Sabtu, 04 September 2010

SHALAT YANG SEMPURNA

Makna Shalat Khusuk
Komunikasi langsung dengan Allah swt setelah berikrar 2 kalimat syahadat yaitu mendirikan shalat. Shalat adalah bentuk ibadah yang berupa penghambaan makhluk kepada Sang Khaliq dengan waktu, tempat dan kondisi yang sangat khusus tanpa melakukan aktifitas yang lain selain shalat itu sendiri. Sedangkan ibadah yang lain dapat dilakukan dengan melakukan aktifitas lainnya asal dengan niat untuk ibadah
Shalat adalah perintah Allah swt kepada para hamba-Nya, sebagaimana firman Allah “wamā khalaqtul jinna wal insa illā liyakbūdunî” Bahwa Allah swt tidak menciptakan jin dan manusia melainkan mutlaq hanya untuk beribadah kepada-Nya.[1] Itulah yang harus benar-benar dicamkan oleh semua makhluk yang merasa dirinya al-insan. Sebab itulah shalat merupakan tugas pokok bagi seseorang yang telah mengakui bahwa tidak ada illah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah.
Di dalam peristiwa perjalanan isra’ dan mi’raj nabi Muhammad saw, menerima oleh-oleh terbesar bagi beliau khususnya dan umat Islam pada umumnya yaitu shalat lima waktu dalam sehari semalam. Mengapa dikatakan “oleh-oleh” yang paling besar. Sebab dengan shalatlah ummat Muhammad menjadi mulia. Mulia dipandangan makhluk dan Allah swt.
Lalu pertanyaannya shalat yang bagaimanakah yang menjadikan seorang hamba itu mulia? Apakah semua shalat? Sebab di dalam al-qur’an Allah tidak mengancam orang yang minum khamer tapi yang diancam ialah mereka yang shalat “yang lalai dalam shalatnya” [2]
Jawabannya ialah tidak semua shalat. Sebab hanya shalat yang khusuklah yang dapat merubah perilaku pasca shalat. Nah shalat yang dapat merubah perilaku itulah yang menjadikan seseorang menjadi mulia dimata Allah dan segenap makhluk-Nya. Dan shalat yang bisa merubah perilaku adalah shalat yang khusuk.
Shalat yang khusyuk ialah shalat yang benar-benar mencari ridha Allah swt. Dan pasca shalat merubah perilaku kearah yang lebih baik sehingga terwujudlah rahmatan lil’alamin dalam kehidupan. Sebab bila ibadah shalat telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi, dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuaya merupakan keburukan dan sumber malapetaka di muka bumi.
Tidak bisa dipegangi artinya ibadah shalat tidak dapat dirasakan manfaatnya bagi kesejahteraan hidup. Misalnya secara teoritis banyak orang yang pandai berdalil bahwa shalat harus dikerjakan secara khusuk. Tetapi fakta yang terjadi melatih seseorang untuk bisa khusuk itu tidak gampang. Bukan hanya yang dilatih yang tidak dapat mengerjakan shalat khusuk, tetapi kebanyakan yang melatih pun belum tentu bisa mengerjakan shalat dengan khusuk.
Sedangkan bagi orang-orang yang melupakan dan mengabaikan makna shalat khusyuk, hanya akan mendapat murka-Nya. dalam artian shalat yang dikerjakan oleh kebanyakan orang telah kehilangan ‘ruh dan maknanya’. Shalat merupakan hal yang mencelakakan manusia bila hanya dikerjakan sebagai pemenuhan formalitas, hanya sebatas mengugurkan kewajiban, alias tidak mampu memberikan manfaat bagi pelakunya dan orang lain. Al-qur’an telah mengkritik dengan Firman-Nya,
×@÷ƒuqsù šú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEŸx|¹ tbqèd$y™ ÇÎÈ tûïÏ%©!$# öNèd šcrâä!#t�ムÇÏÈ tbqãèuZôJtƒur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (Qs. al-Mâ’un: 4-7)
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan shalat bukanlah sebuah tujuan dalam hidup ini. Namun shalat merupakan sebuah etika dalam kehidupan beragama. Makna dan tujuan dibalik pelaksanaan shalat itulah yang tidak boleh diabaikan. Perilaku orang yang shalat dan yang tidak shalat harus berbeda. Karena dampak dari shalat yang khusuk tercermin dalam kehidupan sehari-hari dengan terwujudnya kehidupan yang rahman lil ‘alamin.
Kasih sayang terhadap sesama, perhatian terhadap lingkungan, tidak membuat onar, taat terhadap rambu-rambu lalu lintas. Dengan demikian orang yang shalat khusyuk ditandai dengan ‘hidup bersih, benar, dan tidak menyakiti orang lain.
Maka orang yang shalat hendaknya, memberi makan orang-orang miskin dan tidak menghardik anak yatim. Jika tidak demikian maka inilah yang disebut al-qur’an dengan pendusta agama![3]
Sebagaimana sekarang ini kita menyaksikan keadaan demikian di negeri ini. Tempat ibadah penuh sesak. Berbondong-bondong orang yang melakukan formalitas ibadat—apalagi shalat dua Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha-red). Tetapi perilaku negatif kian hari semakin meningkat. Terbukti korupsi di negeri ini tergolong nomor wahid.
Rasa solidaritas, sepenanggungan seperasaan, semakin kandas. Para elit pemerintahan cuek, tak acuh pada penderitaan orang banyak, orang kaya tidak mau memperhatikan yang miskin. Yang penting gue enjoy. Keagamaan hanya sebatas pada simbul, dan identitas diri belaka. Belum sampai pada penghayatan keagamaan. Akhirnya apa yang terjadi…? Bencana melanda negeri ini. Mala petaka tak kunjung usai, sejak pertengahan 1977 sampai sekarang. Ini semua bisa terjadi karena kita cuma riyak dalam beragama [seolah-olah beragama].
Sehingga praktik keagamaan tidak berimplikasi—membekas terhadap “amar ma’ruf nahi munkar” seolah-olah praktik shalat itu tidak terkait dengan akhlak atau budi pekerti dan perjuangan hidup. Sehingga timbulah istilah “shalat oke dan maksiat jalan terus”. Dengan kata lain rukun Islam dikerjakan, perintah dan larangan pun diabaikan. Sehingga sebagian besar umat bangsa ini belum mampu menjadikan shalat sebagai motivator kecerdasan keagamaan.
Jika seseorang telah mancapai derajat menjadikan shalat sebagai motivator kecerdasan, maka insya Allah hidupnya akan selalu berdzikir kepada Allah swt baik dalam keadaan bergerak, berdiri, rukuk, dan sujud dalam satu kesatuan, maka terciptalah ketenangan batin. Di dalam shalat ada ‘washala’ yaitu tindakan untuk menghubungkan, menyatukan diri dengan Tuhan. Bila ini tercapai maka lahirlah ‘kasih’ yang terejawantahkan dalam kehidupan dengan tercegahnya seseorang dari perbuatan keji dan munkar.
Demikianlah shalat yang khusyuk yaitu shalat yang didasari dengan rasa cinta kepada Allah swt. Dan menyadari dengan sepenuh hati bahwa diri ini tidak lebih dari seorang hamba-Nya. Serta senantiasa merasa diawasi oleh-Nya. Sehingga yang timbul adalah rasa penghambaan yang totalitas. Bukan karena inginkan ini dan itu. Sebagaimana diterangakan oleh Imam Ibn Atha’ illah al-Assakandari di dalam Hikamnya, menukil pernyataan Rabi’ah al-Adawiyah dalam satu munajatnya;
“Ya Allah jika aku menyembah Engkau karena mengharapkan surga, maka campakkanlah surga kepadaku. Jika aku menyembah Engkau karena takut akan neraka, maka lemparkanlah aku kedalam neraka Engkau. Namun jika aku menyembah Engkau semata karena cintaku kepada Engkau, maka perkenankanlah aku melihat Wajah Agung Engkau.”[4]

[1] Qs. adz-Dzariyat [51]: 56
[2] Qs. al-Mâ’ûn: [107]: 4-5
[3] Qs. al-Mâ’un [107] : 1-3
[4] Syarah al-Hikam, H. Salem Bahresy

Tidak ada komentar: