Kamis, 02 September 2010

D. Zawawi Imran

MENGATUR DIRI SENDIRI
D. Zawawi Imran

Manusia di bentuk oleh Allah menjadi seseorang. Seseorang itu tidak lain adalah diri. Seseorang yang berakal harus sadar bahwa ia tidak lain adalah dirinya sendiri. Dengan potensi yang diberikan Allah kepada "diri"nya ia bisa melakukan apa saja yang dia mau dan disukai. Meskipun demikian, manusia yang berakal sehat dan berakhlak, tidak dengan serta merta bisa berbuat sesuka hatinya (semau gue), karena kemulyaan manusia yang utama antara lain yaitu dengan akhlaknya, bagaimana ia berhubungan dengan Tuhan Pencipta dan berhubungan dengan sesama manusia. Apabila ia tidak menggunakan akhlak, ia akan berbenturan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai agama. Ketika akhlak sudah tidak dipakai, berarti manusia menjerumuskan dirinya kepada kehidupan tanpa nilai. Kehidupan tanpa nilai tidak lain adalah dunia kehidupan “binatang”.
Di sinilah pentingnya manusia menolak cara hidup model “binatang” (homo homoni lupus), manusia adalah srigala bagi manusia lainya. Kehidupan saling cakar, saling bermusuhan dan hidup tanpa kasih sayang dan tanpa saling menghormati menjadi kebiasaan sehari-hari. Tidak ! sekali lagi tidak! Manusia adalah ahsanut taqwiim, sebaik-baik ciptaan Allah. Karena itu, harus berakhlak mulia sesuai dengan aturan-aturan Allah. Untuk bisa hidup mulia itu seorang manusia harus bisa mengatur dirinya. Itu artinya seseorang yang ingin hidup mulia dan sempurna harus bisa merencanakan masa depan yang baik. Tujuan hidup harus jelas arahnya, mau menuju kemana. Harus tahu apa yang akan ia lakukan besok. Karena yang paling berhak membawa diri seorang manusia tidak lain adalah dirinya. Antum A'lamu Bima fii Nafsik kamu lebih tahu tentang dirimu sendiri. Karena itu kamu tidak boleh pura-pura tidak tahu tentang dirimu, apalagi sengaja tidak tahu tentang dirimu. Mengabaikan diri sendiri sama dengan membiarkan diri sendiri menuju kesia-siaan, bahkan kecelakaan.
Itulah pentingnya seseorang perlu mempelajari dirinya sendiri sampai ia benar-benar mengerti dirinya sendiri dan karakter dirinya sendiri. Kalau dirinya seorang pemarah, dia sendiri orang yang paling tahu bahwa dirinya pemarah. Kalau ia tahu bahwa dirinya pemarah, ia harus mencari kiat bagaimana mengubah karakter pemarah itu menjadi "si lembut hati".
Kalau dirinya seorang kikir ia sendiri yang lebih tahu bahwa dirinya seorang kikir atau bakhil. Kemudian ia harus menempuh langkah apa untuk menyingkirkan sikap kikir yang ada pada dirinya?. Dengan demikian melakukan intropeksi diri dan mawas diri, adalah sebuah langkah terpuji untuk menuju langkah yang lebih konstruktif yang positif.
Dalam kehidupan serba modern yang banyak tantangan seperti sekarang ini, mengembangkan pemahaman kepada dirinya serta kaitanya dengan perkembangan jaman sangatlah penting. Jika tidak bisa membaca diri, memberdayakan diri dan mengatur diri ditengah gelombang jaman, ia bisa tergilas oleh jaman itu.
Manajemen diri yang dimaksud di sini ialah bagaimana membawa diri di atas jalur kebenaran yang dibentangkan Allah lewat ayat-ayat-Nya dan sunah Rasul-Nya. Untuk bisa menegakkan kecemerlangan pandangan dan kemampuan mengendalikan diri itu, perlu meneguhkan disiplin diri, antara lain melalui shalat. Jika shalat lima kali sehari itu dilakukan dengan khusuk, sekaligus sebagai upaya menegakkan istiqomah dalam melawan kemungkaran, manusia yang shalat lambat laun akan menemukan kecondongan hati untuk selalu senang dalam bertaat kepada Allah, sekaligus merasa jijik melakkukan dosa kemungkaran.
Dalam kecerdasan kalbu yang seperti itu manusia akan mudah mengatur dirinya serta mudah untuk membawa dirinya menuju kebahagiaan dunia dan akhirat atas pertolongan Allah.
Hidup yang hanya satu kali ini harus direncanakan dengan konsep keselamatan yang matang. Dalam membawa diri menuju kebahagiaan sejati, harus ada filter yang di gali, dari spirit shalat untuk menolak segala pengaruh yang menuju kecelakaan dan kehinaan.
Mengendalikan tidak lepas dari rasa rendah hati yang membuat seseorang selalu minta tolong dan berdo'a kepada Allah. Sepandai-pandai orang mengendalikan diri, bila tanpa pertolongan Allah tidak mudah meraih sukses. Kalau pandai masih ada gurunya, tetapi keberuntungan tidak ada gurunya. Beruntunglah orang yang dekat dan taat kepada Allah. []

MENCERMATI GLOBALISASI
Dulu, ketika sarana transportasi dan komunikasi masih sederhana keadaan tidak mudah seperti sekarang. Sebelum tahun 1974, saya yang tinggal di desa, kalau mau pergi ke kota biasanya naik sepeda, pinjam kepunyaan teman atau tetangga. Kalau tidak ada pinjaman sepeda harus jalan kaki ke pertigaan desa Andalang, yang jaraknya sekitar 6 Km. Kemudian naik dokar sejauh empat belas kilometer. Tetapi setelah masuknya kendaraan bermotor, alangkah mudahnya pergi ke Kota, baik dengan naik mobil maupun dengan naik sepeda motor.
Dulu, sebelum televisi masuk ke Desa saya, orang-orang kampong jarang sekali bisa menatap wajah presiden dan para menteri, setelah televise masuk desa kami, orang-orang kampong bukan hanya tahu presiden dan para menteri tetapi juga tahu wajah bintang film Amerika berdarah Indian, Enie Estada, serta bintang film Rebeeca Killing. Dan sekarang, perawan-perawan kampong sudah bisa bergaya seperti cewek Jakarta atau gadis Eropa dengan belajar pada penampilan dan busana yang di tampilkan televisi.
Dunia menjadi sangat sempit karena gedung WTC yang hancur di Amerika, satu jam kemudian bisa disaksikan anak nelayan di ujung timur pulau kangean dengan menonton pesawat televise. Di samping itu, anak-anak kampong nan jauh dari kota bisa melihat cara-cara berpacaran model kota besar. Itulah hal yang diberikan revolusi komunikasi kepada jaman kita sekarang ini.
Globalisasi telah membuat jarak yang sagat jauh menjadi sangat dekat. Globalisasi dengan informasi lewat aneka macam media, baik melalui media cetak, media elektronik dan sarana komunikasi canggih lainya telah membuat orang-orang yang jauh berada dipelosok bisa diserbu oleh aneka macam berita dan informasi. Budaya kampong yang agraris pelan-pelan berubah kiblat kearah budaya metropolis. Hal itu bersamaan pula dengan bergesernya nilai-nilai rasa kasih sayang yang diatas kepada yang berada di bawah. Mulai menipis, demikian juga hormat dari yang dibawah kepada yang diatas terasa makin berkurang. Cinta kemanusiaan yang menjadi pembulat amat bagi persaudaraan terganggu oleh aneka macam kerusuhan, tawuran, fitnah dan bahkan korupsi yang menyengsarakan bangsa.
Benarkah revolusi komunikasi telah mendatangkan jiwa manusia? Seorang futorolog, Alexis Carel menyatakan “dalam era maraknya komunikasi informasi, manusia akan diserbu oleh beraneka macam informasi yang masuk kedalam dirinya, sehingga mereka akan abai terhadap (keselamatan) hati nuraninya.”
Hati nurani, sekali lagi “hati nurani” adalah karunia Allah yang paling berharga bagi manusia. Dengan hati nurani manusia bisa memelihara akal sehat untuk selalu berpikir positif dan kreatif. Dengan nurani manusia bisa menerima kebenaran yang datang dari Allah. Dengan nurani manusia bisa saling menghormati dan saling berkasih sayang sesama manusia.
Tetapi hati nurani yang diabaikan seperti yang diprediksi Alexis Carel, akan mudah dikotori dan dicemari oleh sampah-sampah modernitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan rasa persaudaraan. Dalam atmosfir kehidupan seperti itu bisa mungkin sebagian orang akan lebih mengutamakan baca SMS atau nonton televisi dari pada membaca al-Qur’an atau pergi ke diskotik dan karaoke lebih penting daripada membesuk teman dekat yang sedang terlentang dirumah sakit. Uang milik yayasan bisa digunakan untuk memperkaya diri dari pada dengan rekan untuk mensejahterakan umat.
Erosi akhlak yang seperti itu tentunya tidak bisa dibiarkan. Menyelamatkan dan merawat hati nurani adalah perjuangan yang harus di utamakan, Rasulullah saw bersabda; alqoimu bisunnati inda fasadi ummati lahu ajru sahid, artinya orang yang berpegang teguh pada sunahku, pada saat rusak-rusaknya umatku, baginya pahala seperti pahala orang yang mati sahid. Kiranya, apa yang disabdakan Rasulullah saw diatas perlu kita tanggapi secara positif agar diri kita tidak termasuk menjadi orang hanyut dan terombang-ambing dalam arus globalisasi, merawat dan menguatkan hati nurani dengan sikap “istiqomah” adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dan hati nurani.
Tidak kalah pentingnya dari menyelamatkan diri yaitu menyelamatkan umat (masyarakat), caranya dengan menggiatkan dakwah keagamaan dan menyampaikan nilai-nilai islam secara mendasar sehingga terbentuk barisan takwa.
Dalam barisan itu setiap orang punya tugas saling menyelamatkan antara yang satu dengan yang lain. Terbitnya majalah MAYAra dan majalah-majalah Islam yang lain, adalah wujud dari keinginan menyelamatkan umat dari virus-virus maksiat yang sangat berbahaya bagi umat Islam. Wallau ‘a’lam bishowab.


PELAYANAN SEBAGAI SIMPATI UKHWAH
Oleh : D. Zawawi Imron

Pepatah lama mengatakan pembeli adalah “raja” maksudnya agar pembeli yang datang berbelanja ke warung atau ke toko kita agar diperlakukan, dilayani serta dihormati sebagai raja. Tujuanya tidak lain agar pembeli tadi senang hatinya ,karena senang dengan penghormatan dan pelayanan itu, kalau ia mau belanja tentu akan datang ke tempat itu lagi.
Pada akhirnya, yang senang bukan hanya pembeli, yang punya tokopun akan senang karena akan banyak orang yang datang berbelanja ke tokonya. Dengan demikian, memberi pelayanan yang baik kepada orang lain akan menjadi kunci sukses.
Sebaliknya kalau kita memberi pelayanan yang jelek, tutur bahasa tidak santun, wajah tegang dan tidak ramah, orang akan malas datang ketempat kita. Pada umumnya, para pembeli dan semua orang selalu menginginkan perlakuan dan pelayanan yang santun dan hormat. Karena itu, setiap orang yang berurusan dengan orang banyak, harus berupaya untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat atau orang perorang yang datang kepadanya.
Dalam era modern, usaha perdagangan, birojasa dll selalu berusaha memberi kesenangan dan kenyamanan kepada semua pihak yang memerlukan produk usahanya. Sampai-sampai untuk menyenangkan para pembeli ada biro usaha yang dengan sengaja menampilkan wanita-wanita cantik yang disuruh selalu tersenyum agar image perusahaan itu menjadi sangat menarik.
Tetapi kecantikan saja tanpa akhlak yang baik tidak akan mampu mendongkrak image yang baik. Pada kolom-kolom “surat pembaca” dikoran atau majalah sering terdapat keluhan dari konsumen yang tidak mendapatkan pelayanan yang baik meskipun pada petugas yang ada diperusahaan itu dipilih orang-orang yag berparas tampan atau cantik.
Itu artinya, pelayanan yang baik terhadap masyarakat harus dikemas secara professional, pelayanan yang baik, sopan santun yang sesuai dengan akhlak akan membuat segala pelayanan akan diselesaikan dengan baik, tepat waktu serta sesuai dengan janji. Tanpa pelayanan yang baik, para pegawai yang tampan dan cantik hanya akan menarik sementara waktu, setelah mulai terasa merugikan kecantikan dan ketampanan itu hanya senilai bunga bangkai, warnanya indah dan menarik tetapi baunya membuat orang akan muntah.
Dari sini kita perlu kembali pada akhlak mulia, bahwa pelayanan yang senilai dengan ajaran agama jauh dengan unsur penipuan hanya baik dalam penampilan tetapi merugikan dalam kenyataan.
Jika pelayanan kepada masyarakat dan orang perorang itu berlandaskan kejujuran dan hati yang ikhlas, bahwa orang yang terbaik menurut Rasulullah saw adalah orang yang paling banyak manfaat, (jasa) nya kepada orang lain. Pelayanan yang baik yang bertumpu pada niat yang ikhlas karena Allah, Insya Allah akan menjadi bagian dari “rahmatan lil’alamin”.
Karena itu, setiap muslim punya tugas yang sangat mulia untuk selalu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada siapapun. Pelayanan yang baik dan tulus untuk menggembirakan sesama manusia tentu akan tercatat sebagai amal saleh.
Kenapa pelayanan harus dilaksanakan dengan hati yang tulus dan ikhlas? Pelayanan yang tidak didasari ketulusan hati, bisa sangat mungkin hanya sekedar untuk membuat orang tertarik, seperti sebagai iklan yang berteriak bombas, tetapi kenyataan yang didapat konsumen tidak sepadan dengan gemerlap lahiriah yang tampak.
Tetapi pelayanan yang dilakukan dengan jujur dan sikap ikhlas, yang dikemas untuk menyenangkan dan membuat puas orang lain, akan menjadi tali asih perusahaan antara yang melayani dengan yang dilayani. Dari sini akan tumbuh benang sutera yang menjadi pengikat ukhwah karena antara yang melayani dan dilayani harus saling hormat-menghormati saling menguntungkan, dan jauh dari pulah saling merugikan.
Jika pelayanan seperti itu yang selalu dirasakan umat, maka pihak yang melayani tidak perlu khawatir kesepian, karena setiap pelayanan yang benar-benar memuaskan, tentu akan menjadi bentuk iklan yang sangat dan segar sepanjang jaman.
Pelayanan yang ikhlas karena Allah akan menjadi sampai ukhwah yang membuat hidup didunia ini terasa nyaman dan indah karena setiap insan selalu siap melayani dan menyenangkan orang lain.
Kalau kita membuka kitab tarikh, bagaimana cara hidup nabi Muhammad saw melayani umat. Juga ketika beliu sebelum menjadi Rasul, berdagang dari negeri Syam dengan penuh kejujuran serta pelayanan yang baik kepada para pembelinya. Tak seorang pembelipun mengeluh setelah membeli dagangan beliau, karena beliau berdagang bukan semata-mata mencari keuntungan, tapi sebagai khalifah yang memenuhi keperluan umat.
Setelah menjadi Rasulullah, masyarakat yang datang kepadanya selalu diterima dengan ramah dan senyum yang indah. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah sangat menghargai sesama manusia.
Pemberian pelayanan publik yang baik, baik oleh perusahaan, toko, kantor pemerintah dll menunjukkan adanya penghormatan kepada manusia dan kemanusiaan, sebaliknya pelayanan yang mempersulit masyarakat, menunjukkan rendahnya rasa kemanusiaan serta rendahnya akhlak.


MENGHORMATI MANUSIA

Setiap manusia yang hidup di dunia ini tentu ingin hidup dengan penuh kesejahteraan dan kebahagiaan. Tidak ada orang ingin hidup tidak layak. Tetapi perlu kita renungkan bersama, apakah di dalam mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan itu kita harus dengan jalan menyakiti orang lain? Setiap tindakan dan perbuatan yang merugikan serta menyakiti orang lain adalah tindakan yang tidak menghormati manusia.
Jadi ketika ada seorang terlukai dan menderita akibat perbuatan seseorang, maka perbuatan itu jelas menyakiti semesta kemanusiaan, menyakiti tidak dalam artian fisik saja, seperti memukul dengan tongkat, melukai dengan pisau, dll. Tetapi menyakiti hati manusia seperti menghina, memfitnah, menyebarkan keburukan orang lain termasuk juga menyakiti kemanusiaan.
Untuk bisa menahan diri, tidak menyakiti orang lain ini dibutuhkan penghayatan yang mendalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang hasilnya akan berupa tindakan yang menghormati manusia. Dalam menghormati manusia ini akan lahir rasa persaudaraan (ukhuwah) yang membuat orang merasa senasib sepenanggungan, kalau yang satu sakit, perihnya akan dirasakan oleh yang lain.
Penghayatan kemanusiaan dan rasa persaudaraan sesama anak cucu Nabi Adam dan Ibu Hawa seperti itu sangat diperlukan untuk membentuk atmosfer kehidupan yang damai tanpa permusuhan. Hal seperti itu perlu diperjuangkan sebagai perjuangan kebudayaan untuk menumbuhkan terbentuknya umat atau kelompok manusia yang berakal budi.
Masyarakat yang berakal budi atau yang dalam bahasa agama disebut berakhlakul karimah adalah satu-satunya hal yang harus diperjuangkan apabila tatanan hidup sehat lahir batin benar-benar kita inginkan. Pendidikan keilmuan dan teknologi yang canggih tanpa disertai pendidikan budi pekerti yang luhur hanya akan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan yang pandai tetapi tidak punya dedikasi yang tulus dan ikhlas untuk membahagiakan serta menyejahterakan orang lain. Ilmu tanpa akhlak akan membuat pengetahuan itu sangat mungkin digunakan untuk menipu dan merugikan bangsanya dan orang lain. Ilmu tanpa penghayatan atau tanpa sensibilitas kemanusiaan akan membuat terbengkalainya tugas-tugas mulia untuk kebersamaan. Bisa kita lihat beberapa bukti; misalnya, kepandaian membuat bangunan yang indah di atas bukit-bukit, terbukti telah mengakibatkan gundulnya bukit-bukit dan timbulnya banjir yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Kepandaian seseorang dalam menguasai ilmu tentang atom, telah digunakan membuat bom atom yang memusnahkan manusia.
Kenapa bisa terjadi seperti itu? Karena orang-orang yang pandai tidak punya nurani yang jernih untuk memberi ruang kasih untuk sesama manusia. Yang terjadi adalah pendangkalan ruhani. Bahaya dari pendangkalan ruhani itu akan membuat seseorang keluar dari kodrat kemanusiaanya sehingga hidupnya penuh kekerasan dan kebuasan seperti yang terdapat pada kehidupan binatang. Allah swt telah berfirman,

“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Qs.al-A’râf: 179)

Kalau kita renungkan firman Allah di atas, betapa pentingnya manusia itu menjaga akal sehatnya, menjaga tindakan-tindakanya agar tetap mulia sebagai manusia yang berakhlak, tidak jatuh terpuruk hanya setingkat dengan binatang akibat perbuatan-perbuatan yang tidak bermoral seperti yang dilakukan oleh binatang.
Tanpa moral dan akhlak, tidak akan ada penghormatan yang tulus kepada manusia-manusia lain. Dan akibatnya tidak lain, hidup di dunia tidak ada persaudaraan dan kebersamaan. Antar manusia akan saling cakar, saling fitnah dan saling menjatuhkan. Padahal dalam jiwa yang bertumpu pada akal budi, punya musuh seorang terasa sangat banyak, dan teman seribu masih sangat kurang.
Itu artinya, dalam jaman seperti apa modernya, yang bernama akhlak kemanusiaan itu sangatlah penting. Bahkan diutusnya Nabi Muhammad saw adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, sebagaimana yang disabdakan.

"Aku ini diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak manusia”.

Mengupayakan kembalinya hidup berakhlakul karimah di tengah-tengah pergaulan dan kehidupan, kiranya perlu juga mulai dirancang dan dicanangkan pendidikan yang memberi ruang luas untuk mengembangkan budi pekerti. Pendidikan yang dimaksud bukan sekedar berupa wacana dan doktrin tentang akhlak tetapi beda dalam bentuk menanamkan budi pekerti itu ke lubuk jantung anak didik, sehingga akan bisa berurat-berakar menjadi spirit untuk menghormati manusia dan kemanusiaan serta untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran.

Manusia sebagai khalifah
D zawawi imran

Allah berfirman "laqad khalaqnal insaana fi ahsani taqwim", artinya "sungguh kami (Allah) menciptakan manusia itu dalam keadaan sebaik-baik ciptaan" itu artinya manusia sebagai ciptaan Allah merupakan makhluk yang termulia. Kemuliaan itu bisa diperhatikan bahwa manusialah yang secara nyata bisa menjadi aktor kehidupan di atas bumi. Bahkan manusialah yang bisa menguasai bumi dengan isinya. Istilah menguasai barangkali kurang tepat, karena ada istilah dari Allah yang menyatakan bahwa manusia itu adalah "khalifah" yaitu petugas Allah untuk merawat dan menjaga kehidupan di atas bumi ini. Dalam surat hud ayat 6, Allah menyatakan pula bahwa manusia diciptakan dari bumi (tanah) dan ditugaskan Allah untuk memakmurkan bumi.
Untuk bisa memakmurkan bumi itu, menusia memerlukan ilmu, mulai dari ilmu bercocok tanam sampai dengan ilmu-ilmu canggih untuk bisa mengolah hasil bumi itu. Ilmu mengolah batu menjadi semen, mengolah tumbuh-tumbuhan untuk menjadi obat, mengebor bumi untuk menemukan air, minyak dan lain-lain. Sehingga kebutuhan hidup manusia di dunia ini bisa dipenuhi bersama.
Degan demikian menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang diniatkan untuk kesempurnaan hidup manusia di dunia ini tidak lain sebagai wujud dari tugas tugas kekhalifahan. Tanpa ilmu, manusia sulit untuk menjadi khalifah dalam arti yang sebenarnya. Dalam hal ini Allah berfirman, "yarfa'illaahulladzina aamanu minkum walladzina 'uutul'ilma darajat" artinya Allah akan mengangkat orang-orang beriman diantara kamu yang berilmu dengan derajat yang tinggi.
Merenungkan firman Allah di atas, jelas bahwa ilmu adalah sarana untuk mendapatkan harkat dan derajat yang tinggi di dalam penilaian Allah. Buktinya, memang orang-orang berilmu pengetahuan yang membuat orang bisa mengelola bumi dan isi bumi ini dengan baik. Orang yang mempunyai ilmu tentang pesawat terbang, berarti telah membantu kehidupan kemanusiaan untuk mempermudah dan mempercepat transportasi dari satu kota ke kota lainnya dengan jarak tempuh yang lebih cepat ketimbang jalan kaki atau naik unta. Eksperimen para ilmuwan dalam dunia pertanian telah menghasilkan padi yang bisa dipanen dalam waktu 3 bulan, yang dulunya membutuhkan waktu 6 bulan.
Semua upaya memenuhi kebutuhan manusia itu tidak *lain merupakan wujud dari tugas "khalifah" sebagaimana yang dikehendaki Allah. Ulama besar pakistan pada awal abad ke-20, Maulana Muhammad Iqbal melukiskan manusia khalifah itu dalam salah satu modal puisinya,

Tuhan, engkau yang membuat malam gelap gulita
Dan aku yang bertugas menyalakan lampu benderang
Engkau yang membuat hutan belukar
Dan aku yang mengubahnya
Engkau yang membuat batu
Dan aku yang mengasahnya menjadi permata yang kemilau
Engkau yang membuat racun
Dan aku yang mencari obat penawar

Dalam puisi yang indah di atas jelas sekali tugas manusia sebagi khalifah harus benar-benar sadar akan tugasnya bahwa hidup ini harus yang bermanfaat. Artinya hidup di dunia ini harus digunakan sebaik-baiknya untuk bertanggung jawab bisa berbuat sesuatu yang berguna dan bermakna bagi kehidupan manusia lain. Kalau berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kemanusiaan itu dilakukan dengan "karena Allah" maka permbuatan kekhalifahan itu akan tercatat sebagai "amal shaleh" yang berhak untuk mendapatkan balasan kebaikan kelak di akhirat.
Dengan demikian, tugas “khalifah” yang diamanahkan Allah kepada manusia itu harus benar-benar disadari dengan penuh tanggung jawab. Jika tidak, hidup di dunia ini akan menjadi sia-sia, dan tidak bermakna.
Nilai hidup yang bertentangan jiwa “khalifah” ialah bila ia hidup di dunia ini digunakan merusak dan merugikan orang lain. Hidup yang digunakan untuk merusak hutan, mencemari sungai dengan limbah, membudayakan perzinaan, meramaikan pesta narkoba, menghalangi orang berbuat baik, memprofokasi kerusuhan dll, adalah cara hidup yang melecehkan kemanusiaan. Semua itu adalah perbuatan yang tidak pantas diperbuat oleh manusia beriman dan berakhlak sehat.
Dengan demikian, betapa pentingnya membangun dan membudayakan akal sehat yang berintikan iman kepada Allah, untuk membudayakan etos “khalifah” yaitu akhlak untuk merawat bumi dan kehidupan ini dengan pengolahan yang benar dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Jika tidak, meskipun manusia itu makhluk yang mulia tetapi karena mengingkari tugas “khalifah”, Allah mengancam: “……tsumma radadnahu asfala safilin, artinya, “manusia yang ingkar itu akan diturunkan derajadnya dengan serendah-rendahnya derajad”. Mengingkari tugas “khalifah” itu akan membuat hidup di dunia ini menjadi sia-sia dan tidak berguna. Buat apa datang ke dunia kalau hanya untuk mendapat nilai hampa.
Karena itu, setiap manusia perlu disadarkan jiwanya untuk mengangkat kembali tugasnya yang mulia, yaitu tanggung jawab kekhalifahan untuk bisa bersama-sama mengisi kehidupan dengan perbuatan-perbuatan yang membuat semua kebutuhan hidup manusia yang satu untuk membahagiakan yang lain.
Itu artinya, tugas kekhalifahan tidak hanya berupa tugas fisik saja. Untuk bisa punya etos kerja yang baik, kita perlu membangun jiwa yang bertanggung jawab langsung kepada Allah. Tanggung jawab kepada Allah itulah yang akan membuat seseorang manusia akan merasa “malu” kepada Allah kalau tidak berbuat sesuatu yang berarti buat dirinya dan buat kemanusiaan.
Jiwa yang “ihsan”, yang selalu merasa diperhatikan oleh Allah, akan membuat seseoarang menjadi rajin berbuat atau beramal sholeh untuk kesejahteraan bersama. []


Apresiasi Kemanusian

Kalau kita berpikir dengan kejernihan hati nurani, akan tampak bahwa seluruh manusia yang lahir di pelosok bumi, di wilayah mana mereka tinggal, sebenarnya punya “rasa” dan “perasaan” yang sama. Akan tertawa kalau gembira, akan menangis atau sedih kalau dilanda penderitaan. Akan senang kalau dihormati dengan hati yang jujur dan sebaliknya akan marah kalau diganggu atau disakiti secara semena-mena.
Dalam agama, seluruh umat manusia itu disebut sebagai ”Bani Adam”, anak cucu Nabi Adam. Kalau semua sama-sama keturunan Nabi Adam tentu saja semua adalah bersaudara. Dari sinilah berkembang rasa ”ukhuwah” atau ”persaudaraan”. Persaudaraan adalah sikap merasa saling mencintai sehingga satu sama lain tidak saling mengganggu dan saling merugikan. Allah berfirman dalam al-qur’an ”Kanan nâsu ummatan wâhidah", manusia itu adalah umat yang merupakan satu kesatuan. Satu kesatuan, berarti satu kelompok besar yang tidak patut bercerai-berai apa lagi bermusuh-musuhan.
Hal di atas dipertegas oleh firman-Nya "Yâ ayyuhannâs inna khalaqnâkum min dzakarin wa untsâ wa ja'alnâkum su'ûban waqabâila lita'ârafû, inna akramakum 'indallâhi atqâkum". Wahai manusia, Kami (Allah) menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berpuak-puak dan bersuku bangsa agar kamu saling kenal-mengenal (saling mengerti). Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kamu.
Pada ayat di atas, jelas sekali bahwa Allah menghendaki manusia itu untuk saling mengenal dan saling mengerti. Dalam saling mengerti tentu perlu apresiasi kemanusiaan, bahwa kalau diri ini dicubit orang merasa sakit, maka rasa kemanusiaan yang muncul dari hati nurani pasti tidak membolehkan menyakiti orang lain. Kalau kita menyakiti seorang manusia, baik dengan menipu, memukul, memeras dan membunuh berarti kita menyakiti kemanusiaan. Menyakiti orang lain adalah bentuk nyata dari mengkhianati kemanusiaan, karena seluruh umat menusia hakikatnya satu.
Nabi Muhammad saw adalah teladan yang baik dalam menghormati manusia dan kemanusiaan. Meskipun ia seorang rasul dan nabi, dalam pergaulan sehari-hari ia tidak pernah minta diperlakukan dengan penghormatan yang berlebihan kepada para sahabat dan umatnya. Kalau ia menyuruh umatnya bershalawat kepadanya, karena si pembaca shalawat itu akan mendapat anugerah 10 kali shalawat dari Allah swt. Jadi shalawat akan terpulang kepada si pembaca shalawat itu sendiri.
Pada saat yang lain Rasulullah datang menziarahi kubur seorang perempuan desa yang sering membersihkan masjid, serta melakukan shalat ghaib di samping pusara. Pada saat yang lain lagi Rasulullah pernah mencium tangan seorang desa yang melepuh karena habis mencungkil tanah yang dijual untuk nafkah keluarganya. Tangan yang bekerja untuk mendapat rizeki halal itu adalah tangan yang mulia menurut Islam.
Setiap orang beriman yang cinta kepada sunnah rasul tidak menganut faham feodalisme yang membagi-bagi manusia dengan kelas-kelas. Karena di hadapan Allah yang menentukan seseorang itu bukan atribut, pangkat, kekayaan dan gelarnya, tetapi ukuran kamuliaan itu berdasarkan ketakwaannya. Semakin mendalam iman dan rasa takwanya serta semakin banyak amal shalihnya akan semakin mulia dalam penilaian Allah.
Walau seorang penyabit rumput, tukang becak, atau buruh tani, namun kehidupan sehari-harinya penuh kepatuhan terhadap Allah, maka mulialah di sisi Allah. Orang yang kaya dan orang yang berpangkat yang takwa juga akan mulia di sisi Allah.
Dari apresiasi kemanusiaan seperti itu kita perlu memperdalam pemahaman tentang indahnya persamaan dan kebersamaan. Alangkah indahnya jiwa yang jernih, yaitu selalu memandang semua manusia itu dengan kedudukan yang sama dengan diri kita. Dari pandangan seperti itu tidak akan muncul sikap sombong, merasa benar sendiri, egois, dan sebagainya. Beragama yang benar akan menghormati manusia lain sesuai dengan amanah Allah. Dari rasa persamaan dan kebersamaan itulah akan menjadikan masyarakat yang rukun, damai, santun sarta saling menghormati.


Memandang Pendapat Orang Lain
Setiap manusia memang diberi akal pikiran oleh Allah swt. Pikiran itulah yang membuat manusia menjadi makhluk yang cerdas dan bisa mengupayakan hidupnya menjadi jauh lebih mulia dari makhluk ciptaan Allah yang lain.
Namun karena luasnya pikiran dan hasil pemikiran itu, muncul cakrawala pemikiran yang berbeda. Dalam memandang satu masalah, kakak dan adik bisa berbeda, ayah dan anak kadang tidak sama. Hal itu tidak lain merupakan anugerah Allah bagi manusia agar hidup di dunia ini ada variasi-variasi. Dengan aneka ragam pemikiran itu, cakrawala kehidupan menjadi kaya makna dan banyak pilihan sehingga bisa diibaratkan aneka macam bunga yang beraneka ragam warna mekar bersama dalam sebuah taman.
Pemandangan seperti itu ternyata bukan hanya dalam pemikiran dan keilmuan saja. Bermacam bangsa dan suku bangsa saja bahasanya tidak sama. Karena masing-masing mempunyai bahasa sendiri. Bahkan wajah manusia satu sama lain tidaklah sama. Dua orang yang bersaudara kembar yang selintas dipandang terasa persis pinang dibelah dua, setelah diteliti dengan cermat, ternyata masih ada perbedaannya.
Perbedaan seperti itu kalau direnungkan secara mendalam menunjukkan betapa Mahakaya Allah Rabbul ’alamin dalam menciptakan makhluknya di dunia ini. Memandang konsep penciptaan makhluk yang ”mahakaya” seperti itu, jiwa yang cerdas akan merasa kecil di hadapan Allah dan kemudian akan tunduk bersujud kepada-Nya. Manusia yang sadar akan ”kebesaran” dan ”kekuasaan” Allah bukannya semakin merasa hebat tetapi semakin merasa dhaif (lemah) di hadapan Allah. Kalau ia punya ilmu dan pengetahuan pasti akan dipandang sebagai anugerah Allah. Karena itu tidak akan ada kesombongan dan merasa benar sendiri.
Dalam pepatah Minangkabau ada kearifan ”ilmunya padi, semakin berisi semakin merunduk.” Itu artinya, manusia semakin berilmu bukannya semakin gagah dan congkak tetapi semakin sadar akan kelemahan dan kekurangan dirinya. Tentu saja karena senang berintrospeksi sehingga menjadi orang yang rendah hati (tawadlu).
Orang yang tawadlu akan merasa malu kepada Allah dan kepada manusia untuk membusungkan dada dengan sikap congkak, karena apa yang ada pada dirinya tidak lain adalah karunia Allah bukan kekuatan dan kekayaan yang murni dari dirinya sendiri. Orang yang rendah hati seperti itu tidak akan mudah melecehkan dan menyalahkan orang lain. Orang yang berhati-hati dan tidak sembrono, ketika melihat orang lain berbeda dengan dirinya, ia bukan segera menyalahkan orang lain tetapi dengan tangkas ia segera mengoreksi hasil pemikirannya sendiri, siapa tahu yang benar bukan dirinya tetapi orang lain yang bertolak belakang dengan dirinya.
Itu artinya dalam proses berpikir dan menghasilkan buah pikiran bukan hanya diri sendiri yang berhak meraih kebenaran, orang lain pun punya kesempatan dan berhak benar seperti diri kita. Lalu kenapa atau ada banyak orang lain yang pikirannya berbeda dengan kita? Orang lain punya akal dan pikiran, dan punya jalan berpikir, sudut pandang, latar belakang, pengalaman yang berbeda dengan kita.
Ketika saya hanya memberi runag buat diri sendiri dan tidak mau tahu sudut pandang orang lain, saya akan terpelosok pada subjektifitas. Dalam kondisi pikiran yang sempit seperti ini yag benar adalah hasil pikiran saya sendiri. Hasil pikiran orang lain semuanya salah. Sikap seperti ini yang tidak mau memandang keluasan cakrawala pikiran orang lain, bisa menjebak saya pada egoisme. Yang menyedihkan pikiran saya yang sempit seperti itu akan bertemu dengan pepatah, ”katak yang belum pernah melihat laut akan menganggap sumur tempat ia berenang itu luas sekali.”itulah pentingnya kita belajar berlapang dada dalam memandang pendapat orang lain. Bukan setiap orang lain yang berbeda dengan kita harus kita anggap sebagai musuh, karena orang beriman tidak mencari musuh. Nabi Muhammad tidak pernah mencari musuh, namun karena ia dimusuhi, maka harus melawan. Dan ketika musuh kalah, ia tidak melakukan balas demdam.
Itulah pentingnya hati yang luas dan dibersihkan dari sikap congkak dan takabbur, agar bisa menghargai orang lain bahwa orang lain kalau dikehendaki Allah bisa lebih cerdas dan cepat menemukan kebenaran daripada kita. Semoga kita diberi kecermatan oleh Allah, untuk tahu kesalahan pikiran kita sendiri.

Simpati Dan Empati
Manusia tidak hanya terdiri dari jasad atau fisik saja. Kalau melihat manusia dari fisiknya saja, yang terjadi dari susunan daging, tulang, darah dan lain-lain, manusia tidak banyak beda dari binatang. Tapi lebih dari itu, manusia juga mempunyai ruh, jiwa atau batin. Dengan jiwa itulah manusia bisa menata hidup jauh lebih cerdas dan mulia dari binatang.
Manusia juga punya nafsu. Kalau hanya nafsu makan, nafsu untuk kawin, saya kira tidak masalah, justru dengan makan dan kawin itulah manusia bisa merasakan nikmatnya dunia. Tetapi jika nafsu itu tidak dikendalikan, bisa saja terjadi keserakahan, kebuasan, tindakan-tindakan merugikan yang lainnya.
Di sinilah pentingnya perawatan dan pemeliharaan jiwa atau ruh itu agar tetap setia kepada jati diri kemanusiaan. Rohani atau jiwa yang kuat (dekat dengan Allah) akan bisa mengemudikan hawa nafsu. Karena itu iman, takwa kepada Allah menjadi sangat penting dijaga dengan baik agar jasmani (tubuh) tidak dikuasai oleh hawa nafsu.
Dari pemahaman ini manusia akan mendapatkan sedikit kemudahan untuk memahami dirinya dengan penuh mawas diri. Karena manusia adalah makhluk sosial, perlu juga memahami orang lain agar terjalin hubungan kemanusiaan untuk menuju kebersamaan dan saling menghormati. Dari perspektif inilah manusia saling mengerti akan mudah dirintis sehingga terjadi kerukunan dan persaudaraan abadi. Sehingga dunia ini menjadi tempat yang damai bukan menjadi tempat bermusuhan.
Yang perlu kita pahami, bahwa orang lain; apakah ia saudara, family, teman, serta semua manusia, sebenarnya punya perasaan yang sama dengan kita. Mereka punya rasa lapar, ingin hidup sejahtera, akan susah mendapatkan cobaan penderitaan, akan senang bila mendapat keuntungan, dan lain-lain. Orang lain juga punya hak untuk mandapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan seperti kita. Kalau milik mereka kita ambil tanpa ijin pasti akan marah.
Jika apa yang terdapat pada mereka ukurannya sama dengan yang ada dalam diri kita, kemudian kita gunakan mata hati yang jernih, pasti kita tidak ingin menyakiti mereka. Bahkan kalau simpati kita bisa kembangkan menjadi “empati”, pastilah kita akan berupaya untuk selalu menyenangkan dan berusaha untuk membahagiakan mereka.
Jika kita meneliti sejarah, sikap dan tindakan memberi kesejahteraan dan membahagiakan orang lain itulah yang sehari-hari yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Di mana saja nabi Muhammad berada; di rumah, di jalan, di masjid, di pertemuan, ia selalu menjadi orang yang selalu menebar senyum keramahan dan menyenangkan orang lain.
Kenapa selalu begitu? Karena ia diutus Allah sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi alam semesta. Bahkan tumbuh-tumbuhan, binatang yag tidak diperlukan untuk dimakan pun tidak akan mendapat gangguan dari nabi kita. Kalau nabi melakukan perang bukan karena haus darah, tetapi peperangan itu dilakukan untuk membela kebenaran. Karena diserang oleh orang-orang yang tidak suka kepada agama Allah. Hal itu dibuktikan ketika “Penakhlukan Mekkah”. Nabi Muhammad melarang melukai dn membunuh musuh (orang kafir Quraisy) yang telah menyatakan takluk.
Dari sekilas paparan di atas menjadi jelas, betapa pentingnya setiap muslim itu memahami orang lain dengan jiwa yang damai dan pikiran yang jernih. Manusia lain punya keinginan untuk selamat. Karena itu pikiran yang sehat akan berupaya menyelamatkan orang lain. Pikiran jernih seperti itu akan memandang manusia lain sebagai saudara dengan saling bantu dan saling melindungi dengan getar kasih sampai ke redang jiwa yang paling dalam.
Untuk itu setiap manusia memerlukan rohani yang jernih atau hati yang bersih yang membentuk akhlak yang indah. Yaitu akhlak yang sesuai degan yang diajarkan Allah melalui contoh-contoh yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Hati yang bersih itu harus bisa diupayakan dengan banyak mengingat Allah swt. []


MANUSIA DAN AGAMA

Memahami orang lain adalah sebuah cara untuk mendekati anak cucu Nabi Adam secara lebih manusiawi, tidak memahami orang lain akan menyulitkan kita untuk melakukan hubungan {interaksi} sebagai makhluk sosial. Tidak adanya upaya untuk memahami orang lain akan mengakibatkan salah paham dan tidak adanya saling mengerti.
Dengan demikian, upaya memahami orang lain adalah bagian penting untuk menggalang kebersamaan,saling menghormati,bahkan saling melindungi satu sama lain
Setelah kita tahu manusia sebagai makhluk sosial yang beradab tentu perlu ditingkatkan memahami orang lain sebagai makhluk religius, yaitu manusia yang punya kesadaran tentang adanya Dzat yang sangat dekat dengan dirinya, yang memberi hidup, memberi rizqi, yang mengatur peredaran darah keseluruh tubuh serta menjaga detak jantung baik ketika kita jaga maupun ketika diri kita sedang tidur.
Nah, kedekatan jiwa seorang manusia dengan Sang pencipta itu tak lain merupakan kecerdasan yang menuju kemulian jiwa dan ketinggian martabat manusia sebagai “insan religius” dan lebih dari itu sebagai insan agama yang dengan kedekatanya pada Sang Kholiq {Allah}, ia selalu enjoy melaksanakan syariat agama.
Artinya ia melaksanakan syariat agama bukan karena dipaksa, diancam dan ditakut-takuti- karena tidak ada paksaan dalam agama tapi benar-benar karena Allah sekaligus ingin selalu bersyukur kepada Allah.
Orang beragama seperti itu tentu sangat menikmati agama serta selalu berusaha agar selalu dalam tindak lakunya serta perbuatan sehari-harinya selalu selaras dengan agamanya. Bahkan orang seperti itu bisa menemukan dan menghisap nikmatnya beribadah kepada Allah.
Kesadaran dan kecerdasan seperti itu dapat dikategorikan sebagai kesadaran tertinggi, puncak akal yang telah merasa pas bertuhankan Allah SWT Robbul alaamiin. Itulah kekayaan hati manusia yang selalu dalam wilayah pencerahan.
Berada dalam masjid seperti merasa berada di dalam majlis yang penuh dengan pencerahan hidayah Allah. Pergi ke majelis pengajian seperti merasa mengisi dada dengan ilmu Rasulullah dan ajaran-ajaran Allah, mencari nafkah di pasar atau di sawah tidak hanya sekedar mencari makan, tetapi merasa sedang mencari rahmat Allah yang diupayakan dengan penuh doa dan pengharapan terhadap ni’mat Allah. Datang bersilaturrohim kerumah famili atau teman dirasakan sebagai upaya menguatkan ukhuah islamiyah seta memantapkan rasa kasih sayang di bawah panduan hidayah Allah.
Beragama seperti itu tentu akan banyak mengandung hikmah, sehingga manusia yang mampu melaksanakanya akan bisa memaknai hidupnya bukan hanya dalam bentuk pengertian tetapi lebih dari itu memaknai hidup dengan amal sholeh yang nyata, berupa perbuatan yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Ingat! sabda Rasulullah SAW ” Khoirunnas Anfauhum Linnas” sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.
Memandang orang lain dengan kaca mata agama akan menghasilkan pandangan yang indah, bahwa manusialain itu tidak lain adalah saudara kita sesama anak cucu Nabi Adam. Kalau mereka sakit tugas kita untuk menolong dan membantu penyembuhannya. Kalau mereka jujur, pandai, adil serta amanah akan kita pilih sebagai pemimpin kita. Kalau satu ketika ia berbuat keliru kita tegur dengan bahasa yang santun sehingga ia sadar akan kesalahannya.
Seorang yang telah memeluk agama dengan penuh yakin dan patuh, tidak lain adalah guru dan teladan kita dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu setiap orang yang ingin bergama secaara benar tidak dapat hidup sendirian tanpa pergaulan dan persaudaraan kepada tetangga dan seluruh manusia. Dalam pegaulan itu kita membuka mata dan akal pikiran untuk melihat kehidupan serta berkaca pada perilaku orang-orang sholeh dan kemudian kita berteladan pada kesholehannya, tak kalah pentingnya bersahabat, berguru pada orang shaleh, ikut pengajianya agar pelaksanaan hidup dan keagamaan ada yang membimbing dan tidak berjalan dalam kebingungan.
Dalam persaudaran yang berdasar iman, Allah menjadi milik bersama kaerena memang Allah milik bersama, menjadi tidak ada alasan bagi kita untuk menyakiti sesama orang yang beriman. Nabi Muhammad SAW bersabda,”Orang mukmin satu dengan yang lainya bagaikan satu bangunan yang satu akan menguatkan yang lainya.” Karena itu sesam orang mukmin jangan sampai bercerai-berai.

Guru Yang Sejati

Sehabis shalat dzuhur di Sumenep, saya harus buru-buru naik becak menuju terminal untuk naik bus patas ke Surabaya, karena malamnya saya harus mengisi acara di Surabaya. Tiba di Terminal, bus patas ternyata tidak ada. Kalau naik bus biasa, saya kahawatir terlambat tiba di Surabaya. Belum lagi soal macet karena antre naik kapal yang kadang berjejal di dermaga Kamal.
Maka segera saya putuskan naik mobil plat kuning saja sampai ke Pamekasan di terminal Pamekasan saya beruntung, ada kol yang khusus membawa penumpang langsung ke Kamal, jadi tidak menurunkan dan menaikkan penumpang di jalan. Saya naik dan mendapat tempat duduk di samping sopir. Setelah penumpang penuh, pada siang yang terik itu mobil yang saya tumpangi segera meninggalkan Pamekasan.
Wajah sopir itu jernih meski tidak ganteng. Umurnya kira-kira menjelang 50 tahun. Entah mengapa, hati kecil saya ingin sekali beramah tamah dengan pak Sopir itu.
“Ini keberangkatan yang keberapa kali, pak?”tanya saya.
“Ini yang pertama,” jawabnya ramah.
“Lo, tadi pagi berarti tidak ke Kamal?”
“Kalau pagi, yang nyopir orang lain. Saya hanya nyopir siang hari. Kalau pagi saya mengajar.”
“O, jadi anda seorang guru?” Tanya saya agak heran. Dan saya tidak sempat bertanya, dia mengajar SD atau SMP.
“Benar, Pak, saya guru. Anak saya tiga Pak, dua sudah kuliah di Malang, kalau tidak ‘umega’ seperti ini, mana mungkin bisa membiayai anak, apalagi anak yang tertua kuliah di swasta.”
“Umega itu apa?” Tanya saya.
“Ah, masa Bapak tidak tahu?”
“Sungguh baru sekarang saya mendengar istilah itu.”
“Itu sudah popular bagi kami yang senang ngobyek. Umega itu akronim dari usaha menambah gaji.”
Saya tersenyum, tapi juga terharu. Pak Sopir yang sebenarnya Pak Guru ini, ternyata seorang pejuang untuk kesejahteraan dan masa depan anak-anaknya. Dari perkawinan dengan isterinya, dia telah membuahkan beberapa orang anak. Anak itu dia terima sebagai amanah Tuhan kepadanya untuk dijadikan manusia yang baik. Dia ingin anaknya cerdas dan berbudi, untuk itu dia sekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. Sebuah tanggung jawab telah dia tegakkan; sebagai seorang ayah, sungguh mulia hatinya. Sebenarnya, dia pahlawan bagi anak-anaknya.
“Kalau begitu, Bapak pantas bersyukur kepada Tuhan,” kata saya. “Dengan bekerja menyetir mobil seperti ini berarti Bapak menyukai rezeki yang halal.”
“Ah, Bapak terlalu memuji,” elaknya.
“Sungguh, Pak,” ujar saya dengan jujur.
“Saya tidak teramat yakin, bahwa saya ini orang baik-baik. Siapa tahu kalau saya bekerja di tempat yang basah, iman saya jadi goyang, sehingga saya mau mencuri juga.”
Ucapanya yang terakhir ini benar-benar mengagetkan saya. Ucapan itu mengandung pelajaran kepada diri saya, agar diri ini tidak mudah mengejek dan mengumpat orang yang telah terjerumus melakukan haram, dan hal-hal yang tercela. Lebih-lebih agar tidak merasa diri sok suci dan lebih bersih dari orang lain, meskipun selama hidup selalu menempuh jalan yang lapang.
Kalau ada orang berbuat keburukan, tentu bukan orangnya yang saya benci, tetapi perbuatanya yang harus saya benci agar diri tidak ingin terhanyut untuk meniru melakukannya. Sedangkan orangnya; perlu kita kasihani. Kalau perlu, kita beri nasihat yang baik agar dia berhenti melakukan kebusukan itu. Bentuk kasihan terhadap orang yang berbuat dosa, bukan membiarkanya sampai lebih banyak lagi bergelimang dosa.
Dari sudut budaya, Pak Sopir itu ternyata bukan hanya guru di sekolah saja, tetapi dia guru dalam kehidupan nyata sehari-hari. Sambil nyetir mobilnya untuk menuju kota tujuan, dia juga menyetir hati saya untuk menuju kebahagiaan yang sejati. Dia telah turut menyemarakkan jalan menuju hakikat hidup dengan cara yang sederhana.
Satu hal yang sulit saya lupakan ialah kearifannya terhadap hidup, bahwa berbahagialah orang yang mentalnya belum seberapa kuat dan mendapat pekerjaan di tempat yang di dalamnya tidak ada barang yang dicuri.
Tentu lebih bahagia lagi orang yang imannya memang kuat, meski ia bekerja di tempat yang bergelimang uang, dan banyak kesempatan untuk korupsi, dia akan tetap bersih. Dengan imannya yang kuat, dan dengan sikap ihsan yang meresap, dia akan merasa malu kepada Allah untuk berbuat yang melanggar hukum Tuhan.
Tiba di terminal Kamal, saya turun untuk pindah ke kapal Feri yang menuju Surabaya. Saat membayar ongkos. Saya sempat menikmati kejernihan wajah Pak Sopir yang penuh kearifan. Senyumnya begitu ikhlas, dan terima kasihnya diucapkan dengan suara tenang yang mengandung kejujuran.
Di terminal itu pak Sopir yang guru atau Pak Guru yang sopir itu lalu membaur dengan sopir-sopir yang lain atau dengan orang-orang kebanyakan. Hari itu saya benar-benar bertemu dengan seorang guru yang “maha guru”.[]


Pendidikan Akhlak Lewat Kisah
D Zawawi Imran

Di Indonesia dulunya, dongeng merupakan cerita yang hidup di tengah-tengah masyarakat agraris. Bila bulan purnama datang dengan bentuknya yang bundar keemasan, anak-anak menggelar tikar di halaman rumah. Nenek atau kakek mendongeng di atas tikar dengan dikelilingi oleh cucunya. Kemudian angin sepoi bertiup mendesirkan daun-daunan. Sungguh, peristiwa yang romantis! Pada saat seperti ini, kerekatan dan kekerabatan menemukan bentuknya dengan berintikan jalinan kasih sayang antara generasi tua dan generasi penerusnya. Dongeng yang kadang-kadang berupa fable yang mengisahkan tentang satwa akan sangat membantu rasa sayang pada binatang dan juga cerita tentang manusia yang bisa menjadi contoh teladan bagi kehidupan. Tidak kurang pentingnya adalah cerita tentang para rasul dan nabi serta ketauladanan para sahabat yang mulia. Cerita-cerita yang mengandung ajaran akhlak mulia seperti itu sangat dibutuhkan untuk membentuk kepribadian anak-anak dan para santri. Bahkan dalam pengajian-pengajian kisah teladan yang mengandung hikmah perlu disampaikan untuk memberi pencerahan.
Dalam penelitian, dongeng ternyata menyimpan banyak kearifan moral yang bisa mengetuk dunia rohani manusia, termasuk anak-anak, untuk melihat kehidupan di dunia ini dengan pandangan yang bertumpu pada hati nurani. Sebab, pada umumnya ajaran yang terdapat pada dongeng adalah kejujuran, kasih-sayang sesame manusia, dan kasih sayang pada makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuhan.
Seorang pengamat Barat, Lewis Caroll mengatakan bahwa dongeng adalah “tanda kasih”. Berkisah dan mendongeng adalah memberi hadiah – tanda kepedulian dan keterbukaan. mendongeng adalah memberi kesadaran pada pendengar tentang pengertian dan perasaan takjub, misteri dan penghormatan pada kehidupan. Karena itu, saya sangat gembira pada usaha anak-anak muda yang berupaya menghidupkan kembali dongeng-dongeng dengan mengadakan lomba dongeng. Usaha seperti itu tidak lain adalah wujud dari kepeduliaan para warisan budaya yang sengaja diorientasikan kepada tantangan masa depan dengan mengetengahkan tema mencintai kemanusiaan, satwa dan tumbuh-tumbuhan.
Ketika banyak orang-orang yang sudah tidak peduli kepada budaya warisan leluhurnya, sementara kearifan dari luar juga tidak diraup, maka upaya melestarikan kearifan tradisional yang masih relefan dengan masa depan dan perkembangan zaman sudah tentu punya nilai yang sangat berharga, karena menunjukkan bangkitnya tanggung jawab kebudayaan. Usaha ini saya nilai sebagai langkah pertama yang harus disusul dengan langkah-langkah berikutnya. Saya berharap semoga generaasi muda yang tampil hendak merevitalisasi warisan budaya itu tetap tegar dengan tanggung jawabnya dan terus melangkah menuju hari esok dengan senyum optimis. Kata pepatah lama, biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu – berbantal ombak berselimut angin menuju cita-cita mulia. Semoga usaha kebudayan ini mendapat sambutan dari masyarakat terutama untuk kembali mengangkat dongeng sebagai salah satu bentuk sastra lisan yang nuansa-nuansanya akan sangat berguna dalam memperkokoh jati diri kebudayaan bangsa dalam era globalisasi yang penuh tantangan.
Dengan diupayakan dongeng sebagai ungkapan kasih sayang tentu saja para ibu dan guru diharap bisa dengan senang menghadiahkan dongeng kepada anak-anak tercinta. Ungkapan kasih sayang berupa dongeng nantinya akan membentuk watak dan karakter berdasarkan pesan-pesan budi pekerti yang terkandung di dalam dongeng. Tidak ada salahnya kalau anak-anak yang kini masih hijau dan senang dongeng nantinya menjadi teknolog dan teknolokrat yang berakhlak mulia, yang merasa berutang budi kepada orang tua dan guru yang mendidiknya. Bukanlah akhlak mulia itulah yang membuat kehidupan ini menjadi tentram? Kita tidak ingin kehilangan warisan budaya yang berharga. Apalagi, kita memandangnya masih sangat relevan dengan pembangunan jati-diri bangsa yang menuju hidup mulia.

Setiap orang adalah da’i

Manusia adalah ciptaan Allah yang mulia, apabila ia mau berbuat mulia. Kalau tidak mau berbuat mulia berarti ia telah menolak kemuliaan itu. Kalau seorang manusia berbuat buruk, berarti ia telah mengusir kemuliaan itu dari dirinya.
Potensi berbuat baik itu jelas ada pada manusia karena manusia punya fitrah (hati yang suci) serta akal sehat. Fitrah dan akal sehat itu kalau terus dikembangkan tentu akan membuat manusia berhati mulia dan berbuat kemuliaan.
Akal yang sehat pasti mengembangkan perbuatan mulia serta menjahui perbuatan yang akan membawa celaka. Akal sehat akan melahirkan keinginan untuk selamat serta menyelamatkan orang lain.
Dalam rangka menyelamatkan orang lain itu, manusia perlu bersikap pro aktif untuk mengajak orang lain berbuat baik. Tugas nabi, rasul, ulama, kiai dan lain-lain adalah mengajak umat manusia berbuat baik yang membawa kepada kemuliaan, kedamaian, keselamatan serta keberuntungan dalam kebersamaan, di samping mengajak mengabdi kepada Dzat yang menciptakan alam semesta ini.
Itulah tugas “amar ma’ruf” menyuruh atau mengajak umat manusia untuk bertakwa kepada Allah dan berbuat amal saleh. Rasulullah saw bersabda, “Ballighu ‘anni walau âyatan” yang artinya sampaikanlah (ajaran) dariku walau satu ayat saja.”
Sabda Rasulullah saw di atas menganjurkan agar kita (umat islam) sebenarnya punya tugas untuk menjadi “da’i”, yaitu orang yang bertugas menyampaikan ajaran agama walau sedikit sesuai dengan ilmu dan kemampuan yang kita miliki.
Membangunkan suami yang tidur agar segera bangun untuk segera shalat subuh ke masjid, yang dilakukan seorang isteri termasuk tugas mulia mengajak kepada kebaikan, istilah da’i di sini tidak harus yang mampu berkhutbah di atas mimbar atau bisa berpidato.
Istilah “da’I” di sini harus dipahami secara luas. Setiap ajakan yang mengajak berbuat baik dan beramal saleh, di mana saja tempatnya sudah termasuk tugas “da’i” atau “muballigh”. Dengan demikian, dimana saja kita berada selalu mencari kesempatan untuk mengajak bertakwa dan beramal saleh.
Seorang direktur yang mengajak para stafnya untuk melakukan shalat dan kemudian mengundang seorang ustadz untuk mengajar karyawan yang tidak bisa mengerjakan shalat sudah bisa dianggap telah melakukan tugas dakwah.
Seorang penyanyi yang melantunkan lagu yang mengagungkan keagungan ilahi, seperti lagi “Keagungan Tuhan” yang dulu dinyanyikan oleh ida Laila, ternyata bisa menyejukkan kalbu dan memberi sentuhan batin yang dalam, termasuk bagian dari tugas dakwah.
Demikian juga seorang penulis dan penyair yang menggubah karangan yang bisa menyadarkan seseorang untuk senang berbakti kepada Allah. Dan bertindak selalu damai dalam kehidupan termasuk juga mengajak ke jalan Allah.
Di dalam mengajak ke jalan Allah, harus dengan jalan hikmah, yaitu cara atau metode yang bisa membuat orang yang diajak senang dan sadar. Dalam bahasa KH. Miftahul Luthfi Muhammad dalam berdakwah itu seyogyanya orang yang diajak diperlakuakn dengan hormat karena sasaran dakwah adalah “hati manusia” maka dakwah yang baik dikemas “mengetuk nurani” dan meraih simpati. Dakwah dan ajakan takwa serampangan dan kaku mungkin akan gagal. Karena itu dalam berdakwah harus dibekali dengan pengenalan terhadap karakter orang yang hendak diajak.
Selain “amar ma’ruf” dalam berdakwah harus dilengkapi dengan “nahi mungkar” yaitu mencegah orang (umat) mengerjakan larangan Allah. Semua hal yang dilarang Allah pastilah hal yang merugikan dan membawa kecelakaan. Misalnya; judi, narkoba, zina, dan lain-lain jelas perbuatan yang sangat merugikan kemanusiaan. Maka, pantas kalau Allah menyediakan siksaan bagi siapa yang melakukan pelanggaran terhadap larangan Allah. Karena pada hakikatnya Allah melarang perbuatan mungkar itu tidak lain adalah untuk menyelamatkan manusia.
Untuk bisa berdakwah dengan baik, sebaiknya setiap umat islam selalu rajin menuntut ilmu. Rajin-rajinlah mengikuti kajian-kajian agama agar dakwahnya dapat membawa banyak orang ke jalan yang benar.


Manusia Dan Variasi Kehidupan
D. Zawawi Imron

Semua manusia yang lahir ke dunia ini tidak ada yang sama antara yang satu dengan yang lain. Kalau ada orang yang bersaudara kembar meskipun sepintas terlihat sama, setelah diteliti ternyata tetap ada perbedaannya. Apa lagi, kalau diteliti bakat dan perangainya, tetap ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain.
Seorang anak manusia lahir ke bumi, ada yang berbakat menjadi pelukis, yang lain berbakat menjadi politikus, ekonom, ahli kesehatan, penyanyi, dan lain-lain. Ada orang berwatak keras, yang lain lemah lembut, ada yang tegar, ada yang murah senyum dan ada yang bertampang serius. Semua itu merupakan kekayaan Allah yang tercermin pada pribadi-pribadi atau orang per orang.
Mengingat manusia adalah makhluk sosial, yang harus berkomunikasi satu sama lain, tentu diperlukan keluasan pemahaman agar kehidupan di dunia ini bisa terawat dan terjaga. Menjaga dan merawat pergaulan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis menjadi penting mengingat manusia dikaruniai akal sehat dan pikiran jernih yang kalau dimanfaatkan dengan baik bisa menciptakan atmosfer yang sehat di dunia ini.
Tatanan hidup yang dipandu syari’at agama tidak lain merupakan sejenis perjanjian. Perjanjian itu harus dihormati, jika seorang melanggarnya berarti Ia melakukan disharmoni sosial. Semakin banyak orang yang melanggamya akan semakin besar ketimpangan sosial yang akan membuat kehidupan akan terasa tidak nyaman.
Karena itu syari’at perlu difahami dan dihayati sampai ke lubuk hati, dan ketika seseorang melaksanakannya akan merasa nikmat dan merasakan adanya kebebasan dan belenggu hawa nafsu serta pembebasan dan noda dan dosa. Syari’at yang dihayati seperti itu akan selalu membawa pencerahan bagi kehidupan. Berbeda dengan syari’at yang tidak dihayati, dan diterapkan secara kaku, bahkan cenderung dipaksakan akan terasa kurang enak dilakukan. Karena itu pendidikan agama harus ditanam kelubuk kalbu, tidak sekadar dipelajari dan dihafalkan. Agama yang memberi hakikat terhadap hidup.
Di sinilah pentingnya cara memandang orang lain tidak sekadar sebagai massa, tapi dipandang sebagai pribadi-pribadi yang berdiri sendiri, sebagai ego-ego yang mandiri. Tetapi karena ego-ego yang sama mandiri itu sama-sama mengerti, bahwa setiap manusia adalah saudara, maka kesadaran itulah yang akan mempertemukan sekaligus mempersatukan seluruh ego-ego menjadi satu kesatuan, maka kerukunan dan ketenteraman menjadi niscaya dalam mengisi dunia dengan sejarah yang indah cemerlang. Di smi semua manusia akan merasa sahabat atau saudara bagi yang lain.
Dalam kesatuan yang penuh saling mengerti seperti itu, tiap-tiap pribadi akan mencoba memahami orang lain dengan karakteristik yang tidak harus sama dengan dirinya. Orang lain boleh berbeda perangai, keinginan, hobi, pekerjaan kecenderungan yang tidak harus sama dengan kita. Orang lain boleh melakukan apa saja tanpa tekanan asalkan tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri baik di dunia maupun di akhirat.
Memandang orang lain atau memahami orang lain bukan sekadar untuk menundukkan orang lain, tetapi untuk mematangkan dialog, baik langsung atau tidak Iangsung, tetapi harus dengan jiwa yang sehat dan dipandu oleb zikir kepada Allah, sehingga terasa bahwa semua merupakan variasi-variasi kebersamaan yang menuju ridla Allah sekaligus mencerminkan bahwa hidup di dunia ini terasa indah. Dalam pemahaman seperti itu mengganggu dan menyakiti orang lain akan terasa mengganggu kemanusiaan dan mengganggu kehidupan yang indah dan tenteram. Sebuah keadaan yang tentunya tidak indah dipandang dengan kacamata hati yang jernih.
Kesadaran seperti itu perlu dikembangkan pada masing-masing pribadi, karena kehidupan sosial yang harmoni dan padu memerlukan dukungan seluruh pribadi-pribadi yang mau mengerti orang lain dengan segala variasinya. Dalam kesadaran seperti itu, perbedaan perangai, keahlian, pilihan hidup, dan lain-lain tidak akan dipandang sebagai kekayaan yang saling mendukung satu sama lain. Iklim seperti itu akan mempermudah upaya hidup harmoni sekaligus dalam suasana bertakwa kepada Allah.
Hidup adalah perjuangan, dan perjuangan yang benar harus bertumpu pada hati yang bersih. Maka membersihkan hati merupakan perjuangan yang sangat mulia. Dalam membersihkan hati tercakup pula jihad memerangi hawa nafsu. Semoga kita diberi kemenangan. Allah bersama dengan orang-orang yang berhati bersih.


Hati Nurani
Si A bertengkar dengan si B. Kemudian dalam pertengkaran si A menyadari bahwa dirinya berada di pihak yang salah. Kesadaran mau mengaku bahwa dirinya bersalah itu tidak lain karena si A menggunakan “hati nurani”.
Tetapi kalau si A yang salah itu tetap ngotot mengakui dirinya benar, pertanda ia tidak menghormati hati nuraninya sendiri. Hati nurani harus kita pergunakan dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari dengan renungan-renungan yang jernih agar yang benar meskipun dari orang lain, kita akan tetap mengakui sebagai “benar” meskipun anak sendiri, atau saudara kita sendiri berbuat salah harus kita akui sebagai salah.
Karena itu tidak salah kalau ada ahli hikmah mengatakan bahwa, “Dalam lubuk hati nurani manusia yang paling dalam itu ada secercah sinar yang dianugerahan oleh Allah swt. Sinar itu tidak lain adalah sinar kebenaran yang pasti akan membuahkan rasa keadilan.”
Maka menjaga hati nurani itu menjadi salah satu tugas manusia agar dirinya tetap tegar sebagai manusia dengan akhlak dan perilaku kemanusiaannya. Dalam menjaga hati nurani itu menusia harus berupaya untuk tetap menggunakan akal sehat dan pikiran jernih untuk melakukan sesuatu. Kalau menurut hati nurani dan akal sehat, perbuatan yang akan dilakuan tidak menyinggung dan menyakiti orang lain dan hak asasi orang lain serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama maka perbuatan itu boleh dilakukan. Tetapi apabila perbuatan itu akan menyakiti perasaan dan melanggar hak asasi orang lain maka hati nuranilah yang akan melarang, bahwa perbuatan itu tidak boleh dilakukan.
Dalam hal ini ada adagium Madura yang berbunyi, “Mon ba’na etobi’ sake’ ajja’ nobi’an oreng.” Artinya, kalau kamu dicubit merasa sakit maka kamu tidak boleh mencubit orang lain.
Kearifan hidup di atas tidak akan bisa dilakukan kalau kita tidak memberi tempat yang terhormat kepada hati nurani. Hati nurani adalah cermin yang sangat jernih yang dianugerahkan Allah kepada manusia, yang manusia harus memanfaatkannya agar tetap hidup mulia dan terhormat.
Tanpa hati nurani, manusia akan gampang untuk berbuat hal-hal yang merugikan orang lain tanpa memikirkan kesakitan dan penderitaan orang lain akibat dari perbuatannya. Orang yang melakukan korupsi yang merugikan rakyat dan Negara adalah karena ia tidak menggunakan hati nurninya. Orang yang berbuat ketidakadilan; menipu, merampok, menfitnah dll, adalah karena tidak memanfaatlkan hati nuraninya seagai pelita kehidupan. Bahkan ada pendapat ekstrim yang mengatakan orang yang suka merugikan orang lain itu dianggap karena tidak punya hati nurani. Kalau punya hati nurani ia tidak akan melanggar batas sejauh itu, katanya.
Dalam hal ini lebih afdhal kalau kita merujuk kepada al-Qur’an. Allah berfirman,


Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Qs.al-A’raf; 179)

Dari firman allah di atas menjadi jelas bahwa orang yang hatinya tidak digunakan untuk berfikir dan merenung secara jernih, serta mata, telinganya tidak dimanfaatkan secara benar akan membuat orang itu dalam penilaian Allah rabbul ‘alamin sekelas dengan binatang bahkan lebih rendah lagi.
Hidup yang hanya satu kali ini dan umur yang kita jalani, tentu amat sangat sayang kalau hidup kita sederajat dengan binatang dihadapan Allah. Kita adalah manusia, kita lahir dari ayah dan ibu kita yang manusia, karena itu harus kita pertahankan hidup dan perilaku kita sebagai manusia, agar kita tidak jatuh nilai sekelas dengan binatang.
Agar kita tidak terjerumus kepada kebinatangan, kita harus berusaha, berjuang serta berdoa kepada Allah agar kita tetap menjadi manusia lengkap dengan akhlakul karimah. Cara mempertahankan kemanusiaan itu tidak lain dengan mengutamakan “hati nurani” dalam kehidupan sehari-hari. Hati nurani saja tidak cukup kalau tidak disertai iman kepada Allah dan rasulnya.
Dan iman itu sendiri akan redup tanpa didukung dengan hati nurani atau hati yang fitrah. Karena sebenarnya pada hati yang fitrah itu iman yang indah akan bersemayam dengan memandu tindak laku kita sehari-hari untuk menjadi hamba Allah yang shalih.
Merawat hati nurani menjadi hal yang sangat penting karena kalau hati nurani tidak dirawat dengan baik nanti bisa dikalahkan oleh pengaruh jahatnya hawa nafsu.
Kita sayangi hidup kita dan diri hidup kita dengan merawat nurani agar kita mendapat penilaian yang baik dari Allah. Merawat hati nurani caranya ialah dengan banyak berdzikir kepada Allah, shalat yang khusuk, berpikir positif, dan menghindari maksiat.
Tak ada hidup yang lebih mulia daripada bertakwa kepada Allah, tak ada hati yang lebih indah daripada mengingat Allah, dan tak ada piala yang lebih berharga daripada ridla-Nya. []


Menyuruh Dan Keteladanan

Menyuruh dan menyeru orang berbuat baik memang mudah sekali. Asalkan punya mulut
dan tidak bisu, seruan diujarkan saja agar orang berbuat kebaikan. Orang lain tinggal mendengarkannya. Yang agak sulit atau sangat sulit adalah bagaimana agar orang yang mendengar itu tergerak untuk mengerjakan kebaikan yang dianjurkan dan disuruhkan. Meskipun demikian, secara fitrah manusia memang selalu cenderung pada yang baik, yang bermanfaat, yan terpuji dan tersanjung, yang mulia, dan sebagainya.
Yang namanya kebaikan dan kemuliaan itu memang indah dan menyenangkan.
Contohnya, kalau kita bertemu mahasiswa pelopor reformasi murni yang perjuangannya tidak dinodai oleh interis-interis pribadi subjektif, kita akan melambaikan tangan dengan hati yang berbunga. Seolah-olah bunga yang kembang dalam hati adalah persembahan hormat untuk mereka dalam bentuk ruhaninya yang, karena terbatas, tidak perlu lagi diwujudkan dengan bunga sungguhan yang masih bisa layu dan mengering. Orang baik selalu menyenangkan, mengundang rasa kormat, dan bahkan — sampai mati pun — masih mengundang jiwa untuk pergi menziarahi kuburnya.
Orang baikyang saya maksud tidak harus pentolan dan tokoh. Ia selalu ada di mana-mana. Ia bisa seorang pemimpin seperti Pak Dirman, bisa seorang peternak ikan tawar bernama Pak Mujair, bisa buruh wanita bernama Marsinah, dan bisa siapa saja, asalkan punya komitmen pada kemanusiaan. Siapa yang menyuruh Pak Dirman bergerilya dangan paru-paru tinggal sebelah, masuk hutan keluar rimba dengan tubuh yang jauh dan sehat hingga beliau diusung dengan tandu? Siapa yang menyuruh? Kita tidak tahu. Yang jelas bukan pemerintah pusat, karena saat itu Bung Karno dan kawan-kawan memilih berunding dengan Belanda. Kalau begitu, siapa yang menyuruh beliau?
Yang menyuruh Pak Dirman adatah “hati nurani” yang sangat paham akan makna kemerdekaan dan kemanusiaan. Siapa pula yang menyuruh Marsinah memperjuangkan nasib buruh? Barangkali juga “hati nurani” yang sangat menghormati kemanusiaan. Kalau begitu, alangkah indahnya hati nurani, dan alangkah mulianya orang-orang yang segala tindakan dan perbuatannya dilandaskan pada hati nurani! Sebab, nuranilah inti dan kemanusiaan, sedangkan tidak digunakannya nurani, ditinggalkannya suara nurani, dan dipasungnya hati nurani berarti lenyaplah kemanusiaan dalam diri seseorang. Memang, kalau benar-benar memberi tempat yang Iayak kepada hati nurani dalam hidupnya. ia tidak perlu disuruh, diperintah atau, dipaksa untuk berbuat kebaikan. Tetapi, kenapa manusia yang jelas-jelas punya hati nurani masih ada (banyak) yang nggan berbuat baik? Kalau jawabannya sulit, kita tidak perlu bertanya kepada rumput yang bergoyang. Masalahnya, apakah manusia mau mengfungsikanhati nuraninya atau tidak? Kalau tidak bagaimana ia akan cenderung kepada kemuliaan dan kemanusiaan, meskipun dirinya manusia? Ditinggalkannya nurani adalah pertanda bahwa ia telah meninggalkan kemanusiaannya sendiri.
Orang yang tidak pakai hati nurani - sekalipun diingatkan, diperingatkan, disuruh, dan bahkan dipaksa pun – kadang-kadang masih malas untuk berbuat baik. Meskipun demikian, orang-orang yang sadar tetap punya tugas mulia untuk menyadarkan saudara- saudaranya yang lupa tanpa bosan-bosannya. Bila hari ini tidak berhasil, siapa tahu besok tiba-tiba ia mengucapkan welcome pada kebaikan dalam anti yang utuh. Karena itu, upaya memanusiakan manusia merupakan kerja budaya yang tidak boleh berhenti. Yang demikian itu tidak cukup dilakukan dengan suruhan, seruan atau apalagi, penataran. Soalnya menyeru, menyuruh, dan menatar itu mudah — cukup dengan bermodalkan bisa ngomong.
Yang penting adalah contoh-contoh konkret yang secara langsung bisa diteladani. Dengan meyuruh dan menatar tetapi tidak bisa melaksanakan apa yang dianjurkan kepada orang lain, saya jadi teringat pepatah yang berbunyi: “Bagaimana dari sebuah tongkat yang bengkok bisa dihasilkan bayangan yang lurus? Tentu saja mustahil. Kita tidak akan membudayakan kemustahilan yang hanya mampu menghadiahkan kesia-siaan dan kehampaan.
Saya tidak tahu apakah pepatah yang saya sitir itu menyindir tukang pidato. Tentu saja, tidak. yang dimaksud adalah siapa saya yang suka menyuruh dan menganjurkan kebaikan. Soal tukang pidato berada di dalamnya adalab logis. Seorang ayah yang bukan tukang pidato bisa saja menganjurkan anaknya tidak merokok, tetapi ia sendiri merokok.
Pada zaman dahulu ada kisah seorang khotib Jum’at yang diminta berkhotbah tentang pembebasan budak. Tapi sampai beberapa kali Jum’at ia tidak pernah berkhotbah dengan tema membebaskan budak. Orang yang minta akhirnya bertanya, kenapa permintaannya tidak dituruti.
“Saya malu berkhotbah tentang itu, karena saya tidak pernah membebaskan seorang budak. Sebuah jawaban yang penuh hikmah. Jawaban tadi tidak bermaksud agar seorang tidak berbicara tentang kebaikan. Silakan bicara kebaikan, tetapi harus sesuai apa yang diucapkan dengan perbuatan.

Tidak ada komentar: