Kamis, 02 September 2010

Jika Allah Menghendaki Baik Bagi Hamba

حَدَّثَنَا أبو عبد الله الحافظ ، أبو العباس محمد بن يعقوب ، الربيع بن سليمان ، عبد الله بن وهب ، أنا سليمان بن بلال ، عن موسى بن عبيدة ، عن محمد بن كعب القرظي ،عن أنس بن ملك قال, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

﴿ إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْراً فَقَّهَهُ فِى الدِّيْنَ،وَزَهَّدَهُ فِى الدُّنْيَا، وَبَصَّرَهُ عُيُوبَه﴾
Dari sahabat Anas bin Malik r.hu, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda,

“Jika, Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba. Maka, Dia membuatnya memahami dinul Islam, membuatnya zuhud terhadap dunia, dan Dia memperlihatkan untuknya aib-aibnya sendiri” (Hr.Baihaqi, dari Anas ra).

Kedudukan Hadis
Hadis di atas, diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik r.hu. Terdapat dalam Sunan al-Baihaqi, Hadis nomor: 10140, Juz: XXI, hal: 461. Juga dalam Ibnu Abi Syaibah, Hadis nomor : 71, jus: VIII, hal: 262

Kunci Kalimat (Miftāhul Kalām)
﴿ إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْراً ﴾
“Jika, Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba”

Sabda Nabi saw tersebut di atas memberikan penegasan kepada kaum muslimin-mukmin, bahwa pribadi yang baik adalah sebuah kepribadian yang dikehendaki baik oleh swt baik. Realitas di atas haruslah benar-benar diimani oleh kaum muslimin, karena tanpa keimanan yang disertai dengan keyakinan yang utuh, maka pribadi tersebut akan pecah (dis-integreted of personality).
Inilah sebuah potret kepribadian seorang hamba yang mesti dijauhi oleh kaum mukminin. Sebaliknya, kaum mukminin harus benar-benar sejalan dengan kehendak-Nya, karena pada hakikatnya seorang hamba tidak akan pernah dapat mengatur dirinya sendiri, tanpa ada campur tangan-Nya Allah swt.
Teks hadis tersebut di atas juga menjelaskan, bahwa Allah swt akan berkehendak baik jika hamba-Nya memiliki tiga syarat pokok: Tafaqquh fid-diin; Zuhud; dan Muhasabah ‘alan-nafs.

Pemahaman Hadis

(فَقَّهَهُ فِى الدِّيْنَُ) Faqqahahu fidiin. Maka, Dia membuatnya memahami dinul Islam. Orang yang disebut dengan tafaquh fiddin bukanlah orang yang sekedar paham dengan Agama Islam. Tapi lebih dari itu ia telah mampu mengamalkan ajaran yang terkandung dalam Dinul Islam.
Oleh karenanya orang yang telah paham dengan dinul Islam ia akan memiliki sikap yang luas, lewes, lagi mendalam. Sebagaimana yang pernah dilakonkan oleh baginda Nabi saw,
Diriwayatkan dalam sirah nabawiah pernah terjadi peristiwa restorasi Ka’bah, hampir seluruh kabilah yang berada di wilayah kekuasaan suku Quraisy, beramai-ramai ikut terlibat di dalam proyek restorasi tersebut. Masing-masing kabilah mengambil bagian, mana yang mereka suka untuk dibangunnya secara sendiri-sendiri.
Dan, menjadi persoalan besar, hampir saja menjadikan pertikaian di antara kabilah yang terlibat proyek restorasi Ka’bah tersebut, ketika sampai pada tahapan merestorasi pojok Hajar Aswad. Pertikaian yang telah mengarah kepada terjadinya peperangan itu telah membuat masing-masing kabilah sangat tegang, kejadian itu hampir satu minggu lamanya.
Masing-masing dari kabilah merasa yang paling berhak untuk mengembalikan ‘batu hitam’ itu ke tempatnya semula. Karena dari masing-masing kabilah berebut benar, akhirnya yang terjadi adalah dari kabilah-kabilah yang ada kesemuanya merasa paling benar. Dan, hal itu tidak akan terjadi, bila kabilah-kabilah yang ada “berebut salah”, karena mereka menyadari tentunya bahwa semuanya dapat diatasi dengan jalan dialogis dan musyawarah untuk mufakat.
Akhirnya pertumpahan darah dapat dihindari dengan segera, setelah tokoh paling senior dari suku Quraisy, yang bernama Abu Umaiah bin Mughirah bin Abdillah bin Amr bin Makhzum; memimpin musyawarah di dalam Masjidil Haram. Kemudian disepakati, “Barangsiapa ada orang yang masuk pintu masjid duluan, itulah orang yang berhak mengembalikan si batu hitam.”
Ternyata tidak begitu lama dari acara kemufakatan dalam musyawarah itu, datanglah seorang pemuda, yang tak lain adalah Muhammad bin Abdullah. Di saat para tokoh Quraisy melihat kedatangannya, maka serta merta mereka berseru, “Inilah orang yang terpercaya (al-âmin). Kami ridla dengan Muhammad.”
Beberapa saat pemuda yang bernama Muhammad bin Abdullah menerima pengaduan duduk perkaranya yang sebenarnya terjadi. Setelah beliau memahami dengan seksama, lalu beliau berkata, “Bawakan untukku sebuah kain.”
Setelah kain di dapat, maka lalu pemuda yang bernama Muhammad bin Abdullah tersebut mengangkat si batu hitam itu ke atas kain yang telah beliau hamparkan di tanah. Kemudian beliau memberikan aba-aba seraya berkata, “Hendaknya setiap kabilah memegang setiap ujung dari kain ini, dan mengangkatnya bersama-sama.”
Dengan patuh para tokoh yang mewakili kabilahnya masing-masing tersebut beramai-ramai mengangkat si batu hitam untuk didekatkan dengan tempatnya. Baru setelah benar-benar dekat Muhammad bin Abdullah mengangkat batu hitam itu dengan kedua tangannya, guna meletakkan Hajar Aswad tersebut di tempatnya, yakni “pojok Aswad” (ruknul aswad). Begitulah, akhirnya Ka’bah benar-benar selesai direstorasi 18 tahun sebelum hijrah Nabi saw ke Madinah.

(وَزَهَّدَهُ فِى الدُّنْيَا) Wa zuhdahu fid-dunya membuatnya zuhud terhadap dunia. Selanjutnya orang yang dikehendaki baik oleh Allah swt, maka ia akan bersikap zuhud terhadap dunia. Sebab ia sadar terhadap eksistensi dunia. ”Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Qs.al- An'am: 32)
Oleh karenanya kita harus waspada dan jangan terlalu silau dengan gemerlapnya dunia, sebab fitnah dunia akan membawa kita kedalam jurang Jahanam. Ketakutan fitnah dunia ini juga dirasakan para sahabat. Salah satu dari mereka adalah Salman al Farisi. Suatu ketika Salman dikunjungi Sa`ad bin Abi Waqash lalu ia menangis. Sa`ad pun berkata "Apa yang membuatmu menangis ?" Engkau telah bertemu dengan para sahabatmu, dan akan mendatangi telaga Rasulullah dan beliaupun ridha padamu saat akhir kehidupannya." Salman menjawab, "Aku menangis bukan karena takut mati atau tamak dunia. Tetapi karena janji yang telah Rasulullah ambil dari kita dengan sabda beliau," Hendaklah kalian mengambil didunia seperti sekedar perbekalan seorang pengembara. "Dan sekarang ini barang-barang dirumahku…."
Subhanallah Salman, Ya Salman , padahal tiadalah barang dirumahmu kecuali ember tempat mencuci pakaian yang tak seberapa harganya. Tetapi engkau begitu takut bila telah jatuh dalam hidup berlebihan. Lalu bagaimana dengan kami ini ?
Zuhud terhadap dunia bukan berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat duniawi, melainkan kita lebih yakin dan meyakini dengan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita. Sejalan dengan hadis Nabi saw,
Rasulullah SAW bersabda, "Melakukan zuhud dalam kehidupan di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia itu ialah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada apa yang ada pada Allah." (HR. Ahmad, Mauqufan)
Orang yang demikian inilah yang dicintai Allah swt, ditegaskan dalam hadis yang lain,
“Berzuhudlah terhadap duniawi, niscaya Allah mencintaimu, dan berzuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia lain, niscaya orang akan mencintaimu.” (Hr. al-Hakim).

(وَبَصَّرَهُ عُيُوبَه) Wabasharuhu ‘uyubah, memperlihatkan untuknya aib-aibnya sendiri. Orang yang dijadikan baik oleh Allah selanjutnya ialah orang yang selalu Muhasabah ‘Alan Nafs dikeseharian hidupnya. Ia selalu mencari-cari dan menghitung kejelekannya sendiri dan melihat orang lain dengan kacamata kebaikan.
Akhlak yang demikian inilah yang dicintai Allah swt. Ia tidak mudah menyalahkan dan mengkafirkan orang lain, tetapi sebaliknya ia terus menerus introspeksi diri jangan-jangan ia termasuk orang yang hina dihadapan Allah swt. Demikianlah makna dari firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (Qs. Al-Hujurat: 11)
Demikanlah potret kepribadian orang-orang beriman yang telah tercerahkan dikeseharian hidupnya. Dikarenakan mereka telah memahami firman Allah tersebut di atas. Sebab belum tentu amal kebaikan yang selama ini dikerjakan diterima Allah. Tatapi sebaliknya amal yang kita sangka diterima Allah ternyata ditolak oleh-Nya. Dan akhirnya kita termasuk orang yang bangkrut dihadapan Allah swt. Naudzhubillah.

Pembelajaran Sifat (Character Learning)
Character Learning (c-lear) dari setiap hadis Nabi saw yang kita baca. Sudah barangtentu yang didasari dengan rasa iman dan kuatnya keyakinan. Akan menumbuhkan kekuatan yang hebat dalam alam bawah sadar (albasa) kita. Dan, dari albasa itulah nantinya menjadi modal utama di dalam membangun karakter seorang muslim-mukmin.
Kita semua, insya Allah, akan mempunyai Kecerdasan Rasa (Intuitional Quotient) sampai dengan tingkat yang sempurna al-InsanulKamil. Apabila kita dengan sungguh-sungguh melaksanakan perintah serta menjauhi larangan Allah dan rasul-Nya. Kita akan menjadi hamba yang dicintai-Nya. Itulah arti dari ketakwaan yang menyebabkan kita menjadi orang yang paling mulia dan tercerahkan di sisi Allah swt.

Perubahan Perilaku (Behavior Transformation)
Guna mendapatkan Behavior Transformation (betra) di keseharian hidup kita, setelah melakukan c-lear dengan tema hadis di atas. Kita harus CC 100% dengan hadis nabi di atas agar kita dicintai Allah swt. Kita harus,
• Kita harus banyak belajar, mengajar, dan mau diajar. Agar memperoleh pemahaman agama yang luwas, luwes lagi mendalam.
• Berzuhudlah terhadap dunia dan waspadalah dengan tipudayanya, niscaya dicintai Allah swt .
• Lihatlah kejelekan diri-sendiri dan lihatlah kebaikan orang lain.

Oase Pencerahan
Setelah melakukan Pembelajaran Sifat dari tema hadis di atas. Segeralah melakukan Perubahan Perilaku. Sebab, bagaimana pun, hadis tersebut harus menjadi motivator kecerdasan umat Islam di dalam berbuat dan bersikap.
Sekaranglah saatnya. Kaum muslimin mukmin memandu kehidupan pribadinya dengan Neraca Syariat. Utamanya, dalam CC (commitment and consistent) dengan: al-qur`an; as-sunnah; dan al-’ilmud-diniah.
Maka langkah yang harus kita ambil ialah kita harus segera memiliki ketiga sikap mental tersebut yaitu; Tafaqquh fid-diin; Zuhud; dan Muhasabah ‘alan-nafs. Sebab dengan ketiga sikap tersebut kita bisa menjadi muslimin-mukmin yang berkepribadian “Radhiatan mardhiyah--ridha kepada segenap ketetapan Allah swt dan Allah pun meridhainya.” Amiin

Tidak ada komentar: