Kamis, 02 September 2010

pintu pintu kelembutan

Menomor-Satukan Allah

Menomor-satukan Allah (al-mauhîd), maksudnya adalah seorang hamba di kehidupan sehari-harinya telah menjadikan Allah azza wa jalla satu-satunya sandaran, satu-satunya gantungan, dan satu-satunya harapan. Disebabkan, dia telah meyakini, bahwa selain Allah tidak dapat dijadikan sandaran, gantungan, dan harapan dalam kehidupannya.
Seorang hamba yang telah memiliki sikap mental dan perilaku mauhid, di kehidupannya benar-benar secara bulat lagi utuh, meyakini hanya Allah-lah sumber dari segala sumber dan sebab dari semua sebab yang memiliki Mahakemampuan dan Mahakuasa atas kehidupan ini. Bagi seorang yang telah mauhid, di dalam hatinya tidak ada ruangan sedikit pun melainkan semua ruangan telah terisi dengan kekuatan keyakinan terhadap-Nya. Begitu juga dengan kehidupan seorang hamba yang telah mauhid, dia sangat meyakini hanya Allah-lah yang memiliki kekuasaan dan kehendak di dalam melakonkan kehidupan para hamba-Nya.
Karenanya, seorang hamba yang telah mauhid, di kehidupannya benar-benar sangat takut dengan-Nya. Disebabkan, khawatir jika belum mampu memenuhi segenap perintah dan larangan-Nya. Sehingga di setiap kesempatan dari aktifitas kehidupannya dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Baginya, dia hanya mengharapkan ridla-Nya. Di mana segenap aktifitas yang telah dilakukannya dalam rangka melakukan penghambaan terhadap-Nya itu diterima-Nya. Inilah bekal yang senantiasa dipersiapkannya guna menghadap kepada-Nya sewaktu-waktu.
Bagi seseorang yang telah dikaruniai-Nya sikap mental dan perilaku mauhid. Menurutnya, kebahagiaan itu adalah jikalau di dalam dirinya dan jiwanya senantiasa memiliki keajegan di dalam "merasa takut" dengan-Nya. Karena bukan sesuatu yang mudah di kehidupan kita itu, untuk senantiasa melazimkan "rasa takut" terhadap Allah azza wa jalla.
Bagi seseorang yang telah dianugerahi-Nya sikap mental dan perilaku mauhid, totalitas kejadian yang dialaminya, baik yang dirasakan; dilihat; didengar; dipikirkan; dan direnungkan benar-benar harus dapat melahirkan perasaan takut kepada-Nya. Supaya di kehidupan sosial kesehariannya dirinya hanya takut kepada Allah jalla jalâluh. Oleh sebab itu, seseorang yang telah mauhid secara intuisional meyakini firman-Nya,

•            
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya" (Qs.Qâf [50]: 37).

Menurutnya, sekali saja melalaikan fungsional inderanya, maka dia akan menjadi seorang hamba yang lalai. Di setiap terjadinya kelalaian, maka nafsu syahwat mengambil alih. Sehingga jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus, maka nafsu laksana bayi yang menetek susu ibundanya. Dia akan terus mengulang dan mengulanginya, demikian seterusnya. Jika kita tidak benar-benar menyapihnya.
Seseorang yang telah mauhid, di kehidupannya benar-benar menghindarkan diri dari segenap hal yang berupa:

1. Kelalaian.
Hati seorang hamba yang tidak diisi dengan iman, maka ia akan rapuh. Seorang yang beriman, jika hatinya tidak diwenter dengan al-qur`an, maka ia akan tandus. Karenanya, tidak ada dzikrullah yang paling agung yang harus dilakukan seorang mukmin, kecuali melazimkan tilawah al-qur`an. Sebagaimana hal itu telah diperingatkan oleh Allah swt dalam firman-Nya,

      
"Maka, apakah mereka tidak memperhatikan al-qur`an ataukah hati mereka terkunci?" (Qs.Muhammad [47]: 24).

Dengan demikian, jika seseorang itu berkehendak atau ber-azzam memiliki sikap mental dan perilaku mauhid. Maka, di kehidupan kesehariannya harus memiliki "tradisi memperhatikan al-qur`an".
2. Kemaksiatan.
Seorang hamba yang telah berbuat maksiat kepada-Nya. Maka, akan menjadikan hatinya redup, bahkan hilang dari cahaya-Nya. Kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang hamba secara terus-menerus telah menjadikan pemiliknya berjalan dalam kegelapan hati. Hal ini sangat membahayakan siapa pun. Orang seperti ini tidak akan mampu memiliki sikap mental menomor-satukan Allah. Sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,

                                  
"Atau, seperti gelap-gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak [pula], di atasnya [lagi] awan. Gelap-gulita yang tindih-bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya. [Dan], barangsiapa yang tiada diberi cahaya [petunjuk] oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun" (Qs.an-Nûr [24]: 40).

Dan, di ayat yang lain difirmankan-Nya,

      •  
"Sekali-kali tidaklah [demikian], sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka" (Qs.al-Muthafifîn [83]: 14).

Seorang mukmin jikalau hatinya mengalami kegelapan, seperti yang telah difirmankan-Nya. Maka, di kehidupannya pasti akan mengalami kesempitan. Itu artinya, seorang hamba yang telah memiliki sikap mental dan perilaku menomor-satukan Allah, hidupnya tidak akan mengalami kesempitan. Sebaliknya, di kehidupan kesehariannya dia akan mempunyai hati yang lapang, tenang, qana'ah, ridla, dan ikhlas.
3. Serba-boleh (permisive).
Sikap mental dan perilaku permisif, sangatlah membahayakan kehidupan sosial-intuisional kaum muslimin mukmin. Mereka akan memiliki kecenderungan bermegah-megahan di setiap aktifitasnya. Misalnya, di era sekarang ini, jelas yang dilakukan itu membuka aurat. Tapi dikatakannya sebagai "kecantikan & kecerdasan". Tato, itu jelas hukumnya haram. Namun dikatakan sebagai sebuah "seni". Mut'ah, itu merupakan model pernikahan yang telah diharamkan dalam Islam. Akan tetapi masih banyak kaum hidung belang dan kaum pendamba birahi, dengan mengatakannya sebagai "saling tolong-menolong". Tidakkah Allah swt telah menyatakan dalam firman-Nya,

      
"Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur" (Qs.at-Takâtsur [102]: 1-2).




4. Menyia-nyiakan Waktu.
Hanya orang-orang yang menghendaki kerugianlah, yang menyia-nyiakan waktunya. Sebaliknya, bagi seorang hamba yang telah mauhid, waktu benar-benar dikelola sebaik dan seefektif mungkin, agar semuanya dapat berkemanfaatan secara optimal. Sebab, seorang yang telah mauhid, secara intuisional telah mengimani firman-Nya,

                          •                       
"Maka, apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main [saja]. Dan, bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka, Mahatinggi Allah, Raja yang sebenarnya. Tidak ada tuhan selain Dia, Rabb [yang mempunyai] 'arsy yang mulia. Dan, barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu. Maka, sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabb-nya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung. Dan, katakanlah, "Wahai Rabb-ku, berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah pemberi rahmat yang paling baik"." (Qs.al-Mu`minûn [23]: 115-118).

Karenanya, Rasulullah saw dalam sabdanya juga telah memperingatkan kaum muslimin mukmin,

"Ada dua nikmat yang sering dilalaikan oleh kebanyakan manusia, nikmat kesehatan dan nikmat waktu luang" (Hr.Bukhari, Ahmad, dan Tirmidzi).

Dalam rangka membangun kepribadian yang menomor-satukan Allah. Maka, tidak ada kebaikan melainkan menjadikan segenap kegiatan hidupnya menjadi sarana ketaatan dan pengabdian kepada-Nya. Dan, tidak ada amal perbuatan yang paling utama setelah mengerjakan amaliah fardliah, kecuali dzikrullah. Seperti telah dijaminkan Nabi saw,

"Barangsiapa yang mengucapkan, "Subhânallâhil adhîmi wa bi-hamdih"; Mahasuci Allah yang Maha-agung, dan bagi-Nya segala puji. Maka, di surga kelak, dia akan ditanamkan satu pohon kurma" (Hr.Tirmidzi, Nasa`i, Ibnu Hibban, dan Hakim).

Dan, dalam firman-Nya Allah azza wa jalla juga telah menyatakan-Nya,

     
"Karena itu, ingatlah kalian kepada Ku, niscaya Aku ingat [pula] kepada kalian. Dan, bersyukurlah kepada Ku, dan janganlah kalian mengingkari [nikmat] Ku" (Qs.al-Baqarah [2]: 152). []

Benar Berketaatan Terhadap-Nya

Benar berketaatan terhadap Allah (ash-shidqu), adalah sikap mental sekaligus perilaku seorang muslim yang selalu berusaha, agar di dalam berketaatan terhadap-Nya benar menurut Neraca Syariat. Inilah yang dalam bahasa harian kaum muslimin Indonesia, disebut kejujuran.
Dikarenakan, apalah artinya jika seorang hamba melakukan ketaatan terhadap Allah azza wa jalla, ternyata ia salah (atau bertentangan) menurut Neraca Syariat, alias tidak jujur.
Sementara, seorang muslim mulia (Human Elyon) itu berkeyakinan, apabila seorang hamba itu benar di dalam berketaatan kepada-Nya. Maka, di kehidupannya akan memiliki sikap mental takut hanya dengan Allah jalla jalâluh.
Adapun seorang hamba yang telah mempunyai karakteristik takut hanya dengan Allah swt. Dia memiliki beberapa ciri melekat, yakni:

1. Satunya kata dengan perbuatan.
Seseorang yang jujur (ash-shidqu) di kehidupan kesehariannya mempunyai karakter yang melekat. Yaitu, selalu commitment & consistent (CC) dengan satunya kata dan perbuatan.
Dia tidak pernah mencla-mencle dalam berkata, utamanya ketika dia berjanji. Dia benar-benar merupakan sosok manusia yang utuh, antara dhahir dan bathinnya. Dia selalu bersikap gentleman, jika ya ya; jika tidak, ya tidak. Dia bukannya tipologi manusia yang suka mencari muka dan suka berpura-pura di hadapan manusia. Seorang yang jujur, bukanlah model manusia musang berbulu domba. Namun luar-dalam kepribadiannya benar-benar mencerminkan seorang muslim mulia (Human Elyon).
Karenanya, dalam sebuah hadis qudsi, Allah azza wa jalla telah berfirman, melalui lisan Rasulullah saw,

"Akan terdapat beberapa kaum yang menampakkan kepura-puraan dalam kekhusyukan kepada manusia. Mereka memakai kulit-kulit halus domba untuk manusia. Lidah mereka lebih manis daripada madu. Hati mereka lebih pahit daripada tanaman yang rasanya sangat pahit [sejenis pohon bakung]. Maka, atas nama Ku. Aku bersumpah untuk menurunkan fitnah dan cobaan yang menjadikan orang yang lembut menjadi bingung. Apakah mereka hendak menipu Ku, ataukah mereka begitu berani kepada Ku?" (Hr.Tirmidzi; dari sahabat Abu Hurairah ra dan dari sahabat Abdullah bin Umar bin Khaththab ra. Lihat Kitâbul Misykat, no.5323 dan Kitâbut Targhîb wat-Tarhîb, no.41).

Karenanya, kita harus berlindung dari segenap keburukan bathin kita itu kepada-Nya, yang jika hati kita tidak dikelola dengan baik dan benar lagi lurus, lambat tapi pasti hal itu akan merusak akidah tauhid dan akhlak-adab Islam kita.

2. Memiliki totalitas kejujuran terhadap-Nya.
Hidup dengan totalitas kejujuran sungguh sebuah perjuangan yang sangat berat bagi seorang hamba. Namun itulah konsekuensi logis, jika seorang hamba itu menghendaki kebahagiaan hakiki di kedua kehidupannya, yakni dunia dan akhirat.
Yang di maksud totalitas kejujuran, adalah: a).Jujur dalam keadaan; b).Jujur dalam pembicaraan; c).Jujur dalam perbuatan; d).Jujur dalam berpikir; dan e).Jujur dalam berilmu pengetahuan. Yang pasti di setiap aspek kegiatan atau aktifitas di kehidupan ini, seorang hamba Allah haruslah membebaskan diri dari sikap mental riyâ` (pamer) dan sikap mental sum'ah (mencari populeritas). Dari dua sikap mental itulah seorang hamba pasti tidak akan dapat melakukan kejujuran.
Dikisahkan dalam sebuah riwayat yang shahih oleh Imam Tirmidzi ra, dari Syafi al-Ashbahi ra. Dia berkata, "Aku menjumpai Abu Hurairah ra ketika dia berada di dalam masjid Rasulullah saw di Madinah."
Lalu, aku berkata, "Wahai Abu Hurairah, demi Allah, aku memohon kepada engkau untuk menceritakan sebuah hadis yang kau dengar dari Rasulullah saw kepadaku."
Maka, Abu Hurairah ra mengatakan, "Demi Allah, aku akan menceritakan sebuah hadis yang aku dengar dari Rasulullah saw. Lalu, dia pun menangis tersedu-sedu. Sehingga dia pingsan. Kemudian, dia pun sadar kembali. Lalu, dia mengatakan, "Aku mendengarkan Rasulullah saw bersabda, "Golongan yang pertama kali dinyalakan dengan api neraka pada Hari Kiamat nanti ada tiga."
Kemudian, Rasulullah saw menyebutkan tiga golongan manusia ini. Yaitu, seorang alim (atau yang membaca al-qur`an); seorang pedagang, dan seorang mujahid. Mereka ini melakukan pekerjaan mereka dengan riya` dan sum'ah serta tidak mengikhlaskannya karena Allah ta'âlâ. Sehingga Allah akan memasukkan mereka terlebih dulu ke dalam api neraka sebelum yang lain.
Syafi al-Ashbahi ra berkata, "Maka, aku pun menjumpai Mu'awiah, dan mengajarkan hadis ini kepadanya. Sedangkan dia berada di atas singgasana kekhalifahannya. Lalu, dia pun jatuh tersungkur ke bumi sambil menangis, dan berkata, "Mahabesar Allah ta'âlâ yang berfirman,

                      •       •   
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna; dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka; dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan" (Qs.Hûd [11]: 15-16).

Karenanya, sebab rasa ketakutannya yang mendalam kepada-Nya, jangan-jangan amaliahnya tertolak di sisi-Nya. Di setiap kesempatan, setiap saat, khususnya jika hendak melakukan dakwah (tabligh), Syaikh Muhammad Fadlullah az-Zamani senantiasa menyenandungkan doanya, "Allâhummaj'alnâ da'watan mabruratan, lâ riyâ`a fî-hi wa lâ sum'ah"; Ya Allah jadikanlah buat kami dakwah yang Engkau terima, tidak ada pamer dan mencari populeritas di dalam berdakwah. Demikianlah, Syaikh Muhammad Fadlullah selalu membacanya buat segenap aktifitas ibadahnya.

3. Senantiasa menyesali perbuatan buruknya.
Kejujuran seorang hamba selalu ditandai dengan perasaan menyesali atas segala perbuatan buruknya. Namun di sisi lain merasa optimis dan senantiasa merasa berbahagia dengan segala perbuatan baiknya. Sebagaimana telah digambarkan dalam firman-Nya,

                          •   •           
"Dan, [juga] orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri. Mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan, mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal" (Qs.Ali Imrân [3]: 135-136).

Karenanya, suatu ketika sahabat Umar bin Khaththab ra berpesan kepada segenap pasukan kaum muslimin. Dia mengatakan, "Wahai manusia, barangsiapa yang gembira dengan kebaikannya dan menyesal dengan kejahatannya. Maka, dialah orang yang beriman."
Apabila kita merasa bahagia dan berlapang dada jika mampu memaafkan orang lain, tidak menganiaya diri sendiri, tidak merugikan orang lain, berbakti terhadap kedua orang tua, dan berperilaku jujur di setiap kesempatan. Maka, kita tergolong ke dalam hamba Allah yang telah dikaruniai-Nya iman.

4. Menjaga perbuatan baik di setiap saatnya.
Buah perilaku jujur yang paling kentara, adalah memaksimalkan perbuatan baiknya setiap saat. Hal itu dapat dirasakan dengan semakin meningkatnya rasa beribadah kepada-Nya, semata hal itu didorong oleh rasa imannya yang bergelora.
Sehingga puncak dari kejujurannya adalah semakin mendalamnya rasa takutnya dengan Allah azza wa jalla. Rasa takut dengan-Nya harus diejawantahkan ke dalam perilaku mulia, seperti ketakutannya harus dapat mencegah dirinya jatuh kepada perilaku aniaya. Yaitu, kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan kemaksiatan.
Seperti ketakutan sahabat Abdullah bin Umar bin Khaththab ra, dia berkata, "Demi Allah, aku sangat berharap semoga Allah ta'âlâ menerima sebesar biji dzarrah [atom] saja dariku."
Mereka bertanya, "Mengapa?"
Abdullah menjawab, "Karena Allah ta'âlâ berfirman,

                 •       
"Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam [Habil dan Qabil] menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban. Maka, diterima dari salah seorang dari mereka berdua [Habil] dan tidak diterima dari yang lain [Qabil]. Ia [Qabil] berkata, "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil, "Sesungguhnya Allah hanya menerima [korban] dari orang-orang yang bertakwa" (Qs.al-Mâ`idah [5]: 27).

Mereka bertanya lagi, "Apakah kamu takut, padahal kamu mengerjakan amal-amal shalih?"
Dia menjawab, "Demi Allah, aku tidak takut dari amal-amal shalih. Tetapi aku takut kalau aku mengerjakan amal shalih. Lalu, Allah ta'âlâ berfirman, "Demi keagungan dan kemuliaan Ku, sesungguhnya Aku tidak menerimanya darimu." Oleh karena itu Allah swt berfirman,

       
"Dan, jelaslah bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan" (Qs.az-Zumar [39]: 47).

Jadi, jelaslah betapa sangat pentingnya perilaku jujur dan sikap mental jujur di kehidupan seorang hamba. Sebab, dengan kejujuran sajalah seorang hamba dapat memiliki rasa takut dengan-Nya secara benar. []





Murni Berpengabdian Dengan-Nya

Murni berpengabdian dengan-Nya (al-ikhlâsh), adalah sikap mental seorang muslim mukmin yang dengan tulus lagi murni semata hanya mengharapkan ridla-Nya. Seorang hamba yang telah bermentalkan ikhlas, di kehidupan ini hanya mengharapkan segenap amal yang dikerjakannya diterima oleh-Nya. Di samping itu dia hanya mengharapkan dapat memperoleh cinta dan kasih-sayang-Nya.
Di kehidupan kesehariannya dia hanya berusaha memurnikan setiap pengabdian dan ketaatannya kepada Allah swt. Baginya hal ini merupakan perjuangan yang berat yang harus dipikulnya, demi mendapatkan cinta-Nya. Karenanya, Neraca Syariat baginya merupakan ukuran yang harus dipenuhinya dalam rangka memperoleh kebenaran yang disyariatkan-Nya. Sebagaimana dinyatakan dalam firmankan-Nya,

        
"Janganlah kamu bersikap lemah. Dan, janganlah [pula] kamu bersedih hati. Padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi [derajatnya], jika kamu orang-orang yang beriman" (Qs.Ali Imrân [3]: 139).

Adalah ciri dari seorang hamba yang telah memasuki kedudukan ruhaniah ikhlas dapat dilihat dari beberapa sifat yang melekat pada dirinya, di antaranya:

1. Senantiasa Memohon Perlindungan-Nya.
Seorang hamba yang ikhlas di kehidupannya. Ia tidak pernah menjadikan kekuatan apa pun selain Allah swt, untuk dijadikan sandarannya. Ia sangat teguh dengan keyakinan dan prinsip hidupnya. Bahwa, di dunia ini dan di akhirat kelak yang dapat melindungi dirinya, hanyalah Allah azza wa jalla.
Sehingga oleh Allah, dia mendapatkan perlindungan pula dari makar apa pun yang akan terjadi di kehidupannya. Sebut saja: Nabi Ibrahim as; Nabi Isma`il as; dan Nabi Muhammad saw.
Dan, masih banyak lagi cerita nyata di seputar kehidupan orang-orang ikhlas. Yang kehidupannya selalu mendapatkan perlindungan Allah swt secara langsung.
2. Mendapatkan Perlindungan Dari Kejahatan Makhluk-Nya.
Seorang hamba yang telah dapat berlaku ikhlas. Maka, di kehidupan kesehariannya pasti akan mendapatkan perlindungan-Nya dari kejahatan makhluk-Nya.
Sebut saja Nabi Musa dan Nabi Harun. Dalam dakwahnya mereka berdua senantiasa mendapatkan perlindungan dari-Nya. Sehingga kekhawatirannya terhadap kejahatan orang-orang kafir tidak pernah terjadi atas keduanya.
3. Senantiasa Menang Dengan Musuhnya.
Betapa hebatnya sahabat Khalid bin Walid. Atau, yang terkenal dengan sebutan Abu Sulaiman. Di mana dia mampu menghancurkan para musuhnya di setiap kali peperangan dengan para musuh Islam. Hal itu bukan karena kepandainya berstrategi. Namun lebih dikarenakan keikhlasannya, sehingga di luar pengetahuannya Allah memberikan pertolongan-Nya secara langsung. Sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,

                  •     
"Maka, [yang sebenarnya] bukan kamu yang membunuh mereka. Akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka. Dan, bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar. Tetapi Allah-lah yang melempar. [Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka] dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui" (Qs.al-Anfâl [8]: 17).

Begitu juga dengan yang dialami oleh Panglima Qutaibah bin Muslim ra. Kemenangan yang diperolehnya atas para musuhnya. Yang tak lain adalah para musuh agama. Lebih disebabkan, karena keikhlasan sang panglima di dalam berjuang. Sehingga kemenangan demi kemenangan dianugerahkan kepadanya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,

                   
"Jika Allah menolong kalian. Maka, tak adalah orang yang dapat mengalahkan kalian. Jika Allah membiarkan kalian [tidak memberi pertolongan]. Maka, siapakah gerangan yang dapat menolong kalian [selain] dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal" (Qs.Ali Imrân [3]: 160).

4. Keturunannya Dijaga-Nya.
Seorang hamba yang ikhlas pengabdiannya kepada Allah, niscaya keturunannya akan dijaga oleh-Nya. Ingat dengan kisah Nabi Ya'qub as yang pernah kehilangan puteranya. Maka, oleh-Nya puteranya dijaga, lalu diangkatnya menjadi Nabi-Nya; dialah Nabi Yusuf as. Selama puteranya hilang Nabi Ya'qub selalu membaca,

      
"Maka, Allah adalah sebaik-baik penjaga. Dan, Dia adalah Mahapenyanyang di antara para penyanyang" (Qs.Yûsuf [12]: 64).

Pun pula dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis ra, yang mengajarkan kepada 7 puteranya untuk senantiasa menjadi orang ikhlas. Yaitu, dengan mengamalkan firman-Nya,

•    •     
"Sesungguhnya pelindungku, adalah yang telah menurunkan [al-qur`an], dan Dia melindungi orang-orang yang shalih" (Qs.al-A'râf [7]: 196).

Diriwayatkan, ke-7 puteranya menjadi manusia-manusia yang paling kaya, paling pandai, dan memiliki derajat yang mulia lagi tinggi di kehidupan sosialnya.
5. Tubuhnya Mendapatkan Perlindungan-Nya.
Seorang hamba yang benar-benar ikhlas di kehidupannya, maka Allah akan selalu menjaga tubuhnya.
Sebut saja ibunda Asma` binta Abu Bakar ra, diusianya yang ke-100 tahun giginya tidak rapuh. Akal pikirannya tidak pikun. Demikian kesaksian puteranya, sahabat Urwah bin Zubair ra.
6. Hewan & Binatang Mematuhinya.
Seorang hamba yang ikhlas kepada-Nya akan menjadikan hewan dan binatang tunduk dan menurut dengannya. Sebut saja sahabat Uqbah bin Nafi` al-Fihri ra. Di saat membuka hutan untuk kepentingan pembangunan markas tentara di daerah Qairawan. Terlebih dahulu ia mengawali pekerjaannya dengan berdoa kepadanya. Maka, selang beberapa saat semua hewan dan binatang yang berada di situ dengan rela meninggalkan tempat tersebut. Memang inilah yang dikehendaki oleh sahabat Nafi`.
7. Benda-Benda Mati Pun Akan Tunduk Kepadanya.
Kekuatan seorang hamba yang ikhlas sungguh luar biasa. Benda mati pun juga tertunduk dengannya. Semata hal ini disebabkan, karena memang Allah menjaga hamba-Nya yang memurnikan ketaatan terhadap-Nya.
Seperti dikisahkan dalam Shahih Bukhari, seorang hamba yang mukhlis membayar utangnya melalui botol yang dilemparkan ke laut. Dan ternyata uang itu sampai kepada si punya alamat. Padahal jaraknya sangat jauh, yakni harus menyeberangi lautan. Tapi itulah jika Allah menghendaki buat para hamba-Nya yang ikhlas.
Seorang hamba yang telah ikhlas, maka di kehidupan kesehariannya selalu mengejawantahkan beberapa perilaku kebenaran lagi berkemanfaatan, yang sejalan dengan Neraca Syariat, seperti:
1. Menjaga shalatnya. Hal itu ditandainya dengan: Tepat waktu; Berjama'ah; dan Khusyuk.
2. Menjaga tubuhnya. Ditandainya dengan: gaya hidupnya yang sehat lagi seimbang; istirahatnya cukup; makan minumnya sehat lagi halal thayyib; olah raga teratur; Menjaga lisannya; Menjaga pendengarannya; Menjaga penglihatannya; Menjaga perutnya; dan Menjaga kemaluannya.
3. Menjaga kesucian ruhnya. Diwujudkan dengan: Memperbaiki hatinya; dan Menazkiah jiwanya.
4. Menjaga kehalalan rizekinya. Ditandai dengan: Menjauhkan diri dari yang haram; dan Meninggalkan segala sesuatu yang syubhat.
Sedangkan secara personal (pribadi), sikap mental ikhlas itu dapat dirasakan oleh masing-masing pribadi muslim mukmin, dengan jalan meningkatnya: 1).Rasa berkeimanan; 2).Rasa berqur`an; dan 3).Rasa ketakutan dengan-Nya.
Jadi, masing-masing dari kaum muslimin ini, jika mereka mau menghayati keikhlasannya. Maka, hal itu akan dapat merasakan: imannya; qur`annya; dan takutnya dengan Allah azza wa jalla.
Sebab, hanya orang-orang yang suka pamer (riya`) dan mencari populeritas (sum'ah) yang tidak akan pernah mampu merasakan hadirnya: iman; qur`an; dan takut dengan-Nya. Mereka inilah orang-orang yang rugi di dunia dan di akhirat.
Perilaku dan sikap mental ikhlas itu sangat penting, buat kehidupan keseharian kaum muslimin mukmin. Amaliah ikhlas sangat sulit untuk dikerjakan, bahkan kita sangat sulit untuk menilainya. Karena, amaliah ikhlas adalah anugerah-Nya kepada para hamba-Nya yang telah dicintai-Nya.
Sedangkan, beberapa ciri di atas adalah panduan kita untuk memperoleh perilaku dan sikap mental tersebut dengan pertolongan-Nya.
Marilah kita terus berjuang hingga nafas yang terakhir, untuk menjadi hamba-Nya yang ikhlas. []




Berpengendalian Diri

Berpengendalian Diri (ash-shabru), adalah sikap mental seorang hamba yang telah mampu mengendalikan dirinya dari segala sesuatu yang tidak bermanfaat lagi tidak berguna buat dirinya. Dikarenakan, dirinya sangat sadar bahwa sebagai seorang hamba Allah, ia harus selalu memiliki sikap mental berpengendalian diri, baik di saat melakukan ketaatan, menghindari (meninggalkan) kemaksiatan, dan menghadapi musibah (takdir-Nya).
Sikap mental dan perilaku pengendalian diri, adalah sesuatu kedudukan ruhaniah. Yang sekaligus menunjukkan pengejawantahan sebuah kemapaman ruhiah pelakunya.
Disebabkan, seorang muslim mukmin itu sadar benar, jikalau kehidupan di dunia itu merupakan "tempat ujian" yang harus dilalui oleh siapa pun yang namanya manusia.
Maka, Rasulullah saw memperumpakan kehidupan dunia ini dengan "perladangan akhirat". Di mana dapatlah dipahami, bahwa hidup seorang manusia itu laksana bercocok tanam. Apa-apa yang ditanam itulah yang tumbuh. Apa-apa yang tumbuh itulah yang nanti akan dipanennya. Hal itu telah dinyatakan dalam firman-Nya,

          ••           • 
"Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya [dengan perintah dan larangan]. Karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat" (Qs.al-Insân [76]: 1-2).

Dan, untuk itu seorang pemimpin agama pun harus melalui "uji kesabaran" di dalam menegakkan kebenaran. Jika dirinya ingin layak menjadi seorang tokoh agama. Demikianlah yang diajarkan oleh al-qur`an. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya.

          
"Dan, Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan, adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami" (Qs.as-Sajdah [32]: 24).

Ayat di atas mengajarkan kepada kita, bahwa "sabar & yakin" haruslah menjadi pangkal dari sebuah perjuangan di dunia ini, agar kita menjadi hamba Allah yang memiliki sikap mental "berani hidup".
Tanpa memiliki kesabaran dan keyakinan di dalam mengarungi kehidupan, maka seorang hamba Allah pasti akan terjerumus ke dalam perilaku-perilaku yang tidak diridlai-Nya.
Maka, dinul Islam mengajarkan kepada segenap kaum muslimin mukmin, supaya di kehidupan ini benar-benar komitmen lagi konsisten terhadap kesabaran di dalam melakukan ketaatan, di dalam meninggalkan kemaksiatan, dan ketika menerima musibah (atau segenap ketentuan-Nya).
Sabar di dalam ketaatan, adalah derajat pengendalian diri yang paling agung di kehidupan seorang hamba. Di mana seorang hamba sangat dituntut untuk memiliki pengendalian diri yang kuat ketika, ia melaksanakan ketaatan, terhadap ketaatan, dan di saat menjaga ketaatan.
Sabar di dalam meninggalkan kemaksiatan, adalah kesadaran jiwa seorang hamba yang tidak mau menuruti hawa nafsunya yang menyuruh (mengajak) kepada perilaku maksiat. Karenanya, dengan pengendalian dirinya, seorang yang berjiwa sabar, akan terus memohon pertolongan-Nya dan senantiasa meminta ampunan-Nya.
Sabar di dalam menerima segenap ketentuan-Nya, adalah tetap mendahulukan berprasangka positif kepada-Nya. Karena segenap apa yang ditetapkan buat para makhluk-Nya pasti yang terbaik dan memiliki hikmah yang agung. Itu dapat dilakukan karena di dalam diri seorang hamba yang berjiwa sabar, yakin benar bahwa Allah itu tidak pernah salah di dalam memberikan musibah kepada para hamba-Nya, dan tidak pernah salah di dalam menetapkan rizeki-Nya buat para hamba-Nya.
Karenanya, dalam firman-Nya Allah menyerukan sikap sabar itu kepada kaum mukminin. Disebabkan memang kaum kafir atau kaum munafik tidak akan pernah dapat melakukan kesabaran.
Mengapa hal itu terjadi pada diri kaum munafik dan kaum kafir, karena di dalam diri mereka tidak ada potensi "iman & yakin" terhadap segenap eksistensi-Nya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,

       •   
"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar" (Qs.al-Baqarah [2]: 153).

Oleh sebab itu, di dalam firman-Nya yang lain Allah menyatakan, bahwa manusia di kehidupannya akan diuji dengan segala hal. Apakah dari ujian itu dapat menjadi mukmin sejati. Atau, malah sebaliknya menjadi manusia pengingkar. Sebagaimana dalam firman-Nya diterangkan,

         •                          

"Dan, sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan; kelaparan; kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. [Yaitu], orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innâ lil-lâhi wa innâ ilaihi râji'ûn". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk" (Qs.al-Baqarah [2]: 155-157).

Dalam menghadapi apa pun, seorang hamba yang telah dapat berjiwa sabar, akan menerimanya dengan berlapang dada. Di mana dia tidak lagi menghitung untung dan ruginya sebuah aktivitas yang dilakukannya. Baik yang telah dilakukan, sedang dilakukan maupun yang akan dilakukan. Dia yakin benar dengan skenario-Nya, yang jauh lebih rapi, lebih nyata, dan memiliki rahmat serta keutamaan bagi yang memperolehnya. Inilah yang oleh-Nya disifati dengan firman-Nya,

                       
Katakanlah, "Hai para hamba Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Rabb kalian". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan, bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (Qs.az-Zumar [39]: 10).

Seorang hamba yang telah dikaruniai sikap mental dan perilaku pengendalian diri. Maka, ia telah memperoleh kemuliaan, keutamaan, dan keagungan. Baik di di kehidupan kesehariannya, terlebih kelak di sisi-Nya. Sebagaimana telah dinyatakan dalam firman-Nya,

                
"Apa yang di sisi kalian akan lenyap. Dan, apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan" (Qs.an-Nahl [16]: 96).

Karenanya, Allah azza wa jalla telah menetapkan dalam ketetapan-Nya, yang berupa sunnatullah. Bahwa, hidup ini penuh dengan ujian demi ujian. Yang secara esensial bertujuan untuk "kembali ke jalan-Nya". Yaitu, dengan jalan menyandarkan, menggantungkan, mengharapkan, dan berketaatan hanya dengan-Nya. Kesemuanya itu mesti harus dilaluinya dengan penuh kesabaran. Sebab, tanpa memiliki "jiwa kesabaran". Mustahil seorang hamba akan dapat melalui ujian demi ujiannya dengan baik lagi benar.
Seperti dakatakan seorang bijak, "Raihlah keabadian surga-Nya itu dengan kesabaran. Tanpa kesabaran, tak mungkin kesuksesan akan kamu rasakan. Sebab, hanya kesabaran yang mampu menyertai seorang hamba di dalam menerima ujian demi ujian. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,

 ••     •      •           
"Apakah manusia itu mengira, bahwa mereka dibiarkan [saja] mengatakan, "Kami telah beriman". Sedang mereka tidak diuji lagi? Dan, sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka. Maka, sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar. Dan, sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta" (Qs.al-Ankabût [29]: 2-3).

Wahai saudaraku, marilah belajar, dari kisah Nabi Ibrahim as; Nabi Ayub as; Nabi Yunus as; Nabi Nuh as; dan Rasulullah saw. Juga, marilah belajar dari para imam, seperti: Imam Syafi'i ra yang dipenjarakan; Imam Ahmad ra yang dipenjarakan. Dan, masih banyak kisah para hamba Allah yang dimuliakan-Nya di dunia dan di akhirat dengan sesuatu, yang menurut manusia biasa, hal itu tidak mengenakkan. Padahal dibalik kesemuanya, ada kehendak-Nya untuk meninggikan derajat para hamba-Nya.
Berdasarkan "pisau analisis" alfaqîr di atas, maka jika kita dianugerahi apa saja dari sisi-Nya. Kita harus segera mengimani qadla & qadar-Nya. Sebab, Allah yang memiliki ke-Mahamutlakan. []




Tahu Diri

Tahu Diri (asy-syukru), adalah sikap mental seorang hamba yang memahami segala anugerah Allah azza wa jalla, untuk apa anugerah itu diberikan kepada para hamba-Nya. Sehingga di kehidupan kesehariannya senantiasa mengetahui apa-apa yang diterima dari-Nya yang berupa karunia, adalah untuk semakin meningkatkan taqwallâh (memelihara atau menjaga diri dari segala hal yang dapat menjadikan-Nya dan rasul-Nya murka, red), sebagai sarana taqarruban 'inda-llâh (menjaga diri agar posisinya selalu dekat dan mendekati-Nya), semata mencari ridla-Nya (menjaga diri supaya selalu mendapatkan cinta-Nya, red).
Bagi seorang hamba yang telah dianugerahi sikap mental dan perilaku tahu diri (syâkir) oleh-Nya. Di kehidupannya ia tidak akan "menukar nikmat dengan kekafiran", menggadaikan akhirat dengan dunia, dan menuruti hawa nafsunya meninggalkan Rabb-nya.
Seorang yang bergelar syakir, dia akan terus menempa diri, jiwa, dan hatinya untuk selalu memahamkan atas dirinya, bahwa ia adalah seorang makhluk yang harus senantiasa memiliki sikap mental dan perilaku tahu diri (asy-syukru). Sebagaimana dinyatakan-Nya,

                  
"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu, neraka Jahannam. Mereka masuk ke dalamnya; dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman" (Qs.Ibrâhîm [14]: 28-29).

Seorang hamba yang telah berkedudukan syakir. Maka, di kehidupan sosial kesehariannya, sebagai seorang muslim mukmin, ia hanya dapat menerima segala kehendak-Nya yang telah menjadi ketetapan-Nya.
Baginya kenikmatan dan karunia Allah jauh lebih besar yang telah ia perolehnya. Yang mana hal itu tak sebanding dengan ketaatan yang telah ia lakukan. Bahkan, seringkali ia masih berbuat dhalim di dalam menghamba kepada-Nya. Karenanya, Allah azza wa jalla telah menyatakan dalam firman-Nya,

                
"Dan, Dia telah memberikan kepada kalian [keperluan kalian] dan segala apa yang kalian mohonkan kepada-Nya. Dan, jika kalian menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kalian menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dhalim dan sangat mengingkari [nikmat Allah]." (Qs.Ibrâhîm [14]: 34).

Demikian halnya, juga telah difirmankan-Nya dalam sebuah hadis qudis, telah disabdakan Nabi saw,

"Wahai anak Adam, aneh sekali kalian ini. Aku telah menciptakan kalian, tetapi kalian malah menyembah kepada selain Ku. Aku telah memberikan rizeki kepada kalian, tetapi kalian malah bersyukur kepada selain Ku. Aku mengasihi kalian dengan berbagai nikmat, sementara Aku tidak membutuhkan kalian. Tetapi kalian membenci Ku dengan berbagai kemaksiatan. Sementara kalian sangat butuh kepada Ku. Kebaikan Ku selalu turun kepada kalian, dan kejahatan kalian selalu naik kepada Ku" (Hr.Dailami; dari sahabat Ali bin Abu Thalib kw. Bi isnâdi marfu'. Lihat juga pada Kitâbuz Zuhd, Imam Ahmad; Kanzul Ummal, nomor hadis 43174; dan Faidhul Qadir, juz IV, hal.494).

Senada dengan hadis qudis di atas. Allah swt dalam hadis qudis yang lain juga telah mengabarkan kepada kita melalui lisan Rasulullah saw,

"Anak Adam mencela Ku. Padahal tidak sewajarnya dia mencela Ku. Ia juga mendustai Ku. Padahal tidak sewajarnya dia melakukan hal itu. Adapun celaannya itu adalah dengan perkataannya, bahwa Aku mempunyai anak. Sedangkan kedustaannya itu adalah dengan perkataannya, bahwa Dia tidak akan mengembalikanku, sebagaimana Dia menciptakanku semula" (Hr.Bukhari).

Juga, difirmankan-Nya dalam sebuah hadis qudsi,

"Anak Adam itu menyakiti Ku. Ia mencela masa. Dan, Aku adalah masa. Di dalam kekuasaan Ku-lah semua urusan. Aku membolak-balikkan siang dan malam" (Hr.Bukhari & Muslim).

Oleh sebab itu, Allah swt berfirman,

         
Katakanlah, "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan" (Qs.Yûnus [10]: 58).

Mengomentari ayat di atas, sahabat Umar bin Khaththab ra berkata, "Apakah kamu mengira bahwa rahmat itu adalah unta? Tidak, demi Allah. Tahukah kamu apakah rahmat Allah itu?" Lelaki itu menjawab, "Tidak."
Sahabat Umar menasehati, "Rahmat Allah itu, adalah beramal untuk taat kepada Allah dengan cahaya dari Allah; kamu mengharapkan rahmat-Nya; dan kamu meninggalkan maksiat dengan cahaya itu dari-Nya; dan kamu takut akan siksa-Nya."
Berdasarkan pemahaman yang diajarkan sahabat Umar di atas. Maka, salah sekali jika rahmat Allah itu dipahami berupa kenikmatan duniawiah yang berselerakan syahwatiah, semisal: basahnya jabatan, mobil mewah, isteri cantik, mudahnya akses, menumpuknya materi dan harta kekayaan, lancar dalam memperoleh uang, tingginya pendidikan dengan gelar kesarjanaannya, rumah mewah, dan kesenangan-kesanangan lainnya yang bersifat rendah. Sebagaimana hal itu telah diperingatkan-Nya,

      •            •     
"Dan, Allah telah membuat suatu perumpamaan [dengan] sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizekinya datang kepadanya melimpah-ruah dari segenap tempat. Tetapi [penduduk]-nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat" (Qs.an-Nahl [16]: 112).

Mengomentari firman-Nya di atas, alfaqîr berpendapat, "Etika kehidupan kita dalam berbangsa telah keluar dari Neraca Syariat. Lima pilar masyarakat negeri ini telah meninggalkan tradisi sunnah yang telah Nabi saw ajarkan. Di mana orang miskinnya sudah tidak sabaran. Ulamanya tidak lagi berperilaku wara` (hati-hati) di kehidupan kesehariannya. Orang kayanya tidak lagi dermawan. Pemudanya tidak ahli taubat. Kaum perempuannya sudah tidak lagi mengutamakan rasa malu. Dan, penguasanya (termasuk para pejabatnya) tidak lagi berperilaku adil.
Namun dari kelima pilar itu jika disaring. Maka, gaya hidup (lifestyle) seseorang itulah yang akan menjadikan pola hidup seseorang itu bergeser, dari ketaatan menjadi sebuah pengingkaran, dari sebuah penghambaan menjadi kedurhakaan. Dan, begitu seterusnya hingga Allah mengganti-Nya dengan generasi yang baru, yang lebih taat dengan-Nya.
Maka, suatu negeri itu akan dirundung musibah, kekacauan, perang saudara, kehidupan yang serba tidak menentu, dan manusia-manusia yang susah diatur. Sebagaimana dinyatakan-Nya,

         •   • 
"Dan, jika Kami hendak membinasakan suatu negeri. Maka, Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu [supaya menaati Allah]. Tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka, sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan [ketentuan Kami]. Kemudian, Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya" (Qs.al-Isrâ` [17]: 16).

Mencermati firman-Nya di atas, negeri kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hanya "seolah-olah" beragama Islam. Terbukti mayoritas penduduk yang beragama Islam, belum mampu menjadi teladan di negeri sendiri.
Pendangkalan demi pendangkalan atas dinul Islam, terus-menerus terjadi, bahkan sangat rapi. Dengan kekuatan media masa, terutama televisi. Praktislah kaum muslimin di negeri ini telah memiliki lifestyle yang sok mewah. Mereka lupa bahwa gaya hidupnya itu dapat "mengundang" murka-Nya. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,

             
"Dan, berapa banyak [penduduk)] negeri yang mendurhakai perintah Rabb mereka dan rasul-rasul-Nya. Maka, Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras. Dan, Kami adzab mereka dengan adzab yang mengerikan" (Qs.at-Tahrîm [65]: 8).

         •   
"Dan, begitulah adzab Rabb-mu. Apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat dhalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras" (Qs.Hûd [11]: 102).

Inilah saat yang tepat untuk merubah segenap sikap mental, perilaku, dan cara berpikir kita. Supaya kita menjadi hamba Allah yang tahu diri (bersyukur) kepada-Nya. Telah difirmankan-Nya,

         •  
Dan, [ingatlah juga], tatkala Rabb kalian memaklumkan, "Sesungguhnya jika kalian tahu diri (bersyukur). Pasti Kami akan menambah [nikmat] kepada kalian. Dan, jika kalian mengingkari [nikmat Ku]. Maka, sungguh adzab Ku sangat pedih" (Qs.Ibrâhîm [14]: 7).

Karenanya, Allah azza wa jalla telah memerintahkan,

                •   
Dan, sungguh telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu, "Bersyukurlah kepada Allah. Dan, barangsiapa yang bersyukur [kepada Allah]. Maka, sungguh ia bersyukur untuk dirinya sendiri. Dan, barangsiapa yang tidak bersyukur. Maka, sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji" (Qs.Luqmân [31]: 12).

Bagi seorang hamba yang tahu diri (bersyukur). Oleh Allah swt telah disediakan pahala yang dirahmati-Nya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,

                         
"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan ijin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu. Dan, barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan [pula] kepadanya pahala akhirat itu. Dan, Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur" (Qs.Ali Imrân [3]: 145).

Seorang hamba yang bersyukur. Itu berarti ia adalah seorang yang bijak. Dan, seorang yang bijak selalu menghendaki kebahagiaan dunia akhirat. []


Rendah Hati

Rendah Hati (at-tawadlu'), adalah sikap mental seorang hamba yang menjaga dirinya, agar selalu merendahkan hati dan dirinya terhadap-Nya. Sehingga hal itu tercermin dari akhlak dan adab hariannya, di mana ia menjadi hamba yang sopan lagi santun. Dengan demikian, ia mampu memberikan pencerahan dan perubahan di masyarakat lingkungannya, bahwa dinul Islam itu benar-benar dapat memberikan rahmatal lil-'âlamîn kepada siapa pun dari makhluk-Nya.
Secara prinsip perilaku rendah hati, dapat dilihat dari tiga hal pokok, yakni:
1. Terdapatnya ketaatan dan penghambaan secara total lagi menyeluruh kepada Allah dan rasul-Nya. Yang mana terus dilakukannya secara meningkat dengan penuh istiqamah dan mudawamah.
2. Terdapatnya keyakinan, keimanan, dan kepasrahan terhadap qadla & qadar. Hal itu diwujudkan dengan kemukminan dan kemuslimannya yang utuh, yang terejawantahkan ke dalam perilaku sosial yang berupa amal shalih.
3. Terdapatnya kemurniaan dan kejujuran dalam beramal shalih. Sebab, hanya mencari ridla-Nya dalam kehidupannya. Sehingga sangat kuat di dalam mengikat dengan Neraca Syariat.
Ketiga prinsip perilaku rendah hati di atas, adalah esensi dari firman-Nya,

           
"Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam [mengerjakan] perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan, mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami" (Qs.al-Anbiyâ` [21]: 90).

Seorang hamba berperilaku rendah hati. Disebabkan, ia sangat mengimani lagi meyakini firman-Nya,

                                
"Dan, pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan, Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan. Dan, tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya [pula], dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi. Dan, tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata [lauh mahfudz]" (Qs.al-An'âm [6]: 59).

Karenanya, seorang yang telah memiliki sikap mental dan perilaku rendah hati. Dia dunia ini, bahkan setelah kematiannya, ia akan tetap menjadi "buah tutur kata yang baik". Sebagaimana dinyatakan-Nya,

          • • 
"Dan, jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang [yang datang] kemudian. Dan, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan" (Qs.asy-Syu'arâ` [26]: 84-85).

Inilah para hamba-Nya yang telah mendapatkan cinta-Nya. Seperti disabdakan Nabi saw,

"Apabila Allah mencintai seorang hamba. Dia akan memanggil Jibril, seraya berkata, "Sesungguhnya Allah mencintai si fulan. Maka, cintailah dia. Lalu, Jibril pun mencintainya. Kemudian, Jibril menyeru para penduduk bumi, "Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan. Maka, cintailah dia. Lalu, penduduk bumi pun mencintainya. Kemudian, diberikan tanda penerimaan baginya pada penduduk bumi" (Hr.Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi).


Karenanya, seorang Nabi Sulaiman as benar-benar bersujud di atas tanah, seraya menangis dan bertawajuh kepada Rabb-nya,

                                     •   
Maka, ketika Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya. Dia pun berkata, "Ini termasuk karunia Rabb-ku untuk mencoba aku. Apakah aku bersyukur atau mengingkari [akan nikmat-Nya]. Dan, barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk [kebaikan] dirinya sendiri. Dan, barangsiapa yang ingkar, maka sungguh Rabb-ku Mahakaya lagi Mahamulia" (Qs.an-Naml [27]: 40).

Juga, dengan Nabi Yusuf as, ia tawadlu' dengan segala yang telah diterima dari-Nya,

                      
"Wahai Rabb-ku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kerajaan, dan telah mengajarkan kepadaku sebagian tabir mimpi. [Wahai Rabb] pencipta langit dan bumi, Engkau-lah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih" (Qs.Yûsuf [12]: 101).

Seperti yang telah diteladankan oleh kedua nabiullah tersebut di atas. Maka, alfaqîr memiliki tips yang sangat sederhana guna memiliki sikap mental dan perilaku rendah hati. Yaitu, memperbanyak membaca sayyidul istighfar, sekaligus merenungkan, memahami, dan mengamalkan isinya sekemampuan kita tentunya. Seperti yang telah disabdakan Nabi saw,

"Wahai Allah, Engkau-lah Rabb-ku. Tidak ada [yang aku] sembah kecuali Engkau. [Engkau] telah menciptakanku. Aku adalah hamba Mu. Dan, aku tidak mampu terhadap janji dan kesepakatan dengan Mu. Aku berlindung kepada Mu dari keburukan yang telah aku perbuat. Aku mengakui segala nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku. Dan, aku juga mengakui segala dosa. Maka, ampunilah aku. Karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa, selain daripada Engkau" (Hr.Bukhari & Ahmad).

Di dalam doa sayyidul istighfar telah terkandung: 1).Pengakuan seorang hamba atas eksistensi Rabb-nya; 2).Persyaksian terhadap-Nya; 3).Mengakui segenap kedlaliman dirinya; 4).Memohon perlindungan-Nya; 5).Bersyukur dengan-Nya; 6).Pengakuan atas dosa-dosa; 7).Permohonan ampunan; dan 8).Kerendah-hatian seorang hamba kepada Allah sebagai al-Khaliq.
Karenanya, dalam rangka mengimplementasikan ke-8 kandungan dari sayyidul istighfar itu. Hendaknya seorang muslim, benar-benar harus menjahui beberapa sikap mental dan perilaku, sebagai berikut: 1).Jangan terlalu sedih; 2).Hindari pikiran galau; 3).Buanglah rasa gelisah; 4).Jangan hiraukan kemiskinan; 5).Jangan mengingkari nikmat-Nya dan keberadaan-Nya; 6).Perut jangan terlalu lapar; 7).Jangan berlaku khianat; 8).Hindarkan diri dari perilaku dlalim; 9).Tinggalkan perilaku sombong, riya`, dan mencari populeritas; dan 10).Tinggalkan ilmu yang tidak manfaat.
Bagi seorang muslim, prinsip akidah,

بِسْمِ اللهِ، وَأَسْلَمْتُ ِللهِ، لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، حَسْبِي رَبِّي جَلَّ اللهِ، مَا فِي قَلْبِي غَيْرُ اللهِ
"Dengan nama Allah. Aku berserah diri kepada Allah. Tiada daya dan upaya, kecuali dengan pertolongan-Nya. Cukup bagiku Rabb-ku yang Maha-agung. Dan tidak ada yang boleh tinggal di dalam hatiku, selain Allah".

Hal ini merupakan pencerminan dari firman-Nya,
   
"Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung" (Qs.Ali Imrân [3]: 173).

Karenanya, marilah kita bersegera untuk berbenah diri guna menjadi manusia sukses sajati. Seperti mereka para pendahulu kita. Yang telah dengan bagus lagi lurus telah mampu memberikan keteladanan kepada kita semua.
Perilaku rendah hati akan mengantarkan pemiliknya berderajat mulia, baik di dunia terlebih kelak di akhirat. Perilaku rendah hati akan menjadikan seorang muslim, telah dianggap menjalankan agamanya. Sebab, perilaku rendah hati merupakan perilaku para nabi, para wali, dan para manusia suci. Sekarang inilah saatnya kita untuk menirunya guna mengikuti jejaknya. []

Ikhlas

Sikap Mental Ikhlas, adalah sebuah sikap mental seorang hamba yang memurnikan segenap aktifitasnya di dalam melakukan pengabdian kepada Allah azza wa jalla. Sebab, sangat diyakini lagi diimani bahwa segala perbuatan yang dilakukan seorang hamba di dunia ini, apabila tidak didasarkan secara murni terhadap-Nya, maka tertolak dan sia-sialah perbuatan tersebut.
Karenanya, segenap perbuatan manusia yang mengingkari eksistensi Allah swt menjadi tertolak di sisi-Nya. Dan, hidup mereka pun sia-sia lagi merugi, sebab mereka telah mengingkari atas apa yang telah menjadi ketetapan-Nya yang telah menciptakan mereka.
Memang jalan pikiran manusia pengingkar itu sungguh sesat. Di mana mereka tidak menyadari bahwa keberadaaan mereka pun karena kehendak-Nya. Sungguh sebuah logika kesesatan yang telah mereka coba tawarkan buat orang lain yang hendak mengikuti jejak mereka.
Namun bagi kaum muslimin mukmin, logika pemikiran mereka tidak akan pernah dapat mempengaruhinya. Disebabkan, imunisasi keimanan dan daya tahan ketaslimannya akan mampu mengatasi gejolak jiwanya, yang telah berada dalam bingkai kerahmatan yang mendapatkan ridla-Nya.
Hal itu dikarenakan, kaum muslimin mukmin selalu berpegang teguh dengan al-qur`an, sebagai wahyu yang paling otentik yang telah memberikan pewartaan atas segenap kehendak-Nya yang wajib diketahui oleh umat manusia. Tidak lain tujuan pewartaan itu, supaya manusia hidup dalam kebahagiaan yang hakiki dalam kebersamaan yang diridlai-Nya.
Seorang muslim mukmin akan senantiasa menyadari dan tercerahkan dengan firman-Nya,

                     
"Dan, sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada [nabi-nabi] yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan [Tuhan], niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur"." (Qs.az-Zumar: 65-66).

Berdasarkan ayat di atas, betapa ruginya jika seorang hamba itu dalam beramal tidak murni diniatkan atau disandarkan hanya kepada-Nya. Amalannya pasti tertolak dan tidak diterima-Nya.
Karenanya, seorang muslim mukmin di setiap aktifitas amaliah (termasuk dalam ibadahnya) benar-benar harus memposisikan dirinya, agar terbebas dari rasa riya` (pamer) dan sum'ah (mencari populeritas). Inilah karunia yang agung dibandingkan sebuah kesaktian yang membuat orang lain mengaguminya.
Dalam sebuah hadis yang sangat populer, Rasulullah saw telah memperingatkan kita dengan sabdanya yang mulia,

"Barangsiapa yang bersifat riya`. Maka, Allah akan berbuat riya` kepadanya. Dan, barangsiapa yang bersifat sum'ah. Maka, Allah akan bersikap sum'ah kepadanya" (Hr.Bukhari & Muslim; dari sahabat Jundub bin Abdullah bin Abu Sufyan & dari sahabat Abdullah bin Abbas ra).

Ikhlas Itu Karunia-Nya
Ikhlas, sungguh sebuah perilaku bathin dan sekaligus ibadah bathin yang dalam pelaksanaannya sangatlah berat. Hanya Allah-lah yang dapat menolong hamba-Nya untuk dapat berlaku ikhlas.
Ikhlas benar-benar sebuah karunia yang agung bagi seorang hamba yang di kehidupannya benar-benar memperjuangkannya, lalu Allah azza wa jalla menganugerahinya.
Karenanya, syaikh kami (Syaikh Asfani Toha ar-Rimbani ra, red) memberikan tips yang sangat mudah, agar di kehidupan kita ini dianugerahi sikap mental ikhlas. Yaitu, "berkumpul dengan para hamba Allah yang telah berperilaku ikhlas". Perilaku ikhlas itu ditandai dengan perilaku hidup saben harinya di kalangan mereka, yakni "sepi ing pamrih rame ing gawe".
Sama sekali di kehidupan mereka tidak lagi menghendaki pamer dan mencari populeritas. Mereka tidak menginginkan harta benda, kedudukan, penghargaan, dan pengakuan. Hidup mereka apa adanya, laksana "air mengalir".
Memang sangat berat, namun merupakan kebahagiaan jika kita telah dipilih-Nya untuk menjadi hamba yang ikhlas (mukhlîsh).

                 •          •       
"Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih [dari syirik]. Dan, orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah [berkata], "Kami tidak menyembah mereka [perantara] melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar" (Qs.az-Zumar: 3).

Perilaku Ikhlas Pilihan Mukmin
Betapa ruginya jika hidup di dunia yang sebentar ini, kita memilih berperilaku syirik terhadap-Nya. Dan, jika kita termasuk seorang hamba yang cerdas otomatis akan memilih menjadi orang yang ikhlas. Bahkan, berjuang sekuat tenaga untuk memperoleh anugerah yang agung tersebut. Dikarenakan, tidak semua hamba-Nya dipilih-Nya untuk menerima dan memiliki sikap mental ikhlas itu.
Sungguh sebuah perjuangan yang membutuhkan kesabaran dan keajegan, agar kita dipilih-Nya untuk mendapatkan derajat al-mukhlishîn. Sebagaimana dalam hal ini Allah telah memerintahkan kepada kita supaya memiliki sikap mental ikhlas tersebut, yang telah dinyatakan-Nya,

            •    
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam [menjalankan] agama yang lurus. Dan, supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus" (Qs.a-Bayyinah: 5).

Adalah, Syaikh Muhammad Fadlullah az-Zamani, selalu ketakutan kepada Allah swt setiap kali hendak berkhutbah dan menyampaikan tausiahnya kepada kaum muslimin.
Disebabkan, ia takut jika amaliah itu nantinya tidak ikhlas dan tertolak di sisi-Nya, sehingga ia akan menjadi hamba yang merugi kelak di akhirat.
Tidak hanya itu, setiap kali ia mau menuliskan makalah atau buku, ia selalu mengawalinya dengan wudlu. Ia sangat khawatir dalam menulisnya tidak ikhlas. Sehingga amaliahnya tertolak di sisi-Nya.
Demikianlah, sebuah tindakan kehati-hatian, agar diri dan jiwanya tidak terjerembab kepada suatu amaliah yang menyesatkan. Di mana disangkakan amaliahnya diterima oleh Allah azza wa jalla, ternyata amaliahnya termasuk yang ditolak-Nya. Sungguh sebuah kerugian dan penderitaan yang tiada tara bagi kehidupan seorang hamba, baik di dunia terlebih setelah kehidupan di akhiratnya kelak.
Hamba Allah, seperti Syaikh Muhammad Fadlullah az-Zamani, benar-benar mengimani segenap petunjuk-Nya dan petunjuk Rasulullah saw. Seperti yang telah disabdakannya,

"Sesungguhnya Allah berfirman kepada orang-orang yang berbuat riya`. Tatkala seluruh hamba mempertanggung-jawabkan setiap amal perbuatannya masing-masing, "Pergilah kalian kepada orang-orang yang kamu berbuat riya` kepadanya dalam setiap amal perbuatanmu di dunia. Maka, lihatlah, apakah kamu mendapatkan pahala darinya”." (Hr.Ahmad).

Adalah, al-Imam Ibnu Sirin ra pernah diminta warga kampungnya untuk menjadi tokoh agama. Di mana masyarakat mengendaki supaya Ibnu Sirin menjadi imam shalat, "Wahai tuan, marilah shalat bersama kami."
Ibnu Sirin menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan shalat bersama kalian. Aku takut kalau aku melakukan shalat bersama kalian, orang-orang akan beranjak, seraya berkata, "Wahai Ibnu Sirin shalat bersama kami."
Ibnu Sirin tidak mau untuk melakukan shalat bersama mereka, karena takut namanya akan menjadi terkenal.
Dikisahkan, al-Imam Ibrahim an-Nakha`i ra, apabila ia duduk bersama empat orang atau lebih. Maka, ia akan cepat berdiri dan meninggalkan kerumunan itu. Seraya berkata, "Aku takut, kalau-kalau banyak orang nanti mengerumuni aku."
Juga, Imam Abu Ishaq asy-Syirazi ra, salah seorang dari madzab syafi'i yang hidup pada abad ke-5 hijriah.
Setiap kali dia hendak mengucapkan kata-kata atau memberikan pelajaran. Dia senantiasa mengawalinya dengan shalat sunnah dua rakaat, dan berdoa semoga amalnya diterima-Nya.
Dan, tak kalah wira'i-nya, yaitu Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi ra, jika hendak berceramah di depan masyarakat. Dia terlebih dahulu membenamkan mukanya di tanah. Lalu, ia menangis ketakutan, seraya berguman, "Wahai Rabb-ku, hapuslah kesalahanku dan terimalah amalku."

Inilah Ciri Kita
Ciri seorang ahlus sunnah wal jama'ah adalah sikap mental ikhlas-nya. Mengerjakan apa saja selalu disandarkan kepada-Nya. Tidak mengharapkan apa pun melainkan mendapatkan keridlaan-Nya.
Keikhlasan telah menjadi keyakinan hidupnya, bahwa seorang hamba Allah akan menjadi bahagia, mulia, dan penuh keutamaan manakala di dalam dirinya telah tertanam sikap mental ikhlas. Baginya dirinya akan mendapatkan sebuah kemerdekaan yang hakiki di kehidupan ini, jika di kehidupan kesehariannya ia telah berperilaku dengan ikhlas.

Hanya Mengharap Pahala-Nya
Sikap mental ikhlas itu, adalah jika kita hanya mengharapkan mendapatkan ridla-Nya. Tidak bergantung kepada sesuatu makhluk-Nya. Sehingga bagi seorang mukhlis, tidak penting lagi perbuatannya itu dilakukan di tengah-tengah keramaian makhluk maupun dalam kesendiriannya.
Menunaikan shalat jama'ah terasa dalam keadaan sendirian. Sebaliknya, menunaikan shalat sendirian terasa diawasi oleh banyak mata.
Dalam setiap aktifitas, termasuk aktifitas ibadahnya, seorang mukhlis hanya berharap apa-apa yang telah dilakukan, yang sedang dilakukan, dan yang akan dilakukan diterima-Nya. Dan, di dalam dirinya terbebas dari sikap pamer (riyâ`) dan mencari populeristas (sum'ah).
Sikap mental ikhlas akan membuahkan segenap budi pekerti yang mulia (akhlâqul karîmah) dan tatakrama yang terpilih (adâbul musthafawiah). Dan, untuk memiliki tidak cukup hanya banyak mempelajarinya, atau membahasnya. Akan tetapi sikap mental ikhlas harus dilatih dan terus dilakukan.
Tanpa banyak praktek dan kerja keras untuk mengamalkannya, mustahil kita akan memiliki sikap mental ikhlas. Dikarenakan, semakin dunia mendekati Hari Kiamat, setan dan iblis semakin berpengalaman untuk menaklukkan kaum muslimin mukmin.
Mereka tidak pernah mati. Sementara, ulama ahli khusyuk hampir setiap saat sudah banyak yang wafat, dan Allah swt tidak pernah menggantinya. Sebab, memang Allah telah mengambilnya satu per satu.
Adapun orang medern dan kaum muta'akhirin sangat malas mempelajari ilmu khusyuk. Praktis mereka pasti dengan mudah akan dapat dikalahkan dengan setan dan iblis.
Rupa-rupanya peradaban modern memang telah di-setting oleh Barat dan zionisme, agar sikap mental ikhlas benar-benar jauh dari kehidupan keseharian umat Islam (Ahmad Syalabi: 2006).
Guna mendapatkan sikap mental ikhlas. Di samping kita harus sesering mungkin berkumpul dengan kaum mukhlisin, marilah renungkan juga sabda Nabi saw,

"Orang yang pertama kali dijilat oleh api neraka, ada 3 golongan manusia. Yaitu: Pertama, adalah orang yang membaca al-qur`an. Allah bertanya kepadanya, "Aku telah membacakan al-qur`an kepadamu, dan Aku telah mengajarkan ilmu kepadamu. Lalu, apa yang kamu perbuat dengannya?"
Dia menjawab, "Wahai Rabb-ku, saya telah mengajari orang-orang bodoh."
Allah menjawab,"Kamu berbohong." Malaikat juga akan memberikan kesaksian, mereka menjawab, "Kamu berbohong."
Kemudian, Allah swt berfirman kepada orang tersebut, "Sesungguhnya kamu menuntut ilmu supaya kamu dikatakan sebagai orang pandai, dan kamu sudah memperolehnya. Seretlah orang ini ke dalam api neraka." Lalu, dia pun digiring ke dalam api neraka. Begitu juga dengan orang kaya dan pemberani yang tidak ikhlas dalam melakukan setiap aktifitasnya" (Hr.Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi).

Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya tersebut di atas. Dan, bersegeralah untuk berbenah diri guna menjadi manusia berbahagia di dunia dan di akhirat, seperti mereka yang telah mendahului kita; as-sâbiqunal awwalûn. Dengan suatu keyakinan, "Bersikap mental ikhlas tidak akan sedikit pun merugikan seorang manusia. Tinggalkanlah segera berperilaku pura-pura, suka pamer, dan mencari populeritas dalam beragama. Sebab, hal itu akan merugikan diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat kelak".
Dengan meredesain dan merekonstruksi diri dan kepribadian kita menjadi seorang mukhlisin. Maka, kita akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa uswah li Rasulullah, insya Allah. []





Uswah Li Rasulillâh

Uswah Li Rasulillâh, adalah menjadikan Rasulullah saw sebagai sentral figur yang ditokohkan, diteladani, dipatuhi, dan diikuti segenap perikehidupannya; dikarenakan sangat meyakini lagi mengimani bahwa segenap apa yang telah dirisalahkan kepadanya akan menjadikan seorang muslim memperoleh kebahagiaan yang hakiki di dunia maupun di akhirat kelak.
Bahkan, uswah li Rasulillâh itu juga diejawantahkan dengan rasa cintanya kepada Nabi saw melebihi cintanya terhadap dirinya sendiri, keluarga, dan dunia seisinya. Secara prinsipil uswah li Rasulillâh, yakni menjadikan Nabi saw sebagai hakim agung di kehidupan ini, yang secara khusus telah mendapatkan mandat tugas dari Allah azza wa jalla. Sebagaimana dinyatakan-Nya,

                  
"Maka, demi Rabb-mu, mereka [pada hakekatnya] tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. Lalu, mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (Qs.an-Nisâ`: 65).

Nabi Muhammad Itu Idola Kita
Idola seorang muslim di kehidupannya, adalah Rasulullah saw. Sebab, rasa cintanya kepada Rasulullah saw akan mampu melahirkan banyak keutamaan di kehidupan kesehariannya. Itulah rahmat yang agung bagi seorang muslim, jika di kehidupan dirinya dikaruniai-Nya mampu mencintai Nabi saw. Dan, memang telah disabdakannya, bahwa "Seseorang itu [di surga] bersama orang yang sangat dicintainya"; al-mar'u ma'a man ahabba.
Inilah dasar teologis, mengapa seorang mukmin begitu sangat mendalamnya cintanya kepada Nabi saw. Bahkan, ukuran cintanya dapat melebihi cintanya kepada: diri, keluarga, dan dunia seisinya. Dan, itu pula yang pernah diteladankan dalam atsar sahabat beliau, yang begitu sangat mendalam cintanya kepada Rasulullah saw.
Di mana mereka, para sahabat Nabi saw, tetap teguh memegang bai'at (janji) keislamannya, meski harus menghadapi berbagai kesulitan, penderitaan, ancaman, teror, malah tidak sedikit yang harus mengurbankan harta benda dan nyawanya sekali pun. Demikianlah, betapa kuat dan kokohnya keimanan mereka dan kecintaannya terhadap Nabi saw. Padahal di awal sekali perjuangan, jumlahnya sangat sedikit, kelompok yang lemah, sebagian besar adalah orang-orang miskin lagi tertindas. Meskipun begitu mereka tetap saja mencintai Rasulullah saw.
Di sebagian mereka pernah ada yang dikucilkan, diembargo ekonominya, dicemarkan nama baiknya, dihina martabatnya, diejek kehormatannya di muka umum, diusir dari kampung halamannya, disiksa, dan dibunuh. Namun demikian, kondisi yang tidak menguntungkan itu tidak mengurangi sedikitpun kecintaan mereka terhadap Nabi saw.
Ada juga dari mereka yang dijemur di tengah panasnya terik matahari, dikurung dalam penjara bawah tanah, dan disiksa di luar batas kemanusiaan. Tapi, cinta mereka kepada Nabi saw justru semakin kuat dan mantap.
Dan, masih banyak lagi yang lain, bentuk-bentuk kekerasan fisik yang dialami para sahabat Nabi saw. Sekali lagi, justru dengan kekerasan fisik yang semakin menjadi-jadi yang telah dilakukan oleh orang-orang kafir terhadap kaum muslimin mukmin. Justru semakin menjadikan keimanan dan kecintaannya terhadap Nabi saw semakin tak tergoyahkan.
Efek yang didapatkan dari kekerasan fisik, umat Islam jumlahnya semakin banyak. Pengikut Nabi saw semakin bertambah. Sebab, orang-orang quraisy yang masih memiliki hati nurani semakin berkeyakinan, bahwa ajaran Nabi-lah yang benar. Dikarenakan, menghadapi kekerasan dan bentuk provokasi apa pun Nabi saw dan kaum muslimin, malah merespeknya dengan senyuman dan kasih-sayang. Inilah rahmat yang telah ditebarkan Nabi saw beserta para sahabatnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat jahiliah yang paganis; Makkah.
Karenanya, Allah swt dalam firman-Nya mengabadikan keberadaan Nabi saw sebagai
"penebar rahmat" di kehidupan ini.

    
"Dan, tidaklah Kami mengutus kamu [Muhammad], melainkan untuk [menjadi] rahmat bagi semesta alam" (Qs.al-Anbiya`: 107).

Oleh Allah azza wa jalla, Rasulullah saw didesain menjadi sosok manusia paripurna, yang sangat layak diteladani dan dijadikan sandaran budi pekerti dan tatakrama di kehidupan ini. Sebab, beliau merupakan sosok al-qur`an berjalan. Dengan kata lain, beliau adalah "manusia surga" yang diutus-Nya untuk memberikan pencerahan di kehidupan dunia yang semrawut ini. Karenanya, segenap apa yang diemban dan disampaikannya benar-benar sebuah kelurusan, kesederhanaan, dan kebahagiaan yang hakiki. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,

                 •           
"Dan, demikianlah Kami wahyukan kepadamu [Muhammad] wahyu [al-qur`an] dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-kitab [al-qur`an] dan tidak pula mengetahui apakah iman itu. Tetapi Kami menjadikan al-qur`an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan, sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus" (Qs.asy-Syûra: 52).

Karenanya, hanya menusia yang dungu lagi bebal, jikalau mereka tidak mau menjadikan al-qur`an, Rasulullah saw, dan Neraca Syariat sebagai way of life yang diidolakannya. Sebagaimana telah dijaminkan-Nya,

                 
"Dengan kitab itulah [al-qur`an] Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridlaan-Nya ke jalan keselamatan. Dan, [dengan kitab itu pula] Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seijin-Nya. Dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus" (Qs.al-Ma`idah: 16).

Sungguh betapa bahagianya, seorang manusia yang sangat beruntung yang hidup sejaman dengan Nabi saw, dan dia ditakdirkan dapat mengimani dan mencintainya. Namun kata Nabi saw, tak kalah menariknya, yang mana buat seorang manusia yang hidup tidak sejaman dengan beliau, tapi iman dan mencintainya.
Inilah tantangan, yang sekaligus merupakan peluang bagi kita untuk membuktikan, bahwa di dalam diri kita telah berkobar rasa cinta dan menghendaki agar beliau mencintai kita. Dan, untuk membuktikan sikap kita itu tidak ada cara lain, kecuali mari kita terima dengan lapang dada, ridla, dan penuh rasa cinta, bahwa apa-apa yang diserukannya kita ikuti, lalu kita merubahnya menurut apa yang telah menjadi garis tegas Naraca Syariat-nya. Sebagai firman-Nya,

                    
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan rasul [Muhammad], apabila rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya. Dan, sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan" (Qs.al-Anfâl: 24).

Dan, lebih jelas Allah swt juga menegaskan dalam firman-Nya,


         •   •   
"Apa yang diberikan rasul kepada kalian. Maka, terimalah. Dan, apa yang dilarangnya bagi kalian. Maka, tinggalkanlah. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya" (Qs.al-Hasyr: 7).

Karenanya, prinsip yang harus ada, dan wajib dimiliki oleh setiap kaum muslimin mukmin, adalah bahwa Rasulullah saw telah menyelamatkan dari kehidupan kita. Tanpa eksistensinya, kita akan menjadi manusia tersesat, yang keberadaannya pasti lebih rendah ketimbang binatang. Inilah dasar kita untuk menjadikan dirinya sebagai idola kita. Sebab, dalam diri Nabi saw tidak ada kesalahan, dan segenap akhlak dan adabnya telah teruji serta telah mendapatkan ridla-Nya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,

                         •          
"Dan, berpeganglah kamu semuanya kepada tali [agama] Allah. Dan, janganlah kamu bercerai-berai. Dan, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu [masa jahiliah] bermusuh-musuhan. Maka, Allah mempersatukan hati kalian. Lalu, menjadilah kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya [Nabi Muhammad]. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk" (Qs.Ali Imrân: 103).

Karenanya, tidak ada uswah li Rasulillâh yang sesungguhnya, tanpa dengan kuatnya persatuan dan kesatuan di antara kaum muslimin mukmin. Hanya dengan persatuan dan kesatuan saja, kaum muslimin mukmin akan mampu mewujudkan uswah li Rasulillâh di kehidupannya. Dan, hanya orang-orang yang terpilih saja yang dapat menjadikan uswah li Rasulillâh sebagai prinsip kehidupannya. Sebagaimana telah difirmankan-Nya,

                
"Sesungguhnya telah ada pada [diri] Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, [yaitu] bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] Hari Kiamat. Dan, dia banyak menyebut Allah" (Qs.al-Ahzâb: 21).

Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya tersebut di atas. Dan, persiapkanlah segera diri kita, guna menjadi manusia bahagia di dunia dan di akhirat, seperti mereka yang telah mendahului kita; as-sâbiqunal awwalûn minal mu`minîna wal mu`minât. Dengan suatu keyakinan, "Peneladanan dan pengidolaan atas diri dan perikehidupan Rasulullah saw, akan mampu merubah kepribadian seorang manusia menjadi terberkahi, tercerahkan, dan teridlai di dunia; terlebih kelak di sisi-Nya".
Dengan meredesain dan merekonstruksi diri dan kepribadian kita menjadi seorang pengikut Nabi saw (muttabi' li Rasulillâh). Maka, kita akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa hub wa gadhab fil-lâh, insya Allah. []


Cinta & Benci Karena Allah

Hub wa ghadlab fillâh (cinta & benci karena Allah), adalah sikap mental seorang muslim mukmin yang mencintai orang lain dan membencinya semata karena Allah azza wa jalla.
Di kehidupan kesehariannya, seseorang yang telah memiliki perilaku hub wa ghadlab fillâh, tidak segan dan ragu untuk menyampaikan kebenaran. Dikarenakan, dirinya tidak mempunyai kepentingan (interest) tertentu. Sehingga ketika dia harus membencinya, maka sama pula di saat dia harus mencintainya. Yaitu, semata hanya disandarkan kepada-Nya dan karena-Nya.
Seorang muslim mukmin harus sadar benar, bahwa eksistensi di dunia telah diridlai-Nya. Karenanya, di kehidupan sosial ini sesama muslim, atau sesama mukmin haruslah membangun jaringan persaudaraan yang kokoh lagi kuat, yang hanya disandarkan pada persaudaraan imani (ukhuwah imaniah). Sebagaimana telah digambarkan-Nya di kedua firman-Nya,

         
"Dan, Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka. Sedangkan mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan" (Qs.al-Hijr: 47).

                    •  
"Dan, orang-orang yang datang sesudah mereka [Muhajirin dan & Anshor], mereka berdoa, "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Mahapenyantun lagi Mahapenyayang." (Qs.al-Hasyr: 47).

Cinta yang dibangun adalah cinta sebagai sesama komunitas yang mengimani Allah swt. Sebaliknya, harus berani dan segera mengingkari kepada siapa pun yang telah berani mengingkari-Nya.
Oleh sebab itu di dalam al-qur`an dinyatakan-Nya, bahwa sesama mukmin itu adalah saling menolong, bukan saling berkhianat. Sebagaimana telah difirmankan-Nya,

          •  
"Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman: [yaitu, orang-orang] yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka tunduk [kepada Allah]" (Qs.al-Mâ`idah 55).

                            •   •   
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka [kecurigaan]. Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang" (Qs.al-Hujurât: 12).

Sementara, parameter seorang pecinta dari komunitas yang berkeimanan itu adalah: mendirikan shalat, menunaikan zakat, hanya tunduk lagi patuh dengan Allah jalla jalâluh, tidak su'udhan dengan sesama mukmin, tidak ghibah terhadap sesama muslim, dan bertakwa kepada Allah swt. Karenanya, Rasulullah saw pernah bersabda,

"Barangsiapa yang cinta karena Allah, benci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi juga karena Allah. Maka, sungguh keimanannya sudah sempurna" (Hr.Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah; bi isnadi shahîh).


Manusia Pecinta, Imannya Sempurna
Seorang manusia pecinta dalam hidup kesehariannya telah dianugerahi-Nya mampu mengimplementasikan cintanya hanya dengan Allah azza wa jalla.
Betapa beratnya sikap mental dan perilaku yang mendasarkan segenap aktifitasnya kesehariannya, semata karena-Nya. Tapi itulah sebuah anugerah yang agung, jika seorang hamba telah mampu mengimplementasikan rasa cintanya kepada apa pun dan siapa pun di kehidupannya hanya disandarkan terhadap-Nya. Dan, di samping Nabi saw, seseorang muslim yang telah mampu melakukan perbuatan tersebut, telah dinyatakan, "Keimanannya sudah sempurna." Demikianlah, keimanan para hamba yang telah dipilih-Nya.
Karenanya, tidak akan kecewa berteman dengan sesama mukmin, disebabkan karena ketakwaannya kepada Allah swt. Hanya seorang muttaqin yang layak untuk dijadikan teman, kolega, keluarga, dan pemimpin kita. Selain dari orang yang bertakwa, maka suatu saat pasti akan menjadi para musuh-musuh yang saling berkhianat. Sebagaimana dinyatakan,

      
"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa" (Qs.az-Zukhrûf: 67).

Sudah teruji oleh waktu di sepanjang sejarah umat manusia, bahwa hanya manusia yang bertakwa sajalah yang dapat dipercaya di kehidupan ini. Untuk itu kaum muslimin harus segera menyadari di kehidupan dunia ini, lebih banyak komunitas dari golongan pengingkar ketimbang komunitas yang berkeimanan lagi berketakwaan terhadap Allah azza wa jalla.
Oleh sebab itu seorang muslim jangan sampai salah pilih di dalam membuat jaringan sosial kehidupannya. Termasuk di antaranya di dalam kehidupan kesehariannya yang paling sederhana sekali pun, seperti: memilih jodoh; mengambil menantu; memilih pemimpin; dan memilih wakil rakyat; serta di setiap aktifitas kehidupannya.
Dasar dari pemilihan, penerimaan, atau tidak suka kita harus didasarkan hanya karena Allah swt. Tidak boleh karena like and dislike. Apalagi sampai pada perilaku mencari-cari kesalahan orang lain. Atau, menjadikan orang lain kambing hitam dalam menyelesaikan persoalannya. Seorang muslim tidak boleh melakukan perbuatan tercela tersebut. Sebaliknya, semua penyelesaian problematika hidup dan kehidupan seorang muslim harus dikembalikan kepada-Nya, bukan kepada yang lain.

Bahagianya Hanya Bergantung Kepada-Nya
Hanya seorang hamba yang bergantung dengan Allah azza wa jalla, yang di kehidupan kesehariannya dapat menerapkan sikap mental dan perilaku hub wa ghadlab fillâh.
Sebab, hanya orang-orang yang mencari ridla-Nya saja yang mampu bergantung terhadap-Nya. Di sinilah keimanan dan ketakwaan seorang hamba menjadi teruji. Benarkah dirinya termasuk yang sungguh-sungguh mengimani dan bertakwa kepada Allah swt, atau sekadar hanya main-main saja dengan kata-kata iman dan takwa, seperti yang marak dipraktekkan di negeri ini.
Disebabkan, Allah swt pasti akan menguji keteguhan dan kesungguhannya di dalam berpengabdian kepada-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,

 ••     •      •           
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan [saja] mengatakan, "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan, sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka. Maka, sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar, dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta" (Qs.al-Ankabût: 2-3).

Sebagai bukti yang terdapat di sekitar hidup kita sehari-hari, mari bertanya kepada diri kita masing-masing, "Sudahkah kita menekuni habits shalat wajib berjamaah di tempat-tempat publik keberagamaan kaum muslimin, seperti: mushalla, langgar, surau, dan masjid?"
Dan, jika jawabannya sudah, maka pertanyakan kembali pada diri kita, "Sudahkah kita CC (commitment & consistent) dengan shalat subuh berjamaah di tempat-tempat keberagamaan publik kaum muslimin?" Jika belum, jawabannya.
Maka, segera mengimani hadis shahih Nabi saw yang berbunyi,

إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ على المنافقين صلاةَ الْعِشَاءِ وصلاةَ الْفَجْرِ، وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِيْهِمَا َلأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً، ولقدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ النَّاسَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامُ، ثمّ آمُرَ رَجُلاً فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ، ثمّ إِنْطَلَقَ مَعِيَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حَزِمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَيَشْهَدُوْنَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ بِالنَّارِ
"Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik, adalah shalat isya` dan subuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya sekali pun dengan merangkak. Sungguh aku ingin menyuruh melaksanakan shalat. Lalu, shalat itu ditegakkan. Kamudian, aku perintahkan orang lain untuk shalat bersama dengan orang-orang. Kamudian, beberapa lelaki berangkat bersamaku dengan membawa kayu yang terikat, mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat berjamaah, sehingga aku bakar rumah mereka" (Hr.Bukhari & Muslim; dari sahabat Abu Hurairah ra).

Jadi, berdasarkan teks hadis di atas, seorang muslim yang belum menjadikan shalat jamaah isya` dan subuh di lembaga keberagamaan publik kaum muslimin. Maka, mereka masih memiliki sifat kemunafikan. Karenanya, Nabi saw sampai membakar rumah mereka yang dengan sengaja meninggalkan jamaah shalat tersebut.
Bagaimana dengan kita, yang sekarang ini telah nyata-nyata membuat tempat-tempat keberagamaan publik kaum muslimin kosong dari shalat jamaah isya` dan subuh?
Padahal banyak masjid dibangun dan dibuat sebagus dan seindah mungkin. Konon di sebagian komunitas muslim ada yang bangga karena pembangunan masjidnya menelan sejumlah dana yang cukup fantastis!?
Bahkan, yang sangat memalukan, guna mencari dana pembangunan masjid, sampai-sampai meminta-minta uang di tengah jalan, yang secara nyata hal itu sangat bertentangan dengan Neraca Syariat!
Ini salah satu contoh, bahwa keimanan dan ketakwaan kita belumlah teruji dengan tangguh. Itu artinya, bahwa kita belum mampu mengelola kepribadian kita dengan "mental juara". Sebaliknya, yang masih melekat adalah sikap mental malas, dan cenderung dihinggapi penyakit hati, seperti: malas, khianat, dan hipokrit (munafik).
Jika kita sudah mengenali penyakit hati yang terdapat dalam jiwa kita masing-masing. Maka, bersegeralah melakukan pembenahan dan pengelolaan dengan sebaik-baiknya.
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya tersebut di atas. Dan, persiapkanlah segera diri kita, guna menjadi manusia bahagia di dunia dan di akhirat, seperti mereka yang telah mendahului kita; as-sâbiqunal awwalûn minal mu`minîna wal mu`minât. Dengan suatu keyakinan, "Membiasakan cinta dan marah karena Allah, akan menjadikan diri dan kepribadian kita merdeka dan berkemandirian. Di samping secara nyata kita akan berani menegakkan amar makruf nahi munkar. Dikarenakan kita hanya bergantung dengan Allah azza wa jalla".
Dengan meredesain dan merekonstruksi diri dan kepribadian kita untuk memiliki sikap mental dan perilaku (hub wa ghadlab fillâh). Maka, kita akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa qalban salîman, insya Allah. []

Qalban Salîman

Qalban Salîman, adalah suatu kondisi hati seorang hamba yang dianugerahi selamat lagi sejahtera oleh-Nya, sehingga berpengaruh langsung secara positif dan berkemanfaatan terhadap kesucian ruh, kesehatan hati, kestabilan jiwa, dan kesehatan raga. Dengan kata lain, seorang hamba Allah yang telah dianugerahi qalban Salîman, maka di kehidupan kesehariannya dia akan memiliki karunia yang berupa keseimbangan, keserasian, dan kemanfaatan hidup secara dhahir dan bathin.
Karenanya, hampir setiap kaum muslimin senantiasa menghendaki dikaruniai qalban salîman oleh-Nya. Demikianlah, para nabiullah dan rasulullah pun juga menghendaki qalban Salîman. Sebab, kondisi ruhaniah hati seorang hamba yang telah dianugerahi-Nya qalban Salîman, akan terikat kuat dengan sikap mental dan perilaku shalih.
Dan, di kehidupan seorang hamba yang beriman kepada-Nya, yang dikehendakinya adalah menjadi hamba-Nya yang shalih (atau shalihah). Dari sinilah dasar pemikiran Syaikh Muhammad Fadldlullah az-Zamani di dalam tawajuh dan doanya senantiasa mengucapkan,

رَبَّنَا هَبْلَنَا قَلْبًا سَلِيْمًا وَأَلْحِقْنَا بِالصَّالِحِيْنَ
"Wahai Rabb kami, anugerahilah kami qalban Salîman, dan golongkanlah kami dengan para hamba Mu yang shalih."

Qalban Salîman merupakan sebuah kondisi produktif yang dimiliki oleh seseorang yang telah berkeimanan kepada-Nya. Dan, sesuatu yang sulit untuk dicapainya jika seorang manusia itu masih suka menuruti hawa nafsunya. Sekali pun dirinya itu seorang muslim. Dikarenakan ia tidak pernah bersungguh-sungguh dalam berdinul Islam secara benar lagi berkeseimbangan (kaffah). Maka, mustahil seseorang itu dapat memiliki qalban Salîman. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya dalam firman-Nya,

      •      
"Lalu, Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat [peraturan] dari urusan [agama itu]. Maka, ikutilah syariat itu, dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui" (Qs.al-Jâtsiah: 18).

Berdasarkan ayat di atas, kata kunci agar dianugerahi qalban Salîman, adalah CC-nya dengan Neraca Syariat dan meninggalkan segenap kehendak hawa nafsu. Hal ini mengisyaratkan, bahwa seorang muslim mukmin di kehidupan kesehariannya haruslah terikat secara kuat, di samping harus mengikatkan diri dengan nyata terhadap Neraca Syariat. Dikarenakan, tanpa mengikat atau terikat dengan Neraca Syariat, secara otomatis manusia itu akan ditarik oleh kekuatan nafsu syahwatnya yang berkecenderungan merusak lagi menyesatkannya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,

        •            
"…dan, janganlah kamu [Dawud] mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan" (Qs.Shâd: 26).

Sudah dapat dipastikan jika seseorang itu sesat jalan hidupnya, sungguh dia hatinya tidak dianugerahi-Nya qalban Salîman. Karenanya, oleh Allah swt, seseorang yang tidak memiliki kondisi hati qalban Salîman dia diserupakan dengan binatang. Sebagaimana telah difirmankan-Nya,

            •               
"Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka, apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau, apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya [dari binatang ternak itu]" (Qs.al-Furqân: 43-44).


7 Habits Qalban Salîman
Karena untuk memiliki qalban salîman itu sangat sulit lagi berat. Sementara, keberadaannya itu sangatlah penting buat kita. Maka, di kalangan ulama memberikan beberapa habits, yang --insya Allah-- akan dapat menjadi tips guna mencapainya di kehidupan ini. Di antaranya:

1. al-Mauhîd.
Di kehidupan ini harus menyandarkan, bergantung, memohon, dan berharap hanya dengan-Nya. Prinsipnya "Menomor-satukan Allah" (Allah harus dinomorsatukan), di mana hal ini hukumnya adalah wajib bagi dirinya. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,

 •                •  
Katakanlah, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku; hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri [kepada Allah]". (Qs.al-An'âm: 162-163).

Juga, firman-Nya,

   
"Hanya Engkau-lah yang kami sembah. Dan, hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan" (Qs.al-Fâtihah: 5).

2. Istiqamah.
Istiqamah adalah terdapatnya komitmen dan konsistensi diri terhadap prinsip hidupnya di dalam menomor-satukan Allah. Maka, seorang hamba yang telah ber-istiqamah, tidak pernah lagi bermain-main dengan prinsip hidupnya. Sebaliknya, dia akan memperjuangkan prinsipnya itu ke dalam sebuah manifestasi kemanfaatan tauhid-sosial. Sebagaimana dinyatakan Allah dalam firman-Nya,

•       •        •   
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Rabb kami, ialah Allah". Kemudian, mereka meneguhkan pendirian mereka. Maka, malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian". (Qs.Fushshilât: 30).

3. Berkeimanan.
Sikap mental dan i'tikad dengan meyakini hanya Allah-lah tempat bergantung, berharap, memohon, meminta, dan pusat pengabdian seorang hamba. Seorang hamba yang berkeimanan di kehidupannya telah benar-benar mengikat kuat, dan menerima sepenuh hati akan eksistensi-Nya dengan segala Dzat, Af'al, dan Asma-Nya. Tidak ragu sedikit pun dengan apa yang telah diyakininya. Maka, efek positif-produktif yang didapatkan dari sikap mental berkeimanan, adalah qalban salîman. Sedangkan, seseorang yang telah memiliki hati qalban salîman dia akan mempunyai kekuatan dalam berprinsip dan berkeyakinan. Sebagaimana telah digambarkan dalam firman-Nya,

         
"Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan [kekafiran] kepada cahaya [iman]." (Qs.al-Baqarah: 257).

      
"…tidak ada tempat lari dari [siksa] Allah, melainkan kepada-Nya saja" (Qs.at-Taubah: 118).

4. Mahabbatullâh.
Untuk mendapatkan kondisi hati qalban salîman, seorang hamba harus mengelola hatinya, supaya memposisikannya hanya mencintai-Nya dan mencintai segenap apa yang telah diperintahkan-Nya.
Sebagai seorang pecinta dalam hidupnya yang ada dan dituju hanya cinta Allah semata. Maka, apabila seorang hamba telah mampu berperilaku dan bersikap mental seperti itu, sudah dapat dipastikan ia akan memiliki qalban salîman; insya Allah. Karenanya, seorang hamba yang telah mahabatullah di kehidupan sosial kesehariannya telah berkomitmen dan memiliki konsistensi diri terhadap, kaidah kehidupannya,

لاَيُمْلِكُ وَلاَيُمْلَكُ إِلاَّ اللهُ
"Tidak memiliki dan tidak dimiliki, kecuali hanya Allah".

حَسْبِي رَبِّي جَلَّ اللهِ، مَا فِي قَلْبِي غَيْرُ اللهِ
"Cukup bagiku Rabb-ku [dengan segenap] keagungan Allah, tidak ada yang [singgah] di dalam hatiku selain Allah".

5. Anfa' lin-Nâs.
Seseorang yang telah memiliki kondisi hati qalban salîman, di kehidupan sosial hariannya akan terukur dengan kemanfaatannya terhadap orang lain; insya Allah.
Sementara, seseorang akan mampu berlaku manfaat di kehidupan sosial, jikalau di dalam dirinya telah mampu mengamalkan kaidah amaliah di bawah ini,
أُذْكُرْ لِنَفْسِهِ شَراًّ وَاذْكُرْ مِنْ غَيْرِهِ خَيْراً
"Ingatlah terhadap dirinya dengan keburukannya, dan ingatlah kepada orang lain dengan kebaikannya".

Memang terasa berat dalam pengamalannya, sebab hawa nafsu sangat tidak menyukainya jika ada seorang hamba yang berkemanfaatan dalam hidupnya. Karenanya, seorang hamba yang telah mempunyai kondisi hati qalban Salîman, maka di kehidupan kesehariannya ia secara otomatis telah mampu mengelola hatinya dengan baik dan benar sejalan dengan Neraca Syariat.

6. Tidak Pernah Khawatir.
Seorang hamba yang telah memiliki kondisi hati qalban salîman, di kehidupannya sudah tidak lagi pernah khawatir dengan apa pun, dan terhadap kejadian apa saja. Sebab, dia telah meyakini lagi meyakini firman-Nya,

               

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap [diri] mereka dan tidak [pula] mereka bersedih hati. [Yaitu], orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa" (Qs.Yûnus: 62-63).

7. Menyempurnakan Yang Wajib & Memperbanyak Ibadah Sunnah.
Secara garis besar seorang hamba yang telah memiliki kondisi hati qalban salîman, hal itu dapat diperhatikan di kehidupan sosial hariannya dengan melihat dua perilaku penting:
1).Seorang hamba yang amaliah kebaikan dan kejelekannya seimbang. Namun dia tetap menekuni jalan taubat, agar tidak mengulangi lagi segenap perbuatan buruknya. Ditandai dengan menekuni segenap ibadah wajibnya.
2).Seorang hamba yang amaliah bagusnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan amaliah buruknya. Hal itu ditandai dengan:
a).Selalu menjaga segenap ibadah wajibnya.
b).Senantiasa membekali dengan ibadah-ibadah sunnahnya.
c).Berusaha dan menjaga diri dari segala dosa besar.
d).Meninggalkan segenap larangan-Nya.
e).Menjauhi segala sesuatu yang dibenci- Nya.
Seperti dikisahkan, suatu ketika Rasulullah saw didatangi oleh seorang pemuda, [di mana] pemuda itu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sangat berkeinginan untuk menemani engkau di surga nanti."
Rasulullah saw bersabda, "Apakah kamu masih mempunyai keinginan selain daripada itu?"
Pemuda itu bertanya, "Hanya itu wahai Rasulullah?"
Maka, Rasulullah saw bersabda, "Maka, bantulah aku terhadap dirimu dengan banyak melakukan sujud [shalat]." (Hr.Muslim, Abu Dawud, dan Nasâ`i).
Marilah kita yakini segenap firman-Nya dan kisah nyata di atas. Lalu, persiapkanlah dengan segera diri kita, untuk menjadi manusia bahagia di dunia dan di akhirat, seperti mereka yang telah mendahului kita; as-sâbiqunal awwalûn minal mu`minîna wal mu`minât.
Dengan suatu keyakinan, "Mendidik diri untuk mengisi hati dengan mencintai Allah. Hal itu akan berdampak langsung pada kehidupan kita yang berkemanfaatan dan membahagiakan secara dhahir dan bathin. Sedangkan, cinta kita kepada-Nya harus terukur dengan cinta kita terhadap Rasulullah saw."
Mempola diri dan kepribadian yang memiliki kondisi hati qalban Salîman. Hal itu membangun, sekaligus melahirkan jatidiri dan citra diri sebagai manusia mulia yang berkemanfaatan. Sehingga dalam perjalanan ruhaninya, ia akan dikaruniai-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa ahlus sunnah wal jama'ah, insya Allah. []








Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Ahlus sunnah wal jama'ah, adalah sebuah komunitas kaum muslimin yang telah diakui keberadaannya oleh Rasulullah saw. Di kehidupan kesehariannya, komunitas ini sangat kuat di dalam mengikat kuat dengan Neraca Syariat. Di samping dengan penuh kasih-sayang di dalam membangun kekuatan jaringan persaudaraan imani kaum muslimin, secara jama'ah. Seperti telah dinyatakan dalam sabdanya,

"Ada tiga golongan manusia yang tidak boleh didengki, yaitu: 1).Hati seorang hamba yang beriman dan senantiasa ikhlas dalam beramal semata-mata hanya karena Allah; 2).Seseorang yang mau menasehati para pemimpin umat; dan 3).Orang yang komitmen terhadap sebuah jama'ah islamiah (persaudaraan Islam), karena doa mereka ini meliputi semua orang yang berada di belakang mereka" (Hr.Ahmad).

Jadi, yang dimaksud dengan ahlus sunnah wal jama'ah merupakan pemahaman dan cara berpikir dari seorang muslim mukmin, yang berkepribadian pada pola sunnah nabawiah dan sangat mencintai komunitas kaum muslimin.
Dalam kehidupan seorang yang ahlus sunnah wal jama'ah, tidak ada lagi rasa hasud, dengki, pamer, dan mencari populeritas semata karena menghendaki adanya pengakuan; khususnya terdapatnya pengakuan atas sesama muslim.
Sebaliknya, yang ada di kehidupan seorang ahlus sunnah wal jama'ah, yang mana hal itu telah menjadi jatidiri dan citra dirinya, yakni senantiasa ber-fastabiqul khairât antara saudara mukmin yang satu dengan mukmin yang lain, antara saudara muslim yang satu dengan muslim yang lain. Di antara mereka kehidupannya sangat indah.
Dan, inilah kehidupan kita sebagai umat Rasulullah saw. Di mana sudah tidak ada lagi kepentingan-kepentingan syahwati dan interes duniawiah. Sebab, yang dikehendaki adalah hidupnya sunnah Rasulullah saw di sepanjang jaman, dengan kehidupan sosial harian yang terikat dengan ikatan kasih-sayang.
Karenanya, alfaqîr sangat menyayangkan jika masih ada segelintir dari komunitas muslim, yang mencoba saling mempengaruhi atau menanamkan pengaruhnya kepada sesama saudara muslim lainnya, dengan melakukan klaim bahwa dirinya (atau kelompoknyalah) yang paling benar. Jika kenyataan itu yang terjadi, yang menjadi pertanyaan adalah, "Siapakah sebenarnya yang paling berhak di dalam menerjemahkan dinul Islam?"
Padahal kebenaran di dalam dinul Islam telah terukur dengan Neraca Syariat. Dan, yang harus dilakukan oleh para ulama atau pun para cerdik-pandai dari kaum muslimin, adalah berusaha sekuat tenaga agar komunitas kaum muslimin tidak bercerai-berai menjadi kelompok-kelompok yang sangat merugikan ketahanan, kesatuan, dan persatuan kaum muslimin. Mereka sangat berperan di dalam melakukan redesain atas kehidupan umat Islam, sehingga umat Islam menjadi umat yang maju, mulia, dan terbaik. Mereka memiliki kompetensi supaya umat Islam kembali lagi menginduk ke dalam Neraca Syariat. Di mana umat Islam harus berpegangan kuat dengan al-qur`an dan al-mizan. Di samping juga harus menghidupkan ruh ilmu pengetahuan diniah. Inilah ketiga pilar dari Neraca Syariat yang harus dipahamkan di kehidupan sosial kaum muslimin, di mana pun mereka berada dan kapan pun mereka hidup (Miftahul Luthfi Muhammad: 2005).
Meninggalkan Neraca Syariat, secara otomatis kaum muslimin akan terjerembab ke dalam lembah kehancuran. Dikarenakan, dengan meninggalkan Neraca Syariat maka kaum muslimin akan mengidap penyakit sosial, yang berupa: 1).Tersekat dengan sesama kaum muslimin; 2).Tersekat dengan Kitab Suci al-Qur`an; 3).Tersekat dengan komunitas masjid; dan 4).Tersekat dengan ilmu pengetahuan diniah.
Belum lagi dari segi tauhid, seorang muslim yang telah berani meninggalkan Neraca Syariat, maka di kehidupan sosial hariannya akan jatuh kejurang kejumudan, seperti: 1).Syirik kepada Allah azza wa jalla; 2).Dusta, baik tersembunyi maupun terang-terangan; dan 3).Rakus (thama`) terhadap harta benda dan harta kekayaan.
Seorang hamba yang telah berani mengatakan, bahwa dirinya adalah seorang yang ahlus sunnah wal jama'ah. Maka, di kehidupannya benar-benar berusaha sekuat tenaga di dalam menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah saw. Di samping dengan sabar, tekun, dan penuh kesantunan merajut tali kasih-sayang terhadap sesama saudara seakidah dan seiman. Tidak ada lagi penonjolan aliran dalam Islam. Apalagi sampai mengagung-agungkan tokoh dalam Islam. Sampai-sampai yang terjadi di kehidupan kaum muslimin, yang kita rasakan dewasa ini, mengangungkan tokoh (ulama) tertentu, dan mendeskriditkan tokoh (ulama) yang lain. Padahal yang wajib kita tokohkan dan kita ikuti hanya Rasulullah saw dengan kedua pusaka beliau, al-qur`an dan al-mizan, yang dilandasi dengan kemampuan ilmu pengetahuan dunia; bukan nafsu syahwat.
Yang kita rasakan sekarang ini kehidupan kekeluargaan kaum muslimin, benar-benar telah tercabik lagi terkoyak oleh pemahaman-pemahaman segelintir orang yang menjadikan pengikutnya fanatik buta. Sikap taklid membabi-buta ini sangat membahayakan persaudaraan dan kesatuan kaum muslimin di mana saja berada (Miftahul Luthfi Muhammad: 2003).
Lihat saja kehidupan keberagamaan keislaman di negeri kita. Setelah banyak bermunculan kelompok-kelompok Islam yang fanatik buta; yang dimotori oleh sekolompok generasi muslim yang "baru senang ber-Islam". Maka, anarkisme dan kekerasan di dalam beragama (ber-Islam), hampir setiap hari dapat kita lihat tayangannya di televisi.
Begitu indahnya, kehendak hawa nafsu mereka dikemas dengan bahasa-bahasa Islam, yang seolah menjadikan dirinya paling pahlawan dalam membela Islam. Justru yang harus dipertanyakan, "Jika ada sesama saudara muslim bertikai, siapa yang yang menang?"
Begitu kompaknya mereka meneriakkan kata-kata "bertuah", seolah benar-benar berani mati sebagai syahid. Begitu kelihatan sok jagoannya dengan atribut dan simbol-simbol ke-Islam-an. Meski mereka harus berkelahi, dan tak jarang membunuh saudara muslimnya, hanya gara-gara telah "dianggap" kafir?! "Dianggap" murtad?! "Dianggap" dlalim?! Dan, julukan-julakan yang lain, yang menurut mereka pantas diberikan hukuman oleh syariat Islam. Inilah pemahaman ke-Islam-an yang sangat mengerikan. Sungguh benar-benar jauh dari rambu-rambu yang telah disepakati sebagai seorang ahlus sunnah wal jama'ah.
Karenanya, sangat disayangkan apabila ada segelintir dari komunitas muslim, yang mengatasnamakan dirinya adalah ahlus sunnah wal jama'ah. Akan tetapi dalam perilaku dan sikap mental hariannya sangat jauh dari Neraca Syariat. Maka, jika hal ini yang terjadi, dinul Islam telah didangkalkan oleh orang-orang yang membabi-buta di dalam ber-Islam, yang tidak pernah diteladankan oleh Rasulullah saw.
Dinul Islam tidak pernah mengajarkan, supaya kaum muslimin ber-Islam secara hitam-putih, dosa-neraka, benar-salah, dan siksa-pahala. Namun lebih dari itu, dinul Islam hendak membangun cakrawala berpikir dan cara pandang kaum muslimin yang telah berkeimanan tersebut menjadi sebuah komunitas umat manusia yang terbaik. Karenanya, harus kita terima bahwa di dalam ber-Islam itu meliputi wilayah-wilayah dhahir dan wilayah-wilayah bathin. Sebagaimana hal itu telah dibekalkan kepada kita oleh Allah swt,

                            •   •   
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka [kecurigaan]. Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan, janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang" (Qs.al-Hujurât: 12).

Sebaliknya, yang dikehendaki oleh dinul Islam, dan hal itu yang diusahakan oleh seorang hamba yang ber-ahlus sunnah wal jama'ah, bahwa kehidupan komunitas muslim itu benar-benar merupakan pantulan firdaus-Nya yang penuh dengan kasih-sayang dan cinta. Sebagaimana telah digambarkan dalam firman-Nya,

         
"Dan, Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka. Sedangkan mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan" (Qs.al-Hijr: 47).

Karenanya, dalam kehidupan seorang muslim hendaknya di kehidupan kesehariannya, mulai bangun tidur sampai tidur kembali seyogyanya banyak mengucap dalam doa persaudaraannya. Lalu, mengimplementasikan di kehidupan kesehariannya sebuah doa persaudaraan yang agung, sebagaimana yang telah diajarkan oleh al-qur`an,

               •  
"Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Mahapenyantun lagi Mahapenyayang" (Qs.al-Hasyr: 10).

Alfaqîr sangat yakin, jikalau di dalam komunitas muslim, masing-masing dari kaum muslimin mau memahami dan mengulang-ulang doa tersebut di atas. Tidak akan pernah terjadi bentrok, saling pukul, saling mengancam, saling menuduh, saling berkhianat, saling mencaci, dan saling mengafirkan. Sebab, bagi seorang yang telah ber-ahlus sunnah wal jama'ah, berarti di kehidupannya benar-benar berusaha menebarkan rahmatal lil 'âlamîn. Benar-benar memperjuangkan izzul islâm wal muslimîn. Bagi seorang yang ber-ahlus sunnah wal jama'ah yang didahulukan kekuatan dan kekompakan jama'ah kaum muslimin, tidak sekadar asal beda dengan yang lain.
Dan, sekarang ini tampak telah menggejala di kehidupan akar rumput kaum muslimin. Kata ahlus sunnah wal jama'ah telah dijadikan slogan, bahwa dirinyalah (atau kelompoknyalah) yang paling berhak di dalam menerjemahkan Islam. Adalah sangat memprihatinkan jika kata ahlus sunnah wal jama'ah telah menjadi sebuah istilah sosial di kehidupan masyarakat Islam.
Itu artinya ahlus sunnah wal jama'ah telah menjadi stereotip sosial yang bermaknakan negatif. Ini jangan sampai terjadi. Karenanya, kita harus mengembalikan makna ahlus sunnah wal jama'ah seperti yang dikehendaki oleh Rasulullah saw, yakni menjadi komunitas muslim mikmin yang selamat, di saat umat manusia tercerai-berai ke dalam golongan-golongan yang banyak, ketika hendak datangnya Hari Kiamat.
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya tersebut di atas. Dan, persiapkanlah segera diri kita, guna menjadi manusia bahagia di dunia dan di akhirat, seperti mereka yang telah mendahului kita; as-sâbiqunal awwalûn minal mu`minîna wal mu`minât.
Dengan suatu keyakinan, "Mendidik diri untuk berani menghidupkan sunnah Rasulullah saw. Dan, senantiasa mengikat kuat dengan jama'ah kaum muslimin".
Sebab, hanya dengan berpola kepribadian ahlus sunnah wal jama'ah, seorang muslim akan dikaruniai kemampuan diri untuk melakukan amar ma'rûf nahi munkar, insya Allah. []
















Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Amar ma'rûf nahi munkar, adalah sikap mental dan perbuatan seorang muslim yang menyerukan (mengajak) kepada kebaikan (jalan Islam), sekaligus dari dalam dirinya terdapat kemauan dan kemampuan untuk mencegah (meninggalkan) sikap mental dan perbuatan munkar. Dikarenakan, sangat berkehendak untuk mendekatkan diri dengan Allah (ma'rûf) dan berazzam kuat untuk meninggalkan segala hal yang dapat menjauhkan diri dari-Nya (munkar).
Prinsip yang hendak ditempuh, adalah supaya kehidupan manusia kembali kepada jalan yang lurus. Yakni, jalan yang mendapatkan ridla-Nya.
Dengan kata lain, seorang hamba yang menghendaki agar dirinya menjadi hamba yang dipilih-Nya, yaitu dirinya harus berani melakukan amar ma'rûf nahi munkar. Terutama penegakan atas amar ma'rûf nahi munkar terhadap dirinya sendiri, dan keluarganya, baru terhadap masyarakat sekitarnya. Yang harus dipahami, bahwa penegakan amar ma'rûf nahi munkar yang terberat adalah terhadap dirinya sendiri dan keluarganya.
Dikisahkan dalam riwayat yang shahih, adalah sahabat Urwah bin Zubair ra, beliau mengifakkan emas, perak, dan dirhamnya kepada orang-orang di sekitarnya, seraya berkata, "Kemarilah kalian, untuk mendengarkan hadis Rasulullah saw dariku."
Tidak hanya itu, sahabat Urwah juga memberikan banyak hadiah kepada setiap orang yang mendengarkan perkataannya. Sedangkan perkataannya, tidak lain adalah kitabullah dan mizan Rasulullah saw.
Maka, demikianlah Syaikh Muhammad Fadlullah az-Zamani meniru perbuatan sahabat nabi tersebut dalam dakwah dan tarbiah Islam. Di mana dia sering membagi-bagikan apa yang dimilikinya kepada segenap orang, baik yang mendengar dakwahnya atau yang diajarnya. Tidak hanya itu, kepada semua orang dia memberikan yang dimilikinya. Terutama ilmu yang telah dipelajarinya. Dia biasa membicarakan keilmuan di mana saja kapan saja, jika dibutuhkan dari orang-orang yang menghendakinya.
Sebab, dalam kehidupan ini untuk melakukan dakwah dan tarbiah Islam, dapat dilakukan di mana pun kapan pun dengan siapa pun. Tidaklah diajarkan dalam dinul Islam, bahwa seorang hamba yang dikaruniai oleh-Nya ilmu pengetahuan diniah harus menutup diri dalam rumahnya, atau berlaku eksklusif agar disegani, atau menjual mahal ilmunya supaya mendapatkan keuntungan materi. Tidaklah demikian ajaran Islam.
Sebaliknya, seseorang hamba yang telah dianugerahi-Nya ilmu pengetahuan diniah, dia justru berkewajiban menasyarufkan dan menyebarkan ilmunya kepada khalayak kehidupan manusia, khususnya terhadap sesama muslim. Sehingga seorang hamba yang disebut 'alim. Dia tidak perlu malu untuk berada di pasar, di pub, di super market, di kantor, di tempat kumuh, di stadion, di trotoar, di kampung-kampung, di gang-gang, di kampus, di istana, berjalan kaki, naik sepeda pancal, naik becak; bahkan meskipun harus dicaci-maki, dihina, diejek, dighibah, difitnah, diteror, diintimidasi, termasuk hendak dibunuh sekalipun.
Amar ma'rûf nahi munkar harus ditegakkan tidak dapat ditawar-tawar lagi, demikianlah prinsip kehidupan para hamba Allah yang telah berkedudukan ashfiyâ` (terpilih). Sehingga tidak segan dan tidak pernah merasa rugi, jika harus menasyarufkan ilmunya, atau mendermakan harta kekayaannya. Seorang hamba yang di dalam dirinya telah terdapat sikap mental dan perilaku amar ma'rûf nahi munkar, sudah tidak butuh lagi adanya pengakuan dari sesama manusia; yang dibutuhkan hanya ridla Allah, sehingga dirinya termasuk hamba yang dicintai-Nya.
Dalam dirinya telah komitmen dan sangat mengimani dengan firman-Nya,

  •            
"Dan, hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung" (Qs.Ali Imrân: 104).

Keberuntungan di akhirat itulah yang hendak dikejar oleh para hamba Allah, yang dengan ikhlas melakukan amar ma'rûf nahi munkar. Disebabkan, sadar benar bahwa Allah dalam firman-Nya telah melukiskan sosok manusia mulia (Human Elyon) di kehidupan ini, yakni,

  •  ••                    
"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik" (Qs.Ali Imrân: 110).

Karenanya, Allah dalam firman-Nya yang lain juga telah menggambarkan dengan gambaran yang tegas,

            
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih, dan berkata, "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (Qs.Fushshilât: 33).

Kasih-Sayang Kuncinya Amar Ma'rûf Nahi Munkar
Penegakan amar ma'rûf nahi munkar adalah rasa kasih-sayang, bukan kesewenang-wenangan atau mau merasa benar sendiri, dengan menganggap orang lain musuhnya yang harus dilenyapkannya; tidak seperti itu. Dan, itu bukanlah esensi dari amar ma'rûf nahi munkar sebagaimana yang telah disyariatkan dalam dinul Islam.
Adapun wujud kasih-sayang dalam penegakan amar ma'rûf nahi munkar, seperti yang telah dicontohkan oleh salah seorang dari sahabat nabi, yang bernama Urwah bin Zubair ra. Yaitu, diwujudkan dan diejawantahkan dengan: kesederhanaan; kedermawanan; penasarufan ilmu pengetahuan diniah; memanusiakan manusia; saling menolong; dan menghormati terhadap sesama. Sehingga amar ma'rûf nahi munkar yang dilakukannnya benar-benar menciptakan perubahan yang berkemanfaatan. Di mana manusia yang menjadi prospek dari amar ma'rûf nahi munkar kembali kepada jalan kebenaran, yakni kebenaran dinul Islam, dengan serta-merta meninggalkan kekafiran.
Karenanya, menjadi pertanyaan besar jika di dalam penegakan amar ma'rûf nahi munkar harus serba sulit dan memberatkan. Suatu misal untuk mendatangkan muballigh X, harus memberikan honorarium 30 juta sampai 60 juta. Atau, untuk menyelenggaran sebuah majelis ta'lim harus banyak menghabiskan banyak dana. Atau, guna mendirikan masjid harus meminta-minta uang di tepi jalan. Betapa dakwah dan tarbiah Islam telah mengalami pembusukan (distrosi) akibat ulah para manusia durjana, yang seringkali mengatasnamakan amar ma'rûf nahi munkar.
Belum lagi perbuatan segelintir oknum penyeru Islam. Yang hanya gara-gara tidak dicantumkan sebutan atau titel kesarjanaannya, dia harus marah-marah. Atau, terlalu sedikit –menurutnya-- dalam memberikan "amplop"-nya, maka hal itu dibicarakan kepada siapa pun, dan seringkali kalau diundang lagi dia tidak mau memenuhi tugas dakwahnya di tempat itu.
Adalah sebuah ironi, jika jaman telah mengalami percepatan dan perubahannya seperti sekarang ini. Namun mental dan akhlak para penyeru Islam masih terbelakang. Maka, akibat langsung dari kondisi dakwah dan tarbiah Islam yang status quo ini, adalah mandegnya proses dakwah dan tarbiah Islam di kehidupan masyarakat Islam.
Karena kondisi yang stagnan tersebut, sehingga masing-masing ulama dan kelompok Islam mengambil inisiatif sekehendaknya sendiri. Oleh sebab itu yang dapat kita lihat, adalah sebuah kegiatan dakwah dan tarbiah yang sporadis. Di mana dalam pelaksanaan dakwah dan tarbiah tidak terprogram, terpolakan, dan termenejemenkan dengan benar. Sehingga penegakan amar ma'rûf nahi munkar yang terjadi seringkali mengalami tumpang-tindih (over lapping interest).
Dengan kata lain, amar ma'rûf nahi munkar yang telah berjalan selama ini, berjalan secara sendiri-sendiri. Padahal yang seharusnya terjadi adalah penegakan amar ma'rûf nahi munkar yang saling melengkapi.
Seperti orang main bola, maka semua lini harus ada yang menjaga. Demikian halnya dengan penegakan amar ma'rûf nahi munkar, maka semua lini kehidupan di masyarakat harus ada yang melakukannya. Jangan sampai terjadi di kehidupan masyarakat kita tidak ada yang melakukan amar ma'rûf nahi munkar. Hal itu sangat membahayakan kehidupan umat manusia secara umum. Sebagaimana telah difirmankan-Nya,

                •              
"Telah dilaknati orang-orang kafir dari bani isra`il dengan lisan Dawud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu" (Qs.al-Mâ`idah: 78-79).

Karenanya, oleh Allah azza wa jalla kaum muslimin mukmin sangat dilarang untuk mengikuti sifat-sifat Bani Israil, termasuk sifat para ulama mereka. Sebagaimana telah difirmankan-Nya sifat mereka itu,
   •            
"[Yaitu], orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan, Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan" (Qs.an-Nisâ`: 37).

Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya. Di samping kita jadikan pelajaran dari perbuatan para sahabat nabi dan para kekasih Allah (auliyâ`).
Lalu, bersegera membenahi diri kita untuk menjadi hamba yang sukses di dunia, agamanya, dan di akhiratnya. Seperti mereka yang telah mendahului kita para as-sâbiqûnal awwaluna minal muslimîna wal-muslimât wal mu`minîna wal-mu`minât. Dengan suatu keyakinan bahwa, "Menegakkan amar ma'ruf nahi munkar adalah wujud penghambaan yang sangat diridlai-Nya. Maka, di dalam dirinya telah tertanam secara kuat dan nyata. Bahwa dirinya benar-benar berkehendak mendekatkan diri dengan Allah. Di samping secara bulat pula berazzam untuk meninggalkan segenap perbuatan yang dapat menjauhkan dirinya dengan Allah swt nantinya."
Dengan meredesain dan merekonstruksi diri dan kepribadian kita untuk memiliki sikap mental dan perilaku amar ma'rûf nahi munkar. Maka, kita akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa ukhuwah islamiah, insya Allah. []









Ukhuwah Islamiah

Ukhuwah islamiah, adalah persaudaraan Islam. Yaitu, ketika seseorang dengan keislamannya dapat mengikis rasa berkelompoknya, sikap fanatismenya, dan rasa kesukuannya. Ia telah mempunyai cakrawala pikir yang luwas, luwes, dan mendalam; sehingga keislaman dan keimanannya mampu membangkitkan kecerdasan motivasinya dan kecerdasan intuisionalnya, dengan demikian bangkitlah jiwanya untuk senantiasa mengejawantahkan persatuan dan kesatuan dalam persaudaraan Islam; semampu mungkin.
Realitas di atas harus segera disadari oleh segenap kaum muslimin, bahwa menciptakan persaudaraan dalam Islam hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim mukmin. Sejak masih kanak-kanak, generasi mudah kita harus diajari pentingnya persatuan dan kesatuan dalam persaudaraan Islam. Karenanya, kita harus berani berkurban demi terwujudnya persaudaraan Islam tersebut sesegera mungkin.
Sesuatu yang harus segera direalisasikan, dalam rangka hendak mewujudkan persaudaraan Islam adalah, ditradisikannya sikap mental dan perilaku saling tolong-menolong, saling berkasih-sayang, saling melengkapi atas kekurangan masing-masing, dan saling membantu. Yang tujuannya tidak lain, agar di kehidupan keluarga besar Islam ini menyatu dalam sebuah persatuan dan kesatuan yang solid lagi kompak, yang didasarkan atas kalimat tauhid "Lâ ilâha illa-llâh, muhammadur rasûlullâh". Tidakkah Allah azza wa jalla dalam hal ini telah menyerukan-Nya,

 ••                 •       •    
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang diri. Dan, dari padanya Allah menciptakan isterinya. Dan, dari pada keduanya Allah memperkembang-biakkan lelaki dan perempuan yang banyak. Dan, bertakwalah kepada Allah yang dengan [mempergunakan] nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain. Dan, [peliharalah] hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian" (Qs.an-Nisâ`: 1).

Tidak Diajarkan Untuk Berpecah-Belah
Dinul Islam tidak menghendaki adanya perpecahan. Oleh sebab itu, segenap apa yang menjadikan kaum muslimin berpecah-belah harus disirnakan secepatnya. Contohnya, penghancuran masjid dlirar dikala itu. Masjid itu digunakan gerombolan kaum munafik untuk memecah-belah persatuan dan kesatuan kaum muslimin.
Sudah saatnya kaum muslimin mukmin mengaktualkan lagi bahasa pemersatu, dan icon pemersatu. Sebut saja, Rasulullah saw, beliau adalah idola sekaligus suri teladan buat kita dan umat manusia. Ka'bah al-Musyarafah telah menjadi sentral pemersatu arah dalam peribadatan harian. Bulan Ramadlan telah menjadi bulan kebersamaan untuk membangun empati dan solideritas sosial kaum muslimin. Takbir kita sama "Allâhu akbar". Tahlil kita sama "Lâ ilâha illa-llâh". Ruku' dalam shalat kita sama. Sujud dalam shalat kita sama. Syahadat kita sama. Nabi saw mengajarkan yang sama, rukun Islam ada lima, dan rukun iman ada enam.
Seperti para nabiullah dan para rasulullah, ajarannya pun sama, kalimatut tauhid. Yaitu, kalimat untuk meng-Esa-kan Allah swt. Allah harus dinomor-satukan, sebab hanya Allah yang nomor satu. Kita diajari Nabi saw sesuatu yang sangat penting dalam ber-Islam, dan hal itu akan menjadi bahasa pemersatu. Yakni, kejujuran, keikhlasan, kesabaran, syukur, dan ketawadlu'an.
Alfaqîr yakin segenap kaum muslimin mukmin menghendaki akhlak-akhlak tersebut. Meskipun dalam kenyataan kehidupan sosialnya, mereka memiliki keragamaan dalam masalah-masalah cabang dalam keislaman (far'iah).
Yang menjadi pertanyaan adalah, "Mengapa sampai terjadi perbedaan yang mengarah kepada perpecahan umat?"
Terbukti, masih banyak di kalangan kaum muslimin yang saling mengafirkan, menajiskan, dan menganggap murtad golongan tertentu (?!) Karena perbedaan yang tidak prinsipil, alias masalah-masalah furu'iah, harus mendirikan masjid lagi; padahal hanya berseberangan jalan. Orang tua kandungnya harus menerima lebel kafir, gara-gara tidak sejalan dengan ajaran jama'ahnya.
Kalau kita mau merenungkan, apa pun alirannya, apa pun nama jama'ahnya, dari negara bangsa mana pun, tak peduli awam atau ulama; ketika menunaikan thawaf di pelataran Baitullah, mereka semua sama cara berputarnya Ka’bah berada di sebelah kirinya, memulainya sama yakni dari pojok Hajar Aswad, berakhirnya pun sama. Demikian juga di saat hendak menunaikan sa'i, juga sama-sama di awali dari bukit Shafwah dan berakhir di bukit Marwah. Jumlah mondar-mandirnya pun sama yakni tujuh kali.
Sampai saat ini belum pernah alfaqîr melihat atau mendengar informasi, ada sebagian komunitas kaum muslimin yang thawaf-nya menjadikan Ka'bah di sebelah kanannya, atau sa'i-nya diawali dari bukit Marwah dan berakhir di bukit Shafwah.
Jika kita pernah mendengar keganjilan misalnya pergi haji cukup ke gunung X. Thawaf-nya, Ka'bah di sebalah kanannya. Mengawali sa'i-nya dari Marwah. Kiblat-nya tidak ke Baitullah. Maka, jelaslah bahwa ajaran-ajaran itu telah menyimpang jauh dari prinsip dasar Neraca Syariat. Karenanya, apa pun yang hendak dilakukan kaum muslimin mukmin di kehidupannya haruslah berlandaskan, hanya kepada Neraca Syariat.
Karenanya, Allah azza wa jalla dengan tegas menyatakan di dalam firman-Nya,

•           •    •    •                 
"…Sampai pada saat kalian lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah [Rasulullah saw] sesudah Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian sukai. Di antara kalian ada orang yang menghendaki dunia, dan di antara kalian ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kalian dari mereka untuk menguji kalian, dan sesunguhnya Allah telah mema'afkan kalian. dan Allah mempunyai karunia [yang dilimpahkan] atas orang orang yang beriman" (Qs.Ali Imrân 152).

Ayat di atas merupakan teguran bagi kaum muslimin yang tidak mengikuti komando Rasulullah saw. Akibatnya, mereka mengalami kekalahan yang telak dari pasukan kaum kafir. Salah satu pengaruh langsung dari ketidak-taatan kepada Nabi saw itu, adalah terjadinya perselisihan di dalam berebut harta rampasan perang. Jika demikian, maka yang terjadi adalah terdapatnya gejolak nafsu syahwat yang senantiasa menginginkan dituruti apa yang telah menjadi kehendak-kehendaknya. Karenanya, Allah swt menyatakannya, sebagai kesalahannya mereka sendiri. Sebagaimana dinyatakan-Nya,

         
Kalian berkata, "Dari mana datangnya [kekalahan] ini?" Katakanlah, "Itu dari [kesalahan] diri kalian sendiri". (Qs.Ali Imrân: 165).

Harus Bersatu
Adalah perintah-Nya, supaya kita bersatu dalam kesatuan yang kuat, solid, lagi kompak, dengan shaff barisan yang lurus dan rapat. Sebagaimana telah diperintahkan-Nya,

                         •          
"Dan, berpeganglah kalian semuanya kepada tali [agama] Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai. Dan, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu [masa Jahiliah] bermusuh-musuhan. Maka, Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara. Dan, kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk" (Qs.Ali Imrân: 103).

Karenanya, kita dikecam oleh-Nya jangan sampai menyerupai kaum yang berpecah-belah. Dalam firman-Nya,
              
"Dan, janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat" (Qs.Ali Imrân: 105).

Berpecah-Belah Itu Tidak Bahagia
Takwa kepada Allah dan memperbaiki hubungan baik dengan sesama muslim, sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Karenanya, Allah swt telah memerintahkan,

•           
"…bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesama kalian. Dan, taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman" (Qs.al-Anfâl: 1).

Ayat di atas menerangkan, bahwa kebahagiaan hidup itu di antaranya, adalah: 1).Bertakwa kepada-Nya; 2).Bersaudara dengan sesama muslim mukmin; 3).Taat kepada Allah; 4).Taat kepada Rasulullah; dan 5).Menjadi mukmin.
Oleh sebab itu, dalam firman-Nya yang lain dinyatakan,

       •   
"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah, [perbaikilah hubungan] antara kedua saudara kalian itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kalian mendapatkan rahmat" (Qs.al-Hujurât: 10).

Jelaslah berdasarkan ayat di atas, seorang hamba yang berpecah-belah itu tidak akan bahagia. Dikarenakan, ia tidak akan memperoleh rahmat-Nya. Betapa celakanya jika seorang hamba di dunia ini tidak mendapatkan rahmat-Nya. Sementara, untuk memperoleh rahmat-Nya, seseorang itu harus memenuhi syarat, di antaranya: 1).Beriman; 2).Bersaudara; 3).Memperbaiki persaudaraan; dan 4).Takut kepada Allah.
Karenanya, Allah swt sangat mengecam seseorang atau suatu komunitas Islam yang telah melakukan adu domba, fitnah, kekerasan, anarkisme, teror, dan segala bentuk makar lainnya yang mengakibatkan kaum muslimin mukmin berpecah-belah ke dalam bentuk golongan-golongan. Allah swt telah menyatakan,

•                •   
"Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama-Nya, dan mereka menjadi golongan [fanatik kepada pemimpinnya] tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu [Muhammad] kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah. Kemudian, Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat" (Qs.al-An'âm: 159).

Pemecah-belah adalah mereka yang telah keluar dari bingkai keluarga besar Islam; ahlus sunnah wal jamaah. Di samping secara nyata pula mereka telah merusak ukhuwah islamiah. Mereka adalah para ahli bid'ah yang akan terus selalu ada di setiap kurun dari kehidupan kaum muslimin, di setiap jamannya. Karenanya, waspadalah! Dan, kita jangan sampai ikut-ikutan keluar dari keluarga besar Islam dengan meninggalkan ukhuwah islamiah.
Seperti telah disifati oleh sahabat Ibnu Abbas ra, "Wajah orang-orang ahlus sunnah wal jamaah itu sangatlah putih [berkilau cahaya]. Sedangkan wajah orang-orang yang melakukan bid'ah, dan tidak mau bersatu itu hitam [tidak menampakkan aura wudlunya].
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya di atas. Dan, segeralah berbenah diri untuk menjadi manusia sukses, seperti mereka yang telah mendahului kita. Dengan dasar pemikiran, "Marilah saling memperkuat tali persaudaraan dan menghindari perpecahan. Seperti telah dipesankan Nabi saw, "Wajiblah bagi kalian bersatu, karena sesungguhnya kekuasaan Allah ada bersama jamaah." Dan, renungkan juga sabda beliau saw, "Sesungguhnya setan itu bersama orang yang sendirian. Karena setan sangat tidak mungkin berada di antara dua orang" (kedua hadis ini alfaqir temukan pada Kitâb adl-Dlawâbithusy Syar'iyyah li Tahqîqil Ukhuwatil Imâniah; Dr.Sa'id Abdul'adhim).
Sebab, dengan CC terhadap ukhuwah islamiah kita nantinya akan dianugerahi oleh-Nya dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa mengikat diri dengan Neraca Syariat, insya Allah. []




Mengikat Dengan Neraca Syariat

Mengikat diri dengan Neraca Syariat, adalah seorang hamba yang di kehidupannya mulai bangun tidur hingga tidurnya kembali, sepanjang hayat masih dikandung badan; senantiasa berusaha sekuat tanaga dan bulat untuk bersikap sami'nâ wa atha'nâ tsummas-tatha'nâ terhadap kekuatan aturan Ilahiah dan syariat Rasulullah saw yang berupa al-qur`an dan al-mizan; yang dalam pengamalannya jika terdapat kebuntuan berpikir menggunakan fasilitas bantu berupa: ijma', qiyas, dan ilmu pengetahuan diniah.
Sebab, sangat disadarinya, jika di kehidupan ini seorang hamba itu keluar dari Neraca Syariat, pasti kehidupannya akan menuai kehancuran dan malapetaka yang bersifat masal. Karenanya, seorang hamba yang berusaha mengikat dengan Neraca Syariat, ia merupakan sosok seorang hamba yang berusaha hendak CC dengan pengamalan Neraca Syariat secara transformatif-implementatif yang progresif-evaluatif.
Dinul Islam telah mengajarkan kepada kita, sebagai kaum yang telah beriman kepada-Nya. Apabila telah terjadi perselisihan atau konflik di dalam kehidupan ini, maka harus segera kembali kepada al-qur`an dan al-mizan. Di samping itu harus dengan sekuat tenaga membuang segenap kehendak hawa nafsu yang berusaha menyelimuti jiwa kita. Dengan kaidah yang berbunyi, "Udzkur li-nafsihi syarran, wadz-kur min ghairihi khairan;" ingatlah kepada dirinya segala keburukan-(nya), dan ingatlah terhadap orang lain segenap kebaikan-(nya). Dikarenakan, Allah swt telah menyatakan dalam firman-Nya,

               
"Mengenai sesuatu apa pun kalian berselisih. Maka, putusannya [terserah] kepada Allah. [Yang mampu memutuskan segala perkara dengan benar lagi adil] hanyalah Allah, Rabb-ku. Hanya kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan kepada-Nya-lah aku kembali" (Qs.asy-Syûrâ: 10).

Ayat di atas mengandung pesan, bahwa setiap terjadi perselisihan di antara sesama muslim. Maka, hawa nafsunya segera diredam jangan sampai ikut-ikutan ngompori. Sehingga hati dan pikiran tidak bisa lagi menjadi jernih di dalam mengambil keputusan. Sebab, telah digelayuti segenap kehendak hawa nafsunya. Maka, dengan lahirnya sebuah keyakinan bahwa hanya Allah-lah yang mampu mengambil keputusan dengan benar lagi adil, gejolak yang terdapat dalam jiwa para hamba yang berselisih akan teredam dengan kaidah alfaqîr di atas, "Udzkur li-nafsihi syarran, wadz-kur min ghairihi khairan"; insya Allah.
Jadi, tidak ada jalan keluar terbaik, jika telah terjadi perselisihan di antara sesama muslim, kecuali hanya kembali kepada al-qur`an dan al-mizan. Dalam hal ini Rasulullah saw senantiasa melantunkan doanya,

"Ya Allah, Rabb Jibril; Mika`il; dan Israfil, Dzat yang menciptakan langit dan bumi; Dzat yang Mahamengetahui yang ghaib dan yang terlihat, Engkau memberikan hukum kepada para hamba Mu dalam permasalahan yang mereka perselisihkan. Maka, tunjukilah kami dalam setiap perkara yang kami perselisihkan menuju kebenaran dengan seijin Mu. Sesungguhnya Engkau memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus" (Hr.Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud).

Sebagai CC-nya terhadap ahlus sunnah wal jama'ah dan ukhuwah islamiah, maka Syaikh Muhammad Fadlullah az-Zamani dalam tawajuhnya selalu menyenandungkan doa persaudaraannya terhadap sesama muslim mukmin, sebagai berikut,

رَضِيْنَا بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبَيًا وَرَسُوْلاً وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا وَحُكْمًا وَبِالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ إِخْوَانًا، [يَارَبَّنَا 4×] إِهْدِنَا لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِمٍ، وَعَلَى مَا أَكْمَلْتَ لَنَا مِنْ دِيْنِ اْلإِسْلاَمِ
"Kami ridla, Allah Rabb kami. Kami ridla, Islam sebagai din kami. Kami ridla, Nabi Muhammad [saw] sebagai nabi dan rasul kami. Kami ridla, Kitab Suci al-Qur`an sebagai pedoman dan hukum kami. Kami ridla, kaum muslimin dan muslimat sebagai saudara kami. [Wahai Rabb kami 4x] tunjukilah kami dalam setiap perkara yang kami perselisihkan menuju kebenaran dengan seijin Mu. Sesungguhnya Engkau memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus. Dan, [Ya Allah] Engkau karuniakanlah buat kami kesempurnaan dari berdinul Islam kami."

Dahulukan Sunnah
Mendahulukan sunnah sebagai hujjah, ketimbang pendapat para imam atau ulama, hal itu harus dibiasakan. Itu bukan berarti menafikan peran para imam atau para ulama kita. Akan tetapi kita harus berprinsip, bahwa pendapat para imam atau para ulama itu, tidak lain bertujuan agar syariat Islam benar-benar dapat membumi dan mampu memberikan kerahmatan buat alam semesta.
Karenanya, pendapat para imam atau para ulama yang dipakai adalah: 1).Yang paling dekat penafsirannya dengan Neraca Syariat; 2).Yang dapat dikerjakan oleh umat karena sifat kesederhanaannya, keluwesannya, dan kemudahannya; dan 3).Yang sesuai dengan situasi dan kondisi umat di mana tinggal dan beraktifitas.
Di samping itu seorang muslim harus CC dengan firman-Nya,
        
"…dan, sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong [agama]-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa" (Qs. al-Hajj: 40).

Menghidupkan sunnah Nabi saw, hal itu sama dengan menolong agama-Nya. Maka, merupakan kewajiban bagi segenap kaum muslimin mukmin untuk selalu berusaha menghidupkan sunnah-sunnah beliau saw. Hanyalah orang-orang yahudi, nashrani, kaum kafir, kaum munafik, dan ahli bid'ah yang sangat membenci jika sunnah-sunnah Nabi saw itu kembali menjadi sebuah habits dan tradisi di kehidupan kaum muslimin mukmin. Inilah yang semestinya harus segera disadari oleh segenap kaum muslimin mukmin, di mana pun mereka hidup dan tinggal.

Tidak Boleh Bertentangan Dengan Neraca Syariat
Konsep dasar Neraca Syariat, adalah tertanamnya sikap mental iman dan perilaku mukmin yang terejawantahkan ke dalam kehidupan sehari-hari, yang mana hal itu akan berbuah pada kefakihan dinul Islam, akhlak yang mulia, adab yang terpilih, dan kesehatan dlahir-bathin. Dan, inilah sebenarnya yang harus dijadikan korikulum pendidikan di setiap keluarga muslim di mana pun berada. Di mana seorang anak dari generasi muda Islam, haruslah: 1).Tafaqquh fid-dîn (memahami dinul Islam, red); 2).Akhlâqul karîmah (budi pekerti yang mulia, red); 3).Adâbul musthafawiah (tatakrama yang terpilih, red); dan 4).Sehat jasmani dan ruhani, guna menguasai sains, skill, dan finansial.
Artinya, seorang hamba yang telah beriman kepada Allah azza wa jalla. Maka, sebagai mukmin di kehidupan kesehariannya akan memiliki beberapa kelebihan yang sangat menonjol, yakni: 1).Semakin memahami agama Allah (dinul Islam, red); 2).Budi pekertinya semakin bagus; 3).Tatakramanya semakin indah; dan 4).Akan dikaruniai kesehatan dlahir-bathin, sehingga mampu menundukkan dunia dengan menciptakan peradaban yang diridlai-Nya.
Karenanya, apa pun bentuknya dan bagaimana pun alasannya, seorang muslim mukmin di kehidupannya ini harus tetap terikat dengan Neraca Syariat. Dan, setiap keputusan yang ditetapkan di dalam kehidupan umat manusia akan membawa petaka kemanusiaan, bahkan akan mendatangkan musibah, jikalau ketetapan itu keluar dari bingkai Neraca Syariat.
Suatu misal, sila pertama dari ideologi negara kita (Pancasila, red), adalah berbunyi, "Ketuhanan Yang Maha Esa." Ini sebuah produk pikir dan filsafat yang bagus dan benar. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, "Sanggupkah para generasi penerus republik ini mengamankan buah pikiran yang cerdas tersebut, ke dalam bentuk produk-produk hukum yang tidak bertentangan dengan Neraca Syariat?"
Padahal sebenarnya prinsip dasar Neraca Syariat itu sangat sederhana: 1).Terciptanya kedamaian hidup di kehidupan umat manusia; 2).Terlindunginya hak-hak sebagai seorang hamba Allah; 3).Terlaksananya kewajiban-kewajiban asasi dari setiap hamba-Nya.
Karenanya, siapa pun tidak perlu ketakutan dengan eksistensi Neraca Syariat. Justru seharusnya mendukungnya, agar Neraca Syariat benar-benar menjadi payung damai di kehidupan umat manusia. Suatu misal, "Mengapa harus takut adanya hukum rajam? Hukum potong tangan? Dan, hukum pancung?"
Ketetapan Neraca Syariat tidak akan menetapkan hukum secara sembarangan. Tidak mungkin seseorang yang tidak bersalah akan dirajam, dipotong tangannya, dan dipancung lehernya.
Jadi, jika sementara ada sekelompok orang yang takut terhadap eksistensi Neraca Syariat. Itu hanyalah sebuah ketakutan yang tidak beralasan. Siapa yang berkepentingan untuk menggagalkan eksistensi Neraca Syariat tersebut, tidak lain mereka adalah golongan ahli bid'ah, kafirin, munafikin, dan zionisme isternasional (kelompok yahudi ekstrimis-teroris, red).
Karenanya, untuk meyakinkan kemanfaatan akan Neraca Syariat, tidak ada cara lain kecuali dengan menanamkan "rasa iman". Sedangkan untuk menumbuhkan "rasa iman", Rasulullah saw menumbuh-kembangkan ruhaniah umat manusia --khususnya para sahabat-- dengan memiliki "rasa ber-qur`an". Dan, di dalam penanaman "rasa iman" dan "rasa ber-qur`an" itu tidak mungkin berhasil jika tidak disertai dengan pengurbanan yang mendalam di dalam memberikan keteladanan (qudwatul hasanah). Demikianlah, pola pendidikan madrasatun nabawiah, sehingga melahirkan produk-produk manusia unggul sekaligus manusia mulia (Human Elyon), yang memiliki kualifikasi sebagai "manusia penghuni surga".
Marilah kita semak bersama pengakuan sahabat Nabi saw yang bernama Jundab ra, "Kami mempelajari iman, dan (mempelajari) al-qur`an. Lalu, keimanan kami semakin tebal."
Atau, pengakuan sahabat Ibnu Umar ra, "Kita hidup hanya sekejap. Sebelum diturunkan al-qur`an. Setiap kita diberikan keimanan terlebih dahulu. Ketika turun al-qur`an kita pun mempelajari halal dan haram, larangan dan perintah-perintah. Kewajiban kita adalah bersandar padanya."
Karenanya, imanilah dua ayat al-qur`an di bawah ini, supaya kita dianugerahi mengikat kuat dengan Neraca Syariat; insya Allah,

                 •           
"Dan, demikianlah Kami wahyukan kepadamu [Muhammad] wahyu [al-qur`an] dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui, "Apakah al-kitab [al-qur`an]". Dan, tidak pula mengetahui, "Apakah iman itu,?" Tetapi, Kami menjadikan al-qur`an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan, sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus" (Qs.asy-Syûrâ: 52).

Juga, firman-Nya yang berbunyi,

                             •        
"Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum hingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan, apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum. Maka, tak ada yang dapat menolaknya. Dan, sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka, selain Dia" (Qs.ar-Ra'd: 11).

Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya, dan orang-orang sukses tersebut di atas.
Dan, segeralah berbenah diri untuk menjadi manusia sukses, seperti mereka yang telah mendahului kita. Dengan dasar pemikiran, "Kebenaran itu hanya ada pada Neraca Syariat. Suatu saat pasti akan muncul kembali. Kebenaran pasti menang. Kebenaran sangat berbeda dengan kebatilan. Kebatilan pasti kalah. Karenanya, ikatlah diri kita dengan Neraca Syariat. Dengan cara menanamkan "rasa ber-iman" dan "rasa ber-qur`an". Sehingga kita akan mendapatkan pertolongan dan ridla-Nya".
Sebab, hanya dengan mengikat kepada Neraca Syariat secara kuat lagi bulat, kita nantinya akan dianugerahi oleh-Nya dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa sidqul-lisân, insya Allah. []

Shidqul Lisân

Shidqul lisân, adalah benar dalam berkata. Artinya, di setiap perkataan selalu benar, jauh sekali dari perkataan yang bathil. Dalam kondisi apa pun selalu berkata benar, baik di saat sedang marah atau dalam keadaan lapang dada.
Memang kalau hati sedang lapang, sebagian besar seseorang itu dapat mencegah dari lisan tercela. Namun sedikit sekali seseorang itu dapat mencegah dari lisan yang buruk dikala sedang marah. Karenanya, telah tercatat dalam sejarah umat manusia, hanya para hamba yang terpilih saja yang dapat memiliki shidqul lisân.
Seperti telah diteladankan Nabi saw di keseharian hidupnya, di mana beliau selalu memohon kepada Allah azza wa jalla,

"Ya Allah, sungguh aku memohon khasyyah [perasaan takut yang sangat] kepada Engkau, baik dalam keadaan ghaib maupun terang-terangan. Dan, aku memohon perkataan yang benar kepada Engkau, baik ketika marah maupun ketika tidak marah" (Hr.Ahmad, Nasâ`i, Ibnu Hibbân, dan Hâkim).

Rasulullah saw, adalah sosok manusia sempurna. Beliau hidupnya tanpa cacat. Bahkan, beliau tidak tersentuh oleh dosa apa pun. Namun di keseharian hidupnya, beliau masih memohon kepada-Nya, agar dianugerahi sikap mental khasyyatullah dan sidqul lisan. Lalu, bagaimana dengan kita? Yang setiap harinya banyak lalai dengan dzikrullah, dzikrul maut, dan berkata ceroboh!?
Perhatikan saja, sekarang ini betapa banyaknya ketika manusia sedang marah, tega membunuh; berkhianat dengan teman karib; menculik sahabat sendiri; menyiksa; dan yang paling ringan berkata dengan perkataan yang kotor (misuh; bhs Jawa, red). Kesemuanya ini menandakan bahwa pelakunya telah mengikuti hawa nafsunya. Dan, yang lebih memprihatinkan, kaum muslimin juga ikut-ikutan budaya rendah tersebut.
Mencaci, memaki, menghujat, dan mencemo`oh itu bukanlah kebiasaan kaum muslimin. Bahkan, dinul Islam sangat melarang segenap perilaku di atas. Perilaku-perilaku tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam, yang benar-benar memanusiakan manusia, meskipun di dalam memanusiakan manusia itu melalui lisannya. Yakni, ditunjukkan dengan perkataannya yang benar lagi lurus, yang sejalan dengan Neraca Syariat.
Dinul Islam juga mengajarkan, sekali pun "marah" terhadap seseorang karena sesuatu hal. Namun hal itu tidak boleh menjadikan dirinya mendlalimi orang tersebut. Prinsipnya, "Orang yang mendlalimi, tidak boleh dibalas dengan kedlaliman." Sebagaimana telah dinyatakan dalam firman-Nya,

          •            •       
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan [kebenaran] karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan, janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang kalian kerjakan" (Qs.al-Mâ`idah: 8).

Berpeganglah al-Qur`an & al-Mizan
Jika kita berkehendak mengamalkan sidqul lisan, tidak ada neraca yang terbaik lagi benar, kecuali al-qur`an dan al-mizan. Karenanya, seorang muslim harus menjaga diri dan kepribadiannya di kehidupan ini agar tetap dengan prinsip-prinsip sidqul lisan.
Seperti telah disabdakan Nabi saw, bahwa perkataan yang paling benar, adalah al-qur`an. Tidak ada sebaik-baik petunjuk, kecuali al-mizânusy syarîf Rasulullah saw. Karenanya, siapa pun mereka, keluar dari kerangka al-qur`an dan al-mizan, otomatis mereka telah keluar dari kebenaran dan keluar dari petunjuk Nabi saw.
Orang-orang atau komunitas yang keluar dari kerangka al-qur`an dan al-mizan. Sangat mungkin mereka akan terjerembab ke dalam lembah kesesatan. Karenanya, segala sesuatu itu terukur dari kegiatan yang buruk yang telah dilakukan oleh seorang hamba. Sedangkan, keburukan itu sendiri terukur dengan ketidak-patuhan atau ketidak-taatan terhadap "dua pusaka" abadi Nabi saw tersebut. Seperti telah disabdakan Nabi saw,

فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ h، وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
"Maka, sungguh yang paling benar sebuah perkataan itu Kitabullah. Adapun sebaik-baik petunjuk, petunjuk Rasulullah Muhammad saw. Seburuk-buruk persoalan itu, persoalan yang baru [yang buruk]. Setiap yang baru [bersifat buruk], adalah bid'ah. Setiap bid'ah [yang bersifat buruk], adalah sesat. Setiap kesesatan pasti berada di neraka" (al-Hadîsy Syarîf).

Hadis ini adalah penjelasan dari firman-Nya,
.
            
"Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu [al-qur`an] sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah rubah kalimat-kalimat-Nya. Dan, Dia-lah yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui" (Qs.al-An'âm: 115).

Jelaslah, bahwa ajaran dinul Islam, khususnya mengenai kedudukan (maqâm) sidqul lisan, merupakan sesuatu yang sangat penting untuk ditradisikan di kehidupan sosial kaum muslimin mukmin. Sebab, sidqul lisan itu sangat dekat dengan keadilan. Dan, keadilan itu sangat dekat dengan takwallah. Sebagaimana telah dinyatakan dalam firman-Nya surat al-mâ`idah ayat ke-8, yang telah alfaqîr sebutkan di atas.
Di samping itu, Allah azza wa jalla juga menyeru kepada segenap kaum mukminin dengan firman-Nya,

                                  •     
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah; biar pun terhadap diri kalian sendiri, atau ibu-bapak dan kaum kerabat kalian, jika ia kaya atau pun miskin. Maka, Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka, janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan, jika kalian memutar-balikkan [kata-kata], atau enggan menjadi saksi. Maka, sesungguhnya Allah adalah Mahamengetahui segala apa yang kalian kerjakan" (Qs.an-Nisâ`: 135).

Berdasarkan ayat di atas maka yang diseru untuk memiliki maqam sidqul lisan, adalah orang-orang yang beriman kepada Allah. Adapun selain kaum mukminin berada di luar tanggung jawab-Nya. Sebab, sudah dapat dipastikan orang-orang yang telah kafir terhadap-Nya, sudah dapat dipastikan di kehidupan sosial kesehariannya tidak memiliki maqam sidqul lisan. Maka, dinul Islam sangat melarang orang kafir itu dijadikan pemimpinnya.
Karenanya, terhadap siapa pun, kita sebagai orang yang telah beriman kepada-Nya harus berani menegakkan sidqul lisan, tanpa pandang bulu. Dengan semangat bahwa yang kita lakukan di dalam penegakan sidqul lisan, semata karena-Nya. Ingat hawa nafsu tidak boleh turut serta dalam penegakkan sidqul lisan. Sebagaimana secara nyata telah ditegaskan-Nya,

     
"Maka, janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran" (Qs.an-Nisâ`: 135).

Bahkan, dalam sebuah hadis qudsi, Nabi saw bersabda, Allah azza wa jalla telah berfirman,

قُلِ الْحَقَّ، وَلَوْ كَانَ مُرًّا
"Ucapkan kebenaran itu, sekalipun terasa pahit" (al-Hadîsul Qudsiah).

Memang berperilaku sidqul lisan itu sangat berat, lagi banyak tantangan. Tapi, bagi seorang hamba yang menghendaki "terpilih" di sisi-Nya. Seberat apa pun, dan sebesar apa pun tantangannya, tetap dihadapinya dengan penuh kesabaran dan rasa optimis, bahwa Allah pasti akan menolongnya. Demikianlah seseorang yang telah percaya diri dengan Allah (tawakkalu 'ala-llâh). Bahwa, perjuangan di jalan Allah pasti yang akan memperoleh kemenangan dan kebahagiaan yang abadi. Maka, di dalam menegakkan kebenaran dan keadilan tidak perlu takut kepada siapa pun. Sebab, rasa ketakutan itu hanya wajib dialamatkan kepada-Nya, bukan terhadap makhluk-Nya.
Hilangnya maqam ruhaniah yang berupa sidqul lisan, hal itu akan menjadikan seseorang, atau suatu bangsa mengalami kehancuran. Dikarenakan, semua lini kehidupan orang itu, bangsa tersebut, pasti akan menjadi carut-marut. Dan, kebijakan pun juga akan mengalami tumpang-tindih.
Suatu misal, seharusnya bertugas menjaga hutan. Justru mereka sendiri yang menebang. Semestinya bertugas menjaga pulau-pulau. Justru pasirnya malah dijual ke negara tetangga. Seharusnya menegakkan kebenaran dan peradilan. Justru mereka bermain-main dengan mafia suap peradilan. Tugasnya jadi wasit. Justru ikut "main" juga. Amanahnya menjadi wakil rakyat. Justru rakyat dijadikan bemper untuk mengais kepentingan pribadi. Menerima sumpah sebagai pejabat. Justru "menjual" jabatannya. Tugasnya menjadi muballigh, da'i, dan ulama. Justru "menggadaikan" akhirat dengan dunia, "menjual" ayat demi menuruti hawa nafsunya. Dan, masih banyak lagi perbuatan-perbuatan ahli neraka yang dikerjakan oleh seseorang yang meninggalkan maqam sidqul lisan; na'udzu bil-lâhi min dzâlik.
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya di atas. Lalu, bersegeralah berbenah diri untuk menjadi manusia sukses. Dengan dasar pemikiran, "Dengan memiliki maqam ruhaniah sidqul lisan. Penegakkan kebenaran akan menjadi sebuah tradisi berkeadilan di kehidupan sosial keseharian kaum muslimin mukmin. Hanya dengan berkeadilanlah seorang hamba itu sangat dekat dengan takwallah. Seorang manusia muttaqin pasti hidupnya berbahagia, baik di dunia maupun nanti di akhirat kelak".
Maqam ruhaniah sidqul lisan merupakan puncak dari maqamat hamba terpilih (maqâmatul ashfiyâ`). Karenanya, jika segenap maqam di dalam maqamatul ashfiya` itu dimiliki oleh seorang mukmin muslim, maka dirinya akan memiliki maqam sidqul lisan; insya Allah. []


Taubat

Taubat, itulah yang harus kita lakukan dengan segera. Lalu, kita mesti menjaganya dengan istiqamah lagi mudawamah. Betapa hina diri kita, apabila wafat sewaktu-waktu masih berlumuran dosa dan maksiat. Sementara, pintu taubat telah tertutup rapat. Apa yang dapat kita harap dari semuanya. Kerugian besar telah di depan mata, mati dalam kondisi su'ul khatimah, na'udzu bil-lâhi min dzâlik.
Peringatan dari-Nya telah datang kepada kita silih berganti. Demikianlah cermin kasih-sayang Allah azza wa jalla kepada para makhluk-Nya. Juga buat kita yang telah beriman kepada-Nya dan telah beriman dengan rasul-Nya.
Jawabannya, segeralah kembali ke jalan-Nya yang diridlai-Nya. Sebab, antara yang satu dengan yang lain tidak dapat saling melakukan pembelaan atas adzab Allah. Seperti telah disabdakan Rasulullah saw,

"Wahai seluruh orang-orang quraisy, tebuslah diri kalian sendiri [dari neraka]! Aku tidak punya kekuasaan sedikit pun untuk membela kalian dari adzab Allah.
Wahai Bani Abdu Manaf, aku tidak punya kekuasaan sedikit pun untuk membela kalian dari adzab Allah.
Wahai Bani Abbas ibnu Abdulmuththalib, aku tidak punya kekuasaan sedikit pun untuk membela kalian dari adzab Allah.
Wahai Shafiah, bibi Rasulullah, aku tidak punya kekuasaan sedikit pun untuk membelamu dari adzab Allah.
Wahai Fathimah binta Muhammad, mintalah hartaku sesukamu, tetapi aku tidak punya kekuasaan sedikit pun untuk membelamu dari adzab Allah" (Hr.Bukhari & Muslim).

Apa yang telah diserukan, seperti yang tertera dalam hadis di atas, menunjukkan bahwa kelak di hadapan-Nya kita harus mempertanggung-jawabkan segenap amal perbuatan yang telah kita lakukan secara sendiri-sendiri. Bahkan, kepada puterinya sendiri, Nabi saw tidak dapat membelanya dari adzab Allah swt.

Bertaubatlah Segera
Telah berpesan Rasulullah saw,

"Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah, dan mintalah ampun kepada-Nya. Karena hatiku saja dipersempit dan ditutupi, sehingga aku meminta ampun kepada Allah ta'âlâ sebanyak 100x setiap hari" (Hr.Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud).

Dengan memahami hadis Nabi saw tersebut di atas, maka kita harus sadar bahwa yang dapat menyelamatkan diri kita dari siksa neraka-Nya, adalah taubat kita yang tulus ikhlas kepada-Nya dari segenap dosa, maksiat, dan kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak.
Taubat yang tulus ikhlas, adalah kembali dari jalan kesesatan menuju kepada jalan dinul Islam yang diridlai-Nya. Tidak bosan-bosannya kita terus menyesali diri atas segenap perilaku dosa, maksiat, dan salah yang pernah kita lakukan. Menangis dan terus menangis, di samping terus berusaha untuk segera meninggalkan segenap perbuatan yang telah ditaubatinya. Seraya menutup rapat-rapat seluruh jalan dan celah yang dapat menimbulkan perbuatan dosa dan maksiat. Karena seorang mukmin harus yakin, bahwa janji-Nya itu pasti benar. Yakni, mau menerima taubat para hamba-Nya yang segera bertaubat atas segenap dosa, durhaka, maksiat, dan kesalahannya. Seperti telah dijelaskan Rasulullah saw dalam sebuah hadis qudsi,

"Hai para hamba Ku, sesungguhnya kalian selalu berbuat dosa pada malam dan siang hari. Sedangkan Aku mengampuni dosa-dosa semuanya. Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian" (Hr.Muslim, Baihaqi, dan Hakim).

Juga, diterangkan dalam hadis qudsi yang lainnya,

"Hai anak Adam, selama kalian berdoa dan berharap kepada Ku, niscaya Aku akan memberi ampunan kepada kalian atas semua dosa yang kalian lakukan tanpa Ku-pedulikan.
Hai anak Adam, seandainya dosa-dosa kalian mencapai ketinggian langit, lalu kalian memohon ampun kepada Ku. Niscaya Aku akan mengampuni semua dosa yang telah kalian lakukan tanpa Ku-pedulikan.
Hai anak Adam, seandainya kalian datang kepada Ku dengan membawa dosa-dosa sepenuh bumi. Kemudian, kalian datang kepada Ku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun, niscaya Aku akan datang dengan membawa ampunan sepenuh bumi" (Hr.Tirmidzi).

Wahai saudaraku, prinsipnya adalah kita jangan sampai menunda-menunda taubat kita kepada Allah swt, dan juga jangan menunda-nunda untuk memohon maaf bila terdapat kesalahan terhadap sesama manusia; terutama sesama muslim mukmin. Sebab, seorang muslim dikatakan baik, jikalau di kehidupan kesehariannya dia tidak menunda-nunda untuk melakukan perbuatan baiknya.

Milikilah Amalul Khair
Seorang manusia sekarat itu sesuai dengan kebiasaannya. Maka, betapa sulitnya untuk diajarkan (talqin) mengucapkan kalimat tauhid, "Lâ ilâha illa-llâhu muhammadur rasûlullâh"; jika seseorang itu tidak memiliki kebiasaan yang baik lagi benar di kehidupannya menurut Neraca Syariat.
Wahai manusia, masih beranikah kalian melakukan pengingkaran-pengingkaran terhadap segenap ke-Esa-an Allah yang Mahakuasa. Di mana Allah swt telah memfirmankan kalam-Nya,

     •   •           •     •  •  •  
"Dan, sesungguhnya kalian datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kalian Kami ciptakan pada mulanya. Dan, kalian tinggalkan di belakang kalian [di dunia] apa yang telah Kami karuniakan kepada kalian. Dan, Kami tiada melihat beserta kalian pemberi syafa'at yang kalian anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kalian. Sungguh telah terputuslah [pertalian] antara kalian dan telah lenyap dari pada kalian apa yang dahulu kalian anggap [sebagai sekutu Allah]" (Qs.al-An'âm: 94).

Karenanya, adalah kesalahan terbesar di kehidupan seorang manusia, jikalau dirinya beranggapan bahwa ia dibiarkan saja oleh-Nya. Dan, lebih salah lagi, jikalau seorang beranggapan bahwa segenap amal ibadahnya telah diterima-Nya. Inilah yang disinyalir-Nya di dalam firman-Nya,

        
"Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya. Karena itu mereka tidak beriman kecuali sebagian kecil dari mereka" (Qs.an-Nisâ`: 155).

Karenanya, Allah azza wa jalla juga menyifati mereka dengan firman-Nya,

                  
"Maka, apakah kiranya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka" (Qs.Muhammad: 22-23).

Sebaliknya, bagi orang yang memiliki pemahaman atas dinul Islam, justru semakin tenggelam dalam ketakutan ketika hidupnya semakin 'dimudahkan-Nya'. Sebab, di dalam dirinya muncul kekhawatiran, jangan-jangan hal itu bentuk istidraj dari-Nya, agar dirinya semakin lalai dan akhirnya jauh dari kehadiran Allah di dalam hatinya.
Karenanya, seorang muslim mukmin senantiasa melakukan pengawasan yang kuat lagi akurat terhadap kesalahannya sendiri, sambil terus melakukan hal-hal yang dapat mendukung taubatan nasuha-nya, seperti:
1. Merasa menjadi orang asing.
2. Merasakan kematian segera datang.
3. Banyak mengingat kematian dan sekaratul maut.
4. Merasakan pedihnya siksaan Allah swt.
5. Banyak mengingat nikmat-nikmat yang telah dikaruniakan-Nya.
6. Banyak memperhatikan dan merenungkan ke-Esa-an Allah azza wa jalla yang Mahakuasa.
7. Banyak belajar dari orang-orang shalih yang telah menjaga taubatan nasuha mereka.
8. Ainul yaqin, ilmul yaqin, dan haqqul yaqin dengan keluasan rahmat Allah azza wa jalla.
Sekaranglah waktunya untuk segera kembali kepada jalan-Nya. Jalan yang diridlai-Nya. Yakni, jalan mendaki yang penuh tantangan. Di mana tak jarang banyak manusia yang jatuh ke dalam jurang dan lembah nista akibat dari pilihan-pilihan yang salah. Yaitu, jalan kesesatan, yang menjauhkan dirinya dari-Nya.
Karenanya, segera penuhi firman-Nya dengan keimanan dan keyakinan yang murni, yang berbunyi,

       •        •         •                  •    
"Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha [taubat yang semurni-murninya]. Mudah-mudahan Rabb kalian akan menutupi kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersamanya. Sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu"." (Qs.at-Tahrîm: 8).

Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan pelajaran dari segenap perilaku dan perbuatan yang telah dan pernah kita lakukan. Lalu, kita jadikan pembenahan-pembenahan dan perbaikan-perbaikan guna membangun kepribadian muslim mukminin dan mukmin muttaqin. Dengan dasar pemikiran, "Bertaubatlah sesegera mungkin. Tinggalkanlah segala perbuatan yang telah ditaubatinya dengan sikap penuh penyesalan. Dan, hanya bergantunglah kepada-Nya".
Sebab, dengan jalan yang demikianlah kita dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa taubatan nasuha, insya Allah.

لاَ إِلَهَ إِلاًَّ اللهُ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتِ، اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى سَكَرَاتِ الْمَوْتِ
"Tidak ada sesembahan yang berhak [disembah], kecuali [hanya] Allah. Sungguh pada maut itu [terdapat] sekarat. Wahai Allah, tolonglah aku terhadap sekaratul maut. []


Zuhud

Zuhud, adalah sikap mental seorang muslim mukmin baik lelaki maupun perempuan yang telah baligh, yang di kehidupan kesehariannya menjaga jarak dengan kepentingan duniawiah, disebabkan ia mengelola nafsunya jangan sampai berkecenderungan secara membabi-buta terhadap harta, kekayaan, kedudukan, dan populeritas. Baginya hidup di dunia hanyalah sarana untuk mendekatkan diri dengan Allah melalui apa saja yang telah dianugerahkan kepadanya.
Jadi, sikap mental zuhud bukanlah ajaran yang mengarahkan manusia untuk bersikap antipati terhadap kehidupan dunia, atau bersikap antipati dengan harta benda.
Karenanya, prinsip perilaku zuhud adalah tidak adanya sikap dan perilaku tamak (rakus) terhadap harta benda, atau di dalam memperoleh harta benda tersebut dengan menghalalkan segala cara.
Seorang zahid --orang yang berperilaku zuhud-- lebih memilih memperoleh kehidupan akhiratnya jauh lebih berbahagia dibandingkan kebahagiaan di dunia, meskipun ia tidak melalaikan kehidupan dunianya. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,

       •   
Katakanlah, "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun" (Qs.an-Nisâ`: 77).

Seorang zahid sangat menghendaki di kedua dunianya benar-benar bahagia. Baginya, kehidupan dunia hanyalah sarana untuk memperoleh kebahagiaan kehidupan akhirat yang kekal. Dia tidak mau terjebak dengan segala tipu daya dunia. Dan, dia pun juga tidak mau menurut setiap kehendak hawa nafsunya. Sebab, dia sangat mengimani lagi meyakini firman-Nya,

                
"Allah meluaskan rizeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia. Padahal kehidupan dunia itu [dibandingkan dengan] kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan [yang sedikit]" (Qs.ar-Ra'du: 26).

Memilih Yang Kekal
Seorang zahid sangat menyadari bahwa di sisi Allah-lah segenap kekekalan terjadi. Maka, dibandingkan dengan akhirat, kehidupan dunia bukanlah bandingannya. Segala apa yang ada di dunia hanyalah kesemuan yang pasti akan mengalami kehancuran, dan memiliki masa akhir. Dikarenakan, kehidupan dunia tidaklah langgeng. Inilah yang selalu dipertahankan oleh seorang zahid, yaitu sebuah sikap mental dan perilaku yang tidak silau dengan kehidupan duniawi. Karenanya, seorang zahid lebih memilih untuk menjaga jarak dengan kehidupan duniawiah, agar tidak larut dalam lembah kelalaian yang memabukkan lagi menina-bubukkan keimanan dan keyakinannya terhadap Allah jalla jalâluh.
Bagi seorang zahid, kehidupan dunia bukan kehidupan yang harus dibenci, apalagi sampai dijauhi. Baginya kehidupan dunia harus diisi dengan segala sesuatu yang bermanfaat, guna mendapatkan kebahagiaan di kedua kehidupan dunia maupun akhirat. Sebagaimana telah diingatkan-Nya,

                 
"Maka, sesuatu yang diberikan kepada kalian, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman. Dan, hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal" (Qs.asy-Syurâ: 36).

Seorang muslim yang berperilaku zuhud, niscaya ia akan dicintai oleh Allah swt, dan ia juga akan dicintai oleh makhluk-Nya. Karena seorang zahid merupakan sosok seorang hamba Allah yang di dalam hatinya sudah tidak memiliki lagi sifat-sifat tercela, seperti: hubbud dunya (menghalalkan segala cara); hubbud jâh (mengejar kedudukan); hubbul mâl (rakus); dan hubbusy syahawât (menuruti nafsu birahi).
Segenap potensi jahat di atas telah ia kelola sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah dinamika yang terahmati bersama dinul Islam.
Karenanya, hampir semua para nabiullah dan segenap utusan-Nya senantiasa mengajak kepada seluruh kaumnya untuk memperjuangkan kehidupan akhiratnya, yang jauh lebih kekal dan lebih langgeng di sisi-Nya. Sebagaimana direkam al-qur`an dalam surat al-mukmin ayat ke-39,

      •    
"Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan [sementara], dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal."

Dengan demikian dapatlah dipahami, jika di negeri ini kehidupannya telah menjadi carut-marut, ribut, dan anarkis. Hal itu lebih dikarenakan cara pikir dan pola pandang masyarakat bangsa ini telah bergeser. Yang semula lebih mengedepankan gotong-royong, tenggang rasa, dan tegur sapa. Seiring dengan perubahan pola pikir dan cara pandang di atas maka perilaku tersebut juga mengalami perubahan, di mana masyarakat bangsa ini sekarang jauh lebih: arogan; anarkis; vulgar; tamak; egois; dan cenderung kanibal.
Kesemuanya dapat terjadi dikarenakan masyarakat bangsa ini telah kehilangan jatidiri dan citra dirinya sebagai bangsa nusantara yang relijius. Di sinilah kita harus berani mengakui bahwa "air bah" westernisasi telah meluluh-lantakkan karakter asil bangsa Indonesia. Padahal seharusnya tidak perlu terjadi, jikalau para pemimpin di negeri ini mampu mendudukkan dirinya sebagai sosok panutan yang layak untuk diteladani oleh masyarakatnya.

Berlakulah Zuhud
Jika kita menghendaki negeri kita baik, maka jawabannya adalah segeralah berzuhud di kehidupan dunia ini. Apabila masyarakat bangsa ini dapat berlaku zuhud, maka tidak mungkin ada lagi yang namanya: perilaku korupsi; riswah; narkoba; mark up dana proyek; anarkisme; feodalisme; kapitalisme; dan materialisme.
Seseorang menjadi buruk perilakunya dan jahat sikap mentalnya, dikarenakan ia tidak berzuhud di kehidupannya. Di dunia ini yang ada, jika ditinjau dari sisi kemakhlukan, maka yang ada: Komunitas muslim; Komunitas kafir; dan Komunitas munafik. Yang pasti komunitas muslim sangatlah berbeda dengan dua komunitas yang lainnya. Sebab, komunitas muslim lebih memilih kebahagiaan yang langgeng di akhirat kelak, meski tidak melalaikan kehidupan dunia yang fana.
Maka, segera renungkanlah firman-Nya yang menerangkan,

        
"Tetapi kalian [orang-orang kafir] memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal" (Qs.al-A'la: 16-17).

Disamping itu renungkanlah uswah Rasulullah saw. Dikisahkan, dari sahabat Ibnu Abbas ra, dia berkata, "Umar bin Khaththab bercerita kepadaku, 'Aku pernah memasuki rumah Rasulullah saw. Yang saat itu Nabi saw sedang berbaring di atas selembar tikar. Setelah aku duduk di dekat Nabi saw. Aku baru tahu bahwa Nabi saw juga menggelar kain mantelnya di atas tikar, dan tidak ada sesuatu yang lain. Tikar itu telah menimbulkan bekas guratan di lambungnya. Aku juga melihat di salah satu pojok rumah Nabi saw ada satu takar gandum. Di dinding tergantung selembar kulit yang sudah disamak. Melihat kesederhanaan ini kedua mataku meneteskan air mata'."
"Mengapa kamu menangis, wahai Ibnul Khaththab?" Tanya Nabi saw.
"Wahai nabiullah, bagaimana aku tidak menangis jika melihat gurat-gurat tikar yang membekas di lambung engkau itu, dan almari yang hanya diisi barang itu? Padahal kisra dan kaisar hidup di antara buah-buahan dan sungai yang mengalir. Engkau adalah nabiullah dan orang pilihan-Nya. Sementara, almari engkau hanya seperti itu."
"Wahai Ibnul Khaththab, apakah kamu tidak ridla jika kita mendapatkan akhirat. Sedangkan mereka mendapatkan dunia?" (Hr.Ahmad, Hakim, dan Ibnu Hibban; demikian terdapat dalam Kitâb Mukhtashar Hayâtush Shahabah).
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan pelajaran dari segenap firman-Nya dan teladan Rasulullah saw tersebut di atas. Dan, segeralah berbenah diri untuk menjadi manusia yang terbaik, yakni seorang Human Elyon (Manusia Mulia). Dengan dasar pemikiran, "Berzuhudlah dengan segera. Tinggalkanlah segala perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Dan, yakinlah Allah pasti menyukai para hamba-Nya yang berperilaku zahid".
Sebab, hanya dengan jalan itulah kita nantinya akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa zuhud, insya Allah. []




Ridla

Ridla, adalah sikap mental seorang hamba yang senang dengan menjalankan atau menunaikan segenap perintah dan larangan-Nya, semata hanya berharap seganap apa yang telah dilakukannya diterima oleh Allah swt, Rasulullah saw senang, dan segenap makhluk-Nya telah mendapatkan curahan kasih-sayangnya.
Dengan kata lain, ridla merupakan pintu gerbang kegamaan dan keberagamaan keislaman bagi seorang muslim mukmin. Sebab, hanya dari pintu kelembutan yang disebut ridla, seorang muslim mukmin akan selamat di dalam mengimplementasikan keislamannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti: Taqarrub ila-llâh (mendekatkan diri hanya kepada Allah); Taslim bisy-syari'atillâh (hanya tunduk dengan syariatnya Allah); Hasbiyyallâh (mencukupkan diri hanya dengan Allah); Tawakkal 'ala-llâh (percaya diri hanya dengan pertolongan Allah); dan Taqwallâh (komitmen lagi konsisten dengan segenap perintah Allah).
Seorang manusia tanpa memiliki bekal ridla kepada Rabb-nya. Maka, di kehidupannya segenap perilakunya akan dijalankan dengan 'setengah hati'. Karena, 'Kekuatan Segita al-Mamsuk' (Triangle Force al-Mamsuk)-nya belum difungsikan secara maksimal.
Adalah kebanyakan manusia, dan hal itu merupakan watak buruk seorang hamba, yaitu berperilaku takabur di kala mendapatkan kelapangan dari-Nya. Sebaliknya, menjadi 'agak qana'ah' karena terpaksa dengan segenap ujian-Nya. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,

•       •     •          
"Adapun manusia apabila Rabb-nya mengujinya, lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan. Maka, dia akan berkata, "Rabb-ku telah memuliakanku". Adapun bila Rabb-nya mengujinya, lalu membatasi rizekinya. Maka, dia berkata, "Rabb-ku menghinakanku"." (Qs.al-Fajr: 15-16).

Dalam ayat yang lain juga difirmankan-Nya,

 ••          •                
"Dan, di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi [tidak dengan penuh keyakinan]. Maka, jika ia memperoleh kebaikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang[menjadi kafir lagi]. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata" (Qs.al-Hajj: 11).

Seorang hamba tanpa memiliki ridla kepada-Nya, maka keislaman yang dijalankannya adalah keislaman setengah hati. Alias, dia berislam dengan menuruti hawa nafsunya. Akibatnya, dia dicap oleh Allah azza wa jalla sebagai orang yang merugi di dunia dan di akhirat.
Marilah kita belajar dari kisah nyata seorang badui Arab di jaman Rasulullah saw. Di mana ia menyatakan diri hendak memeluk dinul Islam di hadapan Rasulullah saw. Karenanya, oleh Nabi saw orang badui itu diberikan harta benda oleh beliau. Namun si badui itu memberitahu kepada Nabi saw, "Wahai Rasulullah, saya tidak membai'atmu karena ini."
Nabi saw balik bertanya, "Lalu atas dasar apa kamu membai'at aku?" Si badui menjawab, "Saya menginginkan sebuah anak panah yang tajam yang tepat mengena di sini --dia mengisyaratkan ke kerongkongannya-- dan keluar dari sini --dia mengisyaratkan ke punggungnya."
Rasulullah saw pun bersabda, "Jika kamu jujur kepada Allah. Maka, Allah akan mengabulkan apa yang kamu mau."
Setelah menjadi muslim. Si badui itu turut serta dalam peperangan membela dinul Islam. Dan, benar, sebuah anak panah yang tajam melesat mengenai kerongkongannya dan tembus ke punggungnya. Akhirnya si badui tersebut wafat sebagai syuhada` menghadap Allah jalla jalâluh dengan penuh ridla dan diridlai.
Dari pelajaran di atas, yang kemudian kita petik pelajarannya, adalah bagaimana dengan keislaman kita? Sudahkah dengan ridla?! Atau, sebaliknya, keagamaan dan keberagamaan kita justru merupakan keislaman 'setengah hati'?!
Sudah barangtentu yang mengetahui adalah diri kita sendiri, benarkah keislaman kita sungguh-sungguh. Atau, sebaliknya, yakni menjadi 'muslim pinggiran', seperti disitir dalam firman-Nya di atas; na'udzu billâhi min dzâlik.
Karenanya, betapa ruginya menjadi seorang manusia. Jika di kehidupannya tidak ridla terhadap keberadaan Rabb-nya. Kejadian dan keputusan yang akan dialami manusia telah tertulis pada lauh mahfudz. Artinya, kita harus selalu mengimani qadla` dan qadar-Nya. Apa pun yang terjadi dikarenakan skenario-Nya jauh lebih hebat dan rapi dibandingkan dengan rencana seorang manusia yang pandai sekalipun. Bahkan, para manusia yang keimanan dan keyakinannya setengah hati kepada Rabb-nya, ditantang oleh Allah azza wa jalla, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,

                  •   
"Maka, hendaklah ia merentangkan tali ke langit. Kemudian, hendaklah ia melaluinya. Kemudian, hendaklah ia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya --yakni kemajuan dinul Islam." (Qs.al-Hajj: 15).

Seorang hamba Allah yang ridla dengan apa yang diterimanya, dia akan mempunyai harga diri yang sebenarnya. Sementara, harga diri seseorang sangat ditentukan oleh: kemampuannya; amal shalihnya; kemanfaatannya; budi pekertinya; tatakramanya; dan kemauannya.
Karenanya, tidak usah bersedih hati, jika saat ini kita masih dikaruniai-Nya: cacat fisik; tidak berpenampilan menarik; tidak memiliki gelar kesarjanaan dan gelar kehormatan; belum punya rumah; tidak memiliki pekerjaan tetap; tidak dihargai orang lain; belum dianugerahi putera; atau belum diberikan harta kekayaan. Sebab, untuk melakukan perubahan Allah swt tidak membutuhkan persyaratan duniawiah tersebut. Yang terpenting, dan hal itu harus segera dilakukan, adalah mendesain kepribadian kita menjadi manusia mulia (Human Elyon), yang berkepribadian râdliatam mardliah. Sebagaimana telah diingatkan-Nya hal itu kepada Nabiullah Musa as,

     ••        
Allah berfirman, "Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih [melebihkan] kamu dan manusia yang lain [di masamu] untuk membawa risalah Ku, dan untuk berbicara langsung dengan Ku. Sebab, itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu, dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur." (Qs.al-A'râf: 144).

Karenanya, belajarlah dari orang-orang besar di jamannya masing-masing. Di mana kita tahu, bahwa kebesaran seseorang itu tidak terletak kepada kekayaannya, kedudukannya, populeritasnya, keilmuannya, dan kehebatannya.
Akan tetapi, menurut alfaqîr, orang besar itu adalah seseorang yang mampu menahan dirinya dan mengetahui dirinya untuk menjadi orang yang paling bermanfaat terhadap segenap makhluk-Nya. Sehingga dia tidak segan untuk melawan dirinya sendiri demi menegakkan perjuangan kemanusiaan yang terdapat dalam dirinya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,

        •                   
"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia. Dan, Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan, rahmat Rabb-mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (Qs.az-Zukhrûf: 32).

Contoh orang-orang besar itu adalah para nabiullah, para rasulullah, para sahabat Nabi saw, dan para kekasih-Nya.
Atau, sebut saja: Sahabat Ibnu Mas'ud ra ahli hadis rasul, yang kakinya kecil (konon sering diejek karena penampilannya yang buruk); Sahabat Bilal ra, yang mantan budak; Sahabat Ibnu Maktum ra yang buta kedua matanya.
Juga pada generasi selanjutnya, seperti: Atha` bin Rabah ra, mantan budak yang ilmu pengetahuan diniahnya telah mencapai derajat alim (konon hidungnya pesek, kulitnya hitam, lumpuh tangannya, dan rambutnya kriting; sehingga penampilannya tidak disenangi, red); Ahnâf bin Qais ra, dikenal masyarakat Arab pada waktu itu karena akhlak sabar dan penyantunnya (konon dikenal badannya sangat kurus, punggungnya bongkok, betisnya melengkung, dan postur tubuhnya lemah, red); dan al-A'masy ra, seorang ulama ahli hadis yang sangat terkenal di dunia ini (konon matanya sayu, dia mantan budak, hidupnya penuh dengan kefakiran, bajunya compang-camping, tidak punya rumah, dan penampilannya tidak menarik, red).
Coba renungkan, lalu bandingkan dengan orang-orang top di negeri ini. Yang konon sementara ini kita menganggapnya 'sukses'. Benarkah demikian? Beranikah mereka berkorban untuk orang lain?
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya, teladan Rasulullah saw, para nabiullah, para kekasih-Nya, para sahabat Nabi saw, dan orang-orang sukses tersebut di atas.
Dan, segeralah berbenah diri untuk menjadi manusia sukses, seperti mereka yang telah mendahului kita. Dengan dasar pemikiran, "Berlaku ridla tidak akan sedikit pun merugikan seorang manusia. Tinggalkanlah berperilaku bermain-main dalam beragama. Sebab, hal itu akan merugikan diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat kelak".
Sebab, dengan berperilaku tersebut di atas kita nantinya akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa ridla, insya Allah. []



Khauf

Khauf, adalah sikap mental seorang hamba yang penuh ketakutan hanya dengan Allah azza wa jalla, dikarenakan merasa masih belum dapat melaksanakan segenap amanah-Nya yang telah diberikan kepada-Nya, sementara, di dalam dirinya telah mengimani jika Allah itu telah memberikan segenap fasilitas hidayah-Nya kepadanya secara sempurna guna menjadikan dirinya sebagai seorang hamba yang senantiasa meridlai-Nya. Sehingga muncullah perasaan berdosa, rasa bersalah, dan pikiran bahwa dirinya tidak sempurna, terus melekat padanya.
Dengan demikian kepribadian seorang hamba yang di dalam dirinya terdapat rasa khauf. Di kehidupan kesehariannya akan melahirkan sikap mental dan perilaku keislaman, seperti:
1. Menomor-satukan Allah (al-mauhîd).
2. Sidqun (benar dalam berketaatan terhadap Allah).
3. Ikhlâsh (murni dalam berpengabdian dengan Allah).
4. Shabûr (berpengendalian diri);
5. Syakûr (tahu diri).
6. Tawâdlu' (rendah hati).
Bahkan, lebih dari itu, seorang hamba yang telah memiliki rasa khauf kepada-Nya akan dikaruniai-Nya: Tafaqquh fid-dîn; Akhlâqul karîmah; Adâbul musthafawiah; dan Laduniah.

Indahnya Khauf
Hanya hati yang sakit, atau hati yang mati yang tidak pernah takut dengan Allah azza wa jalla. Hati seorang muslim adalah hati yang berkualitaskan qalbun salim. Hati yang berkedudukan qalbun salim senantiasa menyadarkan dan memberikan pencerahan kepada pemiliknya. Inilah yang membedakan hati seorang muslim dengan hatinya orang-orang kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,

          ••  •            
"Dan, apakah orang yang sudah mati [orang yang telah mati hatinya, yakni orang-orang kafir dan sebagainya]. Kemudian, dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang. Yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan" (Qs.al-An'âm: 122).

Seorang hamba yang memiliki rasa khauf dengan Allah swt. Maka, dia akan mengembalikan segala sesuatunya di kehidupannya dengan mengembalikan kepada ke-Mahakuasaan Allah azza wa jalla. Sebagaimana diterangkan-Nya,

        
"Maka, segeralah kembali kepada [menaati] Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untuk kalian" (Qs.adz-Dzâriât: 50).

Berbahagialah, jika kita termasuk salah seorang yang dikaruniai-Nya memiliki rasa khauf dengan-Nya. Sebab, Allah swt telah menjamin dengan surga-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,

    •      
"Dan, bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabb-nya ada dua surga [surga akhirat dan surga dunia]. Maka, nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?" (Qs.ar-Rahmân: 46-47).

Dalam ayat yang lain juga dijelaskan-Nya,

•      •    • •   
"Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal-[nya]" (Qs.an-Nâzi'ât: 40-41).

Beberapa Kiat Untuk Memiliki Rasa Khauf
Ada beberapa kiat penting yang harus dijalankan oleh seorang muslim mukmin, agar di kehidupan kesehariannya dikaruniai-Nya rasa khauf dengan-Nya. Yaitu,
1. Berziarah Ke Maqbarah.
Dalam sabdanya Nabi saw berpesan,

"Sesungguhnya maqbarah itu mengingatkan kalian akan negeri akhirat" (Hr.Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Nasâ`i, dan Ibnu Majah).

Di hadis yang lain disabdakan,

"Ziarahilah maqbarah. Karena dia [maqbarah] akan mengingatkan kepada kematian."

2. Dzikrul Maut.
Biasakan memperbanyak dzikrul maut (mengingat kematian), baik di pagi hari, sore hari, menjelang tidur, setelah shalat, dan sehabis makan.
Dikisahkan, apabila Umar hendak berbaring ke tempat tidurnya, dia menggigil seperti burung takut kedinginan. Lalu, aku (istrerinya, Fatimah binti Abdulmalik, red) bertanya, "Wahai amirul mukminin, mengapa engkau belum tidur?"
Umar ra menjawab, "Bagaimana aku dapat tidur. Sesungguhnya kasur ini telah mengingatkanku pada maqbarah."
Juga diriwayatkan, Sufyan ats-Tsauri ra pernah membaca firman-Nya,

"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu [dalam soal banyak harta, anak, pengikut, kemuliaan, dan menyibukkan diri dengan urusan duniawiah telah melalaikan kamu dari ketaatan], sampai kamu masuk ke dalam kubur" (Qs.at-Takâtsur: 1-2).

Dari shalat isya` sampai shalat subuh. Jika dia beranjak untuk tidur. Dia berkata, "Bagaimana aku dapat tidur. Sementara maqbarah sudah di depan mataku!" (demikian diceritakan oleh Imam adz-Dzahabi ra).
3. Dzikrusy Syadîdil Adzâb.
Sebagai seorang muslim harus mendoktrin dirinya sendiri. Bahwa, siksa ('adzâb) Allah swt itu sangatlah pedih. Karena saking pedihnya sehingga tidak dapat dibayangkan lagi kengeriannya. Dengan demikian kita akan terbangun sebuah kepribadian yang tercerahkan, yaitu kepribadian yang lembut dan penuh kasih-sayang.
4. Muraqabah.
Adalah Imam Ahmad bin Hambal ra murid dari Imam Syafi'i ra jika berada di rumah senantiasa terlihat ketakutan yang sangat. Sampai suatu ketika salah seorang shantrinya bertanya, "Wahai imam, ada apa dengan engkau. Bila engkau duduk bersama manusia, engkau tidak khusyuk. Tetapi jika engkau duduk sendirian, engkau sangat khusyuk?"
Imam Ahmad menjawab, "Dalam hadis qudsi, Allah ta'âlâ berfirman, "Aku adalah teman duduk bagi orang yang mengingat Ku." Lalu, bagaimana aku bisa tidak sopan di hadapan Allah?"


Adapun Sebab-Sebab Hilangnya Rasa Khauf
Para ulama sepakat bahwa ada empat hal yang mengakibatkan seorang hamba tidak memiliki rasa khauf dengan Allah swt.
a. Lalai.
Sikap mental dan perilaku lalai menurut al-qur`an, adalah,

•            
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya" (Qs.Qâf: 37).

Dan, secara tegas Allah juga menyindir seseorang yang lalai dengan firman-Nya,

      
"Maka, apakah mereka tidak memperhatikan al-qur`an, ataukah hati mereka terkunci?" (Qs.Muhammad: 24).


b. Maksiat.
Seseorang yang sering atau terbiasa melakukan kemaksiatan kepada-Nya. Maka, sangat sulit baginya untuk dapat mengamalkan perilaku zuhud dan ridla. Sebagaimana hal itu dianalogkan dengan kegelapan yang tindih-menindih dalam firman-Nya,
                                  
"Atau, seperti gelap-gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak [pula], di atasnya [lagi] awan. Gelap-gulita yang tindih-menindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya. [Dan], barangsiapa yang tiada diberi cahaya [petunjuk] oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun" (Qs.an-Nûr: 40).

Dan, adalah dampak langsung dari kemaksiatan, yakni terhijabnya hati seorang hamba dengan-Nya. Sebagaimana difirmankan-Nya,

      •  
"Sekali-kali tidak [demikian], sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka" (Qs.al-Muthaffifîn: 14).

c. Memperbanyak hal-hal yang diperbolehkan.
Adalah sesuatu yang sangat merugikan, jikalau di kehidupan seorang hamba itu sangat kelewat batas dalam memenuhi kebutuhannya atau kesenangannya; meski hal itu diperbolehkan oleh dinul Islam.
Sebab, akan berdampak langsung kepada fungsi hati dan jiwa yang tidak lagi takut (khauf) dengan-Nya. Contoh, mencintai dunia boleh. Tapi, jika sudah hubbud dunya, maka seseorang tidak akan lagi merasa khauf dengan-Nya. Menjadi pemimpin boleh. Tapi, jika sudah hubbul jâh (cinta kedudukan), maka seseorang itu tidak akan lagi khauf dengan-Nya. Perasaan senang terhadap harta benda boleh. Tapi, jika sudah hubbul mâl, maka Allah sudah tidak ditakuti lagi.
d. Menyia-nyiakan waktu.
Karenanya, Allah swt begitu sangat menekankan kepada para hamba-Nya, supaya efektif, efesien, kreatif, dan produktif dalam menggunakan waktunya. Sebagaimana diperintahkan dalam firman-Nya.

                          •                       
"Maka, apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main [saja]. Dan bahwa, kalian tidak akan dikembalikan kepada kami? Maka, Mahatinggi Allah, Raja yang sebenarnya; tidak ada ilah selain Dia, Rabb [yang mempunyai] 'arsy yang mulia. Dan, barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu. Maka, sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabb-nya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung. Dan, katakanlah, "Wahai Rabb-ku, berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah pemberi rahmat yang paling baik"." (Qs.al-Mu'minûn: 115-118).

Ciri-Ciri Khauf
Ulama menyepakati adanya empat karakteristik pokok di dalam mengukur ciri-ciri khauf terhadap-Nya, yaitu:
1. Satunya kata dengan perbuatan.
Yang dimaksud, adalah terdapatnya keselarasan kebenaran antara dhahir dengan bathinnya dan bathin dengan dhahirnya. Seperti diungkapkan dalam sebuah hadis qudsi,

"Akan terdapat beberapa kaum yang menampakkan kepura-puraan dalam kekhusyukan kepada manusia. Mereka memakai kulit-kulit halus domba untuk manusia. Lidah mereka lebih manis daripada madu. Hati mereka lebih pahit daripada tanaman sejenis bakung [rasanya sangat pahit]. Maka, atas nama Ku. Aku bersumpah untuk menurunkan fitnah dan cobaan yang menjadikan orang yang lembut menjadi bingung. Apakah mereka hendak menipu Ku, ataukah mereka begitu berani kepada Ku" (Hr.Tirmidzi, dari sahabat Abu Hurairah ra dan dari sahabat Abdullah bin Umar ra).




2. Jujur dengan-Nya.
Yang dimaksud, senantiasa berketaatan secara benar terhadap Allah swt, baik benar dalam aspek hâl (di setiap keadaan), aqwâl (segenap pembicaraan), dan a'mâl (amal perbuatan). Begitu juga dengan sesama manusia, sikap mental dan perilaku jujurnya telah dijadikan penglima kehidupannya.

3. Menyesali segenap perbuatan buruknya, dan gembira dengan segala perbuatan baiknya.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya,

"Dan, [juga] orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri --dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil-- mereka ingat akan Allah. Lalu, memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan, mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal" (Qs.Ali Imrân: 135-136).

4. Berprinsip, "Hari ini harus lebih baik dibandingkan dengan hari kemarin dan hari esok."
Adalah seorang pembohong, jikalau perbuatan hari kemarin lebih baik dibandingkan dengan perbuatan hari ini, dan perbuatan hari ini lebih baik ketimbang perbuatan esok harinya.
Karenanya, seorang yang memiliki rasa khauf di dalam dirinya dia senantiasa berusaha untuk mencegah segenap hal yang dapat menuju kepada lembah maksiat terhadap-Nya.

Demikianlah untuk kita jadikan bahan perenungan di kehidupan keseharian. Apakah di dalam diri kita telah terhiasi dengan mahkota dan mahligai khauf dengan-Nya.
Karenanya, bersegeralah untuk menghiasi diri dan kepribadian kita dengan rasa khauf dengan Allah swt. Sebab, menunda sesaat atas perbuatan baik adalah kebiasaan dari orang-orang yang malas lagi bodoh.
Berprinsiplah dalam hidup ini, "Bersemayamnya rasa khauf di dalam diri dan kepribadian kita, akan membuahkan segenap perilaku yang mendatangkan keindahan dalam hidup di dunia dan di akhirat. Inilah kebahagiaan yang sebenarnya". []





Jadbun

Jadbun, adalah sikap mental dan perilaku rindu lagi merindukan untuk dapat selalu taat dengan Allah azza wa jalla. Karenanya, rindu beratnya dengan Allah swt, maka seseorang yang mengalami rindu (majdub), segenap konsentrasinya hanya tertuju, bagaimana agar di kehidupannya ini dapat selalu menaati Allah secara total.
Inilah yang dinamakan dalam kondisi pengosongan diri (al-afragh), yang kemudian ruh, hati, dan jiwanya hanya diisi dengan asma-Nya.
Demikianlah tingkat khusyuk yang hendak dicapai, guna memperoleh kepribadian râdliatam mardliah. Seperti dinyatakan dalam hadis qudsi,

عن أبي هريرة رضى الله عنه عن النبىh قال: إِنَّ الله تعالى يقولُ:
(( يَا ابْنَ آدمَ، تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِي، أَمْلأْ صَدْرَكَ غِنًى، وَأَسُدَّ فَقْرَكَ، وَإِلاَّ تَفْعَلْ مَلأْتُ يَدَيْكَ شُغْلاً، وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ ))
(صحيح، أخرجه الترمذي، فى كتاب الأحاديث القدسية ص26/ر11)



"Sesungguhnya Allah ta'âlâ telah berfirman:

"Hai anak keturunan Adam, berkonsentrasilah kalian untuk beribadah kepada Ku, maka Aku akan memenuhi hati kalian dengan rasa cukup [ghinan] --dari segala kebutuhan-- dan Aku akan menghilangkan kebutuhan kalian –terhadap makhluk. Jika kalian tidak mengerjakan hal tersebut, maka Aku akan memenuhi kedua tangan kalian dengan kesibukan, dan juga tidak menghilangkan kebutuhan kalian --kepada makhluk" (Shahih, dikeluarkan Imam Tirmidzi ra. Dalam Kitâb al-Ahâdîtsil Qudsiyyah, hal.26, no.11).

Jadi, orang yang sedang menekuni perilaku jadbun. Maka, di kehidupan kesehariannya sudah tidak bergantung lagi dengan seorang manusia.
Dengan kata lain, sudah tidak lagi memperhatikan segala gerak hidup manusia yang tidak menyandarkan dan mengikat kuat dengan Neraca Syariat. Seseorang yang memiliki sikap mental jadbun, azzamnya cuma satu, yakni di dalam hatinya yang ada hanya Allah jalla jalâluh; selain-Nya tidak boleh singgah. Oleh sebab itu implementasi dari jadbun-nya itu, adalah:

1. CC Dengan Ajaran Tauhid.

              
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi [dosa] orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan, Allah mengetahui tempat kalian berusaha dan tempat kalian tinggal" (Qs.Muhammad: 19).

                     
"Dan, sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada [nabi-nabi] yang sebelummu. Jika kamu mempersekutukan [Allah], niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur" (Qs.az-Zumar: 65-66).

                     
"Maka, apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk [menerima] agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabb-nya [sama dengan orang yang membatu hatinya?] Maka, kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata" (Qs.az-Zumar: 22).







2. CC Dengan Dzikrullah.

                     
"[Yaitu] orang-orang yang beriman, dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik" (Qs.ar-Ra'du: 28-29).

لاَيَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا بِذِكْرِ اللهِ
"Hendaklah lisanmu tetap basah karena [banyak] berdzikir kepada Allah" (Hr.Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

سِيْرُوْا هَذَا جُمْدَانَ سَبَقَ الْمُفَرِّدُوْنَ قَالُوْا وَمَا الْمُفَرِّدُوْنَ يَارَسُوْلَ اللهِ قَالَ الذَّاكِرُوْنَ اللهَ كَثِيْراً وَالذَّاكِرَاتُ
"Berjalanlah kalian ke arah bukit Jamdan. Kaum mufridun telah berada paling depan." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah kaum mufridun itu?" Rasul saw menjawab, "Orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allah dari kaum lelaki dan kaum perempuan" (Hr.Muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban).




3. Ridla Dengan Takdir-Nya.

 •           
"Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. Dan, perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata" (Qs.al-Qamar: 49-50).

وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ
"Dan, ketahuilah, bahwa musibah yang menimpamu bukanlah hal yang nyasar dan yang luput dari kamu karena memang tidak untuk menimpamu" (Hr.Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, dan Baihaqi).

وَاحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَتَعْجَزْ وَلاَتَقُلْ لَوْ أَ نِّي فَعَلْتُ كَذَا لَكَانَ وَكَذَا وَلَكِنْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
"Berkehendak keraslah kamu untuk mencari sesuatu yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah. Jangan loyo. Dan, jangan kamu katakan, 'Seandainya aku melakukan anu, tentulah akibatnya anu dan anu.' Tetapi ketakanlah, 'Takdir Allah tak dapat ditolak dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.' Karena sesungguhnya 'kalau' [berandai-andai] itu membuka peluang bagi setan untuk berperan" (Hr.Muslim, Ahmad, Nasâ'i, dan Ibnu Majah).

4. Menjauhi Maksiat.

   •        •                      •   
"[Tetapi] karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka. Dan, Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan [Allah] dari tempat-tempatnya [merubah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi]. Dan, mereka [sengaja] melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya. Dan, kamu [Muhammad] senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka [yang tidak berkhianat] Maka, maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik" (Qs.al-Mâ`idah: 13).

         
"Barangsiapa yang tiada diberi cahaya [petunjuk] oleh Allah tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikit pun" (Qs.an-Nûr: 40).

5. Qana'ah (mengelola pemberian-Nya secara hemat & produktif).
 •       • 
"Maka, terangkanlah kepada Ku tentang yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami-kah yang menumbuhkannya?" (Qs.al-Waqi'ah: 63-64).

         
"Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rizeki kepada yang di kehendaki-Nya, dan Dia-lah yang Mahakuat lagi Mahaperkasa" (Qs.asy-Syûrâ: 19).

•      •    • •   
"Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka, sesungguhnya surgalah tempat tinggal-[nya]" (Qs.an-Nâzi'ât: 40-41).


6. CC Dengan al-Qur`an.

        
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya. Dan supaya, mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran" (Qs.Shâd: 29).

 •           •     •  
"Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Allah [yang Maharahman] yang Mahapemurah [al-qur`an], Kami adakan baginya setan [yang menyesatkan]. Maka, setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan, sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk" (Qs.az-Zukhrûf: 36-37).

7. Memiliki Kecerdasan Sosial.

                               
"Tahukah kamu [orang] yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak, menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, [yaitu] orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya` [melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat], dan enggan [menolong dengan] barang berguna [enggan membayar zakat ]" (Qs.al-Ma'ûn: 1-7).

Rindu: Karena Harap-Harap Cemas
Seseorang yang telah berkedudukan ruhani jadbun benar-benar mengimani lagi yakini, firman-Nya,

                      •       •   
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka. Dan, lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan [apa yang mereka usahakan di dunia itu tidak ada pahalanya di akhirat]." (Qs.Hûd: 15-16).

Karenanya, bagi seorang hamba yang telah berkedudukan ruhani jadbun, tidak mau lagi berurusan dengan segala sesuatu yang dapat mencondongkan akidah dan akhlak keluar dari Neraca Syariat.
Di kehidupannya, seorang yang memiliki kedudukan ruhani jadbun berusaha sekuat tenaga melakukan rekonstruksi diri dan kepribadiannya, agar memenuhi firman-Nya,

                          •   •           
"Dan, [juga] orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri. Mereka ingat akan Allah. Lalu, memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan, mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah, ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai. Sedangkan mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal" (Qs.Ali Imrân: 135-136).

Untuk itu bersegeralah berbenah diri guna menjadi hamba yang sukses di dunia dan sukses di akhirat, seperti mereka para manusia mulia (Human Elyon) yang telah mendahului kita. Karenanya, kita harus berkeyakinan, "Kedudukan ruhani jadbun akan semakin mengantarkan diri seorang hamba, untuk meyakini bahwa segenap amal perbuatannya hanya ditujukan kepada-Nya. Disebabkan, dirinya sangat merindukan belaian kasih-sayang-Nya, berjumpa kelak dengan-Nya, dan berkumpulnya kelak di surga dengan Rasulullah saw".
Karenanya, dengan memasuki wilayah ruhani di kedudukan jadbun. Seorang hamba nantinya akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa mahabbah, insya Allah.[]








Mahabbah

Mahabbah, adalah semangat cinta kepada Allah dan rasul-Nya, yang terejawantahkan ke dalam sikap mental dan seluruh perilaku sebagai seorang hamba kepada Allah sebagai al-Khâliq. Niat cintanya kepada Allah dan rasul-Nya telah mengikat kuat dalam kedahsyatan rasa untuk menerima ke-Mahakuasaan dan ke-Mahabesaran Allah jalla jalâluh.
Memang untuk sampai kepada kedudukan ruhani, yang namanya mahabbah, tidak semudah seperti yang diucapkan oleh banyak orang, yang seringkali mengaku bahwa dirinya sebagai seorang pecinta. Karenanya, di dalam al-qur`an, Allah swt telah mengategorikan kaum pecinta (al-muhibbîn) itu ke dalam tiga golongan. Sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya,

                      
"Kemudian, al-kitâb itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lalu, di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri. Dan, di antara mereka ada yang pertengahan. Dan, di antara mereka ada [pula] yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan ijin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar" (Qs.Fâthir: 32).

Ketiga golongan al-muhibbîn itu, adalah: 1).Dhâlimul linafsih; 2).Muqtashidun; dan 3).Sâbiqun bil-Khairât.
Yang dimaksud, dhâlimul linafsih adalah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya. Muqtashidun adalah orang-orang yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya. Sedangkan, sâbiqun bil-khairât ialah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan.
Namun di ketiga golongan tersebut di atas di dalam hatinya tetap tertanam rasa mahabbah yang kuat dengan-Nya. Itulah ciri dari ketiga golongan al-muhibbin itu, karenanya oleh Allah swt mereka diberi mandat yang berupa hamalatal qur`ân. Sebagaimana terungkap dalam firman-Nya, yang berbunyi "auratsnâl kitâb" (yang telah Kami wariskan al-qur`an).

Kedudukan Mahabbah
Kedudukan ruhani mahabbah dengan Allah azza wa jalla, bukanlah suatu perjalanan ruhani yang mudah. Akan tetapi ia merupakan sebuah jenjang perjalanan ruhani (suluk) yang sulit, lagi penuh tantangan dan banyak hambatan yang menghadang.
Guna meraih kedudukan ruhani mahabbah tersebut, alfaqîr memberikan beberapa kiat strategis yang dapat membantunya, insya Allah:

1. Hamalatal Qur`ân.
Salah satu bukti kuat apabila seorang hamba itu benar-benar mencintai-Nya, adalah sejauhmana hamba tersebut menyandangkan al-qur`an di kehidupan sehari-harinya.
Perhatikan, bagaimana kehidupan Rasulullah saw, para isteri beliau, dzurriah beliau (ahli bait), para sahabat nabi, tabi'în, tabi'ut tabi'în, salafush shâlih, dan para ulama`ullâh; kesemuanya benar-benar di kehidupannya telah menyandangkan al-qur`an. Baginya al-qur`an telah menjadi nafas kehidupannya. Demikianlah bukti cintanya kepada Allah azza wa jalla.
Karenanya, adalah sebuah kebohongan besar jika ada seseorang atau suatu komunitas tertentu yang mengklaim sebagai seorang pecinta atau kaum pecinta kepada Allah, namun di keseharian hidupnya tidak menyandang al-qur`an. Karenanya, Rasulullah saw pun memberikan kategoris kepada kaum muslimin mukmin dengan mengkaji dan mengajarkan al-qur`an sebagai tolok ukurnya, apakah seorang muslim itu baik atau buruk. Seperti dinyatakan dalam sabdanya,

"Sebaik-baik kalian, adalah orang yang mempelajari al-qur`an dan yang mengajarkannya" (Hr.Bukhari & Abu Dawud).

Dan, dalam sabdanya yang lain, Rasulullah saw juga menyifati seorang muslim yang di dalam dirinya tidak menyandang al-qur`an.

"Sesungguhnya orang yang tidak ada al-qur`an sama sekali di dalam dirinya, bagaikan rumah yang hancur-lebur" (Hr.Ahmad, Tirmidzi, Darimi, dan Hakim).

2. Zuhud.
Seorang hamba yang berperilaku zuhud, maka ia akan dicintai oleh Allah, rasul-Nya, dan manusia banyak. Karenanya, terukur pula cinta seorang hamba kepada-Nya dilihat dari sejauhmana kekuatan zuhud-nya terhadap dunia dengan segala kehidupannya.
Diriwayatkan, Seseorang mendatangi Rasulullah, dan berkata, "Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal [ibadah] yang jika aku melakukannya, Allah akan mencintaiku, dan aku juga dicintai oleh segenap manusia?"
Maka, Rasulullah saw bersabda,

"Bersikap zuhudlah kamu terhadap kehidupan dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Dan, bersikap zuhudlah terhadap sesuatu yang dimiliki oleh manusia, maka manusia akan mencintaimu" (Hr.Ibnu Majah, Hakim, dan Syihab).

Dari sikap zuhud, maka seorang hamba akan mengelola hatinya untuk tidak sedikit pun condong dengan dunia dan kehidupannya. Sebab, di dalam hati seorang zahid yang ada hanya Allah dengan segala asma, af'al, dan dzat-Nya. Sehingga tidak sedikit pun terpikirkan dalam hatinya mengenai selain-Nya.
3. Qiamul Lail.
Di kalangan para pecinta, qiamul lail telah menjadi lembaga intuisional rabbani yang benar-benar dijaga kontinuitasnya, keajegannya, dan CC-nya. Sehingga oleh Allah swt para peyangga qiamul lail diabadikan di dalam al-qur`an dengan firman-Nya,

          
"Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan, selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar" (Qs.adz-Dzâriât: 17-18).

          
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya [tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam], dan mereka selalu berdoa kepada Rabb-nya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa-apa rezki yang Kami berikan" (Qs.as-Sajdah: 16).

      •        
"Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus [golongan ahli kitab yang telah memeluk agama Islam], mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud [sembahyang]" (Qs.Ali Imrân: 113).

Karenanya, Rasullah saw menjamin,

"Rabb kita, Allah ta'âlâ, turun ke langit dunia, tatkala 1/3 waktu malam masih tersisa. Allah menyerukan, adakah di antara hamba Ku yang berdoa kepada Ku, supaya Aku mengabulkan permintaannya? Adakah di antara hamba Ku yang meminta ampun kepada Ku, supaya Aku mengampuninya? Adakah di antara hamba Ku yang meminta kepada Ku, supaya Aku memenuhinya" (Hr.Bukhari & Muslim).

Guna mendapatkan kontinuitas, keajegan, dan CC-nya terhadap qiamul lail. Maka, hendaknya penuhilah beberapa tips praktis alfaqîr:
a. Tidak melakukan kemaksiatan, kedurhakaan, dan dosa pada siang harinya, atau sebelum tidurnya.
b. Ketika hendak berangkat tidur, di saat telah berada di pembaringan biasakan dengan wirdullah atau dzikrullah ringan. Seperti membaca: Tasbîh 33x, Tahmîd 33x, dan Takbîr 34x (Hr.Bukhari).
c. Tinggalkan kehidupan begadang dan cangkruk, atau nonton TV ketika hendak berangkat tidur. Hal itu dapat diganti dengan membaca buku-buku sirah, atau kisah-kisah sahabat nabi.
d. Usahakan tidur siang hari, walau sesaat.
e. Biasakan minum air putih sebanyak 200 cc ketika hendak berangkat tidur maupun di saat bangun tidur.
4. Tadabbur bi Ayatillah.
Sikap mental merenungkan segenap hasil ciptaan-Nya akan sangat cepat mendorong termilikinya kecerdasan motivasi untuk mahabbah. Karenanya, banyak sekali firman-Nya yang memotivasi umat manusia untuk ber-mahabbah. Sebagaimana dinyatakan-Nya,

       •   
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal" (Qs.Ali Imrân: 190).

                     
"Maka, apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan, langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan, gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan, bumi bagaimana ia dihamparkan?" (Qs.al-Ghâsiah: 17-20).

Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya, teladan Rasulullah saw, para sahabat Nabi saw, dan orang-orang sukses yang telah mendahului kita. Semata untuk meningkatkan rasa mahabbah kita terhadap-Nya. Sebagai wujud nyata dari kemakhlukan kita yang hanya mengabdi dengan Allah jalla jalâluh.
Karenanya, segeralah berbenah diri untuk menjadi manusia sukses sejati, seperti mereka yang telah mendahului kita. Dengan dasar pemikiran, "Tidak ada kerugian karena mencintai-Nya. Hiasilah ruh dan hati dengan mahabbah, sehingga jiwa memantulkan cahaya-Nya dan cahaya rasul-Nya".
Kerjakanlah apa yang telah kita pahami dari rasa mahabbah terhadap-Nya. Maka, kita akan dinugerahi-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa husnudlan, insya Allah. []

Husnudlan

Husnudlan, adalah sikap mental dan segenap perilaku berbaik sangka seorang hamba kepada Allah azza wa jalla, dan kepada segenap makhluk-Nya. Disebabkan, mengimani lagi meyakini dengan firman-Nya yang terdapat dalam sebuah hadis qudsi, yang berbunyi,

"Aku [Allah] sesuai dengan prasangka hamba Ku kepada Ku. Maka, berprasangkalah dia kepada Ku sesukanya" (al-Hadîs).

Dalam perjalanan ruhani (sûluk) seorang sâlik modalnya adalah penuh harap (rajâ`). Sebab, dengan raja` si salik akan mampu bertahan dengan pengendalian dirinya (shabrun). Sedangkan untuk mampu bertahan dalam kesabaran, dia harus memiliki kekuatan transmisi di dalam berbaik sangka dengan-Nya (husnudlan bil-lâh). Dikarenakan, seorang sâlik yang husnudlan bil-lâh itu artinya telah menjaminkan dirinya untuk sukses.
Sebaliknya, orang-orang yang memiliki dlan buruk terhadap Allah swt sudah dapat dipastikan pasti akan mengalami kegagalan. Sebagaimana telah dinyatakan dalam firman-Nya,

•              
"Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk [yang lemah] yang serupa juga dengan kamu. Maka, serulah berhala-berhala itu, lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar" (Qs.al-A'râf: 194).

Salah satu contoh bukti kecintaan-Nya kepada hamba-Nya yang senantiasa menaruh raja` hanya kepada Allah swt, dan selalu menanti pertolongan-Nya. Bahwa, jalan keluar (makhrajan) akan diberikan-Nya setelah si hamba itu mengalami kebuntuan mencari jalan keluar.
Mengapa semua itu dapat terjadi? Dikarenakan, ujian demi ujian yang harus dilakoni oleh si hamba ketika masih hidup di alam dunia ini, dapat menjadi daya dorong guna menumbuhkan kecerdasan motivasi dan kecerdasan memahami tantangan (MAQ: Motivation & Adversity Quotient)-nya sehingga harapan, sandaran, dan ketergantungan hanya ditujukan kepada-Nya. Disamping, si hamba tersebut harus terus-menerus merasa terdorong untuk selalu mengaktualisasikan percepatan keyakinannya (QB: Quantum Believing). Sehingga di dalam dirinya terdapat kekuatan husnudlan bil-lâh.
Sebagaimana hal itu juga telah dinyatakan di dalam firman-Nya,

     
"Karena itu, ingatlah kalian kepada Ku niscaya Aku ingat [pula] kepada kalian [Allah melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya]. Dan, bersyukurlah kepada Ku. Dan, janganlah kalian mengingkari [nikmat] Ku" (Qs.al-Baqarah: 152).

Inilah perintah Allah, agar seorang hamba itu di kehidupannya senantiasa memiliki prasangka yang baik dengan Allah (husnudlan). Yang mana hal ini nantinya dapat berdampak langsung untuk membiasakan diri husnudlan dengan para makhluk-Nya, khususnya ber-husnudlan terhadap sesama muslim.
Husnudlan seorang hamba terhadap ke-Mahakuasaan, ke-Mahabesaran, ke-Mahaperkasaan, dan ke-Maha-agungan Allah, adalah sebagaimana memahami segenap ayat-ayat-Nya, bahwa di balik penciptaan sungguh telah ada eksistensi-Nya secara dzat, af'al, dan asma`. Sebagaimana hal itu telah dijelaskan dalam firman-Nya,

       •                         • 
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, [yaitu] orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi [seraya berkata dikarenakan husnudlan terhadap-Nya], "Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau. Maka, peliharalah kami dari siksa neraka"." (Qs.Ali Imrân: 190-191).

Karenanya, seorang mukmin diperintahkan-Nya untuk senantiasa "membaca" segenap ayat-Nya. Sehingga di dalam dirinya akan selalu muncul perasaan penuh harap terhadap rahmat-Nya. Dan, realitas inilah yang nantinya akan dapat menjadi modal di dalam melakukan ketaatan-ketaatan guna meningkatkan pengabdian dalam ketakwaannya. Oleh sebab itu renungkan firman-Nya di bawah ini,

                       
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab [al-qur`an] dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari [perbuatan- perbuatan] keji dan mungkar. Dan, sesungguhnya mengingat Allah [shalat] adalah lebih besar [keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain]. Dan, Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan" (Qs.al-Ankabût: 45).

Ayat di atas memiliki hakikat kelembutan (haqîqatul luthîf), di mana seorang muslim mukmin harus ber-husnudlan, bahwa perintah shalat mengandung dua nilai transformasi dasar di kehidupan seorang hamba, yaitu: 1).Shalat sebagai wujud transformasi sosial dalam perilaku keseharian seorang mushalli (orang yang shalat, red) berupaya secara maksimal untuk tidak berbuat keji dan munkar; dan 2).Shalat sebagai wujud transformasi intuisional dalam perilaku keseharian mushalli yang berusaha secara optimal menghadirkan kekuatan transmisi-Nya, yakni dzikrullah.

Implementasi Husnudlan Adalah Akhlakul Karimah
Memiliki akhlak yang mulia adalah dambaan dari setiap muslim mukmin. Seperti telah dijelaskan Nabi saw,

"Sungguh dengan akhlak yang baik seseorang dapat mencapai derajat orang yang ahli ibadah [banyak shalat dan banyak puasa]" (al-Hadîs).

Karenanya, seorang hamba yang berhasrat di dalam menekuni perjalanan ruhaninya, sekuat tenaga dia menghendaki memiliki kedudukan ruhani husnudlan. Dikarenakan, dengan husnudlan-nya terhadap Allah azza wa jalla dia akan terbiasa dengan husnudlan terhadap segenap makhluk-Nya, terutama husnudlan sesama musmlim. Sedangkan, husnudlan merupakan salah satu pilar dari akhlak yang mulia (akhlâqul karîmah).
Nabi saw juga pernah memberitahukan lewat sabdanya,

"Tidakkah pernah aku beritahukan kepada kalian, siapa orang yang tempat duduknya dekat denganku pada Hari Kiamat kelak? Mereka adalah yang paling baik akhlak dan perilakunya" (al-Hadîs).

Betapa hebatnya ajaran dinul Islam. Dan, betapa sungguh sangat sederhananya cara berpikir yang diajarkan oleh dinul Islam. Ternyata dengan kekuatan husnudlan, seorang hamba --terlepas dia salik atau bukan-- di kehidupan kesehariannya akan memiliki kecerdasan sosial di dalam mengimplementasikan nilai-nilai al-qur`an dan Neraca Syariat. Sehingga dirinya akan menjadi hamba yang berkemanfaatan di dunia, dan berkebahagiaan di akhirat.
Seseorang yang telah dianugerahi akhlakul karimah dan husnudlan di kehidupan kesehariannya, niscaya akan segera mendapatkan nikmat dunia yang akan berujung kepada kegembiraan di akhirat. Dikarenakan, dia telah mendapatkan kebahagiaan di kedua kehidupannya; yakni dunia dan akhirat kelak.
Sementara, seseorang hamba yang akhlaknya buruk dan memiliki kebiasaan su'udlan. Maka, hal itu akan berbuah pada kesengsaran, kehinaan, kegagalan, dan petaka yang pasti akan membawa kerugian di kedua kehidupannya.
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dan ibrah dari segenap firman-Nya tersebut di atas. Dan, segeralah berbenah diri untuk menjadi manusia sukses, seperti para pendahulu kita. Dengan suatu keyakinan, "Husnudlan terhadap Allah akan membuahkan banyak keberkahan, kebaikan, kemanfaatan, kesejahteraan, keselamatan, dan ketenangan. Di samping semakin mendekatkan diri dengan-Nya".
Karenanya, dengan berperilaku husnudlan kita nantinya akan dianugerahi oleh-Nya untuk dapat melalui pintu-pintu kelembutan-Nya; yang berupa ma'rifah, insya Allah. []



Ma'rifah

Ma'rifah, adalah kemampuan seorang hamba di dalam menerima dan menangkap sinyal-sinyal Ilahiah dan pesan-pesan yang terdapat pada ayat-ayat Allah azza wa jalla. Sehingga menjadikan seseorang yang berma'rifah itu semakin mendekatkan dirinya dengan-Nya, dan tidak berpaling sedikit pun dari selain-Nya.
Seseorang yang telah dianugera ma'rifah oleh Allah azza wa jalla ('ârifin bil-lâh). Di kehidupannya secara total telah diabdikan untuk membangun kualitas cintanya kepada-Nya. Yang mana hal itu seringkali ditandai, segenap perilaku dan sikap mentalnya di kehidupan sehari-hari telah menjadikan segenap anugerah dan karunia-Nya sebagai fasilitas untuk mendekatkan diri dengan Allah jalla jalâluh.
Jadi, tidak ada hubungannya seorang 'ârifin bil-lâh dengan kehidupan mistik, yang sekarang ini sedang tumbuh menggejala di negeri ini. Misalnya, sebagai orang yang ma'rifah dia telah mampu melihat Tuhan, melihat jin, melihat dunia ghaib, melakukan penyembuhan, menebak nomor togel, meramal karir jabatan, dan masih banyak yang berbau klenik lainnya.
Seorang muslim mukmin harus dapat membedakan dengan benar, dan harus selalu memohon kepada-Nya agar dianugerahi petunjuk yang mengarahkan kepada ke jalan yang benar. Sebab, semakin kemauan seorang manusia itu tinggi untuk merengkuh sebuah cita-cita. Maka, hawa nafsu dan setan dengan segenap tipu dayanya berusaha supaya hamba tersebut gagal menjadi manusia seutuhnya.
Adapun seorang hamba yang menghendaki kedudukan ma'rifatullah. Maka, terdapat empat tangga kecerdasan untuk sampai kepada kedudukan ma'rifatullah tersebut; insya Allah:
1. Ma'rifatun Nafs.

• • •       •   
"Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Mahapengampun lagi Mahapenyanyang" (Qs.Yûsuf: 53).

         •                          
"Dan, sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. [Yaitu] orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lil-lâhi wa innâ ilaihi râji'ûn"; sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali [ini dinamakan kalimat istirjâ`; pernyataan kembali kepada Allah]. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk" (Qs.al-Baqarah: 155-157).

Berdasarkan dua ayat di atas, prinsip ma'rifatun nafs adalah mendidik dan memberikan pencerahan ruh, hati, jiwa, dan raga; agar secara total berkonsentrasi melakukan pengabdian hanya dengan-Nya.
Sebab, hanya dengan konsentrasi yang total aspek intuisional muncul sebagai kekuatan baru yang dahsyat. Adapun kekuatan baru yang dahsyat itu adalah terdapatnya kesadaran dan pencerahan bahwa dirinya merupakan hamba ('abdun) di sisi-Nya.
2. Ma'rifatul 'Alam.

          •
"Dan, tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya. Dan, Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu" (Qs.al-Hijr: 21).

    
"Wahai Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia" (Qs.Ali Imrân: 191).

        ••      
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, disebabkan karena perbuatan tangan manusia; supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari [akibat] perbuatan mereka, agar mereka kembali [ke jalan yang benar]" (Qs.ar-Rûm: 41).

Ketiga ayat di atas telah menginformasikan kepada kaum muslimin mukmin, bahwa struktur penciptaan alam semesta telah diatur secara detail oleh-Nya. Karenanya, tidak ada satu pun ciptaan-Nya yang tidak berguna di dunia ini, semua pasti ada guna dan dapat memberikan kemanfaatan buat umat manusia.
Guna mengukur kadar kemanfaatannya itulah, Allah swt dengan mengangkat para nabi dan para rasul-Nya untuk menyerukan kepada segenap umat manusia supaya berpedoman dengan Neraca Syariat-Nya.
Untuk itu parameter ma'rifatul 'alam, adalah semakin sabarnya dan semakin syukurnya seorang hamba di kehidupan sehari-hari; hingga memiliki akhlak tawadlu' yang terejawantahkan ke dalam sebuah transformasi tauhid dan transformasi sosial.
Dan telah menjadi kenyataan manakala transformasi tauhid dan transformasi sosial dari akhlak sabar, syukur, dan tawadlu' tidak ada. Maka, kehidupan manusia pasti berbuahkan bencana, petaka, kesulitan, dan kesengsaran.
3. Ma'rifatul Akhirah.
           
"Dan, berlaku angkuhlah fir'aun dan bala tentaranya di bumi [Mesir] tanpa alasan yang benar. Dan, mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami" (Qs.al-Qashash: 39).

                     
"Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat. Maka, tidaklah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan, jika [amalan itu] hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan [pahala]-nya. Dan, cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan" (Qs.al-Anbiyâ`: 47).

Dua ayat di atas memberikan acuan teologis, bahwa kehidupan akhirat itu pasti adanya. Maka, seorang hamba harus mengimani keberadaannya. Karenanya, sebagai sebuah kegagalan jika ada seorang hamba yang tidak mengimani keberadaan akhirat. Meskipun memiliki "kesaktian" yang tangguh, karena dia tidak mengimani eksistensi akhirat; maka gagallah dia sebagai manusia. Contohnya, fir'aun yang telah diabadikan-Nya di dalam al-qur`an.
4. Ma'rifatullah.

•    •     
"Sesungguhnya pelindungku, ialah yang telah menurunkan al-kitab [al-qur`an], dan Dia melindungi orang-orang yang shalih" (Qs.al-A'râf: 196).

            
"Rabb [yang menguasai] langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya. Maka, sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia [yang patut disembah]?" (Qs.Maryam: 65).

Berdasarkan kedua ayat di atas, maka kema'rifatan seseorang itu terukur dengan keteguhannya di dalam mengabdi kepada Allah swt selama hidupnya di dunia. Sehingga dari waktu ke waktu keimanannya, keyakinannya, dan ketaslimannya semakin meningkat. Karenanya, totalitas ketergantungannya terhadap Allah swt semakin kuat tak tergoyahkan.
Hal itu dikarenakan, di dalam kepribadian seorang yang berma'rifat berkeyakinan lagi mengimani, bahwa Allah ta'âlâ itu memiliki rencana yang terbaik atas kehidupannya. Sehingga di kehidupan kaum 'ârifin bil-lâh, "idzkur li nafsihi syarran wadzkur min ghairihi khairan"; ingatlah kepada dirinya sendiri segala keburukannya, dan ingatlah dari orang lain segenap kebaikannya; menjadi korikulum yang harus diselesaikannya. Dengan tetap menjadikan: Ma'rifatun Nafs; Ma'rifatul 'Alam; dan Ma'rifatul Akhirah pendukung utama di dalam pencapaian ma'rifatullâh.

Biasakan Dengan Tiga Hal
Guna mendapatkan kebiasaan berma'rifah, hendaknya seorang hamba di kehidupannya menradisikan:
1. Menyandarkan Hati Hanya Dengan Allah.
Ma'rifah hanya di dapat jikalau seorang hamba hatinya dengan kuat menyandar lagi mengikat dengan Allah azza wa jalla. Harus dijadikan kebiasaan di kehidupan ini untuk mengingkatkan dan menyandarkan hati hanya terhadap-Nya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,

          
"Dan, janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik" (Qs.al-Hasyr: 18-19).

Inilah kedudukan hati yang nantinya dapat melahirkan kecerdasan Ilahiah (ma'rifatullâh). Dan, seorang hamba yang hatinya telah menyandar lagi mengikat dengan-Nya, dia akan terhindar dari segenap kesulitan, di samping oleh-Nya dia akan dikaruniai kesehatan dlahir & bathin.
2. Menyesali Diri.
Adalah sesuatu yang harus dibiasakan, yakni menyesali diri dari segenap hal yang dapat menjadikan diri seorang hamba berdosa, bermaksiat, dan berdurhaka dengan-Nya.
Taubat dengan menjadikan air mata sebagai hijab terhadap neraka merupakan wujud dari sikap mental ma'rifah.
3. Bertawaqquf Terhadap Yang Ghaib.
Seorang hamba yang menghendaki kedudukan ruhani ma'rifah, maka di kehidupan kesehariannya haruslah membiasakan diri dengan bersikap tawaqquf terhadap segala hal yang ghaib.
Dikarenakan, membicarakan sesuatu yang ghaib tidak ada keilmuan pada diri manusia. Keghaiban dengan segala kerahasiaan adalah mutlak milik-Nya. Sedangkan keterjebakan terhadap masalah-masalah yang ghaib akan dapat merusak sikap mental ma'rifah terhadap-Nya.
Demikianlah untuk kita ambil hikmah dari segenap firman-Nya di atas, lalu bersegeralah berbenah diri untuk menjadi manusia sukses. Dengan suatu keyakinan bahwa, "Ma'rifah adalah pangkal pemahaman seorang hamba di dalam mengimplementasikan dinul Islam. Tanpa kema'rifatan tidak akan dimiliki kefakihan. Hilangnya kefakihan itu tanda tidak adanya sifat alim dalam berilmu. Karenanya, barangsiapa yang dikaruniai mema'rifati dirinya, maka dia akan dapat mema'rifati Rabb-nya".
Hanya dengan ma'rifah, kehidupan seorang hamba akan memperoleh kebahagiaan yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Betapa ruginya jika ada seorang hamba yang menelantarkan waktunya, melalaikan ibadahnya, dan memboroskan harta bendanya. Sebab, dia pasti akan menjadi manusia yang gagal di kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Karenanya, renungkanlah firman-Nya,

           
Dan, semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia. Dan, kehidupan akhirat itu di sisi Rabb-mu adalah bagi orang-orang yang bertakwa" (Qs.az-Zukhrûf: 35). []

Penutup


Tuhan telah mempersiapkan surga-Nya
dengan banyak pintu.
Bagi seorang mukmin dipersilahkan untuk mengetuknya
yang mana pun.
Lalu memasukinya dari yang mana terserah kepada kita
untuk memilihnya.

Allah azza wa jalla dengan kasih-Nya memberikan kebebasan dan mempersilahkan manusia untuk memilih antara pintu kebaikan dan pintu kebatilan. Sudah jelas, pintu kebaikan akan menghantarkan manusia kepangkuan-Nya yang hakiki. Sebaliknya pintu kebatilan akan menghantarkan manusia kepada laknat Allah dan Rasul-Nya.
Jika kita berpikir jernih dan menggunakan nurani kita, maka pintu kebaikan yang diberikan Allah ternyata jauh lebih banyak dibandingkan dengan pintu kebatilan.
Akan tetapi, mengapa kebanyakan manusia memilih pintu kebatilan? Tidak lain adalah karena nuraninya telah menuruti hawa nafsu, hawa nafsunya dijadikan nafas dan perilaku yang ditekuninya. Sehingga semakin lalai dan tak sadar telah menjauhi Allah swt. Mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak menggunakan akalnya.
Tidak demikian dengan manusia cerdas yang selalu menggunakan pikiran dan nuraninya. Manusia seperti ini akan menyerahkan dirinya kepada Allah swt, bukan berarti mengikuti arus angin ke mana saja. Justru, kesadaran pikir dan nuraninya menunjukkan pintu-pintu kelembutannya yang sangat halus. Karena dengan pintu-pintu itulah ia bisa bertemu dengan sang khalik dan memohon penjagaan atas dirinya. Dari sinilah manusia akan tercerahkan dengan cahaya Ilahi sehingga terhindar dari hal-hal yang mungkin bisa merusak hati nurani. Dengan cahaya ini, nurani akan selalu terbimbing pada jalan Allah swt. Dan nurani yang terbimbing akan mewujudkan akhlakul karimah pemiliknya.
Pintu-pintu kelembutan di dalam buku ini adalah bagian dari berjuta bahkan bermilyar pintu-pintu kelembutan-Nya.
Memang, yang namanya kemaksiatan lebih lezat dan menggiurkan—kelihatannya--, akan tetapi itulah hambatan dan sekaligus tantangan dunia, jika kita cerdas menyikapi dan mampu mengatasinya akan menghantarkan kepada kemuliaan yang hakiki.
Kata Rasul saw doa sesama muslim itu mustajabah. Untuk itu, marilah kita saling mendoakan agar dengan kasih dan pertolongan-Nya kita diperkenankan mengetuk dan memasuki pintu-pintu kelembutan-Nya, walaupun hanya satu pintu, jika hal itu diridlai-Nya maka, merupakan kebahagiaan dunia dan akhirat, dan penghantar kita masuk surga. Amin. []

Tidak ada komentar: