Sabtu, 04 September 2010

MENGELUARKAN ZAKAT

Definisi Zakat

Apakah zakat itu? Dalam bahasa Arab, zakat ialah kata dasar (isim masdar) dari fi’il (perbuatan) zaka. Zaka dari aspek bahasa ialah suci, bersih, subur, tumbuh, berkembang, berkah dan terpuji. Maka yang disebut dengan zakat adalah penyuci, pembersih, penyubur, penumbuh, pengembang, dan pemberkah harta.
Oleh karenanya bisa dianalogikan, harta yang dizakatkan itu sebenarnya akan menjadikan harta si pemilik itu bersih, makin subur dan dapat terus berkembang serta bertambah berkah.

Disamping itu orang yang mengeluarkan zakat juga akan dikurniakan Allah swt dengan sifat terpuji dan limpahan keberkahan di dalam kehidupannya. Sebab itulah Nabi pernah mengingatkan kepada kita semua:

عَنْ جَابِرِ قَالَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَدَى زَكَاةَ مَالِهِ ، فَقَدْ ذَهَبَ عَنْهُ شَرَّهُ
Dari sahabat Jabir r.hu, ia berkata Rasulullah saw bersabda, “Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu, maka engkau telah menghindari kejahatannya daripadamu.” (Hr. Thabrani). [1]

Dan juga dalam sebuah hadis, “Sesungguhnya Allah telah memfardukan zakat sebagai penyuci harta.” (Hr. Bukhari).

Sebenarnya kalau kita mau mengkaji al-qur’an lebih dalam maka kita akan menemukan pemahaman bahwa sesungguhnya zakat itu sangat erat kaitannya dengan shalat khusyuk. Sebab salah satu bukti dari shalat khusyuk adalah memberi makan anak yatim dan menyantuni fakir miskin. Jika shalatnya tidak bisa menghantarkan pada hal di atas maka itulah yang disebut dalam al-qur’an surat al-Mâun sebagai pendusta agama! Berarti dia masih lalai dalam shalatnya! Belum sampai pada derajat shalat khusyuk.
Karena jika shalat seseorang itu khusyuk maka sudah semestinya ia menuniakan zakat. Sebab inti daripada shalat khusyuk adalah terwujudnya akhlaqul karimah dan sebagai “rahmatan lil ‘alamîn” menjadi rahmat bagi seluruh alam. Jadi seseorang yang telah mengaku muslim hendaknya selalu bersikap santun, arif dan bijaksana meminjam istilah Syaikh Miftahul Luthfi Muhammad “meng-Allah-kan Allah, me-Manusia-kan manusaia, dan meng-Alam-kan alam.”

Dan bukti dari semua itu diantaranya adalah menyantuni fakir dan miskin. Dengan cara memuliakan dan mencukupi kebutuhan mereka. Tentu saja sesuai dengan kemampuan yang ia miliki.
Di dalam al-qur’an surah Ali-Imran: 134 Allah berfirman,

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Orang muslim ialah mereka yang menginfakkan hartanya baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Hal itu dikuatkan oleh sabda Nabi saw,

عَنْ حَكِيْم بن حِزَامُ رضي الله عنه قَالَ: قاَلَ رَسُوْلُ الله J: اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلىَ،
Dari sahabat Hakim bin Hizam r.hu, dia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.”[2]

Berdasarkan hadis di atas, seorang muslim-mukmin diajari oleh Rasulullah saw untuk berperilaku derma dan pemurah. Suka berkurban untuk kepentingan masyarakat, dan mau mengulurkan tangannya kepada siapa saja yang memerlukan. Pemikiran yang dibangun Rasulullah saw. Ialah menjadikan seorang muslim terbiasa dengan "tangan di atas". Sebaliknya, harus malu manakala "tangannya di bawah". Inilah sebuah kecerdasan sosial yang hendak dibangun oleh dinul Islam.

[1] Hr. Thabrani hadis nomor: 1639, juz: 4, halaman: 99.
[2] Hadis ini jiga diriwayatkan olah Imam Ahmad r.hu dalam Musnad-nya, Juz XXI, hal 170, hadis nomor 15026. Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab-nya, Juz III, hal. 102. Dan, Imam Baihaqi dalam as-Sunanul Kubrâ, Juz IV, hal. 177

Tidak ada komentar: