Kamis, 02 September 2010

Redy Panuju

Wawasan Global dan Hegemoni Budaya

Wawasan global merupakan sebuah keniscayaan yang harus dimiliki oleh setiap kaum Mukmin agar dapat mengambil sikap dan tindakan yang tepat, khususnya dalam menghadapi globalisasi. Tidak semua hal yang diproduksi oleh globalisasi mempunyai kemanfaatan bagi umat manusia, sebab sebagian yang lebih bersar terbukti telah memberi implikasi yang “negative”. Mulai dari dehumanisasi, demoralisasi (dekadensi moral), sampai kerusakan lingkungan. Karena itu memahami seperti apa sesungguhnya globalisasi itu merupakan hal yang sangat penting.
Izinkan dalam kesempatan ini penulis kutipkan pendapat MZ Al-Faqih dalam tulisannya yang berjudul “Media dan Hegemoni Budaya” (Pikiran Rakyat, 28/03/07). Bahwa masyarakat dunia ketiga pada umumnya tidak merasa kalau dirinya dieksploitasi oleh Negara industri maju. Proses internalisasi nilai yang dilakukan Negara maju ke Negara dunia ketiga melalui aparat kebudayaan seperti film, TV, internet, musik, dan lain sebagainya, telah bekerja dengan sempurna.
Perlu kiranya saya tambahi bahwa internalisasi nilai itu saat ini tidak lagi pada tahapan “tidak merasa”, namun masyarakat telah larut di dalamnya sebagai penikmat yang aktif dan merasa bangga sebagai agen penyebar luasan, dan sekaligus sebagai transeter keinovasian. Jadi, tahapannya sudah sedemikian akut, mulai dari hulu sampai hilir. Artinya mulai dari tata nilai sampai tingkah laku sudah lebih meluas ketimbang yang ada di sumber asalnya. Sebagai contoh, soal tayangan televisi di Amerika Serikat, meski pun bertumpu pada nilai-nilai kebebasan toh masih terkontrol oleh kesadaran masyarakatnya sendiri maupun lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam mengontrol isi tayangan. FCC (Federal Communication Commission) semacam KPI-nya Amerika mempunyai kewenangan yang luas dalam mengatur dan membangun system komunikasi yang melindungi Negara dan rakyatnya; mulai dari kewenangan mengeluarkan dan mencabut izin siaran, mengatur isi siaran, sampai mengatur kepemilikan media penyiaran. Di negeri kita, yang konstruksi budayanya bertolak belakang dengan prinsip kebebasan liberalisme itu, justru keberadaan apa yang disebut MZ-Al Faqih sebagai “aparatur kebudayaan” itu nyaris bebas tanpa batas. Maka, tak heran bila masyarakat bangsa ini setiap hari disuguhi tayangan-tayangan yang di Negara liberal sendiri ditabukan atau dikontrol. Hari demi hari kita disuguhi dengan tayangan-tayangan yang mengedepankan kekerasan, pornografi, pelecehan terhadap harkat dan martabat kaum perempuan serta anak-anak. Dan sejauh ini, meski pun Indonesia telah memiliki undang undang (UU No.32 tahun 2002) yang mengatur jagad penyiaran, toh muatan-muatan seperti itu terus saja berlangsung alias sulit dibendung.
Kalau kita percaya pada penemuan Albert Bandura bahwa aparat kebudayaan itu sangat perkasa dalam mempengaruhi sikap, preferensi nilai, dan bahkan perilaku khalayak dengan cara peniruan (imitasi), maka dapat dibayangkan apa yang terjadi pada bangsa ini kemudian. Jika di sana sini kita temukan fenomena anak-anak muda kita yang ditemukan sekarat karena mabok narkoba atau sejumlah remaja diketahui melakukan free sex, di sana sini selalu terjadi tawuran disertai pembunuhan, janganlah kemudian kita mengelak untuk tidak menyalahkan media penyiaran kita. Janganlah kemudian kita mengatakan bahwa masalah dipengaruhi atau tidak oleh informasi tergantung pada individu masing-masing. Siapa yang berani menjamin, bahwa sebuah tayangan yang diserap secara terus menerus dalam waktu yang lama, kemudian tidak berpengaruh sama sekali. Bagaimana pun juga bukti-bukti ilmiah telah menunjukkan bahwa isi tayangan siaran mampu merasuk ke individu. Selain Bandura, Austin Ranney juga telah menemukan bukti-bukti bagaimana kemampuan media dalam membentuk pola pemikiran manusia (cognitive map). Padahal kita tahu, teori psikologi manapun yang kita rujuk, pikiran (otak) merupakan sentral perilaku manusia, sebab dari otaklah syaraf motorik memberi perintah pada organ-organ tubuh lainnya.
Itu sebabnya kegamangan menyongsong abad ke-21 ditandai dengan kegamangan atas hegemonic peradaban dari Negara maju tersebut. Salah satu kegelisan yang sangat menyeruak misalnya disuguhkan oleh budayawan Goenawan Mohamad dalam bukunya Revolusi Tak Ada Lagi (2000), yang antara lain memaparkan kontradiksi-kontradiksi yang bakal terjadi dalam masyarakat kita akibat internalisasi budaya asing yang “telanjang bulat” (tanpa sensor) itu dengan keberadaan unsur lokal yang makin ciut kridibilitasnya di mata penganutnya sendiri. Mensitir konsepnya Clifford Geerzt, terjadilah kompromi kompromi yang sesungguhnya tidak serasih dan bahkan berimplikasi timbulnya ketegangan dalam kehidupan social. Ketegangan tersebut dipicu oleh apa yang disebut Geerzt sebagai pembukuan moral berganda (moral double book keeping). Akibat mengadopsi nilai-nilai dari Negara Maju di satu sisi, dan hilangnya penghayatan terhadap nilia local di sisi yang lain, masyarakat dapat dipastikan berada dalam dua kemungkinan: pertama, menggunakan standard ganda; kedua, mencampuradukkan antara yang benar dan salah dengan bersembunyi di balik argumentasi modernisasi. Implikasinya adalah kepastian nilai yang mengatur standard etika, hukum, maupun politik kebijakan public, menjadi tidak jelas. Tergantung pada selera, advokasi massa, maupun kekuasaan di lembaga-lembaga Negara. Sulitnya kita merumuskan standard pornografi dan porno-aksi sehingga sampai detik ini RUU yang mengatur hal tersebut belum dapat disahkan, tak lain karena kegamangan akibat pembakuan moral berganda.
Melihat fakta-fakta empiric yang sudah sedemikian kuatnya akibat dari hegemoni budaya itu, agaknya tak berlebihan bila tulisan MZ Al Faqih tersebut kita sambut sebagai awalan sebuah gerakan membendung implikasi hegemoni budaya tersebut.

Solidaritas Budaya
Meskipun kehancuran budaya kita akibat hegemoni itu sudah sedemikian kuatnya, namun jangan lantas kita menyerah dan putus asa begitu saja. Sebab, celah itu selalu ada dan memiliki kemungkinan untuk dapat keluar dari situasi yang dilematis. Pakar Komunikasi Pembangunan, Everett M Rogers yang terkenal berkat teorinya tentang “Defusi-adopsi-dan inovasi” itu pernah menyuguhkan sebuah kisah yang menunjukkan bahwa ditengah tengah cengkraman hegemoni, masih dapat berhasil keluar dari jerat. Dalam bukunya “Communication Technology”, Rogers memaknai kekalahan Syah Iran Pahlevi atas revolusi yang dibawa Ayatolah Khomaeny sebagai kemenangan media kecil atas media besar (small media won again the big media). Yang dimaksud media besar adalah media formal yang disebut Al Faqih sebagai “aparatur kebudayaan”, sementara yang disebut media kecil adalah komunikasi social yang terjalin atas solidaritas. Jadi, relevan apa yang dilansir Gramsci maupun Al Faqih bahwa satu satunya resep yang telah terbukti manjur adalah dengan membangun blok solidaritas (civil society).

Pertanyaannya, masih adakah peluang untuk membangun blok solidaritas bagi bangsa ini?



Indahnya Melayani
Oleh Redi Panuju

Melayani merupakan perbuatan yang sangat mulia, baik dilihat dari penilaian umat maupun neraca amaliah dari Allah SWT.
Dikatakan perbuatan mulia, karena perbuatan melayani itu mendekontruksi diri sendiri sebagai individu. Hanya orang yang telah mempu meluruhkan egoismenya saja yang mampu menjadikan melayani sebagai etos hidup. Dalam pandangannya, menghargai diri sendiri adalah dengan menghargai orang lain, membangun citra diri yang positif adalah dengan berbuat baik pada orang lain. Pendek kata orang lain itulah yang dikedepankan.
Mengedepankan orang lain itulah yang merupakan puncak dari ahlak manusia. Banyak contoh ahlak puncak ini diberikan oleh Rasulullah saw maupun para sahabatnya. Suatu ketika Nabi saw pulang kemalaman dan istrinya sudah tertidur lelap. Demi ketentraman istrinya, beliau tidak membangunkannya dengan menggedor pintu, namun rela tidur di teras berselimutkan langit dan berbantalkan angin hingga pagi hari. Konon Syaidina Ali (Ali bin Abi Thalib ra) pernah hanya memiliki persediaan sepotong roti yang segera habis untuk sarapan paginya, tiba-tiba datanglah seorang pengemis mengetuk rumahnya memohon sedekah. Syaidina Ali mengurungkan sarapan paginya dan memberikan roti tersebut untuk si pengemis.
Kini rasanya cukup sulit untuk mendapatkan etos meyalani yang merupakan puncak ahlak manusia seperti itu. Kalau ada iklan di televisi yang menggambarkan seorang anak muda mempersilakan tempat duduknya di dalam Bus Kota diberikan kepada seorang perempuan tua, agaknya sulit ditemukan realitasnya. Pemandangan yang umum dalam perilaku transportasi kita adalah berdesak desakan demi mendapatkan tempat duduk. Kalau perlu sambil menggunakan sikutnya menyodok ke kanan dan ke kiri.
Pemandangan berebut dalam berdesak desakan untuk mendapat pelayanan bukan hanya terjadi di dalam angkutan umum, namun juga di tempat yang lain; mulai dari mengurus KTP, mengurus SIM, antri beli tiket nonton film bioskop, bahkan sampai di dalam masjid. Orang cenderung mendahulukan melayani diri sendiri terlebih dahulu dengan membentangkan sajadah yang lebar dan tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk mendapatkan tempat di sebelahnya.
Etos dilayani lebih mengemuka ketimbang melayani. Bahkan untuk mendapatkan pelayanan terbaik dan tercepat, orang rela menggunakan cara-cara yang tidak baik. Misalnya dengan menyuak petugas, sehingga berakibat mereka yang menempuh prosedur resmi menjadi ditelantarkan. Celakanya, etos minta dilayani ini justru acapkali menjangkiti individu yang mestinya bertugas melayani. Maka petugas public services yang mestinya menyerahkan jiwa raganya untuk melayani umat justru terbalik berperilaku seperti layaknya kaum feodal zaman dulu yang gila hormat dan minta didahulukan. Kalau Pemda Jatim berinisiatif membuat Komisi Pelayanan Publik (KPP), sungguh sebuah inisiatif yang luhur dan semoga mampu menggeret kembali lembaga pelayanan public yang ada di bawah naungan Pemerintah Daerah Jawa Timur kembali kepada khitahnya semula: MELAYANI UMAT!
Dalam kehidupan sehari hari, setiap interaksi niscaya menuntut adanya hubungan timbal balik antara melayani dan dilayani. Apa pun itu jenis hubungannya, pasti terjadi transaksi “memberi” dan “menerima” (take and give). Dua hal itu haruslah seimbang. Kalau orang maunya minta dilayani terus pasti mengesankan mau menangnya sendiri, sedangkan kalau orang melayani terus lama-lama kehabisan energi. Namun, sebagai sebuah prinsip etik, melayani mesti didahulukan. Itu sebabnya agama kita mengajarkan kita terlebih dahulu menghormati tamu (mulai dari menyambut kedatangannya sampai mengantarkan hingga ke luar rumah ketika si tamu pulang). Dalam prinsip perdagangan dikenal istilah “pembeli itu raja”, artinya si penjual harus melayani calon pembelinya itu dengan baik, sebab acapkali orang membeli sesuatu bukan karena harganya atau kualitas produknya, namun karena kepuasan pelayanannya. Kepuasan pelanggan ini merupakan tema penting yang diajarkan di perguruan tinggi dalam matakuliah marketing, yang dikenal dengan istilah costumer satisfaction.
Alangkah indahnya kehidupan ini bila pelayanan menjadi orientasi bagi setiap orang. Ulama melayani umatnya dengan baik melalui metode dakwah yang menyejukkan; dosen melayani mahasiswanya melalui cara mengajar yang benar dan memberi ilmu yang up to date; para petugas cleaning service membersihkan toilet umum dengan serius sehingga pengguna toilet merasa lega buang hajatnya; para petugas Negara melayani keperluan rakyatnya dengan cepat dan adil, juga tidak mau disuap; petugas yang menangani haji melayani tamu Allah dengan baik—tidak sampai kelaparan di sana; para politisi melayani konstituennya dengan berbicara jujur; para pedagang melayani pembelinya dengan menyempurnakan timbangannya. Ah, indahnya hidup ini.
Semua suasana dan kondisi seperti itu hanya dapat berhasil bila orang sudah mampu meluruhkan nafsu egosentrismenya dan sebaliknya menggelorakan semangat berkorban serta membangun jiwa keikhlasan. Tanpa ada semangat berkorban dan keikhlasan tak mungkin melayani menjadi indah. ****



Konsekwensi Manusia Sebagai Mahluk

Manusia adalah mahluk. Itu merupakan fakta yang bersifat aksiomatik. Artinya, fakta yang sudah final sampai hari kiamat sekali pun. Fakta yang tidak perlu lagi dipertanyakan kesahehannya meski pun banyak ahli biologi yang telah mampu menciptakan pembiakan sel manusia dengan cloning. Kemampuan seperti itu sama dengan kemampuan manusia membudidayakan pohon mangga dengan cangkok. Bukan berarti lantas, manusia dapat disebut sebagai pencipta manusia atau manusia menciptakan pohon mangga. Manusia dan pohon mangga mutlak sebagai mahluk, yang keberadaannya diciptakan oleh Allah swt.
Meskipun kini ada dokter telah mampu menggantikan hati manusia yang sakit dengan transplantasi dari organ orang lain, bukan berarti manusia telah mampu menciptakan manusia. Dokter hanya mampu memindahkan hati dari satu orang ke orang lain. Kelak bila pun manusia benar-benar mampu menyempurnakan ciptaan robotnya menjadi sangat cerdik, saya jamin tidak akan sampai pada tingkatan kesempurnaan robot manusia yang diciptakan Allah. Mungkin robot ciptaan manusia sangat pandai menghitung angka-angka atau mengukur ketapatan sebuah ukuran benda, mendeteksi gelombang elektromagnetik, tapi apakah robot itu juga mampu memainkan “perasaannya”? Perasaan adalah bagian dari kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia yang tidak dapat diukur atau dideteksi. Manusia tidak mungkin mampu mengungguli ciptaanNya.
Kalau pun manusia diberi pengetahuan untuk membuat segala sesuatu, itu pasti terbatas agar manusia mampu menghidupi diri sendiri dan menjalankan perannya sebagai wakilNya di bumi. Oleh karena Allah mempunyai sifat Maha Kuasa maka sifat sifat itu pun mewarnai pada manusia, yang cenderung suka berkuasa. Karena Allah mempunyai sifat Maha Pengasih, maka manusia juga diberi sifat pengasih. Karena Allah mempunyai sifat Maha Penyiksas, maka manusia juga memiliki kecenderungan kejam. Namun, kuasanya manusia, kasihnya manusia, dan penyiksaan manusia, tidaklah akan menyamai yang dipunyai Allah. Kekuasaan Allah meliputi segala sesuatu sedangkan kekuasaan yang dimiliki manusia hanyalah amanah yang sifatnya sangat tentative (sementara). Kasih Allah tidak terbatas sedangkan kasih manusia sedikit, dan kejamnya manusia hanyalah tak seberapa sedangkan azabnya Allah sangat pedih.
Jadi, sebagai konsekwensi manusia sebagai mahluk yang diciptakan maka haruslah menyadari bahwa segala yang dimiliki hanya sedikit (terbatas), sementara, dan pastilah akan binasa. Ketika manusia berusaha melampaui kodrat yang telah diberikan, pasti ketidak beresan yang akan terjadi. Contohnya, manakala manusia mengembangkan kekuasaannya melampaui yang diamanatkan, maka yang akan terjadi adalah penindasan. Ketika manusia mengembangkan amarahnya melampaui konteksnya, maka konflik yang akan terjadi. Bahkan ketika manusia mengembangkan rasa sayangnya kepada benda benda melampaui batasnya, ia akan kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Ia akan kehilangan orientasi hidupnya kecuali hanya mengabdi kepada harta benda belaka. Karena itulah, hidup yang wajar itulah yang paling baik bagi mahluk ciptaanNya.
Konsekwensi lainnya, bahwa manusia sebagai mahluk adalah harus taat kepada Penciptanya. Sebab sang Pencipta telah memberi kehidupan dengan disertai aturan main yang jelas. Mana mana yang baik untuknya mana yang mengakibatkan merusak; mana yang boleh mana yang dilarang; mana yang dibolehkan dan mana yang boleh dengan catatan catatan. Ibarat hubungan dokter dengan pasiennya, maka sang dokter akan memberi resep obat lengkap dengan komposisi atau dosisnya. Bila pasien mencoba coba mengubah komposisi unsur obat atau mengurangi dan melebihkan dosisnya, sangat mungkin justru berakibat fatal bagi pasiennya.
Orientasi menata kehidupan ini dengan “sewajar”nya itu menjadi penting manakala kita membaca fenomena di sekitar kita yang penuh dengan kehancuran manakala mencoba melampaui batas. Manakala orang mencoba menebang semua pohon hutan demi uang, berakibat erosi dan banjir bandang; manakala orang mengambil sesuatu melebihi haknya (korupsi) mengakibatkan pidana; manakala orang makan melebihi takaran mengakibatkan klempokan; bahkan manakala orang mengajarkan agama atau ilmu dengan paksaan berujung dengan konflik. Ketidak wajaran, dalam arti menyempal dari apa yang sudah digariskan dalam petunjukNya melalui agama yang tauhid, niscaya dapat menjurus dalam kesesatan.
Kita mesti belajar dari ketidak wajaran kaumnya nabi Lut as yang menyimpangi tata krama dalam hubungan seksual. Kita dapat belajar dari kaumnya nabi Musa as yang mensukutukan Allah dengan seekor Sapi. Lebih lebih kita juga mesti belajar dari kisah Fir’aun yang menggelembungkan kekuasaan absolutnya sampai ia sendiri menasbihkan dirinya sebagai Tuhan.
Semua sikap dan tindakan kita yang melampaui batas kewajaran itu pastilah berakibat melampaui batas. Dalam konteks sifat manusia hal tersebut mendorong orang menjadi arogan. Karena merasa lebih dari yang lain, kemudian meremehkan sesamanya dan merasa berhak merlaku semena mena. Padahal, konsekwensi dari posisioning manusia sebagai mahluk adalah sama ; yakni sama sama hanya menjalankan kewajiban beribadah kepada penciptaNya dengan segenap pernak pernik caranya. Hanya itu saja kok hidup dibuat repot. ****



Manusia Sebagai Hamba
Oleh: Redi Panuju

Salah satu bukti bahwa Allah swt menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan, selain menurut jenis kelamin (lelaki-perempuan), identitas waktu (siang-malam), kondisi biologis (sakit-sehat), situasi psikologis (marah-sabar, bahagia-sengsara), kadar kepemilikan (kaya-miskin), adalah soal pembagian tugas, yakni ada imam ada makmum, ada pemimpin dan ada yang dipimpin (rakyat). Dalam hal yang satu inilah muncul konsep tentang “hamba”.
Pada masa lalu, sebelum peradaban Islam dikukuhkan di muka bumi, manusia digolongkan menjadi dua; tuan dan budak. Budak inilah yang disebut hamba sahaya. Budak diidentikkan dengan harta benda yang dapat diperjual-belikan. Pada masa Rasulullah saw, banyak hamba sahaya yang dimerdekakan keberadaannya sebagai budak. Contohnya Bilal, yang kemudian menjadi pembela Islam militant kala itu. Inti pesan dari pemerdekaan perbudakan sesungguhnya adalah Islam tidak memandang penting stratifikasi sosial dari atribut kelasnya secara ekonomi, politik, keturunan, dan sebagainya. Stratifikasi atas diri manusia hanya untuk membedakan peran yang mesti dijalani, sebab baik kaum juragan maupun bawahan sama-sama memiliki peran dalam kehidupan ini. Orang kaya mesti membayar zakat, orang miskin lebih berhak menerimanya; orang berkuasa harus bersifat adil dan melindungi sedangkan orang yang tidak berkuasa mesti loyal kepada ulil amri sepanjang dalam jalur yang benar.
Maka, siapa sesungguhnya yang dimaksud dengan “hamba” itu? Kalau mengingat bahwa semua manusia dalam setiap stratifikasinya mengemban tugas masing-masing sesuai dengan yang digariskan dalam al-qur'an, maka tiada lain bahwa kita semua tak terkecuali adalah hamba. Lebih lezat disebut “Hamba Allah”.
Peran sebagai “hamba” (Allah) ini sudah barang tentu mengandung tanggung jawab yang besar. Sebagai hamba sudah barang tentu harus tunduk dan patuh terhadap semua yang diperintahkan dan semua yang dilarang oleh-Nya. Kepatuhan dan ketundukan itu pula yang menjadi kriteria, kita itu sebagai hamba semacam apa? Kalau tidak tunduk sama sekali berarti tergolong kafir, jika tunduknya hanya pura-pura berarti munafik, dan bila sungguh-sungguh berarti beriman. Semakin tunduk derajat kehambaannya juga semakin tinggi menjadi manusia yang bertakwa. Semua epos perjalanan para nabi dan rasul tak lain berupaya keras untuk mendapatkan predikat kehambaan yang paling tinggi.
Yang penting bagi kita sekarang adalah belajar dari berita Allah tentang kisah-kisah para nabi dan orang yang dikasihi lainnya dalam al-qur'an, untuk dijadikan metode (langkah-langkah) mencapai kemuliaan sebagai hamba tersebut.
Tidak ada perjalanan seorang nabi pun yang tanpa melalui halangan atau rintangan. Itu membuktikan bahwa niat baik belum tentu dapat diterima sebagai kebaikan. Bahkan niat baik yang dimanifestasikan secara baik pun masih mendapat cercaan. Para nabi kita itu juga mesti mengahadapi perjalanan hidup yang selalu menderita. Penderitaan menjadi sebuah pahala besar ketika dimaknai dan diniatkan sebagai ibadah. Maka, kekurangan makan, dimusuhi, diusir, dilempari batu, dicaci maki, tak membuat para nabi mengurungkan tekadnya menjadi hamba-Nya yang shalih. Justru dengan rintangan yang sedemikian besar itulah yang membentuk pribadi para nabiullah menjadi semakin kukuh dalam penderian, tabah dalam menghadapi ancaman, ikhlas dalam menerima ujian.
Ujian dari setiap perjalanan untuk menjadi hamba Allah itu bermacam-macam; Nabi Dawud as diuji dengan kekuasaan, Nabi Musa as diuji dengan ego kesombongan pikiran ketika menghadapi Nabi Khidhir as, Nabi Yusuf as diuji dengan ketampanannya, Nabi Ibrahim as diuji keihklasannya ketika harus menjalani perintah-Nya untuk menyembelih putera terkasihnya Ismail as, dan Nabi Ayyub diuji dengan penderitaan sakitnya, Nabi Nuh diuji oleh keluarganya sendiri (anaknya tidak mau beriman). Namun, sebagaimana kita ketahui semua ujian itu akhirnya lolos karena para Nabiullah tersebut menomor-satukan Allah: berserah diri secara total semata untuk mendapat ridla-Nya.
Hidup di jaman sekarang tentu amat sulit membayangkan bagaimana altruisme kemanusiaan dan relegiusitas para nabi yang seperti itu. Sebab materialisme, individualisme, egosentrisme, hedonisme, dan kekuasaanisme, berbondong-bondong menyerbu ranah hidup manusia. Dari segala penjuru mereka menyergap dan mempengaruhi agar mau menjadi budak-budaknya atau hamba-hambanya.
Maka, banyak di antara saudara-saudara kita yang tak tahan oleh godaan tersebut, akhirnya memilih menjadi hamba mereka; menghamba selain Allah. Dan setan sungguh lihai dalam menjerumuskan kita. Bila pun menggoda secara langsung gagal, maka menggodalah mereka dengan cara halus. Didorongnya manusia memakai baju yang memancarkan kehambaannya kepada Allah namun lebih mengarah sekadar sebagai identitas belaka. Tujuan yang utama bukan penyerahan diri sebagai hamba-Nya, namun penghambaannya hanya supaya mendapat simbol kehambaan. Dengan simbol itulah kepentingan lain yang bersifat duniawi direngkuh. Maka kehambaan hanya menjadi slogan tanpa substansi.
Mungkin mereka sendiri mengira, bahwa penghambaan yang artifisial itu tidak terlacak oleh radar-Nya karena dibungkus secara canggih, sistematis, dan seperti sungguh sungguh. Padahal Allah itu Mahamengetahui, termasuk yang ada di dalam hati kita paling dalam, termasuk niat kita yang tak terucapkan sema sekali. Dengan demikian, memotret hati kita masing-masing merupakan pekerjaan yang berat menanti, sebab siapa tahu kehambaan kita masih termasuk pada tingkatan kehambaan yang pura-pura.

Manusia Sebagai Hamba
Oleh: Redi Panuju

Salah satu bukti bahwa Allah swt menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan, selain menurut jenis kelamin (lelaki-perempuan), identitas waktu (siang-malam), kondisi biologis (sakit-sehat), situasi psikologis (marah-sabar, bahagia-sengsara), kadar kepemilikan (kaya-miskin), adalah soal pembagian tugas, yakni ada imam ada makmum, ada pemimpin dan ada yang dipimpin (rakyat). Dalam hal yang satu inilah muncul konsep tentang “hamba”.
Pada masa lalu, sebelum peradaban Islam dikukuhkan di muka bumi, manusia digolongkan menjadi dua; tuan dan budak. Budak inilah yang disebut hamba sahaya. Budak diidentikkan dengan harta benda yang dapat diperjual-belikan. Pada masa Rasulullah saw, banyak hamba sahaya yang dimerdekakan keberadaannya sebagai budak. Contohnya Bilal, yang kemudian menjadi pembela Islam militant kala itu. Inti pesan dari pemerdekaan perbudakan sesungguhnya adalah Islam tidak memandang penting stratifikasi sosial dari atribut kelasnya secara ekonomi, politik, keturunan, dan sebagainya. Stratifikasi atas diri manusia hanya untuk membedakan peran yang mesti dijalani, sebab baik kaum juragan maupun bawahan sama-sama memiliki peran dalam kehidupan ini. Orang kaya mesti membayar zakat, orang miskin lebih berhak menerimanya; orang berkuasa harus bersifat adil dan melindungi sedangkan orang yang tidak berkuasa mesti loyal kepada ulil amri sepanjang dalam jalur yang benar.
Maka, siapa sesungguhnya yang dimaksud dengan “hamba” itu? Kalau mengingat bahwa semua manusia dalam setiap stratifikasinya mengemban tugas masing-masing sesuai dengan yang digariskan dalam al-qur'an, maka tiada lain bahwa kita semua tak terkecuali adalah hamba. Lebih lezat disebut “Hamba Allah”.
Peran sebagai “hamba” (Allah) ini sudah barang tentu mengandung tanggung jawab yang besar. Sebagai hamba sudah barang tentu harus tunduk dan patuh terhadap semua yang diperintahkan dan semua yang dilarang oleh-Nya. Kepatuhan dan ketundukan itu pula yang menjadi kriteria, kita itu sebagai hamba semacam apa? Kalau tidak tunduk sama sekali berarti tergolong kafir, jika tunduknya hanya pura-pura berarti munafik, dan bila sungguh-sungguh berarti beriman. Semakin tunduk derajat kehambaannya juga semakin tinggi menjadi manusia yang bertakwa. Semua epos perjalanan para nabi dan rasul tak lain berupaya keras untuk mendapatkan predikat kehambaan yang paling tinggi.
Yang penting bagi kita sekarang adalah belajar dari berita Allah tentang kisah-kisah para nabi dan orang yang dikasihi lainnya dalam al-qur'an, untuk dijadikan metode (langkah-langkah) mencapai kemuliaan sebagai hamba tersebut.
Tidak ada perjalanan seorang nabi pun yang tanpa melalui halangan atau rintangan. Itu membuktikan bahwa niat baik belum tentu dapat diterima sebagai kebaikan. Bahkan niat baik yang dimanifestasikan secara baik pun masih mendapat cercaan. Para nabi kita itu juga mesti mengahadapi perjalanan hidup yang selalu menderita. Penderitaan menjadi sebuah pahala besar ketika dimaknai dan diniatkan sebagai ibadah. Maka, kekurangan makan, dimusuhi, diusir, dilempari batu, dicaci maki, tak membuat para nabi mengurungkan tekadnya menjadi hamba-Nya yang shalih. Justru dengan rintangan yang sedemikian besar itulah yang membentuk pribadi para nabiullah menjadi semakin kukuh dalam penderian, tabah dalam menghadapi ancaman, ikhlas dalam menerima ujian.
Ujian dari setiap perjalanan untuk menjadi hamba Allah itu bermacam-macam; Nabi Dawud as diuji dengan kekuasaan, Nabi Musa as diuji dengan ego kesombongan pikiran ketika menghadapi Nabi Khidhir as, Nabi Yusuf as diuji dengan ketampanannya, Nabi Ibrahim as diuji keihklasannya ketika harus menjalani perintah-Nya untuk menyembelih putera terkasihnya Ismail as, dan Nabi Ayyub diuji dengan penderitaan sakitnya, Nabi Nuh diuji oleh keluarganya sendiri (anaknya tidak mau beriman). Namun, sebagaimana kita ketahui semua ujian itu akhirnya lolos karena para Nabiullah tersebut menomor-satukan Allah: berserah diri secara total semata untuk mendapat ridla-Nya.
Hidup di jaman sekarang tentu amat sulit membayangkan bagaimana altruisme kemanusiaan dan relegiusitas para nabi yang seperti itu. Sebab materialisme, individualisme, egosentrisme, hedonisme, dan kekuasaanisme, berbondong-bondong menyerbu ranah hidup manusia. Dari segala penjuru mereka menyergap dan mempengaruhi agar mau menjadi budak-budaknya atau hamba-hambanya.
Maka, banyak di antara saudara-saudara kita yang tak tahan oleh godaan tersebut, akhirnya memilih menjadi hamba mereka; menghamba selain Allah. Dan setan sungguh lihai dalam menjerumuskan kita. Bila pun menggoda secara langsung gagal, maka menggodalah mereka dengan cara halus. Didorongnya manusia memakai baju yang memancarkan kehambaannya kepada Allah namun lebih mengarah sekadar sebagai identitas belaka. Tujuan yang utama bukan penyerahan diri sebagai hamba-Nya, namun penghambaannya hanya supaya mendapat simbol kehambaan. Dengan simbol itulah kepentingan lain yang bersifat duniawi direngkuh. Maka kehambaan hanya menjadi slogan tanpa substansi.
Mungkin mereka sendiri mengira, bahwa penghambaan yang artifisial itu tidak terlacak oleh radar-Nya karena dibungkus secara canggih, sistematis, dan seperti sungguh sungguh. Padahal Allah itu Mahamengetahui, termasuk yang ada di dalam hati kita paling dalam, termasuk niat kita yang tak terucapkan sema sekali. Dengan demikian, memotret hati kita masing-masing merupakan pekerjaan yang berat menanti, sebab siapa tahu kehambaan kita masih termasuk pada tingkatan kehambaan yang pura-pura.

Manusia Sebagai Kholifatullah
Oleh Redi Panuju

Manusia diturunkan ke bumi memang dimaksudkan sebagai wakil-Nya di bumi. Jadi sesungguhnya, manusia itu mempunyai kewenangan yang sangat besar untuk menjalankan kehendak-kehendak-Nya terhadap bumi ini. Menjadikannya sebagai sumber kehidupan, karena itu mesti menjaganya, dan memanfaatkan demi kemaslahatan hidup manusia itu sendiri.
Karena itu, perintah-perintah Allah terhadap manusia yang menyangkut perannya di muka bumi selalu berkonotasi positif. Tidak ada misalnya, perintah “hancurkanlah bumi itu”, “kotorilah atau cemarilah air laut”, eksploitasilah sesukamu isi perut bumi supaya lumpur panasnya keluar”. Sama sekali tidak ada. Allah selalu menyeru hal yang baik sehubungan dengan tugasnya sebagai wakil di bumi. Misalnya, bercocok tanamlah…, berniagalah, tolong menolonglah dalam kebaikan, jagalah kebersihan sebab kebersihan merupakan bagian dari iman, dan sebagainya.
Jadi, bila ada manusia yang kecenderungannya membuat kerusakan di muka bumi atau membuat bumi sebagai ajang membuat kegaduhan (trouble maker), dapat dipastikan tidak memahami takdirnya sebagai kholifatullah.
Kemudian posisinya sebagai wakil, sudah barang tentu tugasnya menjalankan apa-apa yang diamanahkan oleh “Ketua”nya. Memang ada bagian-bagian tertentu yang diberikan keleluasaan, namun sebatas yang dibolehkan dalam ikhtiar. Sedangkan selebihnya, tugas kewakilan tersebut telah diatur sedemikian rinci, detail, dan menyeluruh melalui undang-undang yang maha universal, al-qur’an nul karim. Maka, sebagai wakil masih punya tanggung jawab untuk mempertanggung jawabkan tugas-tugas keterwakilannya itu. Tugas-tugas kewakilannya itu senantiasa dipantau dan dinilai oleh Sang Pemberi Amanah disertai dengan ganjaran dan hukuman. Karena itu, memang mesti hati-hati menjalani peran ini. Dan seluruh perjalanan hidup kita ini sesungguhnya sebuah manifestasi menjalankan kehendak-Nya.
Kalau ada wakil yang kegedean rumangsa (Ge-er), yang dikarenakan pelbagai sebab, lantas sok sok-an menjadi seperti “Ketua”nya, pasti terjadi ketidak beresan; mereka yang sok berkuasa akan kebablasan tak menyadari bahwa kekuasaan itu hanya amanah; mereka yang sok kaya akan kebablasan tak menyadari bahwa kekayaan hanya titipan; mereka yang sok ganteng atau cantik akan kebablasan tak menyadari bahwa kerupawanan dan kecantikan itu hanya sementara sifatnya. Dan dari semua itu tak menyadari bahwa dirinya hanyalah sebuah keterwakilan saja dari Dzat yang Maha Besar. Ketidak sadaran ini yang membuat Fir’an menyesal seumur hidup ketika mesti disadarkan Allah lewat tragedy laut merah yang menyeramkan itu, namun kesadaran Fir’aun sudah terlambat karena Allah mengabadikan peristiwa itu sebagai pembelajaran bagi para wakil-wakil yang lain, supaya tak rumangsa menjadi “Ketua”.
Labeling kholifatullah tersebut tidak sekedar sebuah merek relegius, yang indah dan keren, namun sebuah stempel abadi yang oleh Allah dijadikan menara peringatan agar manusia tidak seenak perut “berjalan” di muka bumi ini atau dalam bahasa kisah supaya tidak mengulangi kejadian seperti yang dikhawatirkan para Malaikat ketika proses penciptaan Nabiyullah Adam as akan dumulai. “Wahai Allah Yang Kuasa, mengapa Engkau akan ciptakan mahluk yang hanya akan membuat kerusakan di muka bumi ini?” tanya Malaikat. Namun, Allah tidak pedulikan pertanyaan itu dan hanya mengatakan “Aku lebih tahu apa yang akan terjadi terhadap ciptaanKu”.
Konsekwensi atas labeling kholifatullah sebetulnya hanya satu; yakni tidak ada yang lain kecuali beribadah kepadaNya. Apa pun bentuknya, baik yang dipikirkan, dirasakan, dilakukan, bahkan yang diniatkan, asal demi kebaikan (kemaslahatan), maka itulah manifestasi dari predikat kholifatullah. Bahkan sekedar niat saja, asal itu menyangkut kebaikan, sudah dicatat sebagai amal ibadah, apalagi bila sampai betul-betul dimanifestasikan, tentu pahalanya akan lebih besar lagi. Sedangkan niat yang buruk, sepanjang belum dilaksanakan, belumlah dicatat sebagai dosa. Namun, bukan berarti kita dibenarkah untuk berniat yang buruk. Sebab bila pikiran kita diarahkan ke sana (niat yang buruk), lama-lama akan mendorong motorik kita benar-benar melaksanakannya. Suatu ketika niat yang buruk itu tak mampu lagi dibendung.
Niat yang selalu buruk akan menjadi situasi pembiasaan (conditioning function) yang berpengaruh kepada pikiran. Lama-lama, pikiran kita terdorong untuk memikirkannya. Memikirkan bagaimana melakukannya. Ini akan membentuk focus perhatian yang bila terus menerus menjadi obsesi. Sebuah obsesi lebih kuat dorongannya ke saraf motorik (saraf yang mengkordinasikan otak dengan anggota tubuh lainnya, seperti mata, telinga, kaki, tangan, dan sebagainya). Maka bila dorongan niat itu telah diback-up oleh obsesi, hati-hatilah….sebab bila ada kesempatan akan menjadi kenyataan. Karena itu, bila punya niat membunuh orang (meski niat saja belum berdosa), cepatlah dipangkas, jangan sampai menjalar ke pikiran. Bila dibiarkan, suatu ketika manakala ada dorongan yang kuat dan ada kesempatan, benar-benar menjadi kenyataan.
Karena itulah, menurut saya (pribadi, maaf bila salah), menetapkan diri sebagai kholifatullah mesti dimulai dari niat yang benar terlebih dahulu. Sebab, secara ilmiah pun ternyata dari niat itulah sebuah psikomotorik menjadi perilaku. Benarlah apa yang diajarkan agama kita, bahwa amal perbuatan kita sangat tergantung dari niatnya. Bismillah….. ****





Memahami Kesetaraan Kedudukan Manusia

Manusia diciptakan sang Qalik dengan kedudukan yang setara. Konsepsi ilahiah ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan konsep yang diusung faham komunisme yang ateis, dimana menggagas manusia tanpa kelas; sama rata sama rasa. Kesetaraan eksistensial menurut konsepsi Allah SWT tidak sama dengan konsepsi kesetaraan materi atau kebendaan ataupun fisikalnya. Sebab dalam koteks ini, Allah justru membuat manusia berbeda-beda atau plural. Warna kulit misalnya jelas berbeda satu sama lain, bahasanya juga berlainan, juga rejekinya masing-masing, lahir dan matinya bergiliran. Pendek kata masing-masing individu diberi porsi takdir yang berbeda-beda. Lantas, dalam pengertian seperti apa manusia itu dikatakan memiliki kedudukan yang setara?
Konsep kesetaraan kedudukan manusia di mata Allah adalah sebuah fitrah atau dalam kata sambung sering diwakili dengan kata “sesungguhnya….”, yakni sesungguhnya fitrah manusia itu di mata Allah sama (lelaki-perempuan, kaya-miskin, berkuasa-tak berkuasa, dst). Di mata Allah semua atribut yang menyertainya tidak diperhatikan, sebab yang membedakan adalah “takwanya kepada Allah” (taqwallah). Atribut-atribut yang bersifat fisikal hendak dirontokkan oleh Allah dan diyakinkan kepada manusia bahwa semua itu tak bermakna apa-apa, tidak abadi, dan tidak mungkin di bawa sampai alam akherat. Banyak penjelasan dalam al-qur’an yang meneguhkan kefanaan kebedaan. Seperti QS. Muhammad (47 : 26) Allah berfirman, “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurau belaka…”. Hal senada diulang dalam QS. Al- Kahfi (18 : 46), QS. At-Takaatsur (102 : 2), QS. Hadiid (57 : 20).
Apa yang dinafikan Allah sebagai sesuatu yang tidak penting itu justru oleh manusia sekarang dibalik menjadi penting. Harta, pangkat, kekuasaan, massa, seolah menjadi puncak pencarian yang tak pernah lelah dikejar. Ibaratnya sampai ke ujung dunia, tiada lelah manusia menggapainya. Bahkan untuk mendapatkan itu semua, manusia sampai tega mengingkari kemanusiaannya sendiri. Berbuat nista kepada saudara sendiri, mengintrik sahabat sampai “babak belur”, menyerobot hak orang lain dengan legitimasi ayat-ayat Allah, bahkan sampai tak segan-segan menukar dengan akidahnya; menggadaikan keimanannya dengan hal-hal yang berbau syirik. Sebab, semua atribut keduniawian tersebut telah menjadi pembeda yang membuat manusia dimata manusia tidak setara. Satu bagian yang menguasai atribut kebendaan dan kekuasaan itu seolah berada di bagian strata atas yang membutuhkan penghormatan, kekhususan, previllage, dan sebagainya; sisi lain mereka yang papa seolah tak ada arti dalam kehidupan dunia yang sebenarnya fana. Orang sampai lupa pada firmanNya: “…kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Hadiid, 20).
Jadi, kalau manusia membuat ukuran sendiri dengan katagori berdasarkan kelas ekonomi, kelas sosial, kelas politik (kekuasaan), dan sejenisnya itu jelas sesuatu yang menipu. Semua hal yang berasal dari tipuan pastilah tidak objektif, tidak sungguh- sungguh, dan bersifat menjerumuskan. Sudah barang tentu setiap penipuan pasti berbuntut kerugian, penyesalan, dan amarah. Bila anda pernah tertipu membeli barang palsu, pasti anda akan marah, geram, dan menyumpahi si penipu supaya tidak selamat. Padahal, semua hal yang menyebabkan diri ini tertipu sebenarnya ya diri sendiri juga; tidak cermat dan terlalu percaya pada rayuan kata-kata.
Kalau orang tidak terlalu percaya pada keduniawian, pasti juga tidak mudah tergoda oleh bujuk rayu fatamorgana kenikmatan yang ditawarkan.
Konsepsi kesetaraan yang paramaternya ketakwaan itu merupakan konsep yang lebih abadi, sebab jangkauannya hingga kehidupan setelah kehidupan di dunia ini. Implikasi ketaqwaan justru berbalik menjadi ketidak setaraan di akherat kelak. Jadi, makna bahwa di mata Allah manusia itu sama derajatnya, yang membedakan hanyalah takwanya, mengandung maksud bahwa setiap individu memiliki kesetaraan dalam menggapai keabadian yang ditawarkan oleh Allah. Dalam bahasa ilmu statistik berarti setiap manusia itu (apa pun sebutan dan atributnya) memiliki probabilitas yang sama untuk masuk neraka ataukah masuk surga. Allah tak membedakan warna kulitnya apa, kekayaannya berapa, umurnya berapa, jenis kelaminnya apa, dst. Ada orang kaya karena kikirnya masuk neraka, tapi tak sedikit yang masuk surga karena amal jariyahnya; tak sedikit orang miskin masuk surga karena keikhlasannya namun banyak yang masuk neraka karena kemiskinan justru membuatnya kufur.
Masih dalam takaran ilmu statistic, agar sebuah variable (kesetaraan) berhubungan atau berpengruh terhadap kesempatannya masuk surga, maka tergantung pada tingkat signifikansinya antara variable yang bekerja. Variebel apakah yang dimaksud?
Pertama, kesetaraan kedudukan manusia mengandung maksud itulah manifestasi dari sifat Allah yang Maha Adil. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama.
Kedua, kesetaraan tidak ada artinya bila tidak disertai ketakwaan. Justru ketiadaan variebel ketakwaan menyebabkan manusia menjadi tidak setara.
Nah, hal hal yang membentuk nilai ketakwaan itulah yang menjadi persoalan penting untuk digali. Dan bila kita mau serius, sesungguhnya variebel yang membingkai ketakwaan itu berkisar pada tingkat kesabaran, keikhlasan, ketauhidan (monomer satukan Allah), dan kekonsistenan.
Dengan begitu, apa yang disebut kesetaraan lebih merupakan perangsang dari Allah dan bukan sebuah keniscayaan yang ada sejak dari awalnya (taken from grated). Kesetaraan lebih bersifat motivasional, agar manusia secara keseluruhan merasa punya peluang untuk memasuki jalan Allah menuju surgaNya yang kekal. ****

Manusia Ditakdirkan Plural
Salah satu Kemahakuasaan Allah adalah mampu membuat ciptaannya menjadi sangat variatif padahal dari sistem anatomi yang sama, yakni sistem reproduksi manusia. Organismenya sama, prosesnya sama, bahan bakunya sama, namun hasilnya berbeda satu sama lain. Nyaris tak dapat dijumpai manusia yang sama dalam segala hal. Rambut bisa sama tapi pikiran bisa beda. Wajah bisa mirip tapi isi hati siapa tahu. Bahkan, seorang ahli biologi (yang sering kita cibirkan karena teori evolusinya, Charles Robert Darwin), setelah melakukan penelitian ribuan kali sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada manusia yang sama identik alias plek ciplek, sekali pun berasal dari gen atau sel telur yang sama (anak kembar misalnya). Bahkan untuk sekedar garis tangan (sidik jari) saja tak ada individu yang memiliki guratan sama. Subhannallah…
Sedangkan kalau manusia membuat computer, mobil, kulkas, TV, atau barang berteknologi canggih lainnya, sekali membuat sistemnya, niscaya ouputnya selalu sama. Itulah yang membedakan ciptaan manusia dengan ciptaan Allah. Bahwa Allah melalui keunikan dalam menciptakan manusia hendak menegaskan bahwa Dialah satu satunya yang Mahakuasa dan Mahabisa. Tak ada yang mustahil bagi-Nya.
Kalaulah Allah berkehendak misalnya menciptakan manusia itu sama dalam segala hal, mulai dari bentuk fisiknya, pikirannya, seleranya, perasaannya dan sebagainya, tentulah bukan hal sulit. Pasti bisa. Seperti halnya, kalaulah Allah mau membuat manusia semua menjadi satu bangsa dan langsung menempati surga-Nya. Tentulah tak ada halangannya. Namun Allah mempunyai skenario lain. Allah ciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, tak lain supaya saling mengenal (mutual of understanding). Allah membuat skenario manusia diciptakan bukan sekadar iseng. Artinya setelah menciptakan kemudian ditinggal begitu saja. Tidak begitu. Allah berkehendak memberikan sebuah permainan transaksional, berupa ujian, yang aturan mainnya ditetapkan secara ketat. Barang siapa yang mampu melewati ujian itu akan mendapatkan hadiah yang tiada terkira manfaat dan memberi kebahagiaan. Sebaliknya barang siapa yang tak lulus ujian akan mendapatkan siksa yang amat pedih.
Itu sebabnya, setiap individu diciptakan secara khas, karena ujian itu memang bersifat individual. Masing- masing mempunyai beban tugas dan tanggung jawab tersendiri. Namun, demikian Allah Yang Mahapengasih itu sudah memberi garansi bahwa tugas dan tanggung jawab tersebut tidak diberikan melampaui batas kemampuan. Allah tidak memberi beban kepada manusia yang tak kuat dipikulnya. Karena itu, kalau ada manusia dikit-dikit mengeluh, merasa bahwa beban hidupnya telah melampaui kemampuannya, sesungguhnya itu persepsi yang bersangkutan sendiri. Hidup ini kalau mau dibuat sulit ya memang jadi sulit, tapi kalau mau dibuat sebaliknya juga bisa. Tergantung konsep diri masing- masing. Allah sendiri tidak menyukai orang yang suka mengada-ada, apalagi mengada-ada syariat -- padahal sudah dinukilkan secara lengkap di dalam al-qur’an.
Apa hanya itu tujuan Allah menakdirkan manusia menjadi plural? Ya, tidaklah. Maksud anjuran “supaya saling mengenal” di akhir kalimat “diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa” itu mengandung maksud yang dalam, bahwa bila saling mengenal maka akan tumbuh kepedulian. Dalam bahasa Melayu direpresentasikan oleh pepatah “Tak kenal maka tak sayang”. Di sanalah potensi kasih -saying Allah disisipkan. Di antara celah perbedaan itu ada potensi kasih sayang. Dengan memahami takdir yang plural itu maka akan menyadari bahwa masing-masing individu juga membawa takdir berupa kelebihan dan kekurangan. Nah, dalam bahasa manajemen modern sekarang ini dengan kelebihan itu manusia dapat saling berbagi (how to share), dan dengan kekurangannya itu manusia dapat saling mengisi (bersinergi). Itulah kongkretisasi ayat dalam al-qur’an yang berbunyi “tolong-menolonglah kalian dalam perbuatan baik dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa”.
Namun, konsep “how share” dan “how to empowering by synergy” itu kini makin redup saja seiring kegilaan manusia pada obsesi “how to be number one” , “how to be the best”, dst. Masing-masing individu terperangkap pada ilusinya sendiri ingin menjadi yang terbaik, terhebat, terkaya, dan seterusnya. Konsep untuk menjadi baik memang tidak ada salahnya, dan Islam juga mendorong ke arah sana supaya umat Islam menjadi umat yang terdepan. Namun, mekanisme ke arah sana yang tidak mengindahkan nilai-nilai moralitas itulah yang menyebabkan perbedaan menjadi bencana. Manusia saling berkelompok untuk memperkuat diri yang tujuannya untuk menghancurkan kelompok lain. Kompetisi yang mestinya menghasilkan pemenang terbaik, justru menghasilkan pemenang yang tak tahu diri. Pemenang yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Ironisnya, nama Allah sering dibawa bawa justru dalam rangka melegitimasi sifat kerakusan, kekejaman dan kemunafikan.
Maka, perbedaan tidak lagi dapat dirasakan sebagai rahmat karena manusia terjebak dalam lingkaran permusuhan, saling curiga, saling benci, dan tak ada kompromi. Manusia cenderung menonjolkan keakuannya sendiri-sendiri. Sehingga ibarat sebuah lukisan, kehidupan ini menjadi seperti mozaik dalam sebuah bingkai. Tak ada bentuknya yang pasti, meranggas dengan serpihan-serpihan tak terbatas.

Manusia Mahluk yang Bi-dimensional

Manusia sebagai mahluk yang Bi-dimensional (bersubstansi dua dan cenderung berkaitan) merupakan tanda-tanda yang kesekian kalinya dari kekuasaan Allah SWT dalam menciptakan mahluk yang bernama manusia itu. Manusia itu selain terdiri dari susunan material (tulang, otot, syaraf, sel darah, dsb) juga dilengkapi dengan hal-hal yang bersifat non material (perasaan, pikiran, instink, nafsu, dsb). Maka orang sering mengaitkan bila membangun dabannya jangan lupa mendidik jiwanya. Itu artinya, manusia tidak lengkap bila dua dimensi yang dimiliki tidak berfungsi secara baik.
Pasti sangat berbeda dengan benda ciptaan manusia, biasanya hanya mengandung satu dimensi saja. Robot misalnya, hanya fasih menerjemahkan perintah manusia yang telah disandikan, tetapi tidak akan pernah mengetahui bagaimana perasaan dan pikiran orang yang memerintahkannya. Teknologi secanggih apa pun punya keterbatasan dalam merumuskan hal-hal yang non material. Jika ada robot tiba-tiba mempunyai perasaan beriman kepada Tuhan, itu baru merupakan hasil khayalan manusia yang dituangkan dalam film-film fiksi ilmiah. Itulah kelebihan sang Qalik dalam menciptakan manusia. Karena itu Gus Luthfi (KH Miftahul Luthfi Muhammad) dalam buku “EIn-Q, Emotional & Intitutional Quotient” (2006 : h.132) mengatakan bersyukurlah kita menjadi manusia, tidak menjadi yang lainnya. Dan harus bersyukur lagi kita ditakdirkan-Nya menjadi seorang mukmin.
Memang penegasan Gus Luthfi tersebut tidak secara langsung mengaitkan dengan persoalan hakekat manusia yang bi-dimensional itu, namun ujung-ujungnya sesungguhnya kaitannya amat erat. Dengan menjadi mukmin, hidup kita yang dihambakan hanya untuk beribadah kepadaNya menyebabkan kita istiqomah dalam menegakkan kehendakNya, pastilah hidup menjadi penuh manfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Perjalanan hidup yang bergelimang dengan amal soleh, insya Allah akan membawa manusia menjadi hamba-hambaNya yang husnul khatimah, yang oleh Gus Luthfi diposisikan sebagai manusia yang shalih, shiddik, rabbani, dan muqarrib. Saya hanya mencoba menarik benang merah bahwa bersyukur menjadi seorang mukmin berkaitan dengan konsep bi-dimensi tujuan hidup manusia yaitu mendapat ridla di dunia dan selamat di akherat (dimasukkan dalam surga).
Jadi dimensi kehidupan manusia sangat panjang. Kehidupan di dunia ini hanyalah sebuah fase dari estafet dimensi kehidupan. Setelah manusia selesai menjalani takdirnya di dunia, akan berlebih di alam kubur (alam barzah), setelah itu manusia akan dibangkitkan dan dikumpulkan di alam maksyar untuk dihisab amal-dosanya. Kehidupan di dunia ini konon hanyalah sangat singkat sekali, sedangkan yang kekal di akherat. Namun, meski pun hanya singkat, bahkan orang Jawa suka mentamsilkannya dengan kata kata “mung mampir ngombe” (hanya mampir minum), kehidupan di dunia ini akan menentukan bagaimana nasib seseorang di akherat kelak. Alam akherat merupakan fase ngunduh wong ing pakarti. Tergantung apa yang diperbuatnya ketika di dunia. Bila mengisi kehidupan di dunia dengan bekal yang diperlukan di akherat, maka selamatlah, namun bila terjebak hanya sampai menggapai gemerlapnya dunia, tanggunglah akibatnya. Sebab dalam banyak ayat yang tersurat di al-Qur’an, Allah mengabarkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah permainan belaka, sendagurau, yang sesungguhnya merupakan ujian bagi segenap umat manusia. Bila saat ini manusia terjebak hanya pada orientasi mendapatkan kebutuhan duniawi, mungkin karena belum yakin benar pada hakekat manusia yang bi-dimensional.
Bi-dimensional lain yang tak kalah penting adalah kaitan antara “okol dan akal”. Akal pikiran pemberian Allah ini hanya diperuntukkan kepada manusia agar menjadi mahluk yang lebih tinggi peradabannya dengan mahluk yang lain. Gus Luthfi menyebutnya dengan istilah human elyon. Manusia yang membangun peradabannya hingga memiliki derajat yang lebih tinggi dari yang lain. Namun, dalam al-Qur’an Allah juga menegaskan bahwa manusia itu akan lebih hina derajatnya dari binatang bila keluar dari acuan yang telah digariskan. Karena itu, manusia yang tidak tunduk patuh pada perintahNya, perangainya bisa lebih keji dari binatang. Tak usahlah kita ambilkan contoh berita tingkah polah manusia yang melebihi binatang di surat khabar. Cukuplah kita pertajam cirinya, seperti halnya binatang, mereka berbuat hanya mengandalkan instingnya (tidak memakai akalnya), seperti halnya binatang perangainya tak mengenal belas kasihan, tak memperhitungkan akibat (pokok gasak dulu, urusan belakangan).
Karena itulah Allah mewajibkan manusia untuk menuntut ilmu, supaya apa? Supaya nalar sehatnya dapat digunakan untuk membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mana yang pantas dan mana yang nggilani, mana yang menyinggung perasaan orang lain dan mana yang menyenangkan. Semua esensi hakekat hidup yang baik itu dapat dikaji melalui pikiran. Dalam QS.al.Hajj (ayat ke-3), Allah menginformasikan betapa manusia tanpa pengetahuan dapat menjadi sesat dan jahat. Selengkapnya ayat tersebut berbunyi : “Di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa pengetahuan dan mengikuti setiap bisikan setan yang sangat jahat.”
Kalau orang hanya mengandalkan okolnya, maka satu dimensi tersia-siakan atau tidak dimanfaatkan, maka proses produksinya dalam banyak hal menjadi kurang optimal. Kalau Allah menjanjikan bahwa insan yang berilmu akan ditinggikan derajatnya dari yang lain, maka maknanya dimensi berpikir ini merupakan fitrah yang sangat penting. Namun, bagi bangsa ini fitrah akal itu masih menjadi potensi, belum menjadi manifestasi. Karena orang sedikit menggunakan akalnya, maka dalam banyak hal problem kehidupan diselesaikan dengan kekuatan okol. Jadinya kekerasan yang mengemuka, anarkisme, dan pemaksaan kehendak. Apa jadinya bila dalam soal agama saja mesti diselesaikan dengan kekerasan. Maka agama kita kesannya menjadi tidak cerdas, tidak ramah, dan tidak toleran. ****

Manusia sebagai Mahluk Da’i

Oleh Redi Panuju


Mohon maaf bila kemampuan saya mendefinisikan “da’i” baru sampai pada tataran bahwa ia adalah manusia yang memiliki kecenderungan menyampaikan atau menyebar luaskan ajaran agama (Islam). Soal apakah ia mendapat sebutan Kyai, al-Ustadz, Guru Ngaji, atau lainnya, itu hanyalah masalah julukan penghormatan yang diberikan masyarakat. Namun, pada dasarnya siapa pun yang memiliki kepedulian membawa masyarakat menjauhi kehidupan ala zaman Jahiliyah dan mengikuti cara-cara seperti yang dianjurkan (bahkan diwajibkan) oleh Allah SWT melalui al-Qur’an dan as-sunnah Rasulullah SAW, maka ia dapat disebut sebagai seorang da’i.
Pertanyaannya; apakah menyebar luaskan al-Islam itu semata mata hanya menjadi tugas dan tanggung jawab para ulama saja? Jawabannya, bila menengok pandangan umum (general opinion), kelihatannya “ya”. Masyarakat kebanyakan masih menganggap bahwa tugas menyebar luaskan agama ini melulu menjadi urusan para ulama. Padahal, bila demikian keadaannya, berapa banyak sih jumlah manusia yang paham agama dan peduli pada syiar agama? Saya yakin jumlahnya tak lebih dari 5% saja dari jumlah penduduk. Seringkali dalam suatu wilayah kesulitan mencari orang yang berkarakter seperti itu. Bila pun ada, maka wilayah syiarnya menjadi sangat luas, meliputi banyak kabupaten kota. Bila syiar agama hanya dibebankan kepada mereka yang langka ini, maka pastilah kurang efektif. Bila sifatnya hanya memotivasi mungkin masih dapat dilaksanakan, tapi untuk sampai pada tahapan “mendidik” tidaklah dapat hanya mengandalkan dakwah dari mimbar ke mimbar. Pendidikan tidak sama dengan pengajaran. Dalam pendidikan mengandung pengertian membentuk watak dan pikiran manusia melalui contoh atau keteladanan.
Menurut hemat penulis, keberadaan agama kita ini sangat tergantung pada semua pihak. Tidak bisa hanya mengandalkan ulama saja. Sudah pasti gaungnya kalah “keras” dengan dakwah lain non agama yang dilesakkan melalui budaya massa. Budaya massa telah menggeser institusi keluarga, masjid, dan lainnya sebagai sumber transformasi nilai. Karena itu, dakwah itu mesti diperhitungkan tingkatan dan konteksnya. Untuk transformasi yang bersifat sistematis dan berkesinambungan kita masih mengandalkan pesantren, sekolah-sekolah berbasis agama Islam, dan lembaga dakwah lainnya. Namun, secara kontekstual, bukankah seorang dokter, insinyur, seniman, dosen, pengusaha, juga berkompeten mengharu birui konteks keagamaan.
Seorang dokter misalnya, dapat berdakwah melalui komunikasi dengan pasiennya bahwa dirinya hanyalah sebagai perantara penyembuhan, sedangkan yang berhak menyembuhkan adalah Allah SWT. Seorang insinyur dapat mengatakan, bahwa ilmu bangunan yang dimiliki belumlah seberapa dengan ilmunya Allah yang meliputi langit dan bumi. Seorang seniman dapat menyerukan bahwa Yang Maha Indah itu hanyalah Allah, karena itu seluruh karya ciptanya tentang keindahan mesti dipersembahkan untuk mengagungkan asma-Nya. Seorang dosen dapat mengaitkan ilmu pengetahuan umumnya (scientific knowledge) dengan keesaan Tuhan agar ilmu yang diajarkan kepada mahasiswanya tidak terlalu sekuler. Demikian juga dengan pengusaha, ia dapat menjadi teladan bagi umatnya bila misalnya tidak mengurangi timbangan, tidak menipu, dan sebagainya. Maka, benarlah kata sebuah hadist “sampaikanlah mesti hanya satu ayat saja!”, artinya setiap orang sesungguhnya adalah mahluk “da’i” .
Namun, seringkali memosikan diri sebagai mahluk dai terkendala oleh ketidak percayaan diri. Karena tidak percaya diri akhirnya minder, dan lebih lanjut justru menjauhi dan tak peduli.
Rasa minder acapkali berkaitan dengan penguasaannya terhadap substansi. Jadi, belajar memang menjadi syarat mutlak yang harus dijalani. Belajar itu luas sifatnya. Bukan hanya belajar masalah syareat agama namun juga bagaimana ilmu mengkomunikasikan sesuatu. Ada anggapan yang selama ini keliru, bahwa dakwah itu hanya sebatas dari mulut ke mulut dan dari mimbar ke mimbar. Padahal itu barulah satu lapangan dakwah. Cara lain, seperti dakwah tertulis masih sedikit yang menekuni. Demikian juga dakwah melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, belum dimanfaatkan secara maksimal. Akibatnya medan komunikasi massa ini semakin jauh dari syiar agama dan terjebak dalam materialisme dan hedonisme.
Dakwan melalui media penyiaran misalnya, umat Muslim kalah jauh dari umat agama lain. Umat non muslim berlomba-lomba dan sangat gigih mendirikan radio siaran dan televise sebagai bagian dari strategi komunikasinya dengan umat, sedangkan dari kita sendiri masih menganggapnya tidak penting. Nanti ketika izin penyelenggaraan penyiaran itu jatuh ke tangan mereka, barulah protes bermunculan kenapa itu yang diberi dan sebagainya, padahal persoalannya karena dari saudara-saudara kita sendiri yang tak berminat. Ini saya tahu karena kebetulan saya anggota Komisi Penyiaran Indonesia Jawa Timur yang mengurusi soal perizinan penyiaran.
Syukurlah melalui jalinan komunitas yang dimediai oleh majalah “MayaRa” ini kita masih melihat sinar-sinar kepedulian itu. Di sini saya lihat dakwah kontekstual lengkap diterapkan. Ada dokter, ada pengusaha, ada ahli bahasa Arab, ada spikolog, dan ada birokrat semua bahu membahu menyerukan agama Allah agar membawa kemaslahatan umat. Semoga Allah memberi umur panjang kepada majalah kita ini. Amien…! ****

Manusia Sebagai Mahluk Sosial
Meskipun secara ragawi manusia itu adalah pribadi-pribadi yang independent, namun bukan berarti ia dapat lepas tanggung jawab kepada lingkungannnya. Tanggung jawab individu tidak hanya pada ruang lingkup dirinya sendiri, namun juga kepada orang lain. Anak, istri, famili, komunitas, dan bahkan bangsa. Dan karena itulah, manusia itu mutlak disebut sebagai mahluk sosial.
Apakah agama kita mengakomodir konsep ini? Jawabannya sangat iya. Agama kita misalnya mengenal konsep tanggung jawab dalam keluarga. Itu sudah dasar yang menandai bahwa orang mukmin pastilah mahluk social. Seorang suami diwajibkan menafkahi anak dan istri serta keluarga yang kurang mampu. Orang tua diberi amanah untuk mendidik anaknya dengan baik, sebab kata Allah dalam al-Qur’an seorang anak kelak akan menjadi Nasrani, Yahudi, atau Majusi, sangat ditentukan oleh pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya. Demikian sebaliknya, seorang anak juga memiliki kewajiban untuk menghormati kedua orang tuanya. Jadi, dalam satu keluarga saja, masing-masing anggota sudah terikat dengan konsep kesosialan.
Selanjutnya, keluar dari unit keluarga, individu sudah terkait dengan lingkungan yang lebih luas lagi. Dalam bertetangga, Rasulullah SAW memberi teladan persaudaraan yang baik dengan sesama tetangga. Bahkan sampai sedetil-detilnya. Bila seseorang masak makanan yang aromanya tercium oleh tetangganya, maka wajib baginya untuk membagi makanan itu hingga sang tetangga bukan hanya merasakan aromanya namun juga ikut menikmatinya.
Latar belakang mengapa seorang mukmin wajib membayar zakat, tak lain dimaksudkan sebagai mekanisme transformasi sosial dan ekonomi supaya tidak terjadi kesenjangan di antara umat. Di dalamnya terkandung semangat saling tolong-menolong. Yang kaya menolong yang lemah dengan hartanya dan si miskin menolong si kaya dengan memberi sarana beramal shalih. Itulah bukti bahwa islam sebagai agama bukan hanya mengakomodir konsep tersebut, namun sekaligus justru mengimplementasikannya.
Keberadaan individu mengimplentasikan karakter sosialnya itu hanya mungkin terjadi bila seseorang mampu mengatasi keegoisannya. Seseorang punya spirit sosial bila sudah mampu menganggap bahwa dirinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan lingkungannya. Spirit ini dapat otomatis mengejawantah bila seseorang punya jiwa berkorban untuk orang lain. Peduli pada orang lain itu artinya sebuah pengorbanan; pengorbanan waktu, materi, pikiran, perasaan, kesabaran, dan sebagainya. Jadi, bila berkorban belum menjadi satu dengan jiwanya, orang pasti akan cenderung tersiksa.
Keadaan psikologis dimana berkorban justru menjadi sumber kebahagiaan bukanlah sesuatu yang terbentuk tanpa proses. Awalnya pasti butuh latihan. Dari yang semula punya kebiasaan bersedekah seribu sehari, lantas meningkat menjadi sepuluh ribu, meningkat menjadi seratus ribu, dan seterusnya. Kelak bila sedekah sudah menjadi kebiasaan (habit), maka tak ada yang berat dalam berkorban. Bahkan, ketika keadaan membuat dirinya tak mampu berkorban untuk orang lain, ia justru merasa tersiksa dan merasa berdosa. Itulah karakteristik jiwa kesosialan.
Karena jiwa sosial itu sebuah proses, maka tidak mungkin juga langsung dalam bentuknya yang murni. Mungkin awalnya hanya sekedar balas budi kepada orang yang pernah berbuat baik kepada kita. Mungkin pada awalnya hanya karena tak enak sama tetangga. Atau bisa jadi pada awalnya hanya karena ingin mendapat pujian dari orang lain. Pada babakan awal seperti ini, biarlah berlangsung.
Kalau kebetulan diantara kita sedang berada dalam proses itu, maka kita menyadari bahwa berkorban demi pamrih seperti belumlah sampai pada tataran kesejatian jiwa mahluk sosial. Kesejatian baru terwujud bila mampu meruntuhkan atribut-atribut yang berbau riy’a dalam interaksi tersebut.
Orang cenderung menjadi individualistis acapkali disebabkan takut akan mengalami kerugian dan menghadapi kefatalan ketika berkorban untuk orang lain. Padahal kenyataannya, belum pernah terjadi orang jatuh miskin hanya gara-gara bersedekah. Allah justru menjanjikan akan membalas dengan pahala yang berlipat bagi orang yang bersedekah. Balasan tersebut dapat ditunaikan ketika masih hidup di dunia maupun setelah di akherat. Secara ilmiah pun janji Allah ini dapat dipertanggung jawabkan. Orang yang suka berderma pasti disenangi orang. Karena disenangi orang maka jaringan sosialnya menjadi luas. Nah, jaringan social ini dapat menjadi peluang untuk pelbagai macam kegiatanya, baik itu yang bersifat politis, ekonomi, maupun psikologis.
Kalau ada hadist yang mengatakan bahwa silaturahmi dapat memperpanjang umur dan mendatangkan rejeki, maka penjelasan ilmiahnya ada pada fungsi social networking itu.
Memang menjadi aneh, bila banyak orang yang justru menjadikan lingkungan sosialnya sebagai musuh. Dimana-mana dan kapan saja yang dicari adalah lawan. Penipuan, penggelapan, pengkianatan, fitnah, intrik, penyerobotan atas hak orang lain, dan semacamnya itu adalah modus operandi yang sering dipakai oleh mahluk individualis yang anti social. Tak ada kamus tolong menolong, kasih-mengasihi, ingat-mengingatkan. Tidak ada. Dalam kamus manusia individualis: “di dunia ini tak ada yang gratis. Semua ada harganya, semua ada kalkulasinya!”
Jadi, mengapa mesti kita menunda untuk mengoptimalkan spirit sosial dalam diri, toh manfaatnya akan kembali juga kepada yang bersangkutan. Sedangkan dari segi agama merupakan investasi jangka panjang, yang pasti tak ada ruginya, sebab semuanya akan diklaim saat di akherat kelak. Allah tak akan menelip amal kebaikan seseorang, sebab telah dijanjikan sebiji sawi saja amal itu Allah mencatatnya dengan baik. ****





Memahami Manusia Sebagai Makhluk Beragama
Oleh Redi Panuju

Kata “agama” konon berasal dari bahasa Sansekerta, “a” artinya tidak dan “gama” sama dengan kacau, jadi agama sepadan dengan makna “tidak kacau”. Manusia yang tidak berada dalam kondisi kacau berarti tentram, bahagia, senang, sejahtera, dan sebagainya. Maka pengertian “agama” mendekati sesuatu yang selalu positif.
Sedangkan dalam bahasa Arab, kita dapati kata din, yang berarti : menguasai, menundukkan patuh, balasan, kebiasaan, cara yang ditempuh, dsb. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan kata din. Salah satu pengertian untuk kata din yang dipakai dalam al-Qur’an antara lain tunduk patuh, taat, dan berserah diri, seperti tercermin pada ayat : “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah…” (QS.an-Nisaa, ayat ke-125).
Apa pun pengertiannya, bila kita membicarakan makna “agama” maka minimal terkandung pengertian; pertama, ada sekumpulan nilai yang selalu menjadi rujukan utama bagi manusia dalam menjalani hidupnya. Kedua, ada pengakuan dari diri manusia yang merasa inferior, merasa rendah, tak berdaya dan ada sesuatu kekuatan Yang Superior, yang mendominasi, sehingga manusia merasa mesti tunduk patuh, ikhlas, dan berserah diri. Ketiga, dalam pola hubungan vertical antara yang inferior dan superior itu maka muncul kebutuhan mensub-ordinatkan diri, misalnya merasa membutuhkan tempat untuk minta pertolongan, berlindung, dan meminta segala sesuatu. Pada zaman Pra-sejarah, manusia mencari sosok superioritas itu pada Batu, Pohon Besar, dan Berhala Berhala. Namun ketika Allah menurunkan agama, sosok superioritas yang dicari tersebut menemukan penyemaiannya dalam ketauhidan. Risalah tersebut terus diperbaharui dari satu utusan (Nabi dan Rasul) ke utusan yang lain, hingga sampai kepada Nabi akhir zaman Rasulullah SAW.
Mestinya manusia modern sangat beruntung, karena untuk beragama tak perlu lagi bersusah susah mencari rujukannya, sebab rujukan yang dimaksud dudah cemepak, sudah tersedia lengkap. Tinggal manusia mau secara serius memperlajarinya atau tidak. Bila nilai ketahuidan itu dipelajari, kemudian dihayati, dan diamalkan, maka pengertian beragama sebagaimana yang ditemukan dalam makna etimologinya itu akan saling terkait. Misalnya, manusia akan menemukan ketidak-kacauan, sehingga menjadi tentram, penuh keikhlasan dan ketulusan, tunduk patuh pada larangan dan kewajiban, dan seterusnya. Namun, harus kita akui bahwa meski pun bahannya sudah cemepak, toh masih ada saja manusia yang enggan mengambilnya. Malahan mengambil agama agama yang tidak bertauhid. Mereka tidak mengambil Allah SWT sebagai sesembahan, sebagai kekuatan superior yang layak menjadi tempat memohon pertolongan, namun misalnya justru mengambil tuhan yang lain dari agama yang bukan din. Agama lain yang dimaksud misalnya “uang”. Manusia modern karena suntuknya terhadap uang, sampai menjadikannya sebagai “agama”. Artinya, hanya karena uanglah kepatuhan itu ada, hanya karena uang dirinya berserah diri dan mengabdi. Jadi, uang telah menjadi berhala berhala baru yang disembah dan diagungkan. Agama mereka adalah agama uang.
Benarkah uang adalah kekuatan yang maha superior? Sepertinya memang iya. Seolah dengan uang segalanya dapat diperbuat. Maka muncul pameo bahasa Inggris prokem yang berbunyi “ if you have duit you can do it!” ( bila kamu punya uang segalanya dapat dilakukan, semua dapat dibeli). Benarkah semua hal di dunia ini dapat dibeli? Kalau kita mau jujur, sesungguhnya menjadikan uang sebagai agama hanyalah sebuah fatamorgana belaka. Sesuatu yang nampak ada karena keterbatasan kita dalam melihat. Suatu ketika kita pasti akan mengalami betapa uang tidak dapat membuat kita terhindar dari yang namanya kematian. Bukan berarti karena kita berhasil transplantasi liver, kemudian berarti kita dapat membeli umur—terhindar dari kematian. Memang umur orang tersebut masih ada, karena itu ia tetap hidup. Cobalah bila sudah saatnya, tak perlulah ganti ginjal atau hati atau jantung, ceblok di selokan atau kecucuk paku saja bisa mati. Banyak jalan untuk mati, meski uang bertumpuk dalam buku rekeningnya. Pada akhirnya kita sadar, bahwa uang bukanlah kekuatan superior. Uang tidak akan pernah menyelamatkan hidup kita.
Jadi untuk apa kita mengambil agama atau Tuhan yang membuat kita tak selamat? Atau justru membuat hidup tambah resah gelisah. Uang, jabatan, kekayaan materi, popularitas, adalah fatamorgana. Manusia mengejarnya sampai titik penghabisan karena mengira akan membuat hidup lebih tentram. Nyatanya dengan semua itu, manusia justru sering menghadapi problem yang membuat hidup penuh tekanan (depresi, stress, shock), yang membuat hidup tak pernah puas dengan yang dimiliki.
Justru ketika “agama” uang itu digenggam orang sering merasa dirinya menjadi Tuhan yang dapat berbuat apa saja terhadap sesuatu atau pun orang lain. Ujung dari fragment seperti itu adalah ketika manusia tak berdaya terhadap ekses dari perbuatannya sendiri. Roy Marten dengan segala yang dimilikinya ia mengira dengan heroin hidupnya akan tenang, ternyata kini ia merasakan getirnya hidup dalam penjara. Para pengusaha eksplotasi gas alam mengira akan mendapat keuntungan berlimpah setelah mesin pengebor mengaduk aduk tanah Porong. PT Lapindo Brantas nyaris putus asa ketika yang keluar bukan gas atau minyak tapi lumpur panas yang hingga kini tak dapat diatasi melubernya.
Semua kejadian kejadian yang membuat manusia “mentok”, tak berdaya dan putus asa, sesungguhnya merupakan moment penting dimana seluruh totalitas kemanusiaannya menyadari bahwa diri ini tak ada apa apanya. Bahwa tak ada daya apa pun kecuali mendapat kekuatan dari Yang Maha Kuat. Namun nyatanya, hati sering tak tersentuh, hati tak dapat merasakan getaran “agama” yang benar, sehingga tak ada hikmah berarti baginya, kecuali apologia : “ah, mungkin karena nasib saja yang belum beruntung!”. Ia merasa bahwa fragment “mentok” itu hanya persoalan keberuntungan belaka. Tidak ada getaran bahwa ada kekuatan Besar yang turut bermain dalam hidup kita. Entah, dalam hati yang keras itu masih ada atau tidak spirit keilahian. Masihkah ada pertanyaan: “dimanakah Engkau berada wahai Tuhanku?”*****

Memahami Manusia dengan Segala Kelebihan dan Kekurangannya

Al-Qur’an paling sedikit menggunakan tiga kata untuk sebutan “manusia”, yakni al- Basyar, al-insan, dan Bani Adam . secara filosofis, dalam bahasa Arab terdapat istilah hayawan an-natiq, yang artinya manusia itu adalah hewan yang pandai berbicara/berpikir. Sama juga dengan kata “manu” dalam bahasa Sansekerta yang artinya “berpikir”. Jadi manusia itu adalah mahluk yang berakal budi.
Oleh karena manusia itu diberi kelebihan oleh Allah dengan akal budinya itu, maka manusia mengemban tugas berat, yang dalam al-Qur’an disebut sebagai khalifah di muka bumi. Firman Allah dalam QS.al-Baqarah, ayat ke-20 yang artinya “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…’”. Khalifah berarti berkuasa, bebas berkehendak dan bertanggung jawab atas pilihannya. Dengan akal budinya itu pulalah membuat manusia diberi potensi menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.
Itulah kelebihan yang dimiliki oleh manusia. Dengan akalnya manusia menciptakan ilmu. Dengan ilmu itu manusia membangun peradabannya. Jika sampai hari ini manusia masih tetap bertahan hidup meski dalam situasi yang semakin kacau (sumber daya semakin menipis sementara kebutuhan hidup terus berkembang dan bertambah), tak lain karena potensi akal budi tersebut mendorong manusia untuk menciptakan system agar mampu survival of life (bertahan hidup). Dengan akal budinya manusia menciptakan system kompetisi sekaligus system berbagi.
Kadang memang menimbulkan konflik kepentingan dan timbul peperangan, namun karena akal budinya itu tetap berusaha mengekang supaya tidak sampai pada kehencuran. Bahkan orang orang Qurais yang sangat membenci Rasulullah (karena menyebarkan agama Islam) pun pada suatu ketika bersedia membuat gencatan senjata demi kehidupan mereka sendiri. Perjanjian Madinah merupakan bukti bahwa kecenderungan kompromistis untuk damai dalam kebencian seperti apa pun ternyata membuat manusia memilih bagaimana agar tetap hidup ketimbang hancur lebur sama sekali. Itu artinya, sisi akal budi telah menempatkan manusia mengembangkan peradaban yang positif konstruktif.
Namun demikian, Allah menciptakan manusia ternyata lengkap dengan pasangannya. Meskipun banyak diberi kelebihan ternyata juga tak sedikit kelemahannya. Salah satu kelemahan yang sangat mencolok pada diri manusia adalah karena memiliki nafsu. Begitu kawatirnya Rasulullah SAW sampai menempatkan nafsu sebagai hal yang harus diperangi lebih gigih, melebihi perang lainnya. Kata Rasulullah SAW, akan ada perang yang lebih besar dari ini (perang Badar), yaitu perang melawan hawa nafsu.
Karena nafsu itu pula manusia mempunyai potensi menjadi destruktif (merusak) baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. Nafsu itu adalah kelebihan yang dimiliki hewan. Kemampuan berpikir manusia itulah yang diharapkan mampu menutupi kelemahan yang diakibatkan dominasi nafsu. Itu sebabnya ketika manusia enggan menggunakan akal pikirnya ada kemungkinan tindakan manusia lebih buruk dari hewan. Karena mengikuti hawa nafsunya membuat manusia melakukan pengrusakan terhadap alam yang seharusnya dibina dan dikelola (QS. Ar-Rum: 41).
Kelemahan kelamahan lain yang dimiliki manusia antara lain: bahwa manusia itu lemah (QS.an-Nisaa: 28), manusia itu pelupa (QS.al-Baqarah: 44), manusia itu senang berkelu kesan (QS.al-Ma’arij : 19-20), manusia itu kikir (QS. Al-Ma’arij : 21), manusia itu suka mengingkari nikmat Allah (QS.Ibrahim : 34), manusia itu sangat banyak membantah ( QS.al-Hajj : 67-68).
Menurut hemat penulis, kelemahan manusia yang saat ini menyeruak dan menjadi sumber bencana adalah kelemahan suka mengingkari nikmat Allah. Operasionalisasinya manusia merasa tak pernah cukup terhadap apa yang telah dihasilkan. Akibatnya manusia menjadi rakus, kikir, dan eksploitatif. Mungkin tak banyak yang menyadari bahwa akibat dominasi system pasar dalam kehidupan kita mengakibatkan manusia tergantung pada system produksi. Kalau manusia ingin meningkatkan kekayaannya maka ia harus meningkatkan produksinya. Bila produksinya ingin laku (terserap pasar), maka harus mendidik konsumennya (kata mendidik sesungguhnya sangat bias dan tidak tepat, sebab yang terjadi bukan mendidik namun mendorong agar manusia meningkatkan komsumsinya melebihi yang dibutuhkan).
Tanpa disadari kita telah dikondisikan oleh system pasar untuk mengikuti pola konsumsi berdasarkan ambang atas kebutuhan. Manusia dikondisikan untuk meningkatkan konsumsi berdasarkan “keinginan”. Sesuatu yang diinginkan belum tentu dibutuhkan. Maka manusia terdidik untuk tidak merasa cukup dengan yang dimilikinya. Kata lainnya, manusia semakin terjebak pada system yang cenderung membenarkan meningkari nikmat Allah. Semakin banyak orang yang mengingkari nikmat Allah maka semakin hiduplah system pasar.
Dengan memahami kelebihan kita sebagai manusia kita dapat mengoptimalkan diri agar seluruh potensi yang dimiliki menjadi berguna bagi diri sendiri maupun orang lain. Sebaliknya dengan memahami kekurangan yang kita miliki menjadikan kita rendah hati, belajar lebih giat, dan menutupinya dengan amal kebaikan. Dengan demikian, kelebihan tidak membuat diri kita sombong dan kekurangan tidak membuat kita jatuh dalam kehinaan melebihi hewan. ****

Memahami Manusia Dengan Segala Karakternya
Oleh Redi Panuju

Ada pendapat yang mengatakan bahwa, “Kalau batuk masih dapat diobati, tapi kalau watak cenderung kepala batu”. Pendapat di atas banyak dipengaruhi teori tentang bawaan genetik, yang diturunkan dari orang tuanya kepada anaknya. Sehingga bila ada suatu karakter yang sulit diubah maka orang menyimpulkan itu sudah sifat bawaan. Pendapat tersebut tidak salah, sebab memang genetik merupakan pembawa sifat-sifat manusia yang diturunkan, baik itu sifat-sifat yang baik maupun yang buruk. Masalahnya adalah kita tidak pernah tahu sifat yang melekat pada diri sendiri itu merupakan sebuah turunan genetic ataukah hasil bentukan lingkungannya.
Jadi tidak bisa dikatakan, o si A atau si B itu pantas saja jahat karena orang tuanya memang penjahat. Atau justru dijadikan alasan supaya tidak disalahkan, karena diketahui berbuat salah, lantas berujar, “Salah sendiri kenapa orang tua saya jahat, sehingga saya pun jadi jahat!” tapi, kalau berhasil dengan sombongnya mengatakan, “ Ini semua berkat usaha keras saya, mulai dari nol….!”
Pelajaran yang paling mendasar dari soal karakter manusia adalah bahwa sekuat apapun sifat individu yang diturunkan pada dasarnya dapat diubah melalui sosialisasi lingkungannya. Hal ini pernah diselidiki oleh ahli genetika, seorang yang dilahirkan kembar identik (dari sel telur yang sama) dipisahkan di lingkungan yang karakteristiknya berbeda. Setelah dewasa individu yang kembar identik ternyata memiliki sifat-sifat yang bertolak belakang. Ciri fisikalnya memang sama, seperti wajah, rabut, hidung, mata, dan lainnya, namun emosi dan pikirannya tidak sama. Ini artinya, pendidikan memegang peranan penting dalam menentukan karakter seseorang.
Dalam al-qur’an kita banyak diberi berita oleh Allah tentang karakter-karakter manusia pada masa lalu, baik yang layak dicontoh maupun yang patut menjadi peringatan, misalnya karakter Nabi Ayub as yang ihklas dan sabar, karakter nabi Musa yang sempat sombong sebelum dipertemukan dengan Nabi Khidir as, karakternya Abu Lahab dan istrinya yang gila harta, karakternya Asyiyah r.ha (istri Fir’aun) yang tetap setia kepada suami meski Fir’aun keblinger mengaku dirinya sebagai Tuhan, karakternya Nabi Daud as yang berkuasa namun tetap adil, karakternya Nabi Yusuf as yang ganteng tapi kuat iman, karakternya Nabi Ismail as yang rela menyerahkan nyawa kepada ayahandanya demi menjalankan syariat agama Allah, dan masih banyak lagi. Al-qur’an merupakan kitab suci yang banyak menyimpan ilmu jiwa (psikologi) yang sangat banyak.
Pertanyaannya kemudian, seperti apakah karakter individu yang baik dan seperti apa yang jelek. Seperti apakah kepribadian yang berguna dan sebaliknya yang membuat hidup lebih buruk?
Dr. H. Yul Iskandar, PhD (2001) menyebut tujuh kepirbadian yang buruk, yakni :
1. Hipokondriasis, seseorang terus menerus mengeluh akan kesehatannya yang buruk
2. Depresi, sikap yang pesimistis terhadap masa depan, perasaan tak berpengharapan merasa berdosa dan putus asa.
3. Histeris, orang yang menggunakan gejala gejala fisik untuk menyelesaikan konflik psikis yang sulit.
4. Neorosis, kombinasi yang buruk dari berbagai trait, misalnya sering merasa bersalah, inferior, terlalu banyak kawatir atau takut, orang yang kaku, terlalu ingin sempurna, tidak efisien, tidak bahagia, insomania, produktivitas yang rendah.
5. Paranoia, orang yang mempunyai kepercayaan aneh yang salah tetapi tidak mau diluruskan.
6. Obsesi-kompulsi, orang yang memiliki pikiran yang mengganggu dalam kehidupan sehari hari.
7. Panik, orang yang mudah terserang panik disertai dengan gejala somatic, seperti berkeringat dingin, berdebar debar, sesak napas, diare dan sebagainya.
Mari kita coba introspeksi secara jujur, apakah diantara tujuh tanda tanda di atas ada yang menjangkiti hidup kita? Bila ya, maka harus dengan segera kita coba mengatasinya. Kita rubah orientasi membangun kepribadian yang lebih bermanfaat untuk kehidupan ini, yakni kepribadian yang baik atau menurut Florence Littaeur disebut “personality plus”. Dan menurut Lana Bateman merupakan pola pola kepribadian kuat yang paling tidak berisi deskripsi sebagai berikut:
1. Persistent, melakukan sesuatu sampai selesai sebelum memulai lainnya.
2. Playful, penuh kesenangan dan selera humor yang baik
3. Peaceful, tampak tidak terganggu dan tenang serta menghindari setiap bentuk kekacauan.
4. Submissive, mudah menerima pandangan atau keinginan orang lain tanpa banyak perlu mengemukakan pendapatnya sendiri.
5. Self-sacrificing, bersedia mengorbankan dirinya demi atau untuk memenuhi kebutuhan orang lain.
6. Faithful, secara konsisten dapat diandalkan, teguh, setia, dan mengabdi.
7. Confident (bukan over-confident), percaya diri dan yakin akan kemampuannya dan suksesnya sendiri.
Semua karakter yang dipelajari secara ilmiah itu, sebenarnya dapat diringkas menjadi empat (seperti yang dimiliki Kanjeng Nabi saw), yakni shidiq, amanah, fathanah, dan tabligh.
Secara operasional, karakter yang baik adalah bila memenuhi unsur-unsur keseimbangan: sehat badannya-normal jiwanya, brilian otaknya-terkendali emosinya, kaya materinya-loman (senang sedaqoh), berjiwa sosial-memperhatikan keluarga, cepat/cekatan tapi teliti, sabar tapi tidak lelet (klemar-klemer), pintar tapi tidak sombong, miskin tapi tidak sedih, begitu seterusnya.
Mudah mudahan dengan memahami pernak-pernik karakter manusia, kita semakin dapat memahami diri sendiri dan mampu berempati dengan orang lain. Insya Allah…. ***

Tidak ada komentar: