Sabtu, 04 September 2010

MEYAKINI KEBERADAAN ALLAH SWT

Hati Yang Iman Kepada Allah Swt
Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada) yang disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan [sifat 20], dan disucikan dari sifat-sifat kekurangan. Dia Maha Esa, Mahabenar, Tempat bergantung para makhluk, tunggal (tidak ada yang setara dengan Dia), Pencipta segala makhluk, Yang melakukan segala yang dikehendakiNya, dan mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya.
Sebagaimana firman-Nya,
”Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (Qs. al-Ihlash: 1-4)
Masalah keimanan adalah masalah hati. Sedangkan hati itu bermacam-macam, ada orang yang hatinya lembut sehingga mudah menerima hidayah (tauhid) sebagaimana sahabat Abu Bakar as-Sidiq. Hal ini terbukti ketika Rasulullah saw pulang dari isra’ mi’raj beliau langusung iman kepada Rasulullah saw. Namun juga ada hati yang keras bahkan lebih keras dari pada batu, sehingga sulit untuk dimasuki hidayah Allah swt. Sebagaimana paman nabi saw Abu Jahal dan Abu Lahab. Meskipun mereka masih ada hubungan kerabat dengan nabi saw tapi hati mereka keras sehingga hidayah tetap tidak bisa masuk.
Hati yang bersih disebut juga dengan hati yang selamat (qalbun salim). Keadaan hati yang selamat adalah dambaan dari setiap hamba Allah yang beriman kepada-Nya. Hati yang selamat adalah hati yang selalu diperbaiki oleh pemiliknya, atas pertolongan Allah azza wa jalla. Itulah yang disebut hati yang sehat (qalbun 'afiah). Dan, tidak ada jalan yang paling cepat di dalam memperbaiki hati kita, kecuali dengan menanamkan rasa iman secara tekun, disiplin, dan sungguh-sungguh ke dalam hati. Keberadaan hati yang beriman bagi seseorang yang memilikinya, sungguh merupakan anugerah yang sangat mulia bagi seorang hamba yang telah dipilih-Nya.
Tapi, apakah demikian halnya dengan hati orang yang munafik dan kafir kepada Allah azza wa jalla? Jawabannya, adalah tidak. Hati orang munafik, adalah cerminan dari hati seorang hamba yang sakit, atau berpenyakit. Dan hati orang kafir, adalah cerminan hati yang keras lagi membatu. Maka, celaka dan merugilah bila seorang hamba Allah mempunyai hati yang sedang sakit (qalbun mar īdl) atau sedang mengeras (qalbun muqasid). Hati seorang kafir atau munafik sangat sulit untuk menerima petunjuk Allah swt dan setiap ajakan-ajakan kebaikan, di bandingkan dengan hatinya orang-orang mukmin.
Ingat dalam peristiwa isra` wal mi'raj Nabi saw, sebelum beliau di isra` dan mi'raj-kan oleh-Nya dari Makkah menuju Baitul Maqdis, dan dari Baitul Maqdis ke Shiddratul Muntahâ. Nabi saw lebih dahulu harus mengalami "operasi kecil" di mana hati beliau dikeluarkan dari dada untuk kemudian dicuci lebih dahulu oleh dua malaikat-Nya.
Tujuannya sangat jelas, agar Rasulullah saw nantinya tidak melakukan perbuatan maksiat dan dosa kepada Allah swt. Maka, beliau mendapatkan gelar "pribadi yang maksum", yaitu sosok manusia yang tidak akan berbuat salah dikarenakan beliau selalu dijaga oleh-Nya secara langsung.
Inilah pelajaran buat kaum yang beriman kepada Allah swt, bahwa perbaikan hati dan penyucian diri merupakan perbuatan yang sangat penting dan harus dilakukan oleh kaum mukmin, yang dalam kehidupannya tidak mungkin terbebas dari dosa dan maksiat kepada-Nya.
Dikarenakan umat beliau, pribadinya hanya sekadar berkedudukan mahfudz, yaitu hati seseorang akan terjaga oleh-Nya, bila si pemilik hati selalu menjaganya dari perbuatan dosa dan maksiat. Bila seseorang berbuat dosa dan maksiat kepada Allah swt, maka saat itu imannya tercabut dari hati itu.
Dengan demikian di dalam hati yang mahfudz masih terdapat peluang yang sangat besar untuk dapat melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Meski karena keimanannya pula si pemilik hati itu segera menaubati dan menyesali atas perbuatan dosa dan maksiatnya tersebut kepada Allah azza wa jalla.
Itulah yang disabdakan Nabi saw mengenai kondisi hati seorang mukmin, di mana di saat seorang hamba melakukan dosa. Maka, akan muncul bintik hitam di dalam hati tersebut. Jika dosa dan maksiat dilakukan berkali-kali tanpa ditaubatinya, maka bintik-bintik hitam itu akan terus bertambah tebal dan tingginya di dalam hati. Namun, jika si pemilik hati menyesali dan menaubatinya, maka hatinya akan kembali bersih, bercahaya, dan mengkilat; apabila bintik-bintik hitamnya hanya sedikit.
Untuk lebih jelasnya mari kita kaji satu hadis Nabi saw tentang macam-macamnya hati sebagai berikut,
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ: قَلْبٌ أَجْرَدُ فِيْهِ مِثْلُ السِّـرَاجِ يَزْهَرُ، وَقَلْبٌ أَغْـلَفُ مَرْبُطٌ عَلَيْهِ غِلاَفُهُ، وقَلْبٌ مَنْكُوسٌ، وَقَلْبٌ مُصَفَّحٌ، فَأَمَّا الْقَلْبُ اْلأَجْرَدُ فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ، وَ أَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ فَقَلْبُ الْمُنَافِقِ عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ، وَ أَمَّا الْقَلْبُ الْمُصَفَّحُ فَقَلْبُ فِيْهِ إِيْمَانٌ وَنِفَاقٌ فَمَثَلُ اْلإِيْمَانِ فِيْهِ كَمَثَلِ الْقَرْحَةِ يُمِدُّهَا الْقَيْحُ وَالدَّمُ، فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى اْلأُخْرَى غَلَبَتْ عَلَيْهِ
Dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri r.hu, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Hati itu ada empat macam: 1).Hati yang bersih, di dalamnya ada semacam lentera yang bersinar; 2).Hati yang terbungkus yang terikat dan padanya ada bungkusnya; 3).Hati yang terbalik; dan 4).Hati yang dibentangkan. Adapun hati yang bersih adalah hati seorang mukmin. Adapun hati yang terbalik adalah hati seorang munafik, dia tahu tetapi mengingkari. Adapun hati yang terbentang adalah hati yang padanya ada iman dan kemunafikan, dan perumpamaan iman yang ada padanya adalah seperti sayuran yang disuplai air yang bersih; sedangkan perumpamaan kemunafikan yang ada padanya adalah seperti bisul yang disuplai nanah dan darah. Mana di antara kedua suplai itu yang dominan atas lainnya, maka dia yang menang” (Hr. Ahmad).[1]
Qalbun ajradun. Yaitu hati yang bersih, yang di dalamnya terdapat semacam lentera yang bersinar. Hati inilah yang siap menerima semua petunjuk Allah swt. Oleh karenanya orang yang hatinya bersih disebut orang yang beriman (mukmin) sebab hanya orang mukmin saja yang patuh dan tunduk kepada setiap petunjuk dan perintah-Nya.
Di dalam al-qur’an hati orang-orang yang beriman disebut dengan qalbun salim. Hati yang tidak ada keraguan dalam keimanan kepada Allah swt.
Sebagaimana pernah dicontohkan oleh sahabat Abu Bakar as-Shidiq. Yang menurut kebanyakan cerita, Abu Bakar diberi gelar as-Shidiq adalah ketika Rasulullah saw pulang dari isra’ dan mi’raj beliau langsung mengimaninya. Inilah yang disebut dengan keimanan yang tidak ada keraguan padanya.
Qalbun aghlafun. Ialah hati yang terbungkus yang terikat. Hati ini pada dasarnya dimiliki oleh orang-orang yang pandai dan cerdas. Namun dengan kecerdasannya tersebut bukan lebih mendekatkan diri kepada Allah swt, tetapi justru menambah jauhnya dari Allah swt. Kebanyakan orang yang dikaruniai hati semacam ini suka “mengotak-atik” akalnya sehingga menyangka tindakan dan keputusannya adalah paling baik dan benar. Namun dalam kenyataannya pikirannya yang telah dikuasai oleh setan tersebut adalah salah dan sesat, sebab setan telah menghiasi dan membelenggu pikiranya.
Sebagaimana difirmankan-Nya,

“…Dan syaitan telah menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang berpandangan tajam” (Qs. al-Ankabut:38)

Dalam ayat yang lain,

“…Sebenarnya orang-orang kafir itu dijadikan (oleh syaitan) memandang baik tipu daya mereka dan dihalanginya dari jalan (yang benar).” (Qs.ar-Ra’du: 33).
Ini adalah hatinya orang-orang kafir semisal Fir’aun, yang menyangka bahwa ia yang paling benar dan paling berkuasa sehingga berani mengaku Tuhan. Nah prasangka demikian inilah yang menjadikan seseorang semakin jauh dari Allah dan petunjuknya. Juga Haman, dan Qarun, yang sangat gila dengan harta, meraka berpikir bahwa dengan harta meraka dapat membeli segala-galanya. Padahal Allah sekali-kali tidak pernah bisa disuap dengan harta. Bahkan harta itu sendiri pada hakekatnya adalah titipan dari Allah. Maka prasangka yang demikian inilah yang menjadikan ia mereka semakin jauh dari hidayah Allah swt.
Qalbun mangkūsun, Hati yang terbalik, adalah hati orang-orang munafik. Mereka tahu tentang kebenaran adanya Allah swt namun mengingkari keberadaannya. Percaya kepada Allah swt tetapi tidak mau mengerjakan perintah-Nya. Mereka beranggapan bahwa Agama yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah adalah bohong. Sehingga diantara mereka (kaum munafik) mengolok-olok Muhammad bahwa agamanya hayalah tipu daya belaka. Sebagaimana diabadikan dalam al-qur’an,

“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata :"Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada Kami melainkan tipu daya" (Qs. al-Ahzâb[33]: 12)
Qalbun mushaffahun, Hati yang dibentangkan. Ini adalah hati yang dimiliki oleh orang yang beriman, namun didalam keimanannya masih ada kemunafikan. Sehingga ia menyampur-adukkan antara iman dan kemunafikan. Dalam keagamaannya terdapat istilah populer, “Shalat oke, maksiat jalan terus.” Dia percaya kepada Allah swt. Namun dengan serta-merta menolak dan mengabaikan perintah-Nya, dalam artian ia percaya bahwa al-qur’an adalah petunjuk orang-orang yang beriman, namun ia melemparkannya di atas punggung dan mengabaikannya [samikna wa ashaina] kami dengar tentang Allah tapi kami mendurhakainya.
Ia lebih cenderung kepada kemaksiatan dari pada ketaatan. Sehingga ia tidak lebih dari seekor keledai yang membawa kitab suci. Sebagaimana kaum Yahudi yang diberikan kitab Taurat. Mengetahui tetapi tidak mengamalkannya. Mereka mengatahui tentang kerasulan Muhammad bin Abdullah di dalam Taurat, namun kebanyakan dari mereka mengingkarinya. Demikianlah makna dari firman-Nya,
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Qs. al-Jumu’ah [62]: 5)”
Sebagai orang yang mengimani adanya Allah swt dan hal yang ghaib—termasuk meyakini hal-hal yang tidak masuk akal yang itu datangnya dari Rasulullah saw—berarti dalam setiap hal kita senantiasa merasa dalam penglihatan Allah swt. Dengan demikian kita dengan sendirinya akan selalu berusaha menjadi orang yang terbaik dalam hidup ini. Menjadi yang terbaik dihadap Allah. Terbaik dengan makhluk Allah. Terbaik dalam segala hal dan lini kehidupan.
Contoh pribadi Mukmin paling jelas dalam kehidupan ini adalah Rasulullah ibunda Khadijah r. ha, dan sahabat Nabi saw, yaitu Abu Bakar as-Siddiq r. hu, yang langsung percaya dan iman terhadap cerita yang disampaikan Nabi saw setelah Isra’ mi’raj, walau tidak masuk akal sekalipun. Sebab iman bukan wilayah akal tapi wilayah hati. Maka beliau mendapat gelar as-Siddiq.
Hingga ada ungkapan yang mengatakan bahwa, ”Seandainya iman Abu Bakar diletakkan dalam timbangan yang satu dan iman umat seluruh penduduk bumi di letakan pada timbangan yang lain maka, niscaya iman Abu Bakar lebih berat dari iman seluruh penduduk bumi.”
Wallahu a’lam

Tidak ada komentar: