadi tertolak di sisi-Nya. Dan, hidup mereka pun sia-sia lagi merugi, sebab mereka telah mengingkari atas apa yang telah menjadi ketetapan-Nya yang telah menciptakan mereka.<br />
Memang jalan pikiran manusia pengingkar itu sungguh sesat. Di mana mereka tidak menyadari bahwa keberadaaan mereka pun karena kehendak-Nya. Sungguh sebuah logika kesesatan yang telah mereka coba tawarkan buat orang lain yang hendak mengikuti jejak mereka. <br />
Namun bagi kaum muslimin mukmin, logika pemikiran mereka tidak akan pernah dapat mempengaruhinya. Disebabkan, imunisasi keimanan dan daya tahan ketaslimannya akan mampu mengatasi gejolak jiwanya, yang telah berada dalam bingkai kerahmatan yang mendapatkan ridla-Nya.<br />
Hal itu dikarenakan, kaum muslimin mukmin selalu berpegang teguh dengan al-qur`an, sebagai wahyu yang paling otentik yang telah memberikan pewartaan atas segenap kehendak-Nya yang wajib diketahui oleh umat manusia. Tidak lain tujuan pewartaan itu, supaya manusia hidup dalam kebahagiaan yang hakiki dalam kebersamaan yang diridlai-Nya. <br />
Seorang muslim mukmin akan senantiasa menyadari dan tercerahkan dengan firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Dan, sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada [nabi-nabi] yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan [Tuhan], niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur"." (Qs.az-Zumar: 65-66).<br />
<br />
Berdasarkan ayat di atas, betapa ruginya jika seorang hamba itu dalam beramal tidak murni diniatkan atau disandarkan hanya kepada-Nya. Amalannya pasti tertolak dan tidak diterima-Nya. <br />
Karenanya, seorang muslim mukmin di setiap aktifitas amaliah (termasuk dalam ibadahnya) benar-benar harus memposisikan dirinya, agar terbebas dari rasa riya` (pamer) dan sum'ah (mencari populeritas). Inilah karunia yang agung dibandingkan sebuah kesaktian yang membuat orang lain mengaguminya. <br />
Dalam sebuah hadis yang sangat populer, Rasulullah saw telah memperingatkan kita dengan sabdanya yang mulia,<br />
<br />
"Barangsiapa yang bersifat riya`. Maka, Allah akan berbuat riya` kepadanya. Dan, barangsiapa yang bersifat sum'ah. Maka, Allah akan bersikap sum'ah kepadanya" (Hr.Bukhari & Muslim; dari sahabat Jundub bin Abdullah bin Abu Sufyan & dari sahabat Abdullah bin Abbas ra).<br />
<br />
Ikhlas Itu Karunia-Nya <br />
Ikhlas, sungguh sebuah perilaku bathin dan sekaligus ibadah bathin yang dalam pelaksanaannya sangatlah berat. Hanya Allah-lah yang dapat menolong hamba-Nya untuk dapat berlaku ikhlas. <br />
Ikhlas benar-benar sebuah karunia yang agung bagi seorang hamba yang di kehidupannya benar-benar memperjuangkannya, lalu Allah azza wa jalla menganugerahinya. <br />
Karenanya, syaikh kami (Syaikh Asfani Toha ar-Rimbani ra, red) memberikan tips yang sangat mudah, agar di kehidupan kita ini dianugerahi sikap mental ikhlas. Yaitu, "berkumpul dengan para hamba Allah yang telah berperilaku ikhlas". Perilaku ikhlas itu ditandai dengan perilaku hidup saben harinya di kalangan mereka, yakni "sepi ing pamrih rame ing gawe". <br />
Sama sekali di kehidupan mereka tidak lagi menghendaki pamer dan mencari populeritas. Mereka tidak menginginkan harta benda, kedudukan, penghargaan, dan pengakuan. Hidup mereka apa adanya, laksana "air mengalir". <br />
Memang sangat berat, namun merupakan kebahagiaan jika kita telah dipilih-Nya untuk menjadi hamba yang ikhlas (mukhlîsh).<br />
<br />
• • <br />
"Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih [dari syirik]. Dan, orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah [berkata], "Kami tidak menyembah mereka [perantara] melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar" (Qs.az-Zumar: 3).<br />
<br />
Perilaku Ikhlas Pilihan Mukmin<br />
Betapa ruginya jika hidup di dunia yang sebentar ini, kita memilih berperilaku syirik terhadap-Nya. Dan, jika kita termasuk seorang hamba yang cerdas otomatis akan memilih menjadi orang yang ikhlas. Bahkan, berjuang sekuat tenaga untuk memperoleh anugerah yang agung tersebut. Dikarenakan, tidak semua hamba-Nya dipilih-Nya untuk menerima dan memiliki sikap mental ikhlas itu. <br />
Sungguh sebuah perjuangan yang membutuhkan kesabaran dan keajegan, agar kita dipilih-Nya untuk mendapatkan derajat al-mukhlishîn. Sebagaimana dalam hal ini Allah telah memerintahkan kepada kita supaya memiliki sikap mental ikhlas tersebut, yang telah dinyatakan-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam [menjalankan] agama yang lurus. Dan, supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus" (Qs.a-Bayyinah: 5).<br />
<br />
Adalah, Syaikh Muhammad Fadlullah az-Zamani, selalu ketakutan kepada Allah swt setiap kali hendak berkhutbah dan menyampaikan tausiahnya kepada kaum muslimin. <br />
Disebabkan, ia takut jika amaliah itu nantinya tidak ikhlas dan tertolak di sisi-Nya, sehingga ia akan menjadi hamba yang merugi kelak di akhirat. <br />
Tidak hanya itu, setiap kali ia mau menuliskan makalah atau buku, ia selalu mengawalinya dengan wudlu. Ia sangat khawatir dalam menulisnya tidak ikhlas. Sehingga amaliahnya tertolak di sisi-Nya.<br />
Demikianlah, sebuah tindakan kehati-hatian, agar diri dan jiwanya tidak terjerembab kepada suatu amaliah yang menyesatkan. Di mana disangkakan amaliahnya diterima oleh Allah azza wa jalla, ternyata amaliahnya termasuk yang ditolak-Nya. Sungguh sebuah kerugian dan penderitaan yang tiada tara bagi kehidupan seorang hamba, baik di dunia terlebih setelah kehidupan di akhiratnya kelak.<br />
Hamba Allah, seperti Syaikh Muhammad Fadlullah az-Zamani, benar-benar mengimani segenap petunjuk-Nya dan petunjuk Rasulullah saw. Seperti yang telah disabdakannya,<br />
<br />
"Sesungguhnya Allah berfirman kepada orang-orang yang berbuat riya`. Tatkala seluruh hamba mempertanggung-jawabkan setiap amal perbuatannya masing-masing, "Pergilah kalian kepada orang-orang yang kamu berbuat riya` kepadanya dalam setiap amal perbuatanmu di dunia. Maka, lihatlah, apakah kamu mendapatkan pahala darinya”." (Hr.Ahmad).<br />
<br />
Adalah, al-Imam Ibnu Sirin ra pernah diminta warga kampungnya untuk menjadi tokoh agama. Di mana masyarakat mengendaki supaya Ibnu Sirin menjadi imam shalat, "Wahai tuan, marilah shalat bersama kami." <br />
Ibnu Sirin menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan shalat bersama kalian. Aku takut kalau aku melakukan shalat bersama kalian, orang-orang akan beranjak, seraya berkata, "Wahai Ibnu Sirin shalat bersama kami." <br />
Ibnu Sirin tidak mau untuk melakukan shalat bersama mereka, karena takut namanya akan menjadi terkenal.<br />
Dikisahkan, al-Imam Ibrahim an-Nakha`i ra, apabila ia duduk bersama empat orang atau lebih. Maka, ia akan cepat berdiri dan meninggalkan kerumunan itu. Seraya berkata, "Aku takut, kalau-kalau banyak orang nanti mengerumuni aku."<br />
Juga, Imam Abu Ishaq asy-Syirazi ra, salah seorang dari madzab syafi'i yang hidup pada abad ke-5 hijriah. <br />
Setiap kali dia hendak mengucapkan kata-kata atau memberikan pelajaran. Dia senantiasa mengawalinya dengan shalat sunnah dua rakaat, dan berdoa semoga amalnya diterima-Nya.<br />
Dan, tak kalah wira'i-nya, yaitu Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi ra, jika hendak berceramah di depan masyarakat. Dia terlebih dahulu membenamkan mukanya di tanah. Lalu, ia menangis ketakutan, seraya berguman, "Wahai Rabb-ku, hapuslah kesalahanku dan terimalah amalku."<br />
<br />
Inilah Ciri Kita<br />
Ciri seorang ahlus sunnah wal jama'ah adalah sikap mental ikhlas-nya. Mengerjakan apa saja selalu disandarkan kepada-Nya. Tidak mengharapkan apa pun melainkan mendapatkan keridlaan-Nya. <br />
Keikhlasan telah menjadi keyakinan hidupnya, bahwa seorang hamba Allah akan menjadi bahagia, mulia, dan penuh keutamaan manakala di dalam dirinya telah tertanam sikap mental ikhlas. Baginya dirinya akan mendapatkan sebuah kemerdekaan yang hakiki di kehidupan ini, jika di kehidupan kesehariannya ia telah berperilaku dengan ikhlas.<br />
<br />
Hanya Mengharap Pahala-Nya<br />
Sikap mental ikhlas itu, adalah jika kita hanya mengharapkan mendapatkan ridla-Nya. Tidak bergantung kepada sesuatu makhluk-Nya. Sehingga bagi seorang mukhlis, tidak penting lagi perbuatannya itu dilakukan di tengah-tengah keramaian makhluk maupun dalam kesendiriannya. <br />
Menunaikan shalat jama'ah terasa dalam keadaan sendirian. Sebaliknya, menunaikan shalat sendirian terasa diawasi oleh banyak mata.<br />
Dalam setiap aktifitas, termasuk aktifitas ibadahnya, seorang mukhlis hanya berharap apa-apa yang telah dilakukan, yang sedang dilakukan, dan yang akan dilakukan diterima-Nya. Dan, di dalam dirinya terbebas dari sikap pamer (riyâ`) dan mencari populeristas (sum'ah).<br />
Sikap mental ikhlas akan membuahkan segenap budi pekerti yang mulia (akhlâqul karîmah) dan tatakrama yang terpilih (adâbul musthafawiah). Dan, untuk memiliki tidak cukup hanya banyak mempelajarinya, atau membahasnya. Akan tetapi sikap mental ikhlas harus dilatih dan terus dilakukan. <br />
Tanpa banyak praktek dan kerja keras untuk mengamalkannya, mustahil kita akan memiliki sikap mental ikhlas. Dikarenakan, semakin dunia mendekati Hari Kiamat, setan dan iblis semakin berpengalaman untuk menaklukkan kaum muslimin mukmin. <br />
Mereka tidak pernah mati. Sementara, ulama ahli khusyuk hampir setiap saat sudah banyak yang wafat, dan Allah swt tidak pernah menggantinya. Sebab, memang Allah telah mengambilnya satu per satu. <br />
Adapun orang medern dan kaum muta'akhirin sangat malas mempelajari ilmu khusyuk. Praktis mereka pasti dengan mudah akan dapat dikalahkan dengan setan dan iblis. <br />
Rupa-rupanya peradaban modern memang telah di-setting oleh Barat dan zionisme, agar sikap mental ikhlas benar-benar jauh dari kehidupan keseharian umat Islam (Ahmad Syalabi: 2006).<br />
Guna mendapatkan sikap mental ikhlas. Di samping kita harus sesering mungkin berkumpul dengan kaum mukhlisin, marilah renungkan juga sabda Nabi saw,<br />
<br />
"Orang yang pertama kali dijilat oleh api neraka, ada 3 golongan manusia. Yaitu: Pertama, adalah orang yang membaca al-qur`an. Allah bertanya kepadanya, "Aku telah membacakan al-qur`an kepadamu, dan Aku telah mengajarkan ilmu kepadamu. Lalu, apa yang kamu perbuat dengannya?"<br />
Dia menjawab, "Wahai Rabb-ku, saya telah mengajari orang-orang bodoh."<br />
Allah menjawab,"Kamu berbohong." Malaikat juga akan memberikan kesaksian, mereka menjawab, "Kamu berbohong."<br />
Kemudian, Allah swt berfirman kepada orang tersebut, "Sesungguhnya kamu menuntut ilmu supaya kamu dikatakan sebagai orang pandai, dan kamu sudah memperolehnya. Seretlah orang ini ke dalam api neraka." Lalu, dia pun digiring ke dalam api neraka. Begitu juga dengan orang kaya dan pemberani yang tidak ikhlas dalam melakukan setiap aktifitasnya" (Hr.Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi). <br />
<br />
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya tersebut di atas. Dan, bersegeralah untuk berbenah diri guna menjadi manusia berbahagia di dunia dan di akhirat, seperti mereka yang telah mendahului kita; as-sâbiqunal awwalûn. Dengan suatu keyakinan, "Bersikap mental ikhlas tidak akan sedikit pun merugikan seorang manusia. Tinggalkanlah segera berperilaku pura-pura, suka pamer, dan mencari populeritas dalam beragama. Sebab, hal itu akan merugikan diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat kelak". <br />
Dengan meredesain dan merekonstruksi diri dan kepribadian kita menjadi seorang mukhlisin. Maka, kita akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa uswah li Rasulullah, insya Allah. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Uswah Li Rasulillâh<br />
<br />
Uswah Li Rasulillâh, adalah menjadikan Rasulullah saw sebagai sentral figur yang ditokohkan, diteladani, dipatuhi, dan diikuti segenap perikehidupannya; dikarenakan sangat meyakini lagi mengimani bahwa segenap apa yang telah dirisalahkan kepadanya akan menjadikan seorang muslim memperoleh kebahagiaan yang hakiki di dunia maupun di akhirat kelak. <br />
Bahkan, uswah li Rasulillâh itu juga diejawantahkan dengan rasa cintanya kepada Nabi saw melebihi cintanya terhadap dirinya sendiri, keluarga, dan dunia seisinya. Secara prinsipil uswah li Rasulillâh, yakni menjadikan Nabi saw sebagai hakim agung di kehidupan ini, yang secara khusus telah mendapatkan mandat tugas dari Allah azza wa jalla. Sebagaimana dinyatakan-Nya,<br />
<br />
<br />
"Maka, demi Rabb-mu, mereka [pada hakekatnya] tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. Lalu, mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (Qs.an-Nisâ`: 65).<br />
<br />
Nabi Muhammad Itu Idola Kita<br />
Idola seorang muslim di kehidupannya, adalah Rasulullah saw. Sebab, rasa cintanya kepada Rasulullah saw akan mampu melahirkan banyak keutamaan di kehidupan kesehariannya. Itulah rahmat yang agung bagi seorang muslim, jika di kehidupan dirinya dikaruniai-Nya mampu mencintai Nabi saw. Dan, memang telah disabdakannya, bahwa "Seseorang itu [di surga] bersama orang yang sangat dicintainya"; al-mar'u ma'a man ahabba. <br />
Inilah dasar teologis, mengapa seorang mukmin begitu sangat mendalamnya cintanya kepada Nabi saw. Bahkan, ukuran cintanya dapat melebihi cintanya kepada: diri, keluarga, dan dunia seisinya. Dan, itu pula yang pernah diteladankan dalam atsar sahabat beliau, yang begitu sangat mendalam cintanya kepada Rasulullah saw.<br />
Di mana mereka, para sahabat Nabi saw, tetap teguh memegang bai'at (janji) keislamannya, meski harus menghadapi berbagai kesulitan, penderitaan, ancaman, teror, malah tidak sedikit yang harus mengurbankan harta benda dan nyawanya sekali pun. Demikianlah, betapa kuat dan kokohnya keimanan mereka dan kecintaannya terhadap Nabi saw. Padahal di awal sekali perjuangan, jumlahnya sangat sedikit, kelompok yang lemah, sebagian besar adalah orang-orang miskin lagi tertindas. Meskipun begitu mereka tetap saja mencintai Rasulullah saw.<br />
Di sebagian mereka pernah ada yang dikucilkan, diembargo ekonominya, dicemarkan nama baiknya, dihina martabatnya, diejek kehormatannya di muka umum, diusir dari kampung halamannya, disiksa, dan dibunuh. Namun demikian, kondisi yang tidak menguntungkan itu tidak mengurangi sedikitpun kecintaan mereka terhadap Nabi saw.<br />
Ada juga dari mereka yang dijemur di tengah panasnya terik matahari, dikurung dalam penjara bawah tanah, dan disiksa di luar batas kemanusiaan. Tapi, cinta mereka kepada Nabi saw justru semakin kuat dan mantap.<br />
Dan, masih banyak lagi yang lain, bentuk-bentuk kekerasan fisik yang dialami para sahabat Nabi saw. Sekali lagi, justru dengan kekerasan fisik yang semakin menjadi-jadi yang telah dilakukan oleh orang-orang kafir terhadap kaum muslimin mukmin. Justru semakin menjadikan keimanan dan kecintaannya terhadap Nabi saw semakin tak tergoyahkan. <br />
Efek yang didapatkan dari kekerasan fisik, umat Islam jumlahnya semakin banyak. Pengikut Nabi saw semakin bertambah. Sebab, orang-orang quraisy yang masih memiliki hati nurani semakin berkeyakinan, bahwa ajaran Nabi-lah yang benar. Dikarenakan, menghadapi kekerasan dan bentuk provokasi apa pun Nabi saw dan kaum muslimin, malah merespeknya dengan senyuman dan kasih-sayang. Inilah rahmat yang telah ditebarkan Nabi saw beserta para sahabatnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat jahiliah yang paganis; Makkah.<br />
Karenanya, Allah swt dalam firman-Nya mengabadikan keberadaan Nabi saw sebagai <br />
"penebar rahmat" di kehidupan ini.<br />
<br />
<br />
"Dan, tidaklah Kami mengutus kamu [Muhammad], melainkan untuk [menjadi] rahmat bagi semesta alam" (Qs.al-Anbiya`: 107).<br />
<br />
Oleh Allah azza wa jalla, Rasulullah saw didesain menjadi sosok manusia paripurna, yang sangat layak diteladani dan dijadikan sandaran budi pekerti dan tatakrama di kehidupan ini. Sebab, beliau merupakan sosok al-qur`an berjalan. Dengan kata lain, beliau adalah "manusia surga" yang diutus-Nya untuk memberikan pencerahan di kehidupan dunia yang semrawut ini. Karenanya, segenap apa yang diemban dan disampaikannya benar-benar sebuah kelurusan, kesederhanaan, dan kebahagiaan yang hakiki. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Dan, demikianlah Kami wahyukan kepadamu [Muhammad] wahyu [al-qur`an] dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-kitab [al-qur`an] dan tidak pula mengetahui apakah iman itu. Tetapi Kami menjadikan al-qur`an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan, sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus" (Qs.asy-Syûra: 52).<br />
<br />
Karenanya, hanya menusia yang dungu lagi bebal, jikalau mereka tidak mau menjadikan al-qur`an, Rasulullah saw, dan Neraca Syariat sebagai way of life yang diidolakannya. Sebagaimana telah dijaminkan-Nya,<br />
<br />
<br />
"Dengan kitab itulah [al-qur`an] Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridlaan-Nya ke jalan keselamatan. Dan, [dengan kitab itu pula] Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seijin-Nya. Dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus" (Qs.al-Ma`idah: 16).<br />
<br />
Sungguh betapa bahagianya, seorang manusia yang sangat beruntung yang hidup sejaman dengan Nabi saw, dan dia ditakdirkan dapat mengimani dan mencintainya. Namun kata Nabi saw, tak kalah menariknya, yang mana buat seorang manusia yang hidup tidak sejaman dengan beliau, tapi iman dan mencintainya.<br />
Inilah tantangan, yang sekaligus merupakan peluang bagi kita untuk membuktikan, bahwa di dalam diri kita telah berkobar rasa cinta dan menghendaki agar beliau mencintai kita. Dan, untuk membuktikan sikap kita itu tidak ada cara lain, kecuali mari kita terima dengan lapang dada, ridla, dan penuh rasa cinta, bahwa apa-apa yang diserukannya kita ikuti, lalu kita merubahnya menurut apa yang telah menjadi garis tegas Naraca Syariat-nya. Sebagai firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan rasul [Muhammad], apabila rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya. Dan, sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan" (Qs.al-Anfâl: 24).<br />
<br />
Dan, lebih jelas Allah swt juga menegaskan dalam firman-Nya,<br />
<br />
<br />
• • <br />
"Apa yang diberikan rasul kepada kalian. Maka, terimalah. Dan, apa yang dilarangnya bagi kalian. Maka, tinggalkanlah. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya" (Qs.al-Hasyr: 7).<br />
<br />
Karenanya, prinsip yang harus ada, dan wajib dimiliki oleh setiap kaum muslimin mukmin, adalah bahwa Rasulullah saw telah menyelamatkan dari kehidupan kita. Tanpa eksistensinya, kita akan menjadi manusia tersesat, yang keberadaannya pasti lebih rendah ketimbang binatang. Inilah dasar kita untuk menjadikan dirinya sebagai idola kita. Sebab, dalam diri Nabi saw tidak ada kesalahan, dan segenap akhlak dan adabnya telah teruji serta telah mendapatkan ridla-Nya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Dan, berpeganglah kamu semuanya kepada tali [agama] Allah. Dan, janganlah kamu bercerai-berai. Dan, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu [masa jahiliah] bermusuh-musuhan. Maka, Allah mempersatukan hati kalian. Lalu, menjadilah kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya [Nabi Muhammad]. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk" (Qs.Ali Imrân: 103).<br />
<br />
Karenanya, tidak ada uswah li Rasulillâh yang sesungguhnya, tanpa dengan kuatnya persatuan dan kesatuan di antara kaum muslimin mukmin. Hanya dengan persatuan dan kesatuan saja, kaum muslimin mukmin akan mampu mewujudkan uswah li Rasulillâh di kehidupannya. Dan, hanya orang-orang yang terpilih saja yang dapat menjadikan uswah li Rasulillâh sebagai prinsip kehidupannya. Sebagaimana telah difirmankan-Nya,<br />
<br />
<br />
"Sesungguhnya telah ada pada [diri] Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, [yaitu] bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] Hari Kiamat. Dan, dia banyak menyebut Allah" (Qs.al-Ahzâb: 21).<br />
<br />
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya tersebut di atas. Dan, persiapkanlah segera diri kita, guna menjadi manusia bahagia di dunia dan di akhirat, seperti mereka yang telah mendahului kita; as-sâbiqunal awwalûn minal mu`minîna wal mu`minât. Dengan suatu keyakinan, "Peneladanan dan pengidolaan atas diri dan perikehidupan Rasulullah saw, akan mampu merubah kepribadian seorang manusia menjadi terberkahi, tercerahkan, dan teridlai di dunia; terlebih kelak di sisi-Nya". <br />
Dengan meredesain dan merekonstruksi diri dan kepribadian kita menjadi seorang pengikut Nabi saw (muttabi' li Rasulillâh). Maka, kita akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa hub wa gadhab fil-lâh, insya Allah. []<br />
<br />
<br />
Cinta & Benci Karena Allah<br />
<br />
Hub wa ghadlab fillâh (cinta & benci karena Allah), adalah sikap mental seorang muslim mukmin yang mencintai orang lain dan membencinya semata karena Allah azza wa jalla. <br />
Di kehidupan kesehariannya, seseorang yang telah memiliki perilaku hub wa ghadlab fillâh, tidak segan dan ragu untuk menyampaikan kebenaran. Dikarenakan, dirinya tidak mempunyai kepentingan (interest) tertentu. Sehingga ketika dia harus membencinya, maka sama pula di saat dia harus mencintainya. Yaitu, semata hanya disandarkan kepada-Nya dan karena-Nya.<br />
Seorang muslim mukmin harus sadar benar, bahwa eksistensi di dunia telah diridlai-Nya. Karenanya, di kehidupan sosial ini sesama muslim, atau sesama mukmin haruslah membangun jaringan persaudaraan yang kokoh lagi kuat, yang hanya disandarkan pada persaudaraan imani (ukhuwah imaniah). Sebagaimana telah digambarkan-Nya di kedua firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Dan, Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka. Sedangkan mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan" (Qs.al-Hijr: 47).<br />
<br />
• <br />
"Dan, orang-orang yang datang sesudah mereka [Muhajirin dan & Anshor], mereka berdoa, "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Mahapenyantun lagi Mahapenyayang." (Qs.al-Hasyr: 47).<br />
<br />
Cinta yang dibangun adalah cinta sebagai sesama komunitas yang mengimani Allah swt. Sebaliknya, harus berani dan segera mengingkari kepada siapa pun yang telah berani mengingkari-Nya. <br />
Oleh sebab itu di dalam al-qur`an dinyatakan-Nya, bahwa sesama mukmin itu adalah saling menolong, bukan saling berkhianat. Sebagaimana telah difirmankan-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman: [yaitu, orang-orang] yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka tunduk [kepada Allah]" (Qs.al-Mâ`idah 55).<br />
<br />
• • <br />
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka [kecurigaan]. Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang" (Qs.al-Hujurât: 12).<br />
<br />
Sementara, parameter seorang pecinta dari komunitas yang berkeimanan itu adalah: mendirikan shalat, menunaikan zakat, hanya tunduk lagi patuh dengan Allah jalla jalâluh, tidak su'udhan dengan sesama mukmin, tidak ghibah terhadap sesama muslim, dan bertakwa kepada Allah swt. Karenanya, Rasulullah saw pernah bersabda,<br />
<br />
"Barangsiapa yang cinta karena Allah, benci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi juga karena Allah. Maka, sungguh keimanannya sudah sempurna" (Hr.Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah; bi isnadi shahîh).<br />
<br />
<br />
Manusia Pecinta, Imannya Sempurna<br />
Seorang manusia pecinta dalam hidup kesehariannya telah dianugerahi-Nya mampu mengimplementasikan cintanya hanya dengan Allah azza wa jalla. <br />
Betapa beratnya sikap mental dan perilaku yang mendasarkan segenap aktifitasnya kesehariannya, semata karena-Nya. Tapi itulah sebuah anugerah yang agung, jika seorang hamba telah mampu mengimplementasikan rasa cintanya kepada apa pun dan siapa pun di kehidupannya hanya disandarkan terhadap-Nya. Dan, di samping Nabi saw, seseorang muslim yang telah mampu melakukan perbuatan tersebut, telah dinyatakan, "Keimanannya sudah sempurna." Demikianlah, keimanan para hamba yang telah dipilih-Nya.<br />
Karenanya, tidak akan kecewa berteman dengan sesama mukmin, disebabkan karena ketakwaannya kepada Allah swt. Hanya seorang muttaqin yang layak untuk dijadikan teman, kolega, keluarga, dan pemimpin kita. Selain dari orang yang bertakwa, maka suatu saat pasti akan menjadi para musuh-musuh yang saling berkhianat. Sebagaimana dinyatakan,<br />
<br />
<br />
"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa" (Qs.az-Zukhrûf: 67).<br />
<br />
Sudah teruji oleh waktu di sepanjang sejarah umat manusia, bahwa hanya manusia yang bertakwa sajalah yang dapat dipercaya di kehidupan ini. Untuk itu kaum muslimin harus segera menyadari di kehidupan dunia ini, lebih banyak komunitas dari golongan pengingkar ketimbang komunitas yang berkeimanan lagi berketakwaan terhadap Allah azza wa jalla.<br />
Oleh sebab itu seorang muslim jangan sampai salah pilih di dalam membuat jaringan sosial kehidupannya. Termasuk di antaranya di dalam kehidupan kesehariannya yang paling sederhana sekali pun, seperti: memilih jodoh; mengambil menantu; memilih pemimpin; dan memilih wakil rakyat; serta di setiap aktifitas kehidupannya. <br />
Dasar dari pemilihan, penerimaan, atau tidak suka kita harus didasarkan hanya karena Allah swt. Tidak boleh karena like and dislike. Apalagi sampai pada perilaku mencari-cari kesalahan orang lain. Atau, menjadikan orang lain kambing hitam dalam menyelesaikan persoalannya. Seorang muslim tidak boleh melakukan perbuatan tercela tersebut. Sebaliknya, semua penyelesaian problematika hidup dan kehidupan seorang muslim harus dikembalikan kepada-Nya, bukan kepada yang lain. <br />
<br />
Bahagianya Hanya Bergantung Kepada-Nya<br />
Hanya seorang hamba yang bergantung dengan Allah azza wa jalla, yang di kehidupan kesehariannya dapat menerapkan sikap mental dan perilaku hub wa ghadlab fillâh. <br />
Sebab, hanya orang-orang yang mencari ridla-Nya saja yang mampu bergantung terhadap-Nya. Di sinilah keimanan dan ketakwaan seorang hamba menjadi teruji. Benarkah dirinya termasuk yang sungguh-sungguh mengimani dan bertakwa kepada Allah swt, atau sekadar hanya main-main saja dengan kata-kata iman dan takwa, seperti yang marak dipraktekkan di negeri ini. <br />
Disebabkan, Allah swt pasti akan menguji keteguhan dan kesungguhannya di dalam berpengabdian kepada-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,<br />
<br />
•• • • <br />
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan [saja] mengatakan, "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan, sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka. Maka, sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar, dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta" (Qs.al-Ankabût: 2-3).<br />
<br />
Sebagai bukti yang terdapat di sekitar hidup kita sehari-hari, mari bertanya kepada diri kita masing-masing, "Sudahkah kita menekuni habits shalat wajib berjamaah di tempat-tempat publik keberagamaan kaum muslimin, seperti: mushalla, langgar, surau, dan masjid?" <br />
Dan, jika jawabannya sudah, maka pertanyakan kembali pada diri kita, "Sudahkah kita CC (commitment & consistent) dengan shalat subuh berjamaah di tempat-tempat keberagamaan publik kaum muslimin?" Jika belum, jawabannya. <br />
Maka, segera mengimani hadis shahih Nabi saw yang berbunyi,<br />
<br />
إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ على المنافقين صلاةَ الْعِشَاءِ وصلاةَ الْفَجْرِ، وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِيْهِمَا َلأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً، ولقدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ النَّاسَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامُ، ثمّ آمُرَ رَجُلاً فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ، ثمّ إِنْطَلَقَ مَعِيَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حَزِمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَيَشْهَدُوْنَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ بِالنَّارِ<br />
"Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik, adalah shalat isya` dan subuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya sekali pun dengan merangkak. Sungguh aku ingin menyuruh melaksanakan shalat. Lalu, shalat itu ditegakkan. Kamudian, aku perintahkan orang lain untuk shalat bersama dengan orang-orang. Kamudian, beberapa lelaki berangkat bersamaku dengan membawa kayu yang terikat, mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat berjamaah, sehingga aku bakar rumah mereka" (Hr.Bukhari & Muslim; dari sahabat Abu Hurairah ra).<br />
<br />
Jadi, berdasarkan teks hadis di atas, seorang muslim yang belum menjadikan shalat jamaah isya` dan subuh di lembaga keberagamaan publik kaum muslimin. Maka, mereka masih memiliki sifat kemunafikan. Karenanya, Nabi saw sampai membakar rumah mereka yang dengan sengaja meninggalkan jamaah shalat tersebut.<br />
Bagaimana dengan kita, yang sekarang ini telah nyata-nyata membuat tempat-tempat keberagamaan publik kaum muslimin kosong dari shalat jamaah isya` dan subuh? <br />
Padahal banyak masjid dibangun dan dibuat sebagus dan seindah mungkin. Konon di sebagian komunitas muslim ada yang bangga karena pembangunan masjidnya menelan sejumlah dana yang cukup fantastis!? <br />
Bahkan, yang sangat memalukan, guna mencari dana pembangunan masjid, sampai-sampai meminta-minta uang di tengah jalan, yang secara nyata hal itu sangat bertentangan dengan Neraca Syariat! <br />
Ini salah satu contoh, bahwa keimanan dan ketakwaan kita belumlah teruji dengan tangguh. Itu artinya, bahwa kita belum mampu mengelola kepribadian kita dengan "mental juara". Sebaliknya, yang masih melekat adalah sikap mental malas, dan cenderung dihinggapi penyakit hati, seperti: malas, khianat, dan hipokrit (munafik). <br />
Jika kita sudah mengenali penyakit hati yang terdapat dalam jiwa kita masing-masing. Maka, bersegeralah melakukan pembenahan dan pengelolaan dengan sebaik-baiknya. <br />
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya tersebut di atas. Dan, persiapkanlah segera diri kita, guna menjadi manusia bahagia di dunia dan di akhirat, seperti mereka yang telah mendahului kita; as-sâbiqunal awwalûn minal mu`minîna wal mu`minât. Dengan suatu keyakinan, "Membiasakan cinta dan marah karena Allah, akan menjadikan diri dan kepribadian kita merdeka dan berkemandirian. Di samping secara nyata kita akan berani menegakkan amar makruf nahi munkar. Dikarenakan kita hanya bergantung dengan Allah azza wa jalla". <br />
Dengan meredesain dan merekonstruksi diri dan kepribadian kita untuk memiliki sikap mental dan perilaku (hub wa ghadlab fillâh). Maka, kita akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa qalban salîman, insya Allah. []<br />
<br />
Qalban Salîman<br />
<br />
Qalban Salîman, adalah suatu kondisi hati seorang hamba yang dianugerahi selamat lagi sejahtera oleh-Nya, sehingga berpengaruh langsung secara positif dan berkemanfaatan terhadap kesucian ruh, kesehatan hati, kestabilan jiwa, dan kesehatan raga. Dengan kata lain, seorang hamba Allah yang telah dianugerahi qalban Salîman, maka di kehidupan kesehariannya dia akan memiliki karunia yang berupa keseimbangan, keserasian, dan kemanfaatan hidup secara dhahir dan bathin.<br />
Karenanya, hampir setiap kaum muslimin senantiasa menghendaki dikaruniai qalban salîman oleh-Nya. Demikianlah, para nabiullah dan rasulullah pun juga menghendaki qalban Salîman. Sebab, kondisi ruhaniah hati seorang hamba yang telah dianugerahi-Nya qalban Salîman, akan terikat kuat dengan sikap mental dan perilaku shalih. <br />
Dan, di kehidupan seorang hamba yang beriman kepada-Nya, yang dikehendakinya adalah menjadi hamba-Nya yang shalih (atau shalihah). Dari sinilah dasar pemikiran Syaikh Muhammad Fadldlullah az-Zamani di dalam tawajuh dan doanya senantiasa mengucapkan,<br />
<br />
رَبَّنَا هَبْلَنَا قَلْبًا سَلِيْمًا وَأَلْحِقْنَا بِالصَّالِحِيْنَ<br />
"Wahai Rabb kami, anugerahilah kami qalban Salîman, dan golongkanlah kami dengan para hamba Mu yang shalih."<br />
<br />
Qalban Salîman merupakan sebuah kondisi produktif yang dimiliki oleh seseorang yang telah berkeimanan kepada-Nya. Dan, sesuatu yang sulit untuk dicapainya jika seorang manusia itu masih suka menuruti hawa nafsunya. Sekali pun dirinya itu seorang muslim. Dikarenakan ia tidak pernah bersungguh-sungguh dalam berdinul Islam secara benar lagi berkeseimbangan (kaffah). Maka, mustahil seseorang itu dapat memiliki qalban Salîman. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya dalam firman-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Lalu, Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat [peraturan] dari urusan [agama itu]. Maka, ikutilah syariat itu, dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui" (Qs.al-Jâtsiah: 18).<br />
<br />
Berdasarkan ayat di atas, kata kunci agar dianugerahi qalban Salîman, adalah CC-nya dengan Neraca Syariat dan meninggalkan segenap kehendak hawa nafsu. Hal ini mengisyaratkan, bahwa seorang muslim mukmin di kehidupan kesehariannya haruslah terikat secara kuat, di samping harus mengikatkan diri dengan nyata terhadap Neraca Syariat. Dikarenakan, tanpa mengikat atau terikat dengan Neraca Syariat, secara otomatis manusia itu akan ditarik oleh kekuatan nafsu syahwatnya yang berkecenderungan merusak lagi menyesatkannya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,<br />
<br />
• <br />
"…dan, janganlah kamu [Dawud] mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan" (Qs.Shâd: 26).<br />
<br />
Sudah dapat dipastikan jika seseorang itu sesat jalan hidupnya, sungguh dia hatinya tidak dianugerahi-Nya qalban Salîman. Karenanya, oleh Allah swt, seseorang yang tidak memiliki kondisi hati qalban Salîman dia diserupakan dengan binatang. Sebagaimana telah difirmankan-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka, apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau, apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya [dari binatang ternak itu]" (Qs.al-Furqân: 43-44).<br />
<br />
<br />
7 Habits Qalban Salîman<br />
Karena untuk memiliki qalban salîman itu sangat sulit lagi berat. Sementara, keberadaannya itu sangatlah penting buat kita. Maka, di kalangan ulama memberikan beberapa habits, yang --insya Allah-- akan dapat menjadi tips guna mencapainya di kehidupan ini. Di antaranya:<br />
<br />
1. al-Mauhîd.<br />
Di kehidupan ini harus menyandarkan, bergantung, memohon, dan berharap hanya dengan-Nya. Prinsipnya "Menomor-satukan Allah" (Allah harus dinomorsatukan), di mana hal ini hukumnya adalah wajib bagi dirinya. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,<br />
<br />
• • <br />
Katakanlah, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku; hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri [kepada Allah]". (Qs.al-An'âm: 162-163).<br />
<br />
Juga, firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Hanya Engkau-lah yang kami sembah. Dan, hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan" (Qs.al-Fâtihah: 5).<br />
<br />
2. Istiqamah.<br />
Istiqamah adalah terdapatnya komitmen dan konsistensi diri terhadap prinsip hidupnya di dalam menomor-satukan Allah. Maka, seorang hamba yang telah ber-istiqamah, tidak pernah lagi bermain-main dengan prinsip hidupnya. Sebaliknya, dia akan memperjuangkan prinsipnya itu ke dalam sebuah manifestasi kemanfaatan tauhid-sosial. Sebagaimana dinyatakan Allah dalam firman-Nya,<br />
<br />
• • • <br />
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Rabb kami, ialah Allah". Kemudian, mereka meneguhkan pendirian mereka. Maka, malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian". (Qs.Fushshilât: 30).<br />
<br />
3. Berkeimanan.<br />
Sikap mental dan i'tikad dengan meyakini hanya Allah-lah tempat bergantung, berharap, memohon, meminta, dan pusat pengabdian seorang hamba. Seorang hamba yang berkeimanan di kehidupannya telah benar-benar mengikat kuat, dan menerima sepenuh hati akan eksistensi-Nya dengan segala Dzat, Af'al, dan Asma-Nya. Tidak ragu sedikit pun dengan apa yang telah diyakininya. Maka, efek positif-produktif yang didapatkan dari sikap mental berkeimanan, adalah qalban salîman. Sedangkan, seseorang yang telah memiliki hati qalban salîman dia akan mempunyai kekuatan dalam berprinsip dan berkeyakinan. Sebagaimana telah digambarkan dalam firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan [kekafiran] kepada cahaya [iman]." (Qs.al-Baqarah: 257).<br />
<br />
<br />
"…tidak ada tempat lari dari [siksa] Allah, melainkan kepada-Nya saja" (Qs.at-Taubah: 118).<br />
<br />
4. Mahabbatullâh.<br />
Untuk mendapatkan kondisi hati qalban salîman, seorang hamba harus mengelola hatinya, supaya memposisikannya hanya mencintai-Nya dan mencintai segenap apa yang telah diperintahkan-Nya. <br />
Sebagai seorang pecinta dalam hidupnya yang ada dan dituju hanya cinta Allah semata. Maka, apabila seorang hamba telah mampu berperilaku dan bersikap mental seperti itu, sudah dapat dipastikan ia akan memiliki qalban salîman; insya Allah. Karenanya, seorang hamba yang telah mahabatullah di kehidupan sosial kesehariannya telah berkomitmen dan memiliki konsistensi diri terhadap, kaidah kehidupannya,<br />
<br />
لاَيُمْلِكُ وَلاَيُمْلَكُ إِلاَّ اللهُ<br />
"Tidak memiliki dan tidak dimiliki, kecuali hanya Allah".<br />
<br />
حَسْبِي رَبِّي جَلَّ اللهِ، مَا فِي قَلْبِي غَيْرُ اللهِ<br />
"Cukup bagiku Rabb-ku [dengan segenap] keagungan Allah, tidak ada yang [singgah] di dalam hatiku selain Allah".<br />
<br />
5. Anfa' lin-Nâs.<br />
Seseorang yang telah memiliki kondisi hati qalban salîman, di kehidupan sosial hariannya akan terukur dengan kemanfaatannya terhadap orang lain; insya Allah.<br />
Sementara, seseorang akan mampu berlaku manfaat di kehidupan sosial, jikalau di dalam dirinya telah mampu mengamalkan kaidah amaliah di bawah ini, <br />
أُذْكُرْ لِنَفْسِهِ شَراًّ وَاذْكُرْ مِنْ غَيْرِهِ خَيْراً<br />
"Ingatlah terhadap dirinya dengan keburukannya, dan ingatlah kepada orang lain dengan kebaikannya".<br />
<br />
Memang terasa berat dalam pengamalannya, sebab hawa nafsu sangat tidak menyukainya jika ada seorang hamba yang berkemanfaatan dalam hidupnya. Karenanya, seorang hamba yang telah mempunyai kondisi hati qalban Salîman, maka di kehidupan kesehariannya ia secara otomatis telah mampu mengelola hatinya dengan baik dan benar sejalan dengan Neraca Syariat. <br />
<br />
6. Tidak Pernah Khawatir.<br />
Seorang hamba yang telah memiliki kondisi hati qalban salîman, di kehidupannya sudah tidak lagi pernah khawatir dengan apa pun, dan terhadap kejadian apa saja. Sebab, dia telah meyakini lagi meyakini firman-Nya,<br />
<br />
<br />
<br />
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap [diri] mereka dan tidak [pula] mereka bersedih hati. [Yaitu], orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa" (Qs.Yûnus: 62-63).<br />
<br />
7. Menyempurnakan Yang Wajib & Memperbanyak Ibadah Sunnah.<br />
Secara garis besar seorang hamba yang telah memiliki kondisi hati qalban salîman, hal itu dapat diperhatikan di kehidupan sosial hariannya dengan melihat dua perilaku penting: <br />
1).Seorang hamba yang amaliah kebaikan dan kejelekannya seimbang. Namun dia tetap menekuni jalan taubat, agar tidak mengulangi lagi segenap perbuatan buruknya. Ditandai dengan menekuni segenap ibadah wajibnya.<br />
2).Seorang hamba yang amaliah bagusnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan amaliah buruknya. Hal itu ditandai dengan: <br />
a).Selalu menjaga segenap ibadah wajibnya. <br />
b).Senantiasa membekali dengan ibadah-ibadah sunnahnya.<br />
c).Berusaha dan menjaga diri dari segala dosa besar.<br />
d).Meninggalkan segenap larangan-Nya. <br />
e).Menjauhi segala sesuatu yang dibenci- Nya.<br />
Seperti dikisahkan, suatu ketika Rasulullah saw didatangi oleh seorang pemuda, [di mana] pemuda itu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sangat berkeinginan untuk menemani engkau di surga nanti."<br />
Rasulullah saw bersabda, "Apakah kamu masih mempunyai keinginan selain daripada itu?"<br />
Pemuda itu bertanya, "Hanya itu wahai Rasulullah?"<br />
Maka, Rasulullah saw bersabda, "Maka, bantulah aku terhadap dirimu dengan banyak melakukan sujud [shalat]." (Hr.Muslim, Abu Dawud, dan Nasâ`i).<br />
Marilah kita yakini segenap firman-Nya dan kisah nyata di atas. Lalu, persiapkanlah dengan segera diri kita, untuk menjadi manusia bahagia di dunia dan di akhirat, seperti mereka yang telah mendahului kita; as-sâbiqunal awwalûn minal mu`minîna wal mu`minât. <br />
Dengan suatu keyakinan, "Mendidik diri untuk mengisi hati dengan mencintai Allah. Hal itu akan berdampak langsung pada kehidupan kita yang berkemanfaatan dan membahagiakan secara dhahir dan bathin. Sedangkan, cinta kita kepada-Nya harus terukur dengan cinta kita terhadap Rasulullah saw."<br />
Mempola diri dan kepribadian yang memiliki kondisi hati qalban Salîman. Hal itu membangun, sekaligus melahirkan jatidiri dan citra diri sebagai manusia mulia yang berkemanfaatan. Sehingga dalam perjalanan ruhaninya, ia akan dikaruniai-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa ahlus sunnah wal jama'ah, insya Allah. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Ahlus Sunnah wal Jama'ah<br />
<br />
Ahlus sunnah wal jama'ah, adalah sebuah komunitas kaum muslimin yang telah diakui keberadaannya oleh Rasulullah saw. Di kehidupan kesehariannya, komunitas ini sangat kuat di dalam mengikat kuat dengan Neraca Syariat. Di samping dengan penuh kasih-sayang di dalam membangun kekuatan jaringan persaudaraan imani kaum muslimin, secara jama'ah. Seperti telah dinyatakan dalam sabdanya,<br />
<br />
"Ada tiga golongan manusia yang tidak boleh didengki, yaitu: 1).Hati seorang hamba yang beriman dan senantiasa ikhlas dalam beramal semata-mata hanya karena Allah; 2).Seseorang yang mau menasehati para pemimpin umat; dan 3).Orang yang komitmen terhadap sebuah jama'ah islamiah (persaudaraan Islam), karena doa mereka ini meliputi semua orang yang berada di belakang mereka" (Hr.Ahmad).<br />
<br />
Jadi, yang dimaksud dengan ahlus sunnah wal jama'ah merupakan pemahaman dan cara berpikir dari seorang muslim mukmin, yang berkepribadian pada pola sunnah nabawiah dan sangat mencintai komunitas kaum muslimin. <br />
Dalam kehidupan seorang yang ahlus sunnah wal jama'ah, tidak ada lagi rasa hasud, dengki, pamer, dan mencari populeritas semata karena menghendaki adanya pengakuan; khususnya terdapatnya pengakuan atas sesama muslim.<br />
Sebaliknya, yang ada di kehidupan seorang ahlus sunnah wal jama'ah, yang mana hal itu telah menjadi jatidiri dan citra dirinya, yakni senantiasa ber-fastabiqul khairât antara saudara mukmin yang satu dengan mukmin yang lain, antara saudara muslim yang satu dengan muslim yang lain. Di antara mereka kehidupannya sangat indah. <br />
Dan, inilah kehidupan kita sebagai umat Rasulullah saw. Di mana sudah tidak ada lagi kepentingan-kepentingan syahwati dan interes duniawiah. Sebab, yang dikehendaki adalah hidupnya sunnah Rasulullah saw di sepanjang jaman, dengan kehidupan sosial harian yang terikat dengan ikatan kasih-sayang. <br />
Karenanya, alfaqîr sangat menyayangkan jika masih ada segelintir dari komunitas muslim, yang mencoba saling mempengaruhi atau menanamkan pengaruhnya kepada sesama saudara muslim lainnya, dengan melakukan klaim bahwa dirinya (atau kelompoknyalah) yang paling benar. Jika kenyataan itu yang terjadi, yang menjadi pertanyaan adalah, "Siapakah sebenarnya yang paling berhak di dalam menerjemahkan dinul Islam?"<br />
Padahal kebenaran di dalam dinul Islam telah terukur dengan Neraca Syariat. Dan, yang harus dilakukan oleh para ulama atau pun para cerdik-pandai dari kaum muslimin, adalah berusaha sekuat tenaga agar komunitas kaum muslimin tidak bercerai-berai menjadi kelompok-kelompok yang sangat merugikan ketahanan, kesatuan, dan persatuan kaum muslimin. Mereka sangat berperan di dalam melakukan redesain atas kehidupan umat Islam, sehingga umat Islam menjadi umat yang maju, mulia, dan terbaik. Mereka memiliki kompetensi supaya umat Islam kembali lagi menginduk ke dalam Neraca Syariat. Di mana umat Islam harus berpegangan kuat dengan al-qur`an dan al-mizan. Di samping juga harus menghidupkan ruh ilmu pengetahuan diniah. Inilah ketiga pilar dari Neraca Syariat yang harus dipahamkan di kehidupan sosial kaum muslimin, di mana pun mereka berada dan kapan pun mereka hidup (Miftahul Luthfi Muhammad: 2005).<br />
Meninggalkan Neraca Syariat, secara otomatis kaum muslimin akan terjerembab ke dalam lembah kehancuran. Dikarenakan, dengan meninggalkan Neraca Syariat maka kaum muslimin akan mengidap penyakit sosial, yang berupa: 1).Tersekat dengan sesama kaum muslimin; 2).Tersekat dengan Kitab Suci al-Qur`an; 3).Tersekat dengan komunitas masjid; dan 4).Tersekat dengan ilmu pengetahuan diniah. <br />
Belum lagi dari segi tauhid, seorang muslim yang telah berani meninggalkan Neraca Syariat, maka di kehidupan sosial hariannya akan jatuh kejurang kejumudan, seperti: 1).Syirik kepada Allah azza wa jalla; 2).Dusta, baik tersembunyi maupun terang-terangan; dan 3).Rakus (thama`) terhadap harta benda dan harta kekayaan. <br />
Seorang hamba yang telah berani mengatakan, bahwa dirinya adalah seorang yang ahlus sunnah wal jama'ah. Maka, di kehidupannya benar-benar berusaha sekuat tenaga di dalam menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah saw. Di samping dengan sabar, tekun, dan penuh kesantunan merajut tali kasih-sayang terhadap sesama saudara seakidah dan seiman. Tidak ada lagi penonjolan aliran dalam Islam. Apalagi sampai mengagung-agungkan tokoh dalam Islam. Sampai-sampai yang terjadi di kehidupan kaum muslimin, yang kita rasakan dewasa ini, mengangungkan tokoh (ulama) tertentu, dan mendeskriditkan tokoh (ulama) yang lain. Padahal yang wajib kita tokohkan dan kita ikuti hanya Rasulullah saw dengan kedua pusaka beliau, al-qur`an dan al-mizan, yang dilandasi dengan kemampuan ilmu pengetahuan dunia; bukan nafsu syahwat.<br />
Yang kita rasakan sekarang ini kehidupan kekeluargaan kaum muslimin, benar-benar telah tercabik lagi terkoyak oleh pemahaman-pemahaman segelintir orang yang menjadikan pengikutnya fanatik buta. Sikap taklid membabi-buta ini sangat membahayakan persaudaraan dan kesatuan kaum muslimin di mana saja berada (Miftahul Luthfi Muhammad: 2003).<br />
Lihat saja kehidupan keberagamaan keislaman di negeri kita. Setelah banyak bermunculan kelompok-kelompok Islam yang fanatik buta; yang dimotori oleh sekolompok generasi muslim yang "baru senang ber-Islam". Maka, anarkisme dan kekerasan di dalam beragama (ber-Islam), hampir setiap hari dapat kita lihat tayangannya di televisi. <br />
Begitu indahnya, kehendak hawa nafsu mereka dikemas dengan bahasa-bahasa Islam, yang seolah menjadikan dirinya paling pahlawan dalam membela Islam. Justru yang harus dipertanyakan, "Jika ada sesama saudara muslim bertikai, siapa yang yang menang?"<br />
Begitu kompaknya mereka meneriakkan kata-kata "bertuah", seolah benar-benar berani mati sebagai syahid. Begitu kelihatan sok jagoannya dengan atribut dan simbol-simbol ke-Islam-an. Meski mereka harus berkelahi, dan tak jarang membunuh saudara muslimnya, hanya gara-gara telah "dianggap" kafir?! "Dianggap" murtad?! "Dianggap" dlalim?! Dan, julukan-julakan yang lain, yang menurut mereka pantas diberikan hukuman oleh syariat Islam. Inilah pemahaman ke-Islam-an yang sangat mengerikan. Sungguh benar-benar jauh dari rambu-rambu yang telah disepakati sebagai seorang ahlus sunnah wal jama'ah. <br />
Karenanya, sangat disayangkan apabila ada segelintir dari komunitas muslim, yang mengatasnamakan dirinya adalah ahlus sunnah wal jama'ah. Akan tetapi dalam perilaku dan sikap mental hariannya sangat jauh dari Neraca Syariat. Maka, jika hal ini yang terjadi, dinul Islam telah didangkalkan oleh orang-orang yang membabi-buta di dalam ber-Islam, yang tidak pernah diteladankan oleh Rasulullah saw. <br />
Dinul Islam tidak pernah mengajarkan, supaya kaum muslimin ber-Islam secara hitam-putih, dosa-neraka, benar-salah, dan siksa-pahala. Namun lebih dari itu, dinul Islam hendak membangun cakrawala berpikir dan cara pandang kaum muslimin yang telah berkeimanan tersebut menjadi sebuah komunitas umat manusia yang terbaik. Karenanya, harus kita terima bahwa di dalam ber-Islam itu meliputi wilayah-wilayah dhahir dan wilayah-wilayah bathin. Sebagaimana hal itu telah dibekalkan kepada kita oleh Allah swt,<br />
<br />
• • <br />
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka [kecurigaan]. Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang" (Qs.al-Hujurât: 12).<br />
<br />
Sebaliknya, yang dikehendaki oleh dinul Islam, dan hal itu yang diusahakan oleh seorang hamba yang ber-ahlus sunnah wal jama'ah, bahwa kehidupan komunitas muslim itu benar-benar merupakan pantulan firdaus-Nya yang penuh dengan kasih-sayang dan cinta. Sebagaimana telah digambarkan dalam firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Dan, Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka. Sedangkan mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan" (Qs.al-Hijr: 47).<br />
<br />
Karenanya, dalam kehidupan seorang muslim hendaknya di kehidupan kesehariannya, mulai bangun tidur sampai tidur kembali seyogyanya banyak mengucap dalam doa persaudaraannya. Lalu, mengimplementasikan di kehidupan kesehariannya sebuah doa persaudaraan yang agung, sebagaimana yang telah diajarkan oleh al-qur`an,<br />
<br />
• <br />
"Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Mahapenyantun lagi Mahapenyayang" (Qs.al-Hasyr: 10).<br />
<br />
Alfaqîr sangat yakin, jikalau di dalam komunitas muslim, masing-masing dari kaum muslimin mau memahami dan mengulang-ulang doa tersebut di atas. Tidak akan pernah terjadi bentrok, saling pukul, saling mengancam, saling menuduh, saling berkhianat, saling mencaci, dan saling mengafirkan. Sebab, bagi seorang yang telah ber-ahlus sunnah wal jama'ah, berarti di kehidupannya benar-benar berusaha menebarkan rahmatal lil 'âlamîn. Benar-benar memperjuangkan izzul islâm wal muslimîn. Bagi seorang yang ber-ahlus sunnah wal jama'ah yang didahulukan kekuatan dan kekompakan jama'ah kaum muslimin, tidak sekadar asal beda dengan yang lain. <br />
Dan, sekarang ini tampak telah menggejala di kehidupan akar rumput kaum muslimin. Kata ahlus sunnah wal jama'ah telah dijadikan slogan, bahwa dirinyalah (atau kelompoknyalah) yang paling berhak di dalam menerjemahkan Islam. Adalah sangat memprihatinkan jika kata ahlus sunnah wal jama'ah telah menjadi sebuah istilah sosial di kehidupan masyarakat Islam. <br />
Itu artinya ahlus sunnah wal jama'ah telah menjadi stereotip sosial yang bermaknakan negatif. Ini jangan sampai terjadi. Karenanya, kita harus mengembalikan makna ahlus sunnah wal jama'ah seperti yang dikehendaki oleh Rasulullah saw, yakni menjadi komunitas muslim mikmin yang selamat, di saat umat manusia tercerai-berai ke dalam golongan-golongan yang banyak, ketika hendak datangnya Hari Kiamat. <br />
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya tersebut di atas. Dan, persiapkanlah segera diri kita, guna menjadi manusia bahagia di dunia dan di akhirat, seperti mereka yang telah mendahului kita; as-sâbiqunal awwalûn minal mu`minîna wal mu`minât. <br />
Dengan suatu keyakinan, "Mendidik diri untuk berani menghidupkan sunnah Rasulullah saw. Dan, senantiasa mengikat kuat dengan jama'ah kaum muslimin". <br />
Sebab, hanya dengan berpola kepribadian ahlus sunnah wal jama'ah, seorang muslim akan dikaruniai kemampuan diri untuk melakukan amar ma'rûf nahi munkar, insya Allah. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Amar Ma'ruf Nahi Munkar<br />
<br />
Amar ma'rûf nahi munkar, adalah sikap mental dan perbuatan seorang muslim yang menyerukan (mengajak) kepada kebaikan (jalan Islam), sekaligus dari dalam dirinya terdapat kemauan dan kemampuan untuk mencegah (meninggalkan) sikap mental dan perbuatan munkar. Dikarenakan, sangat berkehendak untuk mendekatkan diri dengan Allah (ma'rûf) dan berazzam kuat untuk meninggalkan segala hal yang dapat menjauhkan diri dari-Nya (munkar).<br />
Prinsip yang hendak ditempuh, adalah supaya kehidupan manusia kembali kepada jalan yang lurus. Yakni, jalan yang mendapatkan ridla-Nya. <br />
Dengan kata lain, seorang hamba yang menghendaki agar dirinya menjadi hamba yang dipilih-Nya, yaitu dirinya harus berani melakukan amar ma'rûf nahi munkar. Terutama penegakan atas amar ma'rûf nahi munkar terhadap dirinya sendiri, dan keluarganya, baru terhadap masyarakat sekitarnya. Yang harus dipahami, bahwa penegakan amar ma'rûf nahi munkar yang terberat adalah terhadap dirinya sendiri dan keluarganya.<br />
Dikisahkan dalam riwayat yang shahih, adalah sahabat Urwah bin Zubair ra, beliau mengifakkan emas, perak, dan dirhamnya kepada orang-orang di sekitarnya, seraya berkata, "Kemarilah kalian, untuk mendengarkan hadis Rasulullah saw dariku."<br />
Tidak hanya itu, sahabat Urwah juga memberikan banyak hadiah kepada setiap orang yang mendengarkan perkataannya. Sedangkan perkataannya, tidak lain adalah kitabullah dan mizan Rasulullah saw.<br />
Maka, demikianlah Syaikh Muhammad Fadlullah az-Zamani meniru perbuatan sahabat nabi tersebut dalam dakwah dan tarbiah Islam. Di mana dia sering membagi-bagikan apa yang dimilikinya kepada segenap orang, baik yang mendengar dakwahnya atau yang diajarnya. Tidak hanya itu, kepada semua orang dia memberikan yang dimilikinya. Terutama ilmu yang telah dipelajarinya. Dia biasa membicarakan keilmuan di mana saja kapan saja, jika dibutuhkan dari orang-orang yang menghendakinya.<br />
Sebab, dalam kehidupan ini untuk melakukan dakwah dan tarbiah Islam, dapat dilakukan di mana pun kapan pun dengan siapa pun. Tidaklah diajarkan dalam dinul Islam, bahwa seorang hamba yang dikaruniai oleh-Nya ilmu pengetahuan diniah harus menutup diri dalam rumahnya, atau berlaku eksklusif agar disegani, atau menjual mahal ilmunya supaya mendapatkan keuntungan materi. Tidaklah demikian ajaran Islam. <br />
Sebaliknya, seseorang hamba yang telah dianugerahi-Nya ilmu pengetahuan diniah, dia justru berkewajiban menasyarufkan dan menyebarkan ilmunya kepada khalayak kehidupan manusia, khususnya terhadap sesama muslim. Sehingga seorang hamba yang disebut 'alim. Dia tidak perlu malu untuk berada di pasar, di pub, di super market, di kantor, di tempat kumuh, di stadion, di trotoar, di kampung-kampung, di gang-gang, di kampus, di istana, berjalan kaki, naik sepeda pancal, naik becak; bahkan meskipun harus dicaci-maki, dihina, diejek, dighibah, difitnah, diteror, diintimidasi, termasuk hendak dibunuh sekalipun. <br />
Amar ma'rûf nahi munkar harus ditegakkan tidak dapat ditawar-tawar lagi, demikianlah prinsip kehidupan para hamba Allah yang telah berkedudukan ashfiyâ` (terpilih). Sehingga tidak segan dan tidak pernah merasa rugi, jika harus menasyarufkan ilmunya, atau mendermakan harta kekayaannya. Seorang hamba yang di dalam dirinya telah terdapat sikap mental dan perilaku amar ma'rûf nahi munkar, sudah tidak butuh lagi adanya pengakuan dari sesama manusia; yang dibutuhkan hanya ridla Allah, sehingga dirinya termasuk hamba yang dicintai-Nya.<br />
Dalam dirinya telah komitmen dan sangat mengimani dengan firman-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Dan, hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung" (Qs.Ali Imrân: 104).<br />
<br />
Keberuntungan di akhirat itulah yang hendak dikejar oleh para hamba Allah, yang dengan ikhlas melakukan amar ma'rûf nahi munkar. Disebabkan, sadar benar bahwa Allah dalam firman-Nya telah melukiskan sosok manusia mulia (Human Elyon) di kehidupan ini, yakni,<br />
<br />
• •• <br />
"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik" (Qs.Ali Imrân: 110).<br />
<br />
Karenanya, Allah dalam firman-Nya yang lain juga telah menggambarkan dengan gambaran yang tegas,<br />
<br />
<br />
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih, dan berkata, "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (Qs.Fushshilât: 33).<br />
<br />
Kasih-Sayang Kuncinya Amar Ma'rûf Nahi Munkar<br />
Penegakan amar ma'rûf nahi munkar adalah rasa kasih-sayang, bukan kesewenang-wenangan atau mau merasa benar sendiri, dengan menganggap orang lain musuhnya yang harus dilenyapkannya; tidak seperti itu. Dan, itu bukanlah esensi dari amar ma'rûf nahi munkar sebagaimana yang telah disyariatkan dalam dinul Islam. <br />
Adapun wujud kasih-sayang dalam penegakan amar ma'rûf nahi munkar, seperti yang telah dicontohkan oleh salah seorang dari sahabat nabi, yang bernama Urwah bin Zubair ra. Yaitu, diwujudkan dan diejawantahkan dengan: kesederhanaan; kedermawanan; penasarufan ilmu pengetahuan diniah; memanusiakan manusia; saling menolong; dan menghormati terhadap sesama. Sehingga amar ma'rûf nahi munkar yang dilakukannnya benar-benar menciptakan perubahan yang berkemanfaatan. Di mana manusia yang menjadi prospek dari amar ma'rûf nahi munkar kembali kepada jalan kebenaran, yakni kebenaran dinul Islam, dengan serta-merta meninggalkan kekafiran.<br />
Karenanya, menjadi pertanyaan besar jika di dalam penegakan amar ma'rûf nahi munkar harus serba sulit dan memberatkan. Suatu misal untuk mendatangkan muballigh X, harus memberikan honorarium 30 juta sampai 60 juta. Atau, untuk menyelenggaran sebuah majelis ta'lim harus banyak menghabiskan banyak dana. Atau, guna mendirikan masjid harus meminta-minta uang di tepi jalan. Betapa dakwah dan tarbiah Islam telah mengalami pembusukan (distrosi) akibat ulah para manusia durjana, yang seringkali mengatasnamakan amar ma'rûf nahi munkar. <br />
Belum lagi perbuatan segelintir oknum penyeru Islam. Yang hanya gara-gara tidak dicantumkan sebutan atau titel kesarjanaannya, dia harus marah-marah. Atau, terlalu sedikit –menurutnya-- dalam memberikan "amplop"-nya, maka hal itu dibicarakan kepada siapa pun, dan seringkali kalau diundang lagi dia tidak mau memenuhi tugas dakwahnya di tempat itu. <br />
Adalah sebuah ironi, jika jaman telah mengalami percepatan dan perubahannya seperti sekarang ini. Namun mental dan akhlak para penyeru Islam masih terbelakang. Maka, akibat langsung dari kondisi dakwah dan tarbiah Islam yang status quo ini, adalah mandegnya proses dakwah dan tarbiah Islam di kehidupan masyarakat Islam.<br />
Karena kondisi yang stagnan tersebut, sehingga masing-masing ulama dan kelompok Islam mengambil inisiatif sekehendaknya sendiri. Oleh sebab itu yang dapat kita lihat, adalah sebuah kegiatan dakwah dan tarbiah yang sporadis. Di mana dalam pelaksanaan dakwah dan tarbiah tidak terprogram, terpolakan, dan termenejemenkan dengan benar. Sehingga penegakan amar ma'rûf nahi munkar yang terjadi seringkali mengalami tumpang-tindih (over lapping interest).<br />
Dengan kata lain, amar ma'rûf nahi munkar yang telah berjalan selama ini, berjalan secara sendiri-sendiri. Padahal yang seharusnya terjadi adalah penegakan amar ma'rûf nahi munkar yang saling melengkapi. <br />
Seperti orang main bola, maka semua lini harus ada yang menjaga. Demikian halnya dengan penegakan amar ma'rûf nahi munkar, maka semua lini kehidupan di masyarakat harus ada yang melakukannya. Jangan sampai terjadi di kehidupan masyarakat kita tidak ada yang melakukan amar ma'rûf nahi munkar. Hal itu sangat membahayakan kehidupan umat manusia secara umum. Sebagaimana telah difirmankan-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Telah dilaknati orang-orang kafir dari bani isra`il dengan lisan Dawud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu" (Qs.al-Mâ`idah: 78-79).<br />
<br />
Karenanya, oleh Allah azza wa jalla kaum muslimin mukmin sangat dilarang untuk mengikuti sifat-sifat Bani Israil, termasuk sifat para ulama mereka. Sebagaimana telah difirmankan-Nya sifat mereka itu,<br />
• <br />
"[Yaitu], orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan, Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan" (Qs.an-Nisâ`: 37).<br />
<br />
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya. Di samping kita jadikan pelajaran dari perbuatan para sahabat nabi dan para kekasih Allah (auliyâ`). <br />
Lalu, bersegera membenahi diri kita untuk menjadi hamba yang sukses di dunia, agamanya, dan di akhiratnya. Seperti mereka yang telah mendahului kita para as-sâbiqûnal awwaluna minal muslimîna wal-muslimât wal mu`minîna wal-mu`minât. Dengan suatu keyakinan bahwa, "Menegakkan amar ma'ruf nahi munkar adalah wujud penghambaan yang sangat diridlai-Nya. Maka, di dalam dirinya telah tertanam secara kuat dan nyata. Bahwa dirinya benar-benar berkehendak mendekatkan diri dengan Allah. Di samping secara bulat pula berazzam untuk meninggalkan segenap perbuatan yang dapat menjauhkan dirinya dengan Allah swt nantinya."<br />
Dengan meredesain dan merekonstruksi diri dan kepribadian kita untuk memiliki sikap mental dan perilaku amar ma'rûf nahi munkar. Maka, kita akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa ukhuwah islamiah, insya Allah. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Ukhuwah Islamiah<br />
<br />
Ukhuwah islamiah, adalah persaudaraan Islam. Yaitu, ketika seseorang dengan keislamannya dapat mengikis rasa berkelompoknya, sikap fanatismenya, dan rasa kesukuannya. Ia telah mempunyai cakrawala pikir yang luwas, luwes, dan mendalam; sehingga keislaman dan keimanannya mampu membangkitkan kecerdasan motivasinya dan kecerdasan intuisionalnya, dengan demikian bangkitlah jiwanya untuk senantiasa mengejawantahkan persatuan dan kesatuan dalam persaudaraan Islam; semampu mungkin.<br />
Realitas di atas harus segera disadari oleh segenap kaum muslimin, bahwa menciptakan persaudaraan dalam Islam hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim mukmin. Sejak masih kanak-kanak, generasi mudah kita harus diajari pentingnya persatuan dan kesatuan dalam persaudaraan Islam. Karenanya, kita harus berani berkurban demi terwujudnya persaudaraan Islam tersebut sesegera mungkin. <br />
Sesuatu yang harus segera direalisasikan, dalam rangka hendak mewujudkan persaudaraan Islam adalah, ditradisikannya sikap mental dan perilaku saling tolong-menolong, saling berkasih-sayang, saling melengkapi atas kekurangan masing-masing, dan saling membantu. Yang tujuannya tidak lain, agar di kehidupan keluarga besar Islam ini menyatu dalam sebuah persatuan dan kesatuan yang solid lagi kompak, yang didasarkan atas kalimat tauhid "Lâ ilâha illa-llâh, muhammadur rasûlullâh". Tidakkah Allah azza wa jalla dalam hal ini telah menyerukan-Nya,<br />
<br />
•• • • <br />
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang diri. Dan, dari padanya Allah menciptakan isterinya. Dan, dari pada keduanya Allah memperkembang-biakkan lelaki dan perempuan yang banyak. Dan, bertakwalah kepada Allah yang dengan [mempergunakan] nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain. Dan, [peliharalah] hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian" (Qs.an-Nisâ`: 1).<br />
<br />
Tidak Diajarkan Untuk Berpecah-Belah<br />
Dinul Islam tidak menghendaki adanya perpecahan. Oleh sebab itu, segenap apa yang menjadikan kaum muslimin berpecah-belah harus disirnakan secepatnya. Contohnya, penghancuran masjid dlirar dikala itu. Masjid itu digunakan gerombolan kaum munafik untuk memecah-belah persatuan dan kesatuan kaum muslimin.<br />
Sudah saatnya kaum muslimin mukmin mengaktualkan lagi bahasa pemersatu, dan icon pemersatu. Sebut saja, Rasulullah saw, beliau adalah idola sekaligus suri teladan buat kita dan umat manusia. Ka'bah al-Musyarafah telah menjadi sentral pemersatu arah dalam peribadatan harian. Bulan Ramadlan telah menjadi bulan kebersamaan untuk membangun empati dan solideritas sosial kaum muslimin. Takbir kita sama "Allâhu akbar". Tahlil kita sama "Lâ ilâha illa-llâh". Ruku' dalam shalat kita sama. Sujud dalam shalat kita sama. Syahadat kita sama. Nabi saw mengajarkan yang sama, rukun Islam ada lima, dan rukun iman ada enam. <br />
Seperti para nabiullah dan para rasulullah, ajarannya pun sama, kalimatut tauhid. Yaitu, kalimat untuk meng-Esa-kan Allah swt. Allah harus dinomor-satukan, sebab hanya Allah yang nomor satu. Kita diajari Nabi saw sesuatu yang sangat penting dalam ber-Islam, dan hal itu akan menjadi bahasa pemersatu. Yakni, kejujuran, keikhlasan, kesabaran, syukur, dan ketawadlu'an. <br />
Alfaqîr yakin segenap kaum muslimin mukmin menghendaki akhlak-akhlak tersebut. Meskipun dalam kenyataan kehidupan sosialnya, mereka memiliki keragamaan dalam masalah-masalah cabang dalam keislaman (far'iah).<br />
Yang menjadi pertanyaan adalah, "Mengapa sampai terjadi perbedaan yang mengarah kepada perpecahan umat?"<br />
Terbukti, masih banyak di kalangan kaum muslimin yang saling mengafirkan, menajiskan, dan menganggap murtad golongan tertentu (?!) Karena perbedaan yang tidak prinsipil, alias masalah-masalah furu'iah, harus mendirikan masjid lagi; padahal hanya berseberangan jalan. Orang tua kandungnya harus menerima lebel kafir, gara-gara tidak sejalan dengan ajaran jama'ahnya.<br />
Kalau kita mau merenungkan, apa pun alirannya, apa pun nama jama'ahnya, dari negara bangsa mana pun, tak peduli awam atau ulama; ketika menunaikan thawaf di pelataran Baitullah, mereka semua sama cara berputarnya Ka’bah berada di sebelah kirinya, memulainya sama yakni dari pojok Hajar Aswad, berakhirnya pun sama. Demikian juga di saat hendak menunaikan sa'i, juga sama-sama di awali dari bukit Shafwah dan berakhir di bukit Marwah. Jumlah mondar-mandirnya pun sama yakni tujuh kali.<br />
Sampai saat ini belum pernah alfaqîr melihat atau mendengar informasi, ada sebagian komunitas kaum muslimin yang thawaf-nya menjadikan Ka'bah di sebelah kanannya, atau sa'i-nya diawali dari bukit Marwah dan berakhir di bukit Shafwah.<br />
Jika kita pernah mendengar keganjilan misalnya pergi haji cukup ke gunung X. Thawaf-nya, Ka'bah di sebalah kanannya. Mengawali sa'i-nya dari Marwah. Kiblat-nya tidak ke Baitullah. Maka, jelaslah bahwa ajaran-ajaran itu telah menyimpang jauh dari prinsip dasar Neraca Syariat. Karenanya, apa pun yang hendak dilakukan kaum muslimin mukmin di kehidupannya haruslah berlandaskan, hanya kepada Neraca Syariat. <br />
Karenanya, Allah azza wa jalla dengan tegas menyatakan di dalam firman-Nya,<br />
<br />
• • • • <br />
"…Sampai pada saat kalian lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah [Rasulullah saw] sesudah Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian sukai. Di antara kalian ada orang yang menghendaki dunia, dan di antara kalian ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kalian dari mereka untuk menguji kalian, dan sesunguhnya Allah telah mema'afkan kalian. dan Allah mempunyai karunia [yang dilimpahkan] atas orang orang yang beriman" (Qs.Ali Imrân 152).<br />
<br />
Ayat di atas merupakan teguran bagi kaum muslimin yang tidak mengikuti komando Rasulullah saw. Akibatnya, mereka mengalami kekalahan yang telak dari pasukan kaum kafir. Salah satu pengaruh langsung dari ketidak-taatan kepada Nabi saw itu, adalah terjadinya perselisihan di dalam berebut harta rampasan perang. Jika demikian, maka yang terjadi adalah terdapatnya gejolak nafsu syahwat yang senantiasa menginginkan dituruti apa yang telah menjadi kehendak-kehendaknya. Karenanya, Allah swt menyatakannya, sebagai kesalahannya mereka sendiri. Sebagaimana dinyatakan-Nya,<br />
<br />
<br />
Kalian berkata, "Dari mana datangnya [kekalahan] ini?" Katakanlah, "Itu dari [kesalahan] diri kalian sendiri". (Qs.Ali Imrân: 165).<br />
<br />
Harus Bersatu<br />
Adalah perintah-Nya, supaya kita bersatu dalam kesatuan yang kuat, solid, lagi kompak, dengan shaff barisan yang lurus dan rapat. Sebagaimana telah diperintahkan-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Dan, berpeganglah kalian semuanya kepada tali [agama] Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai. Dan, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu [masa Jahiliah] bermusuh-musuhan. Maka, Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara. Dan, kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk" (Qs.Ali Imrân: 103).<br />
<br />
Karenanya, kita dikecam oleh-Nya jangan sampai menyerupai kaum yang berpecah-belah. Dalam firman-Nya,<br />
<br />
"Dan, janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat" (Qs.Ali Imrân: 105).<br />
<br />
Berpecah-Belah Itu Tidak Bahagia<br />
Takwa kepada Allah dan memperbaiki hubungan baik dengan sesama muslim, sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Karenanya, Allah swt telah memerintahkan,<br />
<br />
• <br />
"…bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesama kalian. Dan, taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman" (Qs.al-Anfâl: 1).<br />
<br />
Ayat di atas menerangkan, bahwa kebahagiaan hidup itu di antaranya, adalah: 1).Bertakwa kepada-Nya; 2).Bersaudara dengan sesama muslim mukmin; 3).Taat kepada Allah; 4).Taat kepada Rasulullah; dan 5).Menjadi mukmin.<br />
Oleh sebab itu, dalam firman-Nya yang lain dinyatakan,<br />
<br />
• <br />
"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah, [perbaikilah hubungan] antara kedua saudara kalian itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kalian mendapatkan rahmat" (Qs.al-Hujurât: 10).<br />
<br />
Jelaslah berdasarkan ayat di atas, seorang hamba yang berpecah-belah itu tidak akan bahagia. Dikarenakan, ia tidak akan memperoleh rahmat-Nya. Betapa celakanya jika seorang hamba di dunia ini tidak mendapatkan rahmat-Nya. Sementara, untuk memperoleh rahmat-Nya, seseorang itu harus memenuhi syarat, di antaranya: 1).Beriman; 2).Bersaudara; 3).Memperbaiki persaudaraan; dan 4).Takut kepada Allah.<br />
Karenanya, Allah swt sangat mengecam seseorang atau suatu komunitas Islam yang telah melakukan adu domba, fitnah, kekerasan, anarkisme, teror, dan segala bentuk makar lainnya yang mengakibatkan kaum muslimin mukmin berpecah-belah ke dalam bentuk golongan-golongan. Allah swt telah menyatakan,<br />
<br />
• • <br />
"Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama-Nya, dan mereka menjadi golongan [fanatik kepada pemimpinnya] tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu [Muhammad] kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah. Kemudian, Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat" (Qs.al-An'âm: 159).<br />
<br />
Pemecah-belah adalah mereka yang telah keluar dari bingkai keluarga besar Islam; ahlus sunnah wal jamaah. Di samping secara nyata pula mereka telah merusak ukhuwah islamiah. Mereka adalah para ahli bid'ah yang akan terus selalu ada di setiap kurun dari kehidupan kaum muslimin, di setiap jamannya. Karenanya, waspadalah! Dan, kita jangan sampai ikut-ikutan keluar dari keluarga besar Islam dengan meninggalkan ukhuwah islamiah.<br />
Seperti telah disifati oleh sahabat Ibnu Abbas ra, "Wajah orang-orang ahlus sunnah wal jamaah itu sangatlah putih [berkilau cahaya]. Sedangkan wajah orang-orang yang melakukan bid'ah, dan tidak mau bersatu itu hitam [tidak menampakkan aura wudlunya].<br />
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya di atas. Dan, segeralah berbenah diri untuk menjadi manusia sukses, seperti mereka yang telah mendahului kita. Dengan dasar pemikiran, "Marilah saling memperkuat tali persaudaraan dan menghindari perpecahan. Seperti telah dipesankan Nabi saw, "Wajiblah bagi kalian bersatu, karena sesungguhnya kekuasaan Allah ada bersama jamaah." Dan, renungkan juga sabda beliau saw, "Sesungguhnya setan itu bersama orang yang sendirian. Karena setan sangat tidak mungkin berada di antara dua orang" (kedua hadis ini alfaqir temukan pada Kitâb adl-Dlawâbithusy Syar'iyyah li Tahqîqil Ukhuwatil Imâniah; Dr.Sa'id Abdul'adhim).<br />
Sebab, dengan CC terhadap ukhuwah islamiah kita nantinya akan dianugerahi oleh-Nya dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa mengikat diri dengan Neraca Syariat, insya Allah. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Mengikat Dengan Neraca Syariat<br />
<br />
Mengikat diri dengan Neraca Syariat, adalah seorang hamba yang di kehidupannya mulai bangun tidur hingga tidurnya kembali, sepanjang hayat masih dikandung badan; senantiasa berusaha sekuat tanaga dan bulat untuk bersikap sami'nâ wa atha'nâ tsummas-tatha'nâ terhadap kekuatan aturan Ilahiah dan syariat Rasulullah saw yang berupa al-qur`an dan al-mizan; yang dalam pengamalannya jika terdapat kebuntuan berpikir menggunakan fasilitas bantu berupa: ijma', qiyas, dan ilmu pengetahuan diniah.<br />
Sebab, sangat disadarinya, jika di kehidupan ini seorang hamba itu keluar dari Neraca Syariat, pasti kehidupannya akan menuai kehancuran dan malapetaka yang bersifat masal. Karenanya, seorang hamba yang berusaha mengikat dengan Neraca Syariat, ia merupakan sosok seorang hamba yang berusaha hendak CC dengan pengamalan Neraca Syariat secara transformatif-implementatif yang progresif-evaluatif. <br />
Dinul Islam telah mengajarkan kepada kita, sebagai kaum yang telah beriman kepada-Nya. Apabila telah terjadi perselisihan atau konflik di dalam kehidupan ini, maka harus segera kembali kepada al-qur`an dan al-mizan. Di samping itu harus dengan sekuat tenaga membuang segenap kehendak hawa nafsu yang berusaha menyelimuti jiwa kita. Dengan kaidah yang berbunyi, "Udzkur li-nafsihi syarran, wadz-kur min ghairihi khairan;" ingatlah kepada dirinya segala keburukan-(nya), dan ingatlah terhadap orang lain segenap kebaikan-(nya). Dikarenakan, Allah swt telah menyatakan dalam firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Mengenai sesuatu apa pun kalian berselisih. Maka, putusannya [terserah] kepada Allah. [Yang mampu memutuskan segala perkara dengan benar lagi adil] hanyalah Allah, Rabb-ku. Hanya kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan kepada-Nya-lah aku kembali" (Qs.asy-Syûrâ: 10).<br />
<br />
Ayat di atas mengandung pesan, bahwa setiap terjadi perselisihan di antara sesama muslim. Maka, hawa nafsunya segera diredam jangan sampai ikut-ikutan ngompori. Sehingga hati dan pikiran tidak bisa lagi menjadi jernih di dalam mengambil keputusan. Sebab, telah digelayuti segenap kehendak hawa nafsunya. Maka, dengan lahirnya sebuah keyakinan bahwa hanya Allah-lah yang mampu mengambil keputusan dengan benar lagi adil, gejolak yang terdapat dalam jiwa para hamba yang berselisih akan teredam dengan kaidah alfaqîr di atas, "Udzkur li-nafsihi syarran, wadz-kur min ghairihi khairan"; insya Allah.<br />
Jadi, tidak ada jalan keluar terbaik, jika telah terjadi perselisihan di antara sesama muslim, kecuali hanya kembali kepada al-qur`an dan al-mizan. Dalam hal ini Rasulullah saw senantiasa melantunkan doanya,<br />
<br />
"Ya Allah, Rabb Jibril; Mika`il; dan Israfil, Dzat yang menciptakan langit dan bumi; Dzat yang Mahamengetahui yang ghaib dan yang terlihat, Engkau memberikan hukum kepada para hamba Mu dalam permasalahan yang mereka perselisihkan. Maka, tunjukilah kami dalam setiap perkara yang kami perselisihkan menuju kebenaran dengan seijin Mu. Sesungguhnya Engkau memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus" (Hr.Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud).<br />
<br />
Sebagai CC-nya terhadap ahlus sunnah wal jama'ah dan ukhuwah islamiah, maka Syaikh Muhammad Fadlullah az-Zamani dalam tawajuhnya selalu menyenandungkan doa persaudaraannya terhadap sesama muslim mukmin, sebagai berikut,<br />
<br />
رَضِيْنَا بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبَيًا وَرَسُوْلاً وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا وَحُكْمًا وَبِالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ إِخْوَانًا، [يَارَبَّنَا 4×] إِهْدِنَا لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِمٍ، وَعَلَى مَا أَكْمَلْتَ لَنَا مِنْ دِيْنِ اْلإِسْلاَمِ<br />
"Kami ridla, Allah Rabb kami. Kami ridla, Islam sebagai din kami. Kami ridla, Nabi Muhammad [saw] sebagai nabi dan rasul kami. Kami ridla, Kitab Suci al-Qur`an sebagai pedoman dan hukum kami. Kami ridla, kaum muslimin dan muslimat sebagai saudara kami. [Wahai Rabb kami 4x] tunjukilah kami dalam setiap perkara yang kami perselisihkan menuju kebenaran dengan seijin Mu. Sesungguhnya Engkau memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus. Dan, [Ya Allah] Engkau karuniakanlah buat kami kesempurnaan dari berdinul Islam kami."<br />
<br />
Dahulukan Sunnah<br />
Mendahulukan sunnah sebagai hujjah, ketimbang pendapat para imam atau ulama, hal itu harus dibiasakan. Itu bukan berarti menafikan peran para imam atau para ulama kita. Akan tetapi kita harus berprinsip, bahwa pendapat para imam atau para ulama itu, tidak lain bertujuan agar syariat Islam benar-benar dapat membumi dan mampu memberikan kerahmatan buat alam semesta. <br />
Karenanya, pendapat para imam atau para ulama yang dipakai adalah: 1).Yang paling dekat penafsirannya dengan Neraca Syariat; 2).Yang dapat dikerjakan oleh umat karena sifat kesederhanaannya, keluwesannya, dan kemudahannya; dan 3).Yang sesuai dengan situasi dan kondisi umat di mana tinggal dan beraktifitas.<br />
Di samping itu seorang muslim harus CC dengan firman-Nya,<br />
<br />
"…dan, sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong [agama]-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa" (Qs. al-Hajj: 40).<br />
<br />
Menghidupkan sunnah Nabi saw, hal itu sama dengan menolong agama-Nya. Maka, merupakan kewajiban bagi segenap kaum muslimin mukmin untuk selalu berusaha menghidupkan sunnah-sunnah beliau saw. Hanyalah orang-orang yahudi, nashrani, kaum kafir, kaum munafik, dan ahli bid'ah yang sangat membenci jika sunnah-sunnah Nabi saw itu kembali menjadi sebuah habits dan tradisi di kehidupan kaum muslimin mukmin. Inilah yang semestinya harus segera disadari oleh segenap kaum muslimin mukmin, di mana pun mereka hidup dan tinggal. <br />
<br />
Tidak Boleh Bertentangan Dengan Neraca Syariat<br />
Konsep dasar Neraca Syariat, adalah tertanamnya sikap mental iman dan perilaku mukmin yang terejawantahkan ke dalam kehidupan sehari-hari, yang mana hal itu akan berbuah pada kefakihan dinul Islam, akhlak yang mulia, adab yang terpilih, dan kesehatan dlahir-bathin. Dan, inilah sebenarnya yang harus dijadikan korikulum pendidikan di setiap keluarga muslim di mana pun berada. Di mana seorang anak dari generasi muda Islam, haruslah: 1).Tafaqquh fid-dîn (memahami dinul Islam, red); 2).Akhlâqul karîmah (budi pekerti yang mulia, red); 3).Adâbul musthafawiah (tatakrama yang terpilih, red); dan 4).Sehat jasmani dan ruhani, guna menguasai sains, skill, dan finansial.<br />
Artinya, seorang hamba yang telah beriman kepada Allah azza wa jalla. Maka, sebagai mukmin di kehidupan kesehariannya akan memiliki beberapa kelebihan yang sangat menonjol, yakni: 1).Semakin memahami agama Allah (dinul Islam, red); 2).Budi pekertinya semakin bagus; 3).Tatakramanya semakin indah; dan 4).Akan dikaruniai kesehatan dlahir-bathin, sehingga mampu menundukkan dunia dengan menciptakan peradaban yang diridlai-Nya.<br />
Karenanya, apa pun bentuknya dan bagaimana pun alasannya, seorang muslim mukmin di kehidupannya ini harus tetap terikat dengan Neraca Syariat. Dan, setiap keputusan yang ditetapkan di dalam kehidupan umat manusia akan membawa petaka kemanusiaan, bahkan akan mendatangkan musibah, jikalau ketetapan itu keluar dari bingkai Neraca Syariat.<br />
Suatu misal, sila pertama dari ideologi negara kita (Pancasila, red), adalah berbunyi, "Ketuhanan Yang Maha Esa." Ini sebuah produk pikir dan filsafat yang bagus dan benar. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, "Sanggupkah para generasi penerus republik ini mengamankan buah pikiran yang cerdas tersebut, ke dalam bentuk produk-produk hukum yang tidak bertentangan dengan Neraca Syariat?"<br />
Padahal sebenarnya prinsip dasar Neraca Syariat itu sangat sederhana: 1).Terciptanya kedamaian hidup di kehidupan umat manusia; 2).Terlindunginya hak-hak sebagai seorang hamba Allah; 3).Terlaksananya kewajiban-kewajiban asasi dari setiap hamba-Nya.<br />
Karenanya, siapa pun tidak perlu ketakutan dengan eksistensi Neraca Syariat. Justru seharusnya mendukungnya, agar Neraca Syariat benar-benar menjadi payung damai di kehidupan umat manusia. Suatu misal, "Mengapa harus takut adanya hukum rajam? Hukum potong tangan? Dan, hukum pancung?"<br />
Ketetapan Neraca Syariat tidak akan menetapkan hukum secara sembarangan. Tidak mungkin seseorang yang tidak bersalah akan dirajam, dipotong tangannya, dan dipancung lehernya. <br />
Jadi, jika sementara ada sekelompok orang yang takut terhadap eksistensi Neraca Syariat. Itu hanyalah sebuah ketakutan yang tidak beralasan. Siapa yang berkepentingan untuk menggagalkan eksistensi Neraca Syariat tersebut, tidak lain mereka adalah golongan ahli bid'ah, kafirin, munafikin, dan zionisme isternasional (kelompok yahudi ekstrimis-teroris, red). <br />
Karenanya, untuk meyakinkan kemanfaatan akan Neraca Syariat, tidak ada cara lain kecuali dengan menanamkan "rasa iman". Sedangkan untuk menumbuhkan "rasa iman", Rasulullah saw menumbuh-kembangkan ruhaniah umat manusia --khususnya para sahabat-- dengan memiliki "rasa ber-qur`an". Dan, di dalam penanaman "rasa iman" dan "rasa ber-qur`an" itu tidak mungkin berhasil jika tidak disertai dengan pengurbanan yang mendalam di dalam memberikan keteladanan (qudwatul hasanah). Demikianlah, pola pendidikan madrasatun nabawiah, sehingga melahirkan produk-produk manusia unggul sekaligus manusia mulia (Human Elyon), yang memiliki kualifikasi sebagai "manusia penghuni surga". <br />
Marilah kita semak bersama pengakuan sahabat Nabi saw yang bernama Jundab ra, "Kami mempelajari iman, dan (mempelajari) al-qur`an. Lalu, keimanan kami semakin tebal."<br />
Atau, pengakuan sahabat Ibnu Umar ra, "Kita hidup hanya sekejap. Sebelum diturunkan al-qur`an. Setiap kita diberikan keimanan terlebih dahulu. Ketika turun al-qur`an kita pun mempelajari halal dan haram, larangan dan perintah-perintah. Kewajiban kita adalah bersandar padanya."<br />
Karenanya, imanilah dua ayat al-qur`an di bawah ini, supaya kita dianugerahi mengikat kuat dengan Neraca Syariat; insya Allah,<br />
<br />
• <br />
"Dan, demikianlah Kami wahyukan kepadamu [Muhammad] wahyu [al-qur`an] dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui, "Apakah al-kitab [al-qur`an]". Dan, tidak pula mengetahui, "Apakah iman itu,?" Tetapi, Kami menjadikan al-qur`an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan, sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus" (Qs.asy-Syûrâ: 52).<br />
<br />
Juga, firman-Nya yang berbunyi,<br />
<br />
• <br />
"Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum hingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan, apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum. Maka, tak ada yang dapat menolaknya. Dan, sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka, selain Dia" (Qs.ar-Ra'd: 11).<br />
<br />
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya, dan orang-orang sukses tersebut di atas. <br />
Dan, segeralah berbenah diri untuk menjadi manusia sukses, seperti mereka yang telah mendahului kita. Dengan dasar pemikiran, "Kebenaran itu hanya ada pada Neraca Syariat. Suatu saat pasti akan muncul kembali. Kebenaran pasti menang. Kebenaran sangat berbeda dengan kebatilan. Kebatilan pasti kalah. Karenanya, ikatlah diri kita dengan Neraca Syariat. Dengan cara menanamkan "rasa ber-iman" dan "rasa ber-qur`an". Sehingga kita akan mendapatkan pertolongan dan ridla-Nya". <br />
Sebab, hanya dengan mengikat kepada Neraca Syariat secara kuat lagi bulat, kita nantinya akan dianugerahi oleh-Nya dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa sidqul-lisân, insya Allah. []<br />
<br />
Shidqul Lisân<br />
<br />
Shidqul lisân, adalah benar dalam berkata. Artinya, di setiap perkataan selalu benar, jauh sekali dari perkataan yang bathil. Dalam kondisi apa pun selalu berkata benar, baik di saat sedang marah atau dalam keadaan lapang dada.<br />
Memang kalau hati sedang lapang, sebagian besar seseorang itu dapat mencegah dari lisan tercela. Namun sedikit sekali seseorang itu dapat mencegah dari lisan yang buruk dikala sedang marah. Karenanya, telah tercatat dalam sejarah umat manusia, hanya para hamba yang terpilih saja yang dapat memiliki shidqul lisân. <br />
Seperti telah diteladankan Nabi saw di keseharian hidupnya, di mana beliau selalu memohon kepada Allah azza wa jalla,<br />
<br />
"Ya Allah, sungguh aku memohon khasyyah [perasaan takut yang sangat] kepada Engkau, baik dalam keadaan ghaib maupun terang-terangan. Dan, aku memohon perkataan yang benar kepada Engkau, baik ketika marah maupun ketika tidak marah" (Hr.Ahmad, Nasâ`i, Ibnu Hibbân, dan Hâkim).<br />
<br />
Rasulullah saw, adalah sosok manusia sempurna. Beliau hidupnya tanpa cacat. Bahkan, beliau tidak tersentuh oleh dosa apa pun. Namun di keseharian hidupnya, beliau masih memohon kepada-Nya, agar dianugerahi sikap mental khasyyatullah dan sidqul lisan. Lalu, bagaimana dengan kita? Yang setiap harinya banyak lalai dengan dzikrullah, dzikrul maut, dan berkata ceroboh!?<br />
Perhatikan saja, sekarang ini betapa banyaknya ketika manusia sedang marah, tega membunuh; berkhianat dengan teman karib; menculik sahabat sendiri; menyiksa; dan yang paling ringan berkata dengan perkataan yang kotor (misuh; bhs Jawa, red). Kesemuanya ini menandakan bahwa pelakunya telah mengikuti hawa nafsunya. Dan, yang lebih memprihatinkan, kaum muslimin juga ikut-ikutan budaya rendah tersebut.<br />
Mencaci, memaki, menghujat, dan mencemo`oh itu bukanlah kebiasaan kaum muslimin. Bahkan, dinul Islam sangat melarang segenap perilaku di atas. Perilaku-perilaku tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam, yang benar-benar memanusiakan manusia, meskipun di dalam memanusiakan manusia itu melalui lisannya. Yakni, ditunjukkan dengan perkataannya yang benar lagi lurus, yang sejalan dengan Neraca Syariat. <br />
Dinul Islam juga mengajarkan, sekali pun "marah" terhadap seseorang karena sesuatu hal. Namun hal itu tidak boleh menjadikan dirinya mendlalimi orang tersebut. Prinsipnya, "Orang yang mendlalimi, tidak boleh dibalas dengan kedlaliman." Sebagaimana telah dinyatakan dalam firman-Nya,<br />
<br />
• • <br />
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan [kebenaran] karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan, janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang kalian kerjakan" (Qs.al-Mâ`idah: 8).<br />
<br />
Berpeganglah al-Qur`an & al-Mizan<br />
Jika kita berkehendak mengamalkan sidqul lisan, tidak ada neraca yang terbaik lagi benar, kecuali al-qur`an dan al-mizan. Karenanya, seorang muslim harus menjaga diri dan kepribadiannya di kehidupan ini agar tetap dengan prinsip-prinsip sidqul lisan.<br />
Seperti telah disabdakan Nabi saw, bahwa perkataan yang paling benar, adalah al-qur`an. Tidak ada sebaik-baik petunjuk, kecuali al-mizânusy syarîf Rasulullah saw. Karenanya, siapa pun mereka, keluar dari kerangka al-qur`an dan al-mizan, otomatis mereka telah keluar dari kebenaran dan keluar dari petunjuk Nabi saw. <br />
Orang-orang atau komunitas yang keluar dari kerangka al-qur`an dan al-mizan. Sangat mungkin mereka akan terjerembab ke dalam lembah kesesatan. Karenanya, segala sesuatu itu terukur dari kegiatan yang buruk yang telah dilakukan oleh seorang hamba. Sedangkan, keburukan itu sendiri terukur dengan ketidak-patuhan atau ketidak-taatan terhadap "dua pusaka" abadi Nabi saw tersebut. Seperti telah disabdakan Nabi saw,<br />
<br />
فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ h، وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ<br />
"Maka, sungguh yang paling benar sebuah perkataan itu Kitabullah. Adapun sebaik-baik petunjuk, petunjuk Rasulullah Muhammad saw. Seburuk-buruk persoalan itu, persoalan yang baru [yang buruk]. Setiap yang baru [bersifat buruk], adalah bid'ah. Setiap bid'ah [yang bersifat buruk], adalah sesat. Setiap kesesatan pasti berada di neraka" (al-Hadîsy Syarîf).<br />
<br />
Hadis ini adalah penjelasan dari firman-Nya,<br />
.<br />
<br />
"Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu [al-qur`an] sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah rubah kalimat-kalimat-Nya. Dan, Dia-lah yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui" (Qs.al-An'âm: 115).<br />
<br />
Jelaslah, bahwa ajaran dinul Islam, khususnya mengenai kedudukan (maqâm) sidqul lisan, merupakan sesuatu yang sangat penting untuk ditradisikan di kehidupan sosial kaum muslimin mukmin. Sebab, sidqul lisan itu sangat dekat dengan keadilan. Dan, keadilan itu sangat dekat dengan takwallah. Sebagaimana telah dinyatakan dalam firman-Nya surat al-mâ`idah ayat ke-8, yang telah alfaqîr sebutkan di atas.<br />
Di samping itu, Allah azza wa jalla juga menyeru kepada segenap kaum mukminin dengan firman-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah; biar pun terhadap diri kalian sendiri, atau ibu-bapak dan kaum kerabat kalian, jika ia kaya atau pun miskin. Maka, Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka, janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan, jika kalian memutar-balikkan [kata-kata], atau enggan menjadi saksi. Maka, sesungguhnya Allah adalah Mahamengetahui segala apa yang kalian kerjakan" (Qs.an-Nisâ`: 135).<br />
<br />
Berdasarkan ayat di atas maka yang diseru untuk memiliki maqam sidqul lisan, adalah orang-orang yang beriman kepada Allah. Adapun selain kaum mukminin berada di luar tanggung jawab-Nya. Sebab, sudah dapat dipastikan orang-orang yang telah kafir terhadap-Nya, sudah dapat dipastikan di kehidupan sosial kesehariannya tidak memiliki maqam sidqul lisan. Maka, dinul Islam sangat melarang orang kafir itu dijadikan pemimpinnya. <br />
Karenanya, terhadap siapa pun, kita sebagai orang yang telah beriman kepada-Nya harus berani menegakkan sidqul lisan, tanpa pandang bulu. Dengan semangat bahwa yang kita lakukan di dalam penegakan sidqul lisan, semata karena-Nya. Ingat hawa nafsu tidak boleh turut serta dalam penegakkan sidqul lisan. Sebagaimana secara nyata telah ditegaskan-Nya,<br />
<br />
<br />
"Maka, janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran" (Qs.an-Nisâ`: 135).<br />
<br />
Bahkan, dalam sebuah hadis qudsi, Nabi saw bersabda, Allah azza wa jalla telah berfirman,<br />
<br />
قُلِ الْحَقَّ، وَلَوْ كَانَ مُرًّا<br />
"Ucapkan kebenaran itu, sekalipun terasa pahit" (al-Hadîsul Qudsiah).<br />
<br />
Memang berperilaku sidqul lisan itu sangat berat, lagi banyak tantangan. Tapi, bagi seorang hamba yang menghendaki "terpilih" di sisi-Nya. Seberat apa pun, dan sebesar apa pun tantangannya, tetap dihadapinya dengan penuh kesabaran dan rasa optimis, bahwa Allah pasti akan menolongnya. Demikianlah seseorang yang telah percaya diri dengan Allah (tawakkalu 'ala-llâh). Bahwa, perjuangan di jalan Allah pasti yang akan memperoleh kemenangan dan kebahagiaan yang abadi. Maka, di dalam menegakkan kebenaran dan keadilan tidak perlu takut kepada siapa pun. Sebab, rasa ketakutan itu hanya wajib dialamatkan kepada-Nya, bukan terhadap makhluk-Nya.<br />
Hilangnya maqam ruhaniah yang berupa sidqul lisan, hal itu akan menjadikan seseorang, atau suatu bangsa mengalami kehancuran. Dikarenakan, semua lini kehidupan orang itu, bangsa tersebut, pasti akan menjadi carut-marut. Dan, kebijakan pun juga akan mengalami tumpang-tindih.<br />
Suatu misal, seharusnya bertugas menjaga hutan. Justru mereka sendiri yang menebang. Semestinya bertugas menjaga pulau-pulau. Justru pasirnya malah dijual ke negara tetangga. Seharusnya menegakkan kebenaran dan peradilan. Justru mereka bermain-main dengan mafia suap peradilan. Tugasnya jadi wasit. Justru ikut "main" juga. Amanahnya menjadi wakil rakyat. Justru rakyat dijadikan bemper untuk mengais kepentingan pribadi. Menerima sumpah sebagai pejabat. Justru "menjual" jabatannya. Tugasnya menjadi muballigh, da'i, dan ulama. Justru "menggadaikan" akhirat dengan dunia, "menjual" ayat demi menuruti hawa nafsunya. Dan, masih banyak lagi perbuatan-perbuatan ahli neraka yang dikerjakan oleh seseorang yang meninggalkan maqam sidqul lisan; na'udzu bil-lâhi min dzâlik.<br />
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya di atas. Lalu, bersegeralah berbenah diri untuk menjadi manusia sukses. Dengan dasar pemikiran, "Dengan memiliki maqam ruhaniah sidqul lisan. Penegakkan kebenaran akan menjadi sebuah tradisi berkeadilan di kehidupan sosial keseharian kaum muslimin mukmin. Hanya dengan berkeadilanlah seorang hamba itu sangat dekat dengan takwallah. Seorang manusia muttaqin pasti hidupnya berbahagia, baik di dunia maupun nanti di akhirat kelak". <br />
Maqam ruhaniah sidqul lisan merupakan puncak dari maqamat hamba terpilih (maqâmatul ashfiyâ`). Karenanya, jika segenap maqam di dalam maqamatul ashfiya` itu dimiliki oleh seorang mukmin muslim, maka dirinya akan memiliki maqam sidqul lisan; insya Allah. []<br />
<br />
<br />
Taubat<br />
<br />
Taubat, itulah yang harus kita lakukan dengan segera. Lalu, kita mesti menjaganya dengan istiqamah lagi mudawamah. Betapa hina diri kita, apabila wafat sewaktu-waktu masih berlumuran dosa dan maksiat. Sementara, pintu taubat telah tertutup rapat. Apa yang dapat kita harap dari semuanya. Kerugian besar telah di depan mata, mati dalam kondisi su'ul khatimah, na'udzu bil-lâhi min dzâlik.<br />
Peringatan dari-Nya telah datang kepada kita silih berganti. Demikianlah cermin kasih-sayang Allah azza wa jalla kepada para makhluk-Nya. Juga buat kita yang telah beriman kepada-Nya dan telah beriman dengan rasul-Nya. <br />
Jawabannya, segeralah kembali ke jalan-Nya yang diridlai-Nya. Sebab, antara yang satu dengan yang lain tidak dapat saling melakukan pembelaan atas adzab Allah. Seperti telah disabdakan Rasulullah saw,<br />
<br />
"Wahai seluruh orang-orang quraisy, tebuslah diri kalian sendiri [dari neraka]! Aku tidak punya kekuasaan sedikit pun untuk membela kalian dari adzab Allah.<br />
Wahai Bani Abdu Manaf, aku tidak punya kekuasaan sedikit pun untuk membela kalian dari adzab Allah.<br />
Wahai Bani Abbas ibnu Abdulmuththalib, aku tidak punya kekuasaan sedikit pun untuk membela kalian dari adzab Allah.<br />
Wahai Shafiah, bibi Rasulullah, aku tidak punya kekuasaan sedikit pun untuk membelamu dari adzab Allah.<br />
Wahai Fathimah binta Muhammad, mintalah hartaku sesukamu, tetapi aku tidak punya kekuasaan sedikit pun untuk membelamu dari adzab Allah" (Hr.Bukhari & Muslim).<br />
<br />
Apa yang telah diserukan, seperti yang tertera dalam hadis di atas, menunjukkan bahwa kelak di hadapan-Nya kita harus mempertanggung-jawabkan segenap amal perbuatan yang telah kita lakukan secara sendiri-sendiri. Bahkan, kepada puterinya sendiri, Nabi saw tidak dapat membelanya dari adzab Allah swt.<br />
<br />
Bertaubatlah Segera<br />
Telah berpesan Rasulullah saw,<br />
<br />
"Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah, dan mintalah ampun kepada-Nya. Karena hatiku saja dipersempit dan ditutupi, sehingga aku meminta ampun kepada Allah ta'âlâ sebanyak 100x setiap hari" (Hr.Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud).<br />
<br />
Dengan memahami hadis Nabi saw tersebut di atas, maka kita harus sadar bahwa yang dapat menyelamatkan diri kita dari siksa neraka-Nya, adalah taubat kita yang tulus ikhlas kepada-Nya dari segenap dosa, maksiat, dan kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak. <br />
Taubat yang tulus ikhlas, adalah kembali dari jalan kesesatan menuju kepada jalan dinul Islam yang diridlai-Nya. Tidak bosan-bosannya kita terus menyesali diri atas segenap perilaku dosa, maksiat, dan salah yang pernah kita lakukan. Menangis dan terus menangis, di samping terus berusaha untuk segera meninggalkan segenap perbuatan yang telah ditaubatinya. Seraya menutup rapat-rapat seluruh jalan dan celah yang dapat menimbulkan perbuatan dosa dan maksiat. Karena seorang mukmin harus yakin, bahwa janji-Nya itu pasti benar. Yakni, mau menerima taubat para hamba-Nya yang segera bertaubat atas segenap dosa, durhaka, maksiat, dan kesalahannya. Seperti telah dijelaskan Rasulullah saw dalam sebuah hadis qudsi,<br />
<br />
"Hai para hamba Ku, sesungguhnya kalian selalu berbuat dosa pada malam dan siang hari. Sedangkan Aku mengampuni dosa-dosa semuanya. Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian" (Hr.Muslim, Baihaqi, dan Hakim).<br />
<br />
Juga, diterangkan dalam hadis qudsi yang lainnya,<br />
<br />
"Hai anak Adam, selama kalian berdoa dan berharap kepada Ku, niscaya Aku akan memberi ampunan kepada kalian atas semua dosa yang kalian lakukan tanpa Ku-pedulikan.<br />
Hai anak Adam, seandainya dosa-dosa kalian mencapai ketinggian langit, lalu kalian memohon ampun kepada Ku. Niscaya Aku akan mengampuni semua dosa yang telah kalian lakukan tanpa Ku-pedulikan.<br />
Hai anak Adam, seandainya kalian datang kepada Ku dengan membawa dosa-dosa sepenuh bumi. Kemudian, kalian datang kepada Ku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun, niscaya Aku akan datang dengan membawa ampunan sepenuh bumi" (Hr.Tirmidzi).<br />
<br />
Wahai saudaraku, prinsipnya adalah kita jangan sampai menunda-menunda taubat kita kepada Allah swt, dan juga jangan menunda-nunda untuk memohon maaf bila terdapat kesalahan terhadap sesama manusia; terutama sesama muslim mukmin. Sebab, seorang muslim dikatakan baik, jikalau di kehidupan kesehariannya dia tidak menunda-nunda untuk melakukan perbuatan baiknya.<br />
<br />
Milikilah Amalul Khair<br />
Seorang manusia sekarat itu sesuai dengan kebiasaannya. Maka, betapa sulitnya untuk diajarkan (talqin) mengucapkan kalimat tauhid, "Lâ ilâha illa-llâhu muhammadur rasûlullâh"; jika seseorang itu tidak memiliki kebiasaan yang baik lagi benar di kehidupannya menurut Neraca Syariat. <br />
Wahai manusia, masih beranikah kalian melakukan pengingkaran-pengingkaran terhadap segenap ke-Esa-an Allah yang Mahakuasa. Di mana Allah swt telah memfirmankan kalam-Nya,<br />
<br />
• • • • • • <br />
"Dan, sesungguhnya kalian datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kalian Kami ciptakan pada mulanya. Dan, kalian tinggalkan di belakang kalian [di dunia] apa yang telah Kami karuniakan kepada kalian. Dan, Kami tiada melihat beserta kalian pemberi syafa'at yang kalian anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kalian. Sungguh telah terputuslah [pertalian] antara kalian dan telah lenyap dari pada kalian apa yang dahulu kalian anggap [sebagai sekutu Allah]" (Qs.al-An'âm: 94).<br />
<br />
Karenanya, adalah kesalahan terbesar di kehidupan seorang manusia, jikalau dirinya beranggapan bahwa ia dibiarkan saja oleh-Nya. Dan, lebih salah lagi, jikalau seorang beranggapan bahwa segenap amal ibadahnya telah diterima-Nya. Inilah yang disinyalir-Nya di dalam firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya. Karena itu mereka tidak beriman kecuali sebagian kecil dari mereka" (Qs.an-Nisâ`: 155).<br />
<br />
Karenanya, Allah azza wa jalla juga menyifati mereka dengan firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Maka, apakah kiranya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka" (Qs.Muhammad: 22-23).<br />
<br />
Sebaliknya, bagi orang yang memiliki pemahaman atas dinul Islam, justru semakin tenggelam dalam ketakutan ketika hidupnya semakin 'dimudahkan-Nya'. Sebab, di dalam dirinya muncul kekhawatiran, jangan-jangan hal itu bentuk istidraj dari-Nya, agar dirinya semakin lalai dan akhirnya jauh dari kehadiran Allah di dalam hatinya. <br />
Karenanya, seorang muslim mukmin senantiasa melakukan pengawasan yang kuat lagi akurat terhadap kesalahannya sendiri, sambil terus melakukan hal-hal yang dapat mendukung taubatan nasuha-nya, seperti:<br />
1. Merasa menjadi orang asing.<br />
2. Merasakan kematian segera datang.<br />
3. Banyak mengingat kematian dan sekaratul maut.<br />
4. Merasakan pedihnya siksaan Allah swt.<br />
5. Banyak mengingat nikmat-nikmat yang telah dikaruniakan-Nya.<br />
6. Banyak memperhatikan dan merenungkan ke-Esa-an Allah azza wa jalla yang Mahakuasa.<br />
7. Banyak belajar dari orang-orang shalih yang telah menjaga taubatan nasuha mereka.<br />
8. Ainul yaqin, ilmul yaqin, dan haqqul yaqin dengan keluasan rahmat Allah azza wa jalla.<br />
Sekaranglah waktunya untuk segera kembali kepada jalan-Nya. Jalan yang diridlai-Nya. Yakni, jalan mendaki yang penuh tantangan. Di mana tak jarang banyak manusia yang jatuh ke dalam jurang dan lembah nista akibat dari pilihan-pilihan yang salah. Yaitu, jalan kesesatan, yang menjauhkan dirinya dari-Nya. <br />
Karenanya, segera penuhi firman-Nya dengan keimanan dan keyakinan yang murni, yang berbunyi,<br />
<br />
• • • • <br />
"Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha [taubat yang semurni-murninya]. Mudah-mudahan Rabb kalian akan menutupi kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersamanya. Sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu"." (Qs.at-Tahrîm: 8).<br />
<br />
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan pelajaran dari segenap perilaku dan perbuatan yang telah dan pernah kita lakukan. Lalu, kita jadikan pembenahan-pembenahan dan perbaikan-perbaikan guna membangun kepribadian muslim mukminin dan mukmin muttaqin. Dengan dasar pemikiran, "Bertaubatlah sesegera mungkin. Tinggalkanlah segala perbuatan yang telah ditaubatinya dengan sikap penuh penyesalan. Dan, hanya bergantunglah kepada-Nya". <br />
Sebab, dengan jalan yang demikianlah kita dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa taubatan nasuha, insya Allah. <br />
<br />
لاَ إِلَهَ إِلاًَّ اللهُ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتِ، اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى سَكَرَاتِ الْمَوْتِ<br />
"Tidak ada sesembahan yang berhak [disembah], kecuali [hanya] Allah. Sungguh pada maut itu [terdapat] sekarat. Wahai Allah, tolonglah aku terhadap sekaratul maut. []<br />
<br />
<br />
Zuhud<br />
<br />
Zuhud, adalah sikap mental seorang muslim mukmin baik lelaki maupun perempuan yang telah baligh, yang di kehidupan kesehariannya menjaga jarak dengan kepentingan duniawiah, disebabkan ia mengelola nafsunya jangan sampai berkecenderungan secara membabi-buta terhadap harta, kekayaan, kedudukan, dan populeritas. Baginya hidup di dunia hanyalah sarana untuk mendekatkan diri dengan Allah melalui apa saja yang telah dianugerahkan kepadanya. <br />
Jadi, sikap mental zuhud bukanlah ajaran yang mengarahkan manusia untuk bersikap antipati terhadap kehidupan dunia, atau bersikap antipati dengan harta benda. <br />
Karenanya, prinsip perilaku zuhud adalah tidak adanya sikap dan perilaku tamak (rakus) terhadap harta benda, atau di dalam memperoleh harta benda tersebut dengan menghalalkan segala cara. <br />
Seorang zahid --orang yang berperilaku zuhud-- lebih memilih memperoleh kehidupan akhiratnya jauh lebih berbahagia dibandingkan kebahagiaan di dunia, meskipun ia tidak melalaikan kehidupan dunianya. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,<br />
<br />
• <br />
Katakanlah, "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun" (Qs.an-Nisâ`: 77).<br />
<br />
Seorang zahid sangat menghendaki di kedua dunianya benar-benar bahagia. Baginya, kehidupan dunia hanyalah sarana untuk memperoleh kebahagiaan kehidupan akhirat yang kekal. Dia tidak mau terjebak dengan segala tipu daya dunia. Dan, dia pun juga tidak mau menurut setiap kehendak hawa nafsunya. Sebab, dia sangat mengimani lagi meyakini firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Allah meluaskan rizeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia. Padahal kehidupan dunia itu [dibandingkan dengan] kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan [yang sedikit]" (Qs.ar-Ra'du: 26).<br />
<br />
Memilih Yang Kekal<br />
Seorang zahid sangat menyadari bahwa di sisi Allah-lah segenap kekekalan terjadi. Maka, dibandingkan dengan akhirat, kehidupan dunia bukanlah bandingannya. Segala apa yang ada di dunia hanyalah kesemuan yang pasti akan mengalami kehancuran, dan memiliki masa akhir. Dikarenakan, kehidupan dunia tidaklah langgeng. Inilah yang selalu dipertahankan oleh seorang zahid, yaitu sebuah sikap mental dan perilaku yang tidak silau dengan kehidupan duniawi. Karenanya, seorang zahid lebih memilih untuk menjaga jarak dengan kehidupan duniawiah, agar tidak larut dalam lembah kelalaian yang memabukkan lagi menina-bubukkan keimanan dan keyakinannya terhadap Allah jalla jalâluh. <br />
Bagi seorang zahid, kehidupan dunia bukan kehidupan yang harus dibenci, apalagi sampai dijauhi. Baginya kehidupan dunia harus diisi dengan segala sesuatu yang bermanfaat, guna mendapatkan kebahagiaan di kedua kehidupan dunia maupun akhirat. Sebagaimana telah diingatkan-Nya,<br />
<br />
<br />
"Maka, sesuatu yang diberikan kepada kalian, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman. Dan, hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal" (Qs.asy-Syurâ: 36).<br />
<br />
Seorang muslim yang berperilaku zuhud, niscaya ia akan dicintai oleh Allah swt, dan ia juga akan dicintai oleh makhluk-Nya. Karena seorang zahid merupakan sosok seorang hamba Allah yang di dalam hatinya sudah tidak memiliki lagi sifat-sifat tercela, seperti: hubbud dunya (menghalalkan segala cara); hubbud jâh (mengejar kedudukan); hubbul mâl (rakus); dan hubbusy syahawât (menuruti nafsu birahi). <br />
Segenap potensi jahat di atas telah ia kelola sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah dinamika yang terahmati bersama dinul Islam. <br />
Karenanya, hampir semua para nabiullah dan segenap utusan-Nya senantiasa mengajak kepada seluruh kaumnya untuk memperjuangkan kehidupan akhiratnya, yang jauh lebih kekal dan lebih langgeng di sisi-Nya. Sebagaimana direkam al-qur`an dalam surat al-mukmin ayat ke-39,<br />
<br />
• <br />
"Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan [sementara], dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal."<br />
<br />
Dengan demikian dapatlah dipahami, jika di negeri ini kehidupannya telah menjadi carut-marut, ribut, dan anarkis. Hal itu lebih dikarenakan cara pikir dan pola pandang masyarakat bangsa ini telah bergeser. Yang semula lebih mengedepankan gotong-royong, tenggang rasa, dan tegur sapa. Seiring dengan perubahan pola pikir dan cara pandang di atas maka perilaku tersebut juga mengalami perubahan, di mana masyarakat bangsa ini sekarang jauh lebih: arogan; anarkis; vulgar; tamak; egois; dan cenderung kanibal. <br />
Kesemuanya dapat terjadi dikarenakan masyarakat bangsa ini telah kehilangan jatidiri dan citra dirinya sebagai bangsa nusantara yang relijius. Di sinilah kita harus berani mengakui bahwa "air bah" westernisasi telah meluluh-lantakkan karakter asil bangsa Indonesia. Padahal seharusnya tidak perlu terjadi, jikalau para pemimpin di negeri ini mampu mendudukkan dirinya sebagai sosok panutan yang layak untuk diteladani oleh masyarakatnya. <br />
<br />
Berlakulah Zuhud<br />
Jika kita menghendaki negeri kita baik, maka jawabannya adalah segeralah berzuhud di kehidupan dunia ini. Apabila masyarakat bangsa ini dapat berlaku zuhud, maka tidak mungkin ada lagi yang namanya: perilaku korupsi; riswah; narkoba; mark up dana proyek; anarkisme; feodalisme; kapitalisme; dan materialisme. <br />
Seseorang menjadi buruk perilakunya dan jahat sikap mentalnya, dikarenakan ia tidak berzuhud di kehidupannya. Di dunia ini yang ada, jika ditinjau dari sisi kemakhlukan, maka yang ada: Komunitas muslim; Komunitas kafir; dan Komunitas munafik. Yang pasti komunitas muslim sangatlah berbeda dengan dua komunitas yang lainnya. Sebab, komunitas muslim lebih memilih kebahagiaan yang langgeng di akhirat kelak, meski tidak melalaikan kehidupan dunia yang fana. <br />
Maka, segera renungkanlah firman-Nya yang menerangkan,<br />
<br />
<br />
"Tetapi kalian [orang-orang kafir] memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal" (Qs.al-A'la: 16-17).<br />
<br />
Disamping itu renungkanlah uswah Rasulullah saw. Dikisahkan, dari sahabat Ibnu Abbas ra, dia berkata, "Umar bin Khaththab bercerita kepadaku, 'Aku pernah memasuki rumah Rasulullah saw. Yang saat itu Nabi saw sedang berbaring di atas selembar tikar. Setelah aku duduk di dekat Nabi saw. Aku baru tahu bahwa Nabi saw juga menggelar kain mantelnya di atas tikar, dan tidak ada sesuatu yang lain. Tikar itu telah menimbulkan bekas guratan di lambungnya. Aku juga melihat di salah satu pojok rumah Nabi saw ada satu takar gandum. Di dinding tergantung selembar kulit yang sudah disamak. Melihat kesederhanaan ini kedua mataku meneteskan air mata'."<br />
"Mengapa kamu menangis, wahai Ibnul Khaththab?" Tanya Nabi saw.<br />
"Wahai nabiullah, bagaimana aku tidak menangis jika melihat gurat-gurat tikar yang membekas di lambung engkau itu, dan almari yang hanya diisi barang itu? Padahal kisra dan kaisar hidup di antara buah-buahan dan sungai yang mengalir. Engkau adalah nabiullah dan orang pilihan-Nya. Sementara, almari engkau hanya seperti itu."<br />
"Wahai Ibnul Khaththab, apakah kamu tidak ridla jika kita mendapatkan akhirat. Sedangkan mereka mendapatkan dunia?" (Hr.Ahmad, Hakim, dan Ibnu Hibban; demikian terdapat dalam Kitâb Mukhtashar Hayâtush Shahabah). <br />
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan pelajaran dari segenap firman-Nya dan teladan Rasulullah saw tersebut di atas. Dan, segeralah berbenah diri untuk menjadi manusia yang terbaik, yakni seorang Human Elyon (Manusia Mulia). Dengan dasar pemikiran, "Berzuhudlah dengan segera. Tinggalkanlah segala perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Dan, yakinlah Allah pasti menyukai para hamba-Nya yang berperilaku zahid". <br />
Sebab, hanya dengan jalan itulah kita nantinya akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa zuhud, insya Allah. []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Ridla<br />
<br />
Ridla, adalah sikap mental seorang hamba yang senang dengan menjalankan atau menunaikan segenap perintah dan larangan-Nya, semata hanya berharap seganap apa yang telah dilakukannya diterima oleh Allah swt, Rasulullah saw senang, dan segenap makhluk-Nya telah mendapatkan curahan kasih-sayangnya. <br />
Dengan kata lain, ridla merupakan pintu gerbang kegamaan dan keberagamaan keislaman bagi seorang muslim mukmin. Sebab, hanya dari pintu kelembutan yang disebut ridla, seorang muslim mukmin akan selamat di dalam mengimplementasikan keislamannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti: Taqarrub ila-llâh (mendekatkan diri hanya kepada Allah); Taslim bisy-syari'atillâh (hanya tunduk dengan syariatnya Allah); Hasbiyyallâh (mencukupkan diri hanya dengan Allah); Tawakkal 'ala-llâh (percaya diri hanya dengan pertolongan Allah); dan Taqwallâh (komitmen lagi konsisten dengan segenap perintah Allah).<br />
Seorang manusia tanpa memiliki bekal ridla kepada Rabb-nya. Maka, di kehidupannya segenap perilakunya akan dijalankan dengan 'setengah hati'. Karena, 'Kekuatan Segita al-Mamsuk' (Triangle Force al-Mamsuk)-nya belum difungsikan secara maksimal. <br />
Adalah kebanyakan manusia, dan hal itu merupakan watak buruk seorang hamba, yaitu berperilaku takabur di kala mendapatkan kelapangan dari-Nya. Sebaliknya, menjadi 'agak qana'ah' karena terpaksa dengan segenap ujian-Nya. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,<br />
<br />
• • • <br />
"Adapun manusia apabila Rabb-nya mengujinya, lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan. Maka, dia akan berkata, "Rabb-ku telah memuliakanku". Adapun bila Rabb-nya mengujinya, lalu membatasi rizekinya. Maka, dia berkata, "Rabb-ku menghinakanku"." (Qs.al-Fajr: 15-16).<br />
<br />
Dalam ayat yang lain juga difirmankan-Nya,<br />
<br />
•• • <br />
"Dan, di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi [tidak dengan penuh keyakinan]. Maka, jika ia memperoleh kebaikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang[menjadi kafir lagi]. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata" (Qs.al-Hajj: 11).<br />
<br />
Seorang hamba tanpa memiliki ridla kepada-Nya, maka keislaman yang dijalankannya adalah keislaman setengah hati. Alias, dia berislam dengan menuruti hawa nafsunya. Akibatnya, dia dicap oleh Allah azza wa jalla sebagai orang yang merugi di dunia dan di akhirat.<br />
Marilah kita belajar dari kisah nyata seorang badui Arab di jaman Rasulullah saw. Di mana ia menyatakan diri hendak memeluk dinul Islam di hadapan Rasulullah saw. Karenanya, oleh Nabi saw orang badui itu diberikan harta benda oleh beliau. Namun si badui itu memberitahu kepada Nabi saw, "Wahai Rasulullah, saya tidak membai'atmu karena ini."<br />
Nabi saw balik bertanya, "Lalu atas dasar apa kamu membai'at aku?" Si badui menjawab, "Saya menginginkan sebuah anak panah yang tajam yang tepat mengena di sini --dia mengisyaratkan ke kerongkongannya-- dan keluar dari sini --dia mengisyaratkan ke punggungnya."<br />
Rasulullah saw pun bersabda, "Jika kamu jujur kepada Allah. Maka, Allah akan mengabulkan apa yang kamu mau."<br />
Setelah menjadi muslim. Si badui itu turut serta dalam peperangan membela dinul Islam. Dan, benar, sebuah anak panah yang tajam melesat mengenai kerongkongannya dan tembus ke punggungnya. Akhirnya si badui tersebut wafat sebagai syuhada` menghadap Allah jalla jalâluh dengan penuh ridla dan diridlai.<br />
Dari pelajaran di atas, yang kemudian kita petik pelajarannya, adalah bagaimana dengan keislaman kita? Sudahkah dengan ridla?! Atau, sebaliknya, keagamaan dan keberagamaan kita justru merupakan keislaman 'setengah hati'?! <br />
Sudah barangtentu yang mengetahui adalah diri kita sendiri, benarkah keislaman kita sungguh-sungguh. Atau, sebaliknya, yakni menjadi 'muslim pinggiran', seperti disitir dalam firman-Nya di atas; na'udzu billâhi min dzâlik.<br />
Karenanya, betapa ruginya menjadi seorang manusia. Jika di kehidupannya tidak ridla terhadap keberadaan Rabb-nya. Kejadian dan keputusan yang akan dialami manusia telah tertulis pada lauh mahfudz. Artinya, kita harus selalu mengimani qadla` dan qadar-Nya. Apa pun yang terjadi dikarenakan skenario-Nya jauh lebih hebat dan rapi dibandingkan dengan rencana seorang manusia yang pandai sekalipun. Bahkan, para manusia yang keimanan dan keyakinannya setengah hati kepada Rabb-nya, ditantang oleh Allah azza wa jalla, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Maka, hendaklah ia merentangkan tali ke langit. Kemudian, hendaklah ia melaluinya. Kemudian, hendaklah ia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya --yakni kemajuan dinul Islam." (Qs.al-Hajj: 15).<br />
<br />
Seorang hamba Allah yang ridla dengan apa yang diterimanya, dia akan mempunyai harga diri yang sebenarnya. Sementara, harga diri seseorang sangat ditentukan oleh: kemampuannya; amal shalihnya; kemanfaatannya; budi pekertinya; tatakramanya; dan kemauannya. <br />
Karenanya, tidak usah bersedih hati, jika saat ini kita masih dikaruniai-Nya: cacat fisik; tidak berpenampilan menarik; tidak memiliki gelar kesarjanaan dan gelar kehormatan; belum punya rumah; tidak memiliki pekerjaan tetap; tidak dihargai orang lain; belum dianugerahi putera; atau belum diberikan harta kekayaan. Sebab, untuk melakukan perubahan Allah swt tidak membutuhkan persyaratan duniawiah tersebut. Yang terpenting, dan hal itu harus segera dilakukan, adalah mendesain kepribadian kita menjadi manusia mulia (Human Elyon), yang berkepribadian râdliatam mardliah. Sebagaimana telah diingatkan-Nya hal itu kepada Nabiullah Musa as,<br />
<br />
•• <br />
Allah berfirman, "Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih [melebihkan] kamu dan manusia yang lain [di masamu] untuk membawa risalah Ku, dan untuk berbicara langsung dengan Ku. Sebab, itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu, dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur." (Qs.al-A'râf: 144).<br />
<br />
Karenanya, belajarlah dari orang-orang besar di jamannya masing-masing. Di mana kita tahu, bahwa kebesaran seseorang itu tidak terletak kepada kekayaannya, kedudukannya, populeritasnya, keilmuannya, dan kehebatannya. <br />
Akan tetapi, menurut alfaqîr, orang besar itu adalah seseorang yang mampu menahan dirinya dan mengetahui dirinya untuk menjadi orang yang paling bermanfaat terhadap segenap makhluk-Nya. Sehingga dia tidak segan untuk melawan dirinya sendiri demi menegakkan perjuangan kemanusiaan yang terdapat dalam dirinya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia. Dan, Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan, rahmat Rabb-mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (Qs.az-Zukhrûf: 32).<br />
<br />
Contoh orang-orang besar itu adalah para nabiullah, para rasulullah, para sahabat Nabi saw, dan para kekasih-Nya. <br />
Atau, sebut saja: Sahabat Ibnu Mas'ud ra ahli hadis rasul, yang kakinya kecil (konon sering diejek karena penampilannya yang buruk); Sahabat Bilal ra, yang mantan budak; Sahabat Ibnu Maktum ra yang buta kedua matanya. <br />
Juga pada generasi selanjutnya, seperti: Atha` bin Rabah ra, mantan budak yang ilmu pengetahuan diniahnya telah mencapai derajat alim (konon hidungnya pesek, kulitnya hitam, lumpuh tangannya, dan rambutnya kriting; sehingga penampilannya tidak disenangi, red); Ahnâf bin Qais ra, dikenal masyarakat Arab pada waktu itu karena akhlak sabar dan penyantunnya (konon dikenal badannya sangat kurus, punggungnya bongkok, betisnya melengkung, dan postur tubuhnya lemah, red); dan al-A'masy ra, seorang ulama ahli hadis yang sangat terkenal di dunia ini (konon matanya sayu, dia mantan budak, hidupnya penuh dengan kefakiran, bajunya compang-camping, tidak punya rumah, dan penampilannya tidak menarik, red).<br />
Coba renungkan, lalu bandingkan dengan orang-orang top di negeri ini. Yang konon sementara ini kita menganggapnya 'sukses'. Benarkah demikian? Beranikah mereka berkorban untuk orang lain?<br />
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya, teladan Rasulullah saw, para nabiullah, para kekasih-Nya, para sahabat Nabi saw, dan orang-orang sukses tersebut di atas. <br />
Dan, segeralah berbenah diri untuk menjadi manusia sukses, seperti mereka yang telah mendahului kita. Dengan dasar pemikiran, "Berlaku ridla tidak akan sedikit pun merugikan seorang manusia. Tinggalkanlah berperilaku bermain-main dalam beragama. Sebab, hal itu akan merugikan diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat kelak". <br />
Sebab, dengan berperilaku tersebut di atas kita nantinya akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa ridla, insya Allah. []<br />
<br />
<br />
<br />
Khauf<br />
<br />
Khauf, adalah sikap mental seorang hamba yang penuh ketakutan hanya dengan Allah azza wa jalla, dikarenakan merasa masih belum dapat melaksanakan segenap amanah-Nya yang telah diberikan kepada-Nya, sementara, di dalam dirinya telah mengimani jika Allah itu telah memberikan segenap fasilitas hidayah-Nya kepadanya secara sempurna guna menjadikan dirinya sebagai seorang hamba yang senantiasa meridlai-Nya. Sehingga muncullah perasaan berdosa, rasa bersalah, dan pikiran bahwa dirinya tidak sempurna, terus melekat padanya.<br />
Dengan demikian kepribadian seorang hamba yang di dalam dirinya terdapat rasa khauf. Di kehidupan kesehariannya akan melahirkan sikap mental dan perilaku keislaman, seperti: <br />
1. Menomor-satukan Allah (al-mauhîd). <br />
2. Sidqun (benar dalam berketaatan terhadap Allah).<br />
3. Ikhlâsh (murni dalam berpengabdian dengan Allah).<br />
4. Shabûr (berpengendalian diri); <br />
5. Syakûr (tahu diri).<br />
6. Tawâdlu' (rendah hati). <br />
Bahkan, lebih dari itu, seorang hamba yang telah memiliki rasa khauf kepada-Nya akan dikaruniai-Nya: Tafaqquh fid-dîn; Akhlâqul karîmah; Adâbul musthafawiah; dan Laduniah.<br />
<br />
Indahnya Khauf<br />
Hanya hati yang sakit, atau hati yang mati yang tidak pernah takut dengan Allah azza wa jalla. Hati seorang muslim adalah hati yang berkualitaskan qalbun salim. Hati yang berkedudukan qalbun salim senantiasa menyadarkan dan memberikan pencerahan kepada pemiliknya. Inilah yang membedakan hati seorang muslim dengan hatinya orang-orang kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,<br />
<br />
•• • <br />
"Dan, apakah orang yang sudah mati [orang yang telah mati hatinya, yakni orang-orang kafir dan sebagainya]. Kemudian, dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang. Yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan" (Qs.al-An'âm: 122).<br />
<br />
Seorang hamba yang memiliki rasa khauf dengan Allah swt. Maka, dia akan mengembalikan segala sesuatunya di kehidupannya dengan mengembalikan kepada ke-Mahakuasaan Allah azza wa jalla. Sebagaimana diterangkan-Nya,<br />
<br />
<br />
"Maka, segeralah kembali kepada [menaati] Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untuk kalian" (Qs.adz-Dzâriât: 50).<br />
<br />
Berbahagialah, jika kita termasuk salah seorang yang dikaruniai-Nya memiliki rasa khauf dengan-Nya. Sebab, Allah swt telah menjamin dengan surga-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Dan, bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabb-nya ada dua surga [surga akhirat dan surga dunia]. Maka, nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?" (Qs.ar-Rahmân: 46-47).<br />
<br />
Dalam ayat yang lain juga dijelaskan-Nya,<br />
<br />
• • • • <br />
"Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal-[nya]" (Qs.an-Nâzi'ât: 40-41).<br />
<br />
Beberapa Kiat Untuk Memiliki Rasa Khauf<br />
Ada beberapa kiat penting yang harus dijalankan oleh seorang muslim mukmin, agar di kehidupan kesehariannya dikaruniai-Nya rasa khauf dengan-Nya. Yaitu,<br />
1. Berziarah Ke Maqbarah.<br />
Dalam sabdanya Nabi saw berpesan, <br />
<br />
"Sesungguhnya maqbarah itu mengingatkan kalian akan negeri akhirat" (Hr.Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Nasâ`i, dan Ibnu Majah).<br />
<br />
Di hadis yang lain disabdakan, <br />
<br />
"Ziarahilah maqbarah. Karena dia [maqbarah] akan mengingatkan kepada kematian."<br />
<br />
2. Dzikrul Maut.<br />
Biasakan memperbanyak dzikrul maut (mengingat kematian), baik di pagi hari, sore hari, menjelang tidur, setelah shalat, dan sehabis makan.<br />
Dikisahkan, apabila Umar hendak berbaring ke tempat tidurnya, dia menggigil seperti burung takut kedinginan. Lalu, aku (istrerinya, Fatimah binti Abdulmalik, red) bertanya, "Wahai amirul mukminin, mengapa engkau belum tidur?"<br />
Umar ra menjawab, "Bagaimana aku dapat tidur. Sesungguhnya kasur ini telah mengingatkanku pada maqbarah."<br />
Juga diriwayatkan, Sufyan ats-Tsauri ra pernah membaca firman-Nya,<br />
<br />
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu [dalam soal banyak harta, anak, pengikut, kemuliaan, dan menyibukkan diri dengan urusan duniawiah telah melalaikan kamu dari ketaatan], sampai kamu masuk ke dalam kubur" (Qs.at-Takâtsur: 1-2).<br />
<br />
Dari shalat isya` sampai shalat subuh. Jika dia beranjak untuk tidur. Dia berkata, "Bagaimana aku dapat tidur. Sementara maqbarah sudah di depan mataku!" (demikian diceritakan oleh Imam adz-Dzahabi ra).<br />
3. Dzikrusy Syadîdil Adzâb.<br />
Sebagai seorang muslim harus mendoktrin dirinya sendiri. Bahwa, siksa ('adzâb) Allah swt itu sangatlah pedih. Karena saking pedihnya sehingga tidak dapat dibayangkan lagi kengeriannya. Dengan demikian kita akan terbangun sebuah kepribadian yang tercerahkan, yaitu kepribadian yang lembut dan penuh kasih-sayang.<br />
4. Muraqabah.<br />
Adalah Imam Ahmad bin Hambal ra murid dari Imam Syafi'i ra jika berada di rumah senantiasa terlihat ketakutan yang sangat. Sampai suatu ketika salah seorang shantrinya bertanya, "Wahai imam, ada apa dengan engkau. Bila engkau duduk bersama manusia, engkau tidak khusyuk. Tetapi jika engkau duduk sendirian, engkau sangat khusyuk?"<br />
Imam Ahmad menjawab, "Dalam hadis qudsi, Allah ta'âlâ berfirman, "Aku adalah teman duduk bagi orang yang mengingat Ku." Lalu, bagaimana aku bisa tidak sopan di hadapan Allah?"<br />
<br />
<br />
Adapun Sebab-Sebab Hilangnya Rasa Khauf<br />
Para ulama sepakat bahwa ada empat hal yang mengakibatkan seorang hamba tidak memiliki rasa khauf dengan Allah swt.<br />
a. Lalai.<br />
Sikap mental dan perilaku lalai menurut al-qur`an, adalah, <br />
<br />
• <br />
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya" (Qs.Qâf: 37).<br />
<br />
Dan, secara tegas Allah juga menyindir seseorang yang lalai dengan firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Maka, apakah mereka tidak memperhatikan al-qur`an, ataukah hati mereka terkunci?" (Qs.Muhammad: 24).<br />
<br />
<br />
b. Maksiat.<br />
Seseorang yang sering atau terbiasa melakukan kemaksiatan kepada-Nya. Maka, sangat sulit baginya untuk dapat mengamalkan perilaku zuhud dan ridla. Sebagaimana hal itu dianalogkan dengan kegelapan yang tindih-menindih dalam firman-Nya,<br />
<br />
"Atau, seperti gelap-gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak [pula], di atasnya [lagi] awan. Gelap-gulita yang tindih-menindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya. [Dan], barangsiapa yang tiada diberi cahaya [petunjuk] oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun" (Qs.an-Nûr: 40).<br />
<br />
Dan, adalah dampak langsung dari kemaksiatan, yakni terhijabnya hati seorang hamba dengan-Nya. Sebagaimana difirmankan-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Sekali-kali tidak [demikian], sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka" (Qs.al-Muthaffifîn: 14).<br />
<br />
c. Memperbanyak hal-hal yang diperbolehkan.<br />
Adalah sesuatu yang sangat merugikan, jikalau di kehidupan seorang hamba itu sangat kelewat batas dalam memenuhi kebutuhannya atau kesenangannya; meski hal itu diperbolehkan oleh dinul Islam.<br />
Sebab, akan berdampak langsung kepada fungsi hati dan jiwa yang tidak lagi takut (khauf) dengan-Nya. Contoh, mencintai dunia boleh. Tapi, jika sudah hubbud dunya, maka seseorang tidak akan lagi merasa khauf dengan-Nya. Menjadi pemimpin boleh. Tapi, jika sudah hubbul jâh (cinta kedudukan), maka seseorang itu tidak akan lagi khauf dengan-Nya. Perasaan senang terhadap harta benda boleh. Tapi, jika sudah hubbul mâl, maka Allah sudah tidak ditakuti lagi.<br />
d. Menyia-nyiakan waktu.<br />
Karenanya, Allah swt begitu sangat menekankan kepada para hamba-Nya, supaya efektif, efesien, kreatif, dan produktif dalam menggunakan waktunya. Sebagaimana diperintahkan dalam firman-Nya.<br />
<br />
• <br />
"Maka, apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main [saja]. Dan bahwa, kalian tidak akan dikembalikan kepada kami? Maka, Mahatinggi Allah, Raja yang sebenarnya; tidak ada ilah selain Dia, Rabb [yang mempunyai] 'arsy yang mulia. Dan, barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu. Maka, sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabb-nya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung. Dan, katakanlah, "Wahai Rabb-ku, berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah pemberi rahmat yang paling baik"." (Qs.al-Mu'minûn: 115-118).<br />
<br />
Ciri-Ciri Khauf<br />
Ulama menyepakati adanya empat karakteristik pokok di dalam mengukur ciri-ciri khauf terhadap-Nya, yaitu:<br />
1. Satunya kata dengan perbuatan.<br />
Yang dimaksud, adalah terdapatnya keselarasan kebenaran antara dhahir dengan bathinnya dan bathin dengan dhahirnya. Seperti diungkapkan dalam sebuah hadis qudsi,<br />
<br />
"Akan terdapat beberapa kaum yang menampakkan kepura-puraan dalam kekhusyukan kepada manusia. Mereka memakai kulit-kulit halus domba untuk manusia. Lidah mereka lebih manis daripada madu. Hati mereka lebih pahit daripada tanaman sejenis bakung [rasanya sangat pahit]. Maka, atas nama Ku. Aku bersumpah untuk menurunkan fitnah dan cobaan yang menjadikan orang yang lembut menjadi bingung. Apakah mereka hendak menipu Ku, ataukah mereka begitu berani kepada Ku" (Hr.Tirmidzi, dari sahabat Abu Hurairah ra dan dari sahabat Abdullah bin Umar ra).<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
2. Jujur dengan-Nya.<br />
Yang dimaksud, senantiasa berketaatan secara benar terhadap Allah swt, baik benar dalam aspek hâl (di setiap keadaan), aqwâl (segenap pembicaraan), dan a'mâl (amal perbuatan). Begitu juga dengan sesama manusia, sikap mental dan perilaku jujurnya telah dijadikan penglima kehidupannya.<br />
<br />
3. Menyesali segenap perbuatan buruknya, dan gembira dengan segala perbuatan baiknya.<br />
Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya,<br />
<br />
"Dan, [juga] orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri --dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil-- mereka ingat akan Allah. Lalu, memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan, mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal" (Qs.Ali Imrân: 135-136).<br />
<br />
4. Berprinsip, "Hari ini harus lebih baik dibandingkan dengan hari kemarin dan hari esok."<br />
Adalah seorang pembohong, jikalau perbuatan hari kemarin lebih baik dibandingkan dengan perbuatan hari ini, dan perbuatan hari ini lebih baik ketimbang perbuatan esok harinya.<br />
Karenanya, seorang yang memiliki rasa khauf di dalam dirinya dia senantiasa berusaha untuk mencegah segenap hal yang dapat menuju kepada lembah maksiat terhadap-Nya.<br />
<br />
Demikianlah untuk kita jadikan bahan perenungan di kehidupan keseharian. Apakah di dalam diri kita telah terhiasi dengan mahkota dan mahligai khauf dengan-Nya. <br />
Karenanya, bersegeralah untuk menghiasi diri dan kepribadian kita dengan rasa khauf dengan Allah swt. Sebab, menunda sesaat atas perbuatan baik adalah kebiasaan dari orang-orang yang malas lagi bodoh. <br />
Berprinsiplah dalam hidup ini, "Bersemayamnya rasa khauf di dalam diri dan kepribadian kita, akan membuahkan segenap perilaku yang mendatangkan keindahan dalam hidup di dunia dan di akhirat. Inilah kebahagiaan yang sebenarnya". []<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Jadbun<br />
<br />
Jadbun, adalah sikap mental dan perilaku rindu lagi merindukan untuk dapat selalu taat dengan Allah azza wa jalla. Karenanya, rindu beratnya dengan Allah swt, maka seseorang yang mengalami rindu (majdub), segenap konsentrasinya hanya tertuju, bagaimana agar di kehidupannya ini dapat selalu menaati Allah secara total. <br />
Inilah yang dinamakan dalam kondisi pengosongan diri (al-afragh), yang kemudian ruh, hati, dan jiwanya hanya diisi dengan asma-Nya. <br />
Demikianlah tingkat khusyuk yang hendak dicapai, guna memperoleh kepribadian râdliatam mardliah. Seperti dinyatakan dalam hadis qudsi,<br />
<br />
عن أبي هريرة رضى الله عنه عن النبىh قال: إِنَّ الله تعالى يقولُ: <br />
(( يَا ابْنَ آدمَ، تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِي، أَمْلأْ صَدْرَكَ غِنًى، وَأَسُدَّ فَقْرَكَ، وَإِلاَّ تَفْعَلْ مَلأْتُ يَدَيْكَ شُغْلاً، وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ ))<br />
(صحيح، أخرجه الترمذي، فى كتاب الأحاديث القدسية ص26/ر11)<br />
<br />
<br />
<br />
"Sesungguhnya Allah ta'âlâ telah berfirman:<br />
<br />
"Hai anak keturunan Adam, berkonsentrasilah kalian untuk beribadah kepada Ku, maka Aku akan memenuhi hati kalian dengan rasa cukup [ghinan] --dari segala kebutuhan-- dan Aku akan menghilangkan kebutuhan kalian –terhadap makhluk. Jika kalian tidak mengerjakan hal tersebut, maka Aku akan memenuhi kedua tangan kalian dengan kesibukan, dan juga tidak menghilangkan kebutuhan kalian --kepada makhluk" (Shahih, dikeluarkan Imam Tirmidzi ra. Dalam Kitâb al-Ahâdîtsil Qudsiyyah, hal.26, no.11).<br />
<br />
Jadi, orang yang sedang menekuni perilaku jadbun. Maka, di kehidupan kesehariannya sudah tidak bergantung lagi dengan seorang manusia. <br />
Dengan kata lain, sudah tidak lagi memperhatikan segala gerak hidup manusia yang tidak menyandarkan dan mengikat kuat dengan Neraca Syariat. Seseorang yang memiliki sikap mental jadbun, azzamnya cuma satu, yakni di dalam hatinya yang ada hanya Allah jalla jalâluh; selain-Nya tidak boleh singgah. Oleh sebab itu implementasi dari jadbun-nya itu, adalah:<br />
<br />
1. CC Dengan Ajaran Tauhid.<br />
<br />
<br />
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi [dosa] orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan, Allah mengetahui tempat kalian berusaha dan tempat kalian tinggal" (Qs.Muhammad: 19). <br />
<br />
<br />
"Dan, sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada [nabi-nabi] yang sebelummu. Jika kamu mempersekutukan [Allah], niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur" (Qs.az-Zumar: 65-66).<br />
<br />
<br />
"Maka, apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk [menerima] agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabb-nya [sama dengan orang yang membatu hatinya?] Maka, kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata" (Qs.az-Zumar: 22).<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
2. CC Dengan Dzikrullah.<br />
<br />
<br />
"[Yaitu] orang-orang yang beriman, dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik" (Qs.ar-Ra'du: 28-29).<br />
<br />
لاَيَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا بِذِكْرِ اللهِ<br />
"Hendaklah lisanmu tetap basah karena [banyak] berdzikir kepada Allah" (Hr.Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).<br />
<br />
سِيْرُوْا هَذَا جُمْدَانَ سَبَقَ الْمُفَرِّدُوْنَ قَالُوْا وَمَا الْمُفَرِّدُوْنَ يَارَسُوْلَ اللهِ قَالَ الذَّاكِرُوْنَ اللهَ كَثِيْراً وَالذَّاكِرَاتُ<br />
"Berjalanlah kalian ke arah bukit Jamdan. Kaum mufridun telah berada paling depan." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah kaum mufridun itu?" Rasul saw menjawab, "Orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allah dari kaum lelaki dan kaum perempuan" (Hr.Muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban).<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
3. Ridla Dengan Takdir-Nya.<br />
<br />
• <br />
"Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. Dan, perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata" (Qs.al-Qamar: 49-50).<br />
<br />
وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ<br />
"Dan, ketahuilah, bahwa musibah yang menimpamu bukanlah hal yang nyasar dan yang luput dari kamu karena memang tidak untuk menimpamu" (Hr.Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, dan Baihaqi).<br />
<br />
وَاحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَتَعْجَزْ وَلاَتَقُلْ لَوْ أَ نِّي فَعَلْتُ كَذَا لَكَانَ وَكَذَا وَلَكِنْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ<br />
"Berkehendak keraslah kamu untuk mencari sesuatu yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah. Jangan loyo. Dan, jangan kamu katakan, 'Seandainya aku melakukan anu, tentulah akibatnya anu dan anu.' Tetapi ketakanlah, 'Takdir Allah tak dapat ditolak dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.' Karena sesungguhnya 'kalau' [berandai-andai] itu membuka peluang bagi setan untuk berperan" (Hr.Muslim, Ahmad, Nasâ'i, dan Ibnu Majah).<br />
<br />
4. Menjauhi Maksiat.<br />
<br />
• • • <br />
"[Tetapi] karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka. Dan, Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan [Allah] dari tempat-tempatnya [merubah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi]. Dan, mereka [sengaja] melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya. Dan, kamu [Muhammad] senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka [yang tidak berkhianat] Maka, maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik" (Qs.al-Mâ`idah: 13).<br />
<br />
<br />
"Barangsiapa yang tiada diberi cahaya [petunjuk] oleh Allah tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikit pun" (Qs.an-Nûr: 40).<br />
<br />
5. Qana'ah (mengelola pemberian-Nya secara hemat & produktif).<br />
• • <br />
"Maka, terangkanlah kepada Ku tentang yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami-kah yang menumbuhkannya?" (Qs.al-Waqi'ah: 63-64).<br />
<br />
<br />
"Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rizeki kepada yang di kehendaki-Nya, dan Dia-lah yang Mahakuat lagi Mahaperkasa" (Qs.asy-Syûrâ: 19).<br />
<br />
• • • • <br />
"Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka, sesungguhnya surgalah tempat tinggal-[nya]" (Qs.an-Nâzi'ât: 40-41).<br />
<br />
<br />
6. CC Dengan al-Qur`an.<br />
<br />
<br />
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya. Dan supaya, mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran" (Qs.Shâd: 29).<br />
<br />
• • • <br />
"Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Allah [yang Maharahman] yang Mahapemurah [al-qur`an], Kami adakan baginya setan [yang menyesatkan]. Maka, setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan, sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk" (Qs.az-Zukhrûf: 36-37).<br />
<br />
7. Memiliki Kecerdasan Sosial.<br />
<br />
<br />
"Tahukah kamu [orang] yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak, menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, [yaitu] orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya` [melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat], dan enggan [menolong dengan] barang berguna [enggan membayar zakat ]" (Qs.al-Ma'ûn: 1-7).<br />
<br />
Rindu: Karena Harap-Harap Cemas<br />
Seseorang yang telah berkedudukan ruhani jadbun benar-benar mengimani lagi yakini, firman-Nya,<br />
<br />
• • <br />
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka. Dan, lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan [apa yang mereka usahakan di dunia itu tidak ada pahalanya di akhirat]." (Qs.Hûd: 15-16).<br />
<br />
Karenanya, bagi seorang hamba yang telah berkedudukan ruhani jadbun, tidak mau lagi berurusan dengan segala sesuatu yang dapat mencondongkan akidah dan akhlak keluar dari Neraca Syariat. <br />
Di kehidupannya, seorang yang memiliki kedudukan ruhani jadbun berusaha sekuat tenaga melakukan rekonstruksi diri dan kepribadiannya, agar memenuhi firman-Nya,<br />
<br />
• • <br />
"Dan, [juga] orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri. Mereka ingat akan Allah. Lalu, memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan, mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah, ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai. Sedangkan mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal" (Qs.Ali Imrân: 135-136).<br />
<br />
Untuk itu bersegeralah berbenah diri guna menjadi hamba yang sukses di dunia dan sukses di akhirat, seperti mereka para manusia mulia (Human Elyon) yang telah mendahului kita. Karenanya, kita harus berkeyakinan, "Kedudukan ruhani jadbun akan semakin mengantarkan diri seorang hamba, untuk meyakini bahwa segenap amal perbuatannya hanya ditujukan kepada-Nya. Disebabkan, dirinya sangat merindukan belaian kasih-sayang-Nya, berjumpa kelak dengan-Nya, dan berkumpulnya kelak di surga dengan Rasulullah saw". <br />
Karenanya, dengan memasuki wilayah ruhani di kedudukan jadbun. Seorang hamba nantinya akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa mahabbah, insya Allah.[]<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Mahabbah<br />
<br />
Mahabbah, adalah semangat cinta kepada Allah dan rasul-Nya, yang terejawantahkan ke dalam sikap mental dan seluruh perilaku sebagai seorang hamba kepada Allah sebagai al-Khâliq. Niat cintanya kepada Allah dan rasul-Nya telah mengikat kuat dalam kedahsyatan rasa untuk menerima ke-Mahakuasaan dan ke-Mahabesaran Allah jalla jalâluh.<br />
Memang untuk sampai kepada kedudukan ruhani, yang namanya mahabbah, tidak semudah seperti yang diucapkan oleh banyak orang, yang seringkali mengaku bahwa dirinya sebagai seorang pecinta. Karenanya, di dalam al-qur`an, Allah swt telah mengategorikan kaum pecinta (al-muhibbîn) itu ke dalam tiga golongan. Sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Kemudian, al-kitâb itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lalu, di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri. Dan, di antara mereka ada yang pertengahan. Dan, di antara mereka ada [pula] yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan ijin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar" (Qs.Fâthir: 32).<br />
<br />
Ketiga golongan al-muhibbîn itu, adalah: 1).Dhâlimul linafsih; 2).Muqtashidun; dan 3).Sâbiqun bil-Khairât. <br />
Yang dimaksud, dhâlimul linafsih adalah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya. Muqtashidun adalah orang-orang yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya. Sedangkan, sâbiqun bil-khairât ialah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan.<br />
Namun di ketiga golongan tersebut di atas di dalam hatinya tetap tertanam rasa mahabbah yang kuat dengan-Nya. Itulah ciri dari ketiga golongan al-muhibbin itu, karenanya oleh Allah swt mereka diberi mandat yang berupa hamalatal qur`ân. Sebagaimana terungkap dalam firman-Nya, yang berbunyi "auratsnâl kitâb" (yang telah Kami wariskan al-qur`an).<br />
<br />
Kedudukan Mahabbah<br />
Kedudukan ruhani mahabbah dengan Allah azza wa jalla, bukanlah suatu perjalanan ruhani yang mudah. Akan tetapi ia merupakan sebuah jenjang perjalanan ruhani (suluk) yang sulit, lagi penuh tantangan dan banyak hambatan yang menghadang. <br />
Guna meraih kedudukan ruhani mahabbah tersebut, alfaqîr memberikan beberapa kiat strategis yang dapat membantunya, insya Allah:<br />
<br />
1. Hamalatal Qur`ân.<br />
Salah satu bukti kuat apabila seorang hamba itu benar-benar mencintai-Nya, adalah sejauhmana hamba tersebut menyandangkan al-qur`an di kehidupan sehari-harinya. <br />
Perhatikan, bagaimana kehidupan Rasulullah saw, para isteri beliau, dzurriah beliau (ahli bait), para sahabat nabi, tabi'în, tabi'ut tabi'în, salafush shâlih, dan para ulama`ullâh; kesemuanya benar-benar di kehidupannya telah menyandangkan al-qur`an. Baginya al-qur`an telah menjadi nafas kehidupannya. Demikianlah bukti cintanya kepada Allah azza wa jalla. <br />
Karenanya, adalah sebuah kebohongan besar jika ada seseorang atau suatu komunitas tertentu yang mengklaim sebagai seorang pecinta atau kaum pecinta kepada Allah, namun di keseharian hidupnya tidak menyandang al-qur`an. Karenanya, Rasulullah saw pun memberikan kategoris kepada kaum muslimin mukmin dengan mengkaji dan mengajarkan al-qur`an sebagai tolok ukurnya, apakah seorang muslim itu baik atau buruk. Seperti dinyatakan dalam sabdanya,<br />
<br />
"Sebaik-baik kalian, adalah orang yang mempelajari al-qur`an dan yang mengajarkannya" (Hr.Bukhari & Abu Dawud). <br />
<br />
Dan, dalam sabdanya yang lain, Rasulullah saw juga menyifati seorang muslim yang di dalam dirinya tidak menyandang al-qur`an. <br />
<br />
"Sesungguhnya orang yang tidak ada al-qur`an sama sekali di dalam dirinya, bagaikan rumah yang hancur-lebur" (Hr.Ahmad, Tirmidzi, Darimi, dan Hakim).<br />
<br />
2. Zuhud.<br />
Seorang hamba yang berperilaku zuhud, maka ia akan dicintai oleh Allah, rasul-Nya, dan manusia banyak. Karenanya, terukur pula cinta seorang hamba kepada-Nya dilihat dari sejauhmana kekuatan zuhud-nya terhadap dunia dengan segala kehidupannya. <br />
Diriwayatkan, Seseorang mendatangi Rasulullah, dan berkata, "Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal [ibadah] yang jika aku melakukannya, Allah akan mencintaiku, dan aku juga dicintai oleh segenap manusia?"<br />
Maka, Rasulullah saw bersabda, <br />
<br />
"Bersikap zuhudlah kamu terhadap kehidupan dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Dan, bersikap zuhudlah terhadap sesuatu yang dimiliki oleh manusia, maka manusia akan mencintaimu" (Hr.Ibnu Majah, Hakim, dan Syihab).<br />
<br />
Dari sikap zuhud, maka seorang hamba akan mengelola hatinya untuk tidak sedikit pun condong dengan dunia dan kehidupannya. Sebab, di dalam hati seorang zahid yang ada hanya Allah dengan segala asma, af'al, dan dzat-Nya. Sehingga tidak sedikit pun terpikirkan dalam hatinya mengenai selain-Nya. <br />
3. Qiamul Lail.<br />
Di kalangan para pecinta, qiamul lail telah menjadi lembaga intuisional rabbani yang benar-benar dijaga kontinuitasnya, keajegannya, dan CC-nya. Sehingga oleh Allah swt para peyangga qiamul lail diabadikan di dalam al-qur`an dengan firman-Nya,<br />
<br />
<br />
"Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan, selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar" (Qs.adz-Dzâriât: 17-18).<br />
<br />
<br />
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya [tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam], dan mereka selalu berdoa kepada Rabb-nya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa-apa rezki yang Kami berikan" (Qs.as-Sajdah: 16).<br />
<br />
• <br />
"Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus [golongan ahli kitab yang telah memeluk agama Islam], mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud [sembahyang]" (Qs.Ali Imrân: 113).<br />
<br />
Karenanya, Rasullah saw menjamin,<br />
<br />
"Rabb kita, Allah ta'âlâ, turun ke langit dunia, tatkala 1/3 waktu malam masih tersisa. Allah menyerukan, adakah di antara hamba Ku yang berdoa kepada Ku, supaya Aku mengabulkan permintaannya? Adakah di antara hamba Ku yang meminta ampun kepada Ku, supaya Aku mengampuninya? Adakah di antara hamba Ku yang meminta kepada Ku, supaya Aku memenuhinya" (Hr.Bukhari & Muslim).<br />
<br />
Guna mendapatkan kontinuitas, keajegan, dan CC-nya terhadap qiamul lail. Maka, hendaknya penuhilah beberapa tips praktis alfaqîr:<br />
a. Tidak melakukan kemaksiatan, kedurhakaan, dan dosa pada siang harinya, atau sebelum tidurnya.<br />
b. Ketika hendak berangkat tidur, di saat telah berada di pembaringan biasakan dengan wirdullah atau dzikrullah ringan. Seperti membaca: Tasbîh 33x, Tahmîd 33x, dan Takbîr 34x (Hr.Bukhari).<br />
c. Tinggalkan kehidupan begadang dan cangkruk, atau nonton TV ketika hendak berangkat tidur. Hal itu dapat diganti dengan membaca buku-buku sirah, atau kisah-kisah sahabat nabi.<br />
d. Usahakan tidur siang hari, walau sesaat.<br />
e. Biasakan minum air putih sebanyak 200 cc ketika hendak berangkat tidur maupun di saat bangun tidur.<br />
4. Tadabbur bi Ayatillah.<br />
Sikap mental merenungkan segenap hasil ciptaan-Nya akan sangat cepat mendorong termilikinya kecerdasan motivasi untuk mahabbah. Karenanya, banyak sekali firman-Nya yang memotivasi umat manusia untuk ber-mahabbah. Sebagaimana dinyatakan-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal" (Qs.Ali Imrân: 190).<br />
<br />
<br />
"Maka, apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan, langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan, gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan, bumi bagaimana ia dihamparkan?" (Qs.al-Ghâsiah: 17-20).<br />
<br />
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya, teladan Rasulullah saw, para sahabat Nabi saw, dan orang-orang sukses yang telah mendahului kita. Semata untuk meningkatkan rasa mahabbah kita terhadap-Nya. Sebagai wujud nyata dari kemakhlukan kita yang hanya mengabdi dengan Allah jalla jalâluh.<br />
Karenanya, segeralah berbenah diri untuk menjadi manusia sukses sejati, seperti mereka yang telah mendahului kita. Dengan dasar pemikiran, "Tidak ada kerugian karena mencintai-Nya. Hiasilah ruh dan hati dengan mahabbah, sehingga jiwa memantulkan cahaya-Nya dan cahaya rasul-Nya". <br />
Kerjakanlah apa yang telah kita pahami dari rasa mahabbah terhadap-Nya. Maka, kita akan dinugerahi-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa husnudlan, insya Allah. []<br />
<br />
Husnudlan<br />
<br />
Husnudlan, adalah sikap mental dan segenap perilaku berbaik sangka seorang hamba kepada Allah azza wa jalla, dan kepada segenap makhluk-Nya. Disebabkan, mengimani lagi meyakini dengan firman-Nya yang terdapat dalam sebuah hadis qudsi, yang berbunyi, <br />
<br />
"Aku [Allah] sesuai dengan prasangka hamba Ku kepada Ku. Maka, berprasangkalah dia kepada Ku sesukanya" (al-Hadîs).<br />
<br />
Dalam perjalanan ruhani (sûluk) seorang sâlik modalnya adalah penuh harap (rajâ`). Sebab, dengan raja` si salik akan mampu bertahan dengan pengendalian dirinya (shabrun). Sedangkan untuk mampu bertahan dalam kesabaran, dia harus memiliki kekuatan transmisi di dalam berbaik sangka dengan-Nya (husnudlan bil-lâh). Dikarenakan, seorang sâlik yang husnudlan bil-lâh itu artinya telah menjaminkan dirinya untuk sukses. <br />
Sebaliknya, orang-orang yang memiliki dlan buruk terhadap Allah swt sudah dapat dipastikan pasti akan mengalami kegagalan. Sebagaimana telah dinyatakan dalam firman-Nya,<br />
<br />
• <br />
"Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk [yang lemah] yang serupa juga dengan kamu. Maka, serulah berhala-berhala itu, lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar" (Qs.al-A'râf: 194).<br />
<br />
Salah satu contoh bukti kecintaan-Nya kepada hamba-Nya yang senantiasa menaruh raja` hanya kepada Allah swt, dan selalu menanti pertolongan-Nya. Bahwa, jalan keluar (makhrajan) akan diberikan-Nya setelah si hamba itu mengalami kebuntuan mencari jalan keluar. <br />
Mengapa semua itu dapat terjadi? Dikarenakan, ujian demi ujian yang harus dilakoni oleh si hamba ketika masih hidup di alam dunia ini, dapat menjadi daya dorong guna menumbuhkan kecerdasan motivasi dan kecerdasan memahami tantangan (MAQ: Motivation & Adversity Quotient)-nya sehingga harapan, sandaran, dan ketergantungan hanya ditujukan kepada-Nya. Disamping, si hamba tersebut harus terus-menerus merasa terdorong untuk selalu mengaktualisasikan percepatan keyakinannya (QB: Quantum Believing). Sehingga di dalam dirinya terdapat kekuatan husnudlan bil-lâh.<br />
Sebagaimana hal itu juga telah dinyatakan di dalam firman-Nya, <br />
<br />
<br />
"Karena itu, ingatlah kalian kepada Ku niscaya Aku ingat [pula] kepada kalian [Allah melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya]. Dan, bersyukurlah kepada Ku. Dan, janganlah kalian mengingkari [nikmat] Ku" (Qs.al-Baqarah: 152).<br />
<br />
Inilah perintah Allah, agar seorang hamba itu di kehidupannya senantiasa memiliki prasangka yang baik dengan Allah (husnudlan). Yang mana hal ini nantinya dapat berdampak langsung untuk membiasakan diri husnudlan dengan para makhluk-Nya, khususnya ber-husnudlan terhadap sesama muslim. <br />
Husnudlan seorang hamba terhadap ke-Mahakuasaan, ke-Mahabesaran, ke-Mahaperkasaan, dan ke-Maha-agungan Allah, adalah sebagaimana memahami segenap ayat-ayat-Nya, bahwa di balik penciptaan sungguh telah ada eksistensi-Nya secara dzat, af'al, dan asma`. Sebagaimana hal itu telah dijelaskan dalam firman-Nya,<br />
<br />
• • <br />
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, [yaitu] orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi [seraya berkata dikarenakan husnudlan terhadap-Nya], "Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau. Maka, peliharalah kami dari siksa neraka"." (Qs.Ali Imrân: 190-191).<br />
<br />
Karenanya, seorang mukmin diperintahkan-Nya untuk senantiasa "membaca" segenap ayat-Nya. Sehingga di dalam dirinya akan selalu muncul perasaan penuh harap terhadap rahmat-Nya. Dan, realitas inilah yang nantinya akan dapat menjadi modal di dalam melakukan ketaatan-ketaatan guna meningkatkan pengabdian dalam ketakwaannya. Oleh sebab itu renungkan firman-Nya di bawah ini,<br />
<br />
<br />
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab [al-qur`an] dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari [perbuatan- perbuatan] keji dan mungkar. Dan, sesungguhnya mengingat Allah [shalat] adalah lebih besar [keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain]. Dan, Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan" (Qs.al-Ankabût: 45).<br />
<br />
Ayat di atas memiliki hakikat kelembutan (haqîqatul luthîf), di mana seorang muslim mukmin harus ber-husnudlan, bahwa perintah shalat mengandung dua nilai transformasi dasar di kehidupan seorang hamba, yaitu: 1).Shalat sebagai wujud transformasi sosial dalam perilaku keseharian seorang mushalli (orang yang shalat, red) berupaya secara maksimal untuk tidak berbuat keji dan munkar; dan 2).Shalat sebagai wujud transformasi intuisional dalam perilaku keseharian mushalli yang berusaha secara optimal menghadirkan kekuatan transmisi-Nya, yakni dzikrullah.<br />
<br />
Implementasi Husnudlan Adalah Akhlakul Karimah<br />
Memiliki akhlak yang mulia adalah dambaan dari setiap muslim mukmin. Seperti telah dijelaskan Nabi saw,<br />
<br />
"Sungguh dengan akhlak yang baik seseorang dapat mencapai derajat orang yang ahli ibadah [banyak shalat dan banyak puasa]" (al-Hadîs).<br />
<br />
Karenanya, seorang hamba yang berhasrat di dalam menekuni perjalanan ruhaninya, sekuat tenaga dia menghendaki memiliki kedudukan ruhani husnudlan. Dikarenakan, dengan husnudlan-nya terhadap Allah azza wa jalla dia akan terbiasa dengan husnudlan terhadap segenap makhluk-Nya, terutama husnudlan sesama musmlim. Sedangkan, husnudlan merupakan salah satu pilar dari akhlak yang mulia (akhlâqul karîmah). <br />
Nabi saw juga pernah memberitahukan lewat sabdanya,<br />
<br />
"Tidakkah pernah aku beritahukan kepada kalian, siapa orang yang tempat duduknya dekat denganku pada Hari Kiamat kelak? Mereka adalah yang paling baik akhlak dan perilakunya" (al-Hadîs).<br />
<br />
Betapa hebatnya ajaran dinul Islam. Dan, betapa sungguh sangat sederhananya cara berpikir yang diajarkan oleh dinul Islam. Ternyata dengan kekuatan husnudlan, seorang hamba --terlepas dia salik atau bukan-- di kehidupan kesehariannya akan memiliki kecerdasan sosial di dalam mengimplementasikan nilai-nilai al-qur`an dan Neraca Syariat. Sehingga dirinya akan menjadi hamba yang berkemanfaatan di dunia, dan berkebahagiaan di akhirat.<br />
Seseorang yang telah dianugerahi akhlakul karimah dan husnudlan di kehidupan kesehariannya, niscaya akan segera mendapatkan nikmat dunia yang akan berujung kepada kegembiraan di akhirat. Dikarenakan, dia telah mendapatkan kebahagiaan di kedua kehidupannya; yakni dunia dan akhirat kelak.<br />
Sementara, seseorang hamba yang akhlaknya buruk dan memiliki kebiasaan su'udlan. Maka, hal itu akan berbuah pada kesengsaran, kehinaan, kegagalan, dan petaka yang pasti akan membawa kerugian di kedua kehidupannya. <br />
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya tersebut di atas. Dan, segeralah berbenah diri untuk menjadi manusia sukses, seperti para pendahulu kita. Dengan suatu keyakinan, "Husnudlan terhadap Allah akan membuahkan banyak keberkahan, kebaikan, kemanfaatan, kesejahteraan, keselamatan, dan ketenangan. Di samping semakin mendekatkan diri dengan-Nya". <br />
Karenanya, dengan berperilaku husnudlan kita nantinya akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa ma'rifah, insya Allah. []<br />
<br />
<br />
<br />
Ma'rifah<br />
<br />
Ma'rifah, adalah kemampuan seorang hamba di dalam menerima dan menangkap sinyal-sinyal Ilahiah dan pesan-pesan yang terdapat pada ayat-ayat Allah azza wa jalla. Sehingga menjadikan seseorang yang berma'rifah itu semakin mendekatkan dirinya dengan-Nya, dan tidak berpaling sedikit pun dari selain-Nya.<br />
Seseorang yang telah dianugera ma'rifah oleh Allah azza wa jalla ('ârifin bil-lâh). Di kehidupannya secara total telah diabdikan untuk membangun kualitas cintanya kepada-Nya. Yang mana hal itu seringkali ditandai, segenap perilaku dan sikap mentalnya di kehidupan sehari-hari telah menjadikan segenap anugerah dan karunia-Nya sebagai fasilitas untuk mendekatkan diri dengan Allah jalla jalâluh.<br />
Jadi, tidak ada hubungannya seorang 'ârifin bil-lâh dengan kehidupan mistik, yang sekarang ini sedang tumbuh menggejala di negeri ini. Misalnya, sebagai orang yang ma'rifah dia telah mampu melihat Tuhan, melihat jin, melihat dunia ghaib, melakukan penyembuhan, menebak nomor togel, meramal karir jabatan, dan masih banyak yang berbau klenik lainnya.<br />
Seorang muslim mukmin harus dapat membedakan dengan benar, dan harus selalu memohon kepada-Nya agar dianugerahi petunjuk yang mengarahkan kepada ke jalan yang benar. Sebab, semakin kemauan seorang manusia itu tinggi untuk merengkuh sebuah cita-cita. Maka, hawa nafsu dan setan dengan segenap tipu dayanya berusaha supaya hamba tersebut gagal menjadi manusia seutuhnya.<br />
Adapun seorang hamba yang menghendaki kedudukan ma'rifatullah. Maka, terdapat empat tangga kecerdasan untuk sampai kepada kedudukan ma'rifatullah tersebut; insya Allah: <br />
1. Ma'rifatun Nafs.<br />
<br />
• • • • <br />
"Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Mahapengampun lagi Mahapenyanyang" (Qs.Yûsuf: 53).<br />
<br />
• <br />
"Dan, sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. [Yaitu] orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lil-lâhi wa innâ ilaihi râji'ûn"; sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali [ini dinamakan kalimat istirjâ`; pernyataan kembali kepada Allah]. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk" (Qs.al-Baqarah: 155-157).<br />
<br />
Berdasarkan dua ayat di atas, prinsip ma'rifatun nafs adalah mendidik dan memberikan pencerahan ruh, hati, jiwa, dan raga; agar secara total berkonsentrasi melakukan pengabdian hanya dengan-Nya.<br />
Sebab, hanya dengan konsentrasi yang total aspek intuisional muncul sebagai kekuatan baru yang dahsyat. Adapun kekuatan baru yang dahsyat itu adalah terdapatnya kesadaran dan pencerahan bahwa dirinya merupakan hamba ('abdun) di sisi-Nya.<br />
2. Ma'rifatul 'Alam.<br />
<br />
•<br />
"Dan, tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya. Dan, Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu" (Qs.al-Hijr: 21).<br />
<br />
<br />
"Wahai Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia" (Qs.Ali Imrân: 191).<br />
<br />
•• <br />
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, disebabkan karena perbuatan tangan manusia; supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari [akibat] perbuatan mereka, agar mereka kembali [ke jalan yang benar]" (Qs.ar-Rûm: 41).<br />
<br />
Ketiga ayat di atas telah menginformasikan kepada kaum muslimin mukmin, bahwa struktur penciptaan alam semesta telah diatur secara detail oleh-Nya. Karenanya, tidak ada satu pun ciptaan-Nya yang tidak berguna di dunia ini, semua pasti ada guna dan dapat memberikan kemanfaatan buat umat manusia. <br />
Guna mengukur kadar kemanfaatannya itulah, Allah swt dengan mengangkat para nabi dan para rasul-Nya untuk menyerukan kepada segenap umat manusia supaya berpedoman dengan Neraca Syariat-Nya. <br />
Untuk itu parameter ma'rifatul 'alam, adalah semakin sabarnya dan semakin syukurnya seorang hamba di kehidupan sehari-hari; hingga memiliki akhlak tawadlu' yang terejawantahkan ke dalam sebuah transformasi tauhid dan transformasi sosial.<br />
Dan telah menjadi kenyataan manakala transformasi tauhid dan transformasi sosial dari akhlak sabar, syukur, dan tawadlu' tidak ada. Maka, kehidupan manusia pasti berbuahkan bencana, petaka, kesulitan, dan kesengsaran.<br />
3. Ma'rifatul Akhirah.<br />
<br />
"Dan, berlaku angkuhlah fir'aun dan bala tentaranya di bumi [Mesir] tanpa alasan yang benar. Dan, mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami" (Qs.al-Qashash: 39).<br />
<br />
<br />
"Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat. Maka, tidaklah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan, jika [amalan itu] hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan [pahala]-nya. Dan, cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan" (Qs.al-Anbiyâ`: 47).<br />
<br />
Dua ayat di atas memberikan acuan teologis, bahwa kehidupan akhirat itu pasti adanya. Maka, seorang hamba harus mengimani keberadaannya. Karenanya, sebagai sebuah kegagalan jika ada seorang hamba yang tidak mengimani keberadaan akhirat. Meskipun memiliki "kesaktian" yang tangguh, karena dia tidak mengimani eksistensi akhirat; maka gagallah dia sebagai manusia. Contohnya, fir'aun yang telah diabadikan-Nya di dalam al-qur`an.<br />
4. Ma'rifatullah.<br />
<br />
• • <br />
"Sesungguhnya pelindungku, ialah yang telah menurunkan al-kitab [al-qur`an], dan Dia melindungi orang-orang yang shalih" (Qs.al-A'râf: 196).<br />
<br />
<br />
"Rabb [yang menguasai] langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya. Maka, sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia [yang patut disembah]?" (Qs.Maryam: 65).<br />
<br />
Berdasarkan kedua ayat di atas, maka kema'rifatan seseorang itu terukur dengan keteguhannya di dalam mengabdi kepada Allah swt selama hidupnya di dunia. Sehingga dari waktu ke waktu keimanannya, keyakinannya, dan ketaslimannya semakin meningkat. Karenanya, totalitas ketergantungannya terhadap Allah swt semakin kuat tak tergoyahkan. <br />
Hal itu dikarenakan, di dalam kepribadian seorang yang berma'rifat berkeyakinan lagi mengimani, bahwa Allah ta'âlâ itu memiliki rencana yang terbaik atas kehidupannya. Sehingga di kehidupan kaum 'ârifin bil-lâh, "idzkur li nafsihi syarran wadzkur min ghairihi khairan"; ingatlah kepada dirinya sendiri segala keburukannya, dan ingatlah dari orang lain segenap kebaikannya; menjadi korikulum yang harus diselesaikannya. Dengan tetap menjadikan: Ma'rifatun Nafs; Ma'rifatul 'Alam; dan Ma'rifatul Akhirah pendukung utama di dalam pencapaian ma'rifatullâh.<br />
<br />
Biasakan Dengan Tiga Hal<br />
Guna mendapatkan kebiasaan berma'rifah, hendaknya seorang hamba di kehidupannya menradisikan:<br />
1. Menyandarkan Hati Hanya Dengan Allah.<br />
Ma'rifah hanya di dapat jikalau seorang hamba hatinya dengan kuat menyandar lagi mengikat dengan Allah azza wa jalla. Harus dijadikan kebiasaan di kehidupan ini untuk mengingkatkan dan menyandarkan hati hanya terhadap-Nya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,<br />
<br />
<br />
"Dan, janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik" (Qs.al-Hasyr: 18-19).<br />
<br />
Inilah kedudukan hati yang nantinya dapat melahirkan kecerdasan Ilahiah (ma'rifatullâh). Dan, seorang hamba yang hatinya telah menyandar lagi mengikat dengan-Nya, dia akan terhindar dari segenap kesulitan, di samping oleh-Nya dia akan dikaruniai kesehatan dlahir & bathin. <br />
2. Menyesali Diri.<br />
Adalah sesuatu yang harus dibiasakan, yakni menyesali diri dari segenap hal yang dapat menjadikan diri seorang hamba berdosa, bermaksiat, dan berdurhaka dengan-Nya. <br />
Taubat dengan menjadikan air mata sebagai hijab terhadap neraka merupakan wujud dari sikap mental ma'rifah.<br />
3. Bertawaqquf Terhadap Yang Ghaib.<br />
Seorang hamba yang menghendaki kedudukan ruhani ma'rifah, maka di kehidupan kesehariannya haruslah membiasakan diri dengan bersikap tawaqquf terhadap segala hal yang ghaib. <br />
Dikarenakan, membicarakan sesuatu yang ghaib tidak ada keilmuan pada diri manusia. Keghaiban dengan segala kerahasiaan adalah mutlak milik-Nya. Sedangkan keterjebakan terhadap masalah-masalah yang ghaib akan dapat merusak sikap mental ma'rifah terhadap-Nya.<br />
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dari segenap firman-Nya di atas, lalu bersegeralah berbenah diri untuk menjadi manusia sukses. Dengan suatu keyakinan bahwa, "Ma'rifah adalah pangkal pemahaman seorang hamba di dalam mengimplementasikan dinul Islam. Tanpa kema'rifatan tidak akan dimiliki kefakihan. Hilangnya kefakihan itu tanda tidak adanya sifat alim dalam berilmu. Karenanya, barangsiapa yang dikaruniai mema'rifati dirinya, maka dia akan dapat mema'rifati Rabb-nya". <br />
Hanya dengan ma'rifah, kehidupan seorang hamba akan memperoleh kebahagiaan yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Betapa ruginya jika ada seorang hamba yang menelantarkan waktunya, melalaikan ibadahnya, dan memboroskan harta bendanya. Sebab, dia pasti akan menjadi manusia yang gagal di kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Karenanya, renungkanlah firman-Nya,<br />
<br />
<br />
Dan, semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia. Dan, kehidupan akhirat itu di sisi Rabb-mu adalah bagi orang-orang yang bertakwa" (Qs.az-Zukhrûf: 35). []<br />
<br />
Penutup<br />
<br />
<br />
Tuhan telah mempersiapkan surga-Nya<br />
dengan banyak pintu.<br />
Bagi seorang mukmin dipersilahkan untuk mengetuknya <br />
yang mana pun.<br />
Lalu memasukinya dari yang mana terserah kepada kita<br />
untuk memilihnya.<br />
<br />
Allah azza wa jalla dengan kasih-Nya memberikan kebebasan dan mempersilahkan manusia untuk memilih antara pintu kebaikan dan pintu kebatilan. Sudah jelas, pintu kebaikan akan menghantarkan manusia kepangkuan-Nya yang hakiki. Sebaliknya pintu kebatilan akan menghantarkan manusia kepada laknat Allah dan Rasul-Nya.<br />
Jika kita berpikir jernih dan menggunakan nurani kita, maka pintu kebaikan yang diberikan Allah ternyata jauh lebih banyak dibandingkan dengan pintu kebatilan. <br />
Akan tetapi, mengapa kebanyakan manusia memilih pintu kebatilan? Tidak lain adalah karena nuraninya telah menuruti hawa nafsu, hawa nafsunya dijadikan nafas dan perilaku yang ditekuninya. Sehingga semakin lalai dan tak sadar telah menjauhi Allah swt. Mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak menggunakan akalnya.<br />
Tidak demikian dengan manusia cerdas yang selalu menggunakan pikiran dan nuraninya. Manusia seperti ini akan menyerahkan dirinya kepada Allah swt, bukan berarti mengikuti arus angin ke mana saja. Justru, kesadaran pikir dan nuraninya menunjukkan pintu-pintu kelembutannya yang sangat halus. Karena dengan pintu-pintu itulah ia bisa bertemu dengan sang khalik dan memohon penjagaan atas dirinya. Dari sinilah manusia akan tercerahkan dengan cahaya Ilahi sehingga terhindar dari hal-hal yang mungkin bisa merusak hati nurani. Dengan cahaya ini, nurani akan selalu terbimbing pada jalan Allah swt. Dan nurani yang terbimbing akan mewujudkan akhlakul karimah pemiliknya.<br />
Pintu-pintu kelembutan di dalam buku ini adalah bagian dari berjuta bahkan bermilyar pintu-pintu kelembutan-Nya. <br />
Memang, yang namanya kemaksiatan lebih lezat dan menggiurkan—kelihatannya--, akan tetapi itulah hambatan dan sekaligus tantangan dunia, jika kita cerdas menyikapi dan mampu mengatasinya akan menghantarkan kepada kemuliaan yang hakiki.<br />
Kata Rasul saw doa sesama muslim itu mustajabah. Untuk itu, marilah kita saling mendoakan agar dengan kasih dan pertolongan-Nya kita diperkenankan mengetuk dan memasuki pintu-pintu kelembutan-Nya, walaupun hanya satu pintu, jika hal itu diridlai-Nya maka, merupakan kebahagiaan dunia dan akhirat, dan penghantar kita masuk surga. Amin. []Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-38385435929183407012010-09-02T19:52:00.000-07:002010-09-02T19:52:08.056-07:00Redy PanujuWawasan Global dan Hegemoni Budaya<br />
<br />
Wawasan global merupakan sebuah keniscayaan yang harus dimiliki oleh setiap kaum Mukmin agar dapat mengambil sikap dan tindakan yang tepat, khususnya dalam menghadapi globalisasi. Tidak semua hal yang diproduksi oleh globalisasi mempunyai kemanfaatan bagi umat manusia, sebab sebagian yang lebih bersar terbukti telah memberi implikasi yang “negative”. Mulai dari dehumanisasi, demoralisasi (dekadensi moral), sampai kerusakan lingkungan. Karena itu memahami seperti apa sesungguhnya globalisasi itu merupakan hal yang sangat penting.<br />
Izinkan dalam kesempatan ini penulis kutipkan pendapat MZ Al-Faqih dalam tulisannya yang berjudul “Media dan Hegemoni Budaya” (Pikiran Rakyat, 28/03/07). Bahwa masyarakat dunia ketiga pada umumnya tidak merasa kalau dirinya dieksploitasi oleh Negara industri maju. Proses internalisasi nilai yang dilakukan Negara maju ke Negara dunia ketiga melalui aparat kebudayaan seperti film, TV, internet, musik, dan lain sebagainya, telah bekerja dengan sempurna. <br />
Perlu kiranya saya tambahi bahwa internalisasi nilai itu saat ini tidak lagi pada tahapan “tidak merasa”, namun masyarakat telah larut di dalamnya sebagai penikmat yang aktif dan merasa bangga sebagai agen penyebar luasan, dan sekaligus sebagai transeter keinovasian. Jadi, tahapannya sudah sedemikian akut, mulai dari hulu sampai hilir. Artinya mulai dari tata nilai sampai tingkah laku sudah lebih meluas ketimbang yang ada di sumber asalnya. Sebagai contoh, soal tayangan televisi di Amerika Serikat, meski pun bertumpu pada nilai-nilai kebebasan toh masih terkontrol oleh kesadaran masyarakatnya sendiri maupun lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam mengontrol isi tayangan. FCC (Federal Communication Commission) semacam KPI-nya Amerika mempunyai kewenangan yang luas dalam mengatur dan membangun system komunikasi yang melindungi Negara dan rakyatnya; mulai dari kewenangan mengeluarkan dan mencabut izin siaran, mengatur isi siaran, sampai mengatur kepemilikan media penyiaran. Di negeri kita, yang konstruksi budayanya bertolak belakang dengan prinsip kebebasan liberalisme itu, justru keberadaan apa yang disebut MZ-Al Faqih sebagai “aparatur kebudayaan” itu nyaris bebas tanpa batas. Maka, tak heran bila masyarakat bangsa ini setiap hari disuguhi tayangan-tayangan yang di Negara liberal sendiri ditabukan atau dikontrol. Hari demi hari kita disuguhi dengan tayangan-tayangan yang mengedepankan kekerasan, pornografi, pelecehan terhadap harkat dan martabat kaum perempuan serta anak-anak. Dan sejauh ini, meski pun Indonesia telah memiliki undang undang (UU No.32 tahun 2002) yang mengatur jagad penyiaran, toh muatan-muatan seperti itu terus saja berlangsung alias sulit dibendung. <br />
Kalau kita percaya pada penemuan Albert Bandura bahwa aparat kebudayaan itu sangat perkasa dalam mempengaruhi sikap, preferensi nilai, dan bahkan perilaku khalayak dengan cara peniruan (imitasi), maka dapat dibayangkan apa yang terjadi pada bangsa ini kemudian. Jika di sana sini kita temukan fenomena anak-anak muda kita yang ditemukan sekarat karena mabok narkoba atau sejumlah remaja diketahui melakukan free sex, di sana sini selalu terjadi tawuran disertai pembunuhan, janganlah kemudian kita mengelak untuk tidak menyalahkan media penyiaran kita. Janganlah kemudian kita mengatakan bahwa masalah dipengaruhi atau tidak oleh informasi tergantung pada individu masing-masing. Siapa yang berani menjamin, bahwa sebuah tayangan yang diserap secara terus menerus dalam waktu yang lama, kemudian tidak berpengaruh sama sekali. Bagaimana pun juga bukti-bukti ilmiah telah menunjukkan bahwa isi tayangan siaran mampu merasuk ke individu. Selain Bandura, Austin Ranney juga telah menemukan bukti-bukti bagaimana kemampuan media dalam membentuk pola pemikiran manusia (cognitive map). Padahal kita tahu, teori psikologi manapun yang kita rujuk, pikiran (otak) merupakan sentral perilaku manusia, sebab dari otaklah syaraf motorik memberi perintah pada organ-organ tubuh lainnya. <br />
Itu sebabnya kegamangan menyongsong abad ke-21 ditandai dengan kegamangan atas hegemonic peradaban dari Negara maju tersebut. Salah satu kegelisan yang sangat menyeruak misalnya disuguhkan oleh budayawan Goenawan Mohamad dalam bukunya Revolusi Tak Ada Lagi (2000), yang antara lain memaparkan kontradiksi-kontradiksi yang bakal terjadi dalam masyarakat kita akibat internalisasi budaya asing yang “telanjang bulat” (tanpa sensor) itu dengan keberadaan unsur lokal yang makin ciut kridibilitasnya di mata penganutnya sendiri. Mensitir konsepnya Clifford Geerzt, terjadilah kompromi kompromi yang sesungguhnya tidak serasih dan bahkan berimplikasi timbulnya ketegangan dalam kehidupan social. Ketegangan tersebut dipicu oleh apa yang disebut Geerzt sebagai pembukuan moral berganda (moral double book keeping). Akibat mengadopsi nilai-nilai dari Negara Maju di satu sisi, dan hilangnya penghayatan terhadap nilia local di sisi yang lain, masyarakat dapat dipastikan berada dalam dua kemungkinan: pertama, menggunakan standard ganda; kedua, mencampuradukkan antara yang benar dan salah dengan bersembunyi di balik argumentasi modernisasi. Implikasinya adalah kepastian nilai yang mengatur standard etika, hukum, maupun politik kebijakan public, menjadi tidak jelas. Tergantung pada selera, advokasi massa, maupun kekuasaan di lembaga-lembaga Negara. Sulitnya kita merumuskan standard pornografi dan porno-aksi sehingga sampai detik ini RUU yang mengatur hal tersebut belum dapat disahkan, tak lain karena kegamangan akibat pembakuan moral berganda.<br />
Melihat fakta-fakta empiric yang sudah sedemikian kuatnya akibat dari hegemoni budaya itu, agaknya tak berlebihan bila tulisan MZ Al Faqih tersebut kita sambut sebagai awalan sebuah gerakan membendung implikasi hegemoni budaya tersebut. <br />
<br />
Solidaritas Budaya<br />
Meskipun kehancuran budaya kita akibat hegemoni itu sudah sedemikian kuatnya, namun jangan lantas kita menyerah dan putus asa begitu saja. Sebab, celah itu selalu ada dan memiliki kemungkinan untuk dapat keluar dari situasi yang dilematis. Pakar Komunikasi Pembangunan, Everett M Rogers yang terkenal berkat teorinya tentang “Defusi-adopsi-dan inovasi” itu pernah menyuguhkan sebuah kisah yang menunjukkan bahwa ditengah tengah cengkraman hegemoni, masih dapat berhasil keluar dari jerat. Dalam bukunya “Communication Technology”, Rogers memaknai kekalahan Syah Iran Pahlevi atas revolusi yang dibawa Ayatolah Khomaeny sebagai kemenangan media kecil atas media besar (small media won again the big media). Yang dimaksud media besar adalah media formal yang disebut Al Faqih sebagai “aparatur kebudayaan”, sementara yang disebut media kecil adalah komunikasi social yang terjalin atas solidaritas. Jadi, relevan apa yang dilansir Gramsci maupun Al Faqih bahwa satu satunya resep yang telah terbukti manjur adalah dengan membangun blok solidaritas (civil society).<br />
<br />
Pertanyaannya, masih adakah peluang untuk membangun blok solidaritas bagi bangsa ini?<br />
<br />
<br />
<br />
Indahnya Melayani<br />
Oleh Redi Panuju<br />
<br />
Melayani merupakan perbuatan yang sangat mulia, baik dilihat dari penilaian umat maupun neraca amaliah dari Allah SWT. <br />
Dikatakan perbuatan mulia, karena perbuatan melayani itu mendekontruksi diri sendiri sebagai individu. Hanya orang yang telah mempu meluruhkan egoismenya saja yang mampu menjadikan melayani sebagai etos hidup. Dalam pandangannya, menghargai diri sendiri adalah dengan menghargai orang lain, membangun citra diri yang positif adalah dengan berbuat baik pada orang lain. Pendek kata orang lain itulah yang dikedepankan. <br />
Mengedepankan orang lain itulah yang merupakan puncak dari ahlak manusia. Banyak contoh ahlak puncak ini diberikan oleh Rasulullah saw maupun para sahabatnya. Suatu ketika Nabi saw pulang kemalaman dan istrinya sudah tertidur lelap. Demi ketentraman istrinya, beliau tidak membangunkannya dengan menggedor pintu, namun rela tidur di teras berselimutkan langit dan berbantalkan angin hingga pagi hari. Konon Syaidina Ali (Ali bin Abi Thalib ra) pernah hanya memiliki persediaan sepotong roti yang segera habis untuk sarapan paginya, tiba-tiba datanglah seorang pengemis mengetuk rumahnya memohon sedekah. Syaidina Ali mengurungkan sarapan paginya dan memberikan roti tersebut untuk si pengemis. <br />
Kini rasanya cukup sulit untuk mendapatkan etos meyalani yang merupakan puncak ahlak manusia seperti itu. Kalau ada iklan di televisi yang menggambarkan seorang anak muda mempersilakan tempat duduknya di dalam Bus Kota diberikan kepada seorang perempuan tua, agaknya sulit ditemukan realitasnya. Pemandangan yang umum dalam perilaku transportasi kita adalah berdesak desakan demi mendapatkan tempat duduk. Kalau perlu sambil menggunakan sikutnya menyodok ke kanan dan ke kiri.<br />
Pemandangan berebut dalam berdesak desakan untuk mendapat pelayanan bukan hanya terjadi di dalam angkutan umum, namun juga di tempat yang lain; mulai dari mengurus KTP, mengurus SIM, antri beli tiket nonton film bioskop, bahkan sampai di dalam masjid. Orang cenderung mendahulukan melayani diri sendiri terlebih dahulu dengan membentangkan sajadah yang lebar dan tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk mendapatkan tempat di sebelahnya. <br />
Etos dilayani lebih mengemuka ketimbang melayani. Bahkan untuk mendapatkan pelayanan terbaik dan tercepat, orang rela menggunakan cara-cara yang tidak baik. Misalnya dengan menyuak petugas, sehingga berakibat mereka yang menempuh prosedur resmi menjadi ditelantarkan. Celakanya, etos minta dilayani ini justru acapkali menjangkiti individu yang mestinya bertugas melayani. Maka petugas public services yang mestinya menyerahkan jiwa raganya untuk melayani umat justru terbalik berperilaku seperti layaknya kaum feodal zaman dulu yang gila hormat dan minta didahulukan. Kalau Pemda Jatim berinisiatif membuat Komisi Pelayanan Publik (KPP), sungguh sebuah inisiatif yang luhur dan semoga mampu menggeret kembali lembaga pelayanan public yang ada di bawah naungan Pemerintah Daerah Jawa Timur kembali kepada khitahnya semula: MELAYANI UMAT!<br />
Dalam kehidupan sehari hari, setiap interaksi niscaya menuntut adanya hubungan timbal balik antara melayani dan dilayani. Apa pun itu jenis hubungannya, pasti terjadi transaksi “memberi” dan “menerima” (take and give). Dua hal itu haruslah seimbang. Kalau orang maunya minta dilayani terus pasti mengesankan mau menangnya sendiri, sedangkan kalau orang melayani terus lama-lama kehabisan energi. Namun, sebagai sebuah prinsip etik, melayani mesti didahulukan. Itu sebabnya agama kita mengajarkan kita terlebih dahulu menghormati tamu (mulai dari menyambut kedatangannya sampai mengantarkan hingga ke luar rumah ketika si tamu pulang). Dalam prinsip perdagangan dikenal istilah “pembeli itu raja”, artinya si penjual harus melayani calon pembelinya itu dengan baik, sebab acapkali orang membeli sesuatu bukan karena harganya atau kualitas produknya, namun karena kepuasan pelayanannya. Kepuasan pelanggan ini merupakan tema penting yang diajarkan di perguruan tinggi dalam matakuliah marketing, yang dikenal dengan istilah costumer satisfaction. <br />
Alangkah indahnya kehidupan ini bila pelayanan menjadi orientasi bagi setiap orang. Ulama melayani umatnya dengan baik melalui metode dakwah yang menyejukkan; dosen melayani mahasiswanya melalui cara mengajar yang benar dan memberi ilmu yang up to date; para petugas cleaning service membersihkan toilet umum dengan serius sehingga pengguna toilet merasa lega buang hajatnya; para petugas Negara melayani keperluan rakyatnya dengan cepat dan adil, juga tidak mau disuap; petugas yang menangani haji melayani tamu Allah dengan baik—tidak sampai kelaparan di sana; para politisi melayani konstituennya dengan berbicara jujur; para pedagang melayani pembelinya dengan menyempurnakan timbangannya. Ah, indahnya hidup ini.<br />
Semua suasana dan kondisi seperti itu hanya dapat berhasil bila orang sudah mampu meluruhkan nafsu egosentrismenya dan sebaliknya menggelorakan semangat berkorban serta membangun jiwa keikhlasan. Tanpa ada semangat berkorban dan keikhlasan tak mungkin melayani menjadi indah. **** <br />
<br />
<br />
<br />
Konsekwensi Manusia Sebagai Mahluk<br />
<br />
Manusia adalah mahluk. Itu merupakan fakta yang bersifat aksiomatik. Artinya, fakta yang sudah final sampai hari kiamat sekali pun. Fakta yang tidak perlu lagi dipertanyakan kesahehannya meski pun banyak ahli biologi yang telah mampu menciptakan pembiakan sel manusia dengan cloning. Kemampuan seperti itu sama dengan kemampuan manusia membudidayakan pohon mangga dengan cangkok. Bukan berarti lantas, manusia dapat disebut sebagai pencipta manusia atau manusia menciptakan pohon mangga. Manusia dan pohon mangga mutlak sebagai mahluk, yang keberadaannya diciptakan oleh Allah swt. <br />
Meskipun kini ada dokter telah mampu menggantikan hati manusia yang sakit dengan transplantasi dari organ orang lain, bukan berarti manusia telah mampu menciptakan manusia. Dokter hanya mampu memindahkan hati dari satu orang ke orang lain. Kelak bila pun manusia benar-benar mampu menyempurnakan ciptaan robotnya menjadi sangat cerdik, saya jamin tidak akan sampai pada tingkatan kesempurnaan robot manusia yang diciptakan Allah. Mungkin robot ciptaan manusia sangat pandai menghitung angka-angka atau mengukur ketapatan sebuah ukuran benda, mendeteksi gelombang elektromagnetik, tapi apakah robot itu juga mampu memainkan “perasaannya”? Perasaan adalah bagian dari kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia yang tidak dapat diukur atau dideteksi. Manusia tidak mungkin mampu mengungguli ciptaanNya. <br />
Kalau pun manusia diberi pengetahuan untuk membuat segala sesuatu, itu pasti terbatas agar manusia mampu menghidupi diri sendiri dan menjalankan perannya sebagai wakilNya di bumi. Oleh karena Allah mempunyai sifat Maha Kuasa maka sifat sifat itu pun mewarnai pada manusia, yang cenderung suka berkuasa. Karena Allah mempunyai sifat Maha Pengasih, maka manusia juga diberi sifat pengasih. Karena Allah mempunyai sifat Maha Penyiksas, maka manusia juga memiliki kecenderungan kejam. Namun, kuasanya manusia, kasihnya manusia, dan penyiksaan manusia, tidaklah akan menyamai yang dipunyai Allah. Kekuasaan Allah meliputi segala sesuatu sedangkan kekuasaan yang dimiliki manusia hanyalah amanah yang sifatnya sangat tentative (sementara). Kasih Allah tidak terbatas sedangkan kasih manusia sedikit, dan kejamnya manusia hanyalah tak seberapa sedangkan azabnya Allah sangat pedih. <br />
Jadi, sebagai konsekwensi manusia sebagai mahluk yang diciptakan maka haruslah menyadari bahwa segala yang dimiliki hanya sedikit (terbatas), sementara, dan pastilah akan binasa. Ketika manusia berusaha melampaui kodrat yang telah diberikan, pasti ketidak beresan yang akan terjadi. Contohnya, manakala manusia mengembangkan kekuasaannya melampaui yang diamanatkan, maka yang akan terjadi adalah penindasan. Ketika manusia mengembangkan amarahnya melampaui konteksnya, maka konflik yang akan terjadi. Bahkan ketika manusia mengembangkan rasa sayangnya kepada benda benda melampaui batasnya, ia akan kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Ia akan kehilangan orientasi hidupnya kecuali hanya mengabdi kepada harta benda belaka. Karena itulah, hidup yang wajar itulah yang paling baik bagi mahluk ciptaanNya. <br />
Konsekwensi lainnya, bahwa manusia sebagai mahluk adalah harus taat kepada Penciptanya. Sebab sang Pencipta telah memberi kehidupan dengan disertai aturan main yang jelas. Mana mana yang baik untuknya mana yang mengakibatkan merusak; mana yang boleh mana yang dilarang; mana yang dibolehkan dan mana yang boleh dengan catatan catatan. Ibarat hubungan dokter dengan pasiennya, maka sang dokter akan memberi resep obat lengkap dengan komposisi atau dosisnya. Bila pasien mencoba coba mengubah komposisi unsur obat atau mengurangi dan melebihkan dosisnya, sangat mungkin justru berakibat fatal bagi pasiennya. <br />
Orientasi menata kehidupan ini dengan “sewajar”nya itu menjadi penting manakala kita membaca fenomena di sekitar kita yang penuh dengan kehancuran manakala mencoba melampaui batas. Manakala orang mencoba menebang semua pohon hutan demi uang, berakibat erosi dan banjir bandang; manakala orang mengambil sesuatu melebihi haknya (korupsi) mengakibatkan pidana; manakala orang makan melebihi takaran mengakibatkan klempokan; bahkan manakala orang mengajarkan agama atau ilmu dengan paksaan berujung dengan konflik. Ketidak wajaran, dalam arti menyempal dari apa yang sudah digariskan dalam petunjukNya melalui agama yang tauhid, niscaya dapat menjurus dalam kesesatan. <br />
Kita mesti belajar dari ketidak wajaran kaumnya nabi Lut as yang menyimpangi tata krama dalam hubungan seksual. Kita dapat belajar dari kaumnya nabi Musa as yang mensukutukan Allah dengan seekor Sapi. Lebih lebih kita juga mesti belajar dari kisah Fir’aun yang menggelembungkan kekuasaan absolutnya sampai ia sendiri menasbihkan dirinya sebagai Tuhan. <br />
Semua sikap dan tindakan kita yang melampaui batas kewajaran itu pastilah berakibat melampaui batas. Dalam konteks sifat manusia hal tersebut mendorong orang menjadi arogan. Karena merasa lebih dari yang lain, kemudian meremehkan sesamanya dan merasa berhak merlaku semena mena. Padahal, konsekwensi dari posisioning manusia sebagai mahluk adalah sama ; yakni sama sama hanya menjalankan kewajiban beribadah kepada penciptaNya dengan segenap pernak pernik caranya. Hanya itu saja kok hidup dibuat repot. **** <br />
<br />
<br />
<br />
Manusia Sebagai Hamba<br />
Oleh: Redi Panuju<br />
<br />
Salah satu bukti bahwa Allah swt menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan, selain menurut jenis kelamin (lelaki-perempuan), identitas waktu (siang-malam), kondisi biologis (sakit-sehat), situasi psikologis (marah-sabar, bahagia-sengsara), kadar kepemilikan (kaya-miskin), adalah soal pembagian tugas, yakni ada imam ada makmum, ada pemimpin dan ada yang dipimpin (rakyat). Dalam hal yang satu inilah muncul konsep tentang “hamba”.<br />
Pada masa lalu, sebelum peradaban Islam dikukuhkan di muka bumi, manusia digolongkan menjadi dua; tuan dan budak. Budak inilah yang disebut hamba sahaya. Budak diidentikkan dengan harta benda yang dapat diperjual-belikan. Pada masa Rasulullah saw, banyak hamba sahaya yang dimerdekakan keberadaannya sebagai budak. Contohnya Bilal, yang kemudian menjadi pembela Islam militant kala itu. Inti pesan dari pemerdekaan perbudakan sesungguhnya adalah Islam tidak memandang penting stratifikasi sosial dari atribut kelasnya secara ekonomi, politik, keturunan, dan sebagainya. Stratifikasi atas diri manusia hanya untuk membedakan peran yang mesti dijalani, sebab baik kaum juragan maupun bawahan sama-sama memiliki peran dalam kehidupan ini. Orang kaya mesti membayar zakat, orang miskin lebih berhak menerimanya; orang berkuasa harus bersifat adil dan melindungi sedangkan orang yang tidak berkuasa mesti loyal kepada ulil amri sepanjang dalam jalur yang benar. <br />
Maka, siapa sesungguhnya yang dimaksud dengan “hamba” itu? Kalau mengingat bahwa semua manusia dalam setiap stratifikasinya mengemban tugas masing-masing sesuai dengan yang digariskan dalam al-qur'an, maka tiada lain bahwa kita semua tak terkecuali adalah hamba. Lebih lezat disebut “Hamba Allah”. <br />
Peran sebagai “hamba” (Allah) ini sudah barang tentu mengandung tanggung jawab yang besar. Sebagai hamba sudah barang tentu harus tunduk dan patuh terhadap semua yang diperintahkan dan semua yang dilarang oleh-Nya. Kepatuhan dan ketundukan itu pula yang menjadi kriteria, kita itu sebagai hamba semacam apa? Kalau tidak tunduk sama sekali berarti tergolong kafir, jika tunduknya hanya pura-pura berarti munafik, dan bila sungguh-sungguh berarti beriman. Semakin tunduk derajat kehambaannya juga semakin tinggi menjadi manusia yang bertakwa. Semua epos perjalanan para nabi dan rasul tak lain berupaya keras untuk mendapatkan predikat kehambaan yang paling tinggi.<br />
Yang penting bagi kita sekarang adalah belajar dari berita Allah tentang kisah-kisah para nabi dan orang yang dikasihi lainnya dalam al-qur'an, untuk dijadikan metode (langkah-langkah) mencapai kemuliaan sebagai hamba tersebut. <br />
Tidak ada perjalanan seorang nabi pun yang tanpa melalui halangan atau rintangan. Itu membuktikan bahwa niat baik belum tentu dapat diterima sebagai kebaikan. Bahkan niat baik yang dimanifestasikan secara baik pun masih mendapat cercaan. Para nabi kita itu juga mesti mengahadapi perjalanan hidup yang selalu menderita. Penderitaan menjadi sebuah pahala besar ketika dimaknai dan diniatkan sebagai ibadah. Maka, kekurangan makan, dimusuhi, diusir, dilempari batu, dicaci maki, tak membuat para nabi mengurungkan tekadnya menjadi hamba-Nya yang shalih. Justru dengan rintangan yang sedemikian besar itulah yang membentuk pribadi para nabiullah menjadi semakin kukuh dalam penderian, tabah dalam menghadapi ancaman, ikhlas dalam menerima ujian. <br />
Ujian dari setiap perjalanan untuk menjadi hamba Allah itu bermacam-macam; Nabi Dawud as diuji dengan kekuasaan, Nabi Musa as diuji dengan ego kesombongan pikiran ketika menghadapi Nabi Khidhir as, Nabi Yusuf as diuji dengan ketampanannya, Nabi Ibrahim as diuji keihklasannya ketika harus menjalani perintah-Nya untuk menyembelih putera terkasihnya Ismail as, dan Nabi Ayyub diuji dengan penderitaan sakitnya, Nabi Nuh diuji oleh keluarganya sendiri (anaknya tidak mau beriman). Namun, sebagaimana kita ketahui semua ujian itu akhirnya lolos karena para Nabiullah tersebut menomor-satukan Allah: berserah diri secara total semata untuk mendapat ridla-Nya. <br />
Hidup di jaman sekarang tentu amat sulit membayangkan bagaimana altruisme kemanusiaan dan relegiusitas para nabi yang seperti itu. Sebab materialisme, individualisme, egosentrisme, hedonisme, dan kekuasaanisme, berbondong-bondong menyerbu ranah hidup manusia. Dari segala penjuru mereka menyergap dan mempengaruhi agar mau menjadi budak-budaknya atau hamba-hambanya. <br />
Maka, banyak di antara saudara-saudara kita yang tak tahan oleh godaan tersebut, akhirnya memilih menjadi hamba mereka; menghamba selain Allah. Dan setan sungguh lihai dalam menjerumuskan kita. Bila pun menggoda secara langsung gagal, maka menggodalah mereka dengan cara halus. Didorongnya manusia memakai baju yang memancarkan kehambaannya kepada Allah namun lebih mengarah sekadar sebagai identitas belaka. Tujuan yang utama bukan penyerahan diri sebagai hamba-Nya, namun penghambaannya hanya supaya mendapat simbol kehambaan. Dengan simbol itulah kepentingan lain yang bersifat duniawi direngkuh. Maka kehambaan hanya menjadi slogan tanpa substansi. <br />
Mungkin mereka sendiri mengira, bahwa penghambaan yang artifisial itu tidak terlacak oleh radar-Nya karena dibungkus secara canggih, sistematis, dan seperti sungguh sungguh. Padahal Allah itu Mahamengetahui, termasuk yang ada di dalam hati kita paling dalam, termasuk niat kita yang tak terucapkan sema sekali. Dengan demikian, memotret hati kita masing-masing merupakan pekerjaan yang berat menanti, sebab siapa tahu kehambaan kita masih termasuk pada tingkatan kehambaan yang pura-pura.<br />
<br />
Manusia Sebagai Hamba<br />
Oleh: Redi Panuju<br />
<br />
Salah satu bukti bahwa Allah swt menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan, selain menurut jenis kelamin (lelaki-perempuan), identitas waktu (siang-malam), kondisi biologis (sakit-sehat), situasi psikologis (marah-sabar, bahagia-sengsara), kadar kepemilikan (kaya-miskin), adalah soal pembagian tugas, yakni ada imam ada makmum, ada pemimpin dan ada yang dipimpin (rakyat). Dalam hal yang satu inilah muncul konsep tentang “hamba”.<br />
Pada masa lalu, sebelum peradaban Islam dikukuhkan di muka bumi, manusia digolongkan menjadi dua; tuan dan budak. Budak inilah yang disebut hamba sahaya. Budak diidentikkan dengan harta benda yang dapat diperjual-belikan. Pada masa Rasulullah saw, banyak hamba sahaya yang dimerdekakan keberadaannya sebagai budak. Contohnya Bilal, yang kemudian menjadi pembela Islam militant kala itu. Inti pesan dari pemerdekaan perbudakan sesungguhnya adalah Islam tidak memandang penting stratifikasi sosial dari atribut kelasnya secara ekonomi, politik, keturunan, dan sebagainya. Stratifikasi atas diri manusia hanya untuk membedakan peran yang mesti dijalani, sebab baik kaum juragan maupun bawahan sama-sama memiliki peran dalam kehidupan ini. Orang kaya mesti membayar zakat, orang miskin lebih berhak menerimanya; orang berkuasa harus bersifat adil dan melindungi sedangkan orang yang tidak berkuasa mesti loyal kepada ulil amri sepanjang dalam jalur yang benar. <br />
Maka, siapa sesungguhnya yang dimaksud dengan “hamba” itu? Kalau mengingat bahwa semua manusia dalam setiap stratifikasinya mengemban tugas masing-masing sesuai dengan yang digariskan dalam al-qur'an, maka tiada lain bahwa kita semua tak terkecuali adalah hamba. Lebih lezat disebut “Hamba Allah”. <br />
Peran sebagai “hamba” (Allah) ini sudah barang tentu mengandung tanggung jawab yang besar. Sebagai hamba sudah barang tentu harus tunduk dan patuh terhadap semua yang diperintahkan dan semua yang dilarang oleh-Nya. Kepatuhan dan ketundukan itu pula yang menjadi kriteria, kita itu sebagai hamba semacam apa? Kalau tidak tunduk sama sekali berarti tergolong kafir, jika tunduknya hanya pura-pura berarti munafik, dan bila sungguh-sungguh berarti beriman. Semakin tunduk derajat kehambaannya juga semakin tinggi menjadi manusia yang bertakwa. Semua epos perjalanan para nabi dan rasul tak lain berupaya keras untuk mendapatkan predikat kehambaan yang paling tinggi.<br />
Yang penting bagi kita sekarang adalah belajar dari berita Allah tentang kisah-kisah para nabi dan orang yang dikasihi lainnya dalam al-qur'an, untuk dijadikan metode (langkah-langkah) mencapai kemuliaan sebagai hamba tersebut. <br />
Tidak ada perjalanan seorang nabi pun yang tanpa melalui halangan atau rintangan. Itu membuktikan bahwa niat baik belum tentu dapat diterima sebagai kebaikan. Bahkan niat baik yang dimanifestasikan secara baik pun masih mendapat cercaan. Para nabi kita itu juga mesti mengahadapi perjalanan hidup yang selalu menderita. Penderitaan menjadi sebuah pahala besar ketika dimaknai dan diniatkan sebagai ibadah. Maka, kekurangan makan, dimusuhi, diusir, dilempari batu, dicaci maki, tak membuat para nabi mengurungkan tekadnya menjadi hamba-Nya yang shalih. Justru dengan rintangan yang sedemikian besar itulah yang membentuk pribadi para nabiullah menjadi semakin kukuh dalam penderian, tabah dalam menghadapi ancaman, ikhlas dalam menerima ujian. <br />
Ujian dari setiap perjalanan untuk menjadi hamba Allah itu bermacam-macam; Nabi Dawud as diuji dengan kekuasaan, Nabi Musa as diuji dengan ego kesombongan pikiran ketika menghadapi Nabi Khidhir as, Nabi Yusuf as diuji dengan ketampanannya, Nabi Ibrahim as diuji keihklasannya ketika harus menjalani perintah-Nya untuk menyembelih putera terkasihnya Ismail as, dan Nabi Ayyub diuji dengan penderitaan sakitnya, Nabi Nuh diuji oleh keluarganya sendiri (anaknya tidak mau beriman). Namun, sebagaimana kita ketahui semua ujian itu akhirnya lolos karena para Nabiullah tersebut menomor-satukan Allah: berserah diri secara total semata untuk mendapat ridla-Nya. <br />
Hidup di jaman sekarang tentu amat sulit membayangkan bagaimana altruisme kemanusiaan dan relegiusitas para nabi yang seperti itu. Sebab materialisme, individualisme, egosentrisme, hedonisme, dan kekuasaanisme, berbondong-bondong menyerbu ranah hidup manusia. Dari segala penjuru mereka menyergap dan mempengaruhi agar mau menjadi budak-budaknya atau hamba-hambanya. <br />
Maka, banyak di antara saudara-saudara kita yang tak tahan oleh godaan tersebut, akhirnya memilih menjadi hamba mereka; menghamba selain Allah. Dan setan sungguh lihai dalam menjerumuskan kita. Bila pun menggoda secara langsung gagal, maka menggodalah mereka dengan cara halus. Didorongnya manusia memakai baju yang memancarkan kehambaannya kepada Allah namun lebih mengarah sekadar sebagai identitas belaka. Tujuan yang utama bukan penyerahan diri sebagai hamba-Nya, namun penghambaannya hanya supaya mendapat simbol kehambaan. Dengan simbol itulah kepentingan lain yang bersifat duniawi direngkuh. Maka kehambaan hanya menjadi slogan tanpa substansi. <br />
Mungkin mereka sendiri mengira, bahwa penghambaan yang artifisial itu tidak terlacak oleh radar-Nya karena dibungkus secara canggih, sistematis, dan seperti sungguh sungguh. Padahal Allah itu Mahamengetahui, termasuk yang ada di dalam hati kita paling dalam, termasuk niat kita yang tak terucapkan sema sekali. Dengan demikian, memotret hati kita masing-masing merupakan pekerjaan yang berat menanti, sebab siapa tahu kehambaan kita masih termasuk pada tingkatan kehambaan yang pura-pura.<br />
<br />
Manusia Sebagai Kholifatullah<br />
Oleh Redi Panuju<br />
<br />
Manusia diturunkan ke bumi memang dimaksudkan sebagai wakil-Nya di bumi. Jadi sesungguhnya, manusia itu mempunyai kewenangan yang sangat besar untuk menjalankan kehendak-kehendak-Nya terhadap bumi ini. Menjadikannya sebagai sumber kehidupan, karena itu mesti menjaganya, dan memanfaatkan demi kemaslahatan hidup manusia itu sendiri. <br />
Karena itu, perintah-perintah Allah terhadap manusia yang menyangkut perannya di muka bumi selalu berkonotasi positif. Tidak ada misalnya, perintah “hancurkanlah bumi itu”, “kotorilah atau cemarilah air laut”, eksploitasilah sesukamu isi perut bumi supaya lumpur panasnya keluar”. Sama sekali tidak ada. Allah selalu menyeru hal yang baik sehubungan dengan tugasnya sebagai wakil di bumi. Misalnya, bercocok tanamlah…, berniagalah, tolong menolonglah dalam kebaikan, jagalah kebersihan sebab kebersihan merupakan bagian dari iman, dan sebagainya. <br />
Jadi, bila ada manusia yang kecenderungannya membuat kerusakan di muka bumi atau membuat bumi sebagai ajang membuat kegaduhan (trouble maker), dapat dipastikan tidak memahami takdirnya sebagai kholifatullah. <br />
Kemudian posisinya sebagai wakil, sudah barang tentu tugasnya menjalankan apa-apa yang diamanahkan oleh “Ketua”nya. Memang ada bagian-bagian tertentu yang diberikan keleluasaan, namun sebatas yang dibolehkan dalam ikhtiar. Sedangkan selebihnya, tugas kewakilan tersebut telah diatur sedemikian rinci, detail, dan menyeluruh melalui undang-undang yang maha universal, al-qur’an nul karim. Maka, sebagai wakil masih punya tanggung jawab untuk mempertanggung jawabkan tugas-tugas keterwakilannya itu. Tugas-tugas kewakilannya itu senantiasa dipantau dan dinilai oleh Sang Pemberi Amanah disertai dengan ganjaran dan hukuman. Karena itu, memang mesti hati-hati menjalani peran ini. Dan seluruh perjalanan hidup kita ini sesungguhnya sebuah manifestasi menjalankan kehendak-Nya. <br />
Kalau ada wakil yang kegedean rumangsa (Ge-er), yang dikarenakan pelbagai sebab, lantas sok sok-an menjadi seperti “Ketua”nya, pasti terjadi ketidak beresan; mereka yang sok berkuasa akan kebablasan tak menyadari bahwa kekuasaan itu hanya amanah; mereka yang sok kaya akan kebablasan tak menyadari bahwa kekayaan hanya titipan; mereka yang sok ganteng atau cantik akan kebablasan tak menyadari bahwa kerupawanan dan kecantikan itu hanya sementara sifatnya. Dan dari semua itu tak menyadari bahwa dirinya hanyalah sebuah keterwakilan saja dari Dzat yang Maha Besar. Ketidak sadaran ini yang membuat Fir’an menyesal seumur hidup ketika mesti disadarkan Allah lewat tragedy laut merah yang menyeramkan itu, namun kesadaran Fir’aun sudah terlambat karena Allah mengabadikan peristiwa itu sebagai pembelajaran bagi para wakil-wakil yang lain, supaya tak rumangsa menjadi “Ketua”. <br />
Labeling kholifatullah tersebut tidak sekedar sebuah merek relegius, yang indah dan keren, namun sebuah stempel abadi yang oleh Allah dijadikan menara peringatan agar manusia tidak seenak perut “berjalan” di muka bumi ini atau dalam bahasa kisah supaya tidak mengulangi kejadian seperti yang dikhawatirkan para Malaikat ketika proses penciptaan Nabiyullah Adam as akan dumulai. “Wahai Allah Yang Kuasa, mengapa Engkau akan ciptakan mahluk yang hanya akan membuat kerusakan di muka bumi ini?” tanya Malaikat. Namun, Allah tidak pedulikan pertanyaan itu dan hanya mengatakan “Aku lebih tahu apa yang akan terjadi terhadap ciptaanKu”.<br />
Konsekwensi atas labeling kholifatullah sebetulnya hanya satu; yakni tidak ada yang lain kecuali beribadah kepadaNya. Apa pun bentuknya, baik yang dipikirkan, dirasakan, dilakukan, bahkan yang diniatkan, asal demi kebaikan (kemaslahatan), maka itulah manifestasi dari predikat kholifatullah. Bahkan sekedar niat saja, asal itu menyangkut kebaikan, sudah dicatat sebagai amal ibadah, apalagi bila sampai betul-betul dimanifestasikan, tentu pahalanya akan lebih besar lagi. Sedangkan niat yang buruk, sepanjang belum dilaksanakan, belumlah dicatat sebagai dosa. Namun, bukan berarti kita dibenarkah untuk berniat yang buruk. Sebab bila pikiran kita diarahkan ke sana (niat yang buruk), lama-lama akan mendorong motorik kita benar-benar melaksanakannya. Suatu ketika niat yang buruk itu tak mampu lagi dibendung. <br />
Niat yang selalu buruk akan menjadi situasi pembiasaan (conditioning function) yang berpengaruh kepada pikiran. Lama-lama, pikiran kita terdorong untuk memikirkannya. Memikirkan bagaimana melakukannya. Ini akan membentuk focus perhatian yang bila terus menerus menjadi obsesi. Sebuah obsesi lebih kuat dorongannya ke saraf motorik (saraf yang mengkordinasikan otak dengan anggota tubuh lainnya, seperti mata, telinga, kaki, tangan, dan sebagainya). Maka bila dorongan niat itu telah diback-up oleh obsesi, hati-hatilah….sebab bila ada kesempatan akan menjadi kenyataan. Karena itu, bila punya niat membunuh orang (meski niat saja belum berdosa), cepatlah dipangkas, jangan sampai menjalar ke pikiran. Bila dibiarkan, suatu ketika manakala ada dorongan yang kuat dan ada kesempatan, benar-benar menjadi kenyataan. <br />
Karena itulah, menurut saya (pribadi, maaf bila salah), menetapkan diri sebagai kholifatullah mesti dimulai dari niat yang benar terlebih dahulu. Sebab, secara ilmiah pun ternyata dari niat itulah sebuah psikomotorik menjadi perilaku. Benarlah apa yang diajarkan agama kita, bahwa amal perbuatan kita sangat tergantung dari niatnya. Bismillah….. ****<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Memahami Kesetaraan Kedudukan Manusia<br />
<br />
Manusia diciptakan sang Qalik dengan kedudukan yang setara. Konsepsi ilahiah ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan konsep yang diusung faham komunisme yang ateis, dimana menggagas manusia tanpa kelas; sama rata sama rasa. Kesetaraan eksistensial menurut konsepsi Allah SWT tidak sama dengan konsepsi kesetaraan materi atau kebendaan ataupun fisikalnya. Sebab dalam koteks ini, Allah justru membuat manusia berbeda-beda atau plural. Warna kulit misalnya jelas berbeda satu sama lain, bahasanya juga berlainan, juga rejekinya masing-masing, lahir dan matinya bergiliran. Pendek kata masing-masing individu diberi porsi takdir yang berbeda-beda. Lantas, dalam pengertian seperti apa manusia itu dikatakan memiliki kedudukan yang setara? <br />
Konsep kesetaraan kedudukan manusia di mata Allah adalah sebuah fitrah atau dalam kata sambung sering diwakili dengan kata “sesungguhnya….”, yakni sesungguhnya fitrah manusia itu di mata Allah sama (lelaki-perempuan, kaya-miskin, berkuasa-tak berkuasa, dst). Di mata Allah semua atribut yang menyertainya tidak diperhatikan, sebab yang membedakan adalah “takwanya kepada Allah” (taqwallah). Atribut-atribut yang bersifat fisikal hendak dirontokkan oleh Allah dan diyakinkan kepada manusia bahwa semua itu tak bermakna apa-apa, tidak abadi, dan tidak mungkin di bawa sampai alam akherat. Banyak penjelasan dalam al-qur’an yang meneguhkan kefanaan kebedaan. Seperti QS. Muhammad (47 : 26) Allah berfirman, “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurau belaka…”. Hal senada diulang dalam QS. Al- Kahfi (18 : 46), QS. At-Takaatsur (102 : 2), QS. Hadiid (57 : 20). <br />
Apa yang dinafikan Allah sebagai sesuatu yang tidak penting itu justru oleh manusia sekarang dibalik menjadi penting. Harta, pangkat, kekuasaan, massa, seolah menjadi puncak pencarian yang tak pernah lelah dikejar. Ibaratnya sampai ke ujung dunia, tiada lelah manusia menggapainya. Bahkan untuk mendapatkan itu semua, manusia sampai tega mengingkari kemanusiaannya sendiri. Berbuat nista kepada saudara sendiri, mengintrik sahabat sampai “babak belur”, menyerobot hak orang lain dengan legitimasi ayat-ayat Allah, bahkan sampai tak segan-segan menukar dengan akidahnya; menggadaikan keimanannya dengan hal-hal yang berbau syirik. Sebab, semua atribut keduniawian tersebut telah menjadi pembeda yang membuat manusia dimata manusia tidak setara. Satu bagian yang menguasai atribut kebendaan dan kekuasaan itu seolah berada di bagian strata atas yang membutuhkan penghormatan, kekhususan, previllage, dan sebagainya; sisi lain mereka yang papa seolah tak ada arti dalam kehidupan dunia yang sebenarnya fana. Orang sampai lupa pada firmanNya: “…kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Hadiid, 20). <br />
Jadi, kalau manusia membuat ukuran sendiri dengan katagori berdasarkan kelas ekonomi, kelas sosial, kelas politik (kekuasaan), dan sejenisnya itu jelas sesuatu yang menipu. Semua hal yang berasal dari tipuan pastilah tidak objektif, tidak sungguh- sungguh, dan bersifat menjerumuskan. Sudah barang tentu setiap penipuan pasti berbuntut kerugian, penyesalan, dan amarah. Bila anda pernah tertipu membeli barang palsu, pasti anda akan marah, geram, dan menyumpahi si penipu supaya tidak selamat. Padahal, semua hal yang menyebabkan diri ini tertipu sebenarnya ya diri sendiri juga; tidak cermat dan terlalu percaya pada rayuan kata-kata. <br />
Kalau orang tidak terlalu percaya pada keduniawian, pasti juga tidak mudah tergoda oleh bujuk rayu fatamorgana kenikmatan yang ditawarkan.<br />
Konsepsi kesetaraan yang paramaternya ketakwaan itu merupakan konsep yang lebih abadi, sebab jangkauannya hingga kehidupan setelah kehidupan di dunia ini. Implikasi ketaqwaan justru berbalik menjadi ketidak setaraan di akherat kelak. Jadi, makna bahwa di mata Allah manusia itu sama derajatnya, yang membedakan hanyalah takwanya, mengandung maksud bahwa setiap individu memiliki kesetaraan dalam menggapai keabadian yang ditawarkan oleh Allah. Dalam bahasa ilmu statistik berarti setiap manusia itu (apa pun sebutan dan atributnya) memiliki probabilitas yang sama untuk masuk neraka ataukah masuk surga. Allah tak membedakan warna kulitnya apa, kekayaannya berapa, umurnya berapa, jenis kelaminnya apa, dst. Ada orang kaya karena kikirnya masuk neraka, tapi tak sedikit yang masuk surga karena amal jariyahnya; tak sedikit orang miskin masuk surga karena keikhlasannya namun banyak yang masuk neraka karena kemiskinan justru membuatnya kufur. <br />
Masih dalam takaran ilmu statistic, agar sebuah variable (kesetaraan) berhubungan atau berpengruh terhadap kesempatannya masuk surga, maka tergantung pada tingkat signifikansinya antara variable yang bekerja. Variebel apakah yang dimaksud? <br />
Pertama, kesetaraan kedudukan manusia mengandung maksud itulah manifestasi dari sifat Allah yang Maha Adil. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama. <br />
Kedua, kesetaraan tidak ada artinya bila tidak disertai ketakwaan. Justru ketiadaan variebel ketakwaan menyebabkan manusia menjadi tidak setara. <br />
Nah, hal hal yang membentuk nilai ketakwaan itulah yang menjadi persoalan penting untuk digali. Dan bila kita mau serius, sesungguhnya variebel yang membingkai ketakwaan itu berkisar pada tingkat kesabaran, keikhlasan, ketauhidan (monomer satukan Allah), dan kekonsistenan. <br />
Dengan begitu, apa yang disebut kesetaraan lebih merupakan perangsang dari Allah dan bukan sebuah keniscayaan yang ada sejak dari awalnya (taken from grated). Kesetaraan lebih bersifat motivasional, agar manusia secara keseluruhan merasa punya peluang untuk memasuki jalan Allah menuju surgaNya yang kekal. **** <br />
<br />
Manusia Ditakdirkan Plural<br />
Salah satu Kemahakuasaan Allah adalah mampu membuat ciptaannya menjadi sangat variatif padahal dari sistem anatomi yang sama, yakni sistem reproduksi manusia. Organismenya sama, prosesnya sama, bahan bakunya sama, namun hasilnya berbeda satu sama lain. Nyaris tak dapat dijumpai manusia yang sama dalam segala hal. Rambut bisa sama tapi pikiran bisa beda. Wajah bisa mirip tapi isi hati siapa tahu. Bahkan, seorang ahli biologi (yang sering kita cibirkan karena teori evolusinya, Charles Robert Darwin), setelah melakukan penelitian ribuan kali sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada manusia yang sama identik alias plek ciplek, sekali pun berasal dari gen atau sel telur yang sama (anak kembar misalnya). Bahkan untuk sekedar garis tangan (sidik jari) saja tak ada individu yang memiliki guratan sama. Subhannallah…<br />
Sedangkan kalau manusia membuat computer, mobil, kulkas, TV, atau barang berteknologi canggih lainnya, sekali membuat sistemnya, niscaya ouputnya selalu sama. Itulah yang membedakan ciptaan manusia dengan ciptaan Allah. Bahwa Allah melalui keunikan dalam menciptakan manusia hendak menegaskan bahwa Dialah satu satunya yang Mahakuasa dan Mahabisa. Tak ada yang mustahil bagi-Nya. <br />
Kalaulah Allah berkehendak misalnya menciptakan manusia itu sama dalam segala hal, mulai dari bentuk fisiknya, pikirannya, seleranya, perasaannya dan sebagainya, tentulah bukan hal sulit. Pasti bisa. Seperti halnya, kalaulah Allah mau membuat manusia semua menjadi satu bangsa dan langsung menempati surga-Nya. Tentulah tak ada halangannya. Namun Allah mempunyai skenario lain. Allah ciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, tak lain supaya saling mengenal (mutual of understanding). Allah membuat skenario manusia diciptakan bukan sekadar iseng. Artinya setelah menciptakan kemudian ditinggal begitu saja. Tidak begitu. Allah berkehendak memberikan sebuah permainan transaksional, berupa ujian, yang aturan mainnya ditetapkan secara ketat. Barang siapa yang mampu melewati ujian itu akan mendapatkan hadiah yang tiada terkira manfaat dan memberi kebahagiaan. Sebaliknya barang siapa yang tak lulus ujian akan mendapatkan siksa yang amat pedih. <br />
Itu sebabnya, setiap individu diciptakan secara khas, karena ujian itu memang bersifat individual. Masing- masing mempunyai beban tugas dan tanggung jawab tersendiri. Namun, demikian Allah Yang Mahapengasih itu sudah memberi garansi bahwa tugas dan tanggung jawab tersebut tidak diberikan melampaui batas kemampuan. Allah tidak memberi beban kepada manusia yang tak kuat dipikulnya. Karena itu, kalau ada manusia dikit-dikit mengeluh, merasa bahwa beban hidupnya telah melampaui kemampuannya, sesungguhnya itu persepsi yang bersangkutan sendiri. Hidup ini kalau mau dibuat sulit ya memang jadi sulit, tapi kalau mau dibuat sebaliknya juga bisa. Tergantung konsep diri masing- masing. Allah sendiri tidak menyukai orang yang suka mengada-ada, apalagi mengada-ada syariat -- padahal sudah dinukilkan secara lengkap di dalam al-qur’an.<br />
Apa hanya itu tujuan Allah menakdirkan manusia menjadi plural? Ya, tidaklah. Maksud anjuran “supaya saling mengenal” di akhir kalimat “diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa” itu mengandung maksud yang dalam, bahwa bila saling mengenal maka akan tumbuh kepedulian. Dalam bahasa Melayu direpresentasikan oleh pepatah “Tak kenal maka tak sayang”. Di sanalah potensi kasih -saying Allah disisipkan. Di antara celah perbedaan itu ada potensi kasih sayang. Dengan memahami takdir yang plural itu maka akan menyadari bahwa masing-masing individu juga membawa takdir berupa kelebihan dan kekurangan. Nah, dalam bahasa manajemen modern sekarang ini dengan kelebihan itu manusia dapat saling berbagi (how to share), dan dengan kekurangannya itu manusia dapat saling mengisi (bersinergi). Itulah kongkretisasi ayat dalam al-qur’an yang berbunyi “tolong-menolonglah kalian dalam perbuatan baik dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa”. <br />
Namun, konsep “how share” dan “how to empowering by synergy” itu kini makin redup saja seiring kegilaan manusia pada obsesi “how to be number one” , “how to be the best”, dst. Masing-masing individu terperangkap pada ilusinya sendiri ingin menjadi yang terbaik, terhebat, terkaya, dan seterusnya. Konsep untuk menjadi baik memang tidak ada salahnya, dan Islam juga mendorong ke arah sana supaya umat Islam menjadi umat yang terdepan. Namun, mekanisme ke arah sana yang tidak mengindahkan nilai-nilai moralitas itulah yang menyebabkan perbedaan menjadi bencana. Manusia saling berkelompok untuk memperkuat diri yang tujuannya untuk menghancurkan kelompok lain. Kompetisi yang mestinya menghasilkan pemenang terbaik, justru menghasilkan pemenang yang tak tahu diri. Pemenang yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Ironisnya, nama Allah sering dibawa bawa justru dalam rangka melegitimasi sifat kerakusan, kekejaman dan kemunafikan. <br />
Maka, perbedaan tidak lagi dapat dirasakan sebagai rahmat karena manusia terjebak dalam lingkaran permusuhan, saling curiga, saling benci, dan tak ada kompromi. Manusia cenderung menonjolkan keakuannya sendiri-sendiri. Sehingga ibarat sebuah lukisan, kehidupan ini menjadi seperti mozaik dalam sebuah bingkai. Tak ada bentuknya yang pasti, meranggas dengan serpihan-serpihan tak terbatas. <br />
<br />
Manusia Mahluk yang Bi-dimensional<br />
<br />
Manusia sebagai mahluk yang Bi-dimensional (bersubstansi dua dan cenderung berkaitan) merupakan tanda-tanda yang kesekian kalinya dari kekuasaan Allah SWT dalam menciptakan mahluk yang bernama manusia itu. Manusia itu selain terdiri dari susunan material (tulang, otot, syaraf, sel darah, dsb) juga dilengkapi dengan hal-hal yang bersifat non material (perasaan, pikiran, instink, nafsu, dsb). Maka orang sering mengaitkan bila membangun dabannya jangan lupa mendidik jiwanya. Itu artinya, manusia tidak lengkap bila dua dimensi yang dimiliki tidak berfungsi secara baik. <br />
Pasti sangat berbeda dengan benda ciptaan manusia, biasanya hanya mengandung satu dimensi saja. Robot misalnya, hanya fasih menerjemahkan perintah manusia yang telah disandikan, tetapi tidak akan pernah mengetahui bagaimana perasaan dan pikiran orang yang memerintahkannya. Teknologi secanggih apa pun punya keterbatasan dalam merumuskan hal-hal yang non material. Jika ada robot tiba-tiba mempunyai perasaan beriman kepada Tuhan, itu baru merupakan hasil khayalan manusia yang dituangkan dalam film-film fiksi ilmiah. Itulah kelebihan sang Qalik dalam menciptakan manusia. Karena itu Gus Luthfi (KH Miftahul Luthfi Muhammad) dalam buku “EIn-Q, Emotional & Intitutional Quotient” (2006 : h.132) mengatakan bersyukurlah kita menjadi manusia, tidak menjadi yang lainnya. Dan harus bersyukur lagi kita ditakdirkan-Nya menjadi seorang mukmin. <br />
Memang penegasan Gus Luthfi tersebut tidak secara langsung mengaitkan dengan persoalan hakekat manusia yang bi-dimensional itu, namun ujung-ujungnya sesungguhnya kaitannya amat erat. Dengan menjadi mukmin, hidup kita yang dihambakan hanya untuk beribadah kepadaNya menyebabkan kita istiqomah dalam menegakkan kehendakNya, pastilah hidup menjadi penuh manfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Perjalanan hidup yang bergelimang dengan amal soleh, insya Allah akan membawa manusia menjadi hamba-hambaNya yang husnul khatimah, yang oleh Gus Luthfi diposisikan sebagai manusia yang shalih, shiddik, rabbani, dan muqarrib. Saya hanya mencoba menarik benang merah bahwa bersyukur menjadi seorang mukmin berkaitan dengan konsep bi-dimensi tujuan hidup manusia yaitu mendapat ridla di dunia dan selamat di akherat (dimasukkan dalam surga). <br />
Jadi dimensi kehidupan manusia sangat panjang. Kehidupan di dunia ini hanyalah sebuah fase dari estafet dimensi kehidupan. Setelah manusia selesai menjalani takdirnya di dunia, akan berlebih di alam kubur (alam barzah), setelah itu manusia akan dibangkitkan dan dikumpulkan di alam maksyar untuk dihisab amal-dosanya. Kehidupan di dunia ini konon hanyalah sangat singkat sekali, sedangkan yang kekal di akherat. Namun, meski pun hanya singkat, bahkan orang Jawa suka mentamsilkannya dengan kata kata “mung mampir ngombe” (hanya mampir minum), kehidupan di dunia ini akan menentukan bagaimana nasib seseorang di akherat kelak. Alam akherat merupakan fase ngunduh wong ing pakarti. Tergantung apa yang diperbuatnya ketika di dunia. Bila mengisi kehidupan di dunia dengan bekal yang diperlukan di akherat, maka selamatlah, namun bila terjebak hanya sampai menggapai gemerlapnya dunia, tanggunglah akibatnya. Sebab dalam banyak ayat yang tersurat di al-Qur’an, Allah mengabarkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah permainan belaka, sendagurau, yang sesungguhnya merupakan ujian bagi segenap umat manusia. Bila saat ini manusia terjebak hanya pada orientasi mendapatkan kebutuhan duniawi, mungkin karena belum yakin benar pada hakekat manusia yang bi-dimensional. <br />
Bi-dimensional lain yang tak kalah penting adalah kaitan antara “okol dan akal”. Akal pikiran pemberian Allah ini hanya diperuntukkan kepada manusia agar menjadi mahluk yang lebih tinggi peradabannya dengan mahluk yang lain. Gus Luthfi menyebutnya dengan istilah human elyon. Manusia yang membangun peradabannya hingga memiliki derajat yang lebih tinggi dari yang lain. Namun, dalam al-Qur’an Allah juga menegaskan bahwa manusia itu akan lebih hina derajatnya dari binatang bila keluar dari acuan yang telah digariskan. Karena itu, manusia yang tidak tunduk patuh pada perintahNya, perangainya bisa lebih keji dari binatang. Tak usahlah kita ambilkan contoh berita tingkah polah manusia yang melebihi binatang di surat khabar. Cukuplah kita pertajam cirinya, seperti halnya binatang, mereka berbuat hanya mengandalkan instingnya (tidak memakai akalnya), seperti halnya binatang perangainya tak mengenal belas kasihan, tak memperhitungkan akibat (pokok gasak dulu, urusan belakangan). <br />
Karena itulah Allah mewajibkan manusia untuk menuntut ilmu, supaya apa? Supaya nalar sehatnya dapat digunakan untuk membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mana yang pantas dan mana yang nggilani, mana yang menyinggung perasaan orang lain dan mana yang menyenangkan. Semua esensi hakekat hidup yang baik itu dapat dikaji melalui pikiran. Dalam QS.al.Hajj (ayat ke-3), Allah menginformasikan betapa manusia tanpa pengetahuan dapat menjadi sesat dan jahat. Selengkapnya ayat tersebut berbunyi : “Di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa pengetahuan dan mengikuti setiap bisikan setan yang sangat jahat.”<br />
Kalau orang hanya mengandalkan okolnya, maka satu dimensi tersia-siakan atau tidak dimanfaatkan, maka proses produksinya dalam banyak hal menjadi kurang optimal. Kalau Allah menjanjikan bahwa insan yang berilmu akan ditinggikan derajatnya dari yang lain, maka maknanya dimensi berpikir ini merupakan fitrah yang sangat penting. Namun, bagi bangsa ini fitrah akal itu masih menjadi potensi, belum menjadi manifestasi. Karena orang sedikit menggunakan akalnya, maka dalam banyak hal problem kehidupan diselesaikan dengan kekuatan okol. Jadinya kekerasan yang mengemuka, anarkisme, dan pemaksaan kehendak. Apa jadinya bila dalam soal agama saja mesti diselesaikan dengan kekerasan. Maka agama kita kesannya menjadi tidak cerdas, tidak ramah, dan tidak toleran. **** <br />
<br />
Manusia sebagai Mahluk Da’i<br />
<br />
Oleh Redi Panuju<br />
<br />
<br />
Mohon maaf bila kemampuan saya mendefinisikan “da’i” baru sampai pada tataran bahwa ia adalah manusia yang memiliki kecenderungan menyampaikan atau menyebar luaskan ajaran agama (Islam). Soal apakah ia mendapat sebutan Kyai, al-Ustadz, Guru Ngaji, atau lainnya, itu hanyalah masalah julukan penghormatan yang diberikan masyarakat. Namun, pada dasarnya siapa pun yang memiliki kepedulian membawa masyarakat menjauhi kehidupan ala zaman Jahiliyah dan mengikuti cara-cara seperti yang dianjurkan (bahkan diwajibkan) oleh Allah SWT melalui al-Qur’an dan as-sunnah Rasulullah SAW, maka ia dapat disebut sebagai seorang da’i. <br />
Pertanyaannya; apakah menyebar luaskan al-Islam itu semata mata hanya menjadi tugas dan tanggung jawab para ulama saja? Jawabannya, bila menengok pandangan umum (general opinion), kelihatannya “ya”. Masyarakat kebanyakan masih menganggap bahwa tugas menyebar luaskan agama ini melulu menjadi urusan para ulama. Padahal, bila demikian keadaannya, berapa banyak sih jumlah manusia yang paham agama dan peduli pada syiar agama? Saya yakin jumlahnya tak lebih dari 5% saja dari jumlah penduduk. Seringkali dalam suatu wilayah kesulitan mencari orang yang berkarakter seperti itu. Bila pun ada, maka wilayah syiarnya menjadi sangat luas, meliputi banyak kabupaten kota. Bila syiar agama hanya dibebankan kepada mereka yang langka ini, maka pastilah kurang efektif. Bila sifatnya hanya memotivasi mungkin masih dapat dilaksanakan, tapi untuk sampai pada tahapan “mendidik” tidaklah dapat hanya mengandalkan dakwah dari mimbar ke mimbar. Pendidikan tidak sama dengan pengajaran. Dalam pendidikan mengandung pengertian membentuk watak dan pikiran manusia melalui contoh atau keteladanan. <br />
Menurut hemat penulis, keberadaan agama kita ini sangat tergantung pada semua pihak. Tidak bisa hanya mengandalkan ulama saja. Sudah pasti gaungnya kalah “keras” dengan dakwah lain non agama yang dilesakkan melalui budaya massa. Budaya massa telah menggeser institusi keluarga, masjid, dan lainnya sebagai sumber transformasi nilai. Karena itu, dakwah itu mesti diperhitungkan tingkatan dan konteksnya. Untuk transformasi yang bersifat sistematis dan berkesinambungan kita masih mengandalkan pesantren, sekolah-sekolah berbasis agama Islam, dan lembaga dakwah lainnya. Namun, secara kontekstual, bukankah seorang dokter, insinyur, seniman, dosen, pengusaha, juga berkompeten mengharu birui konteks keagamaan. <br />
Seorang dokter misalnya, dapat berdakwah melalui komunikasi dengan pasiennya bahwa dirinya hanyalah sebagai perantara penyembuhan, sedangkan yang berhak menyembuhkan adalah Allah SWT. Seorang insinyur dapat mengatakan, bahwa ilmu bangunan yang dimiliki belumlah seberapa dengan ilmunya Allah yang meliputi langit dan bumi. Seorang seniman dapat menyerukan bahwa Yang Maha Indah itu hanyalah Allah, karena itu seluruh karya ciptanya tentang keindahan mesti dipersembahkan untuk mengagungkan asma-Nya. Seorang dosen dapat mengaitkan ilmu pengetahuan umumnya (scientific knowledge) dengan keesaan Tuhan agar ilmu yang diajarkan kepada mahasiswanya tidak terlalu sekuler. Demikian juga dengan pengusaha, ia dapat menjadi teladan bagi umatnya bila misalnya tidak mengurangi timbangan, tidak menipu, dan sebagainya. Maka, benarlah kata sebuah hadist “sampaikanlah mesti hanya satu ayat saja!”, artinya setiap orang sesungguhnya adalah mahluk “da’i” . <br />
Namun, seringkali memosikan diri sebagai mahluk dai terkendala oleh ketidak percayaan diri. Karena tidak percaya diri akhirnya minder, dan lebih lanjut justru menjauhi dan tak peduli. <br />
Rasa minder acapkali berkaitan dengan penguasaannya terhadap substansi. Jadi, belajar memang menjadi syarat mutlak yang harus dijalani. Belajar itu luas sifatnya. Bukan hanya belajar masalah syareat agama namun juga bagaimana ilmu mengkomunikasikan sesuatu. Ada anggapan yang selama ini keliru, bahwa dakwah itu hanya sebatas dari mulut ke mulut dan dari mimbar ke mimbar. Padahal itu barulah satu lapangan dakwah. Cara lain, seperti dakwah tertulis masih sedikit yang menekuni. Demikian juga dakwah melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, belum dimanfaatkan secara maksimal. Akibatnya medan komunikasi massa ini semakin jauh dari syiar agama dan terjebak dalam materialisme dan hedonisme. <br />
Dakwan melalui media penyiaran misalnya, umat Muslim kalah jauh dari umat agama lain. Umat non muslim berlomba-lomba dan sangat gigih mendirikan radio siaran dan televise sebagai bagian dari strategi komunikasinya dengan umat, sedangkan dari kita sendiri masih menganggapnya tidak penting. Nanti ketika izin penyelenggaraan penyiaran itu jatuh ke tangan mereka, barulah protes bermunculan kenapa itu yang diberi dan sebagainya, padahal persoalannya karena dari saudara-saudara kita sendiri yang tak berminat. Ini saya tahu karena kebetulan saya anggota Komisi Penyiaran Indonesia Jawa Timur yang mengurusi soal perizinan penyiaran. <br />
Syukurlah melalui jalinan komunitas yang dimediai oleh majalah “MayaRa” ini kita masih melihat sinar-sinar kepedulian itu. Di sini saya lihat dakwah kontekstual lengkap diterapkan. Ada dokter, ada pengusaha, ada ahli bahasa Arab, ada spikolog, dan ada birokrat semua bahu membahu menyerukan agama Allah agar membawa kemaslahatan umat. Semoga Allah memberi umur panjang kepada majalah kita ini. Amien…! **** <br />
<br />
Manusia Sebagai Mahluk Sosial <br />
Meskipun secara ragawi manusia itu adalah pribadi-pribadi yang independent, namun bukan berarti ia dapat lepas tanggung jawab kepada lingkungannnya. Tanggung jawab individu tidak hanya pada ruang lingkup dirinya sendiri, namun juga kepada orang lain. Anak, istri, famili, komunitas, dan bahkan bangsa. Dan karena itulah, manusia itu mutlak disebut sebagai mahluk sosial. <br />
Apakah agama kita mengakomodir konsep ini? Jawabannya sangat iya. Agama kita misalnya mengenal konsep tanggung jawab dalam keluarga. Itu sudah dasar yang menandai bahwa orang mukmin pastilah mahluk social. Seorang suami diwajibkan menafkahi anak dan istri serta keluarga yang kurang mampu. Orang tua diberi amanah untuk mendidik anaknya dengan baik, sebab kata Allah dalam al-Qur’an seorang anak kelak akan menjadi Nasrani, Yahudi, atau Majusi, sangat ditentukan oleh pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya. Demikian sebaliknya, seorang anak juga memiliki kewajiban untuk menghormati kedua orang tuanya. Jadi, dalam satu keluarga saja, masing-masing anggota sudah terikat dengan konsep kesosialan. <br />
Selanjutnya, keluar dari unit keluarga, individu sudah terkait dengan lingkungan yang lebih luas lagi. Dalam bertetangga, Rasulullah SAW memberi teladan persaudaraan yang baik dengan sesama tetangga. Bahkan sampai sedetil-detilnya. Bila seseorang masak makanan yang aromanya tercium oleh tetangganya, maka wajib baginya untuk membagi makanan itu hingga sang tetangga bukan hanya merasakan aromanya namun juga ikut menikmatinya. <br />
Latar belakang mengapa seorang mukmin wajib membayar zakat, tak lain dimaksudkan sebagai mekanisme transformasi sosial dan ekonomi supaya tidak terjadi kesenjangan di antara umat. Di dalamnya terkandung semangat saling tolong-menolong. Yang kaya menolong yang lemah dengan hartanya dan si miskin menolong si kaya dengan memberi sarana beramal shalih. Itulah bukti bahwa islam sebagai agama bukan hanya mengakomodir konsep tersebut, namun sekaligus justru mengimplementasikannya.<br />
Keberadaan individu mengimplentasikan karakter sosialnya itu hanya mungkin terjadi bila seseorang mampu mengatasi keegoisannya. Seseorang punya spirit sosial bila sudah mampu menganggap bahwa dirinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan lingkungannya. Spirit ini dapat otomatis mengejawantah bila seseorang punya jiwa berkorban untuk orang lain. Peduli pada orang lain itu artinya sebuah pengorbanan; pengorbanan waktu, materi, pikiran, perasaan, kesabaran, dan sebagainya. Jadi, bila berkorban belum menjadi satu dengan jiwanya, orang pasti akan cenderung tersiksa. <br />
Keadaan psikologis dimana berkorban justru menjadi sumber kebahagiaan bukanlah sesuatu yang terbentuk tanpa proses. Awalnya pasti butuh latihan. Dari yang semula punya kebiasaan bersedekah seribu sehari, lantas meningkat menjadi sepuluh ribu, meningkat menjadi seratus ribu, dan seterusnya. Kelak bila sedekah sudah menjadi kebiasaan (habit), maka tak ada yang berat dalam berkorban. Bahkan, ketika keadaan membuat dirinya tak mampu berkorban untuk orang lain, ia justru merasa tersiksa dan merasa berdosa. Itulah karakteristik jiwa kesosialan. <br />
Karena jiwa sosial itu sebuah proses, maka tidak mungkin juga langsung dalam bentuknya yang murni. Mungkin awalnya hanya sekedar balas budi kepada orang yang pernah berbuat baik kepada kita. Mungkin pada awalnya hanya karena tak enak sama tetangga. Atau bisa jadi pada awalnya hanya karena ingin mendapat pujian dari orang lain. Pada babakan awal seperti ini, biarlah berlangsung. <br />
Kalau kebetulan diantara kita sedang berada dalam proses itu, maka kita menyadari bahwa berkorban demi pamrih seperti belumlah sampai pada tataran kesejatian jiwa mahluk sosial. Kesejatian baru terwujud bila mampu meruntuhkan atribut-atribut yang berbau riy’a dalam interaksi tersebut.<br />
Orang cenderung menjadi individualistis acapkali disebabkan takut akan mengalami kerugian dan menghadapi kefatalan ketika berkorban untuk orang lain. Padahal kenyataannya, belum pernah terjadi orang jatuh miskin hanya gara-gara bersedekah. Allah justru menjanjikan akan membalas dengan pahala yang berlipat bagi orang yang bersedekah. Balasan tersebut dapat ditunaikan ketika masih hidup di dunia maupun setelah di akherat. Secara ilmiah pun janji Allah ini dapat dipertanggung jawabkan. Orang yang suka berderma pasti disenangi orang. Karena disenangi orang maka jaringan sosialnya menjadi luas. Nah, jaringan social ini dapat menjadi peluang untuk pelbagai macam kegiatanya, baik itu yang bersifat politis, ekonomi, maupun psikologis.<br />
Kalau ada hadist yang mengatakan bahwa silaturahmi dapat memperpanjang umur dan mendatangkan rejeki, maka penjelasan ilmiahnya ada pada fungsi social networking itu. <br />
Memang menjadi aneh, bila banyak orang yang justru menjadikan lingkungan sosialnya sebagai musuh. Dimana-mana dan kapan saja yang dicari adalah lawan. Penipuan, penggelapan, pengkianatan, fitnah, intrik, penyerobotan atas hak orang lain, dan semacamnya itu adalah modus operandi yang sering dipakai oleh mahluk individualis yang anti social. Tak ada kamus tolong menolong, kasih-mengasihi, ingat-mengingatkan. Tidak ada. Dalam kamus manusia individualis: “di dunia ini tak ada yang gratis. Semua ada harganya, semua ada kalkulasinya!”<br />
Jadi, mengapa mesti kita menunda untuk mengoptimalkan spirit sosial dalam diri, toh manfaatnya akan kembali juga kepada yang bersangkutan. Sedangkan dari segi agama merupakan investasi jangka panjang, yang pasti tak ada ruginya, sebab semuanya akan diklaim saat di akherat kelak. Allah tak akan menelip amal kebaikan seseorang, sebab telah dijanjikan sebiji sawi saja amal itu Allah mencatatnya dengan baik. **** <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Memahami Manusia Sebagai Makhluk Beragama<br />
Oleh Redi Panuju<br />
<br />
Kata “agama” konon berasal dari bahasa Sansekerta, “a” artinya tidak dan “gama” sama dengan kacau, jadi agama sepadan dengan makna “tidak kacau”. Manusia yang tidak berada dalam kondisi kacau berarti tentram, bahagia, senang, sejahtera, dan sebagainya. Maka pengertian “agama” mendekati sesuatu yang selalu positif. <br />
Sedangkan dalam bahasa Arab, kita dapati kata din, yang berarti : menguasai, menundukkan patuh, balasan, kebiasaan, cara yang ditempuh, dsb. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan kata din. Salah satu pengertian untuk kata din yang dipakai dalam al-Qur’an antara lain tunduk patuh, taat, dan berserah diri, seperti tercermin pada ayat : “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah…” (QS.an-Nisaa, ayat ke-125).<br />
Apa pun pengertiannya, bila kita membicarakan makna “agama” maka minimal terkandung pengertian; pertama, ada sekumpulan nilai yang selalu menjadi rujukan utama bagi manusia dalam menjalani hidupnya. Kedua, ada pengakuan dari diri manusia yang merasa inferior, merasa rendah, tak berdaya dan ada sesuatu kekuatan Yang Superior, yang mendominasi, sehingga manusia merasa mesti tunduk patuh, ikhlas, dan berserah diri. Ketiga, dalam pola hubungan vertical antara yang inferior dan superior itu maka muncul kebutuhan mensub-ordinatkan diri, misalnya merasa membutuhkan tempat untuk minta pertolongan, berlindung, dan meminta segala sesuatu. Pada zaman Pra-sejarah, manusia mencari sosok superioritas itu pada Batu, Pohon Besar, dan Berhala Berhala. Namun ketika Allah menurunkan agama, sosok superioritas yang dicari tersebut menemukan penyemaiannya dalam ketauhidan. Risalah tersebut terus diperbaharui dari satu utusan (Nabi dan Rasul) ke utusan yang lain, hingga sampai kepada Nabi akhir zaman Rasulullah SAW. <br />
Mestinya manusia modern sangat beruntung, karena untuk beragama tak perlu lagi bersusah susah mencari rujukannya, sebab rujukan yang dimaksud dudah cemepak, sudah tersedia lengkap. Tinggal manusia mau secara serius memperlajarinya atau tidak. Bila nilai ketahuidan itu dipelajari, kemudian dihayati, dan diamalkan, maka pengertian beragama sebagaimana yang ditemukan dalam makna etimologinya itu akan saling terkait. Misalnya, manusia akan menemukan ketidak-kacauan, sehingga menjadi tentram, penuh keikhlasan dan ketulusan, tunduk patuh pada larangan dan kewajiban, dan seterusnya. Namun, harus kita akui bahwa meski pun bahannya sudah cemepak, toh masih ada saja manusia yang enggan mengambilnya. Malahan mengambil agama agama yang tidak bertauhid. Mereka tidak mengambil Allah SWT sebagai sesembahan, sebagai kekuatan superior yang layak menjadi tempat memohon pertolongan, namun misalnya justru mengambil tuhan yang lain dari agama yang bukan din. Agama lain yang dimaksud misalnya “uang”. Manusia modern karena suntuknya terhadap uang, sampai menjadikannya sebagai “agama”. Artinya, hanya karena uanglah kepatuhan itu ada, hanya karena uang dirinya berserah diri dan mengabdi. Jadi, uang telah menjadi berhala berhala baru yang disembah dan diagungkan. Agama mereka adalah agama uang. <br />
Benarkah uang adalah kekuatan yang maha superior? Sepertinya memang iya. Seolah dengan uang segalanya dapat diperbuat. Maka muncul pameo bahasa Inggris prokem yang berbunyi “ if you have duit you can do it!” ( bila kamu punya uang segalanya dapat dilakukan, semua dapat dibeli). Benarkah semua hal di dunia ini dapat dibeli? Kalau kita mau jujur, sesungguhnya menjadikan uang sebagai agama hanyalah sebuah fatamorgana belaka. Sesuatu yang nampak ada karena keterbatasan kita dalam melihat. Suatu ketika kita pasti akan mengalami betapa uang tidak dapat membuat kita terhindar dari yang namanya kematian. Bukan berarti karena kita berhasil transplantasi liver, kemudian berarti kita dapat membeli umur—terhindar dari kematian. Memang umur orang tersebut masih ada, karena itu ia tetap hidup. Cobalah bila sudah saatnya, tak perlulah ganti ginjal atau hati atau jantung, ceblok di selokan atau kecucuk paku saja bisa mati. Banyak jalan untuk mati, meski uang bertumpuk dalam buku rekeningnya. Pada akhirnya kita sadar, bahwa uang bukanlah kekuatan superior. Uang tidak akan pernah menyelamatkan hidup kita. <br />
Jadi untuk apa kita mengambil agama atau Tuhan yang membuat kita tak selamat? Atau justru membuat hidup tambah resah gelisah. Uang, jabatan, kekayaan materi, popularitas, adalah fatamorgana. Manusia mengejarnya sampai titik penghabisan karena mengira akan membuat hidup lebih tentram. Nyatanya dengan semua itu, manusia justru sering menghadapi problem yang membuat hidup penuh tekanan (depresi, stress, shock), yang membuat hidup tak pernah puas dengan yang dimiliki.<br />
Justru ketika “agama” uang itu digenggam orang sering merasa dirinya menjadi Tuhan yang dapat berbuat apa saja terhadap sesuatu atau pun orang lain. Ujung dari fragment seperti itu adalah ketika manusia tak berdaya terhadap ekses dari perbuatannya sendiri. Roy Marten dengan segala yang dimilikinya ia mengira dengan heroin hidupnya akan tenang, ternyata kini ia merasakan getirnya hidup dalam penjara. Para pengusaha eksplotasi gas alam mengira akan mendapat keuntungan berlimpah setelah mesin pengebor mengaduk aduk tanah Porong. PT Lapindo Brantas nyaris putus asa ketika yang keluar bukan gas atau minyak tapi lumpur panas yang hingga kini tak dapat diatasi melubernya. <br />
Semua kejadian kejadian yang membuat manusia “mentok”, tak berdaya dan putus asa, sesungguhnya merupakan moment penting dimana seluruh totalitas kemanusiaannya menyadari bahwa diri ini tak ada apa apanya. Bahwa tak ada daya apa pun kecuali mendapat kekuatan dari Yang Maha Kuat. Namun nyatanya, hati sering tak tersentuh, hati tak dapat merasakan getaran “agama” yang benar, sehingga tak ada hikmah berarti baginya, kecuali apologia : “ah, mungkin karena nasib saja yang belum beruntung!”. Ia merasa bahwa fragment “mentok” itu hanya persoalan keberuntungan belaka. Tidak ada getaran bahwa ada kekuatan Besar yang turut bermain dalam hidup kita. Entah, dalam hati yang keras itu masih ada atau tidak spirit keilahian. Masihkah ada pertanyaan: “dimanakah Engkau berada wahai Tuhanku?”***** <br />
<br />
Memahami Manusia dengan Segala Kelebihan dan Kekurangannya<br />
<br />
Al-Qur’an paling sedikit menggunakan tiga kata untuk sebutan “manusia”, yakni al- Basyar, al-insan, dan Bani Adam . secara filosofis, dalam bahasa Arab terdapat istilah hayawan an-natiq, yang artinya manusia itu adalah hewan yang pandai berbicara/berpikir. Sama juga dengan kata “manu” dalam bahasa Sansekerta yang artinya “berpikir”. Jadi manusia itu adalah mahluk yang berakal budi. <br />
Oleh karena manusia itu diberi kelebihan oleh Allah dengan akal budinya itu, maka manusia mengemban tugas berat, yang dalam al-Qur’an disebut sebagai khalifah di muka bumi. Firman Allah dalam QS.al-Baqarah, ayat ke-20 yang artinya “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…’”. Khalifah berarti berkuasa, bebas berkehendak dan bertanggung jawab atas pilihannya. Dengan akal budinya itu pulalah membuat manusia diberi potensi menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. <br />
Itulah kelebihan yang dimiliki oleh manusia. Dengan akalnya manusia menciptakan ilmu. Dengan ilmu itu manusia membangun peradabannya. Jika sampai hari ini manusia masih tetap bertahan hidup meski dalam situasi yang semakin kacau (sumber daya semakin menipis sementara kebutuhan hidup terus berkembang dan bertambah), tak lain karena potensi akal budi tersebut mendorong manusia untuk menciptakan system agar mampu survival of life (bertahan hidup). Dengan akal budinya manusia menciptakan system kompetisi sekaligus system berbagi.<br />
Kadang memang menimbulkan konflik kepentingan dan timbul peperangan, namun karena akal budinya itu tetap berusaha mengekang supaya tidak sampai pada kehencuran. Bahkan orang orang Qurais yang sangat membenci Rasulullah (karena menyebarkan agama Islam) pun pada suatu ketika bersedia membuat gencatan senjata demi kehidupan mereka sendiri. Perjanjian Madinah merupakan bukti bahwa kecenderungan kompromistis untuk damai dalam kebencian seperti apa pun ternyata membuat manusia memilih bagaimana agar tetap hidup ketimbang hancur lebur sama sekali. Itu artinya, sisi akal budi telah menempatkan manusia mengembangkan peradaban yang positif konstruktif. <br />
Namun demikian, Allah menciptakan manusia ternyata lengkap dengan pasangannya. Meskipun banyak diberi kelebihan ternyata juga tak sedikit kelemahannya. Salah satu kelemahan yang sangat mencolok pada diri manusia adalah karena memiliki nafsu. Begitu kawatirnya Rasulullah SAW sampai menempatkan nafsu sebagai hal yang harus diperangi lebih gigih, melebihi perang lainnya. Kata Rasulullah SAW, akan ada perang yang lebih besar dari ini (perang Badar), yaitu perang melawan hawa nafsu. <br />
Karena nafsu itu pula manusia mempunyai potensi menjadi destruktif (merusak) baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. Nafsu itu adalah kelebihan yang dimiliki hewan. Kemampuan berpikir manusia itulah yang diharapkan mampu menutupi kelemahan yang diakibatkan dominasi nafsu. Itu sebabnya ketika manusia enggan menggunakan akal pikirnya ada kemungkinan tindakan manusia lebih buruk dari hewan. Karena mengikuti hawa nafsunya membuat manusia melakukan pengrusakan terhadap alam yang seharusnya dibina dan dikelola (QS. Ar-Rum: 41).<br />
Kelemahan kelamahan lain yang dimiliki manusia antara lain: bahwa manusia itu lemah (QS.an-Nisaa: 28), manusia itu pelupa (QS.al-Baqarah: 44), manusia itu senang berkelu kesan (QS.al-Ma’arij : 19-20), manusia itu kikir (QS. Al-Ma’arij : 21), manusia itu suka mengingkari nikmat Allah (QS.Ibrahim : 34), manusia itu sangat banyak membantah ( QS.al-Hajj : 67-68). <br />
Menurut hemat penulis, kelemahan manusia yang saat ini menyeruak dan menjadi sumber bencana adalah kelemahan suka mengingkari nikmat Allah. Operasionalisasinya manusia merasa tak pernah cukup terhadap apa yang telah dihasilkan. Akibatnya manusia menjadi rakus, kikir, dan eksploitatif. Mungkin tak banyak yang menyadari bahwa akibat dominasi system pasar dalam kehidupan kita mengakibatkan manusia tergantung pada system produksi. Kalau manusia ingin meningkatkan kekayaannya maka ia harus meningkatkan produksinya. Bila produksinya ingin laku (terserap pasar), maka harus mendidik konsumennya (kata mendidik sesungguhnya sangat bias dan tidak tepat, sebab yang terjadi bukan mendidik namun mendorong agar manusia meningkatkan komsumsinya melebihi yang dibutuhkan). <br />
Tanpa disadari kita telah dikondisikan oleh system pasar untuk mengikuti pola konsumsi berdasarkan ambang atas kebutuhan. Manusia dikondisikan untuk meningkatkan konsumsi berdasarkan “keinginan”. Sesuatu yang diinginkan belum tentu dibutuhkan. Maka manusia terdidik untuk tidak merasa cukup dengan yang dimilikinya. Kata lainnya, manusia semakin terjebak pada system yang cenderung membenarkan meningkari nikmat Allah. Semakin banyak orang yang mengingkari nikmat Allah maka semakin hiduplah system pasar.<br />
Dengan memahami kelebihan kita sebagai manusia kita dapat mengoptimalkan diri agar seluruh potensi yang dimiliki menjadi berguna bagi diri sendiri maupun orang lain. Sebaliknya dengan memahami kekurangan yang kita miliki menjadikan kita rendah hati, belajar lebih giat, dan menutupinya dengan amal kebaikan. Dengan demikian, kelebihan tidak membuat diri kita sombong dan kekurangan tidak membuat kita jatuh dalam kehinaan melebihi hewan. **** <br />
<br />
Memahami Manusia Dengan Segala Karakternya<br />
Oleh Redi Panuju<br />
<br />
Ada pendapat yang mengatakan bahwa, “Kalau batuk masih dapat diobati, tapi kalau watak cenderung kepala batu”. Pendapat di atas banyak dipengaruhi teori tentang bawaan genetik, yang diturunkan dari orang tuanya kepada anaknya. Sehingga bila ada suatu karakter yang sulit diubah maka orang menyimpulkan itu sudah sifat bawaan. Pendapat tersebut tidak salah, sebab memang genetik merupakan pembawa sifat-sifat manusia yang diturunkan, baik itu sifat-sifat yang baik maupun yang buruk. Masalahnya adalah kita tidak pernah tahu sifat yang melekat pada diri sendiri itu merupakan sebuah turunan genetic ataukah hasil bentukan lingkungannya. <br />
Jadi tidak bisa dikatakan, o si A atau si B itu pantas saja jahat karena orang tuanya memang penjahat. Atau justru dijadikan alasan supaya tidak disalahkan, karena diketahui berbuat salah, lantas berujar, “Salah sendiri kenapa orang tua saya jahat, sehingga saya pun jadi jahat!” tapi, kalau berhasil dengan sombongnya mengatakan, “ Ini semua berkat usaha keras saya, mulai dari nol….!”<br />
Pelajaran yang paling mendasar dari soal karakter manusia adalah bahwa sekuat apapun sifat individu yang diturunkan pada dasarnya dapat diubah melalui sosialisasi lingkungannya. Hal ini pernah diselidiki oleh ahli genetika, seorang yang dilahirkan kembar identik (dari sel telur yang sama) dipisahkan di lingkungan yang karakteristiknya berbeda. Setelah dewasa individu yang kembar identik ternyata memiliki sifat-sifat yang bertolak belakang. Ciri fisikalnya memang sama, seperti wajah, rabut, hidung, mata, dan lainnya, namun emosi dan pikirannya tidak sama. Ini artinya, pendidikan memegang peranan penting dalam menentukan karakter seseorang. <br />
Dalam al-qur’an kita banyak diberi berita oleh Allah tentang karakter-karakter manusia pada masa lalu, baik yang layak dicontoh maupun yang patut menjadi peringatan, misalnya karakter Nabi Ayub as yang ihklas dan sabar, karakter nabi Musa yang sempat sombong sebelum dipertemukan dengan Nabi Khidir as, karakternya Abu Lahab dan istrinya yang gila harta, karakternya Asyiyah r.ha (istri Fir’aun) yang tetap setia kepada suami meski Fir’aun keblinger mengaku dirinya sebagai Tuhan, karakternya Nabi Daud as yang berkuasa namun tetap adil, karakternya Nabi Yusuf as yang ganteng tapi kuat iman, karakternya Nabi Ismail as yang rela menyerahkan nyawa kepada ayahandanya demi menjalankan syariat agama Allah, dan masih banyak lagi. Al-qur’an merupakan kitab suci yang banyak menyimpan ilmu jiwa (psikologi) yang sangat banyak.<br />
Pertanyaannya kemudian, seperti apakah karakter individu yang baik dan seperti apa yang jelek. Seperti apakah kepribadian yang berguna dan sebaliknya yang membuat hidup lebih buruk? <br />
Dr. H. Yul Iskandar, PhD (2001) menyebut tujuh kepirbadian yang buruk, yakni : <br />
1. Hipokondriasis, seseorang terus menerus mengeluh akan kesehatannya yang buruk<br />
2. Depresi, sikap yang pesimistis terhadap masa depan, perasaan tak berpengharapan merasa berdosa dan putus asa.<br />
3. Histeris, orang yang menggunakan gejala gejala fisik untuk menyelesaikan konflik psikis yang sulit.<br />
4. Neorosis, kombinasi yang buruk dari berbagai trait, misalnya sering merasa bersalah, inferior, terlalu banyak kawatir atau takut, orang yang kaku, terlalu ingin sempurna, tidak efisien, tidak bahagia, insomania, produktivitas yang rendah.<br />
5. Paranoia, orang yang mempunyai kepercayaan aneh yang salah tetapi tidak mau diluruskan. <br />
6. Obsesi-kompulsi, orang yang memiliki pikiran yang mengganggu dalam kehidupan sehari hari.<br />
7. Panik, orang yang mudah terserang panik disertai dengan gejala somatic, seperti berkeringat dingin, berdebar debar, sesak napas, diare dan sebagainya.<br />
Mari kita coba introspeksi secara jujur, apakah diantara tujuh tanda tanda di atas ada yang menjangkiti hidup kita? Bila ya, maka harus dengan segera kita coba mengatasinya. Kita rubah orientasi membangun kepribadian yang lebih bermanfaat untuk kehidupan ini, yakni kepribadian yang baik atau menurut Florence Littaeur disebut “personality plus”. Dan menurut Lana Bateman merupakan pola pola kepribadian kuat yang paling tidak berisi deskripsi sebagai berikut:<br />
1. Persistent, melakukan sesuatu sampai selesai sebelum memulai lainnya.<br />
2. Playful, penuh kesenangan dan selera humor yang baik<br />
3. Peaceful, tampak tidak terganggu dan tenang serta menghindari setiap bentuk kekacauan.<br />
4. Submissive, mudah menerima pandangan atau keinginan orang lain tanpa banyak perlu mengemukakan pendapatnya sendiri.<br />
5. Self-sacrificing, bersedia mengorbankan dirinya demi atau untuk memenuhi kebutuhan orang lain.<br />
6. Faithful, secara konsisten dapat diandalkan, teguh, setia, dan mengabdi.<br />
7. Confident (bukan over-confident), percaya diri dan yakin akan kemampuannya dan suksesnya sendiri.<br />
Semua karakter yang dipelajari secara ilmiah itu, sebenarnya dapat diringkas menjadi empat (seperti yang dimiliki Kanjeng Nabi saw), yakni shidiq, amanah, fathanah, dan tabligh. <br />
Secara operasional, karakter yang baik adalah bila memenuhi unsur-unsur keseimbangan: sehat badannya-normal jiwanya, brilian otaknya-terkendali emosinya, kaya materinya-loman (senang sedaqoh), berjiwa sosial-memperhatikan keluarga, cepat/cekatan tapi teliti, sabar tapi tidak lelet (klemar-klemer), pintar tapi tidak sombong, miskin tapi tidak sedih, begitu seterusnya. <br />
Mudah mudahan dengan memahami pernak-pernik karakter manusia, kita semakin dapat memahami diri sendiri dan mampu berempati dengan orang lain. Insya Allah…. ***Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-61035138835000046802010-09-02T19:51:00.000-07:002010-09-02T19:51:12.286-07:00Oleh: A. Mustofa BisriTakwa dan Sikap Sederhana<br />
<br />
Oleh: A. Mustofa Bisri<br />
<br />
Takwa, seperti galibnya istilah popular yang lain, sudah dianggap maklum; karenanya jarang orang yang merasa perlu membicarakannya lebih jauh. Secara sederhana, takwa dapat diartikan sebagai sikap waspada dan hati-hati. Hati-hati menjaga agar tidak ada perintah Allah yang kita abaikan. Hati-hati menjaga agar tidak ada larangan-Nya yang kita langgar. Hati-hati menjaga agar dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya tidak justru menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah Ia gariskan.<br />
Dan tidak kalah penting dari itu semua adalah kehati-hatian menjaga keikhlasan kita. Kita perlu waspada dan hati-hati menjaga agar pelaksanaan perintah Allah maupun penghindaran dari larangan-Nya, semata-mata karena Allah. Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya adalah demi dan karena Allah; bukan demi nafsu dan keinginan diri kita atau karena dorongan pamrih-pamrih yang lain. <br />
Kita hidup untuk beribadah, dan kita beribadah semata mengharap ridha Allah dan bukan mencari ridha dan kepuasan diri sendiri. Dalam ibadah mahdhah atau yang bersifat ritual, seperti sembahyang, berpuasa, dan sebagainya, ketulusan mencari ridha Allah ini mungkin relatif lebih mudah dibanding dengan ibadah yang bersifat sosial, seperti berbuat baik kepada sesama misalnya. Oleh karenanya, sudah sewajarnyalah apabila kita lebih berhati-hati dan terus mewaspadai ketulusan batin kita dalam hal melakukan ibadah-ibadah yang bersifat sosial itu.<br />
Misalnya dalam melaksanakan ibadah sosial ingin memperbaiki keadaan dan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Air, untuk menciptakan Indonesia baru yang lebih baik, kita perlu pula terus mewaspadai niat batin kita. Kita perlu selalu bertanya kepada diri-diri kita sendiri, untuk apa sebenarnya kita berjuang. Kita berjuang untuk Tanah Air demi mendapatkan ridha Allah, ataukah sekedar untuk memuaskan nafsu dan kepentingan kita atau kelompok kita sendiri?<br />
Getir rasanya dan sekaligus geli kita mendengar banyak orang yang meneriakkan slogan-slogan mulia, seperti akhlakul karimah; ukhuwwah islamiyah; membangun masyarakat yang beradab, dan lain sebagainya, namun dalam pada itu mereka sekaligus bersikap dan berperilaku yang tidak berakhlak, menebarkan permusuhan di antara sesama saudara.<br />
Alangkah tertipunya mereka yang merasa diri dan bahkan mengaku-aku berjuang demi hal-hal yang mulia, seperti demi agama dan demi negara, tapi tindak-tanduknya justru menodai kemulian itu sendiri. Bahkan ada yang-na’udzubillah-meneriakkan asma Allah sambil memperlihatkan keganasannya kepada sesama hamba Allah.<br />
Mereka itu umumnya tertipu oleh semangat mereka sendiri. Setan paling suka dan paling lihai menunggangi semangat orang yang bodoh atau kurang pikir, untuk dibelokkan dari tujuan mulia semula. Mereka yang katanya berjuang ingin menegakkan demokrasi, misalnya, karena terlalu bersemangat, tiba-tiba justru menjadi orang-orang yang sangat tidak demokratis; tidak menghormati perbedaan dan bahkan menganggap musuh setiap pihak yang berbeda. Demikian pula, mereka yang katanya ingin berjuang untuk agama, menegakkan syariat Tuhan, karena terlalu bersemangat, sering kali justru dibelokkan oleh setan dan tanpa sadar melakukan hal-hal yang tak pantas dilakukan oleh orang yang ber-Tuhan dan beragama, seperti sudah dicontohkan di muka. <br />
Lebih konyol lagi, apabila yang tergoda melakukan hal-hal bodoh semacam itu adalah mereka yang sudah terlanjur dijadikan atau dianggap imam dan panutan. Karena, para pengikut biasanya akan bertindak lebih bodoh lagi. Seorang panutan cukup memaki untuk membuat para pengikutnya membenci, seperti halnya guru cukup kencing berdiri untuk membuat murid-muridnya kencing berlari.<br />
Biasanya, kekonyolan terjadi lantaran sikap yang berlebihan. Sikap berlebihan tidak hanya dapat membuat orang sulit berlaku adil dan istiqamah, tapi sering kali dapat menjerumuskan orang kepada tindakan yang bodoh. Berlebihan dalam menyintai atau sebaliknya membenci, acap kali membuat orang bersikap konyol. Bahkan, orang yang berlebihan dalam mencintai diri sendiri, dapat kehilangan penalaran warasnya, sebagaimana terjadi pada mereka yang mengangkat diri sebagai imam, nabi, bahkan titisan malaikat Jibril. Mereka yang berlebihan menyintai imamnya pun pada gilirannya juga kehilangan penalaran sehatnya. <br />
Rasanya kita perlu membiasakan kembali sikap hidup sederhana, sebagaimana diajarkan dan dicontohkan kanjeng Nabi Muhammad SAW. Maka, kita dapat dengan lebih mudah berlaku adil dan istiqamah, dapat memandang sesuatu tanpa kehilangan penalaran sehat.<br />
<br />
<br />
<br />
Berkurban, Berkorban, Dan Berqurban<br />
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri<br />
IDUL ADHA --biasa juga disebut Idul Kurban, Hari Raya Adha, Hari Raya Haji, atau Hari Raya Besar-- seperti kita ketahui, adalah hari raya Islam, kembaran Idul Fitri. Ketika Nabi Muhammad saw datang ke Madinah, di negeri hijrah itu telah ada tradisi semacam perayaan tahunan, satu tahun dua kali, yang disebut Mahrajan. Oleh Kanjeng Nabi, kedua perayaan itu diusulkan diganti dengan yang lebih baik. Itulah Idul Adha dan Idul Fitri. <br />
Jadi, dari sudut perayaannya, kedua hari raya itu memang boleh dikata merupakan semacam "pesta rakyat". Hari gembira umat Islam. Tapi, dasar orang Indonesia, kedua hari bahagia itu di sini malah sering dijadikan pasal pertengkaran juga. Biasa, gara-gara fanatisme kelompok. Tabiat khas orang Indonesia dan kaum jahiliah. <br />
Adha, Haji, atau Kurban, semuanya berasal dari bahasa qur'an. Adl-ha yang berarti kurban (jangan kacaukan dengan korban pakai 'o'! Maknanya lain!) karena pada hari itu umat Islam merayakannya dengan menyembelih ternak sebagai tanda bakti dan taat kepada Allah. Sedangkan Qurban bisa berarti pendekatan. Tentu saja pendekatan kepada al-Khaliq, Allah azza wa jalla. Kita sering mengistilahkannya dengan taqarrub, mendekat-dekat atau berusaha dekat kepada-Nya. Karena itu, sejak 1 Dzulhijjah, kita dianjurkan memperbanyak amalan-amalan ibadah seperti puasa, bersembahyang, bersilaturahmi, dan berzikir, mengagungkan Allah swt. <br />
Di saat-saat Idul Adha seperti ini, biasanya umat Islam -"baru"- teringat kepada Bapak para Nabi, Khalilullah Ibrahim dan puteranya, Nabi Ismail -alaihimas salâm! Mereka yang teringat pun banyak yang tidak sempat merenungkan keagungan pengorbanan kedua nabi itu, apalagi sambil membandingkan kesiapan berkorban diri sendiri. <br />
Bayangkan. Nabi Ibrahim as sudah lama sekali ingin mempunyai keturunan yang dapat melanjutkan perjuangannya. Baru setelah sangat sepuh beliau dikaruniai Ismail. Tempatkan diri Anda di tempat beliau dan rasakan, betapa gembira dan bahagianya. Lalu, tiba-tiba setelah si anak ketok moto (membanggakan dipandang, red), seperti sudah kita ketahui, Allah memerintahkan untuk menyembelihnya. <br />
Bagi umumnya kita, kehilangan anak saja sudah merupakan malapetaka, apa pula dengan menghilangkan anak yang notabene sudah lama didambakan dan diidam-idamkan. Adakah keikhlasan berkorban demi kekasih yang sehebat dan seagung itu? <br />
Ya, ada. Yaitu, keikhlasan berkorban sang putera, Ismail, yang dengan ketulusan luar biasa menyerahkan nyawanya demi Sang Kekasih yang sama. Dua hamba Allah telah membuktikan cinta mereka yang agung dengan pengorbanan yang agung. Anak, belahan jiwa, dan nyawa sendiri! Allahu Akbar! <br />
Keduanya telah membuktikan bahwa pernyataan mereka tulus, bukan pernyataan kosong yang hanya sebagai kembang lambe (pemanis bibir). Mereka benar-benar memurnikan kepasrahan hanya kepada Allah. Mengakui dan menyadari bahwa pemilihan hakiki hanya pada Allah. Bahwa semuanya, tanpa kecuali, adalah milik Allah, tak berbagi dengan siapa pun, termasuk dengan diri sendiri. <br />
Inna shalâtî wa nusukî wa mahyâya wa mamâtî lillâhi Rabbil ‘âlamîn; lâ syarîka lahû wa bidzâlika umirtu wa ana awwalul muslimîn. Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, matiku, semata-mata milik Allah Tuhan sekalian alam; tak ada seorang pun yang ikut bersama-Nya memiliki. Untuk itulah aku diperintahkan dan aku adalah orang pertama yang menerima, yang pasrah, yang Islam! <br />
Maka, sudah sepatutnyalah kedua nabi agung itu mendapatkan tempat terdekat di sisi-Nya sebagai kekasih-kekasih-Nya. <br />
Sekarang kita, yang setiap saat juga berikrar seperti Nabi Ibrahim as, Inna shalâti wa nusukî… dan seterusnya. Jangan tanya tentang apakah kita sudah mampu melepas "kepemilikan" dari diri kita sendiri dan menisbatkannya hanya kepada Allah? Tanya saja, apakah kita sudah dapat menghilangkan rasa sayang melepas sebagian "milik" kita demi Allah? <br />
Membeli kambing untuk kurban -meniru Nabi Ibrahim as- saja, kita membelinya ngloloni pada bulan-bulan sebelum mendekati Dzulhijjah untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Jika sedang di masjid, ketemu "kotak amal", kalaupun kita membuka dompet, maka yang kita cari untuk kita masukkan ke dalamnya adalah pecahan yang terkecil. Ketika dekat Baitullah, rumah Allah, saja kita tak sudi berkorban sedikit tempat atau sedikit kesempatan kepada sesama hamba Allah. <br />
Kita memilih berkelahi dengan sesama saudara -yang dilarang Allah- daripada, misalnya, mengikhlaskan sedikit tempat di maqam mustajab atau sedikit kesempatan mencium Hajar Aswad kepada saudara kita. Padahal, kita hafal sabda Nabi Muhammad saw, "Lâ yu'minu ahadukum hattâ yuhibba li akhîhi mâ yuhibbu linafsihi." (Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sebelum dia menyukai untuk saudaranya sebagaimana dia menyukai untuk dirinya sendiri). <br />
Maka, dalam kondisi seperti itu, berkorban tentu merupakan sesuatu yang sangat berat, bahkan mungkin ganjil. Lihatlah mereka yang suka berkoar-koar seolah paling nasionalis atau paling patriot, untuk sedikit berkorban bagi rakyatnya sendiri pun seperti disuruh njegur sumur (terjun ke dalam sumur). Apalagi berkorban untuk Allah yang memerlukan pengenalan kepada-Nya. <br />
Bahkan, karena kurang pengenalan ini, justru Allah-lah yang sering di-"korban"-kan. Masya Allah. Karena tidak tahu bahwa Allah menghendaki semuanya mendekati-Nya, maka baru merasa memiliki Allah saja, sudah merasa paling dekat kepada-Nya dan tidak suka bila ada orang lain berusaha ikut mendekati-Nya. <br />
Karena tidak tahu bahwa Allah menghendaki dan memfitrikan perbedaan, maka baru "memiliki" keyakinan yang belum tentu benar saja (karena yang mutlak dan pasti benar hanya Allah), sudah mentang-mentang melarang orang lain "memiliki" keyakinan sendiri. Karena tidak tahu bahwa Allah menghendaki manusia hidup harus saling menghargai, maka baru "memiliki" pengetahuan sedikit saja sudah tidak sudi mengorbankan waktu untuk mendengarkan orang lain. Baru memiliki kekuasaan sedikit saja, sudah marah diminta berkorban untuk mendengarkan dan mencerna kritikan. <br />
Semoga tahun ini kita dapat merayakan Idul Adha dengan mengagungkan Allah. Bagi yang mampu, dapat berkurban (dengan 'u') dengan semangat berkorban (dengan 'o') dan menghayati maknanya bagi upaya ber-qurban, mendekatkan diri kepada Allah. Taqabbala-llâhu minnâ wa minkum! Taqabbal yâ Karîm!<br />
<br />
Selamat Tahun Baru<br />
Oleh: A. Mustofa Bisri<br />
Tahun ini, tahun baru Hijriyah hampir bersamaan datangnya dengan tahun baru Masehi. Biasanya tahun baru Masehi disambut dengan hiruk- pikuk luar biasa. Sementara tahun baru Hijriyah yang sering disebut tahun Islam, tidak demikian. Tidak ada trek-trekan sepeda motor di jalanan. Tidak ada terompet. Tidak ada panggung-panggung hiburan di alon-alon.<br />
Yang ada di sementara mesjid, kaum muslimin berkumpul berjamaah salat Asar –meski biasanya tidak—lalu bersama-sama berdoa akhir tahun; memohon agar dosa-dosa di tahun yang hendak ditinggalkan diampuni oleh Allah dan amal-amal diterima olehNya. Kemudian menunggu salat Maghrib –biasanya tidak—dan salat berjamaah lalu bersama-sama berdoa awal tahun. Memohon kepada Allah agar di tahun baru dibantu melawan setan dan antek-anteknya, ditolong menundukkan hawa nafsu, dan dimudahkan untuk melakukan amal-amal yang lebih mendekatkan kepada Allah.<br />
Memang agak aneh, paling tidak menurut saya, jika tahun baru disambut dengan kegembiraan. Bukankah tahun baru berarti bertambahnya umur? Kecuali apabila selama ini umur memang digunakan dengan baik dan efisien. Kita tahu umur digunakan secara baik dan efisien atau tidak, tentu saja bila kita selalu melakukan muhasabah atau efaluasi. Minimal setahun sekali. Apabila tidak, insyaallah kita hanya akan mengulang-ulang apa yang sudah; atau bahkan lebih buruk dari yang sudah. Padahal ada dawuh: “Barangsiapa yang hari-harinya sama, dialah orang yang merugi; barangsiapa yang hari ini-nya lebih buruk dari kemarin-nya, celakalah orang itu.”<br />
Secara ‘ritual’ kehidupan beragama di negeri ini memang dahsyat. Lihatlah. Hampir tidak ada tempat ibadah yang jelek dan tak megah. Dan orang masih terus membangun dan membangun mesjid-mesjid secara gila-gilaan. Bahkan di Jakarta ada yang membangun mesjid berkubah emas. Saya tidak tahu apa niat mereka yang sesungguhnya membangun rumah-rumah Tuhan sedemikian megah. Tentu bukan untuk menakut-nakuti hamba-hamba Tuhan yang miskin di sekitar rumah-rumah Tuhan itu. Tapi bila Anda bertanya kepada mereka, insya Allah mereka akan menjawab, “Agar dibangunkan Allah istana di surga kelak”. Mungkin dalam pikiran mereka, semakin indah dan besar mesjid yang dibangun, akan semakin besar dan indah istana mereka di surga kelak.<br />
(Terus terang bila teringat fungsi mesjid dan kenyataan sepinya kebanyakan mesjid-mesjid itu dari jamaah yang salat bersama dan beri’tikaf, timbul su’uzhzhan saya: jangan-jangan mereka bermaksud menyogok Tuhan agar kelakuan mereka tidak dihisab).<br />
Tidak ada musalla, apalagi mesjid, yang tidak memiliki pengeras suara yang dipasang menghadap ke 4 penjuru mata angin untuk melantunkan tidak hanya adzan. Bahkan ada yang sengaja membangun menara dengan biaya jutaan hanya untuk memasang corong-corong pengeras suara. Adzan pun yang semula mempunyai fungsi memberitahukan datangnya waktu salat, sudah berubah fungsi menjadi keharusan ‘syiar’ sebagai manifestasi fastabiqul khairaat; sehingga sering merepotkan mereka yang ingin melaksanakan anjuran Rasulullah SAW: untuk menyahuti adzan.<br />
Semangat keagamaan dan kegiatan keberagamaan kaum muslimin di negeri ini memang luar biasa. Begitu luar biasanya hingga daratan, lautan, dan udara di negeri ini seolah-olah hanya milik kaum muslimin. Takbir menggema dimana-mana, siang dan malam. Meski namanya negara Pancasila dengan penduduk majmuk, berbagai agama diakui, namun banyak kaum muslimin –terutama di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam— seperti merasa paling memiliki negara ini. Barangkali karena itulah, banyak yang menyebut bangsa negeri ini sebagai bangsa religius.<br />
Namun, marilah kita tengok sisi lain untuk melihat kenyataan yang ironis dalam kehidupan bangsa yang religius ini. Semudah melihat maraknya kehidupan ritual keagamaan yang sudah disinggung tadi, dengan mudah pula kita bisa melihat banyak ajaran dan nilai-nilai mulia agama yang seolah-olah benda-benda asing yang tak begitu dikenal.<br />
Tengoklah. Kebohongan dan kemunafikan sedemikian dominannya hingga membuat orang-orang yang masih jujur kesepian dan rendah diri.<br />
Rasa malu yang menjadi ciri utama pemimpin agung Muhammad SAW dan para shahabatnya, tergusur dari kehidupan oleh kepentingan-kepentingan terselubung dan ketamakan.<br />
Disiplin yang dididikkan agama seperti azan pada waktunya, salat pada watunya, haji pada waktunya, dsb. tidak sanggup mengubah perangai ngawur dan melecehkan waktu dalam kehidupan kaum beragama.<br />
Plakat-plakat bertuliskan “An-nazhaafatu minal iimaan” dengan terjemahan jelas “Kebersihan adalah bagian dari iman”, diejek oleh kekumuhan, tumpukan sampah, dan kekotoran hati di mana-mana.<br />
Kesungguhan yang diajarkan Quran dan dicontohkan Nabi tak mampu mempengaruhi tabiat malas dan suka mengambil jalan pintas. <br />
Di atas, korupsi merajalela (Bahkan mantan presiden 32 tahun negeri ini dikabarkan menyandang gelar pencuri harta rakyat terbesar di dunia). Sementara di bawah, maling dan copet merebak.. Jumlah orang miskin dan pengangguran seolah-olah berlomba dengan jumlah koruptor dan mereka yang naik haji setiap tahun. <br />
Nasib hukum juga tidak kalah mengenaskan. Tak perlulah kita capek terus bicara soal mafia peradilan dan banyaknya vonis hukum yang melukai sanubari publik untuk membuktikan buruknya kondisi penegakan hukum negeri ini. Cukuplah satu berita ini: KPK baru-baru ini menangkap Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial saat menerima suap. Penegak-penegak keadilan sering kali justru melecehkan keadilan. Penegak kebenaran justru sering kali berlaku tidak benar. <br />
Maniak kekuasaan menghinggapi mereka yang pantas dan yang tidak pantas. Mereka berebut kekuasaan seolah-olah kekuasaan merupakan baju all size yang patut dipakai oleh siapa saja yang kepingin, tidak peduli potongan dan bentuk badannya..<br />
Tidak hanya sesama saudara sebangsa, tidak hanya sesama saudara seagama, bahkan sesama anggota organisasi keagamaan yang satu, setiap hari tidak hanya berbeda pendapat, tapi bertikai. Seolah-olah kebenaran hanya milik masing-masing. Pemutlakan kebenaran sendiri seolah-olah ingin melawan fitrah perbedaan.<br />
Kekerasan dan kebencian, bahkan keganasan, seolah-olah menantang missi Rasulullah SAW: rahmatan lil ‘aalamiin, mengasihi seluruh alam, dan tatmiimu makaarimil akhlaaq, menyempurnakan akhlak yang mulia. Penghargaan kepada manusia yang dimuliakan Tuhan seperti sudah mulai sirna dari hati. Termasuk penghargaan kepada diri sendiri.<br />
Waba’du; jangan-jangan selama ini –meski kita selalu menyanyikan ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”—hanya badan saja yang kita bangun. Jiwa kita lupakan. Daging saja yang kita gemukkan, ruh kita biarkan merana. Sehingga sampai ibadah dan beragama pun masih belum melampaui batas daging. Lalu, bila benar, ini sampai kapan? Bukankah tahun baru ini momentum paling baik untuk melakukan perubahan? <br />
Selamat Tahun Baru 1429! <br />
<br />
Musibah<br />
16 Januari 2007 14:10:32<br />
<br />
Oleh: A. Mustofa Bisri<br />
<br />
Dulu, ketika kita mendengar ada badai hebat di Amerika, Bangladesh, hingga Filipina; banjir meluap di Tiongkok, Brazil, hingga Korea; gempa dahsyat di Rumania, Meksiko, hingga Jepang; kapal tenggelam di Inggris, Italia, hingga Rusia; kecelakaan kereta api di Argentina, Skotlandia, hingga Jerman; kecelakaan pesawat di Turki, Prancis, hingga Sri Lanka; kebakaran hutan di Amerika, Tiongkok, hingga Australia; ledakan di Irlandia, Iraq, hingga Pakistan; pertumpahan darah di Timur Tengah, India, hingga Afghanistan; dan musibah-musibah lain yang terjadi di berbagai belahan dunia, setiap kali kita hanya sebentar ikut prihatin, lalu diam-diam atau terang-terangan merasa lega dan bersyukur bahwa tempat-tempat musibah tersebut jauh dari kita.<br />
Sekarang, ketika musibah-musibah itu, plus musibah lumpur panas, secara beruntun terjadi di tanah air, masih juga banyak orang yang jauh dari tempat musibah bereaksi sama. Ikut prihatin sebentar, lalu diam-diam atau terang-terangan bersyukur bahwa bukan mereka yang terkena.<br />
Karena beruntun, setidaknya dalam dua tahun belakangan, banyak pula yang terusik dan bertanya-tanya: Ini ada apa? Ini cobaankah, peringatan, atau siksa dari Tuhan?<br />
Memang, ada beberapa ayat suci yang jelas-jelas menyatakan bahwa musibah dan kerusakan adalah akibat ulah manusia (misalnya, Q.4: 62; 28: 47; 30: 36, 41; 42: 48). Namun, dalam menjabarkan ayat-ayat itu, berbeda-beda hujah orang. Ada yang dengan nada keminter menyalahkan pihak-pihak selain dirinya. "Alam itu memiliki karakter yang tetap," katanya; "Gunung, laut, angin, dsb sama saja tidak pernah berubah. Jadi, bisa dipelajari. Seharusnya para ilmuwan dapat memberikan masukan informasi kepada pemerintah dan masyarakat. Semestinya pemerintah sudah mengantisipasi gejala-gejala alam itu. Apa kerja Badan Meteorologi dan Geofisika itu?"<br />
Dari mereka yang suka menyalahkan itu, ada yang lucu; menyalahkan presiden yang dianggap membawa sial dan seharusnya diruwat.<br />
Ada pula yang agak memper, menyalahkan orang-orang yang suka merusak alam. Menurut mereka, alam marah kepada manusia yang terus-menerus melukainya. Bukan hanya manusia yang bisa kecewa, marah, demo, dan ngamuk. Alam pun bisa.<br />
Ada yang lebih kehambaan dengan mengakui bahwa semua ini akibat dosa masal terhadap Tuhan pencipta manusia dan alam. Dosa kita semua. Jadi, tidak relevan dan sia-sia apabila hanya saling tunjuk, menganggap pihak lain saja yang berdosa, seolah-olah masing-masing merupakan wakil Tuhan.<br />
Semua aturan Tuhan dilanggar beramai-ramai. Diangkat menjadi khalifah di kehidupan di dunia, tidak merawat dan mengelolanya secara baik, malah merusaknya. Mereka yang merasa benar tidak mau membenarkan, malah hanya menyalah-nyalahkan. Mereka yang berkesempatan berkorupsi tidak ditutup kesempatannya berkorupsi, malah dipupuk dan diberi peluang.<br />
Hukum yang seharusnya menata malah ditata. Penegak hukum yang melencengkan hukum tidak dibantu menegakkan, malah didorong untuk terus melencengkannya. Kenakalan remaja dan kenakalan orang tua merajalela. Amuk di mana-mana.<br />
"Karena dosa masal, untuk menghentikan hajaran Tuhan ini, tiada lain kita semua mesti melakukan tobat masal," kata sohibul pendapat itu.<br />
Saya sependapat dengan pikiran tersebut karena saya sendiri juga melihat kenyataan perikehidupan kita yang seperti itu. Saya setuju dan mendukung anjuran tobat masal, tapi tidak dengan pengertian yang sederhana. "Hanya" ramai-ramai istighotsah secara seremonial, nangis-nangis minta ampun kepada Tuhan, lalu sudah.<br />
Tobat yang saya dukung adalah tobat yang sesungguhnya. Masing-masing mengidentifikasi kesalahan sendiri dan menyesalinya, lalu bertekad tidak mengulangi. Mereka yang merasa pernah merampas hak orang lain segera mengembalikan atau meminta ikhlas dari pihak yang terampas. Misalnya, pejabat yang pernah mengorupsi harta rakyat, segeralah mengembalikan. Atau, jika telanjur habis termakan, mengadakan konferensi pers untuk memohon keikhlasan dari rakyat.<br />
Mereka yang pernah atau sering nyogok atau menerima sogok, segera berhenti dan berjanji tidak akan mengulangi. Mereka yang karena memiliki kelebihan, baik berupa kekayaan, kepintaran, maupun kekuasaan, hendaklah segera menyadari bahwa itu semua adalah anugerah Tuhan yang seharusnya disyukuri, bukannya dijadikan alasan untuk angkuh serta merendahkan orang lain.<br />
Mereka yang suka memutlakkan pendapat dan kebenaran sendiri hendaklah segera menyadari bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah dan mulai belajar menghargai pendapat orang lain. Demikian seterusnya. Kemudian, baru dengan tulus dan khusyuk memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Pengampun.<br />
Kesalahan-kesalahan yang telanjur dilakukan karena kebodohan serta kecerobohan harus diakui dan diusahakan memperbaiki dengan belajar atau menghindarinya sama sekali. Misalnya, karena pengetahuan kita mengenai bencana alam dan penanganannya masih minim, kita harus mengakui dan belajar.<br />
Misalnya, karena nasib baik atau KKN, seseorang diangkat dan diserahi tugas yang tidak begitu dikuasainya, lalu timbul kesalahan, dia bisa memperbaiki dengan belajar. Tapi, bila tugas tersebut sama sekali di luar kemampuannya, segera saja mundur. Sebab, kesalahannya akan beranak-pinak.<br />
Karena itu semua adalah pendekatan kehambaan, kuncinya adalah kerendahhatian. Tanpa sikap rendah hati, tobat akan sia-sia belaka.<br />
Waba'du, meskipun wadag kita dari lumpur, tidak seharusnya kita bersikap seperti lumpur Porong yang seenaknya sendiri, merusak ke sana kemari, susah diatur, tidak jelas maunya. Sebab, dalam wadag kita, Allah meletakkan cahaya penerang: akal dan hati nurani.<br />
<br />
<br />
Pengajian<br />
9 Desember 2007 12:24:03<br />
<br />
Oleh: A Mustofa Bisri<br />
<br />
Pengajian Umum istilah populernya dari dulu. Entah mulai kapan, belakangan panitia-panitia lebih suka menyebutnya Pengajian atau Tabligh Akbar. Tidak perduli seberapa banyak orang yang akan menghadiri pengajian, di dalam undangan dan spanduk mesti disebut-tambahkan kata akbar. <br />
Di banyak daerah terutama di Jawa, pengajian umum atau Tabligh Akbar sudah merupakan 'menu' tetap dalam setiap agenda kegiatan kaum muslimin. Boleh dikata, tidak ada hari besar Islam tanpa pengajian. Pengajian juga merupakan acara inti dalam setiap kegiatan khataman pesantren atau madrasah, dalam peringatan haul ulama, walimatul 'ursy; khitanan, syukuran haji, bahkan pindahan rumah. <br />
Mungkin, semangat pengajian itu terutama didorong oleh gairah dakwah yang agaknya oleh umat Islam memang baru dipahami sebatas pengajian semacam itu. Maka, galibnya pembicara atau penceramahnya disebut dai atau mubaligh. Dari sisi lain, karena namanya pengajian, maka yang mengisi atau berceramah pun juga umum disebut kyai. <br />
Agaknya, masyarakat pun tidak merasa perlu membedakan antara "kyai mubaligh dan "mubaligh kyai". Padahal, keduanya-satu dengan yang lain-sangat berbeda. "Kyai mubaligh" artinya orang yang disebut kyai, karena mengisi pengajian alias mubaligh. Dia tidak harus memiliki pesantren atau bisa mengajar para santri. Sedangkan, "mubaligh kyai" ialah kyai yang-karena bisa tablig-diminta mengisi pengajian. Pembicara atau penceramah yang disebut kyai hanya karena pandai berbicara atau berceramah tentu tidak sama dengan kyai yang bisa berbicara atau berceramah. Katakanlah, yang pertama adalah orang yang 'berprofesi' sebagai dai atau mubaligh, sedangkan yang satunya lagi adalah kyai yang menjalankan fungsi tabligh atau dakwahnya. <br />
Mereka yang 'berprofesi' sebagai dai atau mubaligh, umumnya memang memiliki bakat atau kemampuan berbicara dan pintar menarik perhatian. Mereka biasanya juga pandai melihat situasi. Ini kelebihan mereka. Kelemahan mereka, terutama bagi mereka yang sudah terlanjur 'laris', adalah dari segi mutu materi dakwah mereka. 'Bahan' yang terbatas, sering kali tidak sempat dikembangkan justru karena terus 'terpakai. Ibarat baterei yang tidak sempat di-charge. <br />
Sebaliknya, mereka yang kyai umumnya tidak begitu mementingkan metode dakwahnya. Kadang-kadang, kita jumpai kyai yang mengisi pengajian umum persis seperti kalau beliau mengajar santri-santrinya di pesantren. <br />
Di samping soal dai dan mubalighnya, pengajian atau ceramah agama yang juga mulai marak di kota-kota besar juga menarik diamati. Boleh jadi, menyadari keampuhan-atau dan 'kemurahan'-pengajian ceramah atau majelis taklim, banyak kelompok, golongan, organisasi, partai, bahkan instansi, yang menggunakannya untuk kepentingannya. Sering kali, kepentingan itu jauh dari kepentingan da'wah ila Allah atau da'wah ila al-lkhair. <br />
Anda bayangkan sendiri. Berapa banyak golongan, kelompok, organisasi, partai dan instansi yang ada di negeri ini. Bayangkan, bila masing-masing memiliki majelis taklim sendiri, memiliki dai atau mubaligh sendiri-sendiri, dan mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Alangkah banyaknya jalan di depan kita. Masih mending, bila jalan-jalan itu menuju ke satu tujuan. <br />
Kalau pun ada dakwah yang memang dimaksudkan mengajak ke jalan Tuhan atau kepada kebaikan, dai dan mubalighnya pun-sebagaimana dakwahnya itu sendiri yang 'alamiah'- boleh dikata juga 'alamiah', untuk tidak mengatakan amatiran. <br />
Kita belum pernah mendengar ada semacam evaluasi terhadap kegiatan pengajian yang begitu intens itu. Misalnya, untuk sekedar mengetahui sejauh mana pengaruh kegiatan pengajian itu terhadap akhlak masyarakat. Atau, adakah korelasi antara pengajian-pengajian yang begitu semangat dengan perilaku masyarakat? Bila pengajian itu amar-makruf-nahi-munkar, mengapa makruf masih tetap mewah dan munkar merajalela?<br />
<br />
<br />
Sang Pemimpin<br />
Oleh: A. Mustofa Bisri<br />
<br />
Zahir sedang berada di pasar Madinah ketika tiba-tiba seseorang memeluknya kuat-kuat dari belakang. Tentu saja Zahir terkejut dan berusaha melepaskan diri, katanya: “Lepaskan aku! Siapa ini?” <br />
Orang yang memeluknya tidak melepaskannya justru berteriak: “Siapa mau membeli budak saya ini?” Begitu mendengar suaranya, Zahir pun sadar siapa orang yang mengejutkannya itu. Ia pun malah merapatkan punggungnya ke dada orang yang memeluknya, sebelum kemudian mencium tangannya. Lalu katanya riang: “Lihatlah, ya Rasulullah, ternyata saya tidak laku dijual.” <br />
“Tidak, Zahir, di sisi Allah hargamu sangat tinggi;” sahut lelaki yang memeluk dan ‘menawarkan’ dirinya seolah budak itu yang ternyata tidak lain adalah Rasulullah, Muhammad SAW. <br />
Zahir Ibn Haram dari suku Asyja’, adalah satu di antara sekian banyak orang dusun yang sering datang berkunjung ke Madinah, sowan menghadap Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tentang Zahir ini, Rasulullah SAW pernah bersabda di hadapan sahabat-sahabatnya, “Zahir adalah orang-dusun kita dan kita adalah orang-orang-kota dia.” <br />
Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah; pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, Anda akan sulit membayangkannya bercanda di pasar dengan salah seorang rakyatnya seperti kisah yang saya tuturkan (berdasarkan beberapa kitab hadis dan kitab biografi para sahabat, Asad al-ghaabah- nya Ibn al-Atsier ) di atas. <br />
Tapi itulah pemimpin agung, Uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW. Dari kisah di atas, Anda tentu bisa merasakan betapa bahagianya Zahir Ibn Haram. Seorang dusun, rakyat jelata, mendapat perlakuan yang begitu istimewa dari pemimpinnya. Lalu apakah kemudian Anda bisa mengukur kecintaan si rakyat itu kepada sang pemimpinnya? Bagaimana seandainya Anda seorang santri dan mendapat perlakuan demikian akrab dari kiai Anda? Atau Anda seorang anggota partai dan mendapat perlakuan demikian dari pimpinan partai Anda? Atau seandainya Anda rakyat biasa dan diperlakukan demikian oleh --tidak usah terlalu jauh: gubernur atau presiden—bupati Anda? <br />
Anda mungkin akan merasakan kebahagiaan yang tiada taranya; mungkin kebahagiaan bercampur bangga; dan pasti Anda akan semakin mencintai pemimpin Anda itu. <br />
Sekarang pengandaianya dibalik: seandainya Anda kiai atau, pimpinan partai, atau bupati; apakah Anda ‘sampai hati’ bercanda dengan santri atau bawahan Anda seperti yang dilakukan oleh panutan agung Anda, Rasulullah SAW itu? <br />
Boleh jadi kesulitan utama yang dialami umumnya pemimpin, ialah mempertahankan kemanusiaanya dan pandangannya terhadap manusia yang lain. Biasanya, karena selalu dihormati sebagai pemimpin, orang pun menganggap ataukah dirinya tidak lagi sebagai manusia biasa, atau orang lain sebagai tidak begitu manusia. <br />
Kharqaa’, perempuan berkulit hitam itu entah dari mana asalnya. Orang hanya tahu bahwa ia seorang perempuan tua yang sehari-hari menyapu mesjid dan membuang sampah. Seperti galibnya tukang sapu, tak banyak orang yang memperhatikannya. Sampai suatu hari ketika Nabi Muhammad SAW tiba-tiba bertanya kepada para sahabatnya, “Aku kok sudah lama tidak melihat Kharqaa’; kemana gerangan perempuan itu?” <br />
Seperti kaget beberapa sahabat menjawab: “Lho, Kharqaa’ sudah sebulan yang lalu meninggal, ya Rasulullah.” Boleh jadi para sahabat menganggap kematian Kharqaa’ tidak begitu penting hingga perlu memberitahukannya ’ kepada Rasulullah SAW. Tapi ternyata Rasulullah SAW dengan nada menyesali, bersabda: “Mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku? Tunjukkan aku dimana dia dikuburkan?”. Orang-orang pun menunjukkan kuburnya dan sang pemimpin agung pun bersembahyang di atasnya, mendoakan perempuan tukang sapu itu. <br />
Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah; pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, Anda pasti akan sulit membayangkan bagaimana pemimpin seagung beliau, masih memiliki perhatian yang begitu besar terhadap tukang sapu, seperti kisah nyata yang saya ceritakan (berdasarkan beberapa hadis sahih) di atas. <br />
Tapi itulah pemimpin agung, Uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW. Urusan-urusan besar tidak mampu membuatnya kehilangan perhatian terhadap rakyatnya, yang paling jembel sekalipun. <br />
Anas Ibn Malik yang sejak kecil mengabdikan diri sebagai pelayan Rasulullah SAW bercerita: “Lebih Sembilan tahun aku menjadi pelayan Rasulullah SAW dan selama itu, bila aku melakukan sesuatu, tidak pernah beliau bersabda, ‘Mengapa kau lakukan itu?’ Tidak pernah beliau mencelaku.” <br />
“Pernah, ketika aku masih kanak-kanak, diutus Rasulullah SAW untuk sesuatu urusan;” cerita Anas lagi, “Meski dalam hati aku berniat pergi melaksanakan perintah beliau, tapi aku berkata, ‘Aku tidak akan pergi.’ Aku keluar rumah hingga melewati anak-anak yang sedang bermain di pasar. Tiba-tiba Rasulullah SAW memegang tengkukku dari belakang dan bersabda sambil tertawa, ‘Hai Anas kecil, kau akan pergi melaksanakan perintahku?’ Aku pun buru-buru menjawab, ‘Ya, ya, ya Rasulullah, saya pergi.’” <br />
Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah; pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, dapatkah Anda membayangkan kasih sayangnya yang begitu besar terhadap abdi kecilnya? Tapi pasti Anda dapat dengan mudah membayangkan betapa besar kecintaan dan hormat si abdi kepada ‘majikan’nya itu. <br />
Waba’du; apakah saya sudah cukup bercerita tentang Nabi Muhammad SAW, sang pemimpin teladan yang luar biasa itu? Semoga Allah melimpahkan rahmat dan salamNya kepada beliau, kepada keluarga, para sahabat, dan kita semua umat beliau ini. Amin.<br />
<br />
Kekerasan Itu...<br />
<br />
Oleh: A. Mustofa Bisri<br />
<br />
Lagi-lagi kita disuguhi tontonan yang sulit dimengerti oleh pikiran waras kaum beriman yang berpancasila. Sekelompok orang brutal memamerkan kebengisan dan kekerasannya kepada sesama bangsanya. Kali ini yang menjadi sasaran adalah kelompok Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). <br />
Yang lebih memprihatinkan, terutama bagi kaum muslimin yang memiliki nurani, mereka yang memamerkan keangkuhan dan keganasannya itu berpakaian busana Nabi agung Muhammad saw dan menggunakan label Pembela Islam. Allahummahdihim. Semoga Allah memberi hidayah kepada mereka dan terutama kepada imam-imam mereka.<br />
Mereka yang seperti kalap itu pastilah orang-orang awam yang tidak begitu mengerti tentang Islam dan tidak mengenal kanjeng Nabi Muhammad saw. Tidak mengerti bahwa Islam adalah agama damai dan kasih sayang. Agama yang mengecam kezaliman dan kekerasan. Tidak mengerti bahwa kanjeng Nabi Muhammad saw adalah seorang pemimpin yang bassaam, ramah dan murah senyum.<br />
Seperti sudah diketahui –kecuali oleh mereka yang tidak mengerti dan mereka yang tertutup hatinya karena takabur—Islam adalah agama rahmatan lil ‘aalamiin. Yang diutus membawanya adalah seorang manusia pilihan yang paling beradab dan penuh kasih sayang. Nabi Muhammad saw. Seorang nabi yang menurut penuturan shahabat Abdullah Ibn ‘Umar (diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan imam Muslim), tidak kasar dan tidak pernah melampaui batas; nabi yang bersabda: “ Inna khiyaarakum ahsanukum akhlaaqan.” (Sesungguhnya orang-orang terbaik di antara kalian ialah mereka yang berakhlak paling baik). Shahabat Ibn ‘Umar juga menuturkan (riwayat Imam Bukhari) bahwa Kanjeng Nabi Muhammad saw tidak kaku, tidak bengis, tidak suka bersuara keras di pasar, dan tidak membalas keburukan dengan keburukan melainkan memaafkan dan mengampuni.<br />
Tentang orang Islam, Nabi Muhammad saw bersabda: “Almuslimu man salimal muslimuun min lisaanihi wayadihi.” (H.R. Imam Muslim dari shahabat Jabir) “Muslim sejati ialah orang yang menjaga lisan dan tangannya sehingga orang-orang muslim lain selamat dari padanya.”<br />
Mungkin mereka yang melakukan kekerasan itu sekedar wayang-wayang yang terbakar oleh provokasi imam-imam mereka. Mereka diyakinkan, misalnya, bahwa kelompok AKKBB itu pembela kaum sesat Ahmadiyah atau antek-antek Yahudi dan Amerika. Tapi apapun alasannya tindakan anarki dan kekerasan tidak dibenarkan baik oleh akal sehat, oleh Islam, dan oleh Negara.<br />
Negara ini adalah negara hukum. Saya sungguh khawatir kekerasan-kekerasan yang terjadi seperti kemarin itu justru akan membuat konflik horizontal berkepanjangan yang ujung-ujungnya akan merugikan umat Islam sendiri, Islam, dan Indonesia. Apalagi saat ini ‘tensi masyarakat’ sedang sangat tinggi. Karena itu pemerintah --sebagai pihak yang paling utama bertanggungjawab yang mengemban amanat dan memiliki perangkat untuk menyelesaikan permasalahan seperti konflik horizontal ini— hendaknya segera bertindak sesuai kewenangannya serta sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku di negeri ini. <br />
Sementara itu kaum muslimin sebagai mayoritas di negeri ini, terutama para pimpinan mereka –termasuk dalam rangka memperjuangkan prinsip mulia apapun-- hendaklah tetap mengedepankan sikap tidak berlebih-lebihan, sikap kearifan dan kesantunan seperti yang diajarkan dan dicontohkan oleh Pemimpin agung kita, Nabi Muhammad saw. Tidak justru mengikuti cara-cara munkar yang seharusnya kita cegah. Semangat membela Islam dan amar makruf nahi munkar, mestilah dilakukan dengan cara-cara Islami.<br />
Semoga Allah menunjukkan kita ke jalan yang benar yang Ia ridhai. Amin.<br />
<br />
Anak Muda Yang Bersemangat<br />
Oleh: A. Mustofa Bisri<br />
<br />
Semangat beribadah anak muda itu memang luar biasa. Baginya, tak ada hari tanpa puasa dan tak ada malam tanpa qiyaamullail. Siang puasa, malamnya membaca al-Quran.<br />
Mendengar perihal anak muda-yang tidak lain adalah sahabat Nabi Abdullah Ibnu Amr itu-Nabi Muhammad saw pun bersabda, menanyainya: “Aku dengar kau selalu puasa di siang hari dan membaca al-Quran sepanjang malam, benar?” <br />
“Benar, wahai Rasulullah, dan aku melakukan itu semata-mata menginginkan kebaikan.” <br />
“Sesungguhnya cukup bagimu berpuasa 3 hari setiap bulan.” <br />
“Ya Rasulallah, saya kuat berpuasa yang lebih afdol dari itu.” <br />
“Isterimu punya hak yang wajib kamu penuhi, tamumu punya hak yang wajib kamu penuhi, dan jasmanimu juga punya hak yang wajib kamu penuhi. Maka puasa saja seperti puasanya Nabi Daud. Beliau itu orang yang paling kuat ibadahnya.” <br />
“Ya Rasulallah, bagaimana itu puasa Nabi Daud?” <br />
“Sehari berpuasa, sehari tidak. Dan bacalah al-Quran setiap bulan.” <br />
“Ya Rasulallah, saya kuat melakukan yang lebih afdol daripada itu.” <br />
“Kalau begitu, baca setiap 20 hari.” <br />
“Ya Rasulallah, saya kuat melakukan yang lebih afdol daripada itu.” <br />
“Ya baca setiap 10 hari.” <br />
“Ya Rasulallah, saya kuat melakukan yang lebih afdol dari itu.” <br />
“Oke, bacalah setiap 7 hari. Dan jangan lebih dari itu. Isterimu punya hak yang wajib kamu penuhi, tamumu punya hak yang wajib kamu penuhi, dan jasmanimu juga punya hak yang wajib kamu penuhi.” <br />
Ketika Abdullah Ibnu Amr sudah tua, dengan nada agak menyesal, berkata,“Ah, seandainya dulu aku menerima kemurahan Rasulullah saw…”<br />
Dalam suasana maraknya anak-anak muda bersemangat dalam beragama dan beribadah akhir-akhir ini, makna apa yang dapat kita ambil dari kisah dari Hadits sahih riwayat Imam Bukhari di atas? <br />
Pertama-tama, kondisi itu perlu kita syukuri. Sebagai bentuk syukur kita, kita perlu menjaga semangat itu agar tetap menjadi faktor positif terutama dalam kehidupan keberagamaan kita. Beragama dan beribadah itu mudah. Yang sulit adalah terus beragama dan beribadah sesuai tuntunan yang diberikan oleh Sang Pembawa agama itu sendiri, dalam hal ini adalah Rasulullah saw. <br />
Kisah nyata yang diceritakan sendiri oleh pelakunya, sayyidina Abdullah Ibnu Amr melalui antara lain riwayat Imam Bukhari di atas, memberikan gambaran yang menarik tentang “tawar-menawar” antara semangat keberagamaan yang menggebu dari anak muda dan kearifan Sang Pembawa agama. Semangat anak muda yang merasa memiliki kekuatan riil untuk melakukan amal kebaikan seoptimal mungkin, berhadapan dengan kearifan Sang Nabi yang tidak hanya melihat kebaikan amal semata, tapi juga terutama kelangsungan amaliah baik itu sendiri. <br />
Orang arif mengatakan “Laa khaira fii khairin laa yaduumu bal syarrun laa yaduumu khairun min khairin laa yaduumu” yang artinya Tidak ada baiknya kebaikan yang tidak berlangsung terus, malahan keburukan yang tidak berlangsung terus, lebih baik daripada kebaikan yang tidak berlangsung terus. Ucapan sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Amr, di masa tuanya boleh jadi merupakan semacam “penyesalan” mengapa tidak mengikuti bimbingan Nabinya yang menawarkan sesuatu yang lebih ringan tampaknya, tapi dapat dilaksanakan dalam segala umur dengan semangat dan gairah yang sama. <br />
Kisah sahabat Abdullah Ibnu Amr di atas hanya sebagian dari tuntunan Rasulullah SAW dalam hal bersikap tawassuth, tidak berlebihan, dan hikmahnya. Masih banyak Hadits yang menganjurkan kita untuk bersikap sedang-sedang atau sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam segala hal.<br />
Kenyataan juga membuktikan bahwa keberlebih-lebihan hampir selalu menimbulkan masalah. Berlebih-lebihan mencintai maupun membenci, misalnya, sama-sama berakibat buruk. Berlebih-lebihan dalam mencintai dunia menimbulkan malapetaka. Berlebih-lebihan menilai kehebatan diri sendiri juga terbukti merusak diri sendiri dan lingkungan. Orang yang berlebih-lebihan dalam segala hal, pasti tidak bisa berlaku adil dan istiqamah. <br />
Biasanya, ketika sedang bersemangat, kita memang sering lupa akan keburukan sikap berlebih-lebihan itu. Sementara, sudah merupakan kewajaran bahwa kaum muda memiliki semangat yang berkobar-kobar. Ini merupakan hal yang positif. Apalagi, semangat itu merupakan semangat beragama. Yang perlu dijaga ialah bagaimana semangat itu tidak seperti ungkapan, “panas-panas tai ayam” dan tidak menjerumuskan kepada sikap berlebih-lebihan. Untuk itu, semangat beragama mesti diikuti dengan semangat terus memperdalam pengetahuan tentang agama. <br />
Kalau tidak-kalau semangat beragama jauh lebih besar daripada pemahaman tentang agama-justru malah bisa menimbulkan masalah seperti yang sering terjadi di sekitar kita dewasa ini.<br />
<br />
Malam Kemuliaan<br />
<br />
Oleh: A. Mustofa Bisri<br />
<br />
Cobalah Anda buat –semampu Anda-- peta alam semesta dengan sekian milyar bintang dan planet yang bertebaran di angkasa raya. Buatlah dulu planet yang paling dekat dengan Anda: bumi kita ini. Lalu satelit bumi: bulan yang berjarak kira-kira 384.400 km. Kemudian bintang yang terdekat dengan kita: matahari yang jarak rata-ratanya dari bumi sekitar 149.598.500 km. Lalu benda-benda angkasa yang lain yang jumlahnya tak terhitung; yang besarnya 2x bumi, yang 6x bumi, yang 16x bumi, yang 600x bumi, yang 6000x bumi, yang 6 milyar kali bumi … Kemudian apakah Anda mampu membuat skalanya? Kalau tidak, cobalah katakan, dalam peta perbandingan dengan sekian milyar –atau mungkin sekian triliun—benda-benda angkasa luar yang meliputi bintang-bintang dan planet-planet itu, kira-kira sebesar apakah bumi kita ini? Sebesar butir kacang hijau? Atau bahkan sebutir debu? <br />
Taruhlah kita besarkan saja bumi kita sebesar sebutir kacang hijau, lalu sebesar apakan kita, manusia penghuni bumi yang berjumlah kira-kira 5 milyaran ini? Setelah itu, apakah Anda bisa membayangkan betapa besar Allah yang menciptakan alam semesta in? Allahu Akbar! Kalau untuk menghitung makhlukNya yang besar-besar saja, kita kehabisan angka dan kata, bagaimana kita mampu mengukur kebesaranNya. Kita hanya bisa mengatakan Allahu Akbar! Allah Maha Besar. Dan kita tak tahu seberapa besar kandungan kata ‘Maha’ disini, karena kemahakecilan kita.<br />
Sekarang renungkanlah. Allah Yang Mahabesar seperti itu berkenan menyapa, berfirman kepada kita, manusia yang mahakecil ini. Bukankah ini menunjukkan MahakasihNya dan bagi kita merupakan mahaanugerah? <br />
Sapaan atau firman Allah itu kemudian kita sebut sebagai Quran. Malam dimana Quran itu turun ke bumi yang kecil ini, disebut Lailat al-Qadr atau Malam Qadar, Malam Kemuliaan. “Innaa anzalnaahu fii Lailatil Qadr; wamaa adraaka maa Lailatul Qadr?Lailatul Qadr khairun min alfi syahr…” (QS. 97: 1-3) “Sesungguhnyalah Kami telah menurunkannya (Quran) di Malam Kemuliaan; tahukan kau apa itu Malam Kemuliaan? Malam Kemuliaan lebih baik dari seribu bulan..” <br />
Tentu saja malam dimana Ia Yang Maha Besar berkenan menurunkan firman kepada kita yang mahakecil ini merupakan malam yang sangat istimewa bagi kita. Maka untuk memperingati anugerah yang sangat istimewa ini, sudah sepatutnyalah kita mengistimewakannya dengan syukur yang istimewa pula. Dengan meningkatkan ketekunan ibadah. Rasulullah saw –seperti dikisahkan isteri beliau sendiri, sayyidatina ‘Aisyah—apabila telah masuk hari kesepuluh yang terakhir dari bulan Ramadan meningkatkan kegiatan menghidupkan malam-malamnya dengan beribadah; beliau bangunkan keluarganya, dengan sungguh-sungguh dan menyingsingkan baju. (Hr. Muslim). <br />
Rasulullah saw mencontohkan kepada kita umatnya agar menyikapi malam istimewa ini dengan benar. Dengan syukur yang dalam. Dengan meningkatkan ketekunan beribadah. Adapun apabila kemudian ada jaminan bahwa barangsiapa njungkung, tekun beribadah di Malam Qadr dengan sepenuh iman dan semata-mata mencari ridha Allah akan diampuni dosa-dosanya yang sudah-sudah; ini merupakan kemahamurahan pula dari Allah. Anugerah apakah yang lebih besar bagi manusia yang tak pernah sepi dari dosa ini yang melebih ampunanNya? <br />
Apabila Rasulullah saw yang tidak punya dosa saja, begitu hebat melakukan ibadah sebagai ungkapan syukur hamba kepada Tuhannya Yang Mahamurah, bagaimana dengan kita? <br />
Banyak di antara kita yang lebih sibuk menerka-nerka kapan tepatnya malam Lailatul Qadr itu karena anggapan –yang entah dari mana asalnya—bahwa malam istimewa itu menyimpan peluang keistimewaan bagi yang memergokinya. Lebih ironis lagi bila kebanyakan mereka hanya menghadang ‘keistimewaan’ bagi kepentingan-kepentingan duniawi mereka. Memang ulama-ulama dulu juga membicarakan tentang kapan pasnya Lailatul Qadr itu, namun lebih karena ingin agar syukur dan ibadah mereka menepati malam istimewa, hubaya-hubaya syukur dan ibadah mereka mendapat penerimaan yang istimewa dari Tuhan mereka. <br />
Kapan tepatnya malam istimewa itu memang –wallahu a’lam—dirahasiakan. Tak ada yang mengetahuinya dengan pasti. Sebagaimana wali Allah dirahasiakan, antara lain supaya kita berhati-hati memandang orang; agar kita menghormati atau setidaknya tidak meremehkan orang lain, sekalipun misalnya orang itu di mata kita kurang pantas dihormati. Malam Qadar hanya diberitahukan bahwa itu berada di bulan Ramadan. Orang cerdik yang ingin mendapatkannya, dia akan mencari ke seluruh malam-malam Ramadan. Mereka yang ingin mendapat pengampunan dengan ketekunan ibadah mereka di Malam Qadar, pasti akan mendapatkan malam istimewa itu, bila mereka tekun beribadah pada setiap malam di bulan Ramadan. <br />
Berbahagialah mereka yang menjumpai malam itu dalam syukur dan ketekunan ibadah yang berarti mereka mendapatkan pengampunan Allah atas segala dosa mereka yang sudah-sudah. Karena dengan demikian mereka setelah itu akan memulai hidup baru dengan dada yang lapang dan langkah yang ringan tanpa terbebani belenggu-belenggu dosa. Memandang ke depan penuh gairah dan kemantapan dengan taufiq-hidayah dan ridha Allah.<br />
<br />
<br />
Hari Kemenangan<br />
<br />
Oleh : A. Mustofa Bisri<br />
<br />
Orang sering menyebut saat seperti ini, saat merayakan hari raya fitri begini, sebagai hari kemenangan. Orang yang menyebut demikian itu entah sekadar latah atau memang merasa menang. Tapi, perasaan atau anggapan yang umum memang menunjuk kepada ’kesuksesan’ menjalani ibadah puasa Ramadlan. Logika gagahnya, kita sudah berjuang sebulan penuh melawan hawa nafsu kita dan berhasil; maka kita berhak merayakan kemenangan ini. Perasaan atau anggapan ini mirip dengan kelegaan atau bahkan kepuasaan kita saat selesai menunaikan salat atau pulang dari ibadah haji. <br />
Agar kita tidak selalu mengulang-ulang pengungkapan perasaan atau anggapan yang boleh jadi sekadar menghibur diri, kiranya perlu sesekali kita mengadakan rekonstruksi jalannya ’perjuangan’ kita itu. Soalnya, ada dawuh yang menyatakan, ada orang berpuasa yang hanya mendapatkan haus dan lapar. <br />
Kita bisa menelusuri hari-hari Ramadlan kita selama ini sambil mencermati apa yang sudah kita kerahkan bagi ’perjuangan’ meraih kemenangan hari ini. Kita mulai dengan kesibukan kita bertarawih yang biasanya gegap-gempita di surau-surau dan masjid-masjid. Kita menyaksikan tidak jarang ibadah ritual yang khas Ramadlan itu nyaris kehilangan kekhusyukannya oleh ’semangat syiar’ sebagaimana terjadi di bagian-bagian lain dari peribadatan dan keberagamaan kita. Tua-muda, laki-laki-perempuan, dan anak-anak berbaur dalam ’kegairahan’ pelaksanaan salat. Dalam shalat ini yang timbul mungkin dari keunikan jumlah rakaatnya yang tak biasa kita lakukan sehari-hari di bulan lain. <br />
Lalu terbangun dini hari untuk mengisi perut dengan sedapat mungkin cukup untuk menopang tubuh kita hingga magrib esok harinya, seperti ketika kita mengisi tangki kendaraan kita di pom bensin untuk menempuh jarak perjalanan tertentu. "Imsaknya jam berapa?" adalah pertanyaan yang sering terdengar dari mulut mereka yang tak yakin sudah cukup mengisi ’bahan bakar’ bagi esok hari. <br />
Esok hari adalah hari yang terberat. Rasanya badan malas diajak bangun dan melakukan kegiatan seperti biasanya. Keterlambatan kerja pun dimaklumi belaka oleh semua orang karena alasan suci puasa Ramadlan. Tidur siang hari adalah sesuatu yang paling nikmat. Apalagi, banyak ustadz mengatakan tidurnya orang puasa adalah ibadah. Sudah nikmat dapat pahala pula. Sore hari adalah saat mencari perintang-rintang waktu untuk ’mempercepat’ datangnya maghrib, saat berbuka. Bahkan, di Jawa Barat ada istilah ngabuburit yang menunjuk kepada kegiatan ’mempercepat saat puasa’ itu. <br />
Maghrib adalah puncak ’syiar’ sebelum sampai ke siklus tarawih lagi. Kadang kelakuan kita seperti kelakuan orang yang sudah berhari-hari tidak makan lalu mendapatkan makanan. Ada yang dengan dalih mulia -daripada salat ingat makan, lebih baik makan ingat salat- menyerbu beraneka-ragam jenis makanan seperti balas dendam. Sering orang belum salat magrib, lupa kalau waktunya sangat pendek; atau menganggap di bulan puasa waktu magrib diperpanjang hingga selesai santap buka. <br />
Setelah itu dan setelah tarawih, ada sementara umat Islam yang melakukan tadarus, ramai-ramai membaca al-qur’an. Al-qur’an yang katanya pedoman hidup mereka ini memang -aneh!- jarang dibaca di hari-hari lain. Sayang, ketika berkenan membaca kitab suci mereka di bulan suci ini, banyak yang membacanya seperti sopir mengejar setoran. Begitu cepatnya hingga tak dikenali huruf-huruf dan makhraj-nya oleh yang mendengarkan. <br />
Lalu jerih payah perjuangan seharian dan ibadah malamnya akan mendapat hiburan yang cukup. TV-TV dengan baik hati telah menyajikan tayangan-tayangan yang serba ’Islami’ sepanjang malam. Bahkan, goyangan bokong pun sudah dibungkus rapi, hingga kaum beriman tak perlu terlalu risi menikmatinya. <br />
Tidak itu saja. TV-TV juga menyelipkan di sana-sini ustadz-ustadz dari berbagai aliran untuk bersaing menghibur kita dengan para artis. Alhamdulillah, perjuangan pun menjadi ringan kita tanggungkan dan tak terasa Ramadlan pun cepat berlalu. Bahkan, bagi sebagian umat, ada yang merasa sudah selesai Ramadlannya begitu malam tiba. Bukankah sudah buka, maka kehidupan malam pun dijalani sebagaimana hari-hari biasa di luar Ramadlan. Artinya, bukan hanya yang halal-halal, hal-hal haram -biasanya yang sudah biasa dilakukan- pun di malam hari ikut menjadi halal. <br />
Itu yang tampak. Mungkin ada yang tak tampak pada tampilan-tampilan lahir itu. Misalnya, ketika di siang hari, kita menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu -seperti makan-minum- yang di hari-hari bulan lain dihalalkan, mungkin ada yang mencerdasinya sebagai ’memberi pelajaran’ kepada nafsu yang selama ini umbar-umbaran atau sebagai latihan menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan. Siapa tahu sehabis Ramadlan, diri menjadi terlatih dan kuat untuk menahan godaan yang selama ini biasa dijumpai di mana-mana, termasuk dan terutama yang ada dalam diri sendiri. Dan, menyadari kebenaran puisi Busheiri -Annafsu katthifli in tuhmilhu syabba ’alaa/ hubbir radhaa’I wain tafthimhu yanfathimi (Nafsu bagaikan bayi bila kau biarkan akan besar dia/ dengan terus suka menyusu dan bila kau sapih akan tersapih jua). <br />
Kesukaan kita kepada dunia -harta, pangkat, dan wanita- sungguh sudah melebihi kesukaan bayi terhadap susu. Mungkin karena hingga sekarang, kita tak pernah disapih atau menyapih diri; malah seperti terus diujo, dibiarkan, dan dituruti. Lalu menjadi semacam penyakit. Kita pun seperti membiarkan diri kita dipermainkan dunia. Dunia sengaja mengiming-imingi mainan kepada kita dan ketika kita mendekatinya, dia pun lari agar kita mengejarnya. Lalu ngos-ngosan kita mengejarnya. Begitu kita menangkap mainan itu, dia mengiming-imingi kita lagi dengan mainan yang lain. Begitulah seterusnya hingga kita kehabisan tenaga dan tiba-tiba selalu seperti mengejut, maut menjemput kita tanpa memberi kesempatan lagi kepada kita untuk menghitung perolehan kita. Selalu begitu. <br />
Lihatlah mereka yang tak tahan melawan godaan harta. Kehormatan dan harga diri pun mereka pertaruhkan. Padahal, sebesar apa pun, harta tak pernah bisa memuaskan manusia. Sikatlah semua yang halal dan yang haram! Mintalah atau terimalah sogokan yang disodorkan kepada Anda! Makanlah semua harta yang dipercayakan kepada Anda sebanyak-banyaknya! Percayalah, Anda tak akan puas juga; sebelum orang menjejalkan tanah ke tempat tinggal Anda yang terakhir. Liang lahat. Takdir Anda yang niscaya. <br />
Lihatlah mereka yang tak tahan kepada godaan pangkat. Rasa malu pun mereka siap menyingkirkannya dan sikap tega pun dengan enteng mereka ambil, demi kehormatan dan kekuasaan sesaat. Padahal, setinggi apa pun kedudukan, ia takkan langgeng. Rebutlah kedudukan dengan paksa atau tipu daya! Gunakan segala kemampuan dan kekayaan Anda dan nikmatilah kursi yang Anda dambakan hingga pantat Anda lecet. Percayalah Anda tak akan terpuaskan, sebelum Anda terjungkal dan diabaikan atau terkapar diusung orang. <br />
Kepuasan ada dalam diri. Karena itu, hanya mereka yang dapat menguasai diri yang dapat merasakan kepuasan sejati. Mereka yang membiarkan diri mereka dikuasai dunia, nafsu, dan setan, hanya akan lelah hingga ajal mereka. <br />
Maka berbahagialah mereka yang dapat mencerdasi anugerah Allah berupa puasa Ramadlan ini dan menggunakannya untuk menyiasati dan membenahi diri. Berbahagialah mereka yang setelah ini menjadi orang kuat yang mampu mencibir segala godaan dari mana pun yang akan menjerumuskan mereka. Mereka yang berjuang bagi menundukkan segala sesuatu -selain Allah- yang selama ini menjajah diri. Dengan demikian, mereka berhak mensyukuri kemenangan dan menjadi khalifah Allah yang merdeka dan berkuasa. Bukan budak yang terus terbelenggu oleh kepentingan dunia yang sementara. Dan, selanjutnya, setelah Ramadlan berlalu, mereka pun menjadi manusia baru. Manusia yang benar-benar manusia yang tidak rakus seperti tikus; tidak buas seperti macan; tidak licik dan kejam seperti serigala; tidak menjilat seperti anjing; tidak seperti monyet yang tak tahu malu; tidak seperti keledai yang tolol… Menjadi manusia fitri. <br />
Kepada mereka ini, sudah selayaknya kita sampaikan selamat hari raya dan selamat atas kemenangan mereka.<br />
<br />
<br />
Dzikir dan Sufi<br />
Oleh.A.Musthafa Bisri<br />
Secara bahasa, dzikir bermula dzakara, yadzkuru, dzukr/dzikr, merupakan perbuatan dengan lisan (menyebutkan atau menuturkan) atau dan dengan hati (mengingat/ menyebut dan mengingat). Ada yang berpendapat bahwa dzukr (bidlammi) saja yang bisa berarti pekerjaan hati dan lisan, sedang dzikr (bilkasri) khusus pekerjaan lisan.<br />
Dalam peristilahan kata, dzikr tidak terlalu jauh pengertian-nya dengan makna-makna lughawinya semula. Bahkan kamus-kamus moderen seperti Al-Munjid, Al-Munawir, At-Qamus al-Ashri dan sebagainya, sudah pula menggunakan pengertian-pengertian istilah seperti adz-dzikr = membaca tasbih, mengagungkan Allah dan seterusnya<br />
Pengertian-pengertian ini semua dapat dilihat di banyak lafal dzikr yang dituturkan dalam Al-Qur'an. Bahkan seringkali pengertian dzikr (dalam berbagai shieghatnya) dalam kitab suci itu merupakan cakupan dari makna-makna lughawinya sekaligus. Dalam kitab Al-Adzkaar-nya. yang terkenal itu, Imam Nawawi (631-676 H.), menyebutkan: "Dzikir itu bisa dengan hati, bisa dengan lisan. Dan yang terbaik adalah yang dengan hati dan dengan lisan sekaligus. Kalau harus memilih antara keduanya, maka dzikir dengan hati saja lebih baik dari dzikir dengan lisan saja." <br />
Dalam perkembangannya, dzikir kepada Allah tidak hanya dibatasi sebagai bacaan-bacaan mulia tuntunan Nabi saw. (dzikir ma'tsur) dalam waktu-waktu tertentu seperti diajarkan dalam kitab-kitab semacam Al-Adzkar-nya Imam Nawawi, Al-Ghaniyah-nyz Syekh Abdul Qadir Jaelany, Shahih al-Kalimath Thayyib li Syekh al-Islam Ibn Taimiyah-nya, Muhammad Nashiruddin Albany dan sebagainya. Namun juga diartikan sebagai "ingat Allah" dalam segala gerak tingkah laku, bahkan dalam tarikan dan hembusan nafas hamba. <br />
Sementara itu, orang arif mengatakan, "Barangsiapa yang ketika mendapatkan kenikmatan melihat Sang Pemberi Nikmat, tidak kepada kenikmatan itu sendiri, ketika mendapat cobaan pun yang dilihat hanyalah Sang Pencoba, bukan cobaan itu sendiri. Maka dalam segala kondisi dia tenggelam dalam memperhatikan dan melihat Al-Haq, menghadap Sang Kekasih. <br />
Inilah tingkat kebahagiaan yang tertinggi." Sebenarnya dengan "dzikir ma'tsur" dari Rasul saw. seperti dapat dipelajari dari semisal kitab-kitab yang sudah disebutkan tadi, kiranya lebih dari cukup membuat seorang hamba — jika mengamalkan secara benar — tidak sempat berpaling dari Khaliqnya. Bayangkan, tuntunan dzikir itu mencakup dzikir sejak bangun tidur hingga akan tidur lagi. Namun barangkali masalahnya justru kesibukan manusia moderen dan kepintarannyalah yang lambat laun membuat "dzikir ma'tsur" itu seolah-olah terlupakan. <br />
Boleh jadi, mula-mula memang ada orang yang hanya komat-kamit mementingkan bacaan dzikir, tanpa penghayatan dan pengingatan maknanya. Lalu pemeluk teguh yang mcnginginkan kesempurnaan secara mubalaghah menyatakan tak ada gunanya komat-kamit saja. Kemudian orang malas ikut-ikutan bukan hanya berkata, "Ya tak ada gunanya komat-kamit saja," tapi, "Tak ada gunanya komat-kamit!" <br />
Semua orang yang merambah jalan Allah (Ahlu tharieq Allah) sepakat bahwa dzikir merupakan kunci pintu gerbang Allah dan pembuka sekat kegaiban, penarik kebaikan-kebaikan dan pelipur keterasingan. la'merupakan pancaran wilayah dan pendorong kepada ma'rifat Allah. (Baca misalnya Jamharat al-Auliyaa, 1/88). Dzikir tidak tergantung pada waktu dan tempat. Firman Allah: "Orang-orang yang berdzikir mengingat Allah seraya berdiri, duduk, atau berbaring serta bertafakkur mengenai kejadian langit dan bumi; (kata mereka): Ya Tuhan kami, Paduka tidak menciptakan ini sia-sia, Maha Suci Paduka, maka lindungilah kami dari siksa neraka." (Q.s. Ali Imran: 191).<br />
Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw. bersabda, "Menang orang-orang mufarrad." Para sahabat bertanya: "Siapa itu para mufarrad-?. Rasulullah saw. menjawab, "Mereka, para laki-laki dan wanita, yang banyak berdzikir kepada Allah." Dalam hadis lain, juga riwayat Imam Muslim, dari sahabat Abu Sa'id al-Khudry dan Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda, "Tiadalah suatu kaum berdzikir kepada Allah Ta'ala melainkan para Malaikat akan mengelilinginya, rahmat Allah akan melimpahinya, kedamaian turun kepadanya, dan Allah menuturkannya kepada mereka yang berada di sisi-Nya." <br />
Istilah sufi ada yang mengatakan bermula dari shafa, nama bukit terkenal di Mekkah. Ada yang mengatakan bermula dari sliafaa' yang berarti jernih. Ada yang mengatakan bermula dari siiffah. Seperti diketahui, ada kelompok sahabat Nabi yang fakir yang tinggal di masjid dan disebut ahlussuffah. Ada yang bilang bermula dari ash-Shaf al-Aival, barisan pertama dalam salat berjamaah. Bahkan ada yang berpendapat, bermula dari kata Yunani sofia, yang berarti hikmah atau kebijaksanaan. <br />
Namun semua itu dari segi kaidah bahasa tidak cocok. Semua kata itu tidak dapat dinisbatkan menjadi shufi atau sufi. Karena itu kebanyakan ulama, termasuk kalangan tasawwuf sendiri, cenderung berpendapat bahwa kata itu bermula dari shuuf, yang berarti bulu. Seperti diketahui, para fakir yang meng-khususkan dirinya untuk Allah, mempunyai kebiasaan berpakaian sangat sederhana dari bulu domba. Dan ini kemudian menjadi cirinya. Jadi tashawwafa-yatashawwafa-tasawwuf, artinya semula orang yang berpakaian bulu. Seperti takhattama, artinya orang yang memakai cincin. Sedangkan dari istilah, kita menjumpai banyak definisi dibuat orang. Dan seringkali apa yang disebut definisi itu hanya merupakan ungkapan-ungkapan irsyadiyah.<br />
Di dalam Kitab at-Ta'riefaat oleh Ali bin Muhammad as-Syarief al-Jurjani, tasawwuf dita'rifkan sebagai: "Menetapi etika-etika agama secara lahiriah sehingga ketetapannya di batin terlihat dari luar dan secara batiniah, sehingga ketetapannya di luar dapat terlihat dari dalam." Kcmudian diterangkan pendapat-pendapat orang tentang tasawwuf yang antara lain adalah: <br />
- Aliran yang keseluruhannya kesungguhan tanpa dicampuri main-main sedikit pun;<br />
- Membersihkan hati dari menuruti kemanusiaan, meninggalkan perangai-perangai kodrati, mengubur sifat-sifat manusiawi, menjauhi ajakan-ajakan nafsu, menempati sifat-sifat ruhani, bergantung kepada ilmu-ilmu hakikat, melakukan hal-hal yang lebih baik bagi keabadian, berbuat baik kepada segenap <br />
ummat, patuh kepada Allah secara benar, dan mengikuti ajaran dan Sunnah Rasul saw.; <br />
- Meninggalkan ikhtiar;<br />
- Mencurahkan segala kesungguhan dan berbahagia dengan Tuhan yang disembah; <br />
- Berpaling dari penolakan; <br />
- Kejernihan muamalah dengan Allah dan pokoknya adalah meninggalkan dunia; <br />
- Sabar di bawah perintah dan larangan; <br />
- Berpegang pada hakikat, berbicara mengenai yang lembut-lembut, dan memutuskan harapan erhadap apa yang di tangan makhluk. <br />
Dalam kitab-kitab mengenai tokoh-tokoh sufi bisa dijumpai banyak sekali ungkapan-ungkapan ringkas, padat, laiknya kata-kata hikmah mengenai tasawwuf atau sufi dalam rangka menerangkan definisinya secara ilmiah. Tapi mengutarakan saripatinya sesuai pandangan penghayatan mereka masing-masing.<br />
Seperti kita ketahui dan yakini, manusia semula (Adam as) diciptakan Allah dari tanah liat (Q.s. 6: 2, 7: 12, 23:13, 37: 11, 38: 71, 17: 61). Menurut beberapa mufassir, ada selang waktu cukup lama sebelum bentuk manusia yang bermaterikan tanah liat itu benar-benar menjadi manusia yang ber-ruh. Sebelumnya diberi ruh Allah, seperti difirmankan Allah di awal Surat Al-Insan, ia sekadar materi yang bukan apa-apa. "Lam yakun syaian madzknuran," belum merupakan sesuatu yang pantas disebut. Baru setelah Allah memberinya ruh dan melengkapinya dengan pendengaran, penglihatan dan af-idah (yang mampu dengannya menerima "ajaran Allah"), dia bisa disebut manusia sejati. Khalifah Allah yang kemudian diperkenalkan kepada para Malaikat dan iblis untuk disembah-hormati atas perintah-Nya<br />
Semua menyembah Adam kecuali iblis. Karena semuanya hanya melihat Allah dan perintah-Nya. Sedang iblis, satu-satunya yang menolak, hanya melihat materi. "Aku lebih baik daripada Adam, Engkau menciptakanku dari api dan menciptakannya dari tanah liat." (Q.s. 7: 2). Iblis melihat materi dirinya berupa api jauh lebih baik dari materi Adam yang berupa tanah liat. Bila mengingat materi, barangkali manusia setelah Adam akan terlihat jauh lebih rendah lagi. Karena hanya terdiri dari nuthfah amsyaaj, mani yang bercampur. (Q.s. 76: 2). <br />
Dari tanah liat atau dari nuthfah amsyaaj, kehidupan manusia adalah ketika Allah sudah meniupkan ruh dari-Nya. Ketika itulah kelengkapan materi manusia yang kemudian disebut jasad menjadi hidup dan berfungsi. Ruh inilah yang memungkinkan manusia "berkomunikasi" dan "berkonsultasi" dengan Sang Penciptanya Yang Maha Agung dan Maha Lembut. Ruh inilah yang sejak semula berikrar mengakui Tuhannya dan mengakui kehambaannya. <br />
Karena itu menurut kalangan tasawwuf, ruh yang berasal dari alam arwah itulah hakikat manusia. Sedang jasad yang berasal dari alam al-Khalaq, penciptaan, sekadar kendaraannya. Ruh bersifat dan berhubungan dengan cahaya, sedangkan jasad bersifat dan berhubungan dengan materi. Orang yang hanya melihat materi, seperti iblis, akan lupa atau mengabaikan Tuhannya padahal ada di hadapannya. Dan dia akan merugi selamanya. Sebaliknya orang yang hanya melihat Allah, seperti para Malaikat, akan lupa atau mengabaikan dunia yang materi ini. Dan dia akan abadi dalam kebahagiaan. Untuk menjadi yang terakhir inilah orang-orang tasawwuf bermujahadah melawan dirinya sendiri, godaan setan dan gemerlap dunia.<br />
<br />
<br />
Menengok Ke Belakang <br />
Untuk Maju Ke Depan<br />
<br />
“Haasibuu anfusakum qabla an tuhaasabuu”, Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. (Sayyidina Umar Ibn Khaththab r.hu). Ditahun baru masehi ini, ada baiknya kita menengok sejenak ke belakang untuk keperluan memperbaiki atau menyempurnakan langkah kita ke depan. <br />
Tahun kemarin, isu politik dan tingkah-polah para politisi masih dominan. Terutama, tentang banyaknya tokoh yang mencalonkan dan mengiklankan diri sebagai pemimpin negara, pemimpin daerah, maupun “wakil rakyat”. Juga, tentang tersangkutnya banyak politisi dalam kasus korupsi. Sedemikian dominannya, sehingga isu tentang krisis global sekalipun tidak mampu mempengaruhinya. <br />
Saya sendiri heran dan bertanya-tanya, apa sih yang terjadi di negeri ini dan bangsa ini? Kalau dibilang negeri ini carut-marut dan mengalami krisis kepemimpinan, mengapa banyak tokoh yang kepingin memimpin atau tepatnya kepingin dipilih menjadi pemimpin? Kalau dibilang citra politisi dan legislatif sedemikian buruknya, mengapa orang masih berebut mencalonkan diri sebagai caleg, termasuk artis-artis? Kalau mereka semua itu bicara tentang kemiskinan rakyat, mengapa harta mereka yang berlimpah hanya untuk mengiklankan diri atau sekedar “investasi kedudukan”? <br />
Di tahun kemarin, peringatan-peringatan seperti Hari Kemerdekaan, Hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, dan Hari Pahlawan; gaungnya-dan perhatian masyarakat terhadap maknanya-masih kalah dari misalnya peringatan Hari Valentine. Persoalan-persoalan mendasar seperti kemanusiaan, kebangsaan, kemiskinan dan keterbelakangan terdesak oleh isu-isu tentang Ahmadiyah dan “aliran sesat”, pornografi dan “jihad fi sabilihizbi kullin wara’yihi”. <br />
Yang mengusik perhatian dan boleh jadi bahkan menggetarkan sanubari kita, adalah terus-menerusnya fenomena kekerasan dan kebencian, termasuk yang muncul dari mereka yang merasa dan mengaku umat Nabi Muhammad saw. Nabi agung yang lembut, santun dan penuh kasih sayang. Peristiwa-peristiwa yang menjadi tajuk berita di negeri kita akhir-akhir ini yang berkaitan dengan sikap keberagamaan, sungguh perlu mendapat perhatian terutama dari para pemimpin dan ahli agama. <br />
Kekerasan yang dilakukan oleh para pengikut aliran yang merasa diri paling dekat dengan Allah dan paling benar sendiri, merupakan tanggungjawab para pemimpin agama, bukan saja-meskipun terutama-pemimpin aliran itu sendiri. Amar-makruf dan nahi (‘anil) munkar yang biasa dijadikan dalih menghalalkan tindakan kekerasan dan kekejaman, menurut hemat saya, justru merupakan manifestasi atau pengejawentahan dari kasih sayang Islam. Amar makruf dan nahi (‘anil) munkar tidak mungkin dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki kasih sayang. Amar makruf dan nahi (‘anil) munkar yang dilandasi kebencian, jelas bukan amar makruf nahi (‘anil) munkar yang diajarkan Nabi Kasih Sayang, Rasulullah Muhammad saw. <br />
Ada lagi, yang melakukan tindak kekerasan dan bahkan pembantaian dengan dalih jihad. Marilah kita lihat kembali jihad menurut contoh dan ajaran Rasulullah saw. Kalau pun jihad fii sabiilillah dimaknai sempit, yaitu hanya diartikan qitaal, Rasulullah saw telah memberi contoh dan mengajarkan aturan dan etika qitaal sedemikian bijak . Lagi pula, jihad fi sabiilillah berarti berjuang di jalan agama Allah. Jadi, harus karena dan dengan aturan yang ditentukan Allah. Jihad yang hanya karena nafsu amarah dan kejengkelan, bukanlah jihad fii sabiilillah. Jihad yang ngawur tidak memperhatikan aturan dan tuntunan Rasulullah saw, bukanlah jihad fii sabiilillah. (Baca misalnya Q. 5: 8; Shahih Bukhari 1/58 Hadits 123; Shahih Muslim 3/1512 Hadits 1904, lihat juga bab Jihad) <br />
Satu lagi berita yang dibesar-besarkan pers. Yaitu, pernikahan Pujiono Cahyo Widianto. Orang kaya yang dipopulerkan pers dengan julukan Syeh Puji ini mengawini gadis cilik Lutviana Ulfa yang belum genap 16 tahun. Seandainya sebelumnya, pengusaha hiasan dinding kaligrafi ini tidak menjadi berita karena membagikan zakat dan tidak mengumumkan pernikahannya tersebut, mungkin tidak akan menjadi berita nasional yang menghebohkan. Mungkin tokoh gundul berjenggot ini mau meniru pernikahan Kanjeng Nabi dengan Sayyidatina Aisyah r.ha. Kalau benar demikian, ini satu bukti lagi bahwa dalam meniru atau ittibaa’ Kanjeng Nabi Muhammad saw, orang cenderung asal saja dan hanya berdasarkan kesenangannya. <br />
Selintas kita telah menengok ke belakang; maka adakah di sana pelajaran yang dapat kita ambil bagi memperbaiki dan menyempurnakan langkah kita selanjutnya ke depan?<br />
<br />
Pemimpin yang Kuat dan Amanah<br />
<br />
Oleh: A.Musthofa Bisri<br />
<br />
Seperti kita ketahui, ketika Rasulullah SAW wafat, beliau tidak berwasiat atau menunjuk dengan tegas seseorang sebagai gantinya, khalifahnya. Namun, ada semacam isyarat yang mengarah kepada shahabatnya yang paling dekat, sahabat Abu Bakar Shiddiq r.a. <br />
Shahabatnya yang sekaligus juga mertuanya ini yang diminta mewakilinya menjadi imam shalat saat beliau sudah sangat payah. Dan ternyata musyawarah antara dua kelompok sahabat-Muhajirin dan Anshar-di Saqiefah Bani Sa’idah akhirnya memilih shahabat Abu Bakar r.a. sebagai khalifah pertama. <br />
Ketika shahabat Abu Bakar sakit menjelang kewafatannya, beliau sengaja memanggil orang kuat yang menjadi kepercayaannya, sahabat Umar Ibn Khatthab r.a., untuk diajak berembug mengenai penggantinya kelak; meski khalifah pertama ini sudah memiliki ketetapan hati menunjuk tangan kanannya tersebut untuk menggantikannya.<br />
Mendengar keinginan sang khlaifah mengangkat dirinya sebagai penggantinya apabila mangkat, sahabat Umar pun mula-mula menolaknya dengan tegas. Berbagai alasan keberatan dikemukakannya dengan tidak lupa memberi alternatif-alternatif. Sahabat Umar antara lain beralasan masih banyak orang baik dan amanah selain dirinya. Tapi, sang khalifah bersikukuh. “Melihat kondisi rakyat sekarang, pemimpin yang dapat dipercaya saja tidak cukup. Saya ingin tokoh yang akan memimpin setelah saya adalah orang yang dapat dipercaya dan kuat. al-Qawiyyul Amien.”<br />
Bila yang dikehendaki adalah pemimpin yang kuat dan dapat dipercaya, maka siapakah di zaman itu yang dapat menandingi al-Faruq Umar Ibn Khatthab? Namun, sahabat Umar masih tetap berusaha menolak keinginan khalifah yang sangat dihormatinya itu, bahkan hingga menangis.<br />
Sampai kemudian Ash-Shiddiq berkata penuh kearifan,“Wahai Umar, dalam urusan kekuasaan ini ada dua orang yang celaka; pertama, orang yang berambisi menjadi penguasa, padahal dia tahu bahwa ada orang lain yang lebih pantas dan lebih mampu daripada dirinya. Kedua, orang yang menolak ketika diminta dan dipilih, padahal dia tahu dirinyalah yang paling pantas dan paling mampu; dia menolak semata-mata karena lari dari tanggungjawab dan enggan berkhidmah kepada umat.”<br />
“Wahai Abu Bakar, demi persahabatan dan kecintaanku kepadamu, jauhkanlah aku dari beratnya hisab di hari Kiamat kelak!”<br />
“Kau lupa, Umar, imam yang adil kelak akan dipayungi Allah di hari tiada payung kecuali payung-Nya.”<br />
Umar semakin keras menangis,“Imam yang adil ya; tapi aku?”<br />
“Kau juga. Kau juga, Umar!”<br />
“Besok di hari Kiamat, kau tidak bisa menolongku apa-apa, Abu Bakar, bila Allah menghendaki menghukumku.”<br />
“Wahai Umar anak Ibu Umar, bukan demikian Allah ditakwai dengan sebenarnya. Bukankah kau tahu ayat yang longgar turun selalu dibarengi dengan ayat yang keras dan sebaliknya, agar orang mukmin selalu dalam harap dan cemas. Tidak mengharap dari Allah sesuatu yang ia tidak berhak atasnya dan tidak cemas atas sesuatu yang diletakan Allah di tangannya. Bila setiap orang yang mempunyai tanggungjawab tidak melaksanakannya karena takut kepada Allah, niscaya takut kepada Allah akan berubah menjadi buruk sangka kepada-Nya. Dan akan rusaklah tatanan dan tersia-siakanlah hak-hak mustadh’afin.”<br />
Demikianlah, apa yang terjadi sepeninggal Khalifah Abu Bakar pun seperti yang diinginkannya. Sahabat Umar Ibn Khatthab menjadi penggantinya. Pemimpin yang kuat dan amanah. Begitu kuatnya sehingga kebenaran dan keadilan terjaga dan tak seorang pun berani dan mampu melecehkannya. Begitu amanahnya, sehingga tak secuil pun hak rakyat diabaikan.<br />
Kini di hadapan kita berjejer tokoh-tokoh yang siap kita calonkan menjadi pemimpin dan penguasa negeri dan bangsa ini. Siapkah kira-kira mereka diukur dengan kriteria khalifah Abu Bakar Shiddiq di atas, meski tidak harus persis seperti al-Faruq Umar?<br />
<br />
Selamat Tahun Baru<br />
31 Desember 2008 01:11:38<br />
Oleh: A. Mustofa Bisri<br />
<br />
Kawan, Sudah tahun baru lagi <br />
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk <br />
memandang diri sendiri <br />
Bercermin firman Tuhan <br />
Sebelum kita dihisabNya (A. Mustofa Bisri, Antologi Puisi Tadarus) <br />
<br />
<br />
Tahun ini, tahun baru Hijriyah hampir bersamaan dengan tahun baru Masehi. Biasanya tahun baru Masehi disambut dengan hiruk-pikuk luar biasa. Sementara tahun baru Hijriyah yang sering diidentikkan dengan tahun Islam, tidak demikian. Tidak ada trek-trekan sepeda motor di jalanan. Tidak ada terompet. Tidak ada panggung-panggung hiburan di alon-alon. <br />
<br />
<br />
Yang ada di sementara mesjid, kaum muslimin berkumpul berjamaah salat Asar –meski biasanya tidak—lalu bersama-sama berdoa akhir tahun; memohon agar dosa-dosa di tahun yang hendak ditinggalkan diampuni oleh Allah dan amal-amal diterima olehNya. Kemudian menunggu salat Maghrib –biasanya tidak—dan salat berjamaah lalu bersama-sama berdoa awal tahun. Memohon kepada Allah agar di tahun baru dibantu melawan setan dan antek-anteknya, ditolong menundukkan hawa nafsu, dan dimudahkan untuk melakukan amal-amal yang lebih mendekatkan kepada Allah.<br />
<br />
Memang agak aneh, paling tidak menurut saya, jika tahun baru disambut dengan kegembiraan. Bukankah tahun baru berarti bertambahnya umur? Kecuali apabila selama ini umur memang digunakan dengan baik dan efisien. Kita tahu umur digunakan secara baik dan efisien atau tidak, tentu saja bila kita selalu melakukan muhasabah atau efaluasi. Minimal setahun sekali. Apabila tidak, insyaallah kita hanya akan mengulang-ulang apa yang sudah; atau bahkan lebih buruk dari yang sudah. Padahal ada dawuh: “Barangsiapa yang hari-harinya sama, dialah orang yang merugi; barangsiapa yang hari ini-nya lebih buruk dari kemarin-nya, celakalah orang itu.”<br />
<br />
Apabila kita amati kehidupan kaum muslimin di negeri kita ini sampai dengan penghujung tahun 1428, boleh jadi kita bingung mengatakannya. Apakah kehidupan kaum muslimin --yang merupakan mayoritas ini-- selama ini menggembirakan atau menyedihkan. Soalnya dari satu sisi, kehidupan keberagamaan terlihat begitu hebat di negeri ini. <br />
Kitab suci al-Quran tidak hanya dibaca di mesjid, di mushalla, atau di rumah-rumah pada saat senggang, tapi juga dilomba-lagukan dalam MTQ-MTQ. Bahkan pada bulan Ramadan diteriakan oleh pengerassuara-pengerassuara tanpa pandang waktu. Lafal-lafalnya ditulis indah-indah dalam lukisan kaligrafi. Malah dibuatkan museum agar mereka yang sempat dapat melihat berbagai versi kitab suci itu dari yang produk kuno hingga yang modern; dari yang berbentuk mini hingga raksasa. Akan halnya nilai-nilai dan ajarannya, juga sesekali dijadikan bahan khotbah dan ceramah para ustadz. Didiskusikan di seminar-seminar dan halqah-halqah. Bahkan sering dicuplik oleh beberapa politisi muslim pada saat kampanye atau rapat-rapat partai.. <br />
<br />
Secara ‘ritual’ kehidupan beragama di negeri ini memang dahsyat. Lihatlah. Hampir tidak ada tempat ibadah yang jelek dan tak megah. Dan orang masih terus membangun dan membangun mesjid-mesjid secara gila-gilaan. Bahkan di Jakarta ada yang membangun mesjid berkubah emas. (Saya tidak tahu apa niat mereka yang sesungguhnya membangun rumah-rumah Tuhan sedemikian megah. Tentu bukan untuk menakut-nakuti hamba-hamba Tuhan yang miskin di sekitas rumah-rumah Tuhan itu. Tapi bila Anda bertanya kepada mereka, insya Allah mereka akan menjawab, “Agar dibangunkan Allah istana di surga kelak”. Mungkin dalam pikiran mereka, semakin indah dan besar mesjid yang dibangun, akan semakin besar dan indah istana mereka di surga kelak.<br />
(Terus terang bila teringat fungsi mesjid dan kenyataan sepinya kebanyakan mesjid-mesjid itu dari jamaah yang salat bersama dan beri’tikaf, timbul su’uzhzhan saya: jangan-jangan mereka bermaksud menyogok Tuhan agar kelakuan mereka tidak dihisab).<br />
<br />
Tidak ada musalla, apalagi mesjid, yang tidak memiliki pengeras suara yang dipasang menghadap ke 4 penjuru mata angin untuk melantunkan tidak hanya adzan. Bahkan ada yang sengaja membangun menara dengan beaya jutaan hanya untuk memasang corong-corong pengeras suara. Adzan pun yang semula mempunyai fungsi memberitahukan datangnya waktu salat, sudah berubah fungsi menjadi keharusan ‘syiar’ sebagai manifestasi fastabiqul khairaat; sehingga sering merepotkan mereka yang ingin melaksanakan anjuran Rasulullah SAW: untuk menyahuti adzan. <br />
<br />
Jamaah dzikir, istighatsah, mujahadah, dan muhasabah menjamur di desa-desa dan kota-kota. Terutama di bulan Ramadan, tv-tv penuh dengan tayangan program-program ’keagamaan’. Artis-artis berbaur dan bersaing dengan para ustadz memberikan ‘siraman ruhani’ dan dzikir bersama yang menghibur. <br />
<br />
Jumlah orang yang naik haji setiap tahun meningkat, hingga di samping ketetapan quota, Departemen Agama perlu mengeluarkan peraturan pembatasan. Setiap hari orang berumroh menyaingi mereka yang berpiknik ke negara-negara lain. <br />
<br />
Jilbab dan sorban yang dulu ditertawakan, kini menjadi pakaian yang membanggakan. Kalimat thoyyibah, seperti Allahu Akbar dan Subhanallah tidak hanya diwirid-bisikkan di mesjid-mesjid dan mushalla-mushalla, tapi juga diteriak-gemakan di jalan-jalan. <br />
<br />
Label-label Islam tidak hanya terpasang di papan-papan sekolahan dan rumah sakit; tidak hanya di AD/ART-AD/ART organisasi sosial dan politik; tidak hanya di kaca-kaca mobil dan kaos-kaos oblong; tapi juga di lagu-lagu pop dan puisi-puisi.<br />
<br />
Pemerintah Pancasila juga dengan serius ikut aktif mengatur pelaksanaan haji, penentuan awal Ramadan dan ‘Ied. MUI-nya mengeluarkan label halal (mengapa tidak label haram yang jumlahnya lebih sedikit?) demi menyelamatkan perut kaum muslimin dari kemasukan makanan haram.<br />
Pejuang-pejuang Islam dengan semangat jihad fii sabiilillah mengawasi dan kalau perlu menindak –atas nama amar ma’ruuf dan nahi ‘anil munkar-- mereka yang dianggap melakukan kemungkaran dan melanggar peraturan Tuhan. Tidak cukup dengan fatwa-fatwa MUI, daerah-daerah terutama yang mayoritas penduduknya beragama Islam pun berlomba-lomba membuat perda syareat.<br />
<br />
Semangat keagamaan dan kegiatan keberagamaan kaum muslimin di negeri ini memang luar biasa. Begitu luar biasanya hingga daratan, lautan, dan udara di negeri ini seolah-olah hanya milik kaum muslimin. Takbir menggema dimana-mana, siang dan malam. Meski namanya negara Pancasila dengan penduduk majmuk, berbagai agama diakui, namun banyak kaum muslimin –terutama di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam— seperti merasa paling memiliki negara ini.<br />
<br />
Barangkali karena itulah, banyak yang menyebut bangsa negeri ini sebagai bangsa religius. <br />
<br />
Namun, marilah kita tengok sisi lain untuk melihat kenyataan yang ironis dalam kehidupan bangsa yang religius ini. Semudah melihat maraknya kehidupan ritual keagamaan yang sudah disinggung tadi, dengan mudah pula kita bisa melihat banyak ajaran dan nilai-nilai mulia agama yang seolah-olah benda-benda asing yang tak begitu dikenal. <br />
<br />
Tengoklah. Kebohongan dan kemunafikan sedemikian dominannya hingga membuat orang-orang yang masih jujur kesepian dan rendah diri.<br />
Rasa malu yang menjadi ciri utama pemimpin agung Muhammad SAW dan para shahabatnya, tergusur dari kehidupan oleh kepentingan-kepentingan terselubung dan ketamakan. <br />
<br />
Disiplin yang dididikkan agama seperti azan pada waktunya, salat pada watunya, haji pada waktunya, dsb. tidak sanggup mengubah perangai ngawur dan melecehkan waktu dalam kehidupan kaum beragama. <br />
<br />
Plakat-plakat bertuliskan “An-nazhaafatu minal iimaan” dengan terjemahan jelas “Kebersihan adalah bagian dari iman”, diejek oleh kekumuhan, tumpukan sampah, dan kekotoran hati di mana-mana. <br />
<br />
Kesungguhan yang diajarkan Quran dan dicontohkan Nabi tak mampu mempengaruhi tabiat malas dan suka mengambil jalan pintas. <br />
Di atas, korupsi merajalela (Bahkan mantan presiden 32 tahun negeri ini dikabarkan menyandang gelar pencuri harta rakyat terbesar di dunia). Sementara di bawah, maling dan copet merebak. <br />
<br />
Jumlah orang miskin dan pengangguran seolah-olah berlomba dengan jumlah koruptor dan mereka yang naik haji setiap tahun. <br />
<br />
Nasib hukum juga tidak kalah mengenaskan. Tak perlulah kita capek terus bicara soal mafia peradilan dan banyaknya vonis hukum yang melukai sanubari publik untuk membuktikan buruknya kondisi penegakan hukum negeri ini. Cukuplah satu berita ini: KPK baru-baru ini menangkap Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial saat menerima suap. <br />
<br />
Penegak-penegak keadilan sering kali justru melecehkan keadilan. Penegak kebenaran justru sering kali berlaku tidak benar. Maniak kekuasaan menghinggapi mereka yang pantas dan yang tidak pantas. Mereka berebut kekuasaan seolah-olah kekuasaan merupakan baju all size yang patut dipakai oleh siapa saja yang kepingin, tidak peduli potongan dan bentuk badannya..<br />
<br />
Tidak hanya sesama saudara sebangsa, tidak hanya sesama saudara seagama, bahkan sesama anggota organisasi keagamaan yang satu, setiap hari tidak hanya berbeda pendapat, tapi bertikai. Seolah-olah kebenaran hanya milik masing-masing. Pemutlakan kebenaran sendiri seolah-olah ingin melawan fitrah perbedaan. <br />
<br />
Kekerasan dan kebencian, bahkan keganasan, seolah-olah menantang missi Rasulullah SAW: rahmatan lil ‘aalamiin, mengasihi seluruh alam, dan tatmiimu makaarimil akhlaaq, menyempurnakan akhlak yang mulia. <br />
<br />
Penghargaan kepada manusia yang dimuliakan Tuhan seperti sudah mulai sirna dari hati. Termasuk penghargaan kepada diri sendiri.<br />
<br />
Waba’du; jangan-jangan selama ini –meski kita selalu menyanyikan ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”—hanya badan saja yang kita bangun. Jiwa kita lupakan. Daging saja yang kita gemukkan, ruh kita biarkan merana. Sehingga sampai ibadah dan beragama pun masih belum melampaui batas daging. Lalu, bila benar, ini sampai kapan? Bukankah tahun baru ini momentum paling baik untuk melakukan perubahan?<br />
<br />
Selamat Tahun Baru !<br />
<br />
Perempuan dan Kesalehan<br />
Oleh: A. Mustofa Bisri<br />
<br />
Akhir-akhir ini ada “tren” baru di kalangan ummat Islam: mencantumkan nukilan terjemahan ayat 21 Surat Ar-Ruum di undangan perkawinan. <br />
Terjemahan yang dipakai adalah terjemahan Depag, yang berbunyi, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu “istri-istri” (tanda petik dari saya) dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” <br />
Pilihan arti “istri-istri” untuk lafal azwaajan ayat tersebut bisa menimbulkan pertanyaan, terutama bagi mereka yang suka “mencari-cari”. Misalnya, apakah ayat ini hanya ditujukan kepada kaum laki-laki? Salah-salah ini bisa menambah “kecemburuan” kaum “feminism”, karena disini bisa mengandung “dominasi” laki-laki. Berbeda jika azwaajan diartikan ‘jodoh-jodoh’ atau ‘pasangan’ sebagaimana terjemahan banyak tafsir. <br />
Kecuali yang khusus-khusus sebagaimana yang ditujukan, misalnya, kepada Nabi saw, istri-istri Nabi saw, dan orang-orang kafir, umumnya khitab Al-Qur’an memang ditujukan kepada kita semua (an-nas) atau kaum Mukminin. Lalu, apakah tentang hak dan kewajiban umumnya Al-Qur’an (Allah) tidak membedakan antara manusia laki-laki dan perempuan, juga antara Mukmin laki-laki dan Mukmin perempuan? (Lihat, misalnya: Q.s. 2: 285; 4: 32; 33: 35-6(<br />
Khusus dalam hal kesalehan – yang menjadi prasyarat kebahagiaan abadi orang Mukmin – Al-Qur’an bahkan menegaskan tiadanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan itu (lihat, misalnya: Q.s. 3: 195; 4: 124; 16: 97; 40:40(.<br />
Laki-laki berbeda dengan perempuan karena memang dari sono-nya berbeda. Artinya, Allah memang menciptakan mereka berbeda. Dengan kata lain, perbedaan antara perempuan dan laki-laki adalah perbedaan fitri (Q.s. 49: 13; 92: 3; 42: 49 – 50). Dari sinilah kiranya sumber perbedaan-perbedaan yang ada antara keduanya. Lalu, apakah perlu dipertentangkan atau dipermasalahkan? <br />
Allah-lah yang menciptakan manusia itu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dan Dia pulalah yang – tentu saja lebih tahu – mengatur penghambaan mereka sesuai kodrat masing-masing. Orang saleh adalah hamba Allah, baik laki-laki maupun perempuan, yang dalam kehidupannya mengikuti aturan Tuhannya sesuai dengan kodratnya<br />
. Terhadap seorang laki-laki-perempuan ini, kita melihat, ada dua sikap yang sama-sama ekstrim: pihak yang dengan ekstrem menafikan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sehingga terkesan pengingkaran terhadap fitrah, dan pihak yang dengan ekstrem membedakan antara keduanya hampir di segala hal. <br />
Penafikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan – seiring kemajuan maaddiyah yang memang luar biasa – dapat (dan ternyata telah) mengakibatkan masalah-masalah kemasyarakatan yang dasyat. Hubungan pria dan wanita dan orang tua – anak mengalami krisis berlarut-larut. Lembaga keluarga berantakan. Tata moral jungkir balik. Dan seterusnya, dan seterusnya. <br />
Kita, misalnya, bisa melihat wanita-wanita masa kini melarikan diri dari kedudukannya yang mulia, yakni sebagai ibu, pusat kasih sayang dari mana dunia mendapatkan ketentraman. Bahkan dari kodratnya. Mereka berdalih – atau terbius – oleh slogan “kemajuan” (yang sering justru ciptaan kaum laki-laki), seperti emansipasi wanita dan feminisme (yang sering dikaburkan artinya) sebagai pembebasan atau persamaan hak tanpa melihat perbedaan fitrah. <br />
Julukan terhormat ”ibu rumah tangga” justru membuat mereka tersipu-sipu. Malu. Al-Qur’an Surat 33 ayat 33, yang umumnya secara sempit diartikan sebagai larangan keluar rumah bagi perempuan, dianggap tidak “menzaman” dan perlu diberi takwil atau penjelasan tambahan pengecualian. Mereka lupa, dari rumah tanggalah dan sebagai ibu rumah tanggalah mereka mendidik dan membentuk – dengan kasih-sayang – generasi bangsa. <br />
Sementara itu, “pembedaan yang ekstrem” antara pria dan wanita (biasanya juga muncul dari pihak pria) juga mengakibatkan timbulnya masalah-masalah yang umumnya diawali dengan kerugian di pihak wanita. <br />
Dengan dalih perbedaan fitri, atau semata-mata karena merasa lebih dominant, sering kaum laki-laki seenaknya sendiri membatasi – atau minimal tak menghormati – hak-hak kaum wanita. <br />
Maka, dengan alasan yang berbeda, tak jarang pula ada wanita lari dari maqam-nya yang terhormat: yakni sebagai reaksi dari kesewenang-wenangan kaum pria. <br />
Wanita Muslim, seperti juga pria Muslim, mempunyai miqyas, ukuran kepatutannya sendiri sesuai dengan pedoman yang dimilikinya. Akibatnya, bila muslimat – juga muslim – menggunakan miqyas lain atas dasar pedoman lain, kiranya hanya ada dua penyebabnya: ia tak merasa atau tak tahu pedoman yang dimilikinya. Akibatnya, bila Muslimat – juga Muslim – menggunakan miqyas lain atas dasar pedoman lain, kiranya hanya ada dua penyebabnya: ia tak merasa atau tak tahu pedoman dan miqyas-nya sendiri, atau ia terlalu rapuh atau silau menghadapi kemilau pedoman dan miqyas “orang lain”. <br />
Untuk menghadapi itu semua, tentu saja ia harus kembali kepada pedomannya sendiri. Kembali mengkaji sampai mendapatkan cukup kekuatan untuk tidak saja menggunakannya, tapi juga untuk menepis tawaran menggiurkan pedoman-pedoman lain yang justru berakibat malapetaka di kemudian hari. <br />
Akhirnya, kiranya perlu kita simak lagi firman Allah dalam kitab suci-Nya, “Wahai segenap manusia, sungguh Aku telah menciptakan kamu semua dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kamu semua berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu semua saling mengenal; sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu semua di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Awas.” (Q.s. 49: 13(.<br />
<br />
<br />
Pernikahan<br />
Oleh: A. Mustofa Bisri<br />
<br />
Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasul SAW dan merupakan anjuran agama. Pernikahan yang disebut dalam Quran sebagai miitsaaqun ghaliizh, perjanjian agung, bukanlah sekedar upacara dalam rangka mengikuti tradisi, bukan semata-mata sarana mendapatkan keturunan, dan apalagi hanya sebagai penyaluran libido seksualitas atau pelampiasan nafsu syahwat belaka. <br />
Penikahan adalah amanah dan tanggungjawab. Bagi pasangan yang masing-masing mempunyai niat tulus untuk membangun mahligai kehidupan bersama dan menyadari bahwa pernikahan ialah tanggungjawab dan amanah, maka pernikahan mereka bisa menjadi sorga. Apalagi, bila keduanya saling menyintai. <br />
Nabi Muhammad SAW telah bersabda yang artinya, “Perhatikanlah baik-baik istri-istri kalian. Mereka di samping kalian ibarat titipan, amanat yang harus kalian jaga. Mereka kalian jemput melalui amanah Allah dan kalimahNya. Maka pergaulilah mereka dengan baik, jangan kalian lalimi, dan penuhilah hak-hak mereka.” <br />
Ketika berbicara tentang tanggungjawab kita, Rasulullah SAW antara lain juga menyebutkan bahwa “suami adalah penggembala dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya dan isteri adalah penggembala dalam rumah suaminya dan bertanggungjawab atas gembalaannya.” <br />
Begitulah, laki-laki dan perempuan yang telah diikat atas nama Allah dalam sebuah pernikahan, masing-masing terhadap yang lain mempunyai hak dan kewajiban. Suami wajib memenuhi tanggungjawabnya terhadap keluarga dan anak-anaknya, di antaranya yang terpenting ialah mempergauli mereka dengan baik. Istri dituntut untuk taat kepada suaminya dan mengatur rumah tangganya. <br />
Masing-masing dari suami-isteri memikul tanggung jawab bagi keberhasilan perkawinan mereka untuk mendapatkan ridha Tuhan mereka. Apabila masing-masing lebih memperhatikan dan melaksanakan kewajibannya terhadap pasangannya daripada menuntut haknya saja, Insya Allah, keharmonisan dan kebahagian hidup mereka akan lestari sampai Hari Akhir. Sebaliknya, apabila masing-masing hanya melihat haknya sendiri karena merasa memiliki kelebihan atau melihat kekurangan dari yang lain, maka kehidupan mereka akan menjadi beban yang sering kali tak tertahankan. <br />
Masing-masing, laki-laki dan perempuan, secara fitri mempunyai kelebihan dan kekurangannnya sendiri-sendiri. Kelebihan-kelebihan itu bukan untuk diperbanggakan atau diperirikan. Kekurangan-kekurang pun bukan untuk diperejekkan atau dibuat merendahkan. Tapi semua itu merupakan peluang bagi kedua pasangan untuk saling melengkapi. Kedua suami-isteri bersama-sama berjuang membangun kehidupan keluarga mereka dengan akhlak yang mulia dan menjaga keselamatan dan keistiqamahannya selalu. Dengan demikian akan terwujudlah kebahagian hakiki di dunia maupun di akhirat kelak, Insya Allah.<br />
<br />
<br />
Model Ideal Kyai Indonesia<br />
6 Juli 2009 09:55:46<br />
<br />
Oleh: A. Mustofa Bisri<br />
Bila Hadlratussyeikh KH. M Hasyim Asy’ari (kelahiran 1871), KH. Abdul Wahab Hasbullah (kelahiran 1888), KH Bishri Sansuri (kelahiran 1886), dan kyai-kyai seangkatan mereka pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, kita sebut generasi NU angkatan pertama, maka generasi berikutnya–katakanlah generasi kedua—merupakan generasi penerus yang benar-benar pewaris sikap dan perjuangan para pendahulunya. Angkatan kedua ini paling tidak mewarisi keikhlasan sikap dan perjuangan angkatan sebelumnya. Pemahaman yang dalam dan kekokohan memegang ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah sekaligus kecintaan kepada tanah air Indonesia. (KH Muhammad Dahlan Kebondalem, salah seorang pendiri NU berkata,“Berdirinya NU adalah untuk menegakkan syariat Islam menurut ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah dan mengajak bangsa ini untuk cinta kepada tanah airnya.”)<br />
<br />
Generasi kyai NU pertama yang mencontohkan dan mengajarkan patriotisme; benar-benar berhasil mencetak generasi penerus yang tidak hanya menguasai ilmu dan mengamalkan akhlak luhur Islam, tapi juga patriot-patriot bangsa teladan. Pemimpin-pemimpin Islam yang memiliki jiwa keindonesiaan dan kebangsaan yang tinggi. Sebagaimana generasi sebelumnya, generasi angkatan kedua ini belajar ilmu Islam dari sumber-sumbernya dan dari guru-guru yang memiliki kesinambungan ilmiah dari guru ke guru. Dan sebagaimana generasi sebelumnya, merasakan pahit-getirnya perjuangan membela tanah air melawan penjajah Belanda dan Jepang.<br />
<br />
Generasi kedua ini umumnya--baik langsung atau tidak--merupakan santri-santri Hadlratussyeikh KHM Hasyim Asy’ari yang menjadi kebanggaan Indonesia. Beberapa diantaranya bahkan pernah beberapa kali dipercaya menjadi menteri Agama republik ini, yaitu KH Masykur (kelahiran 1902); KH.M. Dachlan (kelahiran 1909); KH Muhammad Ilyas (kelahiran 1911); KH. A. Wahid Hasyim (kelahiran 1914); KHA. Wahib Wahab (1918); dan KH. Saifuddin Zuhri (kelahiran 1919).<br />
<br />
KH. Muhammad Ilyas, justru merupakan santri kesayangan dan kepercayaan Hadlratussyeikh yang dalam usia 18 tahun sudah dijadikan Lurah Pondok Pesantren Tebuireng. KH. M. Ilyas tidak hanya disayangi dan dipercaya oleh Hadratussyeikh, tapi bahkan tampaknya juga diserahi “membimbing” atau setidaknya menjadi kawan belajar dan berjuang putra beliau, adik sepupu KH. M Ilyas sendiri, KHA. Wahid Hasyim.<br />
<br />
Hal itu terlihat dari kedekatan dan kebersamaan kedua tokoh kesayangan tersebut, sejak bersama-sama ngaji di Tebuireng, mondok di Pesantren Siwalan Panji, belajar ke Mekkah, melakukan pembaharuan pendidikan di pesantren, hingga bersama-sama berjuang dan berkhidmah untuk Indonesia. Ini semua tentulah tidak terlepas dari pengarahan guru besar mereka, Mahakyai Muhammad Hasyim Asy’ari.<br />
<br />
Meski keduanya mengaji Islam melalui bahasa Arab dan pernah belajar di Arab (Mereka ke Mekkah tahun 1932, KHA. Wahid Hasyim kembali ke Indonesia tahun 1933 dan KHM. Ilyas tahun 1935) dan menguasai bahasa al-Quran seperti pemilik bahasa itu sendiri, namun sedikit pun mereka tidak kehilangan ke-Indonesia-an mereka. Bahkan, ketika mereka berada di luar negeri, perhatian mereka terhadap Indonesia dan bangsanya sama sekali tidak mengendur.<br />
<br />
Bandingkan dengan mereka yang sebentar saja keluar negeri–bahasa negeri singgahan mereka pun belum sebenarnya mereka kuasai--tiba-tiba sikap mereka seperti orang asing di negeri sendiri. Padahal, mereka dibesarkan dan masih hidup di tanah air mereka. Masih makan hasil bumi dan minum air tanah airnya sendiri.<br />
<br />
<br />
Tasawuf dan Akhlak<br />
Kalau kita memperhatikan sejarah, tampaklah bahwa kemunculan ‘tren’ tasawuf selalu mengiringi kondisi masyarakat Muslim yang tidak seimbang. Ataukah terlalu sibuk dengan urusan dunia dan melupakan akhirat, terlalu semangat dengan ilmu tanpa peduli amal, terlalu fanatik terhadap syariat tanpa peduli ruhnya, atau terlalu mulia bicara tanpa peduli tengiknya perilaku. <br />
Tasawuf, seperti bisa kita pahami dari ungkapan-ungkapan para tokohnya, merupakan jalan menuju Allah melalui akhlak yang mulia. Metode para sufi adalah membersihkan hati dan memperhalus budi. Contoh dan teladan mereka adalah Rasulullah SAW yang berbudi luhur dan menyatakan bahwa ia diutus Allah semata-mata untuk menyempurnakan akhlak. <br />
Kehidupan yang serba materi, keberagamaan yang serba daging, dan tata pergaulan yang serba didasari kepentingan, ternyata telah membuat masyarakat seperti sakit jiwa. Ketidaknalaran meruyak menghinggapi sektor-sektor kehidupan hampir tanpa kecuali. Yang paling mencolok adalah ketidaknalaran dalam kehidupan berpolitik. Maka, para pakar pun sibuk berdiskusi dan melemparkan teori-teori reformasi dan perbaikan. <br />
Lalu, apa yang ditawarkan tasawuf? Melihat kondisi yang seperti itu, tasawuf menawarkan reformasi dan perbaikan mulai dari pondasi Akhlak. Perbaikan ala tasawuf adalah perbaikan dari dalam diri. Sufi-sufi besar tidak hanya melakukan-dan telah berhasil melakukan- perbaikan diri, tapi sebagaimana dicontohkan pemimpin agung mereka Nabi Muhammad SAW, mereka juga berjuang untuk membantu masyarakat dengan cara mendidik mereka dan melakukan kontrol terhadap para penguasa. <br />
Akhlak yang mulia, telah berhasil menorehkan catatan dengan tinta emas pemerintahan Umar Ibn Abdul Aziz dalam lembaran sejarah Dinasti Umayyah. Umar sang khalifah, sebagai penguasa, telah berhasil ‘mereformasi’ diri-nya dengan meretas akar keburukan: menempatkan materi dan dunia di puncak perhatian. Mendudukkan materi dan dunia di tempatnya yang sebenarnya adalah yang pertama-tama diupayakan khalifah yang dijuluki Umar Kedua ini, setelah sebelumnya ditempatkan di tempat yang terlalu tinggi dan penting. <br />
Maka, tidak heran apabila ada yang menyebut Umar Ibn Abdul Aziz sebagai khalifah kelima dari Khulafa’ Rasyidiin. <br />
Tanpa menyebut nama tasawuf atau sufi sekali pun, kiranya kita bisa sepakat bahwa akhlak atau budi pekerti merupakan jawaban paling asasi bagi mereformasi diri dan negeri kita ini. Anda bayangkan saja, apabila para pemimpin, petinggi, dan para politisi di negeri ini berakhlak mulia. Berbudi luhur; jujur, berani mengaku salah, punya malu, tahu diri, berhati bersih, rendah hati, penuh kasih sayang, dermawan, tidak culas, tidak serakah, tidak hasud, tidak sombong; dst. Namun, bagaimana itu bisa menjadi kenyataan bila mereka masih menganggap dunia ini sebagai tujuan hidup dan materi adalah hal penting nomer wahid?<br />
<br />
<br />
Imam Sejati<br />
Oleh: A. Mustofa Bisri<br />
Di tengah-tengah para jamaah duduk istirahat shalat tarawih, beberapa anak muda berbisik-bisik membicarakan ustadz muda yang malam itu menjadi imam. Surah al-Qur’an yang dibaca ustadz itu panjang-panjang dan rukuk-sujudnya lama sekali. “Kalau begini, bisa tidak sempat sahur kita,” keluh salah seorang dari mereka.<br />
Entah karena keluhan anak-anak muda itu atau karena sudah dijadwalkan sebelumnya, malam berikutnya imamnya ganti. Kebalikan imam yang kemarin malam, ustadz yang menjadi imam malam ini bacaan surahnya pendek-pendek sekali dan rukuk-sujudnya cepat. Jika malam kemarin yang mengeluh makmum-makmum yang muda, kini makmum-makmum tualah yang mengeluh. “Shalatnya imam ekspres sekali. Masak baru saja saya akan rukuk, dia sudah sujud,” gerutu salah seorang dari mereka.<br />
Ketika shahabat Mu’adz bin Jabal r.a menjadi imam pernah juga diprotes orang, bahkan ada yang mufaroqoh. Pada waktu itu, beliau membaca surah al-Qur’an-nya panjang-panjang (sementara riwayat menyebutkan di rakaat awal beliau membaca surah al-Baqarah dan di rakaaat kedua surah an-Nisa’). Ketika mendengar hal itu, Rasulullah saw pun menegur sahabat Mu’adz, “Hai Mu’adz, janganlah kamu menjadi tukang fitnah; di belakangmu ikut bersembahyang orang yang sudah tua, orang yang lemah, orang yang punya hajat, musafir..”<br />
Dalam riwayat lain disebutkan sahabat Abu Mas’ud al-Anshary r.hu berkata,“Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw dan berkata, ‘Saya sungguh kurang semangat berjamaah shalat subuh, sebab si Anu kalau mengimami lama sekali.” Maka, belum pernah aku melihat Nabi saw marah dalam khutbah beliau seperti saat itu. Beliau berkhutbah,”Wahai manusia, di antara kalian ada orang-orang yang suka membuat orang lari. Maka, barangsiapa mengimami jamaah hendaklah tidak berpanjang-panjang; di belakangnya ada orang tua, ada orang lemah, dan orang yang punya sesuatu hajat.’” <br />
Seperti biasa, sikap Rasulullah SAW sendiri adalah konsisten dengan sabda dan anjuran beliau. Rasulullah saw sampai akhir hayat beliau selalu mengimami, memimpin shalat. Rasulullah saw absen mengimami hanya pada saat sakit keras menjelang wafat dan digantikan oleh saahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.hu (nama aslinya Abdullah bin Utsman berjuluk Abu Quhaafah). Selama itu, Rasulullah saw menjadi imam, tidak pernah ada seorang pun yang protes atau mengeluhkan shalat beliau; ataukah terlalu lama atau terlalu singkat.<br />
Rasulullah saw adalah manusia yang sangat mengerti manusia dan memanusiakan manusia. Beliau mengerti bahwa orang-orang yang mengikuti shalat dibelakang beliau tidak seperti beliau. Mereka yang mengikuti beliau terdiri dari berbagai macam manusia. Dan beliau pun memanusiakan mereka semua. <br />
Kiranya tidak terlalu mengada-ada, bila ada yang menganggap kepemimpinan dalam shalat merupakan simbol bahkan filosofi kepemimpinan umat. Kita tahu bahwa Rasulullah saw, sebagaimana saat memimpin shalat mengayomi jamaah, beliau juga mengayomi dan karenanya dicintai saat memimpin umat. Sebagai manusia yang mengerti manusia dan memanusiakan manusia, Rasulullah saw tidak hanya menentramkan dan disukai jamaah saat memimpin shalat, namun juga menentramkan dan dicintai umat saat memimpin mereka. Rasulullah saw memang imam sejati, pemimpin yang sesungguhnya. <br />
<br />
<br />
Halalbihalal<br />
<br />
<br />
<br />
Istilah halalbihalal (menulisnya digandeng, jangan dipisah-pisah), meskipun kedengarannya seperti istilah Arab, sebenarnya ‘asli’ Indonesia atau setidaknya Melayu. Meski bahan bakunya (halal dan bi) dari Arab, orang Indonesia/Melayulah yang merakitnya menjadi istilah sendiri. <br />
Di Arab sendiri- dalam kamus-kamus Arab maupun percakapan sehari-hari-istilah halal bihalal termasuk pengertiannya, tidak ada dan tidak dikenal. <br />
Istilah halalbihalal dan pengertiannya memang khas Indonesia. Menurut KBBI, halalbihalal ialah acara maaf-memaafkan pada hari lebaran. Ini tradisi baik sekali yang hanya dijumpai di Indonesia/Melayu, meskipun sayang kini sudah mengalami degradasi.<br />
Tradisi maaf-memaafkan di lebaran, setelah puasa Ramadlan ini merupakan salah satu bukti kearifan pendahulu-pendahulu kita yang pertama-tama mentradisikannya. Dulu, sebelum orang terlalu sibuk seperti sekarang, apabila datang lebaran, sehabis shalat ‘Id, masyarakat saling mengunjungi dan saling meminta maaf. <br />
Saya masih sempat menyaksikan orang-orang tua dulu meminta maaf kepada sahabat, kerabat, atau saudara mereka dengan ungkapan penyesalan yang rinci agar mendapatkan pemaafan. Bukan hanya meminta maaf, tapi juga meminta halal apabila ada hak Adami yang termakan atau terpakai dengan sengaja atau tidak sengaja. Mereka yang dimintai maaf dan dimintai halal, biasanya dengan mudah memberikannya sambil balik meminta yang sama. Mereka saling memaafkan dan saling menghalalkan. Halalbihalal.<br />
Para pendahulu yang mentradisikan tradisi mulia ini pasti tahu bahwa Rasulullah saw menjamin mereka yang berpuasa di bulan Ramadhan semata-mata hanya karena iman dan mencari pahala Allah, akan diampuni dosa-dosa mereka yang sudah-sudah.“Man shaama Ramadhaana iimaanan wah tisaaban, ghufira lahu maa taqaddaa min dzambihi.” (Hadis shahih muttafaq ‘alaih dari sahabat Abu Hurairah r.hu).<br />
Hebatnya, mereka para pendahulu itu, juga tidak lupa bahwa selain dosa hamba kepada Tuhannya, masih ada satu dosa lagi yang justru lebih perlu diperhatikan; yaitu dosa hamba kepada sesamanya. Di banding dosa kita kepada Allah, dosa kita kepada sesama sebenarnya jauh lebih gawat. Kenapa? Karena Allah, seperti kita ketahui, Maha Pengampun dan suka mengampuni. Sementar, manusia tidak demikian. Manusia sulit. Padahal, dosa kita terhadap sesama tidak akan diampuni sebelum yang bersangkutan memaafkan. Tanggungan kita kepada sesama akan tetap menjadi tanggungan kita, sebelum yang bersangkutan menghalalkannya.<br />
Rasulullah saw berpesan agar apabila diantara kita ada yang mempunyai kesalahan kepada seseorang, apakah menyangkut kehormatannya atau apa, hendaklah dimintakan halal sekarang juga sebelum uang dinar dan dirham tidak lagi ada gunanya; jika (tidak,) bila dia mempunyai amal saleh, nanti akan diambil dari amalnya itu seukur kesalahannya dan bila tidak memiliki kebaikan, akan diambil dari dosa-dosa orang yang disalahinya dan dibebankan kepadanya “Man kaanat lahu mazhlumatun liahadin min ‘irdhihi au syai-in falyatahallalhu minhu alyauma qabla an laa yakuuna diinarun walaa dirhamun; in kaana lahu ‘amalun shaalihun ukhidza minhu biqadri mazhlumatihi, wain lam takun lahu hasanaatun ukhidza min sayyiaati shaahibihi fahumila ‘alaihi.” (Hr. Imam Bukhari dari sahabat Abu Hurairah r.hu)<br />
Marilah kita ingat-ingat, apakah kita pernah menyakiti sesama. mungkin kita tidak sengaja pernah mengucapkan kata-kata yang melukai saudara kita. Kadang-kadang, karena kita merasa berniat baik, menegur kawan untuk memperbaikinya, lalu kita mengabaikan kesantunan bicara kita dan menyinggung perasaan kawan kita itu. Mungkin kita sudah berhati-hati, tapi tetap saja ada sikap kita yang membuat orang lain sakit hati. Maka adalah bijaksana, apabila dalam kesempatan lebaran ini-setelah mengharap dosa-dosa kita kepada Allah diampuni-kita memerlukan meminta maaf dan meminta halal terutama kepada mereka yang kita perkirakan pernah kita salahi. <br />
Saya sendiri dalam kesempatan ini juga ingin menyampaikan tahniah ‘Id kepada segenap pembaca dan dengan kerendahan hati memohon maaf lahir batin atas segala kekhilafan dan kesalahan saya. ‘Iedun sa’ied, a’aadahullahu ‘alaikum bissaaadati walkhairi warrafaahiyah wakullu ‘aamin wa antum bikhair.<br />
<br />
Ruqyah Atau Jampi<br />
<br />
Oleh: A. Mustofa Bisri<br />
<br />
Dalam keadaan lelah dan lapar, rombongan sahabat Nabi Muhammad saw singgah di suatu desa. Tak ada satu penduduk pun yang sudi menjamu mereka. Kebetulan ketika rombongan beranjak pergi meninggalkan desa yang bakhil itu, terjadi peristiwa: kepala desanya disengat kalajengking berbahaya. <br />
Segala upaya sudah dilakukan. Segala ramuan yang biasa mereka gunakan mengobati sengatan binatang berbisa tidak mampu menyembuhkannya. Lalu, ada seorang yang usul agar mencari rombongan yang barusan saja lewat desa mereka. Siapa tahu di antara mereka ada yang bisa mengobati. Usul tersebut diterima dan dikirimlah utusan menemui rombongan. Singkat cerita, utusan bertemu rombongan dan menceritakan apa yang menimpa kepala desa mereka. <br />
“Apakah di antara kalian ada yang bisa melakukan ruqyah, jampi, untuk mengobati kepala desa kami?” tanya mereka. Seorang diantara rombongan pun langsung menjawab: “Aku bisa menjampi.” Tapi, aku tidak akan menjampi dan mengobati kepala desa kalian, kecuali kalian memberi kami kambing.”Akhirnya, disepakati mereka akan memberi beberapa ekor kambing sebagai imbalan. <br />
Demikianlah, sahabat yang mengaku bisa menjampi tersebut dibawa ke tempat kepala desa yang berbaring tidak berdaya. Sahabat itu membaca surah Fatihah dan meniup-semburi bagian tubuh si kepala desa yang tersengat. Ajaib, ternyata sembuh seketika. Orang-orang desa gembira, karena kepala desa mereka sembuh. Rombongan juga gembira, karena mendapat kambing. <br />
Setelah rombongan sampai Madinah dan melapor kepada Rasulullah saw, apa komentar beliau? Beliau bersabda kepada sahabat yang menjampi si kepala desa, “Dari mana kamu tahu bahwa Fatihah bisa untuk jampi?” Dari Hadis sahih di atas, sementara ulama menyimpulkan bahwa ruqyah atau jampi dan meminta upah untuk itu diperkenankan oleh agama. Meskipun, ada juga yang tetap tidak memperkenankan pengobatan menggunakan ruqyah. Sebagian yang lain, berpendapat bahwa ruqyah boleh untuk mengobati sakit akibat sengatan dan semisalnya dan tidak boleh untuk yang lain. <br />
Mungkin ada yang bertanya-tanya mengenai hubungan bacaan ruqyah dengan penyakit. Bagaimana bacaan dan tiupan bisa menyembuhkan luka? Saya teringat cerita saudara saya. Saudara saya yang insinyur ini pernah menegur setengah memarahi penjual rokok tetangganya yang suka menaruh botol air di depan para kiai yang sedang melakukan istighosah, kemudian air dibawa pulang untuk obat. “Apa hubungannya?” katanya kepada tetangganya itu. <br />
“Apa doa-doa itu bisa meresap masuk ke dalam air botol sampeyan ?” <br />
Sampai suatu ketika, saudara saya itu menemukan dan membaca bukunya Dr. Masaru Emoto tentang keajaiban air. “Ternyata,” kata saudara saya, “menurut penelitian Dr. Masaru, air bisa menerima pengaruh ucapan, bacaan maupun tulisan. Sekarang, galon tempat air minum kami di rumah kami tempeli Asmaul Husna.” <br />
Syahdan, Nabi Muhammad saw sendiri, seperti dalam Hadis Abdullah Ibn Mas’ud, pernah saat sujud, jarinya disengat kalajengking. Setelah salat, beliau meminta air dan garam, lalu memasukkan jari yang tersengat tersebut ke dalamnya dan membaca “Qul Huwallaahu Ahad” dan “Mu’awwidzatain” (“Qul ‘auudzu biRabbil falaq” dan “Qul ‘audzu biRabbinnaas”) <br />
Di dalam Hadis Ibnu Mas’ud r.hu ini, ruqyah, jampi, atau suwuk tampak hanya sebagai ‘pelengkap’. Atau katakanlah, pengobatan gabungan. Gabungan antara pengobatan medis dan doa. Boleh jadi, inilah yang paling membuat pasien mantap dan pada gilirannya membantu mempercepat penyembuhan. <br />
Berkenaan dengan itu, Imam Muslim meriwayatkan dari sahabat Utsman bin Abil ‘Ash yang pernah mengeluhkan penyakit yang dideritanya sejak masuk Islam kepada Rasulullah saw dan beliau memberi saran, <br />
“Letakkan tanganmu di atas bagian yang sakit pada tubuhmu dan bacalah Bismillah tiga kali dan baca tujuh kali, A’uudzu bi’izzatillahi waqudratihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir.” <br />
Demikianlah, pengobatan, baik secara medis maupun jampi, hanyalah sekedar upaya dan ikhtiar. Pada akhirnya dan hakikatnya Allah sendirilah yang menyembuhkan. Maka, sebagaimana upaya dan ikhtiar untuk yang lain, kita tidak boleh lupa memohon pertolongan-Nya.<br />
<br />
Kurang akeh tulisane<br />
TELAGA » Kajian Tasawuf dan Tafsir<br />
<br />
Pernikahan<br />
28 Januari 2009 11:30:18<br />
Oleh: A. Mustofa Bisri<br />
<br />
Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasul SAW dan merupakan anjuran agama. Pernikahan yang disebut dalam Quran sebagai miitsaaqun ghaliizh, perjanjian agung, bukanlah sekedar upacara dalam rangka mengikuti tradisi, bukan semata-mata sarana mendapatkan keturunan, dan apalagi hanya sebagai penyaluran libido seksualitas atau pelampiasan nafsu syahwat belaka.<br />
Penikahan adalah amanah dan tanggungjawab. Bagi pasangan yang masing-masing mempunyai niat tulus untuk membangun mahligai kehidupan bersama dan menyadari bahwa pernikahan ialah tanggungjawab dan amanah, maka pernikahan mereka bisa menjadi sorga. Apalagi, bila keduanya saling menyintai.<br />
Nabi Muhammad SAW telah bersabda yang artinya, “Perhatikanlah baik-baik istri-istri kalian. Mereka di samping kalian ibarat titipan, amanat yang harus kalian jaga. Mereka kalian jemput melalui amanah Allah dan kalimahNya. Maka pergaulilah mereka dengan baik, jangan kalian lalimi, dan penuhilah hak-hak mereka.”<br />
Ketika berbicara tentang tanggungjawab kita, Rasulullah SAW antara lain juga menyebutkan bahwa “suami adalah penggembala dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya dan isteri adalah penggembala dalam rumah suaminya dan bertanggungjawab atas gembalaannya.”<br />
Begitulah, laki-laki dan perempuan yang telah diikat atas nama Allah dalam sebuah pernikahan, masing-masing terhadap yang lain mempunyai hak dan kewajiban. Suami wajib memenuhi tanggungjawabnya terhadap keluarga dan anak-anaknya, di antaranya yang terpenting ialah mempergauli mereka dengan baik. Istri dituntut untuk taat kepada suaminya dan mengatur rumah tangganya.<br />
Masing-masing dari suami-isteri memikul tanggung jawab bagi keberhasilan perkawinan mereka untuk mendapatkan ridha Tuhan mereka. Apabila masing-masing lebih memperhatikan dan melaksanakan kewajibannya terhadap pasangannya daripada menuntut haknya saja, Insya Allah, keharmonisan dan kebahagian hidup mereka akan lestari sampai Hari Akhir. Sebaliknya, apabila masing-masing hanya melihat haknya sendiri karena merasa memiliki kelebihan atau melihat kekurangan dari yang lain, maka kehidupan mereka akan menjadi beban yang sering kali tak tertahankan.<br />
Masing-masing, laki-laki dan perempuan, secara fitri mempunyai kelebihan dan kekurangannnya sendiri-sendiri. Kelebihan-kelebihan itu bukan untuk diperbanggakan atau diperirikan. Kekurangan-kekurang pun bukan untuk diperejekkan atau dibuat merendahkan. Tapi semua itu merupakan peluang bagi kedua pasangan untuk saling melengkapi. Kedua suami-isteri bersama-sama berjuang membangun kehidupan keluarga mereka dengan akhlak yang mulia dan menjaga keselamatan dan keistiqamahannya selalu. Dengan demikian akan terwujudlah kebahagian hakiki di dunia maupun di akhirat kelak, Insya Allah.<br />
<br />
Kyai Pesantren dan Perubahan Zaman<br />
22 April 2009 10:03:09<br />
<br />
<br />
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri<br />
<br />
Mengapa ada kyai pesantren? Mengapa ada orang yang mau mengorbankan tenaga, pikiran dan hartanya untuk masyarakat? Mengapa ada orang yang bersedia mendidik anak-anak orang tanpa dibayar? Mengapa ada orang yang ikhlas menunjukkan jalan mereka yang tidak ingin tersesat dan siap menampung keluh-kesah mereka yang gelisah?<br />
Jawabnya, tentu saja tidak sesederhana mubalig menyitir dalil. Karena ada janji Allah bagi mereka yang berjuang fii sabiiliLlahi biamwaalihim wa anfusihim akan mendapatkan pahala yang luar biasa. Karena ada sabda Rasulullah SAW “Man lam yahtam biamril mu’miniina falaisa minhum” (Barangsiapa tidak memperhatikan urusan orang-orang mukmin, maka dia tidak termasuk golongan mereka). Atau, karena dalil-dalil lain yang menyarankan untuk berbuat baik kepada orang.<br />
Dalil-dalil itu ”hanyalah” semacam motivasi. Kondisi masing-masing pribadi yang bersangkutanlah yang lebih menentukan. Kondisi yang menyebabkan dirinya mudah termotivasi oleh dalil-dalil mulia agama itu. Kondisi al-mu’minul qawwiy, mukmin yang kuat. Memiliki cukup ilmu, kearifan, kemuliaan akhlak, kesungguhan dan ketekunan, kepekaan sosial dan kaya terutama secara batin.<br />
Mungkin dari sudut ilmu, yang bersangkutan tidak terlalu istimewa, tapi pemahaman tentang inti ajaran agamanya mendalam. Sehingga dengan demikian, muncul dari dirinya kearifan, perilaku yang terpuji dan kepekaan sosial yang tinggi. Mungkin dari sudut harta, tidak terlalu kaya; tapi sikap qana’ah dalam dirinya menjadikannya seorang yang ”kaya raya dari dalam” atau kaya secara batin. (Kalau kaya dalam pengertian umum, yakni memiliki banyak materi, saya sebut ”kaya dari luar”. Kaya dalam bahasa Arab disebut ghaniy, kebalikannya ialah faqiir. Ghaniy memiliki arti tidak butuh, sedang faqiir berarti membutuhkan. Allah=Al-Ghaniy dan kita hamba-hambaNya=Al-Fuqaraa, orang-orang yang faqiir).<br />
Dari sekian faktor yang disebutkan, boleh jadi faktor kekayaan-dalam dua pengertiannya-merupakan kondisi pendukung yang penting-kalau tidak paling penting-bagi seseorang melakukan peran kemasyarakatan dan pendidikan masyarakat secara ikhlas dan lilllaahi ta’alaa, sebagaimana yang dilakukan kyai pesantren di zaman dahulu.<br />
Lain dahulu lain sekarang. Meski dalil-dalil mulia masih tetap yang itu-itu juga (dari Quran dan Sunnah Rasulullah SAW), namun kekuatannya sebagai motivasi tidak lagi sama seperti dahulu. Kehidupan telah berubah sedemikian rupa. Pandangan terhadap hidup dan kehidupan serta cara dan gaya hidup orang sudah berubah sama sekali. Kaya dari dalam, misalnya, sudah langka kita temukan. Sementara, untuk menjadi kaya dari luar, tidak cukup kesungguhan. Kesungguhan dan ketekunan seperti sudah bertekuk-lutut kepada apa yang disebut sebagai budaya instan. Padahal, iming-iming materi bagi menikmati kehidupan semakin merajalela.<br />
Dari segi sosial-politik, perubahan pun luar biasa. Di zaman Orde Lama, politik menjadi panglima. Di zaman Orde Baru, panglimanya ganti ekonomi. Lalu, di zaman yang konon disebut era reformasi ini, kembali politik menjadi panglima. Bedanya-setelah melewati era Orba yang sangat mendewakan dunia-”sang panglima” pun berupa politik dengan ”rasa ekonomi”. (Artinya, politik yang dapat menunjang perekonomian dan kesejahteraan politisi sekeluarga).<br />
Perubahan melindas semua, tidak terkecuali kyai mubalig; kyai dukun atau kyai pesantren. Tinggal siapa lebih kuat menghadapi semua perubahan itu. Sabda Nabi Muhammad SAW, Al-mu’minu lqawiyyu khairun wa ahabbu ilaLlaahi mina lmu’minidh dha’iif…” (HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah r.a.). Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah.<br />
<br />
HARI RAYA BESAR<br />
<br />
<br />
Idul Adha atau Hari Raya Kurban disebut juga Hari Raya Haji dan Hari Raya Besar. Hari tanggal 10 Dzul Hijjah inilah puncak pelaksanaan ibadah haji, jama’ah haji dari seluruh dunia, setelah wuquf di Arafah dan menginap di Muzdalifah, kemudian melempar jumrah Aqabah dan melaksanakan penyembelihan ternak kurban di Mina. Sementara kaum muslimin yang tidak sedang berhaji, melakukan sembahyang Ied dan menyembelih kurban.<br />
Setiap kali datang Hari Raya Besar, Idul Adha, kita selalu diingatkan kepada kisah nabi Ibrahim dan puteranya, nabi Ismail. <br />
Seperti kita ketahui; lama sekali nabi Ibrahim ingin mempunyai anak. dan baru kesampaian keinginannya itu setelah tua renta. Kita bisa membayangkan betapa bahagia dan senangnya nabi Ibrahim ketika mendapat anugerah seorang anak yang istimewa, cakap, dan alim. Seorang anak yang tidak hanya dapat dijadikan pengisi kekosongan, tapi lebih dari itu dapat dijadikan ‘tangan kanan’ yang selalu mendampingi sang ayah dalam berjuang dan kiprah kemasyarakatannya.<br />
Tapi, bayangkan!, tiba-tiba datang perintah dari Allah agar nabi Ibrahim menyembelih buah putera hatinya itu. Mengenai perintah Tuhannya ini, nabi Ibrahim tanpa sedikit pun keraguan –meski kedengaran mengharukan-- bertanya kepada puteranya, “Bagaimana pendapatmu, anakku?” Dan hebatnya, sang putera menjawab dengan tidak kalah mantap, “Ayah, laksanakan saja apa yang diperintahkan kepada ayah. Ayah akan melihat saya insyaAllah termasuk orang-orang yang tabah.”<br />
Apakah yang lebih berharga dari anak dan nyawa sendiri? Sebagai bukti ketaatan dan kecintaannya kepada Tuhannya, nabi Ibrahim bersedia dengan ikhlas mengorbankan anaknya sendiri yang nota bene sudah lama sekali diidamkannya; nabi Ismail bersedia dengan ikhlas mengorbankan nyawanya. <br />
Kemudian, seperti semua sudah tahu, karena ketulusan mereka, sang anak yang sudah pasrah disembelih, diganti dengan seekor domba. <br />
Suatu teladan yang ‘ekstrem’ tentang ketulusan pengorbanan kekasih bagi kekasihnya. Pengorbanan pemuja bagi pujaannya. Pengorbanan dan loyalitas hamba kepada Tuhannya. Teladan pengorbanan kedua hamba pilihan itu akan semakin tampak ‘ekstrem’ bila kita pandang sekarang. Pengorbanan mereka berdua bukan saja membuktikan betapa luar biasanya kecintaan dan ketaatan mereka kepada Tuhan mereka. Tapi sebelum itu, membuktikan tingkat pengenalan mereka terhadap Tuhan atas nama siapa pengorbanan itu diikhlaskan. <br />
Dimulai dari pengenalan, lalu sayang dan cinta, kemudian ketulusan berkorban. Bila merujuk ungkapan klise, “Tak kenal maka tak sayang”, maka bisa dilanjutkan dengan ungkapan, “Tak sayang maka tak sudi berkorban.”<br />
Orang yang tidak mengenal tanah-air-nya, misalnya, mungkin karena tidak merasa pernah makan dari hasil tanah yang dipijaknya dan merasa tidak pernah meminum airnya, boleh jadi tidak sayang kepada tanah-air-nya itu. Maka jangan bayangkan orang tersebut mau berkorban untuk tanah-air-nya. Merusaknya pun mungkin tidak membuat nuraninya terusik.<br />
Kalau kita kembali kepada kisah nabi Ibrahim dan nabi Ismail yang setiap Idul Adha kita kenang, maka kita bisa mengatakan bahwa pengenalan yang sangat dari mereka berdua terhadap Tuhan merekalah yang membuat mereka sangat menyintai dan memujaNya, sehingga rela berkorban apa saja demi mendapatkan ridhaNya. <br />
Demikianlah; besar-kecilnya kerelaan berkorban tergantung pada besar-kecinya pengenalan dan kecintaan.<br />
Nabi Ibrahim dan nabi Ismail sangat mengenal Allah dan tahu persis apa saja yang membuat Tuhan mereka itu ridha dan apa saja yang membuatNya murka. Maka pengorbanan mereka pun tidak pernah sia-sia. Jadi memang tidak bisa hanya bermodal semangat mendapat ridha Allah, tanpa mengenalNya dan tanpa mengetahui apa saja yang membuatNya ridha dan apa saja yang membuatnya murka. Wallahu a’lam.<br />
Selamat Idul Adha! Selamat Berkurban!<br />
<br />
<br />
Ada dua tulisan om, tolong dipilih yang lebih tepat. suwun<br />
<br />
Skandal Hukum?<br />
<br />
Luar biasa. Ada yang mengelus dada, menahan perasaan. Astaghfirullah. Ada yang geleng-geleng kepala, tak percaya. MasyaAllah. Itulah kira-kira reaksi orang-orang Indonesia yang waras saat mendengarkan rekaman telpon yang diputar dalam sidang MK.<br />
Terdengar suara seorang cukong yang begitu ‘berwibawa’ terhadap beberapa orang yang diduga oknum-oknum aparat penegak hukum. Juga suara sang cukong dengan perempuan yang diduga isterinya sedang membicarakan tokoh-tokoh yang diduga pejabat tinggi. Anggaran yang diduga suap dibicarakan begitu rupa seolah-olah komunikasi perniagaan. Tawar-menawar untuk melecehkan hukum berlangsung laiknya dagang sapi. Terdengar percakapan yang benar-benar menjijikkan.<br />
Walhasil saya benar-benar terguncang. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya dengar. Sakit sekali rasanya mendengar hukum di negeri ini dipermainkan seperti itu. Sakit sekali rasanya mendengar orang-orang yang dipercaya membawa amanat, begitu mudah mempersetankan kepercayaan rakyat.<br />
Inilah skandal penegakan –maksud saya pelecehan-- hukum yang luar biasa memalukan. Atau sebenarnya ini sudah lazim; hanya saja baru sekarang publik mengetahuinya. Anggodo atau Anggoro hanyalah satu dari sekian banyak cukong penguasa uknum-uknum pejabat miskin negeri ini. Kita jadi tidak heran sekarang, mengapa Edy Tansil dan maling-maling kakap lainnya sering kabur atau tak karuan urusannya. Ternyata diduga banyak sekali oknum penegak hukum yang benar-benar miskin sekaligus tamak.<br />
Terus terang saja, semula saya kurang setuju dengan pemutaran rekaman itu. Namun mendengar rekaman yang begitu dahsyat, saya jadi kepingin mendengar terus rekaman-rekaman serupa yang jangan-jangan lebih dahsyat lagi tentang cecunguk–cecunguk republik ini.<br />
Saya membayangkan alangkah shocknya presiden SBY mendengar rekaman yang menggambarkan dengan gamblang kebobrokan bagian paling penting dalam kehidupan penegakan hukum Negara yang dipimpinnya. Lalu saya menghayal, setelah mendengarkan itu, presiden langsung bertindak tegas; mencanangkan pembersihan dan penataan kehidupan hukum sebagai prioritas perhatian 100 harinya. Menindak tegas oknum-oknum yang diduga terlibat dalam persekongkolan pelecehan hukum, termasuk yang mencatut namanya.<br />
Kalangan Kejaksaan dan Polri saya bayangkan malu sekali mendengar lembaga mereka dijadikan bahan tertawaan dan permainan cukong; oknum-oknum pejabat mereka ketahuan sangat miskin dan tamak. Lalu saya hayalkan mereka masing-masing dengan penuh amanah, mengambil kebijaksanaan dan bertindak tegas melakukan pembersihan serta penataan dilembaga masing-masing. Membebaskan Bibit dan Chandra. Memecat mereka yang telah dan akan mencoreng nama baik lembaga-lembaga mereka sekaligus Negara mereka.<br />
Khusus Polri, mengingat kesuksesan Densus 88 yang terbukti telah berhasil dengan gemilang memburu dan menumpas teroris; saya berpikir mengapa tidak dibentuk Densus lain –Densus 99 atau apa namanya—yang bertugas khusus memburu dan menumpas koruptor. Soalnya madharat dan kerusakan yang diakibatkan oleh ulah koruptor tidak kalah hebat dibanding yang diakibatkan oleh teroris. Apalagi korupsi seperti terkesan dari rekaman KPK , sepertinya sudah merupakan hal yang lazim dan ini tidak hanya terjadi di pusat.<br />
Bila disepakati, Densus ini unsur-unsurnya bisa terdiri dari KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan. Dengan demikian tidak akan ada persaingan di antara lembaga-lembaga tersebut seperti yang terkesan selama ini.<br />
Diterima atau tidak usul saya itu, yang penting korupsi harus benar-benar diperangi . Tidak hanya dalam wacana belaka. Kalau tidak, saya khawatir dengan negeri yang rentan musibah ini akan menjadi lebih parah lagi.Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-38176251377071811832010-09-02T19:50:00.000-07:002010-09-02T19:50:10.157-07:00D. Zawawi ImranMENGATUR DIRI SENDIRI<br />
D. Zawawi Imran<br />
<br />
Manusia di bentuk oleh Allah menjadi seseorang. Seseorang itu tidak lain adalah diri. Seseorang yang berakal harus sadar bahwa ia tidak lain adalah dirinya sendiri. Dengan potensi yang diberikan Allah kepada "diri"nya ia bisa melakukan apa saja yang dia mau dan disukai. Meskipun demikian, manusia yang berakal sehat dan berakhlak, tidak dengan serta merta bisa berbuat sesuka hatinya (semau gue), karena kemulyaan manusia yang utama antara lain yaitu dengan akhlaknya, bagaimana ia berhubungan dengan Tuhan Pencipta dan berhubungan dengan sesama manusia. Apabila ia tidak menggunakan akhlak, ia akan berbenturan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai agama. Ketika akhlak sudah tidak dipakai, berarti manusia menjerumuskan dirinya kepada kehidupan tanpa nilai. Kehidupan tanpa nilai tidak lain adalah dunia kehidupan “binatang”.<br />
Di sinilah pentingnya manusia menolak cara hidup model “binatang” (homo homoni lupus), manusia adalah srigala bagi manusia lainya. Kehidupan saling cakar, saling bermusuhan dan hidup tanpa kasih sayang dan tanpa saling menghormati menjadi kebiasaan sehari-hari. Tidak ! sekali lagi tidak! Manusia adalah ahsanut taqwiim, sebaik-baik ciptaan Allah. Karena itu, harus berakhlak mulia sesuai dengan aturan-aturan Allah. Untuk bisa hidup mulia itu seorang manusia harus bisa mengatur dirinya. Itu artinya seseorang yang ingin hidup mulia dan sempurna harus bisa merencanakan masa depan yang baik. Tujuan hidup harus jelas arahnya, mau menuju kemana. Harus tahu apa yang akan ia lakukan besok. Karena yang paling berhak membawa diri seorang manusia tidak lain adalah dirinya. Antum A'lamu Bima fii Nafsik kamu lebih tahu tentang dirimu sendiri. Karena itu kamu tidak boleh pura-pura tidak tahu tentang dirimu, apalagi sengaja tidak tahu tentang dirimu. Mengabaikan diri sendiri sama dengan membiarkan diri sendiri menuju kesia-siaan, bahkan kecelakaan. <br />
Itulah pentingnya seseorang perlu mempelajari dirinya sendiri sampai ia benar-benar mengerti dirinya sendiri dan karakter dirinya sendiri. Kalau dirinya seorang pemarah, dia sendiri orang yang paling tahu bahwa dirinya pemarah. Kalau ia tahu bahwa dirinya pemarah, ia harus mencari kiat bagaimana mengubah karakter pemarah itu menjadi "si lembut hati".<br />
Kalau dirinya seorang kikir ia sendiri yang lebih tahu bahwa dirinya seorang kikir atau bakhil. Kemudian ia harus menempuh langkah apa untuk menyingkirkan sikap kikir yang ada pada dirinya?. Dengan demikian melakukan intropeksi diri dan mawas diri, adalah sebuah langkah terpuji untuk menuju langkah yang lebih konstruktif yang positif.<br />
Dalam kehidupan serba modern yang banyak tantangan seperti sekarang ini, mengembangkan pemahaman kepada dirinya serta kaitanya dengan perkembangan jaman sangatlah penting. Jika tidak bisa membaca diri, memberdayakan diri dan mengatur diri ditengah gelombang jaman, ia bisa tergilas oleh jaman itu.<br />
Manajemen diri yang dimaksud di sini ialah bagaimana membawa diri di atas jalur kebenaran yang dibentangkan Allah lewat ayat-ayat-Nya dan sunah Rasul-Nya. Untuk bisa menegakkan kecemerlangan pandangan dan kemampuan mengendalikan diri itu, perlu meneguhkan disiplin diri, antara lain melalui shalat. Jika shalat lima kali sehari itu dilakukan dengan khusuk, sekaligus sebagai upaya menegakkan istiqomah dalam melawan kemungkaran, manusia yang shalat lambat laun akan menemukan kecondongan hati untuk selalu senang dalam bertaat kepada Allah, sekaligus merasa jijik melakkukan dosa kemungkaran. <br />
Dalam kecerdasan kalbu yang seperti itu manusia akan mudah mengatur dirinya serta mudah untuk membawa dirinya menuju kebahagiaan dunia dan akhirat atas pertolongan Allah. <br />
Hidup yang hanya satu kali ini harus direncanakan dengan konsep keselamatan yang matang. Dalam membawa diri menuju kebahagiaan sejati, harus ada filter yang di gali, dari spirit shalat untuk menolak segala pengaruh yang menuju kecelakaan dan kehinaan.<br />
Mengendalikan tidak lepas dari rasa rendah hati yang membuat seseorang selalu minta tolong dan berdo'a kepada Allah. Sepandai-pandai orang mengendalikan diri, bila tanpa pertolongan Allah tidak mudah meraih sukses. Kalau pandai masih ada gurunya, tetapi keberuntungan tidak ada gurunya. Beruntunglah orang yang dekat dan taat kepada Allah. [] <br />
<br />
MENCERMATI GLOBALISASI<br />
Dulu, ketika sarana transportasi dan komunikasi masih sederhana keadaan tidak mudah seperti sekarang. Sebelum tahun 1974, saya yang tinggal di desa, kalau mau pergi ke kota biasanya naik sepeda, pinjam kepunyaan teman atau tetangga. Kalau tidak ada pinjaman sepeda harus jalan kaki ke pertigaan desa Andalang, yang jaraknya sekitar 6 Km. Kemudian naik dokar sejauh empat belas kilometer. Tetapi setelah masuknya kendaraan bermotor, alangkah mudahnya pergi ke Kota, baik dengan naik mobil maupun dengan naik sepeda motor.<br />
Dulu, sebelum televisi masuk ke Desa saya, orang-orang kampong jarang sekali bisa menatap wajah presiden dan para menteri, setelah televise masuk desa kami, orang-orang kampong bukan hanya tahu presiden dan para menteri tetapi juga tahu wajah bintang film Amerika berdarah Indian, Enie Estada, serta bintang film Rebeeca Killing. Dan sekarang, perawan-perawan kampong sudah bisa bergaya seperti cewek Jakarta atau gadis Eropa dengan belajar pada penampilan dan busana yang di tampilkan televisi.<br />
Dunia menjadi sangat sempit karena gedung WTC yang hancur di Amerika, satu jam kemudian bisa disaksikan anak nelayan di ujung timur pulau kangean dengan menonton pesawat televise. Di samping itu, anak-anak kampong nan jauh dari kota bisa melihat cara-cara berpacaran model kota besar. Itulah hal yang diberikan revolusi komunikasi kepada jaman kita sekarang ini.<br />
Globalisasi telah membuat jarak yang sagat jauh menjadi sangat dekat. Globalisasi dengan informasi lewat aneka macam media, baik melalui media cetak, media elektronik dan sarana komunikasi canggih lainya telah membuat orang-orang yang jauh berada dipelosok bisa diserbu oleh aneka macam berita dan informasi. Budaya kampong yang agraris pelan-pelan berubah kiblat kearah budaya metropolis. Hal itu bersamaan pula dengan bergesernya nilai-nilai rasa kasih sayang yang diatas kepada yang berada di bawah. Mulai menipis, demikian juga hormat dari yang dibawah kepada yang diatas terasa makin berkurang. Cinta kemanusiaan yang menjadi pembulat amat bagi persaudaraan terganggu oleh aneka macam kerusuhan, tawuran, fitnah dan bahkan korupsi yang menyengsarakan bangsa. <br />
Benarkah revolusi komunikasi telah mendatangkan jiwa manusia? Seorang futorolog, Alexis Carel menyatakan “dalam era maraknya komunikasi informasi, manusia akan diserbu oleh beraneka macam informasi yang masuk kedalam dirinya, sehingga mereka akan abai terhadap (keselamatan) hati nuraninya.”<br />
Hati nurani, sekali lagi “hati nurani” adalah karunia Allah yang paling berharga bagi manusia. Dengan hati nurani manusia bisa memelihara akal sehat untuk selalu berpikir positif dan kreatif. Dengan nurani manusia bisa menerima kebenaran yang datang dari Allah. Dengan nurani manusia bisa saling menghormati dan saling berkasih sayang sesama manusia.<br />
Tetapi hati nurani yang diabaikan seperti yang diprediksi Alexis Carel, akan mudah dikotori dan dicemari oleh sampah-sampah modernitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan rasa persaudaraan. Dalam atmosfir kehidupan seperti itu bisa mungkin sebagian orang akan lebih mengutamakan baca SMS atau nonton televisi dari pada membaca al-Qur’an atau pergi ke diskotik dan karaoke lebih penting daripada membesuk teman dekat yang sedang terlentang dirumah sakit. Uang milik yayasan bisa digunakan untuk memperkaya diri dari pada dengan rekan untuk mensejahterakan umat. <br />
Erosi akhlak yang seperti itu tentunya tidak bisa dibiarkan. Menyelamatkan dan merawat hati nurani adalah perjuangan yang harus di utamakan, Rasulullah saw bersabda; alqoimu bisunnati inda fasadi ummati lahu ajru sahid, artinya orang yang berpegang teguh pada sunahku, pada saat rusak-rusaknya umatku, baginya pahala seperti pahala orang yang mati sahid. Kiranya, apa yang disabdakan Rasulullah saw diatas perlu kita tanggapi secara positif agar diri kita tidak termasuk menjadi orang hanyut dan terombang-ambing dalam arus globalisasi, merawat dan menguatkan hati nurani dengan sikap “istiqomah” adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dan hati nurani. <br />
Tidak kalah pentingnya dari menyelamatkan diri yaitu menyelamatkan umat (masyarakat), caranya dengan menggiatkan dakwah keagamaan dan menyampaikan nilai-nilai islam secara mendasar sehingga terbentuk barisan takwa. <br />
Dalam barisan itu setiap orang punya tugas saling menyelamatkan antara yang satu dengan yang lain. Terbitnya majalah MAYAra dan majalah-majalah Islam yang lain, adalah wujud dari keinginan menyelamatkan umat dari virus-virus maksiat yang sangat berbahaya bagi umat Islam. Wallau ‘a’lam bishowab.<br />
<br />
<br />
PELAYANAN SEBAGAI SIMPATI UKHWAH<br />
Oleh : D. Zawawi Imron<br />
<br />
Pepatah lama mengatakan pembeli adalah “raja” maksudnya agar pembeli yang datang berbelanja ke warung atau ke toko kita agar diperlakukan, dilayani serta dihormati sebagai raja. Tujuanya tidak lain agar pembeli tadi senang hatinya ,karena senang dengan penghormatan dan pelayanan itu, kalau ia mau belanja tentu akan datang ke tempat itu lagi.<br />
Pada akhirnya, yang senang bukan hanya pembeli, yang punya tokopun akan senang karena akan banyak orang yang datang berbelanja ke tokonya. Dengan demikian, memberi pelayanan yang baik kepada orang lain akan menjadi kunci sukses.<br />
Sebaliknya kalau kita memberi pelayanan yang jelek, tutur bahasa tidak santun, wajah tegang dan tidak ramah, orang akan malas datang ketempat kita. Pada umumnya, para pembeli dan semua orang selalu menginginkan perlakuan dan pelayanan yang santun dan hormat. Karena itu, setiap orang yang berurusan dengan orang banyak, harus berupaya untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat atau orang perorang yang datang kepadanya. <br />
Dalam era modern, usaha perdagangan, birojasa dll selalu berusaha memberi kesenangan dan kenyamanan kepada semua pihak yang memerlukan produk usahanya. Sampai-sampai untuk menyenangkan para pembeli ada biro usaha yang dengan sengaja menampilkan wanita-wanita cantik yang disuruh selalu tersenyum agar image perusahaan itu menjadi sangat menarik.<br />
Tetapi kecantikan saja tanpa akhlak yang baik tidak akan mampu mendongkrak image yang baik. Pada kolom-kolom “surat pembaca” dikoran atau majalah sering terdapat keluhan dari konsumen yang tidak mendapatkan pelayanan yang baik meskipun pada petugas yang ada diperusahaan itu dipilih orang-orang yag berparas tampan atau cantik.<br />
Itu artinya, pelayanan yang baik terhadap masyarakat harus dikemas secara professional, pelayanan yang baik, sopan santun yang sesuai dengan akhlak akan membuat segala pelayanan akan diselesaikan dengan baik, tepat waktu serta sesuai dengan janji. Tanpa pelayanan yang baik, para pegawai yang tampan dan cantik hanya akan menarik sementara waktu, setelah mulai terasa merugikan kecantikan dan ketampanan itu hanya senilai bunga bangkai, warnanya indah dan menarik tetapi baunya membuat orang akan muntah.<br />
Dari sini kita perlu kembali pada akhlak mulia, bahwa pelayanan yang senilai dengan ajaran agama jauh dengan unsur penipuan hanya baik dalam penampilan tetapi merugikan dalam kenyataan.<br />
Jika pelayanan kepada masyarakat dan orang perorang itu berlandaskan kejujuran dan hati yang ikhlas, bahwa orang yang terbaik menurut Rasulullah saw adalah orang yang paling banyak manfaat, (jasa) nya kepada orang lain. Pelayanan yang baik yang bertumpu pada niat yang ikhlas karena Allah, Insya Allah akan menjadi bagian dari “rahmatan lil’alamin”.<br />
Karena itu, setiap muslim punya tugas yang sangat mulia untuk selalu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada siapapun. Pelayanan yang baik dan tulus untuk menggembirakan sesama manusia tentu akan tercatat sebagai amal saleh.<br />
Kenapa pelayanan harus dilaksanakan dengan hati yang tulus dan ikhlas? Pelayanan yang tidak didasari ketulusan hati, bisa sangat mungkin hanya sekedar untuk membuat orang tertarik, seperti sebagai iklan yang berteriak bombas, tetapi kenyataan yang didapat konsumen tidak sepadan dengan gemerlap lahiriah yang tampak.<br />
Tetapi pelayanan yang dilakukan dengan jujur dan sikap ikhlas, yang dikemas untuk menyenangkan dan membuat puas orang lain, akan menjadi tali asih perusahaan antara yang melayani dengan yang dilayani. Dari sini akan tumbuh benang sutera yang menjadi pengikat ukhwah karena antara yang melayani dan dilayani harus saling hormat-menghormati saling menguntungkan, dan jauh dari pulah saling merugikan.<br />
Jika pelayanan seperti itu yang selalu dirasakan umat, maka pihak yang melayani tidak perlu khawatir kesepian, karena setiap pelayanan yang benar-benar memuaskan, tentu akan menjadi bentuk iklan yang sangat dan segar sepanjang jaman.<br />
Pelayanan yang ikhlas karena Allah akan menjadi sampai ukhwah yang membuat hidup didunia ini terasa nyaman dan indah karena setiap insan selalu siap melayani dan menyenangkan orang lain. <br />
Kalau kita membuka kitab tarikh, bagaimana cara hidup nabi Muhammad saw melayani umat. Juga ketika beliu sebelum menjadi Rasul, berdagang dari negeri Syam dengan penuh kejujuran serta pelayanan yang baik kepada para pembelinya. Tak seorang pembelipun mengeluh setelah membeli dagangan beliau, karena beliau berdagang bukan semata-mata mencari keuntungan, tapi sebagai khalifah yang memenuhi keperluan umat.<br />
Setelah menjadi Rasulullah, masyarakat yang datang kepadanya selalu diterima dengan ramah dan senyum yang indah. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah sangat menghargai sesama manusia.<br />
Pemberian pelayanan publik yang baik, baik oleh perusahaan, toko, kantor pemerintah dll menunjukkan adanya penghormatan kepada manusia dan kemanusiaan, sebaliknya pelayanan yang mempersulit masyarakat, menunjukkan rendahnya rasa kemanusiaan serta rendahnya akhlak. <br />
<br />
<br />
MENGHORMATI MANUSIA<br />
<br />
Setiap manusia yang hidup di dunia ini tentu ingin hidup dengan penuh kesejahteraan dan kebahagiaan. Tidak ada orang ingin hidup tidak layak. Tetapi perlu kita renungkan bersama, apakah di dalam mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan itu kita harus dengan jalan menyakiti orang lain? Setiap tindakan dan perbuatan yang merugikan serta menyakiti orang lain adalah tindakan yang tidak menghormati manusia.<br />
Jadi ketika ada seorang terlukai dan menderita akibat perbuatan seseorang, maka perbuatan itu jelas menyakiti semesta kemanusiaan, menyakiti tidak dalam artian fisik saja, seperti memukul dengan tongkat, melukai dengan pisau, dll. Tetapi menyakiti hati manusia seperti menghina, memfitnah, menyebarkan keburukan orang lain termasuk juga menyakiti kemanusiaan.<br />
Untuk bisa menahan diri, tidak menyakiti orang lain ini dibutuhkan penghayatan yang mendalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang hasilnya akan berupa tindakan yang menghormati manusia. Dalam menghormati manusia ini akan lahir rasa persaudaraan (ukhuwah) yang membuat orang merasa senasib sepenanggungan, kalau yang satu sakit, perihnya akan dirasakan oleh yang lain. <br />
Penghayatan kemanusiaan dan rasa persaudaraan sesama anak cucu Nabi Adam dan Ibu Hawa seperti itu sangat diperlukan untuk membentuk atmosfer kehidupan yang damai tanpa permusuhan. Hal seperti itu perlu diperjuangkan sebagai perjuangan kebudayaan untuk menumbuhkan terbentuknya umat atau kelompok manusia yang berakal budi.<br />
Masyarakat yang berakal budi atau yang dalam bahasa agama disebut berakhlakul karimah adalah satu-satunya hal yang harus diperjuangkan apabila tatanan hidup sehat lahir batin benar-benar kita inginkan. Pendidikan keilmuan dan teknologi yang canggih tanpa disertai pendidikan budi pekerti yang luhur hanya akan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan yang pandai tetapi tidak punya dedikasi yang tulus dan ikhlas untuk membahagiakan serta menyejahterakan orang lain. Ilmu tanpa akhlak akan membuat pengetahuan itu sangat mungkin digunakan untuk menipu dan merugikan bangsanya dan orang lain. Ilmu tanpa penghayatan atau tanpa sensibilitas kemanusiaan akan membuat terbengkalainya tugas-tugas mulia untuk kebersamaan. Bisa kita lihat beberapa bukti; misalnya, kepandaian membuat bangunan yang indah di atas bukit-bukit, terbukti telah mengakibatkan gundulnya bukit-bukit dan timbulnya banjir yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Kepandaian seseorang dalam menguasai ilmu tentang atom, telah digunakan membuat bom atom yang memusnahkan manusia. <br />
Kenapa bisa terjadi seperti itu? Karena orang-orang yang pandai tidak punya nurani yang jernih untuk memberi ruang kasih untuk sesama manusia. Yang terjadi adalah pendangkalan ruhani. Bahaya dari pendangkalan ruhani itu akan membuat seseorang keluar dari kodrat kemanusiaanya sehingga hidupnya penuh kekerasan dan kebuasan seperti yang terdapat pada kehidupan binatang. Allah swt telah berfirman,<br />
<br />
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Qs.al-A’râf: 179)<br />
<br />
Kalau kita renungkan firman Allah di atas, betapa pentingnya manusia itu menjaga akal sehatnya, menjaga tindakan-tindakanya agar tetap mulia sebagai manusia yang berakhlak, tidak jatuh terpuruk hanya setingkat dengan binatang akibat perbuatan-perbuatan yang tidak bermoral seperti yang dilakukan oleh binatang. <br />
Tanpa moral dan akhlak, tidak akan ada penghormatan yang tulus kepada manusia-manusia lain. Dan akibatnya tidak lain, hidup di dunia tidak ada persaudaraan dan kebersamaan. Antar manusia akan saling cakar, saling fitnah dan saling menjatuhkan. Padahal dalam jiwa yang bertumpu pada akal budi, punya musuh seorang terasa sangat banyak, dan teman seribu masih sangat kurang. <br />
Itu artinya, dalam jaman seperti apa modernya, yang bernama akhlak kemanusiaan itu sangatlah penting. Bahkan diutusnya Nabi Muhammad saw adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, sebagaimana yang disabdakan.<br />
<br />
"Aku ini diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak manusia”. <br />
<br />
Mengupayakan kembalinya hidup berakhlakul karimah di tengah-tengah pergaulan dan kehidupan, kiranya perlu juga mulai dirancang dan dicanangkan pendidikan yang memberi ruang luas untuk mengembangkan budi pekerti. Pendidikan yang dimaksud bukan sekedar berupa wacana dan doktrin tentang akhlak tetapi beda dalam bentuk menanamkan budi pekerti itu ke lubuk jantung anak didik, sehingga akan bisa berurat-berakar menjadi spirit untuk menghormati manusia dan kemanusiaan serta untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran.<br />
<br />
Manusia sebagai khalifah<br />
D zawawi imran<br />
<br />
Allah berfirman "laqad khalaqnal insaana fi ahsani taqwim", artinya "sungguh kami (Allah) menciptakan manusia itu dalam keadaan sebaik-baik ciptaan" itu artinya manusia sebagai ciptaan Allah merupakan makhluk yang termulia. Kemuliaan itu bisa diperhatikan bahwa manusialah yang secara nyata bisa menjadi aktor kehidupan di atas bumi. Bahkan manusialah yang bisa menguasai bumi dengan isinya. Istilah menguasai barangkali kurang tepat, karena ada istilah dari Allah yang menyatakan bahwa manusia itu adalah "khalifah" yaitu petugas Allah untuk merawat dan menjaga kehidupan di atas bumi ini. Dalam surat hud ayat 6, Allah menyatakan pula bahwa manusia diciptakan dari bumi (tanah) dan ditugaskan Allah untuk memakmurkan bumi.<br />
Untuk bisa memakmurkan bumi itu, menusia memerlukan ilmu, mulai dari ilmu bercocok tanam sampai dengan ilmu-ilmu canggih untuk bisa mengolah hasil bumi itu. Ilmu mengolah batu menjadi semen, mengolah tumbuh-tumbuhan untuk menjadi obat, mengebor bumi untuk menemukan air, minyak dan lain-lain. Sehingga kebutuhan hidup manusia di dunia ini bisa dipenuhi bersama.<br />
Degan demikian menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang diniatkan untuk kesempurnaan hidup manusia di dunia ini tidak lain sebagai wujud dari tugas tugas kekhalifahan. Tanpa ilmu, manusia sulit untuk menjadi khalifah dalam arti yang sebenarnya. Dalam hal ini Allah berfirman, "yarfa'illaahulladzina aamanu minkum walladzina 'uutul'ilma darajat" artinya Allah akan mengangkat orang-orang beriman diantara kamu yang berilmu dengan derajat yang tinggi.<br />
Merenungkan firman Allah di atas, jelas bahwa ilmu adalah sarana untuk mendapatkan harkat dan derajat yang tinggi di dalam penilaian Allah. Buktinya, memang orang-orang berilmu pengetahuan yang membuat orang bisa mengelola bumi dan isi bumi ini dengan baik. Orang yang mempunyai ilmu tentang pesawat terbang, berarti telah membantu kehidupan kemanusiaan untuk mempermudah dan mempercepat transportasi dari satu kota ke kota lainnya dengan jarak tempuh yang lebih cepat ketimbang jalan kaki atau naik unta. Eksperimen para ilmuwan dalam dunia pertanian telah menghasilkan padi yang bisa dipanen dalam waktu 3 bulan, yang dulunya membutuhkan waktu 6 bulan.<br />
Semua upaya memenuhi kebutuhan manusia itu tidak *lain merupakan wujud dari tugas "khalifah" sebagaimana yang dikehendaki Allah. Ulama besar pakistan pada awal abad ke-20, Maulana Muhammad Iqbal melukiskan manusia khalifah itu dalam salah satu modal puisinya,<br />
<br />
Tuhan, engkau yang membuat malam gelap gulita<br />
Dan aku yang bertugas menyalakan lampu benderang<br />
Engkau yang membuat hutan belukar<br />
Dan aku yang mengubahnya<br />
Engkau yang membuat batu<br />
Dan aku yang mengasahnya menjadi permata yang kemilau<br />
Engkau yang membuat racun<br />
Dan aku yang mencari obat penawar<br />
<br />
Dalam puisi yang indah di atas jelas sekali tugas manusia sebagi khalifah harus benar-benar sadar akan tugasnya bahwa hidup ini harus yang bermanfaat. Artinya hidup di dunia ini harus digunakan sebaik-baiknya untuk bertanggung jawab bisa berbuat sesuatu yang berguna dan bermakna bagi kehidupan manusia lain. Kalau berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kemanusiaan itu dilakukan dengan "karena Allah" maka permbuatan kekhalifahan itu akan tercatat sebagai "amal shaleh" yang berhak untuk mendapatkan balasan kebaikan kelak di akhirat. <br />
Dengan demikian, tugas “khalifah” yang diamanahkan Allah kepada manusia itu harus benar-benar disadari dengan penuh tanggung jawab. Jika tidak, hidup di dunia ini akan menjadi sia-sia, dan tidak bermakna.<br />
Nilai hidup yang bertentangan jiwa “khalifah” ialah bila ia hidup di dunia ini digunakan merusak dan merugikan orang lain. Hidup yang digunakan untuk merusak hutan, mencemari sungai dengan limbah, membudayakan perzinaan, meramaikan pesta narkoba, menghalangi orang berbuat baik, memprofokasi kerusuhan dll, adalah cara hidup yang melecehkan kemanusiaan. Semua itu adalah perbuatan yang tidak pantas diperbuat oleh manusia beriman dan berakhlak sehat.<br />
Dengan demikian, betapa pentingnya membangun dan membudayakan akal sehat yang berintikan iman kepada Allah, untuk membudayakan etos “khalifah” yaitu akhlak untuk merawat bumi dan kehidupan ini dengan pengolahan yang benar dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.<br />
Jika tidak, meskipun manusia itu makhluk yang mulia tetapi karena mengingkari tugas “khalifah”, Allah mengancam: “……tsumma radadnahu asfala safilin, artinya, “manusia yang ingkar itu akan diturunkan derajadnya dengan serendah-rendahnya derajad”. Mengingkari tugas “khalifah” itu akan membuat hidup di dunia ini menjadi sia-sia dan tidak berguna. Buat apa datang ke dunia kalau hanya untuk mendapat nilai hampa.<br />
Karena itu, setiap manusia perlu disadarkan jiwanya untuk mengangkat kembali tugasnya yang mulia, yaitu tanggung jawab kekhalifahan untuk bisa bersama-sama mengisi kehidupan dengan perbuatan-perbuatan yang membuat semua kebutuhan hidup manusia yang satu untuk membahagiakan yang lain.<br />
Itu artinya, tugas kekhalifahan tidak hanya berupa tugas fisik saja. Untuk bisa punya etos kerja yang baik, kita perlu membangun jiwa yang bertanggung jawab langsung kepada Allah. Tanggung jawab kepada Allah itulah yang akan membuat seseorang manusia akan merasa “malu” kepada Allah kalau tidak berbuat sesuatu yang berarti buat dirinya dan buat kemanusiaan.<br />
Jiwa yang “ihsan”, yang selalu merasa diperhatikan oleh Allah, akan membuat seseoarang menjadi rajin berbuat atau beramal sholeh untuk kesejahteraan bersama. []<br />
<br />
<br />
Apresiasi Kemanusian<br />
<br />
Kalau kita berpikir dengan kejernihan hati nurani, akan tampak bahwa seluruh manusia yang lahir di pelosok bumi, di wilayah mana mereka tinggal, sebenarnya punya “rasa” dan “perasaan” yang sama. Akan tertawa kalau gembira, akan menangis atau sedih kalau dilanda penderitaan. Akan senang kalau dihormati dengan hati yang jujur dan sebaliknya akan marah kalau diganggu atau disakiti secara semena-mena.<br />
Dalam agama, seluruh umat manusia itu disebut sebagai ”Bani Adam”, anak cucu Nabi Adam. Kalau semua sama-sama keturunan Nabi Adam tentu saja semua adalah bersaudara. Dari sinilah berkembang rasa ”ukhuwah” atau ”persaudaraan”. Persaudaraan adalah sikap merasa saling mencintai sehingga satu sama lain tidak saling mengganggu dan saling merugikan. Allah berfirman dalam al-qur’an ”Kanan nâsu ummatan wâhidah", manusia itu adalah umat yang merupakan satu kesatuan. Satu kesatuan, berarti satu kelompok besar yang tidak patut bercerai-berai apa lagi bermusuh-musuhan.<br />
Hal di atas dipertegas oleh firman-Nya "Yâ ayyuhannâs inna khalaqnâkum min dzakarin wa untsâ wa ja'alnâkum su'ûban waqabâila lita'ârafû, inna akramakum 'indallâhi atqâkum". Wahai manusia, Kami (Allah) menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berpuak-puak dan bersuku bangsa agar kamu saling kenal-mengenal (saling mengerti). Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kamu.<br />
Pada ayat di atas, jelas sekali bahwa Allah menghendaki manusia itu untuk saling mengenal dan saling mengerti. Dalam saling mengerti tentu perlu apresiasi kemanusiaan, bahwa kalau diri ini dicubit orang merasa sakit, maka rasa kemanusiaan yang muncul dari hati nurani pasti tidak membolehkan menyakiti orang lain. Kalau kita menyakiti seorang manusia, baik dengan menipu, memukul, memeras dan membunuh berarti kita menyakiti kemanusiaan. Menyakiti orang lain adalah bentuk nyata dari mengkhianati kemanusiaan, karena seluruh umat menusia hakikatnya satu. <br />
Nabi Muhammad saw adalah teladan yang baik dalam menghormati manusia dan kemanusiaan. Meskipun ia seorang rasul dan nabi, dalam pergaulan sehari-hari ia tidak pernah minta diperlakukan dengan penghormatan yang berlebihan kepada para sahabat dan umatnya. Kalau ia menyuruh umatnya bershalawat kepadanya, karena si pembaca shalawat itu akan mendapat anugerah 10 kali shalawat dari Allah swt. Jadi shalawat akan terpulang kepada si pembaca shalawat itu sendiri. <br />
Pada saat yang lain Rasulullah datang menziarahi kubur seorang perempuan desa yang sering membersihkan masjid, serta melakukan shalat ghaib di samping pusara. Pada saat yang lain lagi Rasulullah pernah mencium tangan seorang desa yang melepuh karena habis mencungkil tanah yang dijual untuk nafkah keluarganya. Tangan yang bekerja untuk mendapat rizeki halal itu adalah tangan yang mulia menurut Islam.<br />
Setiap orang beriman yang cinta kepada sunnah rasul tidak menganut faham feodalisme yang membagi-bagi manusia dengan kelas-kelas. Karena di hadapan Allah yang menentukan seseorang itu bukan atribut, pangkat, kekayaan dan gelarnya, tetapi ukuran kamuliaan itu berdasarkan ketakwaannya. Semakin mendalam iman dan rasa takwanya serta semakin banyak amal shalihnya akan semakin mulia dalam penilaian Allah.<br />
Walau seorang penyabit rumput, tukang becak, atau buruh tani, namun kehidupan sehari-harinya penuh kepatuhan terhadap Allah, maka mulialah di sisi Allah. Orang yang kaya dan orang yang berpangkat yang takwa juga akan mulia di sisi Allah.<br />
Dari apresiasi kemanusiaan seperti itu kita perlu memperdalam pemahaman tentang indahnya persamaan dan kebersamaan. Alangkah indahnya jiwa yang jernih, yaitu selalu memandang semua manusia itu dengan kedudukan yang sama dengan diri kita. Dari pandangan seperti itu tidak akan muncul sikap sombong, merasa benar sendiri, egois, dan sebagainya. Beragama yang benar akan menghormati manusia lain sesuai dengan amanah Allah. Dari rasa persamaan dan kebersamaan itulah akan menjadikan masyarakat yang rukun, damai, santun sarta saling menghormati. <br />
<br />
<br />
Memandang Pendapat Orang Lain<br />
Setiap manusia memang diberi akal pikiran oleh Allah swt. Pikiran itulah yang membuat manusia menjadi makhluk yang cerdas dan bisa mengupayakan hidupnya menjadi jauh lebih mulia dari makhluk ciptaan Allah yang lain.<br />
Namun karena luasnya pikiran dan hasil pemikiran itu, muncul cakrawala pemikiran yang berbeda. Dalam memandang satu masalah, kakak dan adik bisa berbeda, ayah dan anak kadang tidak sama. Hal itu tidak lain merupakan anugerah Allah bagi manusia agar hidup di dunia ini ada variasi-variasi. Dengan aneka ragam pemikiran itu, cakrawala kehidupan menjadi kaya makna dan banyak pilihan sehingga bisa diibaratkan aneka macam bunga yang beraneka ragam warna mekar bersama dalam sebuah taman.<br />
Pemandangan seperti itu ternyata bukan hanya dalam pemikiran dan keilmuan saja. Bermacam bangsa dan suku bangsa saja bahasanya tidak sama. Karena masing-masing mempunyai bahasa sendiri. Bahkan wajah manusia satu sama lain tidaklah sama. Dua orang yang bersaudara kembar yang selintas dipandang terasa persis pinang dibelah dua, setelah diteliti dengan cermat, ternyata masih ada perbedaannya.<br />
Perbedaan seperti itu kalau direnungkan secara mendalam menunjukkan betapa Mahakaya Allah Rabbul ’alamin dalam menciptakan makhluknya di dunia ini. Memandang konsep penciptaan makhluk yang ”mahakaya” seperti itu, jiwa yang cerdas akan merasa kecil di hadapan Allah dan kemudian akan tunduk bersujud kepada-Nya. Manusia yang sadar akan ”kebesaran” dan ”kekuasaan” Allah bukannya semakin merasa hebat tetapi semakin merasa dhaif (lemah) di hadapan Allah. Kalau ia punya ilmu dan pengetahuan pasti akan dipandang sebagai anugerah Allah. Karena itu tidak akan ada kesombongan dan merasa benar sendiri.<br />
Dalam pepatah Minangkabau ada kearifan ”ilmunya padi, semakin berisi semakin merunduk.” Itu artinya, manusia semakin berilmu bukannya semakin gagah dan congkak tetapi semakin sadar akan kelemahan dan kekurangan dirinya. Tentu saja karena senang berintrospeksi sehingga menjadi orang yang rendah hati (tawadlu).<br />
Orang yang tawadlu akan merasa malu kepada Allah dan kepada manusia untuk membusungkan dada dengan sikap congkak, karena apa yang ada pada dirinya tidak lain adalah karunia Allah bukan kekuatan dan kekayaan yang murni dari dirinya sendiri. Orang yang rendah hati seperti itu tidak akan mudah melecehkan dan menyalahkan orang lain. Orang yang berhati-hati dan tidak sembrono, ketika melihat orang lain berbeda dengan dirinya, ia bukan segera menyalahkan orang lain tetapi dengan tangkas ia segera mengoreksi hasil pemikirannya sendiri, siapa tahu yang benar bukan dirinya tetapi orang lain yang bertolak belakang dengan dirinya.<br />
Itu artinya dalam proses berpikir dan menghasilkan buah pikiran bukan hanya diri sendiri yang berhak meraih kebenaran, orang lain pun punya kesempatan dan berhak benar seperti diri kita. Lalu kenapa atau ada banyak orang lain yang pikirannya berbeda dengan kita? Orang lain punya akal dan pikiran, dan punya jalan berpikir, sudut pandang, latar belakang, pengalaman yang berbeda dengan kita.<br />
Ketika saya hanya memberi runag buat diri sendiri dan tidak mau tahu sudut pandang orang lain, saya akan terpelosok pada subjektifitas. Dalam kondisi pikiran yang sempit seperti ini yag benar adalah hasil pikiran saya sendiri. Hasil pikiran orang lain semuanya salah. Sikap seperti ini yang tidak mau memandang keluasan cakrawala pikiran orang lain, bisa menjebak saya pada egoisme. Yang menyedihkan pikiran saya yang sempit seperti itu akan bertemu dengan pepatah, ”katak yang belum pernah melihat laut akan menganggap sumur tempat ia berenang itu luas sekali.”itulah pentingnya kita belajar berlapang dada dalam memandang pendapat orang lain. Bukan setiap orang lain yang berbeda dengan kita harus kita anggap sebagai musuh, karena orang beriman tidak mencari musuh. Nabi Muhammad tidak pernah mencari musuh, namun karena ia dimusuhi, maka harus melawan. Dan ketika musuh kalah, ia tidak melakukan balas demdam.<br />
Itulah pentingnya hati yang luas dan dibersihkan dari sikap congkak dan takabbur, agar bisa menghargai orang lain bahwa orang lain kalau dikehendaki Allah bisa lebih cerdas dan cepat menemukan kebenaran daripada kita. Semoga kita diberi kecermatan oleh Allah, untuk tahu kesalahan pikiran kita sendiri. <br />
<br />
Simpati Dan Empati<br />
Manusia tidak hanya terdiri dari jasad atau fisik saja. Kalau melihat manusia dari fisiknya saja, yang terjadi dari susunan daging, tulang, darah dan lain-lain, manusia tidak banyak beda dari binatang. Tapi lebih dari itu, manusia juga mempunyai ruh, jiwa atau batin. Dengan jiwa itulah manusia bisa menata hidup jauh lebih cerdas dan mulia dari binatang.<br />
Manusia juga punya nafsu. Kalau hanya nafsu makan, nafsu untuk kawin, saya kira tidak masalah, justru dengan makan dan kawin itulah manusia bisa merasakan nikmatnya dunia. Tetapi jika nafsu itu tidak dikendalikan, bisa saja terjadi keserakahan, kebuasan, tindakan-tindakan merugikan yang lainnya.<br />
Di sinilah pentingnya perawatan dan pemeliharaan jiwa atau ruh itu agar tetap setia kepada jati diri kemanusiaan. Rohani atau jiwa yang kuat (dekat dengan Allah) akan bisa mengemudikan hawa nafsu. Karena itu iman, takwa kepada Allah menjadi sangat penting dijaga dengan baik agar jasmani (tubuh) tidak dikuasai oleh hawa nafsu.<br />
Dari pemahaman ini manusia akan mendapatkan sedikit kemudahan untuk memahami dirinya dengan penuh mawas diri. Karena manusia adalah makhluk sosial, perlu juga memahami orang lain agar terjalin hubungan kemanusiaan untuk menuju kebersamaan dan saling menghormati. Dari perspektif inilah manusia saling mengerti akan mudah dirintis sehingga terjadi kerukunan dan persaudaraan abadi. Sehingga dunia ini menjadi tempat yang damai bukan menjadi tempat bermusuhan.<br />
Yang perlu kita pahami, bahwa orang lain; apakah ia saudara, family, teman, serta semua manusia, sebenarnya punya perasaan yang sama dengan kita. Mereka punya rasa lapar, ingin hidup sejahtera, akan susah mendapatkan cobaan penderitaan, akan senang bila mendapat keuntungan, dan lain-lain. Orang lain juga punya hak untuk mandapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan seperti kita. Kalau milik mereka kita ambil tanpa ijin pasti akan marah.<br />
Jika apa yang terdapat pada mereka ukurannya sama dengan yang ada dalam diri kita, kemudian kita gunakan mata hati yang jernih, pasti kita tidak ingin menyakiti mereka. Bahkan kalau simpati kita bisa kembangkan menjadi “empati”, pastilah kita akan berupaya untuk selalu menyenangkan dan berusaha untuk membahagiakan mereka.<br />
Jika kita meneliti sejarah, sikap dan tindakan memberi kesejahteraan dan membahagiakan orang lain itulah yang sehari-hari yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Di mana saja nabi Muhammad berada; di rumah, di jalan, di masjid, di pertemuan, ia selalu menjadi orang yang selalu menebar senyum keramahan dan menyenangkan orang lain.<br />
Kenapa selalu begitu? Karena ia diutus Allah sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi alam semesta. Bahkan tumbuh-tumbuhan, binatang yag tidak diperlukan untuk dimakan pun tidak akan mendapat gangguan dari nabi kita. Kalau nabi melakukan perang bukan karena haus darah, tetapi peperangan itu dilakukan untuk membela kebenaran. Karena diserang oleh orang-orang yang tidak suka kepada agama Allah. Hal itu dibuktikan ketika “Penakhlukan Mekkah”. Nabi Muhammad melarang melukai dn membunuh musuh (orang kafir Quraisy) yang telah menyatakan takluk. <br />
Dari sekilas paparan di atas menjadi jelas, betapa pentingnya setiap muslim itu memahami orang lain dengan jiwa yang damai dan pikiran yang jernih. Manusia lain punya keinginan untuk selamat. Karena itu pikiran yang sehat akan berupaya menyelamatkan orang lain. Pikiran jernih seperti itu akan memandang manusia lain sebagai saudara dengan saling bantu dan saling melindungi dengan getar kasih sampai ke redang jiwa yang paling dalam. <br />
Untuk itu setiap manusia memerlukan rohani yang jernih atau hati yang bersih yang membentuk akhlak yang indah. Yaitu akhlak yang sesuai degan yang diajarkan Allah melalui contoh-contoh yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Hati yang bersih itu harus bisa diupayakan dengan banyak mengingat Allah swt. []<br />
<br />
<br />
MANUSIA DAN AGAMA<br />
<br />
Memahami orang lain adalah sebuah cara untuk mendekati anak cucu Nabi Adam secara lebih manusiawi, tidak memahami orang lain akan menyulitkan kita untuk melakukan hubungan {interaksi} sebagai makhluk sosial. Tidak adanya upaya untuk memahami orang lain akan mengakibatkan salah paham dan tidak adanya saling mengerti.<br />
Dengan demikian, upaya memahami orang lain adalah bagian penting untuk menggalang kebersamaan,saling menghormati,bahkan saling melindungi satu sama lain<br />
Setelah kita tahu manusia sebagai makhluk sosial yang beradab tentu perlu ditingkatkan memahami orang lain sebagai makhluk religius, yaitu manusia yang punya kesadaran tentang adanya Dzat yang sangat dekat dengan dirinya, yang memberi hidup, memberi rizqi, yang mengatur peredaran darah keseluruh tubuh serta menjaga detak jantung baik ketika kita jaga maupun ketika diri kita sedang tidur.<br />
Nah, kedekatan jiwa seorang manusia dengan Sang pencipta itu tak lain merupakan kecerdasan yang menuju kemulian jiwa dan ketinggian martabat manusia sebagai “insan religius” dan lebih dari itu sebagai insan agama yang dengan kedekatanya pada Sang Kholiq {Allah}, ia selalu enjoy melaksanakan syariat agama.<br />
Artinya ia melaksanakan syariat agama bukan karena dipaksa, diancam dan ditakut-takuti- karena tidak ada paksaan dalam agama tapi benar-benar karena Allah sekaligus ingin selalu bersyukur kepada Allah. <br />
Orang beragama seperti itu tentu sangat menikmati agama serta selalu berusaha agar selalu dalam tindak lakunya serta perbuatan sehari-harinya selalu selaras dengan agamanya. Bahkan orang seperti itu bisa menemukan dan menghisap nikmatnya beribadah kepada Allah.<br />
Kesadaran dan kecerdasan seperti itu dapat dikategorikan sebagai kesadaran tertinggi, puncak akal yang telah merasa pas bertuhankan Allah SWT Robbul alaamiin. Itulah kekayaan hati manusia yang selalu dalam wilayah pencerahan.<br />
Berada dalam masjid seperti merasa berada di dalam majlis yang penuh dengan pencerahan hidayah Allah. Pergi ke majelis pengajian seperti merasa mengisi dada dengan ilmu Rasulullah dan ajaran-ajaran Allah, mencari nafkah di pasar atau di sawah tidak hanya sekedar mencari makan, tetapi merasa sedang mencari rahmat Allah yang diupayakan dengan penuh doa dan pengharapan terhadap ni’mat Allah. Datang bersilaturrohim kerumah famili atau teman dirasakan sebagai upaya menguatkan ukhuah islamiyah seta memantapkan rasa kasih sayang di bawah panduan hidayah Allah.<br />
Beragama seperti itu tentu akan banyak mengandung hikmah, sehingga manusia yang mampu melaksanakanya akan bisa memaknai hidupnya bukan hanya dalam bentuk pengertian tetapi lebih dari itu memaknai hidup dengan amal sholeh yang nyata, berupa perbuatan yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Ingat! sabda Rasulullah SAW ” Khoirunnas Anfauhum Linnas” sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.<br />
Memandang orang lain dengan kaca mata agama akan menghasilkan pandangan yang indah, bahwa manusialain itu tidak lain adalah saudara kita sesama anak cucu Nabi Adam. Kalau mereka sakit tugas kita untuk menolong dan membantu penyembuhannya. Kalau mereka jujur, pandai, adil serta amanah akan kita pilih sebagai pemimpin kita. Kalau satu ketika ia berbuat keliru kita tegur dengan bahasa yang santun sehingga ia sadar akan kesalahannya.<br />
Seorang yang telah memeluk agama dengan penuh yakin dan patuh, tidak lain adalah guru dan teladan kita dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu setiap orang yang ingin bergama secaara benar tidak dapat hidup sendirian tanpa pergaulan dan persaudaraan kepada tetangga dan seluruh manusia. Dalam pegaulan itu kita membuka mata dan akal pikiran untuk melihat kehidupan serta berkaca pada perilaku orang-orang sholeh dan kemudian kita berteladan pada kesholehannya, tak kalah pentingnya bersahabat, berguru pada orang shaleh, ikut pengajianya agar pelaksanaan hidup dan keagamaan ada yang membimbing dan tidak berjalan dalam kebingungan.<br />
Dalam persaudaran yang berdasar iman, Allah menjadi milik bersama kaerena memang Allah milik bersama, menjadi tidak ada alasan bagi kita untuk menyakiti sesama orang yang beriman. Nabi Muhammad SAW bersabda,”Orang mukmin satu dengan yang lainya bagaikan satu bangunan yang satu akan menguatkan yang lainya.” Karena itu sesam orang mukmin jangan sampai bercerai-berai. <br />
<br />
Guru Yang Sejati<br />
<br />
Sehabis shalat dzuhur di Sumenep, saya harus buru-buru naik becak menuju terminal untuk naik bus patas ke Surabaya, karena malamnya saya harus mengisi acara di Surabaya. Tiba di Terminal, bus patas ternyata tidak ada. Kalau naik bus biasa, saya kahawatir terlambat tiba di Surabaya. Belum lagi soal macet karena antre naik kapal yang kadang berjejal di dermaga Kamal.<br />
Maka segera saya putuskan naik mobil plat kuning saja sampai ke Pamekasan di terminal Pamekasan saya beruntung, ada kol yang khusus membawa penumpang langsung ke Kamal, jadi tidak menurunkan dan menaikkan penumpang di jalan. Saya naik dan mendapat tempat duduk di samping sopir. Setelah penumpang penuh, pada siang yang terik itu mobil yang saya tumpangi segera meninggalkan Pamekasan. <br />
Wajah sopir itu jernih meski tidak ganteng. Umurnya kira-kira menjelang 50 tahun. Entah mengapa, hati kecil saya ingin sekali beramah tamah dengan pak Sopir itu.<br />
“Ini keberangkatan yang keberapa kali, pak?”tanya saya.<br />
“Ini yang pertama,” jawabnya ramah.<br />
“Lo, tadi pagi berarti tidak ke Kamal?”<br />
“Kalau pagi, yang nyopir orang lain. Saya hanya nyopir siang hari. Kalau pagi saya mengajar.”<br />
“O, jadi anda seorang guru?” Tanya saya agak heran. Dan saya tidak sempat bertanya, dia mengajar SD atau SMP.<br />
“Benar, Pak, saya guru. Anak saya tiga Pak, dua sudah kuliah di Malang, kalau tidak ‘umega’ seperti ini, mana mungkin bisa membiayai anak, apalagi anak yang tertua kuliah di swasta.”<br />
“Umega itu apa?” Tanya saya.<br />
“Ah, masa Bapak tidak tahu?”<br />
“Sungguh baru sekarang saya mendengar istilah itu.”<br />
“Itu sudah popular bagi kami yang senang ngobyek. Umega itu akronim dari usaha menambah gaji.”<br />
Saya tersenyum, tapi juga terharu. Pak Sopir yang sebenarnya Pak Guru ini, ternyata seorang pejuang untuk kesejahteraan dan masa depan anak-anaknya. Dari perkawinan dengan isterinya, dia telah membuahkan beberapa orang anak. Anak itu dia terima sebagai amanah Tuhan kepadanya untuk dijadikan manusia yang baik. Dia ingin anaknya cerdas dan berbudi, untuk itu dia sekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. Sebuah tanggung jawab telah dia tegakkan; sebagai seorang ayah, sungguh mulia hatinya. Sebenarnya, dia pahlawan bagi anak-anaknya.<br />
“Kalau begitu, Bapak pantas bersyukur kepada Tuhan,” kata saya. “Dengan bekerja menyetir mobil seperti ini berarti Bapak menyukai rezeki yang halal.”<br />
“Ah, Bapak terlalu memuji,” elaknya.<br />
“Sungguh, Pak,” ujar saya dengan jujur.<br />
“Saya tidak teramat yakin, bahwa saya ini orang baik-baik. Siapa tahu kalau saya bekerja di tempat yang basah, iman saya jadi goyang, sehingga saya mau mencuri juga.”<br />
Ucapanya yang terakhir ini benar-benar mengagetkan saya. Ucapan itu mengandung pelajaran kepada diri saya, agar diri ini tidak mudah mengejek dan mengumpat orang yang telah terjerumus melakukan haram, dan hal-hal yang tercela. Lebih-lebih agar tidak merasa diri sok suci dan lebih bersih dari orang lain, meskipun selama hidup selalu menempuh jalan yang lapang.<br />
Kalau ada orang berbuat keburukan, tentu bukan orangnya yang saya benci, tetapi perbuatanya yang harus saya benci agar diri tidak ingin terhanyut untuk meniru melakukannya. Sedangkan orangnya; perlu kita kasihani. Kalau perlu, kita beri nasihat yang baik agar dia berhenti melakukan kebusukan itu. Bentuk kasihan terhadap orang yang berbuat dosa, bukan membiarkanya sampai lebih banyak lagi bergelimang dosa. <br />
Dari sudut budaya, Pak Sopir itu ternyata bukan hanya guru di sekolah saja, tetapi dia guru dalam kehidupan nyata sehari-hari. Sambil nyetir mobilnya untuk menuju kota tujuan, dia juga menyetir hati saya untuk menuju kebahagiaan yang sejati. Dia telah turut menyemarakkan jalan menuju hakikat hidup dengan cara yang sederhana.<br />
Satu hal yang sulit saya lupakan ialah kearifannya terhadap hidup, bahwa berbahagialah orang yang mentalnya belum seberapa kuat dan mendapat pekerjaan di tempat yang di dalamnya tidak ada barang yang dicuri.<br />
Tentu lebih bahagia lagi orang yang imannya memang kuat, meski ia bekerja di tempat yang bergelimang uang, dan banyak kesempatan untuk korupsi, dia akan tetap bersih. Dengan imannya yang kuat, dan dengan sikap ihsan yang meresap, dia akan merasa malu kepada Allah untuk berbuat yang melanggar hukum Tuhan.<br />
Tiba di terminal Kamal, saya turun untuk pindah ke kapal Feri yang menuju Surabaya. Saat membayar ongkos. Saya sempat menikmati kejernihan wajah Pak Sopir yang penuh kearifan. Senyumnya begitu ikhlas, dan terima kasihnya diucapkan dengan suara tenang yang mengandung kejujuran.<br />
Di terminal itu pak Sopir yang guru atau Pak Guru yang sopir itu lalu membaur dengan sopir-sopir yang lain atau dengan orang-orang kebanyakan. Hari itu saya benar-benar bertemu dengan seorang guru yang “maha guru”.[]<br />
<br />
<br />
Pendidikan Akhlak Lewat Kisah<br />
D Zawawi Imran<br />
<br />
Di Indonesia dulunya, dongeng merupakan cerita yang hidup di tengah-tengah masyarakat agraris. Bila bulan purnama datang dengan bentuknya yang bundar keemasan, anak-anak menggelar tikar di halaman rumah. Nenek atau kakek mendongeng di atas tikar dengan dikelilingi oleh cucunya. Kemudian angin sepoi bertiup mendesirkan daun-daunan. Sungguh, peristiwa yang romantis! Pada saat seperti ini, kerekatan dan kekerabatan menemukan bentuknya dengan berintikan jalinan kasih sayang antara generasi tua dan generasi penerusnya. Dongeng yang kadang-kadang berupa fable yang mengisahkan tentang satwa akan sangat membantu rasa sayang pada binatang dan juga cerita tentang manusia yang bisa menjadi contoh teladan bagi kehidupan. Tidak kurang pentingnya adalah cerita tentang para rasul dan nabi serta ketauladanan para sahabat yang mulia. Cerita-cerita yang mengandung ajaran akhlak mulia seperti itu sangat dibutuhkan untuk membentuk kepribadian anak-anak dan para santri. Bahkan dalam pengajian-pengajian kisah teladan yang mengandung hikmah perlu disampaikan untuk memberi pencerahan.<br />
Dalam penelitian, dongeng ternyata menyimpan banyak kearifan moral yang bisa mengetuk dunia rohani manusia, termasuk anak-anak, untuk melihat kehidupan di dunia ini dengan pandangan yang bertumpu pada hati nurani. Sebab, pada umumnya ajaran yang terdapat pada dongeng adalah kejujuran, kasih-sayang sesame manusia, dan kasih sayang pada makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuhan.<br />
Seorang pengamat Barat, Lewis Caroll mengatakan bahwa dongeng adalah “tanda kasih”. Berkisah dan mendongeng adalah memberi hadiah – tanda kepedulian dan keterbukaan. mendongeng adalah memberi kesadaran pada pendengar tentang pengertian dan perasaan takjub, misteri dan penghormatan pada kehidupan. Karena itu, saya sangat gembira pada usaha anak-anak muda yang berupaya menghidupkan kembali dongeng-dongeng dengan mengadakan lomba dongeng. Usaha seperti itu tidak lain adalah wujud dari kepeduliaan para warisan budaya yang sengaja diorientasikan kepada tantangan masa depan dengan mengetengahkan tema mencintai kemanusiaan, satwa dan tumbuh-tumbuhan.<br />
Ketika banyak orang-orang yang sudah tidak peduli kepada budaya warisan leluhurnya, sementara kearifan dari luar juga tidak diraup, maka upaya melestarikan kearifan tradisional yang masih relefan dengan masa depan dan perkembangan zaman sudah tentu punya nilai yang sangat berharga, karena menunjukkan bangkitnya tanggung jawab kebudayaan. Usaha ini saya nilai sebagai langkah pertama yang harus disusul dengan langkah-langkah berikutnya. Saya berharap semoga generaasi muda yang tampil hendak merevitalisasi warisan budaya itu tetap tegar dengan tanggung jawabnya dan terus melangkah menuju hari esok dengan senyum optimis. Kata pepatah lama, biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu – berbantal ombak berselimut angin menuju cita-cita mulia. Semoga usaha kebudayan ini mendapat sambutan dari masyarakat terutama untuk kembali mengangkat dongeng sebagai salah satu bentuk sastra lisan yang nuansa-nuansanya akan sangat berguna dalam memperkokoh jati diri kebudayaan bangsa dalam era globalisasi yang penuh tantangan.<br />
Dengan diupayakan dongeng sebagai ungkapan kasih sayang tentu saja para ibu dan guru diharap bisa dengan senang menghadiahkan dongeng kepada anak-anak tercinta. Ungkapan kasih sayang berupa dongeng nantinya akan membentuk watak dan karakter berdasarkan pesan-pesan budi pekerti yang terkandung di dalam dongeng. Tidak ada salahnya kalau anak-anak yang kini masih hijau dan senang dongeng nantinya menjadi teknolog dan teknolokrat yang berakhlak mulia, yang merasa berutang budi kepada orang tua dan guru yang mendidiknya. Bukanlah akhlak mulia itulah yang membuat kehidupan ini menjadi tentram? Kita tidak ingin kehilangan warisan budaya yang berharga. Apalagi, kita memandangnya masih sangat relevan dengan pembangunan jati-diri bangsa yang menuju hidup mulia.<br />
<br />
Setiap orang adalah da’i<br />
<br />
Manusia adalah ciptaan Allah yang mulia, apabila ia mau berbuat mulia. Kalau tidak mau berbuat mulia berarti ia telah menolak kemuliaan itu. Kalau seorang manusia berbuat buruk, berarti ia telah mengusir kemuliaan itu dari dirinya.<br />
Potensi berbuat baik itu jelas ada pada manusia karena manusia punya fitrah (hati yang suci) serta akal sehat. Fitrah dan akal sehat itu kalau terus dikembangkan tentu akan membuat manusia berhati mulia dan berbuat kemuliaan.<br />
Akal yang sehat pasti mengembangkan perbuatan mulia serta menjahui perbuatan yang akan membawa celaka. Akal sehat akan melahirkan keinginan untuk selamat serta menyelamatkan orang lain.<br />
Dalam rangka menyelamatkan orang lain itu, manusia perlu bersikap pro aktif untuk mengajak orang lain berbuat baik. Tugas nabi, rasul, ulama, kiai dan lain-lain adalah mengajak umat manusia berbuat baik yang membawa kepada kemuliaan, kedamaian, keselamatan serta keberuntungan dalam kebersamaan, di samping mengajak mengabdi kepada Dzat yang menciptakan alam semesta ini. <br />
Itulah tugas “amar ma’ruf” menyuruh atau mengajak umat manusia untuk bertakwa kepada Allah dan berbuat amal saleh. Rasulullah saw bersabda, “Ballighu ‘anni walau âyatan” yang artinya sampaikanlah (ajaran) dariku walau satu ayat saja.”<br />
Sabda Rasulullah saw di atas menganjurkan agar kita (umat islam) sebenarnya punya tugas untuk menjadi “da’i”, yaitu orang yang bertugas menyampaikan ajaran agama walau sedikit sesuai dengan ilmu dan kemampuan yang kita miliki.<br />
Membangunkan suami yang tidur agar segera bangun untuk segera shalat subuh ke masjid, yang dilakukan seorang isteri termasuk tugas mulia mengajak kepada kebaikan, istilah da’i di sini tidak harus yang mampu berkhutbah di atas mimbar atau bisa berpidato.<br />
Istilah “da’I” di sini harus dipahami secara luas. Setiap ajakan yang mengajak berbuat baik dan beramal saleh, di mana saja tempatnya sudah termasuk tugas “da’i” atau “muballigh”. Dengan demikian, dimana saja kita berada selalu mencari kesempatan untuk mengajak bertakwa dan beramal saleh.<br />
Seorang direktur yang mengajak para stafnya untuk melakukan shalat dan kemudian mengundang seorang ustadz untuk mengajar karyawan yang tidak bisa mengerjakan shalat sudah bisa dianggap telah melakukan tugas dakwah.<br />
Seorang penyanyi yang melantunkan lagu yang mengagungkan keagungan ilahi, seperti lagi “Keagungan Tuhan” yang dulu dinyanyikan oleh ida Laila, ternyata bisa menyejukkan kalbu dan memberi sentuhan batin yang dalam, termasuk bagian dari tugas dakwah.<br />
Demikian juga seorang penulis dan penyair yang menggubah karangan yang bisa menyadarkan seseorang untuk senang berbakti kepada Allah. Dan bertindak selalu damai dalam kehidupan termasuk juga mengajak ke jalan Allah.<br />
Di dalam mengajak ke jalan Allah, harus dengan jalan hikmah, yaitu cara atau metode yang bisa membuat orang yang diajak senang dan sadar. Dalam bahasa KH. Miftahul Luthfi Muhammad dalam berdakwah itu seyogyanya orang yang diajak diperlakuakn dengan hormat karena sasaran dakwah adalah “hati manusia” maka dakwah yang baik dikemas “mengetuk nurani” dan meraih simpati. Dakwah dan ajakan takwa serampangan dan kaku mungkin akan gagal. Karena itu dalam berdakwah harus dibekali dengan pengenalan terhadap karakter orang yang hendak diajak.<br />
Selain “amar ma’ruf” dalam berdakwah harus dilengkapi dengan “nahi mungkar” yaitu mencegah orang (umat) mengerjakan larangan Allah. Semua hal yang dilarang Allah pastilah hal yang merugikan dan membawa kecelakaan. Misalnya; judi, narkoba, zina, dan lain-lain jelas perbuatan yang sangat merugikan kemanusiaan. Maka, pantas kalau Allah menyediakan siksaan bagi siapa yang melakukan pelanggaran terhadap larangan Allah. Karena pada hakikatnya Allah melarang perbuatan mungkar itu tidak lain adalah untuk menyelamatkan manusia.<br />
Untuk bisa berdakwah dengan baik, sebaiknya setiap umat islam selalu rajin menuntut ilmu. Rajin-rajinlah mengikuti kajian-kajian agama agar dakwahnya dapat membawa banyak orang ke jalan yang benar.<br />
<br />
<br />
Manusia Dan Variasi Kehidupan<br />
D. Zawawi Imron<br />
<br />
Semua manusia yang lahir ke dunia ini tidak ada yang sama antara yang satu dengan yang lain. Kalau ada orang yang bersaudara kembar meskipun sepintas terlihat sama, setelah diteliti ternyata tetap ada perbedaannya. Apa lagi, kalau diteliti bakat dan perangainya, tetap ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain. <br />
Seorang anak manusia lahir ke bumi, ada yang berbakat menjadi pelukis, yang lain berbakat menjadi politikus, ekonom, ahli kesehatan, penyanyi, dan lain-lain. Ada orang berwatak keras, yang lain lemah lembut, ada yang tegar, ada yang murah senyum dan ada yang bertampang serius. Semua itu merupakan kekayaan Allah yang tercermin pada pribadi-pribadi atau orang per orang. <br />
Mengingat manusia adalah makhluk sosial, yang harus berkomunikasi satu sama lain, tentu diperlukan keluasan pemahaman agar kehidupan di dunia ini bisa terawat dan terjaga. Menjaga dan merawat pergaulan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis menjadi penting mengingat manusia dikaruniai akal sehat dan pikiran jernih yang kalau dimanfaatkan dengan baik bisa menciptakan atmosfer yang sehat di dunia ini. <br />
Tatanan hidup yang dipandu syari’at agama tidak lain merupakan sejenis perjanjian. Perjanjian itu harus dihormati, jika seorang melanggarnya berarti Ia melakukan disharmoni sosial. Semakin banyak orang yang melanggamya akan semakin besar ketimpangan sosial yang akan membuat kehidupan akan terasa tidak nyaman. <br />
Karena itu syari’at perlu difahami dan dihayati sampai ke lubuk hati, dan ketika seseorang melaksanakannya akan merasa nikmat dan merasakan adanya kebebasan dan belenggu hawa nafsu serta pembebasan dan noda dan dosa. Syari’at yang dihayati seperti itu akan selalu membawa pencerahan bagi kehidupan. Berbeda dengan syari’at yang tidak dihayati, dan diterapkan secara kaku, bahkan cenderung dipaksakan akan terasa kurang enak dilakukan. Karena itu pendidikan agama harus ditanam kelubuk kalbu, tidak sekadar dipelajari dan dihafalkan. Agama yang memberi hakikat terhadap hidup. <br />
Di sinilah pentingnya cara memandang orang lain tidak sekadar sebagai massa, tapi dipandang sebagai pribadi-pribadi yang berdiri sendiri, sebagai ego-ego yang mandiri. Tetapi karena ego-ego yang sama mandiri itu sama-sama mengerti, bahwa setiap manusia adalah saudara, maka kesadaran itulah yang akan mempertemukan sekaligus mempersatukan seluruh ego-ego menjadi satu kesatuan, maka kerukunan dan ketenteraman menjadi niscaya dalam mengisi dunia dengan sejarah yang indah cemerlang. Di smi semua manusia akan merasa sahabat atau saudara bagi yang lain. <br />
Dalam kesatuan yang penuh saling mengerti seperti itu, tiap-tiap pribadi akan mencoba memahami orang lain dengan karakteristik yang tidak harus sama dengan dirinya. Orang lain boleh berbeda perangai, keinginan, hobi, pekerjaan kecenderungan yang tidak harus sama dengan kita. Orang lain boleh melakukan apa saja tanpa tekanan asalkan tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri baik di dunia maupun di akhirat. <br />
Memandang orang lain atau memahami orang lain bukan sekadar untuk menundukkan orang lain, tetapi untuk mematangkan dialog, baik langsung atau tidak Iangsung, tetapi harus dengan jiwa yang sehat dan dipandu oleb zikir kepada Allah, sehingga terasa bahwa semua merupakan variasi-variasi kebersamaan yang menuju ridla Allah sekaligus mencerminkan bahwa hidup di dunia ini terasa indah. Dalam pemahaman seperti itu mengganggu dan menyakiti orang lain akan terasa mengganggu kemanusiaan dan mengganggu kehidupan yang indah dan tenteram. Sebuah keadaan yang tentunya tidak indah dipandang dengan kacamata hati yang jernih. <br />
Kesadaran seperti itu perlu dikembangkan pada masing-masing pribadi, karena kehidupan sosial yang harmoni dan padu memerlukan dukungan seluruh pribadi-pribadi yang mau mengerti orang lain dengan segala variasinya. Dalam kesadaran seperti itu, perbedaan perangai, keahlian, pilihan hidup, dan lain-lain tidak akan dipandang sebagai kekayaan yang saling mendukung satu sama lain. Iklim seperti itu akan mempermudah upaya hidup harmoni sekaligus dalam suasana bertakwa kepada Allah. <br />
Hidup adalah perjuangan, dan perjuangan yang benar harus bertumpu pada hati yang bersih. Maka membersihkan hati merupakan perjuangan yang sangat mulia. Dalam membersihkan hati tercakup pula jihad memerangi hawa nafsu. Semoga kita diberi kemenangan. Allah bersama dengan orang-orang yang berhati bersih. <br />
<br />
<br />
Hati Nurani<br />
Si A bertengkar dengan si B. Kemudian dalam pertengkaran si A menyadari bahwa dirinya berada di pihak yang salah. Kesadaran mau mengaku bahwa dirinya bersalah itu tidak lain karena si A menggunakan “hati nurani”.<br />
Tetapi kalau si A yang salah itu tetap ngotot mengakui dirinya benar, pertanda ia tidak menghormati hati nuraninya sendiri. Hati nurani harus kita pergunakan dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari dengan renungan-renungan yang jernih agar yang benar meskipun dari orang lain, kita akan tetap mengakui sebagai “benar” meskipun anak sendiri, atau saudara kita sendiri berbuat salah harus kita akui sebagai salah.<br />
Karena itu tidak salah kalau ada ahli hikmah mengatakan bahwa, “Dalam lubuk hati nurani manusia yang paling dalam itu ada secercah sinar yang dianugerahan oleh Allah swt. Sinar itu tidak lain adalah sinar kebenaran yang pasti akan membuahkan rasa keadilan.”<br />
Maka menjaga hati nurani itu menjadi salah satu tugas manusia agar dirinya tetap tegar sebagai manusia dengan akhlak dan perilaku kemanusiaannya. Dalam menjaga hati nurani itu menusia harus berupaya untuk tetap menggunakan akal sehat dan pikiran jernih untuk melakukan sesuatu. Kalau menurut hati nurani dan akal sehat, perbuatan yang akan dilakuan tidak menyinggung dan menyakiti orang lain dan hak asasi orang lain serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama maka perbuatan itu boleh dilakukan. Tetapi apabila perbuatan itu akan menyakiti perasaan dan melanggar hak asasi orang lain maka hati nuranilah yang akan melarang, bahwa perbuatan itu tidak boleh dilakukan.<br />
Dalam hal ini ada adagium Madura yang berbunyi, “Mon ba’na etobi’ sake’ ajja’ nobi’an oreng.” Artinya, kalau kamu dicubit merasa sakit maka kamu tidak boleh mencubit orang lain. <br />
Kearifan hidup di atas tidak akan bisa dilakukan kalau kita tidak memberi tempat yang terhormat kepada hati nurani. Hati nurani adalah cermin yang sangat jernih yang dianugerahkan Allah kepada manusia, yang manusia harus memanfaatkannya agar tetap hidup mulia dan terhormat.<br />
Tanpa hati nurani, manusia akan gampang untuk berbuat hal-hal yang merugikan orang lain tanpa memikirkan kesakitan dan penderitaan orang lain akibat dari perbuatannya. Orang yang melakukan korupsi yang merugikan rakyat dan Negara adalah karena ia tidak menggunakan hati nurninya. Orang yang berbuat ketidakadilan; menipu, merampok, menfitnah dll, adalah karena tidak memanfaatlkan hati nuraninya seagai pelita kehidupan. Bahkan ada pendapat ekstrim yang mengatakan orang yang suka merugikan orang lain itu dianggap karena tidak punya hati nurani. Kalau punya hati nurani ia tidak akan melanggar batas sejauh itu, katanya.<br />
Dalam hal ini lebih afdhal kalau kita merujuk kepada al-Qur’an. Allah berfirman, <br />
<br />
<br />
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Qs.al-A’raf; 179)<br />
<br />
Dari firman allah di atas menjadi jelas bahwa orang yang hatinya tidak digunakan untuk berfikir dan merenung secara jernih, serta mata, telinganya tidak dimanfaatkan secara benar akan membuat orang itu dalam penilaian Allah rabbul ‘alamin sekelas dengan binatang bahkan lebih rendah lagi.<br />
Hidup yang hanya satu kali ini dan umur yang kita jalani, tentu amat sangat sayang kalau hidup kita sederajat dengan binatang dihadapan Allah. Kita adalah manusia, kita lahir dari ayah dan ibu kita yang manusia, karena itu harus kita pertahankan hidup dan perilaku kita sebagai manusia, agar kita tidak jatuh nilai sekelas dengan binatang.<br />
Agar kita tidak terjerumus kepada kebinatangan, kita harus berusaha, berjuang serta berdoa kepada Allah agar kita tetap menjadi manusia lengkap dengan akhlakul karimah. Cara mempertahankan kemanusiaan itu tidak lain dengan mengutamakan “hati nurani” dalam kehidupan sehari-hari. Hati nurani saja tidak cukup kalau tidak disertai iman kepada Allah dan rasulnya.<br />
Dan iman itu sendiri akan redup tanpa didukung dengan hati nurani atau hati yang fitrah. Karena sebenarnya pada hati yang fitrah itu iman yang indah akan bersemayam dengan memandu tindak laku kita sehari-hari untuk menjadi hamba Allah yang shalih.<br />
Merawat hati nurani menjadi hal yang sangat penting karena kalau hati nurani tidak dirawat dengan baik nanti bisa dikalahkan oleh pengaruh jahatnya hawa nafsu.<br />
Kita sayangi hidup kita dan diri hidup kita dengan merawat nurani agar kita mendapat penilaian yang baik dari Allah. Merawat hati nurani caranya ialah dengan banyak berdzikir kepada Allah, shalat yang khusuk, berpikir positif, dan menghindari maksiat.<br />
Tak ada hidup yang lebih mulia daripada bertakwa kepada Allah, tak ada hati yang lebih indah daripada mengingat Allah, dan tak ada piala yang lebih berharga daripada ridla-Nya. []<br />
<br />
<br />
Menyuruh Dan Keteladanan<br />
<br />
Menyuruh dan menyeru orang berbuat baik memang mudah sekali. Asalkan punya mulut <br />
dan tidak bisu, seruan diujarkan saja agar orang berbuat kebaikan. Orang lain tinggal mendengarkannya. Yang agak sulit atau sangat sulit adalah bagaimana agar orang yang mendengar itu tergerak untuk mengerjakan kebaikan yang dianjurkan dan disuruhkan. Meskipun demikian, secara fitrah manusia memang selalu cenderung pada yang baik, yang bermanfaat, yan terpuji dan tersanjung, yang mulia, dan sebagainya. <br />
Yang namanya kebaikan dan kemuliaan itu memang indah dan menyenangkan. <br />
Contohnya, kalau kita bertemu mahasiswa pelopor reformasi murni yang perjuangannya tidak dinodai oleh interis-interis pribadi subjektif, kita akan melambaikan tangan dengan hati yang berbunga. Seolah-olah bunga yang kembang dalam hati adalah persembahan hormat untuk mereka dalam bentuk ruhaninya yang, karena terbatas, tidak perlu lagi diwujudkan dengan bunga sungguhan yang masih bisa layu dan mengering. Orang baik selalu menyenangkan, mengundang rasa kormat, dan bahkan — sampai mati pun — masih mengundang jiwa untuk pergi menziarahi kuburnya.<br />
Orang baikyang saya maksud tidak harus pentolan dan tokoh. Ia selalu ada di mana-mana. Ia bisa seorang pemimpin seperti Pak Dirman, bisa seorang peternak ikan tawar bernama Pak Mujair, bisa buruh wanita bernama Marsinah, dan bisa siapa saja, asalkan punya komitmen pada kemanusiaan. Siapa yang menyuruh Pak Dirman bergerilya dangan paru-paru tinggal sebelah, masuk hutan keluar rimba dengan tubuh yang jauh dan sehat hingga beliau diusung dengan tandu? Siapa yang menyuruh? Kita tidak tahu. Yang jelas bukan pemerintah pusat, karena saat itu Bung Karno dan kawan-kawan memilih berunding dengan Belanda. Kalau begitu, siapa yang menyuruh beliau?<br />
Yang menyuruh Pak Dirman adatah “hati nurani” yang sangat paham akan makna kemerdekaan dan kemanusiaan. Siapa pula yang menyuruh Marsinah memperjuangkan nasib buruh? Barangkali juga “hati nurani” yang sangat menghormati kemanusiaan. Kalau begitu, alangkah indahnya hati nurani, dan alangkah mulianya orang-orang yang segala tindakan dan perbuatannya dilandaskan pada hati nurani! Sebab, nuranilah inti dan kemanusiaan, sedangkan tidak digunakannya nurani, ditinggalkannya suara nurani, dan dipasungnya hati nurani berarti lenyaplah kemanusiaan dalam diri seseorang. Memang, kalau benar-benar memberi tempat yang Iayak kepada hati nurani dalam hidupnya. ia tidak perlu disuruh, diperintah atau, dipaksa untuk berbuat kebaikan. Tetapi, kenapa manusia yang jelas-jelas punya hati nurani masih ada (banyak) yang nggan berbuat baik? Kalau jawabannya sulit, kita tidak perlu bertanya kepada rumput yang bergoyang. Masalahnya, apakah manusia mau mengfungsikanhati nuraninya atau tidak? Kalau tidak bagaimana ia akan cenderung kepada kemuliaan dan kemanusiaan, meskipun dirinya manusia? Ditinggalkannya nurani adalah pertanda bahwa ia telah meninggalkan kemanusiaannya sendiri.<br />
Orang yang tidak pakai hati nurani - sekalipun diingatkan, diperingatkan, disuruh, dan bahkan dipaksa pun – kadang-kadang masih malas untuk berbuat baik. Meskipun demikian, orang-orang yang sadar tetap punya tugas mulia untuk menyadarkan saudara- saudaranya yang lupa tanpa bosan-bosannya. Bila hari ini tidak berhasil, siapa tahu besok tiba-tiba ia mengucapkan welcome pada kebaikan dalam anti yang utuh. Karena itu, upaya memanusiakan manusia merupakan kerja budaya yang tidak boleh berhenti. Yang demikian itu tidak cukup dilakukan dengan suruhan, seruan atau apalagi, penataran. Soalnya menyeru, menyuruh, dan menatar itu mudah — cukup dengan bermodalkan bisa ngomong. <br />
Yang penting adalah contoh-contoh konkret yang secara langsung bisa diteladani. Dengan meyuruh dan menatar tetapi tidak bisa melaksanakan apa yang dianjurkan kepada orang lain, saya jadi teringat pepatah yang berbunyi: “Bagaimana dari sebuah tongkat yang bengkok bisa dihasilkan bayangan yang lurus? Tentu saja mustahil. Kita tidak akan membudayakan kemustahilan yang hanya mampu menghadiahkan kesia-siaan dan kehampaan. <br />
Saya tidak tahu apakah pepatah yang saya sitir itu menyindir tukang pidato. Tentu saja, tidak. yang dimaksud adalah siapa saya yang suka menyuruh dan menganjurkan kebaikan. Soal tukang pidato berada di dalamnya adalab logis. Seorang ayah yang bukan tukang pidato bisa saja menganjurkan anaknya tidak merokok, tetapi ia sendiri merokok. <br />
Pada zaman dahulu ada kisah seorang khotib Jum’at yang diminta berkhotbah tentang pembebasan budak. Tapi sampai beberapa kali Jum’at ia tidak pernah berkhotbah dengan tema membebaskan budak. Orang yang minta akhirnya bertanya, kenapa permintaannya tidak dituruti. <br />
“Saya malu berkhotbah tentang itu, karena saya tidak pernah membebaskan seorang budak. Sebuah jawaban yang penuh hikmah. Jawaban tadi tidak bermaksud agar seorang tidak berbicara tentang kebaikan. Silakan bicara kebaikan, tetapi harus sesuai apa yang diucapkan dengan perbuatan.Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-75568140680783514172010-09-02T19:47:00.000-07:002010-09-02T19:47:13.515-07:00Jika Allah Menghendaki Baik Bagi Hambaحَدَّثَنَا أبو عبد الله الحافظ ، أبو العباس محمد بن يعقوب ، الربيع بن سليمان ، عبد الله بن وهب ، أنا سليمان بن بلال ، عن موسى بن عبيدة ، عن محمد بن كعب القرظي ،عن أنس بن ملك قال, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: <br />
<br />
﴿ إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْراً فَقَّهَهُ فِى الدِّيْنَ،وَزَهَّدَهُ فِى الدُّنْيَا، وَبَصَّرَهُ عُيُوبَه﴾ <br />
Dari sahabat Anas bin Malik r.hu, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, <br />
<br />
“Jika, Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba. Maka, Dia membuatnya memahami dinul Islam, membuatnya zuhud terhadap dunia, dan Dia memperlihatkan untuknya aib-aibnya sendiri” (Hr.Baihaqi, dari Anas ra).<br />
<br />
Kedudukan Hadis<br />
Hadis di atas, diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik r.hu. Terdapat dalam Sunan al-Baihaqi, Hadis nomor: 10140, Juz: XXI, hal: 461. Juga dalam Ibnu Abi Syaibah, Hadis nomor : 71, jus: VIII, hal: 262<br />
<br />
Kunci Kalimat (Miftāhul Kalām)<br />
﴿ إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْراً ﴾<br />
“Jika, Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba”<br />
<br />
Sabda Nabi saw tersebut di atas memberikan penegasan kepada kaum muslimin-mukmin, bahwa pribadi yang baik adalah sebuah kepribadian yang dikehendaki baik oleh swt baik. Realitas di atas haruslah benar-benar diimani oleh kaum muslimin, karena tanpa keimanan yang disertai dengan keyakinan yang utuh, maka pribadi tersebut akan pecah (dis-integreted of personality). <br />
Inilah sebuah potret kepribadian seorang hamba yang mesti dijauhi oleh kaum mukminin. Sebaliknya, kaum mukminin harus benar-benar sejalan dengan kehendak-Nya, karena pada hakikatnya seorang hamba tidak akan pernah dapat mengatur dirinya sendiri, tanpa ada campur tangan-Nya Allah swt. <br />
Teks hadis tersebut di atas juga menjelaskan, bahwa Allah swt akan berkehendak baik jika hamba-Nya memiliki tiga syarat pokok: Tafaqquh fid-diin; Zuhud; dan Muhasabah ‘alan-nafs.<br />
<br />
Pemahaman Hadis<br />
<br />
(فَقَّهَهُ فِى الدِّيْنَُ) Faqqahahu fidiin. Maka, Dia membuatnya memahami dinul Islam. Orang yang disebut dengan tafaquh fiddin bukanlah orang yang sekedar paham dengan Agama Islam. Tapi lebih dari itu ia telah mampu mengamalkan ajaran yang terkandung dalam Dinul Islam. <br />
Oleh karenanya orang yang telah paham dengan dinul Islam ia akan memiliki sikap yang luas, lewes, lagi mendalam. Sebagaimana yang pernah dilakonkan oleh baginda Nabi saw,<br />
Diriwayatkan dalam sirah nabawiah pernah terjadi peristiwa restorasi Ka’bah, hampir seluruh kabilah yang berada di wilayah kekuasaan suku Quraisy, beramai-ramai ikut terlibat di dalam proyek restorasi tersebut. Masing-masing kabilah mengambil bagian, mana yang mereka suka untuk dibangunnya secara sendiri-sendiri. <br />
Dan, menjadi persoalan besar, hampir saja menjadikan pertikaian di antara kabilah yang terlibat proyek restorasi Ka’bah tersebut, ketika sampai pada tahapan merestorasi pojok Hajar Aswad. Pertikaian yang telah mengarah kepada terjadinya peperangan itu telah membuat masing-masing kabilah sangat tegang, kejadian itu hampir satu minggu lamanya.<br />
Masing-masing dari kabilah merasa yang paling berhak untuk mengembalikan ‘batu hitam’ itu ke tempatnya semula. Karena dari masing-masing kabilah berebut benar, akhirnya yang terjadi adalah dari kabilah-kabilah yang ada kesemuanya merasa paling benar. Dan, hal itu tidak akan terjadi, bila kabilah-kabilah yang ada “berebut salah”, karena mereka menyadari tentunya bahwa semuanya dapat diatasi dengan jalan dialogis dan musyawarah untuk mufakat.<br />
Akhirnya pertumpahan darah dapat dihindari dengan segera, setelah tokoh paling senior dari suku Quraisy, yang bernama Abu Umaiah bin Mughirah bin Abdillah bin Amr bin Makhzum; memimpin musyawarah di dalam Masjidil Haram. Kemudian disepakati, “Barangsiapa ada orang yang masuk pintu masjid duluan, itulah orang yang berhak mengembalikan si batu hitam.”<br />
Ternyata tidak begitu lama dari acara kemufakatan dalam musyawarah itu, datanglah seorang pemuda, yang tak lain adalah Muhammad bin Abdullah. Di saat para tokoh Quraisy melihat kedatangannya, maka serta merta mereka berseru, “Inilah orang yang terpercaya (al-âmin). Kami ridla dengan Muhammad.”<br />
Beberapa saat pemuda yang bernama Muhammad bin Abdullah menerima pengaduan duduk perkaranya yang sebenarnya terjadi. Setelah beliau memahami dengan seksama, lalu beliau berkata, “Bawakan untukku sebuah kain.”<br />
Setelah kain di dapat, maka lalu pemuda yang bernama Muhammad bin Abdullah tersebut mengangkat si batu hitam itu ke atas kain yang telah beliau hamparkan di tanah. Kemudian beliau memberikan aba-aba seraya berkata, “Hendaknya setiap kabilah memegang setiap ujung dari kain ini, dan mengangkatnya bersama-sama.” <br />
Dengan patuh para tokoh yang mewakili kabilahnya masing-masing tersebut beramai-ramai mengangkat si batu hitam untuk didekatkan dengan tempatnya. Baru setelah benar-benar dekat Muhammad bin Abdullah mengangkat batu hitam itu dengan kedua tangannya, guna meletakkan Hajar Aswad tersebut di tempatnya, yakni “pojok Aswad” (ruknul aswad). Begitulah, akhirnya Ka’bah benar-benar selesai direstorasi 18 tahun sebelum hijrah Nabi saw ke Madinah.<br />
<br />
(وَزَهَّدَهُ فِى الدُّنْيَا) Wa zuhdahu fid-dunya membuatnya zuhud terhadap dunia. Selanjutnya orang yang dikehendaki baik oleh Allah swt, maka ia akan bersikap zuhud terhadap dunia. Sebab ia sadar terhadap eksistensi dunia. ”Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Qs.al- An'am: 32)<br />
Oleh karenanya kita harus waspada dan jangan terlalu silau dengan gemerlapnya dunia, sebab fitnah dunia akan membawa kita kedalam jurang Jahanam. Ketakutan fitnah dunia ini juga dirasakan para sahabat. Salah satu dari mereka adalah Salman al Farisi. Suatu ketika Salman dikunjungi Sa`ad bin Abi Waqash lalu ia menangis. Sa`ad pun berkata "Apa yang membuatmu menangis ?" Engkau telah bertemu dengan para sahabatmu, dan akan mendatangi telaga Rasulullah dan beliaupun ridha padamu saat akhir kehidupannya." Salman menjawab, "Aku menangis bukan karena takut mati atau tamak dunia. Tetapi karena janji yang telah Rasulullah ambil dari kita dengan sabda beliau," Hendaklah kalian mengambil didunia seperti sekedar perbekalan seorang pengembara. "Dan sekarang ini barang-barang dirumahku…." <br />
Subhanallah Salman, Ya Salman , padahal tiadalah barang dirumahmu kecuali ember tempat mencuci pakaian yang tak seberapa harganya. Tetapi engkau begitu takut bila telah jatuh dalam hidup berlebihan. Lalu bagaimana dengan kami ini ? <br />
Zuhud terhadap dunia bukan berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat duniawi, melainkan kita lebih yakin dan meyakini dengan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita. Sejalan dengan hadis Nabi saw,<br />
Rasulullah SAW bersabda, "Melakukan zuhud dalam kehidupan di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia itu ialah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada apa yang ada pada Allah." (HR. Ahmad, Mauqufan)<br />
Orang yang demikian inilah yang dicintai Allah swt, ditegaskan dalam hadis yang lain,<br />
“Berzuhudlah terhadap duniawi, niscaya Allah mencintaimu, dan berzuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia lain, niscaya orang akan mencintaimu.” (Hr. al-Hakim).<br />
<br />
(وَبَصَّرَهُ عُيُوبَه) Wabasharuhu ‘uyubah, memperlihatkan untuknya aib-aibnya sendiri. Orang yang dijadikan baik oleh Allah selanjutnya ialah orang yang selalu Muhasabah ‘Alan Nafs dikeseharian hidupnya. Ia selalu mencari-cari dan menghitung kejelekannya sendiri dan melihat orang lain dengan kacamata kebaikan.<br />
Akhlak yang demikian inilah yang dicintai Allah swt. Ia tidak mudah menyalahkan dan mengkafirkan orang lain, tetapi sebaliknya ia terus menerus introspeksi diri jangan-jangan ia termasuk orang yang hina dihadapan Allah swt. Demikianlah makna dari firman-Nya,<br />
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (Qs. Al-Hujurat: 11) <br />
Demikanlah potret kepribadian orang-orang beriman yang telah tercerahkan dikeseharian hidupnya. Dikarenakan mereka telah memahami firman Allah tersebut di atas. Sebab belum tentu amal kebaikan yang selama ini dikerjakan diterima Allah. Tatapi sebaliknya amal yang kita sangka diterima Allah ternyata ditolak oleh-Nya. Dan akhirnya kita termasuk orang yang bangkrut dihadapan Allah swt. Naudzhubillah. <br />
<br />
Pembelajaran Sifat (Character Learning)<br />
Character Learning (c-lear) dari setiap hadis Nabi saw yang kita baca. Sudah barangtentu yang didasari dengan rasa iman dan kuatnya keyakinan. Akan menumbuhkan kekuatan yang hebat dalam alam bawah sadar (albasa) kita. Dan, dari albasa itulah nantinya menjadi modal utama di dalam membangun karakter seorang muslim-mukmin. <br />
Kita semua, insya Allah, akan mempunyai Kecerdasan Rasa (Intuitional Quotient) sampai dengan tingkat yang sempurna al-InsanulKamil. Apabila kita dengan sungguh-sungguh melaksanakan perintah serta menjauhi larangan Allah dan rasul-Nya. Kita akan menjadi hamba yang dicintai-Nya. Itulah arti dari ketakwaan yang menyebabkan kita menjadi orang yang paling mulia dan tercerahkan di sisi Allah swt.<br />
<br />
Perubahan Perilaku (Behavior Transformation)<br />
Guna mendapatkan Behavior Transformation (betra) di keseharian hidup kita, setelah melakukan c-lear dengan tema hadis di atas. Kita harus CC 100% dengan hadis nabi di atas agar kita dicintai Allah swt. Kita harus,<br />
• Kita harus banyak belajar, mengajar, dan mau diajar. Agar memperoleh pemahaman agama yang luwas, luwes lagi mendalam.<br />
• Berzuhudlah terhadap dunia dan waspadalah dengan tipudayanya, niscaya dicintai Allah swt .<br />
• Lihatlah kejelekan diri-sendiri dan lihatlah kebaikan orang lain.<br />
<br />
Oase Pencerahan<br />
Setelah melakukan Pembelajaran Sifat dari tema hadis di atas. Segeralah melakukan Perubahan Perilaku. Sebab, bagaimana pun, hadis tersebut harus menjadi motivator kecerdasan umat Islam di dalam berbuat dan bersikap. <br />
Sekaranglah saatnya. Kaum muslimin mukmin memandu kehidupan pribadinya dengan Neraca Syariat. Utamanya, dalam CC (commitment and consistent) dengan: al-qur`an; as-sunnah; dan al-’ilmud-diniah.<br />
Maka langkah yang harus kita ambil ialah kita harus segera memiliki ketiga sikap mental tersebut yaitu; Tafaqquh fid-diin; Zuhud; dan Muhasabah ‘alan-nafs. Sebab dengan ketiga sikap tersebut kita bisa menjadi muslimin-mukmin yang berkepribadian “Radhiatan mardhiyah--ridha kepada segenap ketetapan Allah swt dan Allah pun meridhainya.” Amiin<br />
Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4650433241567705219.post-38585662850385278122010-09-02T19:41:00.001-07:002010-09-02T19:41:45.798-07:00POLIGAMI MEMANG BIKIN SUSAH !Oleh: Mukhtarom Arsalan*<br />
<br />
Sebagai seorang manusia atau hamba kita tidak lepas dari yang namanya sifat salah dan lupa seperti yang telah disabdakan Nabi saw ; "al insanu mahalul khotho' wannisyana" manusia itu tempatnya salah dan lupa. Terang lagi jelas bahwa bahwa manusia itu tidak bisa lepas dari sifat salah dan lupa, karena hal itu sudah merupakan sunatullah (hukum Allah) oleh karena itu mau tidak mau harus mau karena sifat tersebut sudah melekat pada diri setiap insan semenjak ia dilahirkan didunia. Di samping telah malekat pada diri manusia sifat tersebut, manusia juga memiliki sifaf kurang (tidak pernah puas). Terhadap sesuatu apapun baik berupa harta maupun benda seperti yang telah di firman kan- Nya <br />
Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas." (Qs. Yasin :19)<br />
Dan orang yang banyak bicara (yang melampui batas) juga disindir al-Qur'an; <br />
"Dan bahwasanya: orang yang kurang akal daripada kami selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah" , (Qs. al-Jin: 4)<br />
Dikarenakan sifat manusia itu cenderung tidak pernah puas. Suatu misal punya motor satu kepingin dua, punya dua pingin tiga, punya motor lima pingin mobil, sampai soal istri sudah punya satu pingin empat "dengan alasan bila yang satu halangan yang lain bisa "dicangkul" " dan seterusnya. Tetapi sekali lagi ingatlah akan firman Allah; <br />
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Qs. al-A'râf : 31)<br />
Yang perlu digaris bawahi dari firman-Nya diatas adalah kalimat ", dan janganlah berlebih-lebihan". Sehubungan dengan maraknya kasus poligami (beristri lebih dari satu). Allah tidak melarang hal tersebut karenanya disyariatkan tapi juga harus tahu bahwa Allah tidak pula menganjurkan melainkan "boleh" seperti yang telah difirmankan-Nya ; <br />
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".(Qs. an-Nisâ' :3)<br />
Karena itu mengingat bangsa arab pada waktu itu banyak yang beristri lebih dari satu, guna mendapatkan banyak keturunan, dikarenakan waktu itu banyak keturunan berarti menambah kehormatan dan kekuatan. Selepas dari itu adalah untuk manghindari adanya perselingkuhan dan perzinahan. Kita tahu bahwa yang namanya perselingkuhan dan perzinahan adalah haram (dosa) untuk menghalalkanya adalah dengan cara berpoligami (beristri lebih dari satu istri). <br />
Tetapi yang perlu diketahui didalam berpoligami, adalah etika berpoligami <br />
Etika berpoligami<br />
• Kewajiban mengatur giliran diantara istri-istrinya<br />
Seperti yang telah di firmankan-Nya, dalam surat an-Nisâ' 128;<br />
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. an-Nisâ' :128)<br />
• Berlaku adil terhadap semua istri-istrinya <br />
Seperti yang telah difirmankan-Nya;<br />
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Qs. an-Nisâ' :3)<br />
Sejalan dengan ayat di atas; <br />
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. . (Qs. an-Nisâ' :129) <br />
Menjaga keakuran antara istri-istrinya<br />
Dan sebagai suami yang mendua harus bisa menjaga kerukunan antara istri yang satu dan yang lainnya, entah bagaimana caranya agar istri-istrinya tetap rukun dan damai serta bahagia. <br />
Wanita sebagai cobaan (ujian)<br />
Dan perlu di ingat bahwa Allah menciptakan manusia adalah untuk mengujinya sebarapa imannya kepada Allah, maka dari itu diciptakan cobaan-cobaan. Sebagaimana dalam firman-Nya;<br />
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Qs. Ali Imrân : 14)<br />
Selepas dari itu semua ada sarat pokok didalam berpoligami yaitu adil terhadap para istri-istrinya. Dikarenakan bagi suami yang tidak adil terhadap para istrinya diancam oleh Allah bahwa besuk pada hari kiamat dia akan menghadap Allah dalam keadaan "sémpér". Seperti yang telah disabdakan Nabi saw ; <br />
"Barang siapa mempunyai dua orang istri lalu ia lebih cendearung pada salah satu orang diantara keduanya, ia akan datang pada hari kiamat kelak dalam keadaan "sémpér" (tubuh matai separo). (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah.)<br />
Itulah ancaman bagi pelaku poligami yang semena-mana alias tidak adil, dan adil tersebut sifatnya menyeluruh, yaitu dari segi dhohir sampai batin. Karena boleh jadi dhohirnya tercukupi tetapi batinya ditelantarkan, dan sebaliknya dalam segi batin terpenuhi tetapi dalam segi dhohir disia-siakan. Maka disini disebutkan adil harus menyeluruh antara dhohir dan batin harus sama antara istri yang satu dan lainya. Karena kalau berat sebelah maka, besuk pada hari kiamat dia akan menghadap Allah dalam keadaan tubuh mati sebelah.<br />
Begitu beratnya balasan bagi pelaku poligami yang tidak adil, oleh karena itu kita kembali pada ayat diawal; " Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja" .(Qs. an-Nisâ' :3)<br />
Sebagai penutup "silahkan pilih sendiri poligami atau monogami" ??!!!<br />
<br />
Wallâhu a'lamu bisshawâb<br />
<br />
*Shantri Ma’had TeeBee Program HBQC.<br />
Asal Tuban jatim.Beranda Wahyuhttp://www.blogger.com/profile/04590152509852749749noreply@blogger.com0