Kamis, 02 September 2010

quantum Beliving

MEMAHAMI KEJADIAN MANUSIA




Adalah anugerah yang sangat besar, bila kita sebagai hamba Allah dikarunia-Nya dapat memahami kejadian manusia, sebagaimana yang telah diterangkan di dalam al-qur`an. Karena tidak semua manusia diberi pengetahuan akan hal itu. Atau mungkin dia sangat mengerti akan proses tersebut, tapi menolaknya begitu saja. Atau, boleh jadi kejadian manusia dianggapnya sesuatu yang wajar-wajar saja.
Yang jelas bagi kaum mukminin, anugerah Allah swt yang berupa dapat memahami kejadian manusia akan mendorongnya untuk berperilaku tauhid. Sedangkan perilaku tauhidullâh merupakan entry point pada pengamalan nilai-nilai syariah dan akhlak secara implementatif. Sementara, Allah azza wa jalla telah membekali kehidupan umat manusia dengan "fitrah yang berkembang", yakni berupa potensi takwa dan perilaku jujur. Disabdakan Nabi saw,

“Bertakwalah kepada Allah sesungguhnya takwa itu mengandung semua kebaikan…” (Hr.Abu Ya’la, dari sahabat Abu Sa’id ra).

Dalam riwayat yang lain juga disabdakan,

“Amal surga adalah jujur. Apabila seorang hamba berbuat jujur berarti ia telah bertakwa. Apabila ia bertakwa berarti ia beriman, dan apabila ia beriman berarti ia masuk surga. Amal neraka adalah dusta. Apabila seorang hamba berdusta berarti ia telah berbuat durhaka, dan apabila ia berbuat durhaka berarti ia telah ingkar. Apabila ia ingkar berarti ia masuk neraka” (Hr.Ahmad, dari sahabat Ibnu Umar ra).

Artinya, manusia sebagai makhluk yang berjiwa, secara personal dia memiliki kejadian yang paripurna (fî ahsani taqwîm: qs.at-tîn; 4) dengan bentuk yang bagus (fa ahsana shuwara-kum: qs:at-taghâbun; 3). Inilah kemampuan dasar seorang hamba Allah yang harus di-quantum-kan kepada sebuah kepribadian berperikemanusiaan, yang di dalam al-qur`an disebut kepribadian râdliatam mardliah (Qs.al-Fajr: 28).
Kepribadian râdliatam mardliah adalah sosok pribadi unggul dengan perilaku tenang (muthma`innah), yang tetap menjaga keseimbangan kehidupannya, baik dalam konteks kehidupan dunia maupun dalam konteks kehidupan akhirat. Hanya hamba Allah yang bertipologikan jiwa muthma`innah yang kelak diseru-Nya masuk ke dalam hizbun-Nya dan surga-Nya (Qs.al-Fajr: 29-30).

Tahapan Penciptaan Manusia

“Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah liat. Lalu, Kami jadikan dia air mani yang tersimpan dalam tempat yang kokoh sekali. Kamudian, dari air mani itu, Kami jadikan segumpal darah. Kemudian, segumpal darah Kami jadikan gumpalan (janin); dan gumpalan itu Kami jadikan tulang-belulang, sedangkan tulang itu Kami bungkus dengan daging. Lalu, Kami kembangkan menjadi makhluk lain lagi. Dan, Kami tidak melalaikan ciptaan Kami” (Qs.al-Mu`minûn: 12-14).

Dari teks ayat al-qur`an tersebut di atas, maka dapatlah dipahami bahwa kejadian manusia dalam tingkatan prenatal (sebelum kelahiran, red) meliputi beberapa tahapan, sebagai berikut: Nutfah (tetesan atau setitik air); Alaqah (berbentuk seperti lintah); Mudghah (berbentuk seperti kunyahan); Idham (tulang-tulang atau tengkorak); kasaunal idham bil-idham (daging atau otot yang membungkus tulang-tulang); dan an-nasya’ (pembentukan janin yang nyata).
Memahami kejadian manusia yang runtut lagi rapi tersebut, maka Allah ta'âlâ lalu bertanya kepada umat manusia. Dan, sudah barangtentu pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban,

“Mâ lakum lâ tarjûna-llâhi waqârâ, wa qad khalaqa-kum athwârâ;" mengapa kalian tidak percaya akan kebesaran Allah. Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kalian dalam beberapa tingkatan kejadian? (Qs.Nûh: 13-14).

Dari sini jelaslah bahwa kejadian manusia tidak seluruhnya berasal dari air mani (nutfah). Sebaliknya, unsur Ilahiah-lah yang paling mutlak di balik kejadian umat manusia di kehidupannya. Terlepas umat manusia itu mau percaya atau tidak akan kejadiannya, karena sebagian dari mereka ada yang membutuhkan bukti-bukti nyata. Namun dengan jelas dan pasti bagaimana Allah telah menakdirkan kehidupan seorang hamba-Nya. Sebagai kaum mukminin, kita harus meyakini bahwa gambaran kongkrit tentang kejadian manusia di dalam Kitab Suci al-Qur`an merupakan fasilitas untuk semakin kokohnya perilaku tauhidullâh, di dalam kehidupan keseharian mulai bangun tidur sampai tidur kembali. Dan, tentunya hal ini berbeda sekali dengan pola kepribadian kaum kafirin dan kaum munafikin yang nyata-nyata mengingkari dan mengkhianati atas kejadian mereka.

Manusia Itu Makhluk Seimbang
Mengenai manusia sebagai makhluk yang seimbang, hal itu telah ditegaskan oleh Allah swt,

“Wab-taghi fî mâ âtâka-llâhud dâral `âkhirata wa lâ tansa nashîbaka minad-dunyâ”; dan, carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat. Dan, janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (Qs.al-Qashash: 77).

Secara prinsipil manusia telah dianugerahi Allah azza wa jalla sebagai makhluk bi-dimensional, yakni makhluk yang memiliki jiwa dan jasad, akal dan ruh, kemampuan dlahir dan kemampuan batin, kemampuan menangkap fenomena duniawiah dan kemampuan menangkap fenomena ukhrawiah. Sedangkan amanah yang di sandangnya, harus tetap dipraktekkan di kehidupan kesehariannya secara seimbang (balancing way). Karena hanya dengan keseimbangan di kehidupannya seorang hamba Allah telah memenuhi prinsip-prinsip kejadiannya. Keadaan inilah yang tidak dipunyai makhluk-makhluk Allah yang lainnya.
Maka tidaklah benar, bahkan syariat Islam sangat melarangnya, bila ada seorang muslim yang begitu kelewat batas mencintai dunia melupakan masa depan akhiratnya. Atau pun sebaliknya, sangat mementingkan akhiratnya sehingga begitu saja menelantarkan kehidupan dunianya.
Dinul Islam hanya menghendaki agar kaum muslimin benar-benar mengapresiasi di kedua kehidupannya tersebut. Sehingga dengan bekal ke-tauhid-annya seorang hamba kelak dapat mempertanggung-jawabkan segala kejadiannya di hadapan-Nya. Karenanya, Allah azza wa jalla menganugerahi fasilitas kepada segenap umat manusia berupa: intelligence, emotional, dan intuitional; semata untuk tetap memahami dan memahamkan di kehidupan keseharian seorang hamba supaya tetap berpedoman kepada al-qur`an dan al-hadis. Inilah yang disebut dengan kecerdasan wahyu (Revelation Quotient). Sebab, hanya seorang hamba Allah yang berkecerdasan wahyu yang dapat memiliki keseimbangan di dalam kehidupannya. Itu artinya manusia tersebut telah memenuhi prinsip kejadiannya sebagai makhluk yang seimbang.


Manusia Itu Makhluk Serasi
Keserasian hidup dalam kehidupan seorang hamba sangatlah ditentukan oleh adanya keseimbangan dalam melakukan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, yakni kebutuhan jiwanya dan kebutuhan tubuhnya. Oleh karena disebut berkepribadian serasi manakala pribadi itu telah melaksanakan hak dan kewajiban secara adil lagi hanif.
Adapun hak dan kewajiban pribadi di dalam kehidupannya, antara lain: a).Memperhitungkan kemampuan tubuh; b).Menjaga kesehatannya; c).Memahami kekuatannya; dan d).Memenuhi segenap kebutuhannya dalam batas-batas yang diperkenankan oleh dinul Islam. Dan, di saat yang sama pribadi tersebut berpegang teguh pada tauhidullah dan akhlakul karimah, yang disertai dengan pengamalan kongkrit rukun iman dan rukun Islam di dalam kehidupan kesehariannya.
Jadi, pribadi yang serasi merupakan sebuah pribadi mukmin, yang secara maksimal berusaha mengamankan potensi takwa dan perilaku jujur, guna mendapatkan anugerah Allah jalla jalâluh sebagai hamba-Nya yang berkepribadian râdliatam mardliah dengan kedudukan ruhani bernafsukan muthma`innah. Dapatlah dipahami bahwa pribadi yang serasi, ialah pribadi yang tidak tunduk-patuh kepada kekuatan hawa nafsu syahwatnya, sebaliknya ia tetap mereferensikan dirinya kepada al-qur`an dan as-sunnah; di samping tetap memenuhi hak dan kewajiban atas pribadinya. Sebagaimana firman-Nya,

“Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya. Maka, apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau, apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak. Bahkan, mereka lebih sesat jalan” (Qs.al-Furqân: 43-44).

Pribadi serasi adalah sosok pribadi yang indah, sebab pribadi tersebut bersifat manusiawi lagi memanusiakan manusia. Karena sosok pribadi ini benar-benar telah mengamalkan perilaku ihsan di keseharian kehidupannya secara implementatif lagi nyata. Dan hal ini sangat realistis di dalam ajaran Islam, di mana dinul Islam ajarannya bersifat lurus lagi penuh toleran. Seperti telah disabdakan Nabi saw,

“Bu'itstu bil-hanafiyyatis samhah, wa man khâlafa sunnatî fa-laisa minnî;” aku diutus dengan agama yang lurus lagi penuh toleran. Dan, barangsiapa yang menyalahi akan sunnahku, maka bukanlah ia dari umatku (Hr.al-Khathib; Kitâb al-Jamî'ush Shaghîr, Juz II, hal.185).

Munculnya Konflik Kejiwaan
Hampir setiap orang pernah mengalami konflik kejiwaan. Ada yang dapat mengatasinya. Ada yang frustasi terhadapnya. Bahkan, yang paling fatal ada juga yang berputus asa dari rahmat-Nya. Karenanya, dinul Islam sangat mengecam terhadap seorang mukmin yang suka mengambil jalan pintas atau perilaku instan, sebagai orang yang tidak sabar terhadap kehendak-kehendak Allah azza wa jalla.
Biasanya konflik psikis terjadi lebih dikarenakan adanya dua "medan magnit" yang sama-sama memiliki tarikan yang kuat. Yang satu berkeinginan men-setan-kan orang, yang lain berkehendak untuk me-malaikat-kan orang. Padahal yang terbaik dan benar adalah sekali manusia tetap manusia yang menjadikan dinul Islam sebagai pegangan hidupnya.
Jadi yang dikehendaki oleh-Nya adalah mewujudnya figur seorang ‘ibâdurrahman yang berkepribadian râdliatam mardliah (Baca buku alfaqîr yang berjudul "Pesona Ibadurahman", 2003, red). Bukan sebaliknya, sebuah kepribadian yang kotor dengan segala tipu muslihatnya, sehingga dengan mudah dan berani melakukan pengkhianatan-pengkhianatan atas "takwa tastemony"-nya. Inilah dua pribadi yang berbeda yang telah digambarkan oleh Allah swt di dalam al-qur`an yang seringkali mengalami konflik psikis.

“Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Dan, adapun bagi orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya” (Qs.an-Nazi’ât: 37-41).

Berdasarkan teks ayat tersebut di atas, maka konflik psikis dapat meliputi beberapa aspek, seperti: a).Konflik psikis antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual; b).Konflik psikis antara pemenuhan ibadah kepada-Nya dengan mengikuti hawa nafsu; dan c).Konflik psikis disebabkan pertentangan kehendak antara yang dlahir dengan yang batin.
Namun cukup untuk dijadikan pijakan berpikir kita, bahwa sesuatu yang selain Allah tidak boleh dijadikan tempat bersandar, bergantung, dan berharap. Karena hal itu akan mendorong seseorang untuk melakukan pengingkaran-pengingkaran atas fitrahnya. Dan, inilah awal mula munculnya konflik psikis, karena diakui atau tidak, sampai kapan pun manusia tidak akan pernah dapat menata kehidupannya. Oleh karena bagi kaum yang mukmin kepada Allah azza wa jalla mereka diseru,

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari dzikrullah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi” (Qs.al-Munafiqûn: 9).

Bagi kaum mukminin terjadinya konflik psikis, hendaklah dipahaminya sebagai anugerah dari-Nya untuk maju dan melakukan lompatan-lompatan perubahan yang lebih konstruktif. Di sinilah fasilitas ketauhidan --seperti: emosi, intelejensia, dan spiritual-- yang telah dikaruniakan-Nya kepada manusia diuji, masihkah menjadikan al-qur`an dan al-hadis sebagai pedoman dan pembimbing kehidupannya. Atau malah sebaliknya, manusia itu menganggap bahwa kecerdasan emosi, kecerdasan intelejensia, dan kecerdasan spiritual sudah cukup untuk menyelesaikannya.
Ingat, apalah artinya kecerdasan manusia, kepribadian manusia, dan kehendak manusia. Bila hal itu di banding dengan rahmat-Nya buat kita. Karena ternyata kecerdasan, kepribadian, kehendak, dan kejadian manusia itu sendiri; tidak lain adalah rahmat-Nya semata buat kehidupan umat manusia.

“Wa qulil haqqu mir Rabbi-kum, fa man-syâ`a falyu`min wa man-syâ`a falyakfur”; dan katakanlah, ‘Kebenaran itu datangnya dari Rabb kalian. Maka, barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman. Dan, barangsiapa ingin (kafir), biarlah ia kafir…” (Qs.al-Kahfi: 29). []



















PERKEMBANGAN MANUSIA
DALAM AL-QUR`AN




Kitab Suci al-Qur`an sebagai blue print Ilahiah yang telah dimukjizatkan kepada Rasulullah saw, telah mengukuhkan kedudukan fase-fase perkembangan janin. Sebagaimana telah dinyatakan dalam firman-Nya surat al-mu`minûn ayat ke 12-14,

“Kami telah menciptakan manusia dari sari pati tanah liat. Lalu, Kami jadikan dia air mani yang tersimpan dalam tempat yang kokoh sekali. Kamudian, dari air mani itu, Kami jadikan segumpal darah. Kemudian, segumpal darah Kami jadikan gumpalan (janin); dan gumpalan itu Kami jadikan tulang-belulang, sedangkan tulang itu Kami bungkus dengan daging. Lalu, Kami kembangkan menjadi makhluk lain lagi. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.”

Bahkan di dalam surat az-zumar ayat ke-6 telah difirmankan-Nya,

“Dia (Allah) menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan.”

Dinyatakan pula dengan firman-Nya yang lain pada surat al-hajj ayat ke-5,

“Wahai manusia, jika kalian dalam keraguan mengenai kebangkitan (dari kubur); maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kalian dari tanah. Kemudian, dari setetes air mani. Lalu, dari segumpal darah. Kemudian , dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kalian dan Kami tetapkan dalam rahim; segenap apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan. Lalu, Kami keluarkan kalian sebagai bayi. Kamudian (dengan berangsur-angsur) kalian sampailah kepada kedewasaan dan di antara kalian ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kalian yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya ia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya.”

Dari teks ayat al-qur`an tersebut di atas, maka dapatlah dipahami bahwa kejadian manusia dalam tingkatan prenatal meliputi beberapa tahapan, sebagai berikut:
1. Nutfah.
Semenjak salah satu sperma suami membuahi ovum sang isteri, maka inilah fase awal dari pembentukan janin seorang anak manusia di proses kehamilan ibunya. Al-Qur`an menyebutnya sebagai fase nutfah, yakni kumpulan dari sperma dan ovum yang menetes; dan inilah yang lazim dikatakan dengan benih.
Setelah berumur kurang lebih dua minggu, maka benih berubah dengan mengalami penambahan sel-sel yang telah dibuahi, al-qur`an menyebutnya sebagai fase alaqah.
2. Alaqah.
Di dalam fase ini, ovum yang dibuahi beralih tempat dari ovarium ke arah rahim dan menempel pada dindingnya. Lalu, selaput janin mulai terbentuk. Kemudian, terentanglah tali pusar yang menghubungan ovum yang dibuahi dengan si ibu, guna memperoleh sari makanan dari darah si ibu. Dari sinilah fase mudlghah terbentuk.
3. Mudlghah.
Di fase mudlghah (embryonic stage) segenap peralatan tubuh telah terbentuk, yang dalam istilah al-qur`an disebut, “Lalu dari segumpal daging yang sempurna dan yang tidak sempurna;” (tsumma min mudlghatim mukhallaqah wa ghairi mukhallaqah).
Fase kehidupan janin ini berlangsung dari akhir minggu kedua sampai akhir bulan kedua. Di mana hal ini sebagai fase awal tahapan janin; yang al-qur`an menyebutnya sebagai fase idham (fetus stage).
Pada fase ini janin sudah dapat dirangsang dengan kekuatan keyakinan ibunya, ayahnya, dan anggota keluarga batihnya. Dan inilah yang dikatakan dengan rangsangan internal (stimuli internal).
4. Idham.
Dalam fase idham ini janin mengalami perkembangan dan perubahan yang demikian sangat cepat, sampai pada akhirnya janin siap untuk dilahirkan ke alam dunia.
Pada permulaan fase idham sel-sel tulang mulai terbentuk dan yang secara otomatis menggantikan sel-sel tulang rawan yang telah ada pada fase-fase sebelumnnya.
Di fase ini janin sudah dapat dirangsang dari luar dengan menggunakan suara-suara yang lembut, atau sentuhan-sentuhan yang mengandung harapan. Inilah yang disebut rangsangan eksternal (stimuli eksternal).
Menurut alfaqîr di usia kandungan inilah yang ideal sebagai awal dari pendidikan ketauhidan bagi seorang muslim. Disebabkan janin memiliki haknya untuk hidup bertakwa dan berperilaku jujur serta mendapatkan hak pendidikan dininya.
5. Kasaunal Idham Bil Idham.
Pada tahapan selanjutnya janin di dalam rahim sang ibu, secara sunnatullah akan terbungkus dengan kulit ketuban (amnion stage). Yang mana ia sangat berguna bagi perkembangan janin, baik dari getaran, tekanan, dan hentakan-hentakan yang dialami oleh sang ibu; baik rangsangan (stimuli) yang datangnya dari dalam, yakni hati dan kejiwaan (psikis) si ibu maupun stimuli yang datangnya dari luar kandungan si ibu. Seperti diisyaratkan-Nya,

“Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina? Lalu, Kami letakkan ia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu yang ditentukan. Kemudian, Kami tentukan (bentuknya). Maka, Kami-lah sebaik-baik yang menentukan” (Qs.al-Mursalât: 21-23).

6. an-Nasya’.
Inilah fase terakhir dari kehidupan janin di dalam perut seorang ibu, hanya dengan takdir-Nya semata bayi akan siap lahir menghuni bumi sebagai pendatang baru.
Demikianlah Allah swt menyebutnya sebagai tahapan di ketiga kegelapan kehidupan seorang manusia di dalam perut ibunya, yakni: a).Tahapan kegelapan perut (fase ovarium); b).Tahapan kegelapan plasenta (fase tuba fallopi); dan c).Tahapan kegelapan rahim (fase rahim). Sedangkan Nabi saw telah bersabda,

“Sesungguhnya Allah ta’âlâ telah mengutus seorang malaikat untuk menangani rahim. Malaikat bertanya, 'Wahai Rabb, ia masih berupa nutfah. Wahai Rabb, ia telah menjadi alaqah. Wahai Rabb, ia telah berubah menjadi segumpal daging'.”
Apabila Allah hendak menyelesaikan penciptaan rahim, malaikat bertanya, “Wahai Rabb, apakah ia celaka atau bahagia? Laki-laki atau perempuan? Bagaimana rizekinya? Dan kapan ajalnya?” Maka, hal tersebut dituliskan (ditetapkan) untuknya sejak ia berada dalam perut ibunya (Hr.Bukhari & Muslim, dari Anas bin Malik ra; MA. vin. hal.282).


Pertumbuhan Pasca Kelahiran
Diisyaratkan oleh Allah swt di dalam al-qur`an beberapa fase pertumbuhan manusia semenjak ia dilahirkan ke dunia,

“Dia-lah yang menciptakan kalian dari tanah. Kemudian, dari setetes air mani; sesudah itu dari segumpal darah. Lalu, dilahirkannya kalian sebagai seorang anak; kemudian (kalian dibiarkan hidup) agar kalian sampai pada usia dewasa. Lalu, (dibiarkan kalian hidup lagi) sampai usia tua, di antara kalian ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami buat demikian) supaya kalian sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kalian memahaminya” (Qs.al-Mukminûn: 67).

Dan, dinyatakan dalam surat ar-rûm ayat ke-54,

“Allah, Dia-lah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah. Lalu, Dia menjadikan kalian sesudah lemah itu menjadi kuat. Kemudian, Dia menjadikan kalian sesudah kuat itu lemah kembali dan beruban. Dia menciptakan segala apa yang dikehendaki-Nya, dan Dia-lah yang Mahamengetahui lagi Mahakuasa.”

Juga ditegaskan dalam firman-Nya,

“Allah menciptakan kalian, lalu mewafatkan kalian. Dan, di antara kalian ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (usia lanjut), supaya ia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahakuasa” (Qs.an-Nahl: 70).

“Dan, barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan ia dalam kejadiannya. Maka, apakah mereka tidak memikirkannya?” (Qs.Yâsîn: 68).

Dari ketiga firman Allah swt tersebut di atas, maka dapatlah dipahami bahwa di kehidupan umat manusia --sudah barangtentu antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya ditakdirkan oleh Allah swt dengan kemampuan yang beragam-- manusia memiliki tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan di pasca kelahirannya, yaitu sebagai berikut:

1. Masa Bayi.
Adalah tahapan awal seorang Bani Adam menjejakkan kakinya di bumi Allah swt. Secara fisik ia masih dalam kondisi lemah, begitu pula secara psikis. Namun secara inderawiah, ia telah dibekali-Nya ketajaman indera pendengaran. Di sinilah syariat Islam mengajarkan, agar setiap bayi muslim yang terlahirkan di dunia, di telinga kanannya di-adzan-kan dan di telinga kirinya di-iqamah-kan. Demikianlah didikan tauhid awal yang harus ditanamkan di keluarga muslim.
Dengan harapan dipertumbuhan inderanya yang begitu cepat, yakni mengalami perkembangan sensitifitas fungsional dari pendengaran, penglihatan, peraba, lisan, akal, dan hati. Masa bayi tetap dalam keteguhan didikan dan keteladan perilaku tauhid, adab, dan perilaku islamiah. Disebabkan di usia batita, ia hendak melakukan pengulangan dari didikan tauhid dan keteladan yang telah dilakukan kedua orang tuanya dan anggota keluarganya, utamanya di saat bayi masih berada di usia pra-janin.

2. Masa Kanak-Kanak.
Adalah masa di mana calon manusia itu mengalami proses peniruan dari orang-orang yang berada di sekitarnya (imitasi internal), atau sosok orang yang telah difigurkan oleh keluarganya (imitasi eksternal).
Di sinilah peran orang tua dan anggota keluarga sangat menunjang di dalam memberikan pewenteran (sibghah) sosok kepribadian mukmin, dengan menradisikan keteladanan; terutama di dalam mengamankan fitrah takwa dan perilaku jujur.

3. Masa Remaja.
Adalah situasi kondisi kejiwaan sebelum mencapai kematangan. Biasanya ditandai dengan perilaku: reaktif, labil, sensitif, idealis, dan kehendak-kehendak yang besar.
Di usia ini orang tua dan anggota keluarga sangat berperan dalam memperkuat karakter keteladanannya. Di samping harus mencarikan guru yang dapat mendampinginya di dalam proses menuntut ilmu pengetahuan diniah. Atau, memilihkan lembaga pengembangan keilmuan yang didukung dengan tradisi keilmuan yang mapan, yang diejawantahkan ke dalam: sikap, perilaku, kemampuan, keahlian, pembakatan, keimanan, dan keislaman.

4. Masa Dewasa.
Adalah situasi kejiwaan memasuki wilayah ketenangan dan kemapaman. Sudah tidak lagi terjadi perubahan cepat dan pergolakan batin yang cenderung meledak-ledak. Ia lebih dewasa, matang, dan cenderung sudah memiliki kepribadian.
Akan tetapi masing-masing manusia memiliki kapasitas yang berbeda-beda. Hanya manusia yang melaksanakan hak dan kewajiban dinul Islam-nya ia akan berkemampuan dan mempunyai kompetensi yang tinggi dalam melakukan survival di kehidupannya.
Meski demikian, kematangan psikis dan intelektualnya tetap harus melakukan pembelajaran atas hak dan kewajiban. Disebabkan kekuatan kejiwaannya dan kepribadiannya belumlah memiliki kematangan dalam pengalamannya (experiences).
Oleh karena, orang tua, keluarga, dan guru sangat berperan di dalam menumbuh-cerdaskan kompetensi keberagamaannya; sehingga dinul Islam tidak dipahaminya sebagai pendekatan mistik (klenik), namun lebih dipahaminya sebagai “sang juru selamat” di dalam kehidupannya.

5. Masa Tua.
Di usia tua manusia sudah mulai mengalami penurunan, terutama dari aspek jasmani. Sehingga lambat laun diikuti oleh penurunan kualitas inderanya. Akan tetapi ia masih produktif dengan kekuatan estestika kepribadiannya yang telah mapan di usia dewasanya.
Namun sebaliknya bila di usia dewasanya tidak mapan segenap kemampuan budi pekertinya, relijiusitasnya, dan keilmuannya. Maka, di usianya tersebut manusia memiliki kecenderungan besar akan berperilaku rancu dan kontra-produktif.

6. Masa Usia Lanjut.
Ini adalah masa yang sangat sulit bagi manusia yang telah diberi umur panjang oleh-Nya. Namun akan menjadi kekasih-Nya, bila ia mampu menjaganya dengan kemampuan ilmu diniah, meng-qur`an-kan hatinya, dan bagus akhlaknya.
Apabila ketiga syarat itu tidak dimilikinya, maka ia akan menjadi manusia yang bermentalitas pikun. Sehingga segenap perilaku kekanak-kanakannya akan muncul kembali, dan jauh lebih rancu ketimbang seorang anak yang berada di usianya.

Pertumbuhan Indera
Difirmankan oleh Allah swt,

“Dan, Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati; supaya kalian bersyukur” (Qs.an-Nahl: 78).

Dari ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa bayi yang baru lahir sampai pada bulan keempat, sangat kuat di indera pendengarannya. Oleh karena logislah ajaran Islam yang menyariatkan adzan dan iqamah pada telinga kanan dan kiri terhadap bayi yang baru dilahirkan. Bahkan diriwayatkan, harus saling mendahului di dalam membisikkan sesuatu kepada telinga bayi yang baru lahir. Bisikan tauhid, atau bisikan setan; demikianlah sibghah awal sebagai calon seorang khalifah-Nya di muka bumi.
Di usia awal kelahiran itulah bayi telah mampu merespon dengan baik sebuah rangsangan (stimuli) yang dihasilkan oleh bunyi-bunyian atau suara yang keras. Dan seterusnya mengalami perkembangan indera pendengarannya hingga mencapai kesempurnaannya pada umur tiga belas tahun lebih sedikit.
Dan hal itu sangat berbeda dengan kemampuan indera penglihatan. Ia benar-benar dapat berfungsi pada penggal kedua tahun pertama dari usianya. Berdasarkan beberapa kajian fisiologis modern, di mana telah terbukti, bahwa anak-anak tidak mampu melihat sesuatu secara jelas dalam fase dini dari umurnya. Sebaliknya, bayi telah mampu mendengar suara-suara yang keras. Maka, dari bukti empiris itulah diletakkannya oleh Allah swt kata as-sam’u mendahului kata al-abshâr sangat masuk akal. Bahkan, oleh Allah swt, pendengaran di letakkan dalam posisi tunggal (singular): as-sam’u, sedangkan penglihatan dalam posisi jamak (plural): al-abshâr.
Adapun penyebutan hati setelah penyebutan indera pendengaran dan indera penglihatan. Bahkan, oleh Allah diletakkan dalam posisi jamak (plural): al-af’idah dari singular: al-fu’adah. Mengandung banyak hikmah, khususnya bagi kemampuan penguasaan atas ilmu pengetahuan diniah. Disebabkan persepsi intelektual dapat terbentuk manakala kemampuan indera pendengaran dan indera penglihatan telah matang dalam berpersepsi.
Karenanya, adalah tugas kita untuk tetap mengoptimalkan dan memaksimalkan kemampuan ketiga indera tersebut. Dikarenakan ketiga indera itu merupakan fasilitas hidayah dari-Nya buat umat manusia, agar mereka mendapatkan taufik-Nya.
Artinya, dari ketiga indera tersebut di atas seorang hamba Allah harus dapat mengembangkan sekaligus mendayagunakannya secara konstruktif-positif. Hingga pada akhirnya seseorang hamba itu memiliki kepribadian râdliatam mardliah. []



















KEPRIBADIAN MENURUT AL-QUR`AN




Dinul Islam mengajarkan bahwa pribadi manusia merupakan pribadi yang bersifat Ilahiah. Sebab ruh seorang hamba adalah ruh yang siap menerima kilatan-kilatan Ilahiah. Begitu tingginya kedudukan ruhani seorang manusia di sisi Allah swt, sampai malaikat pun harus menghormatinya.

“Maka, apabila telah Ku sempurnakan kejadiannya dan Ku tiupkan kepadannya ruh Ku. Hendaklah kalian (para malaikat) bersujud kepadanya” (Qs.Shad: 72).

“Fa idzâ sawwaitu-hu wa nafakh-tu fî-hi mir-rûhî, fa-qa’û la-hu sâjidîna”; maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah Ku tiupkan ke dalamnya ruh Ku. Tunduklah kalian (para malaikat) kepadanya dengan bersujud” (Qs.al-Hijr: 29).

Dari dua teks firman Allah azza wa jalla tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa kata “rûhî”, yang dalam bahasa Indonesia menjadi “ruh Ku”; sebenarnya adalah rûhun ilahiah, yaitu ruh yang bersifat ke-Ilahi-an.
Artinya secara fitrah, ruh manusia memiliki lompatan (quantum) lebih cerdas ketimbang para malaikat-Nya. Apabila ia tetap berpegang pada kecerdasan wahyu. Namun bila meninggalkan atau menjauh dari pola kecerdasan wahyu, di saat yang sama, ia dapat jatuh ke dalam lembah kesesatan yang nyata. Bahkan tidak jarang meluncur ke dalam insting hewani (gharizatul-hayawan).
Kesempurnaan kejadian manusia merupakan cerminan betapa sempurnanya kepribadian seorang hamba di sisi-Nya. Kenyataan ini oleh Allah swt diabadikan di dalam al-qur`an,

“La-qad khalaq-nâl insâna fî ahsani taqwîmin”; sungguh benar telah Kami ciptakan seorang manusia dalam bentuk paripurna” (Qs.at-Tîn: 4).

Akan tetapi sifat paripurnanya akan hancur berantakan manakala pribadinya tidak mempunyai perilaku takwallah. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,

“Tsumma radadnâhu asfala sâfilîn;” lalu, Kami kembalikan ia ke dalam suatu tempat yang sangat bawah (Qs.at-Tîn: 5).

Kepribadian yang paripurna seorang hamba telah dimilikinya sejak di jaman alam ruh. Di mana saat itu Allah azza wa jalla sempat mentauhidkan para ruh, dengan pertanyaan-Nya,

“Alastu bi rabbikum?”
Maka, serta merta para ruh itu menjawabnya, “Qalû balâ syahidnâ” (Qs.al-A’râf: 172).

Dialognya Allah dengan para ruh tersebut merupakan dialog ketauhidan. Yang mana sebelum Allah swt meniupkan ruh-Nya ke alam rahim di kehidupan para janin, Dia telah meminta kesaksian para ruh akan eksistensi ke-Ilahi-an-Nya. Dan, ternyata para ruh telah memberikan kesaksiannya. Inilah awal dari sebuah sikap takwa yang dibangun oleh para ruh. Sedangkan jawaban para ruh atas kesaksiannya tersebut adalah awal dari komitmen terhadap perilaku jujur.

Bayi Lahir Berfitrah
Setiap bayi yang lahir selalu memiliki potensi yang berkembang (fitrah). Berkembang ke arah konstruktif atau berkembang ke arah destruktif. Kesemuanya kata Nabi saw, kembali pada peran kedua orang tuanya dan lingkungan keluarga yang dipunyainya. Sedangkan Allah azza wa jalla sendiri telah mengiformasikan, bahwa sungguh berbahagialah para hamba yang membersihkan jiwanya. Dan, sungguh merugilah para hamba yang mengotori jiwanya (qad aflaha man zakkâhâ, wa qad khâba man dassâhâ, qs.asy-syams; 9-10).
Dapatlah dimengerti bila setiap bayi yang terlahir ke alam dunia ini telah dibekali oleh-Nya potensi takwa dan perilaku jujur. Inilah yang di dalam al-qur`an disebut sebagai pribadi yang paripurna (ahsani taqwîm). Model pribadi ahsani taqwîm merupakan bentuk yang sangat cocok dengan pola kehidupan masyarakat dunia.
Namun pola kehidupan dunia dengan segala tipu muslihatnya, seringkali menghancur-luluhlantakkan pribadi ahsani taqwîm. Padahal diharapkan dengan berbekal pada pola kepribadian ahsani taqwîm seorang hamba akan mampu melesat kepada pola kepribadian râdliatam mardliah (Qs.al-Fajr: 28).
Tetapi kesemuanya tidak mudah, bekal nafsu yang diterima manusia dari Allah swt. Apabila tidak dididik dengan baik lagi benar. Maka, ia akan menjadi sumber kerancuan dan kerusakan kepribadian pemiliknya. Karena secara esensial nafsu syahwat selalu bersifat merusak, kecuali nafsu seorang hamba Allah yang telah mendapatkan rahmat-Nya (Qs.Yûsuf: 53).
Demi menjaga keselamatan, keutuhan, dan ketahanan nafsu itulah Allah swt memberikan buku pandu keseharian, yakni al-qur`an. Sedangkan pengejawantahannya langsung diterjemahkan oleh Rasulullah Muhammad saw ke dalam perilaku harian beliau mulai bangun tidur sampai tidur kembali. Sampai-sampai Ibunda ‘A`isyah ra berkomentar, bahwa kepribadian Nabi saw adalah kepribadian al-qur`an.
Jadi, kepribadian yang ingin melakukan lompatan dengan cepat, maka ia harus menjadikan al-qur`an dan as-sunnah sebagai pandu kecerdasan nalarnya. Sementara nalar manusia oleh Allah swt telah difasilitasi dengan emosional, intelegensia, dan spiritual. Dalam konsep ajaran Islam, emosional, intelegensia, dan spiritual hanya merupakan fasilitas dari Allah swt untuk melakukan ke-taqarrub-an dengan-Nya.
Sedangkan kecerdasan intuisi, yakni kecerdasan yang terpolakan dengan wahyu (al-qur`an dan al-hadis) yang akan mampu menggerakkan fasilitas EIS (emosional, intelejensia, dan spiritual) di dalam berpikir, berbudaya, dan berperadaban. Dengan tetap pada garis perjuangan untuk melanjutkan perilaku jujur, sebagai perilaku bawaan dari alam ruh.
Dapatlah dipahami bahwa seorang yang bersikap takwa maka ia akan berperilaku jujur. Sedangkan kejujuran marupakan buah dari ketakwaan. Bila ada seseorang yang mengaku telah bertakwa kepada Allah swt. Namun dalam perilaku kesehariannya tidak jujur, maka ia adalah seorang yang berperilaku nifak. Dan, tipologi orang macam ini oleh al-qur`an dicap sebagai orang yang berkepribadian munafik (dis-integreted of personality).
Kenyataan telah membuktikan bahwa banyak orang telah menjadi pintar, namun kepandaiannya tidak dibarengi dengan perilaku jujur; apa jadinya? Banyak orang telah menjadi professional, tetapi tidak dibarengi dengan sikap takwa; apa jadinya? Banyak juga orang yang mengerti tentang agama Islam, bahkan tidak sedikit mereka telah memiliki "sebutan-sebutan suci", tetapi sekali lagi, tidak dibarengi dengan sikap takwa dan perilaku jujur; apa jadinya?
Fenomena di atas telah melahirkan perilaku rancu di kalangan kaum muslimin, karena memang kaum muslimin telah mengidap penyakit ambivalensi terhadap dinul Islam. Perhatikan di sekeliling kita, banyak orang telah mengaku beragama Islam namun mereka tidak begitu mukmin. Sedangkan yang telah mengaku mukmin, dalam kenyataannya mereka belum begitu yakin dengan dinul Islam. []










































MACAM-MACAM KEPRIBADIAN
MENURUT AL-QUR`AN




Manusia di dalam kehidupannya mempunyai pola keragaman kepribadian. Dari keragamaan kepribadian yang dimiliki oleh umat manusia itu, ia justru menjadi sosok makhluk Allah swt di muka bumi yang menarik untuk dicermati keberadaannya. Karena dari keragamaan kepribadiannya manusia diajak bernalar logis oleh Allah azza wa jalla, apakah ia menjatuhkan pilihan kehidupan yang benar, atau memilih pada pilihan-pilihan yang salah?
Kitab Suci al-Qur`an telah menjelaskannya, bahwa berdasarkan akidahnya, umat manusia dibedakan ke dalam tiga pola kepribadian pokok, yakni:

1. Kepribadian Orang Yang Beriman.
Allah swt berfirman,

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu: orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, orang-orang yang menunaikan zakat, orang-orang yang menjaga kemaluannya --kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas-- orang-orang yang memelihara amanah (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalat (fardlu)-nya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, yakni yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya” (Qs.al-Mukminûn: 1-11).

2. Kepribadian Orang Yang Kafir.
Allah swt berfirman,

“Katakanlah, ‘Wahai orang-orang yang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian bukan penyembah Rabb yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah, kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah Rabb yang aku sembah. Untuk kalianlah ajaran kalian, dan untukkulah dinul Islamku’.” (Qs.al-Kâfirûn: 1-6).

3. Kepribadian Orang Yang Munafik.
Allah swt berfirman,

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka bertanya, ‘Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasulullah’.”
Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.
Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai “perisai”. Lalu mereka menghalangi (menusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati. Karena itu mereka tidak dapat mengerti.
Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan “kayu yang tersandar”. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka. Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagi kalian.” Mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri.
Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka. Allah tidak akan mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik, yakni mereka orang-orang yang mengatakan, “Janganlah kalian memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin, red) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar --meninggalkan Rasulullah.”
Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami. Mereka berkata, “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya.”
Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin; tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. (Qs.al-Munâfiqûn: 1-8).

Ketiga pola inilah yang sah untuk menilai seseorang hamba di dalam perilaku kehidupannya. Mukminkah? Atau kafirkah? Atau munafikkah?
Namun sebelum melakukan penilaian atas orang lain, tentunya pertanyaan-pertanyaan itu juga sah-sah saja dipertanyakan buat dirinya sendiri. Seperti yang dilakukan oleh guru kita, KHA.Mustofa Bisri, dalam puisi “Islam”-nya, dibait terakhir beliau mengajak kepada segenap manusia untuk merenungi kembali dengan pertanyaan yang sangat mendasar, “Islamkah aku?”
Diskripsi al-qur`an mengenai ketiga pola kepribadian manusia, semata memberikan pesan kepada segenap umat manusia, bahwa pada saatnya nanti Allah swt menilai para hamba-Nya dari komprehensif-integral kekuatan akidah Islamnya. Dengan demikian segala perintah dan larangan yang datangnya dari Allah swt, atau yang datangnya melalui Rasulullah saw, atau yang datangnya dari fatwa dinul Islam; kesemuanya bermuara pada pembangunan akidah dan bagusnya akidah Islam yang dimilikinya.

Kepribadian Kaum Mukminin
Di dalam al-qur`an banyak ayat yang telah menyifati perilaku kaum mukminin, bahkan secara jelas juga diterangkan mengenai karakter kemukminan seorang hamba. Akan tetapi menurut al-faqir secara pokok ada sembilan karakter yang sangat melekat dengan sebutan mukmin, yaitu:

1. Karakter yang berkaitan dengan perilaku akidahnya.
Kaum mukminin sangat komitmen lagi konsisten dengan pengamalan rukun Islam dan rukun iman secara implementatif.
2. Karakter yang berkaitan dengan perilaku ibadahnya.
Kaum mukminin sangat kuat dalam hal beribadah, seperti: menyembah Allah swt; shalat lima waktu; puasa ramadlan; menunaikan zakat mâl; jihad di jalan-Nya baik dengan harta benda maupun nyawa; bertakwa; selalu dzikrullah; selalu meminta maghfirah-Nya; taslim kepada-Nya; dan tilawah al-qur`an.
3. Karakter yang berkaitan dengan mu’amalahnya.
Kaum mukminin dalam berhubungan sosial dengan orang lain selalu: mendahulukan kepentingan orang lain; memaafkan kesalahan orang lain; suka berderma; suka bekerjasama; tidak suka meninggalkan jamaah kaum muslimin; memerintahkan kebenaran; mencegah kemungkaran; dan selalu menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak ada manfaatnya.
4. Karakter yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaannya.
Kaum mukminin selalu menjaga keharmonisan hubungan kekeluargaannya, baik dengan kedua orang tuanya, tanggung jawab terhadap anggota keluarganya, dan ikhlas membiayai ma`isyah keluarganya.
5. Karakter yang berkaitan dengan adab dan akhlaknya.
Kaum mukminin sangat menonjol dalam perilaku adab dan akhlaknya, seperti dalam perilaku: sabar; lapang dada; lurus; adil; melaksanakan amanah; menepati janji; menjauhi dosa besar maupun kecil; tawadlu’; istiqamah; mudawamah; tazkiatun nafs; memiliki kehendak yang kuat; dan mampu mengendalikan nafsu syahwat mereka.
6. Karakter yang berkaitan dengan perasaan dan emosinya.
Kaum mukminin senantiasa mempunyai sikap: mahabbatullâh; khasyatullâh; tidak berputus asa dari rahmatullah; hubbil khair; menahan marah dan mampu mengendalikan amarah mereka; tidak suka memusuhi orang lain dan menyakitinya; tidak dengki kepada orang lain; tidak sombong; suka bertaubat dan mempertahankan taubatan nasuha; dan penyayang.
7. Karakter yang berkaitan dengan sifat intelektual dan pengetahuannya.
Kaum mukminin memiliki kemauan yang suci lagi ikhlas di dalam menuntut ilmu pengetahuan diniah, di antaranya: mempunyai keinginan yang kuat lagi jujur dalam menuntut ilmu; selalu tafakkur dan tadabbur atas segenap ciptaan-Nya; tidak mengikuti sesuatu yang masih dugaan; teliti dalam segenap perilakunya; bebas dalam berpikir dan berakidah.
8. Karakter yang berkaitan dengan kehidupan praktis, pragmatis, profesional, dan skill.
Kaum mukminin di dalam kompetensi kehidupannya senantiasa mendahulukan: kejujuran; sempurna dalam bekerja; giat dalam berusaha; dan bersungguh-sungguh di dalam mencari rizeki yang halal.
9. Karakter yang berkaitan dengan wujud fisiknya.
Kaum mukminin memiliki bentuk tubuh yang selalu diusahakannya tetap dalam keadaan: Sehat; Bersih; Kuat; Suci; dan Terhindar dari najis.
Manusia yang bertipologikan kepribadian mukminin sangat cocok untuk memegang kendali atas kehidupan umat manusia. Disebabkan mereka benar-benar mampu menjaga fitrah bawaan yang berupa prinsip takwa dan perilaku jujur. Bahkan, mereka juga telah mampu melesatkan kepribadiannya menjadi sebuah pribadi râdliatam mardliah dengan kedudukan nafsu mereka muthma`innah.
Karenanya, kedudukan khalifah Allah di muka bumi merupakan warisan bagi kaum mukminin dari-Nya. Tidak hanya itu, seluruh fasilitas ke-Tuhan-an juga diwariskan kepada kaum mukminin. Sebagaimana telah difirmankan-Nya,

“Lalu al-Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara para hamba Kami (isthafainâ min ‘ibâdinâ). Kemudian di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri (dhâlimul linafsi-hî) dan di antara mereka ada yang pertengahan (muqtashidun) dan di antara mereka ada (pula) yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan ijin Allah (sâbiqum bil-khairâti bi-idzni-llâhi). Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” (Qs.Fâthir: 32).


Kepribadian Kaum Kafirin
Secara jelas al-qur`an telah banyak mewartakan tipologi dan karakter kaum munafik. Namun secara pokok al-faqir mengelompokkannya ke dalam 7 kelompok karakter, antara lain:
1. Karakter yang berkaitan dengan perilaku akidahnya.
Kaum kafirin tidak mengimani rukun Islam yang lima dan rukun iman yang enam. Dengan kata lain mereka benar-benar secara nyata mengikari keberadaan tauhidullah.
2. Karakter yang berkaitan dengan perilaku ibadahnya.
Kaum kafirin dalam praktek ibadahnya mengambil selain Allah swt sebagai tempat berharap dan bersandar. Bahkan secara ekstrim mereka telah berani menafikkan peran Allah swt di dalam kehidupan mereka.
3. Karakter yang berkaitan dengan hubungan-hubungan sosialnya.
Kaum kafirin memiliki sikap dan perilaku yang: dlalim; suka bermusuhan; suka menghina; suka membenci; suka mengajak kepada yang mungkar lagi durhaka; dan suka menghalangi orang beriman untuk berbuat benar.
4. Karakter yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaannya.
Kaum kafirin memiliki sikap sosial yang menonjol, yaitu: gampang putus asa; gampang memutuskan silaturahmi; dan gampang memarahi kepada orang yang tidak disukai.
5. Karakter yang berkaitan dengan adab dan akhlaknya.
Kaum kafirin dalam berperilaku adab dan akhlaknya boleh dibilang telah cacat secara syar’i. Karena mereka lebih memilih kehidupan yang diwarnai dengan perilaku takabur, menuruti perintah nafsu syahwat, materialis, hedonis, suka berperilaku serong, dan suka mengingkari janji.
6. Karakter yang berkaitan dengan perasaan dan emosinya.
Kaum kafirin mempunyai watak pendengki dan suka hasud terhadap orang yang diberi kenikmatan dan anugerah oleh Allah swt. Mereka selalu berupaya dan berpikir, bahwa yang layak mendapatkan kenikmatan dan kemudahan adalah diri mereka.
7. Karakter yang berkaitan dengan sifat intelektual dan pengetahuannya.
Kaum kafirin memiliki pikiran yang statis (jumud), tidak mampu bernalar logis, tidak mampu berpikir runtut, kalbunya tertutup, taklid buta terhadap tradisi moyangnya, dan suka memperdayakan orang lain.
Di dalam al-qur`an dengan jelas kaum kafirin itu digambarkan sebagai,

“Khatama-llâhu ‘alâ qulûbi-him wa ‘alâ sam’i-him wa ‘alâ abshâri-him ghisyâwatunw wa la-hum ‘adzâbun ‘adhîmun”; (kaum) yang Allah telah mengunci mati hati, telinga, dan penglihatannya ditutup” (Qs.al-Baqarah: 7).

Jelaslah, bahwa pribadi kaum kafirin tidak layak untuk mengemban suatu tugas amanah. Dan, tidak pantas untuk mendapatkan kepercayaan dari kaum mukminin.

Kepribadian Kaum Munafikin
Dari segi akidah, kepribadian orang munafik adalah kepribadian yang: lemah; peragu; ambivalensi; hipokrit; dusta, khianat; tidak tepat janji; tidak amanah; dan tidak memiliki sikap jelas lagi tegas terhadap masalah keimanannya kepada Allah swt.
Guna mengecek diri kita sendiri, termasuk munafikkah atau tidak, maka sangat relevan 7 karakter yang alfaqîr susun sebagai alat kontrol buat kehidupan kita sehari-hari di dalam bertauhid atau berakidah supaya diri kita tidak termasuk hamba Allah yang berkepribadian munafik. Karakter itu antara lain:

1. Karakter yang berkaitan dengan perilaku akidahnya.
Kaum munafikin tidak memiliki sikap yang tegas terhadap akidah tauhid. Orang Jawa bilang, mereka itu adalah “orang yang ela-ilu”. Di saat kumpul kaum muslimin mereka menunjukkan "seolah-olah" muslim. Tetapi bila telah berkumpul dengan orang musyrik, mereka sangat tampak kemusyrikannya.
2. Karakter yang berkaitan dengan perilaku ibadahnya.
Kaum munafikin di dalam melaksanakan ibadah dengan setengah hati. Shalat yang didirikan mereka dengan sikap bermalas-malasan. Tetapi jika dihadapan banyak orang mereka ingin mendapatkan pujian, dengan kata lain perilaku mereka adalah riya`.
3. Karakter yang berkaitan dengan hubungan sosialnya.
Kaum munafikin hidupnya secara total digunakan untuk mempengaruhi orang lain, supaya orang lain tersebut melaksanakan kemungkaran dan kemaksiatan. Berbagai upaya selalu mereka lakukan agar diri mereka mendapatkan kepercayaan, misalnya: mulutnya manis; sering mengucapkan sumpah; suka merayu; menebar isu adu domba; biasanya berpenampilan meyakinkan; dan menghalalkan segala cara.
4. Karakter yang berkaitan dengan adab dan akhlaknya.
Kaum munafikin perilaku adab dan akhlaknya sangat buruk, contoh: khianat; mengharap pamrih; penakut; pembohong; kikir; hedonis; oportunis; penghamba nafsu syahwat; dan tidak percaya diri.
5. Karakter yang berkaitan dengan perasaan dan emosinya.
Kaum munafikin di kehidupannya tidak mau susah, mereka selalu mau enaknya sendiri dan selalu mau menangnya sendiri. Dalam kondisi yang bagaimana pun mereka tetap tidak mau disalahkan, dalam istilah alfaqîr, “Kaum munafik senantiasa berebut benar, sedangkan kaum mukminin selalu berebut salah.”
6. Karakter yang berkaitan dengan sifat intelektual dan pengetahuannya.
Kaum munafikin dalam kehidupannya tidak pernah sungguh-sungguh di dalam mendalami dan memahami suatu keilmuan. Sehingga ilmu yang di dapatkan mereka masih canggung, menurut istilah alfaqîr, “Kaum munafikin itu laksana buah ‘mangga krenggo’. Dikatakan masak, masih terasa masam. Dibilang mentah, bentuknya sudah masak.”
Orang yang berkepribadian munafik adalah tipologi manusia yang tidak berkarakter. Oleh karenanya kaum munafikin sangat tidak cocok menjadi pemimpin, ulama, pejabat, anggota legislatif, pedagang, pengusaha. Dan dia bukan teman yang sejati untuk diakrabi. Allah sendiri kelak akan mengadzabnya dengan adzab yang pedih, seperti dijelaskan dalam firman-Nya,

“Innal munâfiqîna fid-darkil asfali minan-nâri, wa lant-tajida la-hum nashîran”; sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan paling bawah dari neraka. Dan, sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan seorang penolong pun” (Qs.an-Nisâ`: 145).


Terapi
Kehadiran dinul Islam di muka bumi ini merupakan therapi buat kehidupan umat manusia, agar mereka menetapi jalan yang satu secara utuh. Tidak mengambil jalan lain yang merugikan diri sendiri dan makhluk lain. Sedangkan pedoman di dalam berjalan tersebut dibukukan dengan baik dan benar di mus-hab suci al-qur`an.
Laksana seorang musafir. Musafir yang bijak selalu tidak melupakan bekal yang terbaik, dan bekal terbaik itu adalah kompas. Sedangkan kompas kehidupan adalah al-qur`an dan al-hadis. Wa-llâhu a’lamu bish shawâb. []



































FUNGSI AKAL
MENURUT AL-QUR`AN




Keberadaan akal pada kehidupan umat manusia adalah merupakan fasilitas hidayah, di mana hal itu sangat berguna di dalam memperoleh taufik Allah swt. Oleh karena seorang manusia yang benar di dalam memanfaatkan fasilitas akalnya, maka ia akan menjadi manusia “cerdas yang berketuhanan”; demikian al-qur`an menyebutnya sebagai ulul albâb atau ulul abshâr.
Demikian itulah, yang membedakan seorang manusia dengan makhluk Allah swt, yang disebut binatang. Disebabkan binatang di dalam kehidupannya lebih didominasi oleh kekuatan gharizah-nya, atau lebih bersifat instinktif; karena memang hayawan tidak diberi akal oleh Allah azza wa jalla.
Jadi, seorang manusia yang di dalam kehidupannya tidak mengoptimalkan peran dan fungsi akalnya guna menerima hidayah-Nya --yang berujung pada perolehan taufik, maka ia lebih rendah ketimbang al-hayawan. Seperti telah disindirkan Allah swt kepada manusia golongan tersebut di atas,

“Sesungguhnya binatang yang seburuk-buruknya di sisi Allah, ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa pun (alias tidak menggunakan akalnya, red)” (Qs.al-Anfâl: 22).

“Atau, apakah kalian mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya” (Qs.al-Furqân: 44).

”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan segala apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia (Allah) suburkan bumi setelah tandusnya, serta Dia (Allah) sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, pengisaran angin, awan yang dikendalikan antara langit-bumi. Sungguh nyata kekuasaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang menggunakan akalnya” (Qs.al-Baqarah: 164).

Dari ayat tersebut di atas, dapatlah dimengerti bahwa Allah jalla jalâluh memfasilitasi manusia berupa akal itu semata agar diguna-maksimalkan di dalam melakukan pemahaman atas setiap fenomena alam, dan detailisasi akan setiap firman Allah swt yang termaktub di dalam mushab al-qur`an. Dengan demikian keberadaan indera secara fungsional menjadi optimal. Akan tetapi optimalisasi akal dan indera manusia tetap berbuah pada kuatnya kemusliman-keimanan-keyakinan seorang hamba kepada Pencipta-Nya. Sebagaimana dinyatakan-Nya,

”Maka, apakah mereka tidak berjalan di muka bumi agar mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi adalah hati yang ada di dalam dada” (Qs.al-Hajj: 46).


Fungsi Akal
Paparan alfaqîr di atas secara naratif telah mendiskripsikan dengan jelas, bahwa akal merupakan fasilitas nalar logis yang berkekuatan, yang dianugerahkan oleh Allah swt kepada umat manusia sebagai alat berpikir dan alat untuk mempertimbangkan, serta memikirkan baik-buruknya sesuatu.
Sedangkan kedudukan akal di kehidupan umat manusia bersifat ruhaniah, yang secara teologis akal sangat berguna untuk melakukan ijtihad. Artinya, bahwa dengan perilaku ijtihadi, seorang muslim dapat merumuskan segala sesuatu --terutama yang bersifat formalitas administratif syar’i yang tidak di-tafsili-kan secara rinci di dalam al-qur`an maupun al-hadis.
Sehingga umat manusia --khususnya kaum mukminin, akan mendapatkan kemaslahatan dan kesejahteraan di dalam hidupnya; baik di kehidupan duniawiah maupun di kehidupan ukhrawiah.
Bahkan, ajaran Islam memberikan jaminan kepada seseorang yang telah memenuhi syarat ijtihad dan melakukan ijtihad; bila ia salah mendapatkan pahala satu. Sebaliknya manakala ia benar di dalam ijtihadnya, maka ia mendapatkan dua pahala (Hr.Bukhari).
Oleh karena dinul Islam sangat mendorong di dalam menggunakan akalnya di dalam kehidupan umat manusia.

“Maka, hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air hujan. Lalu, Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Kemudian, Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu; anggur, sayur-sayuran, zaitun, pohon kurma, perkebunan, buah-buahan, dan rerumputan untuk kebahagiaan kalian dan untuk binatang-binatang ternak kalian” (Qs.’Abasa: 24-32).

Oleh karena berdasarkan gejala dinamika sosial umat manusia, maka akal manusia berfungsi:
1. Dlaruriah.
Akal dapat difungsi-aktifkan dengan kuat lagi sungguh-sungguh yang bersifat mendesak guna untuk memelihara dinul Islam, jiwa, ruh, nasab, dan harta benda.
2. Hajiah.
Fungsi akal dapat dioptimalkan semata karena adanya kebutuhan untuk menolak kesulitan dan kesukaran.
3. Tahsiniah.
Dengan sekuat tenaga akal akan selalu dapat digunakan sebagai pendorong untuk melakukan yang lebih baik dari beberapa yang baik.
Adalah suatu kenyataan bila di dalam menggunakan akal, manusia harus tetap di dampingi oleh wahyu (al-qur`an & al-hadis, red) dan Ilmu Pengetahuan Diniah (IPD); sehingga jalan keluar (problems solving) yang dihasilkannya benar-benar optimal. Disebabkan, buah dari kerja keras akal (ijtihad, red) adalah sejahtera dan maslahahnya kehidupan umat manusia. Demikianlah dinamika sosial umat terus berkembang dan berjalan bersama siklusnya hingga Hari Kiamat.
Karena akal itu bersifat ruhaniah, maka adalah tugas kaum muslimin supaya menjaga akalnya dari:
1. Kontaminasi nafsu syahwat yang korup dan dekaden.
2. Tercampurnya perilaku maksiat dan durhaka di setiap kesempatan.
3. Keserakahan, tiran, dan diktator karena kuatnya dorongan lingkungannya
Tetapi sebaliknya, akal seorang muslim yang berkeimanan dan berkeyakinan, maka:
1. Ia dengan akal budinya selalu mencari ridla-Nya.
2. Dengan akal budinya ia bersih dari nafsu syahwat murahan.
3. Dengan akal budinya ia bersih dari segala noda maksiat dan kedurhakaan.

Langkah-Langkah Menggunakan Akal
Adalah suatu pelajaran yang sangat berharga yang telah dididikkan buat kaum muslimin dari 'ibrah-nya Nabiullah Ibrahim as. Di mana dari kisahnya tersebut dapat diambil suatu hikmah, yakni cara berpikir yang ditempuh Nabi Ibrahmi as untuk sampai kepada makrifatullah; bahwa alam semesta ini yang menciptakan adalah Allah swt.

Pertama. Kesadaran Akan Adanya Problematika.

”Dan, (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada ayah angkatnya Azar, “Pantaskah ayah menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat ayah dan kaum ayah dalam kesesatan yang nyata.”
Demikianlah, Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami yang terdapat di langit dan di bumi; supaya ia termasuk orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, Ibrahim melihat sebuah bintang; lalu ia berkata, “Inilah Rabbku.”
Tetapi tatkala bintang itu tenggelam Ibrahim berkata, ”Aku tidak suka kepada yang tenggelam.”
Lalu tatkala Ibrahim melihat bulan terbit, ia berkata, ”Inilah Rabbku”.
Tetapi setelah bulan itu terbenam, ia berkata, ”Sesungguhnya, jika Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”
Kemudian tatkala Ibrahim melihat matahari terbit, ia berkata, ”Inilah Rabbku, ini yang lebih besar.”
Maka, tatkala matahari itu telah terbenam, ia berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada dinullah yang hanif. Dan, aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik” (Qs.al-An’âm: 74-79).

Penggunaan akal (pemikiran, red) yang dilakukan Nabi Ibrahim as berawal, karena beliau as merasakan adanya problematika --dan di saat yang bersamaan terdapat juga dorongan yang kuat untuk memecahkannya. Hal ini dikarenakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya, yakni makrifatullah.

Kedua. Menghimpunan Data Mengenai Problematika Yang Dihadapi.

Lalu Ibrahim berkata, “Apakah kalian menyembah patung-patung yang kalian pahat itu?” (Qs.ash-Shaffat: 95).

Setelah merasakan adanya problematika, maka Nabiyullah Ibrahim as berusaha untuk menggali data sebanyak mungkin dan sejelas mungkin.
Memilih dan memilah data seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim as, sehingga masing-masing data dapat dikelompokkan menurut prioritasnya masing-masing, dengan harapan setelah data terkumpulkan secara prioritas, maka ia akan memiliki akurasi yang tepat. Sedangkan data yang tidak tepat tidak digunakan sebagai penarikan suatu hipotesa.

Ketiga. Penyusunan Hipotesa.
Nabi Ibrahim berkata,

“Maka mengapa kalian menyembah selain Allah; sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak pula memberi madlarat kepada kalian? Ah, celakalah kalian beserta apa yang kalian sembah, selain Allah. Apakah kalian tidak memahaminya?” (Qs.al-Anbiyâ`: 66-67).

Setelah Nabi Ibrahim as mengumpulkan dan menglasifikasi segenap data dan informasi, maka di benak pikiran beliau as telah terlintas banyak problems solving atau banyak hipotesa yang dapat di simpulkan secara sementara. Dengan harapan hal itu akan menjadi jalan keluar yang terbaik bagi diri dan kaumnya.

Keempat. Penilaian Terhadap Hipotesa.
Nabi Ibrahim melihat sebuah bintang; lalu ia berkata, “Inilah Rabb-ku.”
Tetapi tatkala bintang itu tenggelam Ibrahim berkata, “Aku tidak suka kepada yang tenggelam.”
Lalu tatkala Ibrahim melihat bulan terbit, ia berkata, “Inilah Rabbku.”
Tetapi setelah bulan itu terbenam, ia berkata, ”Sesungguhnya, jika Rabb-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”
Kemudian tatkala Ibrahim melihat matahari terbit, ia berkata, “Inilah Rabb-ku, ini yang lebih besar.”
Maka, tatkala matahari itu telah terbenam, ia berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan….”

Kesadaran Nabi Ibrahim as akan kekeliruannya di dalam penyembahan, yakni terhadap bintang, bulan, dan matahari; tidak kepada Allah azza wa jalla. Dan bagi seorang Ibrahim, berhala, bintang, bulan, dan matahari memang tidak layak untuk disembah dan dijadikan sesembahan buat dirinya juga orang lain (umat manusia, red).
Di saat itu munculah desakan yang sangat kuat akan lahirnya suatu problematika dalam dirinya, sehingga jiwa beliau as mengalami gejolak yang sangat hebat. Hingga pada akhirnya lahirlah pertanyaan, “Siapakah Rabb alam semesta?”

Kelima. Pengujian Kebenaran Hipotesa.

“Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami yang terdapat di langit dan di bumi. Dan Kami memperlihatkannya agar ia termasuk orang-orang yang yakin.” (Qs.al-An’âm: 75).

Akhirnya Nabi Ibrahim as membuang hipotesanya yang salah, karena terlalu gegabah dan ceroboh, disebabkan belum melakukan pengamatan dan penelitian secara seksama terhadap segenap fenomena tetapi beliau as langsung menyusun hipotesanya.
Namun setelah menyadari hipotesanya salah, maka ia mengadakan revisi atas hipotesanya dengan mengatakan,

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada dinullah yang hanif. Dan, aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik” (Qs.al-An’âm: 79).


Adab Menggunakan Akal
Pada Lembar Jum’at Nasional al-Fath, nomer ke-80, tahun III/2002M-1423H; alfaqîr telah menulis kegunaan dan kedudukan akal, dengan judul “Adab Menggunakan Akal”. Yang secara garis besar dapat alfaqîr simpulkan sebagai berikut:
1. Akal Digunakan Untuk Memahami Kekuasaan-Nya.
Allah swt berfirman,

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa” (Qs.al-Anbiyâ`: 22).

2. Akal Digunakan Untuk Memahami Ayat-Ayat al-Qur`ân.
Allah swt berfirman,

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka segenap ayat Kami di seluruh ufuk (penjuru alam semesta, red); dan pada diri mereka sendiri, hingga jelaslah bagi mereka bahwa al-qur`an itu benar….” (Qs.Fushshilat: 53).

3. Akal Digunakan Untuk Memahami Fenomena Alam Semesta Sebagai Hasil Ciptaan-Nya.
Allah swt berfirman,

“Maka, hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan? Ia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi lelaki dan tulang dada perempuan” (Qs.ath-Thâriq: 5-7).

4. Akal Digunakan Untuk Mengembangkan Kreatifitas, Namun Kreatifitas Akal Sangatlah Terbatas.
Allah swt berfirman,

“Katakanlah, ‘Ruh itu adalah urusan Rabbku, tidaklah kalian diberi ilmu pengetahuan diniah melainkan mutlak sedikit’.” (Qs.al-Isrâ`: 85).

5. Akal Digunakan Untuk Memahami Kebenaran.
Allah swt berfirman,

“…Sebab itu sampaikanlah berita gembira kepada para hamba Ku yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang memiliki akal” (Qs.az-Zumar: 18).

6. Kedudukan Akal Manusia Adalah Bersifat Nisbi.
Allah swt berfirman,

“Dan, mengapa mereka tidak memikirkan kejadian diri mereka sendiri? Allah tidak menjadikan langit dan bumi, serta segenap apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan….” (Qs.ar-Rûm: 8).

7. Kedudukan Akal Manusia Bersifat Terbatas.
Allah swt berfirman,

“Dia (Allah) mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka. Dan, tidaklah mereka dapat meliputinya dengan ilmunya” (Qs.Thâha: 110).

Dengan pencapaian ilmu pengetahuan diniah yang telah di ijinkan oleh Allah swt, akal dapat digunakan untuk memahami peristiwa metafisik (Qs.al-An’âm: 74-79).

8. Daya Kerja Akal Supaya Tetap Optimal, Maka Harus Selalu Didampingi & Berdampingan Dengan Wahyu (al-qur`an & al-hadis, red).

Telah difirmankan Allah swt,

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka segenap ayat Kami di seluruh ufuk (penjuru alam semesta, red); dan pada diri mereka sendiri, hingga jelaslah bagi mereka bahwa al-qur`an itu benar….” (Qs.Fushshilat: 53).


Sikap Seorang Mukmin Terhadap Akal
Dari apa yang telah alfaqîr sampaikan di atas, maka seorang mukmin harus memiliki sikap yang benar terhadap akalnya, yakni:
1. Harus commitment & consistent (CC), bahwa akal hanyalah alat syariat guna melaksanakan wahyu-Nya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Akal harus mampu mendorong pemiliknya, supaya CC terhadap perilaku sami’nâ wa atha’nâ tsummas tatha’nâ.
3. Akal harus mampu mendorong pemiliknya, supaya CC terhadap kemutlakkan wahyu.
4. Kemampuan akal manusia adalah terbatas lagi bersifat nisbi dan berubah-ubah, sedangkan eksistensi senantiasa dapat diperbaharui.
5. Harus CC, bahwa fungsi akal merupakan fasilitas hidayah guna melahirkan sikap dan perilaku yakin pada kepribadian muslim-mukmin; terhadap kebesaran dan kekuasaan-Nya.
6. Harus CC, bahwa fungsi akal salah satunya adalah memaksimalkan yang maslahah dan meminimalkan yang madlarat.
7. Harus CC, bahwa reproduksi penalaran logis akal sehatnya sejalan dengan wahyu.
8. Harus CC, bahwa reproduksi penalaran logis akal sehatnya dimaksimalkan untuk mendorong terciptanya suasana dan perilaku ijtihadi, bila telah terjadi kemandegan (jumud) di dalam melakukan reaktualisasi, purifikasi, dan dinamisasi tradisi hukum Islam.
9. Harus CC, bahwa akal berkewajiban memahami yang mujmal (umum). Disebabkan adalah merupakan hak syariat untuk menentukan hukum-hukum yang tafsili (rinci).
10. Harus CC, bahwa adakalanya akal harus mengakui terdapat beberapa hal yang ia tidak mampu memahami muatan-muatan syariat.
11. Secara prinsipil asas hukum itu merupakan kebolehan (ibahah), sampai Allah swt menurunkan syariat yang melarangnya.
12. Akal merupakan sumber hukum yang tidak berdiri sendiri melainkan produk hukum yang dicapainya adalah kenisbiannya di dalam memahami al-qur`an & al-hadis.
Sebaliknya seorang mukmin harus menghindarkan dirinya dari berpikir salah dan rancu, di antaranya:
a. Keberadaan akalnya mengingkari eksistensi-Nya, rasul-Nya, kitab suci-Nya, sirah nabawiah, para sahabat nabi, dan Ilmu Pengetahuan Diniah (IPD).
b. Keberadaan akalnya diberdayakan untuk memaksimalkan yang madlarat, merusak, menipu, dan merekayasa.
c. Keberadaan akalnya secara sistematis digunakan untuk memanipulasi peran dan eksistensi wahyu-Nya.
d. Keberadaan akalnya digunakan untuk melawan syariatullah.
e. Tidak dibenarkan akal mengharuskan-Nya dalam hal-hal tertentu.
f. Adalah suatu kesalahan besar bila mengganggap bahwa penalaran logis akal sehat merupakan suatu kemutlakkan; terutama di dalam menafsirkan al-qur`an dan al-hadis. Disebabkan manusia bukanlah shahibusy syar’i, seperti Allah swt dan rasul-Nya.
Karena akal adalah anugerah yang sangat berharga buat manusia, hingga pada akhirnya seorang manusia memiliki mahkota keimanan, etos kerja keislaman, dan wacana ilmu pengetahuan diniah. Dan, tidak ada makhluk yang paling kufur nikmat di alam semesta ini, kecuali manusia yang tidak memaksimalkan peran dan fungsi akalnya di dalam mendapatkan kedalaman misi dan visi tauhidullah.
Adalah tidak benar bila dinul Islam memasung kreatifitas kaum muslimin untuk berdaya, guna menjadikan manusia unggul yang memiliki jatidiri dan citra diri sebagai seorang qualified human. Sebab, kaum mukminin merupakan komunitas unggul dengan kehidupan yang mapan lagi sejahtera, berdaya guna dan berdaya juang dengan penuh commitment & consistent. Sehingga relijiusitas kemuslimannya berkemampuan untuk melayani umat manusia dengan semangat penuh pengabdian kepada Allah jalla jalâluh(Lihat Lembar Jum’at Nasional al-Fath, nomer ke-92, tahun III/2003M-1423H). []


























KEDUDUKAN ILMU
MENURUT AL-QUR`AN




Ilmu adalah fasilitas berpikir bagi umat manusia. Sedangkan berpikir merupakan fasilitas manusia untuk meningkatkan keimanan dan keislaman mereka. Sebagaimana kita ketahui, Allah azza wa jalla telah menganugerahi kepada umat manusia berupa fasilitas akal dan indera. Artinya, dinul Islam secara teologis hendak memberikan pesan kepada segenap umat manusia, bahwa kejadiannya yang azali dan asasi adalah tersempurnakannya manusia dengan “sikap takwa” dan “perilaku jujur” (Baca MAYAra Edisi 02/Th.I, hal. 2, “Quantum Believing”).
Sementara dalam konteks dunia, manusia harus mampu mempertahankan kejadian fitrinya yang telah diparipurnakan oleh-Nya. Dan, oleh Allah swt manusia guna mempertahankan survival-nya telah dikaruniai-Nya dengan segenap perangkat yang berupa fasilitas-fasilitas hidayah, supaya seorang hamba Allah dalam kondisi yang bagaimana pun tetap dapat melakukan pengabdian dan keharmonian di kehidupan dunianya yang fana.
Oleh karena, fasilitas-fasilitas hidayah yang berupa: indera, akal, ilmu, dan wahyu; harus dimaksimalkan kedudukannya secara fungsional, dalam rangka meningkatkan iman dan takwallah. Dari meningkatnya sikap dan perilaku keimanan atau ketakwaan, maka akan lahir sikap dan perilaku tauhid yang matang lagi mapan. Sedangkan tauhid yang tangguh adalah benteng kokoh dan dasar yang hebat untuk dapat tegaknya sebuah “bangunan keislaman” seorang hamba di muka bumi. Adapun dinul Islam akan dapat berjalan secara implementatif bila seorang muslim telah dapat berlaku jujur (tidak bohong, red).
Di sinilah kedudukan ilmu menjadi sangat penting di kehidupan seorang muslim. Karena memaksimalkan peran akal dan indera di dalam berolah pikir guna meningkatkan iman dan takwa merupakan kewajiban bagi seorang muslim. Dan, kedudukan ilmu menjadi bagian tak terpisahkan di dalam memfasilitasi seorang hamba Allah di dalam melakukan olah pikirnya. Sebab itu, Allah azza wa jalla memberikan kedudukan yang berbeda antara hamba yang berilmu pengetahuan diniah dengan yang tidak memilikinya. Pun pula berbeda derajatnya di sisi-Nya, seorang hamba yang memiliki ilmu pengetahuan diniah lagi diamalkan dengan seorang hamba yang ilmunya tidak diamalkannya. Kata Allah swt dalam firman-Nya,

“Yarfa’il-Lâhul ladzîna âmanû minkum wal-ladzîna ûthul ‘ilma darajât;” dinaikkan oleh Allah kedudukan orang yang beriman lagi berilmu pengetahuan beberapa derajat di antara kalian (Qs.al-Mujadalah: 11).

Bahkan secara jelas Allah ta'âlâ mempersilahkan kepada segenap umat manusia, baik dengan asumsinya atau melihat kenyataan empirisnya mengenai keberagamaan kedudukan umat manusia, bila dilihat berdasarkan kualitas keilmuannya.

“Undhur! kaifa fadl-dlalnâ ba’dlahum ‘alâ ba’dlin;” perhatikan, bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain (Qs.al-Isrâ`: 21).

Di sinilah kaum mukminin harus mengimani lagi memahami ayat,

"Narfa’u darajâtim man nasyâ`u wa fauqa kulli dzî ‘ilmin ‘alîmun;” Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki. Dan, di setiap orang yang berilmu pengetahuan masih ada Dzat yang Mahamengetahui (Qs.Yûnus: 76.

Dari ketiga ayat tersebut di atas, kaum mukminin harus yakin, bahwa seorang hamba Allah yang telah berilmu pengetahuan diniah kedudukannya di sisi Allah swt akan berbeda dengan para hamba Allah yang tidak berilmu pengetahuan.
Di dunianya saja sangat berbeda jauh status sosialnya, antara yang berilmu pengetahuan diniah dengan yang pintar. Bandingkan dengan para sarjana dengan segala titelnya. Bandingkan dengan para ulama dengan segala sebutannya. Yang pasti Allah azza wa jalla hanya menerima ilmu pengetahuan yang didasarkan semata mencari ridla-Nya.
Wal hasil, ilmu tersebut dapat mengantarkan kepribadian para pemilikinya memiliki nafsu muthma`innah dan berkepribadian râdliatam mardlîah. Bila hal ini tidak dimiliki oleh seorang ahli ilmu, maka ia akan tersesat dan kelak di sisi-Nya tergolong menjadi hamba Allah yang merugi.

Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan Diniah
Bagi kaum mukminin al-qur`ân, al-hadîs, dan al-'âlam merupakan segenap sumber berpikir, disebabkan ayat-ayat-Nya yang terhampar untuk dipahami umat manusia guna mendapatkan kebesaran dan kekuasaan Allah swt, yang mana ayat-ayat itu terdiri dari “ayat qauliah” dan “ayat kauniah”. Bila al-qur`ân dan al-hadîs adalah ayat qauliah, maka al-‘âlam merupakan ayat kauniah.
Namun prinsipnya jelas, seluruh keilmuan yang telah dimiliki oleh seorang hamba harus bermuara pada terjadinya “keharmonian” kehidupan umat manusia, dan “kemakrifatan” dengan Rabb-nya. Karenanya, Allah azza wa jalla menegur umat manusia yang perilaku dis-harmoni dan ghafil ‘indal-ma’rifah dengan firman-Nya,

“Mereka hanya mengetahui yang dhahir saja dari kehidupan dunia, sedangkan mereka tentang kehidupan akhirat adalah lalai” (Qs.ar-Rûm: 7).

Secara garis besar sumber ilmu pengetahuan diniah dapat dibedakan, antara: sumber-sumber yang bersifat Ilahiah dan sumber-sumber yang bersifat insaniah. Demikian halnya dengan mempelajari kedudukan Rasulullah saw sebagai shâhibusy syar’i (pembuat undang-undang, red), harus dilihat kedudukan Nabi saw dalam dua aspek: aspek nubuwah dan aspek basyariah.
Artinya, dilihat dari sudut kenabian segala apa yang telah beliau ucapkan (qauliah), amalkan (‘amaliah), setujui (taqririah), dan di-himmah-kan; umat manusia harus sami’nâ wa atha’nâ tsummas tatha’nâ (taken for grented).
Sebaliknya, bila ditinjau dari sebagai seorang manusia, asumsi beliau merupakan ruang gerak akal untuk melakukan: penelitian, penemuan, pengkajian, dan percobaan.

Dikisahkan oleh sahabat Thalhah bin Abdullah ra, aku bersama Rasulullah saw melewati suatu kaum yang tengah berada di puncak pohon kurma. Lalu, beliau bertanya, “Apa yang tengah diperbuat mereka?”
Para sahabat menjawab, "Mereka sedang melakukan penyerbukan, dengan menjadikan yang jantan pada yang betina, lalu ia dikawinkan.”
Nabi bersabda, “Apa yang aku duga hal itu tidak bermanfaat sedikit pun.”
Thalhah berkata, “Maka, mereka diberi tahu atas hal itu, dan mereka meninggalkannya.”

Lalu diinformasikan kepada Rasulullah saw akan kegagalan panen mereka pada tahun itu. Maka beliau bersabda,

“Jika penyerbukan itu bermanfaat bagi mereka, maka biarkanlah mereka mengerjakannya. Karena sesungguhnya aku hanya menduga berdasarkan asumsi, di mana janganlah kalian --secara mutlak-- mengambil contoh atas tindakanku yang berdasarkan pada asumsi. Akan tetapi, jika aku berbicara kepada kalian tentang Allah ta’âlâ, walau hanya sedikit. Maka, ambillah ia. Karena sesungguhnya aku tidaklah akan pernah berdusta kepada Allah swt” (Hr.Muslim; syarah Imam Nawawi, Bab “Fadla`il”, Juz XV, hal.116-117).

Dalam riwayat yang lain diterangkan, Nabi saw bersabda,

“Kalian lebih mengetahui perkara-perkara dunia kalian” (Hr.Muslim; syarah Imam Nawawi, bab “Fadla`il”, Juz XV, hal.118).

Dari sini jelas, bahwa Rasulullah saw sebagai shâhibusy syar’i telah memberikan ruang gerak akal umat manusia untuk selalu melakukan reproduksi pemikiran dalam proses belajar-mengajar, dengan jalan: penelitian, penemuan, pengkajian, dan percobaan; sebagai jawaban-jawaban baru bagi situasi-situasi baru yang terjadi di kehidupannya. Juga sebagai solusi bagi setiap kali munculnya berbagai problematika hidupnya.
Demikianlah dinul Islam mengakui kedudukan ilmu pengetahuan diniah, begitu seimbang dan harmoninya kehidupan seorang muslim manakala mereka mau mengikuti jejak Rasulullah saw. Perhatikan bagaimana kehidupan para sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in, salafush-shâlih, ulama`ullah, dan shâlihîn memandu kehidupannya dengan pola menejeman kecerdasan intuisional (In-Q).
Inilah sebuah napak tilas reproduksi keilmuan yang telah diajarkan oleh Nabiullah Idris as (Lihat Bagan Reproduksi Pemikiran Nabi Idris; juga baca MAYAra Edisi 06/Th.I, hal.22-23, “Kisah Nabi Idris”).

Kunci Ilmu Itu Bahasa
Dalam surat al-baqarah ayat ke 31-33 disebutkan,

“Dan, Dia (Allah) telah mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya.” Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, “Sebutkanlah kepada Ku nama-nama benda itu jika kalian memang yang benar?”
Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau-lah yang Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.”
Allah berfirman, “Wahai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.”
Maka setelah diberitahukan kepada mereka nama-nama benda itu, lalu Allah berfirman, “Bukankah sudah Aku katakan kepada kalian, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, serta mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan.”

Allah azza wa jalla telah menuntun kaum muslimin dengan kisah Nabiullah Adam as. Di mana Nabi Adam as di sisi-Nya telah didudukkan sebagai makhluk yang berderajat karena keilmuan yang telah dimilikinya. Sedangkan keilmuan Nabi Adam as sendiri entry point-nya adalah pembelajarannya atas kemampuannya berbahasa yang telah dianugerahkan-Nya kepadanya. Di sinilah para malaikat memberikan penghormatan karena kedudukan Nabi Adam as, yang secara keilmuan dapat dipertanggung-jawabkan di sisi-Nya.
Sementara iblis tidak mau memberikan penghormatan kepada Nabi Adam as, karena memang iblis telah digelayuti rasa hasud dan dengki terhadap Nabi Adam as. Sehingga mereka lebih memilih jalan kesombongan yang berakhir dengan terkutuknya segenap keluarga dan anak keturunannya dari sisi-Nya (Baca MAYAra Edisi 05/Th.I, hal.4-5, “Kisah Nabi Adam”).
Memang secara tekstual yang dimaksud bahasa adalah simbol komunikasi dua arah. Akan tetapi yang dimaksud dengan bahasa sebagai kunci ilmu pengetahuan diniah, adalah kemampuan seorang hamba di dalam membentuk sekaligus membangun sebuah konsep di dalam kehidupannya; sekali pun telah melewati batas-batas waktu dan tempat, demikianlah reproduksi pemikiran manusia akan terbentuk.
Dan, akan lebih dahsyat lagi perkembangaannya bila manusia tersebut mau komitmen dan konsisten dengan sikap dan perilaku tauhidnya. Disebabkan, sifat manusia adalah senantiasa suka mempelajari segala sesuatu yang bersifat baru, mengungkap hubungan-hubungannya serta korelasi-korelasi antara segala sesuatunya, menarik kesimpulan-kesimpulan dasar dan undang-undang, melakukan inovasi serta penemuan. Dengan kata lain, ia telah melakukan apresiasi secara utuh lagi menyeluruh atas segenap fasilitas hidayah yang telah dianugerahkan kepada dirinya.
Proses belajar tersebut di atas memang pernah dialami oleh Nabi Adam as sebagai abul-basyar (bapak umat manusia, red). Namun demikian realitas tersebut niscaya juga akan dialami oleh anak keturunannya (bani Adam, red).
Demikianlah manusia melakukan kategorisasi atas benda-benda guna melakukan konklusi terhadap segenap benda yang berada di sekelilingnya. Itulah kemampuan manusia di dalam “berbahasa” terhadap lingkungannya. Sehingga dengan anugerah akal, indera, ilmu, dan wahyu; seorang manusia akan mampu membuat konsep, memaparkan diskripsi, berilustrasi, menganalisis, menerima informasi dan segenap fakta baru untuk kemudian dilakukan reproduksi pemikiran yang akurat, insya Allah.

Cara-Cara Belajar
Secara prinsip manusia menemukan cara belajarnya dengan jalan: imitasi, eksperimen, dan berpikir. Ketiga langkah tersebut oleh al-qur`an telah diakui keberadaannya dalam rangka memberdayakan umat manusia, agar manusia tersebut menjadi manusia yang berkualitas, di samping sebagai wujud nyata dari meningkatnya modal sosial (social capital). Dikarenakan di kehidupannya umat manusia dapat survive manakala mereka benar-benar berdaya akan investasi modal manusianya (human capital investment).

Imitasi
Allah azza wa jalla telah menerangkan proses belajar secara imitasi pada surat al-mâ`idah ayat ke-31. Lalu, Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil, red), bagaimana ia seharusnya menguburkan mayat saudaranya (Habil, red).
Berkata Qabil, “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti seekor burung gagak itu. Hingga aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini!” Karena itu, jadilah ia di antara orang-orang yang menyesal.
Manusia secara naluriah memiliki kecenderungan yang kuat akan proses imitasi terhadap sesuatu yang terdapat di sekelilingnya, bilamana akal dan inderanya mampu menangkapnya. Dari sinilah akan muncul reproduksi pemikiran di dalam proses belajarnya. Pada tingkat imitasi tersebut, yang lebih banyak terjadi manusia belajar pada fenomena alam dan setiap peristiwa yang terjadi pada meliunya, sebagaimana yang telah dipertontonkan oleh Qabil di dalam ayat tersebut di atas.
Memahami teks di atas, maka seorang muslim secara prefentif ia harus mampu menciptakan keteladanan pada dirinya, seperti kepribadian teladan yang telah dimiliki oleh Rasulullah saw dan Khalilullah Ibrahim as. Disebabkan, suri teladan yang baik lagi benar (uswatun hasanatun) mempunyai peranan yang sangat besar lagi penting dalam setiap proses pendidikan dan pengajaran.

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu uswatun hasanatun (transmisi energi), yaitu bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan Hari Kiamat, serta ia banyak berdzikrullah” (Qs.al-Ahzab: 21).

“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu bagi orang yang mengharap pahala Allah dan keselamatan Hari Kemudian. Barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah; Dia-lah yang Mahakaya lagi Mahaterpuji” (Qs.al-Mumtahanah: 6)

Jadi alangkah naifnya manakala seorang muslim menjadikan non-qur`an dan non-sunnah sebagai acuan atau referensi proses imitasinya. Suatu misal, dalam hal shalat dan haji, Rasulullah saw jelas dan tegas telah memberikan acuan imitasi bagi kaum mukminin, “Shallû kamâ ra`aitumunnî ushallî” dan “Khudzdzû ‘annî manâsika kum”.
Islam adalah Islam. Artinya, Islam bukan yang lainnya dan tidak dapat dibanding-bandingkan dengan sesuatu yang berada di luar sistemnya. Bila kehidupan umat manusia, atau seorang manusia ingin baik silahkan mengimitasi dengan segala hal yang telah diangkatnya sebagai fenomena transmisi energi (uswatun hasanatun).
Tidak perlu susah-susah berusaha mencocok-cocokkan nilai Islam dengan nilai-nilai yang lainnya. Karenanya memang tidaklah sebanding. Ingat, al-islâmu ya’lu wa lâ yu’lâ ‘alaih. Di sinilah kaum muslimin harus pandai-pandai benar memanfaatkan ruang gerak akalnya dengan berpikir secara maksimal, supaya mendapatkan hasil yang optimal, sebagai wujud nyata dari proses reproduksi pemikirannya.

Eksperimen
Allah swt telah menerangkan pentingnya tindakan eksperimen dalam belajar, hanya dengan eksperimen seseorang akan menemukan data dan fakta sehingga ia dapat melakukan reproduksi pemikirannya.

“Mereka (manusia) hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia. Sedangkan mengenai kehidupan akhirat adalah lalai” (Qs.ar-Rûm: 7).

Berdasarkan pemikiran Imam al-Qurthubi ra dalam buku tafsirnya dan Syekh Ibnu Katsir ra dalam buku tafsirnya, dapatlah dipahami bahwa sebagian besar umat manusia hanya semata mencari keuntungan duniawiah dengan segala administrasinya. Di mana mereka senantiasa melakukan percobaan dan penelitian dalam rangka eksperimen, semata untuk menyejahterakan kehidupan dunianya. Hanya sedikit sekali umat manusia yang melakukan eksperimen yang digunakan untuk kepentingan tauhidnya.
Demikianlah para musuh Islam selalu menghendaki agar kaum muslimin menjadi luntur sikap eksperimen tauhidiahnya. Sebab, mereka sangat ketakutan manakala kaum muslimin memiliki perilaku ikhlas dan sikap tauhid yang benar lagi kuat. Karena kenyataannya selama ini, tepatnya setelah jatuhnya kekhalifahan usmani, kaum muslimin merupakan pangsa pasar yang menjanjikan bagi mereka.
Sudah saatnya kaum muslimin secara pribadi-pribadi menekuni lagi dunia eksperimen, observasi, dan penemuan guna menjawab tantangan jaman yang terus berubah secara cepat. Harus digalakkan lagi pada kehidupan kaum muslimin dengan tradisi laboratorium, perpustakaan, dan penangkaran-penangkaran. Tidak diragukan lagi, perhatian al-qur`an dengan mengajak umat manusia untuk memperhatikan dan berpikir dalam merespon fenomena alam dengan segala apa yang terdapat di dalamnya. Adalah menunjukkan kompetennya Allah swt untuk mengajak umat manusia supaya selalu belajar, dengan cara melalui memaksimalkan perhatian mereka terhadap benda-benda, dengan melakukan eksperimen praktis di kehidupan kesehariannya.

Berpikir
Allah swt telah meletakkan dasar berpikir bagi umat manusia, sehingga manusia di dalam aktifitasnya dapat meminimalkan kesalahannya, yakni dengan jalan musyawarah. Oleh karena dalam suatu riwayat diterangkan, tidak akan merugi orang yang melakukan musyawarah.

“Dan, orang-orang yang menerima seruan Rabb-mu serta mendirikan shalat, sedang urusan mereka itu diputuskan dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizeki yang Kami berikan kepada mereka” (Qs.asy-Syûra: 38).

Adapun musyawarah tekniknya bermacam-macam dapat dengan cara: berdiskusi, berdialog, seminar, lokakarya, simposium, dan konsensus. Jelasnya kesemuanya merupakan langkah strategis seorang manusia, atau sekelompok manusia dalam melakukan reproduksi pemikirannya.
Adalah suatu kenyataan di saat manusia berpikir dalam memecahkan persoalan tertentu, di waktu yang bersamaan ia melakukan sejenis usaha uji coba secara rasional di dalam benaknya. Ia meneliti dalam benaknya solusi-solusi yang berbeda-beda untuk memecahkan problemnya. Ia menolak solusi-solusi yang keliru atau tidak relevan dan legitimit.
Dengan jalan berpikir manusia belajar mencari model pemecahan-pemecahan problematika baru bagi persoalan dirinya, lalu mengungkapkan korelasi antar segala sesuatu dan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi, menarik kesimpulan-kesimpulan dasar dan teori-teori baru, akhirnya ia memperoleh petunjuk baru atas penemuan dan penciptaan yang baru pula.
Dapatlah disimpulkan, bahwa dengan keilmuan diniah yang mapan manusia akan menemukan segala sesuatu yang baru, yang sangat berguna di dalam kehidupannya. Hanya dengan ilmu pengetahuan diniah, segalanya terasa mudah dan menyenangkan. Karena, bila suatu amal tanpa dibarengi dengan keilmuan yang mapan, maka kurang sempurnalah amal perbuatan tersebut, utamanya amal yang menyangkut hubungan dengan Allah swt. Tapi harus selalu diingat, bahwa keilmuan yang kita miliki semata untuk mencari ridla-Nya. Karenanya, tidak bermartabat, bila kita sangat membanggakan ilmu kita, sebab ilmu yang ada pada diri kita hanya sekadar amanah-Nya, yang kelak pasti akan dimintai pertanggung-jawabannya. []




































BERPIKIR MENURUT AL-QUR`AN




Manusia dapat berpikir adalah sunnatullah. Manusia mampu menggunakan akalnya untuk berpikir merupakan fitrah. Manusia tidak berpikir adalah lemah. Sedangkan, manusia berpikir salah karena disebabkan ceroboh.
Fenomena kapasitas, kreatifitas, dan kemampuan inovasi seorang manusia di dalam berpikir; benar-benar telah mendapatkan jaminan dari-Nya. Sebagaimana juga telah dijaminkan kepada Nabi Ibrahim as,

“Dan, demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami (yang terdapat) di langit serta di bumi. Dan, Kami (memperlihatkannya) agar Ibrahim termasuk orang-orang yang yakin” (Qs.al-An’âm: 75).

Allah swt lewat al-qur`an benar-benar menekankan kepada kehidupan umat manusia agar mereka selalu berpikir dengan segala kreatifitas dan inovasinya. Sehingga manusia penghuni bumi ini secara nyata akan terhindar dari segala pemasungan kreatifitas dan kemandegan inovasi.
Karenanya, al-qur`an dengan cerdas memberikan kritik kepada segenap manusia yang berupaya menafikan peran akal mereka. Atau, atau dengan sengaja membuang peran akal pikiran mereka untuk berkreatif dan berinovatif, dengan menjadikan pemikiran manusia tersebut terpasung atau mandeg (jumud).

“Dan, apabila dikatakan kepada mereka, 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’.”
Maka mereka menjawab, “Tidak, akan tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan moyang kami.”
(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak pula mendapatkan petunjuk? (Qs.al-Baqarah: 170).

Sementara, Kitab Suci al-Qur`an selalu mengajak kepada segenap umat manusia untuk selalu memahami fenomena alam, fenomena makhluk hidup, fenomena kejiwaan, dan fenomena ke-Mahabesar-an Allah swt.
Ajakan berpikir lebih ditekankan kepada segala hal yang berada dalam wilayah asumsi kenisbian akal pikiran seorang manusia. Sedangkan, wilayah-wilayah yang mutlak (absolutly) merupakan sesuatu yang sudah final, misalnya: wilayah ta’abudiah.
Dan, dalam konteks kenabian, maka Rasulullah saw pemegang otoritas tertinggi sebagai shâhibusy syar’i dalam aspek nubuwah. Karena beliaulah manusia di muka bumi yang paling sempurna keislamannya dengan segala kemutlakkannya.
Sedangkan, siapa pun manusia, keislaman mereka adalah nisbi; alias keislaman yang terbatas. Di sinilah seorang muslim, bila mereka menghendaki menjadi muslim kaffah. Mau tidak mau, mereka harus melakukan pendekatan-pendekatan yang benar terhadap “keislaman yang mutlak” atas Rasulullah saw dan atas al-qur`ânul karîm.
Karenanya, Allah ta’âlâ melarang kaum muslimin untuk mengikuti “perkataan dan ide yang tidak dipahami” serta “tanpa adanya kejelasan fakta dan bukti yang shahih”. Seperti telah difirmankan-Nya,

“Janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati; semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya” (Qs.al-Isrâ`: 36).

“Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, dan mengikuti setiap bisikan setan yang sangat jahat” (Qs.al-Hajj: 3).

“Dan, di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk, dan tanpa wahyu yang bercahaya” (Qs.al-Hajj: 8).

“(Yaitu): orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat sangat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang” (Qs.al-Mu’min: 35).

“Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka, tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya. Karena itu, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sebab, sesungguhnya Dia Mahamendengar lagi Mahamelihat” (Qs.al-Mu’min: 56).


Kesalahan-Kesalahan Berpikir
Berdasarkan segala apa yang telah alfaqîr paparkan di atas tidak menutup kemungkinan, di dalam berpikir manusia mengalami kesalahan-kesalahan dalam berpikir. Bahkan, terkadang pikiran menghadapi banyak rintangan, hingga pemikiran-pemikiran yang tergagaskan menjadi menyimpang dari metode yang benar, dan akhirnya terhalangi untuk kepada kebenaran hakekat yang sesungguhnya. Adapun macam-macam kesalahan berpikir, di antaranya:
1. Dikarenakan Sombong.
Allah swt berfirman,

“(Ada) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat sangat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang” (Qs.al-Mu’min: 35).

2. Dikarenakan Lalai.
Allah swt berfirman,

“Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran, dan juga penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah. Dan, mereka itulah orang-orang yang lalai” (Qs.al-Furqân: 44).

3. Dikarenakan Bersikukuh Pada Tradisi Lama Yang Salah.
Allah swt berfirman,

“Mereka berkata, ‘Apakah kalian datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang telah kami dapati dari moyang kami mengerjakannya?” (Qs.Yûnus: 78).

4. Dikarenakan Tahayul.
Allah swt berfirman,

“Allah sekali-kali tidak pernah menyariatkan atas adanya bahirah, saibah, washilah, dan ham. Akan tetapi, orang-orang kafir membuat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti” (Qs.al-Mâ`idah: 103).

Ada kepercayaan yang berbau tahayul di masyarakat jahiliah, seperti: Bahîrah, yakni unta betina yang telah beranak sebanyak 5 kali, dan anak yang kelima jantan. Lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, dan tidak boleh ditunggangi serta tidak boleh diambil air susunya. Sâibah, yakni unta betina yang dibiarkan ke mana saja. Washîlah, yakni seekor domba betina yang melahirkan anak kembar, yang terdiri dari jantan dan betina. Yang jantan disebut washilah, di mana ia tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala. Dan, Hâm, yakni unta jantan yang tidak boleh diganggu gugat lagi, karena telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali.
5. Dikarenakan Khurafat.
Allah swt berfirman,

“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang telah diturunkan oleh Allah dan mengikuti jejak Rasul’.”
Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.”
Dan, apakah mereka akan mengikuti jejak moyang mereka, walaupun moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk? (Qs.al-Mâ`idah: 104).

6. Dikarenakan Tidak Cukup Bukti Ilmiah.
Allah swt berfirman,

“Dan, kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun akan berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka kerjakan” (Qs.Yânus: 36).

“Jika kalian mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta terhadap Allah” (Qs.al-An’âm: 116).

7. Dikarenakan Adanya Kecenderungan Emosi.
Allah swt berfirman,

“Maka, pernahkah kalian melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Rabb-nya, di mana Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya. (Lalu) Allah mengunci mati pendengaran serta hatinya, dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka, siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Maka, mengapa kalian tidak mengambil pelajaran!” (Qs.al-Jatsiah: 23).

8. Dikarenakan Adanya Kecenderungan Simpati.
Allah swt berfirman,

“Itu tidak lain, hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengadakannya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan untuk (menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka” (Qs.an-Najm: 23).

9. Dikarenakan Bisikan Setan.
Allah swt berfirman,

“Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, dan mengikuti setiap bisikan setan yang sangat jahat” (Qs.al-Hajj: 3).

10. Dikarenakan Mengikuti Hawa Nafsunya.
Allah swt berfirman,

“Akan tetapi, orang-orang yang lalim itu mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan” (Qs.ar-Rûm: 29).

11. Dikarenakan Memang Telah Mengingkari-Nya.
Allah swt berfirman,

“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak mau memahami” (Qs.ar-Rûm: 59).


Bagaimana Seharusnya Berpikir
Di samping telah mengetahui beberapa kesalahan di dalam berpikir, maka seorang manusia di dalam berpikir harus lebih mengedepankan: a).Moralitas al-qur`an; b).Moralitas as-sunnah; dan c).Moralitas ilmu pengetahuan diniah (independensi).
Karena, seseorang yang telah melakukan aktifitas berpikir dengan meninggalkan konsep moralitas yang jernih, maka ia pasti akan terjebak pada pemikiran yang: a).Berpihak (dependensi)); b).Bersifat tendensius; c).Bersifat sentimentil; d).Bersikap sekterian; e).Bersifat aliran; dan f).Bersikap fanatisme; yang kesemuanya ini akan menjadikan hasil olah pikirnya sangat emosional dan jauh dari kebenaran. []



















CARA BERPIKIR




Manusia oleh Allah swt dalam kejadiannya telah dibekali suatu potensi yang dapat dikembangkan oleh pemiliknya, sampai pada ilmu pengetahuan diniah yang mampu mengantar seseorang dapat mengetahui dan memahami kekuasaan-Nya dan kebesaran-Nya. Inilah potensi makrifat yang senantiasa menyertai kehidupan seorang manusia di mana saja berada, dan di saat dia menjadi apa saja di posisi kehidupannya.
Namun seringkali, karena begitu kuatnya dominasi nafsu syahwatnya, seorang manusia lalai akan keberadaan sebuah potensi Ilahiah yang sangat hebat tersebut, di dalam mendorong terjadinya setiap perubahan yang berarti secara positif-konstruktif di dalam kehidupannya. Demi mencapai kehidupan harmoni yang diridlai oleh Allah azza wa jalla.
Adalah tugas kita, sebagai seorang yang beriman kepada Allah jalla jalâluh untuk tetap selalu menjaga kedudukan kalbu fitri agar senantiasa dalam rengkuhan kerahmatan-Nya. Sebab, apa artinya kehidupan seorang hamba Allah yang selalu berada di luar atmosfir kerahmatan-Nya.
Itu sama halnya dengan orang yang mengharapkan sesuatu yang diinginkannya, tetapi sesuatu itu berada di dalam almari kaca. Dia sangat berharap sesuatu itu dapat menjadi miliknya, namun apakah mungkin bila ia tidak membuka almari tersebut dengan kuncinya. Sekali pun almari itu kepunyaannya.
Bisa saja terjadi dengan membobol almari kaca tersebut secara instan dengan memecahkan kaca-kacanya, tapi itu bukan perbuatan orang yang diberi kamampuan oleh Allah swt untuk melakukan olah pikir. Akan tetapi kenyataannya cara instan itulah yang banyak dipilih oleh manusia-manusia kapitalis yang berteoligikan industrialis.
Dan, anehnya kaum muslimin telah banyak mengonsumsi cara berpikir tersebut. Sehingga lambat namun pasti banyak kaum muslimin yang asing (gharib) dengan “cara berpikirnya sendiri”, yang mereferensi pada reproduksi cara berpikir sebagai manusia yang berke-Tuhan-an. Renungkan drama kosmis yang dilakonkan oleh Nabi Adam as dengan Ibunda Hawa as,

“Dan, Kami berfirman, ‘Wahai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini. Makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai. Akan tetapi, janganlah kalian dekati pohon ini, yang menyebabkan kalian termasuk orang-orang yang lalim’.”
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu, serta dikeluarkan dari keadaan semula. Kami (Allah) berfirman, “Turunlah kalian! Sebagian kalian menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di bumi, serta kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.”
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya. Allah Mahamenerima taubat (hamba-Nya) lagi Mahapenyayang (Qs.al-Baqarah: 35-37).

Berdasarkan diskripsi dalam surat al-baqarah tersebut di atas, maka jelaslah bahwa Allah azza wa jalla telah membekali kehidupan seorang manusia dengan kemampuan Ilahiah-nya di dalam menghadapi segenap problematika kehidupannya, mulai dari: cara berpikir; menentukan pilihan; mengambil suatu keputusan; memaksimalkan kemanfaatan; berpikir kreatif dan inovatif; sampai pada pemecahan masalah dan mengambil suatu kesimpulan, kesemuanya tersebut telah melekat bersamaan dengan kejadiannya.
Dengan demikian segenap kemampuan tersebut manakala tidak dimaksimalkan keberadaannya, di dalam kehidupan seorang manusia, maka layak ia menerima sebutan sebagai manusia kafir. Di mana ia nyata-nyata menentang dan melakukan perlawanan atas kekuatan Ilahiah yang menyertai kejadiannya.

Memahami Cara Berpikir
Masalah yang dihadapi sama, namun masing-masing dari manusia memiliki pandangan yang berbeda-beda di dalam menyikapinya, hal itu dikarenakan masing-masing dari mereka mempunyai cara berpikir yang berbeda-beda pula. Di sinilah awal dari munculnya sikap plural, bahkan pada tahap tertentu seseorang manusia dapat terjebak pada sikap sekterian.
Dalam proses berpikir, kedua sikap tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sudah barangtentu bagi seorang muslim, tugasnya adalah memaksimalkan yang positif dan meminimalkan yang negatif. Tanpa harus melakukan tuduhan dan menyalahkan pihak mana pun. Namun semua yang telah terjadi harus dihadapinya dengan memaksimalkan daya kreatifnya dan daya inovatifnya di dalam berpikir. Atau, ketika memikirkan sesuatu guna mendapatkan solusi terbaik dan problem-solvings. Seperti telah dijelaskan oleh Allah swt,

“Bacalah, dengan menyebut nama Rabb-mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan, Rabbmu-lah yang Mahapemurah yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa saja yang tidak diketahui (oleh manusia)” (Qs.al-‘Alaq: 1-5).

“Dia-lah yang menciptakan manusia, mengajarnya pandai bicara” (Qs.ar-Rahmân: 2-3).

Adapun cara-cara manusia berpikir dalam rangka berpengetahuan (knowledge) dan berilmu pengetahuan diniah (science of diniah), di antaranya:

1. Berpikir Pola Taklid.
Cara berpikir pola taklid, adalah kategoris belajar yang masih banyak diikuti oleh mayoritas umat manusia. Cara ini akan mampu melejitkan seseorang manakala orang yang ditaklidinya benar-benar memiliki keteladanan. Namun sebaliknya, ia akan menjadi daya perusak yang hebat bila yang ditaklidinya bukan manusia berketeladanan.
Karenanya, dinul Islam telah memberikan arahan yang jelas kepada kaum muslimin agar mengambil teladan dari para nabi dan para rasul; khususnya Rasulullah saw beserta para sahabatnya dan orang-orang shalih yang mengikutinya.

“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka” (Qs.al-An’âm: 90).

Tetapi di saat yang bersamaan, mereka harus meninggalkan perilaku taklid atas pengetahuan dari manusia-manusia yang telah nyata mengafiri Rabb-nya.

“Mereka berkata, ‘Apakah kalian datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja, dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?'” (Qs.al-An’âm: 70).

Dan, apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!”
Maka, mereka menjawab, “Tidak, akan tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami.”
(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apa pun, dan tidak pula mendapat petunjuk (Qs.al-Baqarah: 170).

2. Berpikir Pola Tajribah.
Sebagai ilustrasi, diceritakan dari sahabat Thalhah bin Abdullah ra, ia berkata,

“Aku bersama Rasulullah saw melewati suatu kaum yang tengah berada di puncak pohon kurma.”
Lalu beliau bertanya, “Apa yang mereka lakukan?”
Para sahabat menjawab, “Mereka sedang melakukan penyerbukan, dengan menjadikan yang jantan pada yang betina, lalu ia dikawinkan.”
Rasulullah saw berkata, “Apa yang aku duga hal itu tidak bermanfaat sedikit pun.”
Thalhah berkata, “Maka, mereka diberi tahu atas hal itu, dan mereka meninggalkannya.”
Kemudian dikabarkan kepada Rasulullah saw akan kegagalan panen mereka pada tahun itu. Maka, beliau berkata, “Jika penyerbukan itu bermanfaat bagi mereka, maka biarlah mereka mengerjakannya. Karena sesungguhnya aku hanya menduga berdasarkan asumsi, di mana janganlah kalian –secara mutlak-- mengambil contoh atas tindakanku yang berdasarkan pada asumsi. Akan tetapi, jika aku berbicara kepada kalian tentang Allah swt, walau hanya sedikit, maka ambillah ia. Karena sesungguhnya aku tidaklah akan pernah berdusta kepada Allah swt” (Hr.Muslim; Lihat Kitab Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, Bab al-Faha’il, Jilid XV, hal.116-117; Lihat Dr. Usman Najati, 1987). Lihat bagan Reproduksi Pemikiran Nabi Idris as; MAYAra Edisi 06/Th.I/Pebruari 2003M/Dzulhijjah 1423H, hal.23).

Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda,

“Kalian lebih mengetahui perkara-perkara dunia kalian;” antum a’lamu bi umûrid dunyâ kum.

Dari dua pernyataan Nabi saw, “Jika hal itu bermanfaat bagi mereka, maka kerjakanlah oleh mereka,” dan, “Kalian lebih mengetahui dengan perkara-perkara dunia kalian.”
Hal ini menunjukkan, bahwa umat manusia di dalam menyelesaikan problematika kehidupannya, selalu berusaha mencari sesuatu yang baru dan bersifat efisien.
Karena sifatnya sesuatu yang baru, maka kegagalan dan ketidak-sempurnaan dari sebuah teori atau asumsi itu hal yang wajar. Namun yang terpenting, sebagai manusia muslim yang dianugerahi oleh-Nya segenap fasilitas hidayah, seperti: indera, akal, ilmu, dan iman harus berani melakukan eksperimen (tajribah) di kehidupan kesehariannya.
Dengan harapan hidupnya jauh lebih mudah, efektif, efisien, kreatif, dan inovatif berdasarkan kajian-kajian, penelitian-penelitian, riset, dan asumsi-asumsi.
Sehingga hasil dari cara berpikirnya itu dapat dinikmati oleh banyak orang dan menyejahterakan kehidupan umat manusia, dengan tetap berpegang pada prinsip: tidak eksploitasi, tidak ekspansi, tidak kolonisasi, dan tidak imperialis. Inilah yang membedakan seorang pemikir muslim dengan seorang pemikir kafir.

3. Berpikir Pola Coba-Coba.
Telah difirmankan oleh Allah swt,

“…Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka” (Qs.an-Najm: 23).

Bagi seorang muslim, berpikir dengan pola coba-coba, merupakan bagian dari usaha pengembangan diri atas sesuatu yang telah diimaninya dan diyakininya. Hal ini dilakukannya semata untuk memberdayakan fungsi dan tugas kekhalifahan yang telah di-taklif-kan oleh Allah swt kepada dirinya. Dikarenakan secara ajaran (teologi), dinul Islam melarang kaum muslimin dengan pola hidup bergantung kepada sesama makhluk dan banyak mengharap kepada makhluk.
Karenanya, dengan fasilitas, seperti: indera, akal, ilmu, dan iman; seorang muslim harus mampu mempertahankan hidupnya secara baik dan benar (survival), dengan banyak melakukan upaya percobaan-percobaan. Yang secara esensial, hal itu ditujukan agar hidupnya mendapatkan kemudahan-kemudahan sebagai akibat langsung dan tidak langsung dari proses berpikirnya.
Hal itu berbeda dengan seorang kafir, ia melakukan olah pikir karena adanya keragu-raguan dan keheranan. Sehingga di dalam proses berpikirnya, ia sama sekali tidak melibatkan keberadaan iman sebagai salah satu fasilitas hidayah hidupnya. Sebaliknya, ia begitu intens menjadikan nafsu syahwat sebagai referensi utamanya, sehingga hasil akhirnya adalah lahirnya manusia-manusia double standart. Seperti telah difirmankan-Nya,

“Akan tetapi, orang-orang yang lalim itu mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan” (Qs.ar-Rûm: 29). Lihat bagan Reproduksi Pemikiran Barat Modern; MAYAra Edisi 08/Th.I/April 2003M/Shafar 1424H, hal.4.

4. Berpikir Pola Ra’yu.
Berpikir pola akal (ra’yu), semata sebagai sarana dzikrullah atas segenap ayat-ayat Allah swt yang telah tersurat dan tersirat di kehidupannya. Dengan menjadikan akal sebagai fasilitas olah pikir, guna memperoleh perilaku tauhid dan sains yang mampu memberdayakan keberadaannya sebagai seorang khalifah Allah di muka bumi. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi; silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang dzikrullah sambil berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, seraya mengucap,

"Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa mereka’.” (Qs.Ali Imrân: 190-191). Lihat bagan Fungsi Akal; MAYAra Edisi 06/Th.I/Pebruari 2003M/Dzulhijjah 1423H, hal.3.

5. Berpikir Pola Natijah Atas Fenomena.
Berpikir pola ini, misalnya dapat dijumpai di al-qur`an:

• Katakanlah, “Berjalanlah di muka bumi, dan perhatikanlah bagimana Allah menciptakan manusia dari permulaannya” (Qs.al-Ankabût: 20).

• Katakanlah, “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan juga di bumi!” (Qs.Yûnus: 101).

• “Dan, apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit serta bumi, dan segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah?” (Qs.al-A’râf: 185).

Seorang muslim dengan fasilitas hidayah-Nya, yang berupa: indera, akal, ilmu, dan iman; hendaklah mampu mengambil suatu kesimpulan (natijah) di setiap fenomena, baik yang yang berada di alam, lingkungan hidupnya, dan pada dirinya sendiri. Seperti yang pernah terjadi pada Nabiullah Ibrahim as,

“Dan, demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami (yang terdapat) di langit serta di bumi. Kami (memperlihatkan) agar Ibrahim termasuk orang-orang yang yakin” (Qs.al-An’âm: 75). Lihat bagan Reproduksi Pemikiran Nabi Ibrahim as; MAYAra Edisi 07/Th.I/Maret 2003M/Muharram 1424H, hal.6.

6. Berpikir Pola Profetis.
Allah swt berfirman,

“Dan, sesungguhnya telah Kami mudahkan al-qur`an untuk pelajaran. Karenanya, adakah orang yang mau mengambil pelajaran (atasnya)” (Qs.al-Qamar: 17).

Oleh Allah swt teks ayat tersebut diulangi lagi pada surat yang sama di ayat ke-22, 32, dan 40. Sedangkan di dalam surat al-a’râf ayat ke-204, telah difirmankan,

“Dan, apabila dibacakan al-qur`an, maka dengarkanlah baik-baik, serta perhatikanlah dengan sungguh-sungguh agar kalian mendapat rahmat.”

Di sinilah Allah swt menegaskan pernyataan profetis-Nya,

“Dan, al-qur`an itu telah Kami turunkan secara berangsung-angsur, agar kalian membacakannya perlahan-lahan kepada manusia. Kami menurunkannya bagian demi bagian” (Qs.al-Isrâ`: 106).

Metode Percepatan Berpikir
Dalam rangka memperoleh kemampuan pikir yang unggul, cepat, dan cermat; ada beberapa metode percepatan berpikir yang perlu dipraktekkan oleh kaum muslimin dalam melakukan reproduksi pemikiran terhadap: Kitab Suci al-Qur`an, Sunnah Nabawiah, Ijtihad, Riset, dan Metodologi.
Sudah barangtentu yang menjadi bahan kajiannya adalah di wilayah-wilayah asumsi dan dhanni. Dikarenakan, wilayah-wilayah teleologis dan qath’i telah final, tidak perlu lagi diadakan redifinisi. Adapun beberapa metode percepatan berpikir itu, di antaranya:

1. Berpikir Mandiri.
Seorang muslim mulai sekarang dituntut untuk membiasakan berpikir mandiri, tidak bergantung kepada siapa pun dan lembaga mana pun. Disebabkan referensinya sudah jelas, yakni: al-qur`an, as-sunnah, produk ijtihad, produk riset, produk penelitian, dan produk asumsi-intuisi; tinggal bagaimana kita melakukan pengolahan data guna memperoleh “idea of progress”. Sehingga al-qur`an dan as-sunnah benar-benar menjadi sumber dari segala sumber kehidupan seorang muslim, tidak seperti sekarang dua pusaka tersebut seolah menjadi pihak tertuduh, pasif, dan tidak berdaya.

2. Berpikir Imajiner.
Kepada anak-anak kaum muslimin, mulai dari kandungan, sampai di usia 0-6 bln, 6 bln-4 thn, 4-8 thn, masa pubertas awal, dan pubertas akhir (edoleson). Di beri peluang seluas-luasnya untuk menumpahkan imajinernya, sehingga mereka terbiasa berpikir kreatif dan inovatif.
Karenanya, orang tua, lembaga pendidikan, masyarakat kaum muslimin, dan para ulama harus melakukan pembenahan cara berpikirnya; bila tidak ingin ditinggal oleh kekuatan imajiner yang telah melesatkan pribadi-pribadi muda dari generasi unggul kaum muslimin di masa-masa mendatang.

3. Berpikir Spontan.
Mulai saat ini kaum muslimin harus membiasakan berpikir spontan. Supaya dapat melakukannya di kehidupan kesehariannya mereka harus memiliki tradisi:
a. Tekun membaca.
b. Mencatat dalam diary segala apa yang telah dibaca.
c. Menulisnya ke dalam improvisasi lepas.
d. Melakukan koreksi dan pembenahan.
e. Mengoleksinya guna reproduksi selanjutnya.
f. Membiasakan berpikir dengan mengait-ngaitkan problematika.
Apabila lima langkah tersebut telah dimiliki, dan telah dijadikan habits kaum muslimin di kehidupan kesehariannya; tidak mustahil dalam waktu relatif singkat di negeri ini akan memiliki: penulis-penulis muda berbakat, peneliti-peneliti muda brilian, periset-periset jenius, dan generasi muda-generasi muda yang profesional di bidangnya masing-masing.
Insya Allah, dari ketiga metode percepatan tersebut di atas dalam waktu yang relatif singkat akan menjadikan kaum muslim mempunyai modal pemberdayaan manusia mulia (Human Elyon) dengan kualifikasi: Jujur; Profesional; Kreatif; dan Inovatif.

Cara Menumbuhkan Masyarakat Iqra`
Alfaqîr memiliki resep buat kaum muslimin, agar di kehidupan masyarakat muslim mempunyai kemampuan dalam ber-“iqra`”, yakni dengan melalui 12 tahapan:
1. Memaksimalkan peran media elektronika, seperti: Radio; TV; Komputer; Internet; dan World Wide Web.
2. Mengoptimalkan penguasaan atas internet dan komputer.
3. Merubah cara pandang orang tua di dalam memahami hasil sebuah proses pendidikan, tujuan pendidikan, dan konsekuensi pendidikan.
4. Memberikan rizeki, makanan, dan minuman kepada anak secara halal; dengan membiasakan tangan kanan sebagai fasilitas makan dan minum, sebagai skala prioritas.
5. Mengoptimalkan imajiner anak-anak di usia 0-6 bln; 6 bln-4 thn; 4-8 thn dengan daya dukung yang maksimal.
6. Mengejar ketertinggalan dengan banyak menyelenggarakan diklat dan trainning.
7. Mengapresiasi kemampuan belajar masing-masing individu.
8. Memberikan pembelajaran kepada kaum muslimin tentang cara belajar dan cara berpikir.
9. Menjadikan segenap alam semesta dan lingkungan sebagai fasilitas iqra`.
10. Awali dari diri sendiri.
11. Bersikap sami’nâ wa atha`nâ tsummas tatha`nâ.
12. Memaksimalkan kemampuan fenomenologis, yaitu mengaitkan berbagai macam fenomena dengan nalar logisnya.

Kaum muslimin telah tertinggal 100 abad dari Barat dan Eropa, kita tidak dapat bergantung lagi secara terus-menerus. Saatnyalah sekarang, kita melakukan percepatan yang cermat dalam rangka memposisikan diri sebagai umat unggul yang jujur, profesional, kreatif, dan inovatif dengan terus memberikan alternatif-alternatif di kehidupan ini yang menguntungkan kemanusiaan --utamanya bagi kaum muslimin. Dengan demikian akan merangsang lahirnya generasi muslim unggul yang di dukung oleh otak yang cerdas dan hati yang ikhlas, itulah cara berpikir yang dikehendaki oleh al-qur`an. []






























BERPIKIR KREATIF & INOVATIF
MENURUT AL-QUR`AN




Berpikir kreatif dan inovatif bagi seorang muslim adalah wajib. Dikarenakan dengan daya kreasi dan daya inovasinya pesan langit yang terdapat di dalam Kitab Suci al-Qur`an; insyâ Allâh akan mampu dibumikan secara implementatif.
Inilah wilayah asumsi dari penalaran akal manusia di dalam menaati pesan-pesan wahyu yang belum mewujud di kehidupan keseharian mereka. Sehingga kaum muslimin tidak sibuk dengan urusan-urusan “egoisme beragama”, yang secara tidak langsung, disengaja atau tidak, akan meninggalkan wilayah-wilayah “kemanfaatan-sosial beragama”.
Padahal manakala mereka mau meyakini surat ar-ra’du ayat ke-11,

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran -di muka dan di belakangnya- mereka menjaganya atas perintah Allah --yaitu malaikat muhafadzah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan --sebab-sebab kemunduran mereka-- yang ada pada diri mereka sendiri. Dan, apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

Dan, surat al-hasyr ayat ke-18,

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah; dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang kalian kerjakan.”

Maka dengan cepat lagi cermat mereka akan mampu berpikir kreatif dan inovatif. Sebab, secara umum Allah azza wa jalla telah memberikan sinyal-sinyal Ilahiah (divine energy transmition) mengenai perlunya perubahan yang cepat dalam setiap kepribadian mukmin di dalam mengimani dan meyakini kehendak-kehendak-Nya dalam takdir ikhtiriah-Nya. Sehingga dalam waktu yang relatif sangat cepat pula, mereka akan mengamalkan nilai-nilai ke-Islam-an yang harmoni lagi berke-mandiri-an.
Dikarenakan, setiap manusia telah dikarunia oleh-Nya akan kemampuan untuk berinovasi dan berkreasi. Hanya saja, mungkin dari kebanyakan mereka --tak terkecuali kaum muslimin-- tidak pernah atau jarang mendayagunakannya. Dan, anehnya manusia tersebut rela hidup di kehidupannya sebagai “budak rutinitas” dan “terpenjarakan dalam ke-jumud-an” pemikiran yang taklid buta.
Oleh karena, seorang mukmin di sisi Allah swt merupakan “manusia mulia” (Human Elyon), dengan karakternya yang selalu berkehendak untuk memperbaharui segenap potensi yang terdapat di dalam dirinya. Sebagaimana telah dipahami secara profetis, bahwa manusia mukmin khususnya, mereka telah dipersiapkan oleh Allah azza wa jalla untuk dapat berubah dan bergerak maju dengan cepat dalam rangka memenuhi survival-nya (Baca juga buku alfaqîr yang berjudul "Human Elyon: Citra Manusia Holistik Indonesia Modern", 2005, red).

Mengembangkan Potensi Diri Dengan Revolusi Berpikir
Guna menumbuhkan dan mendorong kaum muslimin berpikir kreatif dan inovatif. Maka, segenap kaum muslimin harus berani melakukan perubahan secara besar-besaran di dalam berpikir (revolusi berpikir, red), yang diwujudkan dengan membiasakan menghargai setiap perbedaan pandangan, atau cara berpikir yang dilakukan oleh masing-masing hamba Allah tersebut.
Pemikiran yang menyebutkan bahwa, “semua hasil pemikiran itu benar”. Terkadang tidak dapat diterima oleh seseorang atau sekolompok orang --khususnya kaum muslimin, yang di kehidupan kesehariannya telah terpolakan dengan "sistem belajar" yang menanamkan secara formal dan doktriner, ke dalam pola pikir mereka bahwa, “sebenarnya yang benar itu hanya satu jawaban, dalam suatu kebenaran”.
Prinsip yang mengatakan bahwa, “kebenaran itu satu”, adalah hal yang sangat penting bagi problematika matematis; misalnya: 1+1=2. Angka dua merupakan angka yang pasti dalam problematis matematika.
Tetapi, persoalan yang mendasar lagi substantif adalah, bahwa sebagian besar persoalan yang dihadapi oleh umat manusia --tak terkecuali kaum muslimin, merupakan realitas kongkrit yang tidak mungkin diubah dengan serta-merta ke dalam persoalan matematis, seperti tersebut di atas.
Di dalam kehidupan seorang hamba, terdapat banyak persoalan yang pelik dan sulit untuk dicari jawabannya. Di samping itu persoalan yang muncul acap kali memiliki sejumlah jawaban yang benar, sesuai dengan problem yang mereka alami.
Artinya, di dalam kehidupan seorang manusia, bila angka 1 dijumlahkan dengan angka 1, sama dengan tak terhingga. Sebab, di dalam realitas kehidupan, manusia hanya berkewenangan merencanakan dan Allah-lah yang menentukan. Apabila 99,9% secara teori dikatakan berhasil, maka yang 0,01% yang menentukan; apakah rencana itu berhasil atau gagal.
Karena segala apa yang terjadi di kehidupan ini merupakan kehendak Allah swt, bukan wilayah problematika matematis belaka. Oleh sebab itu manusia mukmin harus mengucapkan kata, “insyâ Allâh”, untuk memperoleh kreatifitas mereka dan inovasi mereka. Sebagaimana telah diberi acuan kreatifitas dan inovasi oleh Allah swt,

“Dan, janganlah sekali-hali kamu (Muhammad) mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan esok pagi’; kecuali (dengan mengatakan), ‘Insyâ Allâh.’ Dan, ingatlah kepada Rabbmu (Muhammad), jika kamu lupa, dan katakanlah, ‘’Asâ anyyah-diyani Rabbî li-aqraba min hâdzâ rasyadâ’; mudah-mudahan Rabbku akan memberi petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini’.” (Qs.al-Kahfi: 23-24).

Guna mendapatkan keselarasan antara, wilayah yang 99,9% dengan wilayah yang 0,01%; seperti yang telah difirmankan-Nya,

“Mudah-mudahan Rabb-ku akan memberi petunjuk kepada yang ‘lebih dekat kebenarannya’ daripada ini’.” (Qs.al-Kahfi: 24).

Maka, kiranya perlulah seorang manusia mengasah dan mengembangkan segenap potensi dirinya, seperti:

1. Kecerdasan.
Kecerdasan manusia dibentuk melalui penguasaan terhadap bahasa, seperti yang telah diberikan oleh Allah ta’âlâ kepada Nabi Adam as. Bagi kehidupan umat manusia, keberadaan bahasa adalah sarana yang memfasilitasi pembentukan asumsi. Sedangkan dari kumpulan-kumpulan asumsi, seorang manusia akan menyusun teori atau hipotesanya dengan kekuatan analisanya. Sehingga dari waktu ke waktu seorang yang berpikiran cerdas akan melahirkan kreasinya dan inovasinya.
Dan, hal itu akan terus berubah seiring dengan jaman yang menyertainya, dengan kata lain, kecerdasannya telah mampu mengantarkan menjadi manusia pembaharu di dalam melakukan tajdid (pembaharuan).
Contoh, dengan kecerdasannya yang kreatif dan inovatif, Nabi Idris as yang mendapatkan pelajaran risalah tauhid dari Nabi Syits as, beliau mampu: menemukan jarum pembuat pakaian, berternak kuda, dan menemukan metode baca-tulis; adalah Nabi Nuh as, secara kreatif dan inovasi beliau mengaktualisasikan perintah membuat kapal, dengan terlebih dahulu menanam pohon dengan jenis bibit unggul; adalah Nabi Ibrahim as dengan reproduksi berpikirnya yang ilmiah, beliau ditolong oleh Allah swt untuk menemukan-Nya; dan adalah Nabi Muhammad saw dengan nalar cerdasnya --sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul-- beliau telah mampu menyatukan pertikaian antar suku, yakni dengan meletakkan Hajar Aswad di atas serban sari beliau, kemudian segenap pemuka suku yang bertikai bersama-sama mengangkatnya untuk meletakkan kembali Hajar Aswad pada tempatnya.

2. Bakat.
Setiap akal manusia dibekali oleh Allah swt dengan potensi pembakatan. Apabila potensi ini tidak dikembangkan, maka bakat yang menakjubkan sekali pun akan terpendam dan digilas oleh orang lain, yang notabene-nya tidak berbakat, namun ia menekuni secara disiplin perilaku titen, tlaten, open; terhadap segenap apa yang disukainya, insyâ Allâh panen.
Maka, yang terbaik dan benar adalah potensi bakat yang dikembangkan secara disiplin ke dalam perilaku titen, tlaten, dan open.

3. Pengabdian.
Akal manusia haruslah dipotensikan dengan keterbimbingan semangat pengabdian kepada Allah swt. Perilaku ini justru akan melahirkan pengembangan daya kreasi dan daya inovasi seseorang di dalam kehidupannya. Apabila Allah azza wa jalla telah menetapkan, bahwa manusia diciptakan-Nya secara mutlak untuk beribadah kepada-Nya. Maka, sikap dan perilaku pengabdian seorang hamba (al-‘ibâdah), justru akan melahirkan sikap, perilaku, pola pikir, dan menejemen kepribadian yang kreatif dan inovatif.
Misalnya, seorang muslim yang hendak mendirikan ibadah shalat lima waktu; maka secara kreatif dan inovatif, ia harus menyediakan: pakaian penutup aurat yang suci, tempat yang suci, ilmunya shalat, dan makanan yang halâlan thayyiban. Dan, untuk memenuhi syarat sah dan syarat rukun shalat, maka seorang mushallî(orang yang shalat, red) harus kreatif dan inovatif, guna mempersiapkan bekal shalat, baik dari aspek material dan imaterial, aspek dlahir dan batin.
Demikian halnya dengan ibadah puasa, zakat mal, haji, dan menuntut ilmu pengetahuan diniah; bila hal ini termasuk ke dalam unsur pengabdian yang sifatnya langsung kepada Allah swt (‘ibâdah mahdlah). Padahal di dalam dinul Islam, juga dikenal adanya unsur ibadah yang tidak langsung, dan skope kemanfaatannya jauh lebih luas (‘ibâdah ghairu mahdlah).
Jadi jelaslah, manakala seorang muslim menunaikan ibadahnya semata karena Allah swt, maka seharusnya ia akan menjadi manusia yang sangat kreatif dan sangat inovatif. Apabila yang terjadi malah sebaliknya, maka seorang hamba tersebut salah di dalam memahami pesan pengabdian tersebut di atas.

4. Quantum.
Akal manusia telah dianugerahi oleh Allah swt kemampuan untuk melesat maju, laksana sebuah batu meteor. Terbukti Allah azza wa jalla telah menantang mereka dengan firman-Nya,

“Wahai segenap jin dan manusia, jika kalian sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi. Maka, lintasilah! Kalian tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan” (Qs.ar-Rahmân: 33).

Ayat tersebut di atas, adalah dorongan nyata dari Allah jalla jalâluh, agar setiap manusia, khususnya kaum mukminin memaksimalkan potensi quantum mereka dengan mengoptimalkan daya kreasi dan daya inovasi mereka. Sementara tradisi Islam sangat kaya akan khazanah quantum yang masih disepelekan, seperti: Khasyyatullâh sebagai metode quantum; Tawakal sebagai metode quantum; Zuhud sebagai metode quantum; Tazkiah sebagai metode quantum; Iqra` sebagai metode quantum; Tarbiah wa ta’ulum sebagai metode quantum; dst.
Terbukti di dalam Madrasatun Nabawiah model metode quantum yang demikian, pernah dilaksanakan oleh para sahabat nabi atas bimbingan, keteladanan, dan petunjuk langsung dari Rasulullah saw.
Ternyata hasilnya sangat luar biasa, dan cukup spektakuler. Baik keberhasilan dari aspek budaya, peradaban, pendidikan, geografis, politik, bernegara, ukhuwah islamiah, dan sains; maupun dalam aspek pembentukan sikap, perilaku, pola pikir, dan menejemen kepribadian yang tangguh.
Juga di masa-masa abad keemasan Islam, seperti: di Cordoba (Spanyol), di Baghdad (Irak), dan di Turki Usmani (Turki). Hampir kesemuanya dapat dipahami, bahwa kesuksesan demi kesuksesan yang diraih oleh umat Islam, karena mereka memahami, bahwa Islam adalah agama yang mendorong pemeluknya supaya berperilaku dan berpola pikir kreatif dan inovatif.

5. Pengalaman.
Akal manusia memiliki kemampuan untuk melakukan reproduksi atas suatu pengalaman. Dan di dalam menunjang keberhasilan hidup seorang manusia, suatu pengalaman sangat pula mentukan. Sehingga Allah swt telah memperingatkan hal itu,

“Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin” (Qs.at-Takâtsur: 3-5).

Bila ada orang yang mengatakan bahwa, “Pengalaman adalah guru yang terbaik.” Maka, hal itu adalah dapat diterima oleh akal sehat manusia.
Allah swt saja di dalam mendidik para nabi, para rasul, dan para kekasih-Nya; juga dengan kekuatan pengalaman-pengalaman. Dan, dari berbagai macam pengalaman pula seseorang itu nantinya, insyâ Allâh akan memiliki pola perilaku dan pola pikir yang kreatif dan inovatif; entah banyak atau sedikit, entah dimaksimalkan atau dibiarkan begitu saja eksistensi pengalamannya tersebut di dalam kehidupannya.

Modal Dasar Berpikir
Kedudukan akal manusia dengan kemampuan berpikirnya, haruslah dikembangkan dengan baik dan benar. Sedangkan salah satu metode pengembangannya adalah secara kreatif dan inovatif. Adapun kemampuan akal itu, antara lain:

1. Spontanitas.
Akal manusia dianugerahi oleh Allah swt, kemampuan berpikir secara spontan. Meski hasilnya, laksana bayi yang baru lahir. Tetapi lambat-laun, bila difasilitasi dengan baik dan benar, insya Allah akan dapat tumbuh dewasa dan mencapai kesempurnaan.
Adalah sudah menjadi ketetapan-Nya, bahwa akal manusia bila dalam keadaan terdesak akan mampu melakukan pemikiran spontan. Berpikir spontan menjadi kurang efektif manakala “niat berpikirnya” salah, dan muatan materi berpikirnya tidak terbimbing oleh wahyu.

2. Elastisitas.
Akal manusia oleh Allah swt, diberi kemampuan untuk dapat menghasilkan pikiran yang sangat variatif. Dari kekuatan variasi berpikirnya itulah, manusia di kehidupannya akan selalu memiliki komunitas yang plural dan heterogen. Karena itu, sangat sulit manusia diwujudkan dalam satu kesatuan yang seragam, atau sama persis. Contoh para sahabat Nabi Muhammad saw sendiri, memiliki banyak perbedaan dan keragaman; baik dari segi kemampuan, kekayaan, cara berpikir, dan di dalam memahami sesuatu.
Namun dengan keberadaan al-qur`an dan Nabi Muhammad saw sebagai seorang “rasûlullâh”, keragaman dan perbedaan tertampung dalam sebuah “ikatan suci” lâ ilâha illa-llâh Muhammadur rasûlullâh (tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah kecuali Allah, Muhammad itu utusan Allah).

3. Orisinilitas.
Akal manusia mempunyai kemampuan untuk mencipta sesuatu yang baru, yang dikehidupannya nyata-nyata belum ada. Kemampuan ini pun merupakan karunia-Nya, sebagai bekal agar manusia dapat melakukan upaya-upaya mempertahankan dirinya dan mengisi kehidupannya.
Betapa hebatnya, bila kaum muslimin mampu memaksimalkan peran akal orisinilitasnya; di samping mereka telah mendapat jaminan-Nya, Allah azza wa jalla telah menyertai kehidupan mereka dengan pedoman yang benar (Kitab Suci al-Qur`an, red) dan teladan yang sempurna (Rasulullah Muhammad saw, red).

4. Kepribadian.
Kedudukan akal manusia akan mampu berkembang dengan pesat, bila eksistensinya didukung oleh menejemen kepribadian yang benar.
Menejemen kepribadian yang benar adalah, pendayagunaan secara utuh lagi benar, terhadap segenap potensi bawaan yang bersifat Ilahiah ke dalam pengamalan nyata yang terbimbing wahyu.
Maksudnya, setiap manusia lahir senantiasa dibekali oleh Allah swt dua potensi yakni, sikap takwa dan perilaku jujur; yang dengan bimbingan wahyu potensi tersebut dapat diberdayakan hingga pada kedudukan pribadi râdliatam mardliah dengan keberadaan nafsu muthma`innah.

5. Lingkungan.
Lingkungan merupakan tempat pertama yang berperan besar di dalam mendorong lahirnya kemampuan akal yang kreatif dan inovatif. Yang dimaksud lingkungan adalah:
a. Peran orang tua.
b. Peran guru.
c. Kebiasaan-kebiasaan (habits).
d. Rizeki yang halal.
e. Peran teman.
f. Peran keluarga.
g. Pengalaman.
h. Hambatan-hambatan yang menyertainya.

Berpikir Kreatif
Secara etimologis, kreatif adalah mendesain kebiasaan-kebiasaan (habits) dan tradisi-tradisi kemauan manusia, guna menjadi kemampuan yang memunculkan kekuatan-kekuatan dan potensi-potensi baru tanpa ada contoh sebelumnya.
Adapun sikap dan perilaku kreatif, bilamana telah memenuhi beberapa kategori sebagai sifat-sifat yang baru dan unik pada formasi finalnya, meski beberapa unsurnya telah ada sebelumnya.
Sementara, Dr.Abdul Halim Mahmud as-Sayyid di dalam bukunya yang berjudul al-Ibda` berpendapat, “Kreatifitas adalah suatu proses yang menghasilkan karya baru yang bisa diterima oleh komunitas tertentu, atau bisa diakui oleh mereka sebagai sesuatu yang bermanfaat.”
Sedangkan, Dr.Hilmi al-Mulaiji (1985) dalam bukunya Sikulujiatul Ibtikar mengatakan, “Kreatifitas adalah kemampuan berpikir untuk meraih hasil-hasil yang variatif dan baru, serta memungkinkan untuk diaplikasikan, baik dalam bidang keilmuan, kesenian, kesusastraan, maupun bidang kehidupan lain yang melimpah.”
Akan tetapi suatu gagasan belumlah cukup dianggap kreatif lantaran termasuk sebagai sesuatu gagasan yang baru. Dikarenakan sebuah gagasan kreatif itu harus memenuhi unsur kesesuaian dengan kondisi obyektif yang tercermin dalam dukungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Maka dari itu, seseorang itu dikatakan jenius, manakala ia telah mampu memperlihatkan keunggulan, keistimewaan, dan karakter secara jelas. Atau, ditindaklanjutinya atas kemauan yang dimilikinya ke wujud kemampuan. Sehingga seseorang itu mempunyai kekuatan kreatif dan inovatif di kehidupan kesehariannya di tengah-tengah komunitasnya pada satu bidang atau lebih dari berbagai bidang aktivitas pemikiran, keilmuan, dan teknologi.
Oleh karenanya, seseorang disebut jenius, bilamana dia telah memiliki sifat: keunggulan intelektual; keunggulan emosi; keunggulan spiritual; keunggulan motivasi; dan keunggulan komunikasi, yang diberdayagunakan secara kontinuitas di medan apa pun dari wilayah-wilayah kehidupan kemanusiaannya.
Sedangkan, seorang muslim dikatakan jenius, manakala dia telah mampu mendesain kelima kekuatan unggul di atas ke dalam frame berpikir, bersikap, dan berperilaku dengan keunggulan dan kekuatan intuisional-nya yang secara mutlak mereferensi pada: ma’rifatul-qur`ân; ma’rifatus-sunnah; ma’rifatush-shalâh; dan ma’rifatullâh.

Berpikir Inovatif
Secara definisi, inovatif adalah proses pengalaman seseorang terhadap ‘sesuatu’, yang diperolehnya dari pendayagunaan pemikiran, kemampuan berimajinasi, dan kemampuan mengapresiasi terhadap berbagai stimulan dan individu yang berada di sekitar lingkungannya, yang secara nyata berusaha menghasilkan ‘sesuatu yang baru’, baik bagi dirinya sendiri atau pun bagi komunitasnya.
Adapun ‘sesuatu yang baru’ itu haruslah memenuhi karakteristik:
1. Azas manfaat; ‘sesuatu yang baru’ tersebut harus bermanfaat buat lingkungannya, atau untuk kehidupan manusia yang lainnya.
2. Azas relatif; ‘sesuatu yang baru’ itu sifatnya adalah relatif. Bisa jadi, ia merupakan hal baru bagi seseorang, tetapi tidaklah demikian bagi orang yang lainnya. Atau boleh jadi, ia adalah baru bagi dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
3. Azas utilitas; ‘sesuatu yang baru’ itu telah memenuhi nilai fungsional dan nilai operasional, yang berdayaguna untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang dirasakan oleh seseorang atau pun komunitas tertentu.
Dengan demikian tindakan inovasi adalah suatu hasil pendayagunaan kemauan dan kemampuan secara cermat, tepat, dan aktual; guna menghasilkan desain karya baru di bidang kehidupan umat manusia, sehingga dengan desain karya baru tersebut seorang manusia hidupnya lebih sejahtera dan terpenuhinya unsur kemanusiaannya.
Oleh karenanya, dasar dari tindakan inovasi tidak lain, yakni kekuatan reproduksi berpikir secara imajiner. Sehingga secara cepat dan apresiatif dapat ‘menerjemahkan’: fenomena-fenomena, simbol-simbol, konsep-konsep, pesan-pesan, nasihat-nasihat, pemikiran-pemikiran, dan alam; secara implementatif yang berkelanjutan sebagai sikap dan perilaku antisipatif (Dalam hal ini, kita dapat mencermati kisah para nabi dan rasul; para sahabat Nabi saw, para tabi’in, para tabiut-tabi’in, para waliullâh, dan para ulama`ullâh, red).
Dikarenakan berpikir inovasi itu sama halnya dengan melahirkan gagasan-gagasan baru, di luar frame berpikir yang status quo atau yang telah ada secara kolot (conservative). Maka, hendaknya secara pokok berpikir inovasi memiliki karakteristik dasar “P3LO”, sebagai berikut:
1. Peka; dikarenakan terdapatnya kepekaan dan ketajaman yang cermat lagi akurat di dalam menangkap munculnya berbagai problematika dan fenomena, baik fenomena sosial maupun fenomena alam.
Sementara, kebanyakan orang tidak pernah memperhatikan problematika dan fenomena tersebut secara peka dan tajam, disebabkan adanya anggapan bahwa problematika dan fenomena yang muncul itu merupakan sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja.
2. Produktif; memiliki kemampuan menjawab sebanyak mungkin dari satu macam problematika atau satu macam fenomena, yang kemudian secara produktif ditentukan skala prioritasnya sejalan dengan kebutuhan dan kepentingan dirinya atau komunitasnya.
3. Pelangi; terdapatnya kemampuan berpikir yang variatif, dikarenakan sikap apresiasinya yang tinggi terhadap munculnya setiap problematika dan fenomena.
4. Lentur; mempunyai kemampuan bersikap luwes, berpikiran luwas, dan memahami problematika atau pun fenomena secara mendalam.
5. Orisinil; apa yang telah dilahirkannya sebagai sebuah produk baru, atau sebuah karya baru, atau ‘sesuatu yang baru’ adalah merupakan keaslian dari sebuah kemampuan di dalam menggagas dan memberikan jawaban yang belum pernah dipikirkan oleh orang lain; atau bisa jadi ‘sesuatu’ itu telah ada namun belum memiliki kemasan aktual, sehingga perlu diperbaharui untuk kemudian ditawarkan atau dikomunikasi kepada orang lain, lingkungannya, dan komunitasnya.

Inovatorkah Kita?
Insya Allah, bila kita berada di antara term yang alfaqîr tulis di bawah ini, sudah dapat dikategorikan sebagai seorang yang berkepribadian inovatif”
1. Penemu: adalah seseorang yang dikaruniai oleh Allah azza wa jalla dapat menyuguhkan temuan pertamanya, baik berupa benda; desain; sains; high-tech; sastra; teknologi tepat guna; model; pola; konsep; dst.
2. Perakit: adalah seseorang yang dianugerahi oleh Allah azza wa jalla dapat melakukan modifikasi terhadap segala sesuatu yang telah ditemukan oleh seseorang, sebagaimana yang terdapat pada nomer 1.
3. Pengembang: adalah kemampuan seseorang dalam mengembangkan hasil kerja penemu dan perakit dengan menambah-nambah hasil modifikasinya, yang biasanya dilakukan dengan studi, riset, dan metodologi dalam menyeguhkan sesuatu yang baru.
4. Peniru: adalah kemampuan seseorang di dalam melakukan proses imitasi dari hasil kerja para penemu, perakit, dan pengembang di dalam menyuguhkan sesuatu yang baru; namun segalanya sangat berbeda dengan orisinalitas para pendahulunya (penemu, perakit, dan pengembang, red).
5. Pembaharu: adalah kemampuan seseorang di dalam melakukan pengkajian atas segala sesuatu yang telah ditemukan, dirakit, dikembangkan, dan ditiru; di dalam menyuguhkan sesuatu yang baru. Tetapi, segenap apa yang telah disuguhkan oleh para: penemu, perakit, pengembang, dan peniru sudah tidak relevan lagi dengan kondisi jaman dan geografis. Bertumpu pada realitas bahwa apa yang telah disuguhkan para pendahulunya itu sudah tidak sesuai. Padahal ‘sesuatu’ itu dulunya telah dianggap baru, ternyata sudah tidak sesuai dengan kondisi jaman dan geografisnya, sehingga diputuskan untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan.

Berpikir Kreatif & Inovatif Itu Sunnatullah
Berpikir kreatif dan inovatif adalah anugerah dari-Nya dan hal itu adalah sunnatullah, bagi siapa saja yang telah mampu melakukannya. Itu artinya, mereka telah dikarunia-Nya dengan derajat-derajat yang lebih baik di banding mereka, para manusia yang telah mengalami stagnasi di dalam proses berpikirnya.
Berpikir kreatif dan inovatif adalah mendayagunakan fungsi dan peran akal secara optimal, dalam rangka mewujudkan sebuah karakter kemanusiaan yang dibekali oleh-Nya kemampuan untuk melakukan perubahan-perubahan. Sehingga kreatifitas dan inovasinya akan melahirkan sesuatu yang baru, atau melakukan pembenahan-pembenahan secara praktis sehingga akan juga menjadi sesuatu yang baru. Di sinilah akan lahir:
a. Perilaku yang berbeda.
b. Sikap yang teguh lagi berkarakter.
c. Berani mengambil resiko.
d. Bertanggung jawab atas gagasan.
e. Menolak rutinitas.
f. Menghindari suasana monoton.
g. Mendobrak kondisi status quo.
h. Membuka taklid.
Maka, dapatlah diambil suatu konklusi bahwa berpikir kreatif dan inovatif, lebih dikarenakan terdapatnya kemauan untuk melakukan tindakan menejerial atas kecerdasan intuisional (In-Q), dengan mendayagunakan secara optimal atas kemampuan: Intellegent Quotient (IQ); Emotional Quotient (EQ); Spiritual Quotient (SQ); Adversity Quotient (AQ); dan Motivation Quotient (MQ), yang bertumpukan pada sejumlah kemampuan akal, seperti: spontanitas, elastisitas, dan orisinilitas, dan sifat-sifat kepribadian kreatif-inovatif, seperti: kecerdasan, bakat, pengabdian, quantum, dan pengalaman; di samping harmoninya mengatasi tekanan lingkungan yang kerapkali tidak memberikan dukungan atas munculnya pemikiran kreatif-inovatif, yang pada akhirnya dapat melahirkan ‘sesuatu yang baru’ yang inovatif, yang bersifat solusi inovatif atas munculnya problematika dan fenomena.
Karenanya, pemikiran kreatif dan inovatif mempunyai sifat-sifat istimewa (tamayyuz), semisal: orisinal, bermanfaat, dapat diterima segenap lapisan masyarakat, dan pada saat yang mengundang kekaguman pada diri orang lain.
Dapatlah diasumsikan, bahwa ciri pokok inovasi, yakni berusaha agar orang lain mendapatkan kemudahan dari hasil kreasinya. Sedangkan secara inovatif, hal itu dapat dengan mudah diterima oleh siapa saja.

Sifat Seorang Inovator & Seorang Kreator
Adalah suatu keyakinan alfaqîr, bahwa setiap hamba Allah senantiasa terlahir dengan segenap potensi dan kemampuan-kemampuan tertentu, yang hal itu adalah sifat bawaan dari setiap seorang bayi. Demikian pula dengan makhluk-makhluk non manusia, mereka juga dibekali dengan potensi dan segenap kemampuan-kemampuan tertentu.
Namun dalam perjalanan kehidupannya, manusia mengasah dan menajamkan pengetahuan dan ilmunya dengan kekuatan akal sebagai platform tindakan inovasi dan tindakan kreasinya, dikarenakan sebagai usaha mempertahankan kehidupannya dari segala sesuatu. Sedangkan hewan dan tumbuhan dalam perjalanannya hanya mengikuti kebiasaan dan kondisi lingkungannya di mana berada, yang hal itu bertumpu pada platform instinktif belaka dalam rangka mempertahankan kehidupannya.
Guna memahami segenap potensi dan kemampuan diri, supaya kita dapat melesat menjadi yang terbaik. Maka, alangkah baiknya bila kita memahami sifat-sifat melekat atau sifat-sifat bawaan sebagai seorang inovator dan kreator; baik yang disadari maupun yang belum diketahuinya, sebagai berikut (baca juga buku alfaqîr yang berjudul "52 Langkah: Membangun Pribadi Kreatif & Inovatif", 2003, red):

1. Percaya Diri (PD).
Memiliki kepercayaan diri yang besar; Mampu merealisasikan segenap tujuannya dan melaksanakan berbagai usaha yang terkait dengannya, tanpa ada perasaan ujub dan takabur; Berpendapat independen dan obyektif, dikarenakan mendasarkan pendapatnya pada data dan keilmuan.

2. Kritis.
Memiliki sifat kritis terhadap sesuatu yang telah menjadi kesimpulan, atau yang telah dijalankan oleh kebanyakan orang. Sehingga dirinya berusaha untuk melakukan kaji ulang, demi menyokong pendapatnya dan dia yakin bahwa pendapatnya adalah independen.

3. Analitis.
Bersikap mempertanyakan terhadap segala sesuatu yang masih berada di wilayah asumsi pemikiran, dan menerima dengan sikap iman atas segala sesuatu yang telah menjadi ketentuan Allah swt dan rasul-Nya. Oleh karena dia berani mempertanyakan kembali setiap aplikasi hukum, teori, dan prinsip umum yang bagi orang lain tidak pernah dipersoalkan. Tetapi bagi dirinya, hal itu dapat mendatangkan banyak pertanyaan yang dapat dikembangkan.

4. Menghindari Rutinitas.
Berusaha memperhatikan dan mencermati setiap makna, isyarat, ibrah, teladan, informasi, dan fenomena-fenomena yang dianggapnya urgen; sementara orang lain tidaklah menganggapnya demikian. Dikarenakan dia selalu berkecenderungan pada setiap perubahan, dinamika, dan pembaharuan.

5. Titen, Tlaten, Open.
Memiliki sikap teliti, tekun, dan menjaga di setiap gagasan yang dikembangkannya; tidak pernah menyerah dan berputus asa. Kegagalan baginya merupakan cambukan untuk mencari alternatif dan solusi sebanyak-banyaknya, sehingga problematika mampu dihadapinya dengan percaya diri, tawakal, qana’ah, sabar, iman, dan yakin. Baginya cercaan, hinaan, ejekan, fitnahan, dan tantangan adalah sesuatu yang harus dilaluinya dengan sikap memaafkan dan kasih-sayang; sehingga kesemuanya tadi (cercaan, hinaan, ejekan, fitnahan, dan tantangan) didesain untuk membangun perilaku cinta (mahabbah) di dalam dirinya.

6. Tidak Fanatisme & Memaksakan Kehendak.
Menghindari perilaku dominasi, memaksa, dan fanatisme; sebaliknya dia juga tidak mau didominasi, dipaksa, dan difanatikkan. Dia sangat menghormati perbedaan dan pendapat yang berkembang. Tetapi bila fenomena tersebut tidak didukung data yang jelas, maka dia memilihnya untuk mendiamkannya (tawaquf).

7. Kebenaran Pendapat Adalah Nisbi.
Sangat diyakini bahwa selain yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya, adalah kebenaran nisbi atau relatif. Oleh sebab itu dia tidak pernah menerima segala sesuatu yang mapan selagi hal itu merupakan hasil pemikiran manusia.

8. Memahami Target & Tujuan.
Memaksimalkan target dan tujuan yang dapat dicapainya dengan mengambil resiko sekecil-kecilnya, dengan perhitungan terdapat peluang besar akan keberhasilannya. Dia melakukan yang demikian dikarenakan sangat memahami target-target yang ditetapkan dan tujuan-tujuan yang telah dijadikan acuannya.

9. Selalu Siap.
Senantiasa siap menghadapi segala kemungkinan terburuk yang terjadi, sekalipun problematika itu muncul dalam kondisi yang tidak menentu. Strategi yang dijalankannya, dia memaksimal usaha di saat kondisi-kondisi yang pasti lagi jelas; namun dalam kondisi yang serba sulit, chaos, dan tidak menentu dia memaksimalkan sikap bertahan.

10. Tidak Memastikan Rencana.
Dia sadar bahwa ketentuan dan ketetapan hanya milik Allah azza wa jalla. Keberadaan rencana (tadzbir) hanya sebatas ikhtiar, bukan jaminan atau kepastian. Maka, dia selalu siap melakukan perubahan-perubahan atas rencana-rencananya dikarenakan berubahnya situasi dan kondisi atau berubahnya tempat dan waktu.

11. Elastisitas Dalam Berpikir.
Senantiasa berpikir jauh ke depan disebabkan pertimbangan-pertimbangan asas kemanfaatan. Tetapi dia memiliki kelenturan berpikir di dalam menyikapi setiap munculnya fenomena-fenomena.

12. Bekerja Secara Mandiri.
Alasannya, dengan kemandirian dia dapat melakukan refleksi, perenungan, dan konsentrasi berpikir; meskipun dirinya juga berkemampuan untuk bekerja secara kolektif maupun marger.

13. Banyak Mendapatkan Perlawanan.
Seringkali pola pikir dan pendapatnya mendapat reaksi keras dari teman sejawat, kerabat, famili, dan orang lain. Namun mendapatkan perlakuan yang demikian, dia selalu memaafkannya, dengan suatu keyakinan karena mereka yang berseberangan sebagai akibat saja dari ketidakpahamannya terhadap pribadi dan pemikiran orang lain.

14. Memberdayakan Kualitas Seseorang.
Selalu membekali dirinya dan orang lain dengan sesuatu yang baru, yang dapat dimanfaatkan dan diamalkan oleh orang lain; sebab apa yang dibekalkanya bersifat mudah dan memudahkan serta dapat menyejahterakan.

15. Berkemampuan Imajiner.
Segala apa yang terlintas dalam akal budi dan kalbu nuraninya, selalu mendorongnya untuk melakukan perenungan, pemahaman, dan pemikiran sehingga akan muncul kekuatan imajiner yang dapat merangsang kreatifitas dan inovasi.

16. Selalu Berdiskusi.
Kesempatan yang diperolehnya, seringkali dijadikan topik bahasan yang baginya sangat menarik untuk didiskusikan, dengan teman karib; teman sejawat; keluarga; konselor; cerdik-pandai; dan ulama.

17. Pemikirannya Luwas, Luwes, dan Mendalam.
Selalu berusaha melakukan penelaahan dan penelitian guna mendapatkan akurasi data dan akurasi informasi secara primer.

18. Berkemampuan Intuitif.
Mampu mendeteksi segala hal yang terdapat di lingkungannya, sehingga secara seksama dia dapat mengatasi setiap persoalan-persoalan yang krusial.

19. Bersifat Instinktif.
Dengan cepat dapat merasakan keganjilan-keganjilan, kekurangan-kekurangan, dan kelainan-kelainan yang dirasakannya di setiap kesempatan dalam segala hal.

20. Orisinilitas Dalam Berpikir.
Menghindari berpikir taklid buta terhadap setiap hasil pemikiran seseorang. Akan tetapi dia dapat menerima keragaman konsep dikarenakan dia memiliki kemampuan untuk berinteraksi.

21. Bersikap Independensi.
Dia tidak mau mengekor kepada siapa pun; Tidak mau mencontoh orang lain; Tidak mau bekerja kepada orang lain; Tidak mau diatur-atur dengan ketentuan-ketentuan yang tidak pasti; dan Tidak mau terikat dengan kaidah-kaidah yang kaku.

22. Mendalami Setiap Gagasan Yang Baru.
Dia selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan, hal itu dimaksudkan sebagai upaya untuk mendalami segala sesuatu yang baru dikenalnya.

23. Sabar.
Berusaha melakukan pengendalian diri dan pengekangan hawa nafsu. Sehingga apa pun yang terjadi, baik hal itu berupa kebahagiaan maupun hal itu berupa penderitaan selalu diterimanya dengan nalar logisnya, bukan dengan sentimentil perasaannya.

24. Berkompetensi.
Memiliki keragaman kecenderungan, sehingga dia berusaha meningkatkan kualitas dan nilai kemampuannya dengan cara melalui: pendidikan, penguasaan keahlian, meningkatkan kemampuan secara berjenjang, dan banyak pengalaman terhadap segenap hal yang ditekuninya.

25. Tidak Pernah Menunda-Nunda Pekerjaan.
Apa pun yang telah menjadi komitmen dan konsistensinya, maka dalam kondisi yang bagaimana pun dia tetap serius, berkarya, dan melaksanakan tugasnya.

26. CC (Commitment & Consistent).
Bila dirinya telah CC, maka dia akan memikul tanggung jawab tersebut, memiliki kekuatan kehendak, tekun, dan sabar dalam menghadapi setiap datangnya kendala.

27. Banyak Solusi.
Mempunyai banyak solusi meski yang dihadapinya hanya satu persoalan. Bahkan seringkali solusi yang ditawarkan tidak lazim bagi kebanyakan orang, atau karena dia menggunakan sesuatu yang inovatif.

28. Tidak Stres.
Memiliki kekebalan terhadap stres, depresi, goncang, dan kekhawatiran yang berlebih-lebihan.

29. Obsesinya Terus Meningkat.
Memiliki kapasitas obsesi yang terus meningkat, dan dia selalu dapat mengikuti kemudian menerjemahkannya ke dalam perilaku yang sangat implementatif.

30. Ada Keistimewaan.
Allah swt memberinya kemampuan pada dirinya untuk dapat menata gagasannya, sehingga dia dapat menampilkan ide dan gagasannya secara berurutan serta berkesinambungan.

31. Mencintai Gagasannya.
Sangat bersemangat terhadap gagasan dan ide-idenya, guna merealisasikan ide dan gagasannya dia berani mencurahkan waktu, tenaga, dan biaya demi optimalisasi dan realisasi.

32. Tidak Arogan.
Perilakunya santun dan tidak pernah meremehkan orang lain, sebab setiap ketentuan itu datangnya pasti dari sisi Allah swt; itulah yang absolut.

33. Bereaksi Cepat.
Memiliki kemampuan bereaksi dengan cepat, spontan, adaptif, tetapi tetap bersifat fleksibel.

34. Memiliki Motivasi Sukses.
Baik sebagai motivasi, meningkatkannya, dan mempertahankan kesuksesannya.

35. Berkepribadian Menarik.
Diwujudkan dengan cermat dan cepat di dalam menetapkan setiap keputusan, di samping dia berkepribadian independen.

36. Memiliki Semangat Kebersamaan.
Hal ini disadari bahwa hidup di dunia ini penuh dengan keragaman, maka sikap yang diambil adalah selalu mendahulukan kebersamaan ketimbang mendahulukan kepentingan-kepentingan selain itu; tentunya dengan dibarengi pelaksanaan prinsip, “Bersama Boleh Beda”.

37. Tidak Berhenti Berpikir.
Berhenti berpikir itu pertanda kematian.

38. Mental Juara.
Memiliki mental juara, karena merasa dirinya mampu untuk itu.

39. Bertanya Supaya Paham.
Tidak malu bertanya, demi sebuah kepahaman dan kebenaran. Dia sadar bahwa bertanya adalah kuncinya ilmu pengetahuan.

40. Berpengaruh.
Mengerti segenap hal dan memahami segala apa yang telah menjadi keahliannya. Dia dapat berbicara bilamana menguasai data, manakala tidak paham maka dia akan mengatakan bahwa dirinya tidak tahu. Dari sini dia memiliki skala kepengaruhan yang sangat luas, dan terus meluas seolah tak mampu dibendung.

41. Mengelola Pengalaman.
Pengalaman baginya adalah potensi yang harus didesain secara urut dan berkesinambungan, bila sudah tersambung dia akan memiliki sebuah keyakinan.

42. Cerdas.
Memiliki kecepatan di dalam memahami segala sesuatu, dikarenakan dia memang cerdas.

43. Be Happy.
Selalu berpenampilan riang, bahagia, tenang. Sehingga keberadaannya di tengah-tengah keluarganya, masyarakatnya, dan komunitasnya senantiasa disukai.

44. Asas Manfaat.
Bila sesuatu itu tidak bermanfaat, maka serta-merta dia dengan cepat meninggalkannya. Sehingga orang yang tidak memahaminya, memiliki kecenderungan untuk mengatakan sebagai orang yang berubah-ubah.

45. Berbahasa Lembut.
Dia begitu mahir menempatan kata-kata di dalam hati orang lain, sehingga orang lain menjadi suka atau cinta.

46. Pandai Berekspresi.
Kuatnya keterlibatan intuitif di dalam mempengaruhi ekspresinya.

47. Memorinya Kuat.
Memiliki daya ingat yang tajam lagi kuat, meski dalam kondisi yang tersulit sekali pun.

48. Tidak Mengeluh.
Memiliki keteguhan kalbu, sehingga apa pun yang dialami dan menimpa dirinya, selalu dihadapinya dengan tidak mengeluh.

49. Suka Membantu.
Terdapat keinginan yang kuat untuk suka memberi, suka membantu, dan suka menolong; dengan prinsip ikut meringankan penderitaan orang lain.

50. Husnudlan.
Selalu berpikiran positif, dengan asumsi bahwa, sebaik-baik orang akan selalu ada keburukan dan kekurangannya. Sebaliknya, sejelek-jelek orang akan selalu ada kebaikan dan kelabihannya.

51. Qana’ah.
Senantiasa berpikir positif atas dirinya sendiri.

52. Jujur.
CC antara ucapan, pikiran, dan perbuatan; sehingga dia memiliki kematangan dalam berkepribadian.

Bahasa Yang Membunuh
Dalam kehidupan umat manusia, khususnya kaum muslimin, seringkali; baik disengaja atau tidak telah melakukan pembunuhan terhadap sebuah proses kreatif-inovatif –dan hal itu sangat berbahaya bila menimpa anak-anak kita, sebab mulai sedini mungkin kecerdasan dan kejeniusannya telah terenggut. Sehingga tak jarang mereka tidak berani melakukan tindakan-tindakan alternatif, meski hasilnya sebenarnya merupakan sebuah jawaban atas terjadinya kebuntuhan dari sebuah problematika.
Ketidak-beranian tersebut sebenarnya karena ketidak-biasaannya di dalam menggagas, atau bisa jadi keterpasungan kreatifitas akibat dari ketakutannya terhadap bahasa-bahasa membunuh, atau memang terdapat sebuah usaha untuk membunuh setiap lahirnya kreatifitas dan inovasi.
Karenanya, bagi seorang muslim yang menjadikan kecerdasan qur`ani dan kecerdasan hadisi, sebagai lingkungan kecerdasan sosial baik secara teori dan praktek. Hal itu merupakan daya dukung utama untuk lahirnya kecerdasan intuisi, yang membuahkan kecerdasan-kecerdasan lain di kehidupan umat manusia. Sebaliknya, mereka yang terjebak dengan egoisme keagamaan dan atau egoisme kelompok, maka lambat atau cepat, lingkungan atau struktural akan membiarkannya, atau bisa jadi membenturkannya begitu saja di setiap terjadinya kreatifitas dan enovasi kepada dinding-dinding kekolotan, yang dengan kokohnya akan membatasi produktifitas dan kreatifitas; sehingga tamatlah riwayat dari sebuah inovasi.
Apa yang telah alfaqîr paparkan, mari cermati segenap ungkapan, baik spontan atau disengaja yang dapat membunuh lahirnya gagasan baru, yang di wilayah asumsi ijtihadi sebenarnya sangat dibutuhkan bagi kehidupan umat manusia.
Inilah beberapa contoh bahasa beracun yang terkadang kita gunakan untuk membunuh lahirnya kreatifitas dan inovasi:
1. Maaf ide-ide anda tidak bermutu. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk mendengarkannya.
2. Kita dahulu pernah mencobanya, apa hasilnya?
3. Wah, ide anda sangat membebani rupanya?!
4. Gagasan anda sulit dilaksanakan.
5. Kita tidak mampu melaksanakan gagasan-gagasan tersebut.
6. Sebenarnya hal itu berada di luar tanggung jawab kita.
7. Sudahlah, tidak usah neko-neko.
8. Gara-gara ide anda, kita semua harus melakukan perubahan secara menyeluruh.
9. Waktu kita terbatas, buatlah sesederhana mungkin gagasan anda.
10. Itu sama halnya menyia-nyiakan segala fasilitas yang telah diberikan kepadanya.
11. Dasar bodoh!
12. Jangan munafik kamu!?
13. Kita tidak ada pengalaman untuk dapat merealisasikan ide-ide anda.
14. Anda tidak usah merepotkan diri sendiri. Kenapa sih harus banyak mengurus orang lain?!
15. Sudahlah, turuti saja kemauannya.
16. Sudahlah, yang penting beres.
17. Ini sudah jamannya, jangan sok suci. Orang jujur akan hancur.
18. Cari yang haram saja susah, apalagi cari yang halal.
19. Jangan aneh-aneh kamu yang biasa-biasa saja. Saya belum pernah mendengarnya, gagasan macam apa itu?
20. Jangan idealis, sudahlah yang realistis saja.
21. Mengapa harus melakukan perubahan, biarkan saja semua berjalanan sebagaimana mestinya.
22. Sekarang ini belum waktunya.
23. Gagasan anda terlalu prematur untuk sebuah perubahan yang besar.
24. Dana kita tidak memungkinkan.
25. Apakah mampu kita merubah perilaku orang lain?
26. Apakah mau dia diberitahu?
27. Kamu itu siapa, kok mau melakukan perubahan.
28. Tidak mungkin, jangan mimpi la…youw.
29. Saya tidak mampu melaksanakan ide-ide anda, lebih baiknya kamu sendiri yang melaksanakannya, kan ide itu datangnya dari kamu.
30. Lakukanlah apa yang hendak kamu lakukan. Saya tidak ikut-ikut.
31. Apa mungkin pimpinan kita menyetujui?
32. Apa beliau setuju dengan kecerdasan gagasan-gagasanmu?
33. Yang pasti hanya sedikit yang mendukung idemu.
34. Gara-gara idemu, kita menjadi bahan ejekan.
35. Mungkin sepuluh tahun lagi, idemu itu mendapat dukungan.
36. Untuk sekarang jangan harap ada yang mau mendukung.
37. Metode apa ini, kami sebelumnya tidak pernah menggunakan yang macam-macam.
38. Rupanya kita belum siap melaksanakan gagasan ini.
39. Tidak dianggarkan untuk ide-ide yang seperti itu.
40. Mbok yaho jangan muluk-muluk, saya khawatir nanti kamu jatuh.
41. Jika ide kamu itu bagus, pasti sudah banyak yang mendukungnya.
42. Itu artinya, ide kamu jelek. Tidak relevan dengan pikiran kita-kita.
43. Dahulu ada orang yang seperti kamu jalan pikirannya, ternyata juga tidak tercapai cita-citanya.
44. Dia itu shalat, kok masih mau berbohong?!
45. Kamu jangan sok berlagak, pasti kamu akan tahu sendiri akibatnya.
46. Gagasan anda bisa didiskusikan di lain waktu saja.
47. Ini bukan tempat yang cocok untuk membahasnya.
48. Membuat begitu saja kok tidak bisa. Sebenarnya apa yang dapat anda lakukan?!
49. Wah, kita bukan maqamnya!
50. Tidak ada kapasitas dalam diri kita. Sudahlah jangan ikut-ikut.
51. Sekarang ini proyek kita sangat banyak.
52. Maaf, saya sangat sibuk.
53. Mengganggu saja kamu ini.
54. Dasar kamu, otakmu tidak berguna.
55. Paling yang begitu-begitu saja. Perhatikan dia itu usianya sudah kepala tiga, toh belum nikah juga.
56. Laksana bunga, mekarnya ada batas waktunya.
57. Jangan khawatir, wong masih muda saja. Nanti sajalah jika umurmu sudah memasuki kepala empat.
58. Gaya kamu! Anak kemarin sore saja sok tahu.
59. Jangan khawatir semuanya berjalan sesuai dengan rencana.
60. Saya yakin, anda akan menjadi orang yang merugi, bila gagasan itu benar-benar kamu sampaikan kepadanya.
61. Berpikirlah yang sesuai dengan umum, biar tidak menjadi bahan tertawaan dan gunjingan.
62. Saya jamin, pasti dia tidak akan menerima usulan anda.
63. Jangan bergerak terlalu cepat, yang rugi nanti kamu sendiri.
64. Lebih baik menunggu saja.
65. Perhatikan, berhasilkah dia?
66. Itu artinya kami harus menambah jam lembur.
67. Mana mungkin.
68. Tidak mungkin.
69. Tulis saja ide-ide kamu, bila ada waktu senggang nanti akan saya baca.
70. Jangan membual.
71. Apa sih maumu?
72. Mana aturannya? Tidak ada tata tertibnya kan?
73. Hal itu tidak cocok buat orang macam kita.
74. Itu teorinya, apakah mungkin teori sama persis dengan prakteknya?
75. Benarkah kamu berani?
76. Kami kekurangan tenaga untuk melaksanakannya.
77. Jangan berkata begitu kalau tidak mencukupinya.
78. Hati-hati nanti kamu jatuh.
79. Modern ya modern, tapi jangan kebablasan.
80. Kamu itu lho, ngomong kok aneh, seperti barang antik saja.
81. Coba pahamilah perasaan kami.
82. Problematika kami tidak sekadar itu, tapi lebih besar lagi. Oleh karena jangan ganggu kami.
83. Ok! Saya akan bentuk panitianya. Jika sudah selesai nanti akan saya beritahu kamu.
84. Semua itu bukan salah kita.
85. Semua itu bukan masalah kita.
86. Kamu itu terlalu inovatif.
87. Kamu itu terlalu kreatif.
88. Mbok… jangan aktif-aktif, nanti kamu cepat bosan.
89. Jangan begitulah caranya.
90. Kamu itu sudah ketinggalan jaman.
91. Apakah mampu kamu meyakinkan publik?
92. Mengapa baru sekarang kamu sampaikan?
93. Apakah kita harus kembali kebelakang?
94. Komoditas kita masih tetap meningkat.
95. Itu semua tidak ada kaitannya. Cobalah berpikir yang lain saja.
96. Kita ini harus mengikuti aturan mainnya. Jika tidak, mana mungkin berhasil!?
97. Maaf, tidak ada dalam rencana kami!
98. Maaf, hal itu tidak ada dalam anggaran kami!
99. Jadilah kamu seperti saya!
100. Tidak mungkin kamu menggapainya, percayalah dengan omongan saya.

Kendala-Kendala Berpikir Kreatif & Inovatif
Kendala-kendala ini tidak lain adalah variabel yang beragam, di mana kendala itu seringkali menghalangi munculnya pemikiran kreatif dan inovatif pada diri seorang.
Kendala-kendala tersebut biasanya meliputi: struktural, lingkungan, kepribadian, pendidikan, emosional, dan motivasional; yang sewaktu-waktu akan menghadang lahirnya sebuah kreatifitas dan inovasi. Di samping itu, baik langsung maupun tidak langsung juga akan memangkas pertumbuhan dan perkembangannya, bahkan tidak jarang kemunculannya atau kelahirannya.
Sebagaimana yang telah alfaqîr saksikan di kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pesantren, mereka sebenarnya memiliki daya kreatifitas dan daya inovasi yang hebat. Tetapi tidak jarang (baca: seringkali) mereka harus menghadapi atau berhadapan dengan kultur mereka yang memasung kreatifitasnya. Sehingga kecerdasan dan kejeniusan yang mereka miliki harus mengalami persalinan prematur. Dengan demikian mereka tidak pernah lagi memahami dan mengerti akan kemampuan keunggulan diri mereka di dalam survival di kehidupannya. Dan hal ini sangat merugikan kaum muslimin, karena otak-otak yang cemerlang dengan segenap pencerahannya harus memasuki tempat pemasungan, bila tidak tiang gantungan.
Kenyataan itu lebih diperparah lagi, dengan keadaan tradisi status quo di mana kaum muslimin lebih banyak mengejar konsekuensi ketimbang berlomba-lomba mempertahankan (baca: merebut) substansi secara esensial. Artinya, mereka tidak mau bersusah-payah untuk menemukan sesuatu, atau berbuat yang lebih kreatif lagi; karena mereka beranggapan bahwa apa yang telah dilakukannya telah mencapai maksimal. Sehingga mereka memilih upaya penyelamatan daripada mengejar proses kemajuan namun mengandung berbagai macam resiko. Dan, kondisi yang demikian akan berpengaruh langsung pada kualitas: kerja, belajar, ibadah, berusaha, dan berpikir. Yang pada akhirnya mereka akan menjadi manusia yang tergolong ber-social capital rendah.
Adapun kendala-kendala yang seringkali muncul dalam sebuah proses kreatif dan inovasi, sebagai berikut:
1. Kekurangan daya dukung sarana dan prasarana.
2. Terdapatnya aturan yang tidak memanusiakan manusia. Sebab, manusia dianggapnya sebagai robot yang terprogram.
3. Hilangnya kemauan, semangat, dan motivasi.
4. Terdapatnya tekanan-tekanan kelembagaan yang hal itu sangat tidak menguntungkan, sehingga pertumbuhannya menjadi mandul dan stagnan.
5. Tidak terdapatnya iklim inovatif di lingkungan: pekerjaan, belajar, keluarga, masyarakat, dan di semua jenjang kehidupan.
6. Cepat berpuas diri.
7. Terdapatnya perasaan khawatir dan curiga terhadap segala hal yang baru.
8. Tidak biasa hidup dengan disiplin waktu. Sehingga cenderung berperilaku jam karet di dalam mengisi waktu-waktunya.
9. Tidak pernah memperhatikan kontrol atas kualitas. Dikarenakan selalu mengejar target-target kuantitas dalam rangkan sekadar memenuhi formalitas.
10. Tidak cepat menyesuaikan dengan terjadinya perubahan-perubahan, terutama dalam lingkungannya yang baru.
11. Pola pendekatan yang digunakan dari atas ke bawah (trickel down effect). Tidak dibiasakan dengan pendekatan partisipasi aktif dari bawah (bottom up).
12. Tidak adanya kerja tim yang solid. Disebabkan adanya: saling curiga, saling menuduh, saling melempar tanggung jawab, saling mengumpat, dan terjadinya salah paham.
13. Tidak adanya kesempatan untuk kreatif dan inovatif di lembaga tersebut.
14. Sangat sibuk dengan problematika hidup, seperti: pekerjaan, rumah tangga, dan anak.
15. Lingkungan yang tidak mendukung untuk terjadinya inovasi dan kreatifitas.
16. Terjadinya ritme kerja yang cepat, dan cenderung instan.
17. Terjadinya like and dislike.
18. Terjadinya sekterian.
19. Tidak adanya evaluasi, atau terlalu lamanya tenggang waktu antara pelaksanaan kerja dengan proses evaluasi.
20. Padatnya waktu dengan hal-hal bersifat rutin, sehingga tidak memberi peluang untuk berpikir, berkreasi, dan bereksperimen.
21. Menjadi orang kepercayaan, adalah keadaan yang menjadikan diri seseorang terpasung kreatifitasnya.
22. Tidak cerdas.
23. Profesi yang digeluti tidak mendukung untuk terjadinya inovasi.
24. Terjebak pada figuritas, sehingga segala sesuatunya cenderung sentralistik.
25. Boros waktu dan dana hanya untuk meeting-meeting.
26. Tidak terdapatnya kesempatan untuk melakukan perubahan-perubahan.
27. Tumpang-tindihnya kebijakan-kebijakan umum di lembaga tersebut.
28. Tidak memahami sifat, karakter, dan kiat-kiat untuk berinovasi.
29. Terdapatnya pribadi-pribadi para tokoh yang tidak dapat diajak untuk berpikir kreatif dan inovatif.
30. Terdapatnya nepotisme, atau KKN di dalam memilih dan menempatkan personal.
31. Tidak adanya platform dalam sistem operasionalnya.
32. Terdapatnya pribadi-pribadi futur, sehingga lemah dan loyo di dalam menyelesaikan segenap amanah yang telah ditugaskan kepadanya.
33. Tidak terdapatnya agenda kerja, schedule, dan perencanaan yang matang.
34. Taklid terhadap segenap apa yang telah dipercayainya, tanpa mau menerima pembaharuan-pembaharuan yang bersifat kritis.
35. Ketidaksiapannya lembaga di dalam menyukseskan pikiran-pikiran kreatif dan inovatif.
36. Merasa putus asa dengan lingkungan yang tidak siap menerima perubahan yang ditawarkannya, padahal pekerjaan atau aktifitas yang dilakukannya benar-benar untuk kesejahteraan publik.
37. Terlalu banyak alasan, sebagai langkah awal untuk membela diri (apologia).
38. Memegang filsafat berpikir yang salah, misal, “Segala apa yang telah anda ketahui itu jauh lebih utama, ketimbang segala hal yang belum anda ketahui.”
39. Takut gagal, sehingga takut berusaha. Akhirnya dia memilih menekuni yang rutinitas.
40. Terdapatnya cercaan dan sedikitnya perhatian bagi orang-orang yang kreatif dan inovatif.
41. Terdapatnya karakter kepribadian yang hanya siap menerima perintah.
42. Tidak mau merekrut orang-orang yang berkepribadian kreatif dan inovatif.
43. Tidak terdapatnya pembinaan dan pembibitan yang intensif guna melahirkan kader-kader yang kreatif dan inovatif.
44. Berpikiran dan berwawasan sempit, sehingga tidak berlapang dada dengan hadirnya sesuatu yang inovatif.
45. Tidak tahan dan imune dengan terjadinya perbedaan.
46. Tidak berani melakukan pengurbanan, dalam rangka menunjang kesuksesan gagasan inovasinya.
47. Tidak berpengalaman.
48. Banyak menggantungkan kepada orang lain.
49. Tidak mau memahami kepribadian, karakter, watak, dan kehendak-kehendak orang lain.
50. Tidak punya keahlian.
51. Tidak punya jaringan kontak person dengan orang-orang kreatif dan inovatif.
52. Takut dituduh pembuat onar.
53. Tidak tersedianya kesempatan untuk bebas mengemukakan pendapat.

Mendorong & Mengembangkan Pemikiran Inovatif
Pemikiran inovatif adalah identik dengan kebiasaan berpikir di kalangan kaum muslimin di negeri ini. Sebagaimana hal itu memang telah diteladankan oleh para Walisongo dan para ulama sepuh kita di Nusantara ini. Perhatikan, bagaimana dakwah Islam di Nusantara ini dapat berhasil, dikarenakan kerja kreatif dan inovatif para Walisongo dan para ulama Nusantara ketika itu. Di mana mereka selalu berpikir, agar masyarakat Nusantara yang notabene-nya adalah masyarakat berpaham dinamisme, animisme, hindu, budha, dan kepercayaan-kepercayaan lain; dengan kultur agraris. Dapat dengan mudah menerima pesan-pesan Islam, dan semaksimal mungkin untuk dihindari benturan-benturan sosial yang akan membawa jatuh kurban pada pihak orang-orang yang tidak berdosa. Sehingga ditemukanlah model-model dakwah yang inovatif untuk ukuran waktu itu, seperti: Wayang kulit; Mocopat; Arsitektur masjid; Gamelan; Sarung; Blangkon; Tembang dolanan; Pengajian; Kopyah hitam; Bubur suro; Arsitektur rumah joglo; Terbang jedor; dan masih banyak yang lainnya.
Untuk konteks bangsa Indonesia, sekarang ini memiliki sumber daya manusia yang luar biasa cukup banyak, tinggal bagaimana kita mendesain mereka menjadi sebuah produk pemberdayaan yang unggul. Betapa bangsa kita akan menjadi sebuah pemimpin dunia, bila human capital investment benar-benar diberdayakan hingga menjadi social capital yang handal dan tangguh. Insya Allah dalam waktu yang relatif singkat, sumber daya alam negeri ini akan disulap menjadi ‘mesin pencetak uang’ tanpa harus melakukan eksploitasi atas sumber daya alam tersebut.
Rusaknya alam di negeri ini lebih disebabkan rendahnya social capital masyarakat bangsa ini. Rendahnya social capital mereka, disebabkan model pendidikan nasional dan model pendidikan agama tidak signifikan dalam melahirkan peserta didiknya menjadi manusia-manusia kreatif dan inovatif. Sebaliknya, model pendidikan yang ada lebih menjadikan peserta didik seperti robot yang tidak memiliki kemampuan inovasi sama sekali.
Padahal yang tidak boleh dilupakan, setiap manusia dilahirkan Allah azza wa jalla ke muka bumi ini dengan segenap potensi yang dapat dikembangkan, agar mereka mampu melakukan survival atas lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alamnya.
Sudah saatnya bangsa Indonesia membenahi model pendidikannya, dan para cerdik-pandai serta para ulama juga harus berani merubah model pendidikan yang disampaikan melalui lembaga-lembaga mereka. Jika tidak, akan semakin banyak manusia-manusia terdidik lahir di negeri ini, namun mereka tidak memiliki kualitas yang berarti sebagai agen perubahan demi terciptanya tradisi berpikir inovatif. Sebaliknya, mereka akan menjadi beban pemerintah dikarenakan social capital mereka sangat rendah.
Alfaqîr yakin, bila kondisi sangat kondusif untuk melakukan pengembangan pemikiran inovatif di kalangan kaum muslimin di negeri ini. Maka, dalam waktu yang relatif singkat akan terjadi kejutan besar, dan bangsa Indonesia akan menjadi pemimpin yang progresif di dunia ini dalam rangka menciptakan persemakmuran mardlatillah.
Di mana para inovator di negeri ini akan menciptakan berbagai schedule kerja yang baru dan kreatif, serta solusi-solusi yang ditawarkan tidak konservatif yang selalu berkecenderungan mendukung terciptanya iklim taklid dan kondisi status quo; guna memecahkan permasalahan yang telah mendera bangsa yang sangat kita cintai ini.

Hidup Manusia Selalu Inovatif
Siapa pun tidak mampu membendung kreatifitas dan daya inovasi seseorang. Dikarenakan, manusia di mana pun ditakdirkan oleh Allah jalla jalâluh hidup dan bersosial diri selalu mengembangkan daya inovasinya, baik dalam bentuk yang paling sangat sederhana hingga lompatan-lompatan inovasi yang sangat cepat dengan menciptakan kejutan-kejutan besar. Itulah anugerah Allah swt.
Coba renungkan perjalanan inovasi umat manusia di dunia ini. Berawal dari sebuah gendongan atau memikul beban. Tetapi, inovasi pemikiran mendorongnya untuk lebih ringan kerjanya tetapi kapasitas barang yang diangkut semakin banyak, ditemukanlah gerobak. Dari gerobak terus berkembang hingga ditemukan alat-alat angkut darat, laut dan udara.
Begitu juga berawal dari menggesek dua batu untuk mendapatkan percikan api. Namun lalu berkembang pada penggunaan energi listrik, air, angin, dan matahari untuk mendapatkan percikan api.
Juga, di dalam mendapatkan berita-berita. Dulu para ‘orang pintar’ menggunakan jasa telepati. Tetapi, sekarang telah berkembang dengan demikian pesatnya, untuk mengetahui kabar dan berita, kita cukup menghidupkan radio atau TV, tinggal angkat gagang telephone atau handphone.
Kondisi inilah yang oleh Ki Ronggowarsito digambarkan dengan pesan relijiusnya, “Besok jika telah ada tenggelamnya kapas dan terapungnya batu hitam. Jenggolo Manik dapat dilihat dari Blambangan….”
Tidak diragukan lagi, semua yang alfaqîr paparkan di atas merupakan kerja inovatif pemikiran umat manusia dari waktu ke waktu. Dan, realitas itu akan semakin berkembang dan terus berlanjut, bahkan dengan sangat cepat. Bila kaum muslimin, khususnya para ulama, cendekiawan muslim, intelektual muslim, dan mahasiswa muslim tidak mau mengimbanginya dengan lompatan-lompatan; mustahil akan terjadi kejutan besar. Kita tidak dapat menunggu. Tetapi kita harus bekerja keras untuk selalu melakukan pengembangan pemikiran inovatif, baik dalam lingkup: yayasan-yayasan Islam, lembaga sosial, pondok pesantren, lembaga pendidikan, sosial ekonomi, budaya; skala nasional dan internasional; dll.
Oleh karena dalam semua tingkatan kehidupan kaum muslimin, harus menciptakan lingkungan yang kondusif untuk memotivasi pemikiran inovasi. Dengan mendayagunakan berbagai sarana bantu demi lahir dan munculnya pengembangan pemikiran inovatif. Misalnya, semakin ditradisikannya di lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan menggunakan model pendidikan curah gagasan, menulis esai, penelitian sosial, riset, pengembangan metodologi, dan mulai dikenalkan cara berpikir filosofis yang meliputi: ontologi, axiologi, dan epistimologi ilmu pengetahuan. Sehingga hal ini diharapkan akan mampu mendorong lahirnya sebuah kreatifitas berpikir di dalam melakukan pengembangan pemikiran inovatif, sebagai bentuk nuansa baru di kehidupan kaum muslimin.
Fokus pengembangan berpikir inovatif, di samping kepada segenap sumber daya manusia di negeri ini --lingkungan, budaya, tradisi, habits, wacana, dan media-- juga harus diinovasikan pula, guna mempercepat terjadi kejutan besar tersebut.
Karenanya, para pendidik dan para ulama, dituntut pula untuk memperhatikan pemeliharaan inovasi dan memotivasi kreatifitas, serta menciptakan suasana yang kondusif bagi perkembangan anak didik dan shantri yang inovatif.
Seperti dikatakan Dr.Sayid al-Hawari, “Kita harus mencoba alternatif-alternatif yang baru dan kreatif dalam kehidupan kita. Karena kekuatan hakiki kita bersemayam dalam batin kita yang paling dalam. Metode paling ampuh untuk menghadapi rasa takut, adalah dengan bersikap sebagai pemberani yang siap menantang apa yang kita takuti. Ketika masih kanak-kanak, kita adalah orang-orang yang kreatif dan gemar berpetualang. Kita dulu sering mencoba dan bertanya-tanya, serta mendayagunakan imajinasi kita secara mengagumkan. Tetapi ketika besar, kita semuanya justru belajar untuk menempuh jalan yang sama, dan bersikap masa bodoh terhadap jalan lain yang belum ditempuh oleh siapa pun. Sesungguhnya kekuatan yang tersembunyi masih tetap ada dan terpendam dalam jiwa kita, dan kita masih bisa menggerakkannya kapan saja untuk mendorong kita menuju keberhasilan.” (Baca juga Buku 52 Langkah: Membangun Kepribadian Kreatif & Inovatif; yang kami tulis bersama isteri, red).
Oleh karena di dalam hidup keseharian kita, sebagai seorang muslim-mukmin harus benar-benar memperhatikan setiap kata-kata yang meluncur dari mulut orang lain, atau yang justru kita ucapkan sendiri. Disebabkan, kita sering menganggap remeh lalu-lintas kata-kata yang terjadi di sekeliling kita. Padahal bagi orang yang memiliki pemikiran inovatif, justru dari lalu-lintas kata-kata tersebut akan muncul hal-hal yang inovatif, sesuatu yang besar, daya cipta, dan kehendak-kehendak yang dahsyat. Sebab, kata-kata yang meluncur keluar tersebut bagi telinga seorang yang inovatif akan melahirkan: kerja inovasi, pembaharuan, dan kreatifitas.
Adapun contoh kata-kata tersebut, antara lain:
1. Topik yang sungguh bagus.
2. Luar biasa cara penyampaian anda.
3. Sungguh anda telah melahirkan gagasan yang jenius.
4. Semoga Allah ta’âlâ memberkahimu.
5. Semoga Allah swt selalu menyertakan kesuksesan buatmu.
6. Anda tipe orang yang dibutuhkan umat.
7. Semoga Allah azza wa jalla meridlaimu menjadi pemimpin di negeri ini.
8. Sungguh ini inovasi baru.
9. Bismillâhi masyâ Allâh. Lâ quwwata illâ billâh.
10. Subhâna-llâh. Wa-llâhu akbar.
11. Ini sesuatu yang baru bagi kami.
12. Yakinlah! Allah swt niscaya akan menolongmu.
13. Insyâ Allâh, aku dapat membantumu.
14. Masyâ Allâh, lâ quwwata illâ billâh.
15. Antum khairun nâs.
16. Kamu memang is the best.
17. Luar biasa, jika kaum muslimin di negeri ini mau mengikuti langkah-langkahmu.

Kiat Mengembangkan Kemampuan Inovasi & Kreatifitas Berpikir Anda
1. Yakinilah, bahwa daya inovasi dan kreatifitas ada juga dalam diri anda. Sebab, hal itu memang telah dianugerahkan oleh-Nya kepada setiap hamba-Nya. Harus percaya, jika Allah ta’âlâ telah menakdirkan anda sebagai manusia yang kreatif. Oleh sebab itu, lakukanlah sekarang! Temukan kemampuan diri anda! Buang jauh-jauh yang membuat anda ragu-ragu! Dan, berkonsultasilah dengan orang-orang yang anda anggap mampu membantu anda.
2. Realisasikan cita-cita, terutama realisasikan yang orang lain tidak mampu merealisasikannya. Ingat! Kreatifitas adalah kemampuan nalar logis berpikir yang mendorong seseorang untuk berupaya dan mencari sesuatu yang baru.
3. Jangan takut salah, bila anda salah itu berarti awal dari sebuah kerja kreatif supaya selanjutnya tidak mengulangi kesalahan yang semisal. Sadarilah! Kegagalan adalah jalan keberhasilan. Dan, barangsiapa yang diawalnya terbakar, maka diakhirnya ia akan terang benderang. Ingat! Sesuatu yang menjemukan diawalnya, maka bila tetap ditekuni anda akan merasakan keberhasilannya.
4. Percayalah dengan realitas, bila anda menghendaki menjadi orang besar di masa yang akan datang percayalah akan eksistensi realitas. Karena keberhasilan dan kegagalan adalah realitas itu sendiri. Tidak ada jaminan kemewahan akan mampu menghantarkan anda menjadi orang besar. Dikarenakan kemewahan merupakan sesuatu yang semu sifatnya, bukan realitas.
5. Biasakan menerima perbedaan, kehidupan manusia tidak dapat dijawab dengan jawaban matematis. Begitu juga dengan problematika hidup, ia tidak dapat diatasi pula dengan persoalan matematis. Biasakan diri anda dapat menerima ragam pendapat dan sudut pandang yang bermacam-macam dari orang lain. Yang penting anda harus mampu mendesain keragaman dan heterogenitas itu sebagai modal untuk melakukan inovasi. Biasakan pula anda berpikir terbuka dan melakukan interaksi sosial dengan siapa saja yang mendukung ide-ide kreatifitas anda.
6. Siap menerima kritik, lahirnya karya kreatif selalu menuntut sikap berlapang dada. Karena faktor subyektifitas akhirnya menjadi berbeda itu hal yang biasa. Yang penting anda harus tetap menghormati pendapat orang lain dan pengalaman para orang tua. Tanpa harus merasa tersudut dan gagal.
7. Harus ahli, pemikiran inovatif adalah ‘air mata kemanusiaan’, ia akan terus mengalir hingga Hari Kiamat. Masa depan kehidupan dunia ini tergantung pada keahlian manusia-manusia yang berpikiran inovatif. Karena hanya manusia yang ahli saja yang mampu memanfaatkan ‘air mata kemanusiaan’ tersebut.
8. Selalu inovatif, jika anda tidak ingin lembaga yang anda pimpin mati atau hancur berantakan. Selalulah anda mendesain lembaga tersebut dengan kerja inovasi yang terus-menerus.
9. Hindari rutinitas, ketahuilah rutinitas itu laksana peti mati. Jika anda tidak ingin mati kehabisan oksigen segeralah melompat keluar. Dan, segera pula dayagunakan kemampuan-kemampuan terpendam yang anda miliki, masih tersimpan rapi dan orisinil pada: ruh, kalbu, jiwa, dan emosi kesadaran anda.
10. Membangkitkan potensi intusi, manusia diciptakan Allah azza wa jalla telah dibekali dengan kekuatan-kekuatan yang akan mampu mendorongnya kepada puncak keberhasilan. Tetapi seringkali anda menelantarkan dan menyepelekan kekuatan dahsyat tersebut. Terbukti, anda lebih mengejar konsekuensi ketimbang substansi. Terbukti, anda lebih penyelamatan dengan memilih berlindung di balik ketiak rutinitas. Terbukti, anda sangat sibuk mencari identitas anda. Terbukti, anda hanya menghidupkan sebagian otak anda.
11. Taufik dan pertolongan Allah swt, yakinlah Allah ta’âlâ akan menolong orang yang mau kreatif dan inovatif. Oleh karena harus disadari, bila yang terjadi dari setiap kekuatan berpikir dan berinovasi, semata karena anda dituntun oleh taufik-Nya dan anda mendapat pertolongan-Nya. []








DESAIN MENGEMBANGKAN
INOVASI & KREATIFITAS
BERPIKIR ALA MENEJEMEN NABAWI




Adalah guru kami Syaikh Datuk Ali Muntaha dalam bukunya, yang berjudul al-Munjiat, menasihatkan, “Wahai anakku, sesungguhnya kemampuan seorang manusia itu laksana arus air yang deras, atau sungai yang airnya terus mengalir tanpa berhenti sebelum sampai ke muara, dan akhirnya ke samudera luas. Adapun seorang mu’allim (seorang ulama) yang cerdas adalah mereka yang pandai membuka setiap sumbatan yang menyumbat di setiap aliran air sungai tersebut, atau pandai di dalam menghubungkan jaringan air itu sehingga sampai ke muara. Dan, suatu perbuatan yang aniaya, bila ia membuat segalanya tersumbat, sehingga air tidak dapat lagi mengalir sebagaimana mestinya.”
Apa yang menjadi nasihat datuk kami itu adalah desain jelas yang telah diletakkan oleh Rasulullah saw, di dalam mengembangkan sebuah inovasi & kreatifitas berpikir. Terlebih hal itu sangat penting, bila seorang muslim menghendaki menjadi pribadi yang berjiwa wirausaha dan wiraswasta (entreprenuership). Dan, tampaknya para sahabat Nabi memiliki kemampuan yang handal di bidang itu, terbukti:
Pertama, mampu lepas dari embargo dagang kaum kafir Makkah.
Jika Nabi saw beserta para sahabatnya tidak memiliki jiwa inovatif & kreatif, maka kaum muslimin telah hancur dari awal perjalanan dakwahnya. Di mana tidak (?), dalam beberapa waktu, mereka tidak diperkenankan untuk melakukan kontak dagang. Bahkan, hampir semua masyarakat Quraisy tidak mau melakukan transaksi dagang dengan kaum muslimin, pada waktu itu.
Ternyata dalam kondisi yang sangat genting tersebut, Rasulullah saw mampu menyadarkan para sahabatnya yang rata-rata baru memeluk dinul Islam. Desain inilah, yang patut kita teladani sebagai sebuah keberhasilan menejemen dari seorang “putera padang pasir”, yang sebelumnya tidak pernah sekolah dan bergaul dengan dunia luar --di luar Makkah.
Kedua, mampu membangun Negara Islam Madinah, suatu model negara yang tiada tandingannya hingga Hari Kiamat.
Keberhasilan kaum muslimin saat diembargo ketika masih berada di Makkah, telah dijadikan pelajaran yang sangat berharga, sehingga hal itu tidak boleh terulang lagi. Maka dari itu, saat pasca hijrah di Madinah, Rasulullah saw bersama para sahabatnya yang rata-rata telah solid memeluk dinul Islam, tidak mau lagi kecolongan dengan tipu muslihat dan kelicikan para kafir Quraisy, para Badui, dan para Yahudi.
Sehingga langkah awal yang dilakukan Nabi saw saat tiba di Madinah adalah:
1. Mendirikan masjid.
2. Menyaudarakan segenap kaum muslimin dari golongan Anshar dengan golongan Muhajirin.
3. Menjadikan masjid sebagai sentral kegiatan dan laboratorium sosial kemasyarakatan.
Dan, ternyata hasilnya luar biasa, dalam waktu yang relatif sangat singkat untuk ukuran mendirikan sebuah sistem dalam suatu negara. Apa yang telah menjadi azzam beliau beserta para sahabat dan kaum muslimin, sehingga segera terwujud.
Sekali lagi Rasulullah saw benar-benar telah mempraktekkan sebuah menejemen pemberdayaan dengan mengembangkan inovasi & kreatifitas berpikir, di kalangan sahabat dan masyarakat Arab ketika itu.

Keberhasilan Pola Pendidikan Nabawi
Pola pendidikan nabawi dalam mendorong terjadinya pengembangan inovasi dan kreatifitas berpikir di kalangan sahabat Nabi, sungguh luar biasa keberhasilannya dan dampak langsung yang terjadi di masyarakat yang tinggal di Jazirah Arabia; khususnya yang bermukim di sekitar wilayah Makkah dan wilayah Madinah.
Hal itu dapat dilihat dari para figur yang dihasilkan dari proses pendidikan ala menejemen nabawi, dengan berbagai keahlian dan keragaman kemampuan yang bersifat kompetensi, sehingga menghasilkan berbagai macam peran di dalam mendesain pemberdayaan di masyarakat jahiliah.
Apa yang telah dilakukan oleh Nabi saw di dalam melakukan kaderisasi di kalangan sahabatnya, benar-benar merupakan sebuah “sistem dakwah” yang didukung dengan aktualisasi “epistimologi Islam”, sebagai sebuah platform pemberdayaan “manusia mulia" yang cerdas.
Sehingga dalam waktu yang sangat cepat, beliau telah membuat simpatik masyarakat jazirah Arabia dan sekitarnya. Dari perilaku simpatik masyarakat itulah, beliau dapat diterima oleh siapa saja. Dengan demikian visi-misi dinul Islam secara mudah dapat diterima sebagian masyarakat jahiliah di dalam melakukan perubahan demi perubahan, guna menerima “pesan langit” yang berupa risalah islamiah dan kerasulan beliau dalam rangka meredesain masyarakat manusia agar mau menerima ajaran tauhid yang lebih dahulu disosialisasikan dan dikomunikasikan oleh Nabi Ibrahim as. Seperti telah diketahui, bahwa “epistimologi Islam” telah diletakkan oleh Nabi Ibrahim as.
Rasulullah saw telah mewariskan “sistem dakwah” dan “epistimologi Islam” secara apik dan disiplin, kepada para sahabat beliau; khususnya sahabat Abu Bakar as-Shiddiq ra dan sahabat Umar bin Khaththab ra. Dan, seterusnya mereka juga telah mewariskan “sistem dakwah”, “epistimologi Islam”, dan “metodologi dakwah”; berkat pemikiran-pemikiran yang dilakukan secara ijtihadi.
Tradisi yang demikian bagus dan dinamik ini terus bergulir secara turun-temurun kepada generasi Islam, mulai generasi: sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, salafush shalih, dan ulama abad pertengahan, seperti: Jabir bin Hayyan (peletak ilmu kimia modern), Ibnu Sina (peletak dasar-dasar pencangkokan tulang), Ibnu Khaldun (peletak dasar pembuatan peta dunia), al-Khawarizmi (penemu bilangan pecahan desimal dan peletak dasar ilmu al-jabar), ar-Razi (penemu teori kimia baru yang sangat bermanfaat buat dunia kedokteran), Ibnu Hazm (ulama, ilmuwan, sejarahwan, failosof, fuqaha’ dan mufasir), al-Gazali (ulama, ilmuwan, mutashawifin, teolog, dan inqiunis sejati), Ibnu Rusyd (failosof dan pemikir muslim), al-Kindi (failosof dan cendekiawan muslim), Ibnu Taimiah (peletak dasar teori pasar, muhadis, fuqaha’, ulama, dan reformer), dll.
Dan, tradisi di atas terus berkembang hingga lahirlah para ulama kontemporer, fuqaha’ muakhir, teolog mujaddid, dan ilmu-ilmu modern yang lainnya. Sebut saja: Prof.Dr.Abdussalam, Ayatullah Ruhullah Kumaini, Dr.Hasan Hanafi, Dr.Abdurrahman ad-Dakhil Wahid, KH.Sahal Mahfudz, Abdulkarim Soroush, asy-Syahid al-Imam Hasan al-Bana, Prof.Dr.HM.Quraish Shihab, Prof.Dr.Alwi Shihab, Abul A'la al-Maududi, dll.


Tiga Dasar Pola Pendidikan Nabawi
Jika kita cermati di dalam sejarah dan sirah nabawi, maka dapat ditemukan tiga hal pokok sebagai dasar dari pola pendidikan nabawi, yang telah dimenejemenkan, yaitu:
1. Menghindarkan dari pola pikir jumud (mandeg).
2. Mendorong terjadinya transparansi intelektual.
3. Mengembangkan curah gagasan sebagai sarana pemberdayaan.
Guna memahami ketiga dasar pola pendidikan nabawi, tepatlah kiranya diriwayatkan sebuah hadis Nabi saw yang dirawikan oleh Imam Bukhari ra dan Imam Muslim ra dalam Kitab Bulûghul Marâm. Di mana telah diriwayatkan, bahwa pada Perang Ahzab, Nabi saw telah bersabda,

“Janganlah salah seorang di antara kalian menunaikan shalat ashar, kecuali di Bani Quraidlah.”

Beberapa rombongan sahabat mendapati waktu ashar di tengah perjalanan. Maka, sebagian dari mereka berkata, “Kami tidak akan shalat ashar, sampai kami tiba di Bani Quraidlah.”
Dan, sebagian yang lain ada yang berkomentar, “Kami akan shalat, tidak ada larangan bagi kami untuk melakukannya.”
Lalu, kejadian tersebut mereka ceritakan kepada Rasulullah saw. Dan, beliau sama sekali tidak menyalahkan salah satu pihak dari mereka.
Bila, diperhatikan secara seksama golongan pertama mewakili pola pemikiran yang mengambil hujah dari “dhahir nash”.
Sebagaimana diketahui bahwa dhahir nash berbunyi,

“Janganlah salah seorang di antara kalian menunaikan shalat ashar, kecuali di Bani Quraidlah.”

Bagi golongan pertama, apa yang tertera di dalam dhahirnya nash, maka itulah yang harus dipahami dan dijadikan sebagai hujah. Jika keluar dari pemahaman yang demikian, maka golongan ini menganggapnya sebagai perilaku yang menentang sunnah Rasulullah saw.
Adapun untuk golongan yang kedua mewakili pola pemikiran yang mengambil hujah dari “menyimpulkan makna-makna yang tersirat dalam nash”. Golongan ini berpikiran kritis, dalam rangka memahami apa sebenarnya yang menjadi maksud nash, atau hikmah apa yang terdapat di balik kandungan nash tersebut.
Dalam konteks hadis Nabi saw tersebut di atas, golongan kedua beranggapan bahwa, Rasulullah saw hanya memerintahkan agar mereka bergerak dengan sangat cepat. Oleh karenanya, menunaikan shalat ashar sebelum sesampainya di Bani Quraidlah bukan sesuatu yang bertentangan dengan kandungan nash. Artinya, selama shalat yang didirikan untuk tidak membuat rombongan itu terlambat untuk sampai di Bani Quraidlah; tidak ada masalah, masih sejalan dengan maksud nash.
Dan, apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi tersebut merupakan cerminan, bahwa di dalam dinul Islam sangat menghargai bagi setiap muslim-mukmin yang mau mengerahkan segenap kemampuannya untuk berijtihad. Jika memang mereka telah memenuhi: syarat, adab, dan akhlak berijtihad.
Di samping itu dinul Islam --dalam hal ini Nabi saw-- benar-benar menghormati pemikiran yang berbeda, asal tidak keluar dari semangat, pesan, dan ruh daripada nash yang ada. Sebaliknya, Islam justru mendorongnya ke dalam iklim untuk saling memahami jika terjadi perbedaan di dalam berinovasi dan berkreatifitas dalam berpikir. Maksudnya, dari kedua golongan sahabat Nabi yang melakukan aktifitas berpikir itu secara nyata telah dihormati oleh Nabi saw.
Luar biasa pribadi Rasulullah saw, melihat kondisi yang erat dengan interaksi sosial tersebut, beliau benar-benar telah memberikan keteladanan kepada para sahabatnya, dan secara umum kepada segenap umat manusia. Bahwa, sikap beliau yang membolehkan kedua sahabatnya berbeda itu, benar-benar beliau berkehendak supaya tidak lagi terjadi tradisi jumud (stagnasi), seperti yang lazim terjadi di masyarakat jahiliah. Dalam konteks hadis Nabi saw tersebut di atas, beliau tidak menghendaki terjadinya keseragaman di dalam berpikir dan berpendapat.
Sebaliknya, Nabi saw menghendaki terjadinya keterbukaan di dalam berpikir dan menyampaikan pendapat. Sedangkan, bila terjadi perbedaan pendapat, itu sebuah konsekuensi yang mesti diterima. Disebabkan, bisa jadi perbedaan yang muncul lebih dikarenakan sudut pandangannya saja yang berbeda. Dan, hal ini biarkan saja terjadi sebagaimana “mengalirnya air yang mengalir menuju muara, untuk kemudian bergabung dengan samudera-Nya”.
Manakala kondisi seperti di atas itu dapat dijaga, maka tidak akan pernah terjadi “pemasungan kreatifitas”. Justru yang terjadi adalah “perubahan berpikir”, sehingga tidak ada lagi “saluran tersumbat”, “air menggenang”, dan “air meluap”. Demikianlah rahmat Allah azza wa jalla di dalam menganugerahi dan mengarunia proses inovasi dan berpikir kreatif di kalangan para hamba-Nya.
Pilar asasi di dalam mengembangkan daya inovasi dan kreatifitas berpikir, tidak lain adalah terjadinya “perbedaan pendapat”. Apabila di dalam berinteraksi dan berkomunikasi tidak terjadi “perbedaan pendapat”, maka dinamika kehidupan umat manusia menjadi kosong, interaksi sosial dengan masyarakat menjadi bebas tanpa ada pahala dari-Nya (baca juga buku yang alfaqîr susun dengan judul "Indahnya Perbedaan", 2003, red).
Jika Rasulullah saw saja telah memberikan keteladanan kepada kita semua. Maka, sudah selayaknya bila para: ulama, pejabat, pemimpin, dan pendidik untuk selalu mendorong agar muncul sikap dan perilaku, sebagai berikut:
1. Senantiasa mendorong terjadinya pengembangan inovasi dan kreatifitas berpikir.
2. Senantiasa mendorong agar tidak terjadi kejumudan di dalam berpikir.
3. Senantiasa mendorong terjadinya keterbukaan intelektual.
4. Senantiasa memotivasi supaya tidak sesering mungkin untuk melakukan perbedaan pendapat.
5. Senantiasa memahami sesuatu di dalam menangkap berbagai problematika yang muncul.
6. Senantiasa berpikir logis, kritis, analitis, dan menghindarkan diri dari berpikir mistis.

Memecahkan Persoalan Secara Inovatif
Diriwayatkan dalam sirah nabawiah pernah terjadi peristiwa restorasi Ka’bah, hampir seluruh kabilah yang berada di wilayah kekuasaan suku Quraisy, beramai-ramai ikut terlibat di dalam proyek restorasi tersebut. Masing-masing kabilah mengambil bagian, mana yang mereka suka untuk dibangunnya secara sendiri-sendiri.
Dan, menjadi persoalan besar, hampir saja menjadikan pertikaian di antara kabilah yang terlibat proyek restorasi Ka’bah tersebut, ketika sampai pada tahapan merestorasi pojok Hajar Aswad. Pertikaian yang telah mengarah kepada terjadinya peperangan itu telah membuat masing-masing kabilah sangat tegang, kejadian itu hampir satu minggu lamanya.
Masing-masing dari kabilah merasa yang paling berhak untuk mengembalikan ‘batu hitam’ itu ke tempatnya semula. Karena dari masing-masing kabilah berebut benar, akhirnya yang terjadi adalah dari kabilah-kabilah yang ada kesemuanya merasa paling benar. Dan, hal itu tidak akan terjadi, bila kabilah-kabilah yang ada “berebut salah”, karena mereka menyadari tentunya bahwa semuanya dapat diatasi dengan jalan dialogis dan musyawarah untuk mufakat.
Akhirnya pertumpahan darah dapat dihindari dengan segera, setelah tokoh paling senior dari suku Quraisy, yang bernama Abu Umaiah bin Mughirah bin Abdillah bin Amr bin Makhzum; memimpin musyawarah di dalam Masjidil Haram. Kemudian disepakati, “Barangsiapa ada orang yang masuk pintu masjid duluan, itulah orang yang berhak mengembalikan si batu hitam.”
Ternyata tidak begitu lama dari acara kemufakatan dalam musyawarah itu, datanglah seorang pemuda, yang tak lain adalah Muhammad bin Abdullah. Di saat para tokoh Quraisy melihat kedatangannya, maka serta merta mereka berseru, “Inilah orang yang terpercaya (al-âmin). Kami ridla dengan Muhammad.”
Beberapa saat pemuda yang bernama Muhammad bin Abdullah menerima pengaduan duduk perkaranya yang sebenarnya terjadi. Setelah beliau memahami dengan seksama, lalu beliau berkata, “Bawakan untukku sebuah kain.”
Setelah kain di dapat, maka lalu pemuda yang bernama Muhammad bin Abdullah tersebut mengangkat si batu hitam itu ke atas kain yang telah beliau hamparkan di tanah. Kemudian beliau memberikan aba-aba seraya berkata, “Hendaknya setiap kabilah memegang setiap ujung dari kain ini, dan mengangkatnya bersama-sama.”
Dengan patuh para tokoh yang mewakili kabilahnya masing-masing tersebut beramai-ramai mengangkat si batu hitam untuk didekatkan dengan tempatnya. Baru setelah benar-benar dekat Muhammad bin Abdullah mengangkat batu hitam itu dengan kedua tangannya, guna meletakkan Hajar Aswad tersebut di tempatnya, yakni “pojok Aswad” (ruknul aswad). Begitulah, akhirnya Ka’bah benar-benar selesai direstorasi 18 tahun sebelum hijrah Nabi saw ke Madinah.
Keberhasilan gagasan Rasulullah saw ketika itu, menandakan bahwa beliau sangat inovatif dan berpikir kreatif di saat masyarakatnya sedang mengalami krisis. Dengan ide briliannya itulah, Rasulullah saw menunjukkan kelasnya tersendiri di jajaran tokoh masyarakat Quraisy, meski umurnya masih relatif sangat muda. Kecerdasannya di dalam menggagas ide yang inovatif dan lompatan berpikirnya yang sangat kreatif, telah membuat kekaguman di kalangan suku Quraisy.

Nabi Selalu Memotivasi Untuk Terjadinya Perubahan
Diriwayatkan, Rasulullah saw mendapatkan informasi, bahwa kafilah dagang Quraisy telah datang dari Syam. Dengan tujuan untuk segera kembali ke Makkah, dikarenakan kafilah tersebut membawa harta yang banyak. Lalu, Rasulullah saw memerintahkan para sahabat untuk segera melakukan penghadangan.
Apa yang hendak dilakukan oleh Nabi saw, ternyata telah diketahui oleh Abu Sufyan, selaku pemimpin rombongan kafilah. Maka, segera ia mengirimkan orang ke Makkah untuk memberikan pertolongan dengan cepat. Sebab, bila tidak dilakukan dengan cepat, maka harta yang banyak akan jatuh ke tangan orang lain. Dengan kelihaiannya, Abu Sufyan bersama kafilah dagangnya dapat meloloskan diri dari kepungan tentara kaum muslimin.
Pada saat itulah, pasukan kaum muslimin tidak berhadapan dengan kafilah dagang dalam rangka untuk melakukan penyergapan. Sebaliknya, pasukan kaum muslimin berhadapan dengan pasukan kafir Quraisy dengan jumlah personil dan peralatan yang tidak sebanding.
Menangkap perubahan yang 180o dari rencana semula, ternyata Rasulullah saw tidak nervous sama sekali. Sebaliknya, beliau semakin tampak lebih cerdas di dalam menyelesaikan kemelut itu. Karena, jika salah di dalam mengambil keputusan dan berstrategi, akibatnya sangat fatal nanti, yaitu akan menelan banyak korban dari pihak kaum muslimin.
Maka, kondisi yang terburuk yang dialami Nabi saw ketika itu, beliau menentukan langkah-langkah praktis-strategis, di antaranya:
1. Terdapatnya keyakinan Nabi saw, bahwa segala sesuatu itu akan mengalami perubahan sejalan dengan perubahan waktu. Dengan kata lain, ijtihad itu dapat berubah sesuai dengan waktu dan tempat.
2. Terdapatnya perilaku disiplin Nabi saw di dalam menetapkan dan menjalankan sesuatu.
3. Terdapatnya sikap waspada di kehidupan Rasulullah saw.
4. Terdapatnya kemampuan Rasulullah saw di dalam melakukan interaksi sosial, dengan sikon yang berubah 180o, tetapi beliau masih tetap inovatif.
5. Terdapatnya kemampuan untuk mengetahui seberapa besar jumlah pasukan musuh, dan hal ini sangat penting.
6. Terdapatnya sikap Nabi saw kongkrit dalam rangka melakukan konsolidasi internal kaum muslimin.
7. Terdapatnya habits bermusyawarah dalam tradisi nabawiah.
8. Terdapatnya keikhlasan di dalam berdoa kepada-Nya. Karena beliau yakin, yang mampu menolong hanyalah Dia, dan datangnya kemenangan pun juga dari-Nya.
9. Terdapatnya kemampuan inovatif dan berpikir kreatif Nabi saw di dalam menangkap setiap perubahan-perubahan.

Nabi Selalu Memotivasi Supaya Muncul Pemikiran Inovatif & Kreatif
Guna memperoleh data yang lengkap bagaimana Nabi saw di dalam memotivasi sahabatnya, sehingga muncul pemikiran yang inovatif & kreatif. Alangkah bagusnya alfaqîr kutipkan riwayat dalam sirah nabawi, di saat Nabi saw melakukan persiapan di dalam Perang Badar (Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, ar-Rahîqum Makhtûm, Bahtsun fis Siratin Nabawiah ‘ala Shahibiha Afdhalish Shalati Was Salam, 1414H).
Rasulullah saw membawa pasukannya ke mata air Badr, agar dapat mendahului pasukan orang-orang Quraisy. Sehingga mereka bisa menghalangi orang-orang Quraisy untuk menguasai mata air itu. Maka, pada petang hari mereka sudah tiba di dekat mata air Badr.
Di sinilah Hubab bin Mundzir ra tampil layaknya seorang penasihat militer, seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau mengenai keputusan berhenti di tempat ini? Apakah ini tempat berhenti yang diturunkan Allah kepada engkau? Jika begitu keadaannya, maka tidak ada pilihan lain bagi kami untuk maju atau mundur dari tempat ini. Ataukah ini sekadar pendapat, siasat, dan taktik perang?”
Nabi saw menjawab, “Ini adalah pendapatku, siasat, dan taktik perang.”
Hubab berkata, “Wahai Rasulullah, menurutku tidak tepat jika kita berhenti di sini. Pindahkanlah orang-orang ke tempat yang lebih dekat lagi dengan mata air daripada mereka (pasukan Quraisy, red). Kita berhenti di tempat itu dan kita timbun kolam-kolam di belakang mereka. Lalu, kita buat kolam yang kita isi air hingga penuh. Setelah kita berperang menghadapi mereka. Kita bisa minum dan mereka tidak bisa.”
Nabi saw bersabda, “Kamu telah menyampaikan pendapat yang jitu.”
Maka, Rasulullah saw memindahkan pasukannya, sehingga jarak mereka dengan mata air lebih dekat daripada pihak pasukan Quraisy. Separoh malam mereka berada di tempat itu, lalu mereka membuat sebuah kolam air dan menimbun kolam-kolam yang lain.
Dari nukilan peristiwa sirah tersebut di atas, jelaslah bahwa Rasulullah saw sosok pemimpin yang memiliki kepribadian yang senantiasa mendorong terciptanya pengembangan inovasi dan berpikir kreatif. Dan, beliau bukan pribadi yang tiran, di mana untuk selalu memaksakan kehendaknya. Terbukti, Nabi saw menerima saran strategi militer dari seorang prajurit semisal sahabat Hubab.
Tidak hanya dalam satu kasus tersebut di atas, Nabi saw melakukan tindakan be motivated terhadap para sahabatnya. Masih dalam peristiwa sirah di ‘ainul badr. Tatkala pasukan kaum muslimin sudah berhenti di tempat yang dimaksudkan, dekat dengan mata air, maka sahabat Sa’d bin Mu’adz ra mengusulkan kepada Nabi saw, bagaimana jika orang-orang muslim membuat tempat khusus bagi beliau untuk memberikan komando, sekaligus sebagai antisipasi adanya serangan yang mendadak serta kemungkinan jika mereka terdesak dan sebelum memastikan kemenangan.
Sahabat Sa’d berkata, “Wahai nabiullah, bagaimana jika kami membuat sebuah tenda bagi engkau dan kami siapkan kendaraan di sisi engkau, kemudian biarlah kami yang menghadapi musuh? Jika Allah memberikan kemenangan kepada kita atas musuh, maka memang itulah yang kami sukai. Tapi, jika hasilnya lain, maka engkau bisa langsung duduk di atas kendaraan, lalu bisa menyusul orang-orang di belakang kami. Di sana masih ada beberapa orang yang tidak ikut bergabung dengan kami. Wahai nabiullah, mereka jauh lebih mencintai engkau daripada cinta kami kepada engkau. Jika mereka menganggap bahwa engkau harus menghadapi perang, tentu mereka tidak akan mangkir dari sisi engkau. Allah pasti membela engkau bersama mereka, memberikan nasihat kepada engkau dan berjihad bersama engkau.”
Maka, Rasulullah saw memohon dan mendoakan kebaikan sahabat Sa’d. Lalu, pasukan kaum muslimin membuat sebuah tenda di tempat yang tinggi, tepatnya di sebelah timur laut dari medan perang…(Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, 1414H).
Dari peristiwa sirah kedua yang alfaqîr paparkan di atas, juga menunjukkan bahwa Rasulullah saw memahami usulan baik dari sahabat Sa’d. Sehingga dengan reaksi spontan beliau mendoakannya, dan membiarkan pasukan di bawah komandonya Sa’d membuat tenda sebagaimana yang diusulkan oleh sang komandan.
Dalam Perang Khandaq, Rasulullah saw pun juga menerima usulan strategis yang disampaikan oleh sahabat Salman al-Farisi ra. Di mana informasi yang sampai kepada Rasulullah saw, bahwa dalam waktu yang relatif sudah dekat Kota Madinah akan diserang dari berbagai penjuru oleh kaum kafir Quraisy dan orang-orang Yahudi yang membelot, dengan berkekuatan 10 ribu pasukan.
Nabi saw segera menyelenggarakan majelis tertinggi permusyawaratan, untuk merencanakan pertahanan atas Kota Madinah. Setelah diskusi dan terjadi dialog yang melelahkan, akhirnya disepakati oleh majelis untuk menggunakan usulan sahabat Salman al-Farisi ra.
Dikatakan oleh sahabat Salman, “Wahai Rasulullah, dulu jika kami orang-orang Parsi sedang dikepung musuh, maka kami membuat parit di sekitar kami.”
Apa yang menjadi usulan Salman, sebelumnya tidak pernah dikenal oleh bangsa Arab dalam berperang. Namun Rasulullah saw segera mem-follow up-i usulan yang sangat bijaksana tersebut. Di mana setiap sepuluh kaum muslimin diharuskan menggali parit sepanjang 40 hasta (Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, 1414H).
Hasilnya sungguh luar biasa, pasukan kaum muslimin yang berjumlah 3.000 orang dapat mengalahkan pasukan kualisi kafir Quraisy yang berjumlah 10.000 orang.
Melalui ketiga usulan dalam peristiwa sirah yang alfaqîr terangkan di atas, kini kita menjadi lebih tahu bahwa sebenarnya Nabi saw senantiasa memotivasi para sahabat dan kaum muslimin, agar mereka melakukan pemikiran-pemikiran yang inovatif dan kreatif, membuka peluang yang lebar untuk merealisasikannya, dan mengadopsinya tanpa memandang siapa yang mengajukan usulan atau gagasan tersebut; baik yang datangnya dari tokoh masyarakat maupun dari kalangan masyarakat yang tidak populer.
Dari peristiwa sirah tersebut di atas, semakin jelas bahwa Nabi saw tidak memangkas atau memasung kreatifitas dan daya inovasi dari sebuah pemikiran yang dilontarkan manusia biasa non nubuwah, dengan bingkai kenubuwahan beliau sebagai sosok pribadi yang maksum, yang tidak tersentuh oleh kesalahan sedikit pun.
Dalam peristiwa di atas Rasulullah saw benar-benar menjunjung tinggi kaidah umum Islam, yang menegaskan bahwa hendaknya setiap muslim tidak mengabaikan akalnya yang merdeka dan pemikirannya yang jeli, baik dalam perilaku maupun dalam semua urusan dan kondisinya.
Syariat Islam sama sekali tidak suka bila kaum muslimin mengikuti dan mengekor bangsa lain tanpa dilandasi kepahaman. Pada saat yang sama, syariat Islam merasa senang bila mereka menghimpun segenap sisi kebaikan dan semua prinsip yang mendatangkan manfaat, di mana pun hal itu ada dan ditemukan.

Nabi Biasa Merekrut Pribadi-Pribadi Unggul
Adalah Rasulullah saw sosok pribadi unggul yang senantiasa mendorong tumbuh berkembangnya para bibit unggul, khususnya di kalangan sahabat beliau. Bahkan dalam menejemen pemberdayaan, beliau memiliki cara tersendiri di dalam merekrut para bibit unggul guna memperkuat sistem menejerial dakwah Islam di kala itu. Dikarenakan, beliau sadar bahwa pribadi-pribadi yang unggul juga merupakan salah satu faktor penentu di dalam keberhasilan dakwah Islam.
Secara teknis Nabi saw memiliki dua cara di dalam merekrut bibit unggul:
a. Mencari orang yang berbakat
b. Berdoa kepada Allah azza wa jalla.
Pertama, Mencari orang yang berbakat.
Diriwayatkan setelah penaklukan Kota Makkah (fathul Makkah), Rasulullah saw memerintahkan sahabat Bilal bin Abi Rabbah ra untuk mengumandangkan adzan di atas Ka’bah. Maka, dengan segera sahabat Bilal memenuhi perintah Rasulullah saw tersebut, dan itulah adzan pertama kali yang dikumandangkan oleh Bilal di Makkah. Di saat Bilal mengumandangkan adzan, banyak dari orang-orang Quraisy yang kaget campur bingung, bahkan tidak sedikit yang mengejek dan membenci adzannya sahabat Bilal.
Tak terkecuali dengan seorang pemuda belia, yang saat itu umurnya baru 16 tahun, yaitu Abu Mahdzurah al-Jumahi Salamah bin Mayar; di mana Mahdzurah memiliki suara yang paling bagus di antara mereka, setelah terdengar semakin lantang dan keras di dalam menirukan adzannya Bilal dengan nada adzan yang mengejek. Maka, serta merta Rasulullah saw memerintahkannya agar perbuatan pemuda itu dihentikan dan membawanya untuk menghadap kepada beliau.
Mendengar dipanggil oleh Rasulullah saw, Mahdzurah sontak menjadi kaget campur takut, jangan-jangan nanti dibunuh oleh Nabi saw. Ternyata apa yang diasumsikannya, bahwa dia pasti akan dibunuh menjadi salah, sebab setelah Mahdzurah berada di hadapan Nabi saw, beliau mengusap keningnya dan dadanya dengan tangan beliau.
Setelah kejadian tersebut Abu Mahdzurah berkomentar, “Mata hatiku pun penuh dengan keimanan dan keyakinan, serta aku tahu bahwa beliau adalah Rasulullah. Setelah itu, Rasul saw mendektekan dan mengajarkan adzan kepadaku, serta memerintahkanku agar menjadi muadzin penduduk Makkah, padahal usiaku pada waktu itu baru 16 tahun.” (Kitâb Fikih Sirah, yang ditulis Dr.Muhammad Said Ramadhan al-Buthi).
Berdasarkan peristiwa sirah tersebut di atas, maka dapatlah kiranya pengenalan atas pribadi berbakat menjadi acuan pemberdayaan di dalam melakukan rekrutmen para bibit unggul. Supaya tidak terjadi salah pilih di dalam melakukan pengaderan dan pengembangan pemberdayaan.
Kedua, Berdoa kepada Allah azza wa jalla.
Dalam riwayat yang masyhur, Nabi saw pernah berdoa kepada Allah azza wa jalla supaya dua Umar, maksudnya: Amr bin Hisyam dan Umar bin Khaththab menjadi kekuatan dinul Islam.
Pandangan Rasulullah saw sangat logis, dikarenakan kedua orang tersebut sangat berpengaruh di Makkah, khususnya di masyarakat Quraisy pada waktu itu. Dan, ternyata oleh Allah swt, Umar bin Khaththab-lah yang dipilih-Nya untuk memperkuat barisan dakwah kaum muslimin.
Dengan memeluknya Umar bin Khaththab menjadi muslim, maka muncul semangat baru di kalangan kaum muslimin (esprit de corp). Di sisi yang lain, masyarakat Quraisy menjadi tidak berani main-main dan menyepelekan kaum muslimin, utamanya Rasulullah saw; sebab Nabi saw dengan kaum muslimin keberadaannya menjadi diperhitungkan.
Dalam sirah yang kedua tersebut di atas, Rasulullah saw menggunakan pendekatan berdoa di dalam melakukan rekrutmen sumber daya unggul guna memperkuat barisan kaum muslimin.
Oleh karena dikatakan seorang bijak, “Yang melindungi orang-orang yang unggul adalah orang yang unggul. Sebab, tidak tahu keunggulan seseorang, jika tidak sesama orang-orang unggul. Maka, untuk mencari orang unggul perhatikan dengan seksama siapa saja yang berada di sekelilingnya, dan kepada siapa dia merujukkan segenap persoalan di dalam kehidupannya.”
Diriwayatkan dalam sebuah sabdanya, Nabi saw berkata,

“Jauhilah teman yang buruk. Sesungguhnya kamu akan dikenal dengan (keburukan)-nya” (Hr.Ibnu Asakir).


Nabi Mendorong Lahirnya Sebuah Ijtihad
Ijtihad adalah “ruang gerak” intelektualitas, intuisionalitas, dan relijiusitas seorang muslim di dalam berusaha mengerti, memahami, melengkapi, dan mengamalkan praktek keberagamaannya. Sementara ruh ijtihad adalah inovasi, kreatifitas, dan apresiasi. Mengenai hal ini dinul Islam sangat mendorongnya, seperti telah diteladankan Nabi saw, di mana beliau senantiasa memotivasi lahirnya ijtihad tersebut. Suatu misal, terdapat di dalam dua riwayat sirah yang masyhur mengenai “hadis Mu’adz bin Jabal” dan “hadis tayamum Amru bin Ash”.
Pertama, Mengenai “hadis Mu’adz bin Jabal”.
Di saat Nabi saw hendak mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau bertanya, “Dengan apa kamu akan memutuskan?”
Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan dengan Kitabullah.”
Nabi saw bertanya, “Jika kamu tidak menemukannya?”
Mu’adz menjawab, “(Aku putuskan) dengan sunnah Rasulullah.”
Nabi saw bertanya, “Jika kamu tidak menemukannya?”
Mu’adz menjawab, “Aku berijtihad menggunakan pendapatku.” Lalu, Nabi pun menepuk dada Mu’adz, seraya bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah dan membimbingnya kepada apa yang diridlai oleh Allah azza wa jalla.”
Hadis Mu’adz tersebut di atas memberikan pendidikan kepada kaum muslimin, bahwa seorang Rasulullah yang maksum telah mampu memberikan dorongan kecerdasan berpikir, sehingga mendorong sahabatnya untuk berpikir kreatif dan melakukan tindakan inovatif, dengan cara “menepuk dadanya” dan ucapan beliau, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah….”
Kedua, Mengenai “hadis tayamum Amru bin Ash”.
Diriwayatkan saat sahabat Amru bin Ash ra diutus Perang Dzatus Salasil, ia berkata, “Aku bermimpi junub pada malam yang sangat dingin. Aku khawatir jika mandi aku akan mati, maka aku bertayamum. Lalu melaksanakan shalat subuh bersama teman-temanku.”
Ketika kami datang menghadap Rasulullah saw, mereka menceritakan hal itu kepada beliau. Nabi bersabda, “Wahai Amr, kamu melaksanakan shalat bersama teman-temanmu, sedang kamu dalam keadaan junub?”
Aku menjawab, “Aku ingat firman Allah, ‘…dan, janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya, Allah Mahapenyayang kepadamu’ (Qs.an-nisâ`: 29). Karenanya aku bertayamum, lalu melaksanakan shalat.”
Rasulullah saw tertawa, dan tidak mengatakan apa pun (Hr.Ahmad, Abu Dawud, Hakim, Daruquthni, dan Ibnu Hibban).
Hadis Amru bin Ash tersebut di atas, memberikan pendidikan kepada kaum muslimin, bahwa tertawanya dan diamnya Rasulullah saw, sebagai bentuk ketetapan (taqririah) atas ijtihad sahabat Amru bin Ash ra, mengenai dibolehkannya tayamum pada cuaca yang sangat dingin.

Nabi Mendidik Dirinya Dengan Kepribadian Yang Matang
Dalam suatu riwayat diterangkan, bahwa Nabi saw sebelum diangkat menjadi rasul, berhari-hari beliau habiskan waktunya untuk berkhalwat (membangun kepribadian MAQ & EIn-Q, red) di Gua Hira; terutama jika datang Bulan Ramadlan. Yang dikerjakan beliau ketika di dalam gua, lebih memperbanyak kuantitas dan kualitas dzikrullah dan tafakur; semata ditujukan untuk meningkatkan ketaqaruban beliau kepada Allah jalla jalâluh.
Segenap apa yang dilakukan Nabi saw ketika berada di dalam gua, tidak lain adalah untuk mempersiapkan keunggulan kepribadian beliau sebagai seorang insan kamil, yang kemudian diangkat oleh-Nya sebagai salah seorang utusan-Nya. Jadi, capaian yang diperoleh Nabi saw selama berkhalwat di dalam gua, adalah melesatnya kepribadian beliau di puncak kreatifitas dan inovasi dengan mental yang tangguh yang dijiwai dengan hidupnya rûhul ilahiah.
Adapun secara khusus banyak hadis yang menerangkan keunggulan dan kematangan pribadi Nabi saw, antara lain:
1. Beliau saw pernah mengucapkan di salah satu doanya,

“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan, dan matikanlah aku selaku orang miskin” (Hr.Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim).

2. Diriwayatkan, pada suatu ketika Nabi saw datang ke rumah isteri beliau, A`isyah binti Abu Bakar ra. Ternyata di rumahnya tidak ada makanan. Keadaan seperti itu diterimanya dengan sabar. Lalu, beliau menahan laparnya dengan berpuasa” (Hr.Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasâ`i).
3. Diriwayatkan oleh Ibunda A`isyah ra, bahwa pada suatu malam Nabi saw mengerjakan shalat malam, di dalam shalat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaat shalatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya, namun beliau tetap terus melakukan shalat sampai azdannya Bilal bin Abi Rabbah terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi saw demikian tekun melakukan shalat, Ibunda A`isyah bertanya, “Wahai junjunganku, bukankah dosa engkau yang terdahulu dan yang akan datang telah diampuni Allah? Mengapa engkau masih banyak melakukan shalat?”
Nabi saw menjawab, “Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur” (Hr.Bukhari & Muslim).
4. Diriwayatkan sahabat Ali bin Abi Thalib kw, ia berkata,

“Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, kita tidak pernah berlomba-lomba untuk melakukan suatu kebaikan, melainkan Abu Bakar selalu mendahului kita dalam melakukannya.”

5. Diceritakan oleh Ziyad, ia berkata, “Aku mendengar Mughirah ra berkata,

“Adalah Nabi saw mendirikan shalat sampai kedua kakinya lecet.”
Ketika ada yang mengatakan ini dan itu kepada beliau, beliau hanya menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?” (Hr.Bukhari, dari Mus’ir, dari Abu Nu’aim).

Jadi, sosok pribadi Nabi saw, atau sosok para sahabat beliau benar-benar mencerminkan pribadi yang matang, sehingga dengan mudah mampu melesatkan kreatiftas dan inovasinya.

Nabi Selalu Menciptakan Kondisi Be Motivated
Dalam rangka menumbuhkan kondisi yang memotivasi (be motivated) seseorang agar dapat bangkit dengan segala kreatifitas dan inovasinya. Rasulullah saw banyak memberikan penghargaan-penghargaan (reward), di antaranya:
1. Pemberian gelar pada nama sahabatnya.
Banyak dari sahabat beliau yang telah mendapatkan gelar atau julukan yang memotivasi dari beliau, misalnya: Abu Bakar ash-Shiddîq (pembenar); Umar bin Khaththab al-Faruq (pembeda yang hak dengan yang batil); Hamzah bin Abdul Muthalib Asadullâh (singa Allah); Abu Ubaidah Aminu Hadzihil Ummah (bendaharawan umat Islam); Khalid bin Walid Syaifullâh al-Maslul (pedang Allah yang terhunus); dan Zaid bin Haritsah Hubbu Rasulillâh (kesayangan Rasulullah).
2. Pemberian tanggung jawab.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra, ia berkata,

“Ketika akan pergi Perang Khaibar, Rasulullah saw bersabda, ‘Aku akan memberikan bendera ini kepada orang yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, yang Allah akan meletakkan kemenangan di tangannya’.”
Berkata sahabat Umar bin Khaththab ra, “Aku tidak pernah ingin memegang pimpinan kecuali pada saat itu, maka aku menunjukkan diri karena ingin dipanggil oleh Rasulullah saw.”
Mendadak Rasulullah saw memanggil sahabat Ali bin Abi Thalib kw, dan memberikan bendera itu kepadanya, sambil dipesan, “Berjalanlah! Dan, janganlah menoleh ke belakang sehingga Allah memenangkan kamu.”
Maka, berjalanlah Ali beberapa langkah, kemudian berhenti tetapi tidak menoleh sambil menjerit, “Ya Rasulullah, atas dasar apa aku memerangi orang?”
Nabi saw menjawab, “Perangilah mereka sehingga mengaku, bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan Muhammad, Rasulullah. Maka, apabila mereka telah mengakui demikian, berarti mereka telah terpelihara harta dan darah mereka, kecuali dengan haknya dan perhitungan mereka terserah kepada Allah ta’âlâ” (Hr.Muslim, Kitâb Riâdlush Shâlihîn).
3. Pemberian harapan yang nyata.
Diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khaththab ra, ia berkata,

“Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya segenap amal itu tergantung dari niatnya. Dan, sesungguhnya segala sesuatu itu diterima dikarenakan niatnya. Maka, barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan, barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya terhadap apa yang menjadi keinginannya’.” (Muttafaqun ‘alaih).

Dan, juga diterangkan dalam riwayat dari sahabat Anas bin Malik ra, Rasulullah saw bersabda dalam apa yang dikatakan dari firman-Nya,

“Jika seorang hamba mendekat kapada Ku sejengkal, maka aku mendekat kepadanya sehasta. Jika mendekat kepada Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Dan, jika datang kepada Ku berjalan, Aku datang kepadanya berjalan cepat” (Hr.Bukhari, hadis qudsi, Kitâb Riâdlush Shâlihîn).

4. Pemberian pengakuan.
Nabi saw pernah berkata kepada Ja’far ra, dikatakan dalam suatu riwayat, “Kamu sangat mirip denganku dalam sifat-sifat fisik dan akhlak.”
Demikian halnya, Nabi saw juga pernah berkata kepada Ustman bin Affan ra, “Tidak akan membahayakan Ustman apa yang dilakukannya setelah hari ini.”
Kepada sahabat Abu Dzar al-Ghifari ra, beliau berkata, “Selama tumbuhan masih rindang dan debu masih bertebaran, tidak akan ada ahli bahasa yang lebih jujur, dan lebih jitu perkataannya daripada Abu Dzar.”
Dari ketiga “pemberian” Rasulullah saw, maka lembaga pendidikan atau lembaga pengaderan akan mampu mengarahkan segenap potensi dan bakat yang dimilikinya. Sehingga pada suatu saat ia mencapai pada kesuksesan, dikarenakan ia memang memiliki perilaku percaya diri. (Baca buku alfaqîr yang berjudul "Filsafat Manusia: Upaya Memanusiakan Manusia", 2004, red).
Pemberian motivasi dan semangat, baik dalam bentuk: harapan, pengakuan, hadiah, atau spirit; hal itu sangatlah penting di dalam melakukan pengaderan atau proses pendidikan. Sebab, para kader atau murid akan terangsang untuk berpikir kreatif, inovatif, kritis, dan apresitif. Dan, pemimpin, ulama, pendidik, trainer, atau orang tua yang baik adalah mereka yang memahami karakter dan kepribadian atas mereka yang dipimpinnya, dididiknya, dilatihnya, dan anak-anaknya.

Nabi Mendorong Inovasi & Kreatifitas Dengan CC
Jika kaum muslimin mau mempelajari sirah nabawiah, niscaya mereka akan menemukan identitas, kepribadian, dan karakter mereka yang sebenarnya. Nabi saw di setiap kesempatan selalu mendorong dan memotivasi para sahabat khususnya, serta kaum muslimin pada umumnya, agar mereka menjadi kader-kader unggul di dalam menopang kesuksesan dakwah Islam. Beliau saw sangat memahami, terlebih berdasarkan pada pola pendidikan wahyu, bahwa kesuksesan suatu program atau rencana mesti didukung dengan beberapa elemen penting, seperti:
1. Kemampuan intelektual.
2. Kematangan emosi.
3. Kesucian hati (jiwa).
4. Kepribadian bagus.
5. Conditioning & Timing (CT).
6. Dukungan lingkungan.
Maka, berdasarkan keenam elemen tersebut di atas, Nabi saw mendesain para sahabatnya dan kaum muslimin awal, yang terimplementasikan pada pola pendidikan nabawi yang bercirikan:
a. Pengembangan kemampuan interpersonal skill, dalam rangka mempertebal keyakinan dan keimanan.
b. Pengembangan kemampuan social skill, dalam rangka memotivasi untuk tetap survival.
c. Pengembangan kemampuan intuitional skill, dalam rangka mendorong terjadinya percepatan keyakinan (Quantum Believing) guna melahirkan kader yang berkualitas dan berkemampuan muhaddats.
Sehingga bukan sesuatu yang asing bagi para sahabat beliau, bila di majelis-majelis di mana Nabi saw hadir, suasana menjadi beliau kembangkan dengan “curah gagasan”, seperti: tanya jawab, diskusi, dialog, dan brain storming.
Inilah habits yang dibangun oleh beliau, supaya para sahabatnya ikut merasakan manisnya iman dan indahnya dinul Islam. Karenanya, Nabi saw tidak pernah berusaha menyeragamkan para sahabatnya ke dalam bingkai “satu warna”, “satu keinginan”, dan “satu pemahaman”. Dikarenakan yang dikehendaki oleh syariatullah hanya "satu Tuhan" (Allâhu ahad), sedangkan di luar “Allâhu ahad”, adalah sebuah kenisbian.
Beberapa peristiwa sirah yang menunjukkan terjadinya curah gagasan antara Nabi saw dengan para sahabatnya:
1. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra, ia berkata,

“Bersabda Rasulullah saw, ‘Sedang-sedang sajalah kalian, dan tetapkanlah dalam beramal. Ketahuilah oleh kalian, bahwa tak seorang pun dapat selamat hanya karena bergantung dengan amalnya’.”
Sahabat bertanya, “Tidak juga engkau, ya Rasulullah?”
Nabi saw menjawab, “Tidak pula aku, kecuali jika Allah memberiku rahmat dan keutamaan-Nya” (Hr.Muslim).

2. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra, ia berkata,

“Rasulullah saw ditanya, ‘Siapakah manusia yang termulia?’”
Nabi saw menjawab, “Yang paling bertakwa.”
Berkata si penanya, “Bukan mengenai itu yang kami tanyakan?”
Menjawab Nabi saw, “Yusuf putera Nabiyullah Ya’qub, putera Nabiyullah Ishaq, putera Nabiyullah Ibrahim.”
Berkata lagi si penanya, “Bukan itu yang kami tanyakan?”
Bersabda Nabi saw, “Tentang turunan bangsa Arab yang kamu tanyakan? Yang baik di masa jahiliah dan baik dalam masa Islam, manakala mereka tafaqquh fid dîn” (Hr.Bukhari & Muslim).

3. Diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata,

“Bersabda Rasulullah saw, ‘Akan terjadi sepeninggalku nanti sifat monopoli (al-atsarah) dan problematika kemungkaran.”
Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pesan engkau kepada kami jika menghadapi hal itu?”
Nabi saw bersabda, “Kalian tunaikan kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah untuk mendapatkan hak kalian” (Hr.Bukhari & Muslim).


Eden Eklektisisme
Demi keberhasilan sebuah pengembangan dan pemberdayaan secara maksimal, manakala masing-masing anggota masyarakat sudah saling mengerti, saling memahami, saling menyadari, dan saling melengkapi; bahwa sudah saatnya kaum muslimin memasuki suatu “era saling memberi” (eden ekletisisme). Baik dalam hal: perekonomian, pemikiran, dan madzab.
Sehingga dalam waktu yang relatif cepat akan terbangun satu jaringan kekuatan perekonomian kaum muslimin. Problem sosial-relijius dan problem sosial-ekonomi adalah problem yang sama-sama pentingnya. Seperti telah dicontohkan dalam sirah, bahwa Rasulullah saw setelah hijrah ke Madinah, di samping beliau mendirikan masjid, beliau juga mendirikan pasar.
Simbol “masjid” dan “pasar”, identik dengan realitas “dunia” dan “akhirat”. Sementara dinul Islam mengajarkan, “Kejarlah akhirat kalian, tapi jangan kalian lupakan dunia kalian.” Itu sama halnya, “Makmurkan masjid kalian, tapi jangan lupakan pasar kalian.”
Demikianlah memahami Menejemen Nabawiah di dalam mendorong kreatifitas berpikir dan inovasi di kalangan sahabat beliau khususnya, dan kaum muslimin pada umumnya hingga Hari Kiamat.
Kata kunci kreatif dan inovasi adalah terbangunnya mentalitas yang tangguh lagi handal, seperti: percaya diri, jujur, ada kemampuan, ada kekuatan, tidak berputus asa, memiliki jiwa wirausaha, dan tidak futur. []

































MENDESAIN KREATIFITAS & INOVASI BERPIKIR PADA DIRI ANAK




Rasulullah saw, di dalam Kitâb Jam’ush Shaghîr, dalam suatu riwayat pernah bersabda, “al-Usrah madrasatul ulâ”; rumah adalah lembaga pendidikan yang pertama (utama). Marilah dipahami, bahwa sabda Nabi saw tersebut di atas adalah bentuk perhatian beliau yang begitu besar dan intens pada dunia pendidikan keluarga muslim.
Disebabkan secara teologis, dinul Islam mengajarkan, bahwa keluarga merupakan lembaga utama yang memiliki tugas pokok di dalam mendesain atau mempola anggotanya, dengan tetap berkarakterkan muslim-mukmin yang bercirikan solidnya kualitas tauhid.
Prinsip pemberdayaan anggota keluarga, sebagai bagian dari lembaga sosial di kehidupan masyarakat manusia, di dalam dinul Islam benar-benar sangat diperhatikan oleh syariat Islam. Terbukti, ada beberapa ajaran Islam yang termanifestasikan ke dalam bentuk etika sosial, yang kesemuanya itu adalah produk: akidah, syariah, akhlak, dan adab Islam. Misalnya saja, untuk membangun keluarga muslim, pintu masuknya adalah dengan lembaga pernikahan.
Juga di dalam mempersiapkan anak sebagai seorang kadernya Islam, maka hak awal di kehidupannya adalah menerima ajaran mentalitas dan perilaku tauhid, seperti terdapatnya lembaga talkin, yaitu didikan kalimat "Lâ ilâha illa-llâh” di saat bayi masih di dalam kandungan.
Ada pula habits tauhid, semisal diadzankan di telinga kanan dan diiqamahkan di telinga kiri bayi yang baru saja lahir ke alam dunia. Atau, dilembagakannya pula tradisi keilmuan, seperti mengajari anak baca-tulis-berhitung dan ulumul qur`an; ada pula tradisi sosial, seperti akikah, seperti melatih anak sedini mungkin agar gemar berderma; ada pula tradisi qurbah, seperti khitan --khususnya bagi anak lelaki-- hal itu sangat positif untuk membiasakan hidup bersih, sehat, dan bertanggung jawab; ada pula tradisi nubuwah, seperti mencintai keluarga Rasul saw (ahlil bait); dan masih banyak bentuk-bentuk tradisi yang positif-konstruktif di dalam dinul Islam, yang sangat bermanfaat guna mendesain kreatifitas & inovasi berpikir anak-anak kaum muslim-mukmin.
Yang pasti, dinul Islam dengan perangkatnya yang lengkap telah memfasilitasi kaum muslimin-mukmin untuk berdaya mulai di usia kandungan ibunya, dan itu kesempurnaan syariah Islam. Artinya, segenap in-put intuisional, seperti: akidah, syariah, akhlak, adab, ilmu, alam, akal, indera, dan wahyu; harus dilakukan process intuitional di kehidupan seorang hamba.
Dikarenakan di dalam process intuitional, seorang anak yang telah memiliki in-put intuisional akan benar-benar memiliki kepribadian yang matang lagi berkarakter, yang hal itu dapat dilihat dari kematangan: interpersonal skill, social skill, dan intuisional skill. Di mana kenyataan itu menjadi sangat penting keberadaannya dalam kehidupan seorang anak, sebab ia telah mempunyai: kualitas pembangunan sikap mental intuisional yang mantap; kualitas pembangunan perilaku tauhid yang mapan; dan terdapatnya pengejawantahan etika sosial di kehidupan keseharian anak tersebut.
Sehingga out-put intuisional yang dihasilkan adalah lahirnya manusia model insan kamil, yakni Rasulullah saw. Yang kemudian secara geneologis (al-musalsal) melahirkan sosok citra manusia holistik pasca Rasulullah saw sebagai seorang "manusia mulia" (human elyon), yang prototipe-nya pernah ada, seperti: sahabat Abu Bakar ra & sahabat Umar ra, sahabat Usman ra & sahabat Ali kw, sahabat Muhajirin-Anshar, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para salafush shalih. Mereka semua adalah para hamba Allah yang dianugerahi-Nya kualitas kepribadian yang mauhid, yaitu sosok pribadi yang “berkualitas bilangan satu”, atas sikap penerimaannya terhadap eksistensi Allah dan takdir-Nya, benar-benar telah menjadikan kepribadiannya tersebut memiliki “kekuatan digit satu”.
Mereka para "manusia mulia" tersebut merupakan bagian terpenting dalam perjalanan dakwah Islam di kehidupan kaum muslimin-mukmin yang nyata-nyata bertenagakan tauhid. Dengan kekuatan dan kemampuan lâ ilâha illa-llâh yang tak terbendung oleh siapa pun dan apa pun. Dengan kata lain, mereka telah memiki kekuatan yang tak terbatas (unlimited power) dengan daya dukung kekuatan utamanya adalah divine energy transmition (DET) dan revelation energy transmition (RET).
Bagi para orang tua, pendidik, ulama, dan trainner; mereka harus benar-benar memahami process intuitional sebagai kekuatan melompat dalam percepatan keyakinan (quantum believing), guna meredesain dan merekonstruksi manusia mulia menjadi bagian yang sangat penting dari ummat terbaik (khaira ummah) di muka bumi ini. Sehingga tugas mereka tidak lain adalah menyediakan platform-nya, agar dengan cepat anak-anak kaum muslimin-mukmin dapat segera bergerak dan melaju dengan cepat dan akurat. Dengan demikian mereka benar-benar mendorong terciptanya proses tazkiah & dzikrullah ke dalam lembaga sosial keberagamaan keislamaan, yang terus berkembang dan dinamis.

3 In 1 Dalam Mendidik Anak
Pembangunan sikap mental intuisional yang berpijak pada pengembangan interpersonal skill; Pembangunan perilaku tauhid yang berpijak pada pengembangan social skill; dan Pengejawantahan etika sosial yang berpijak pada intuitional skill, ketiganya harus dipadukan secara selaras dan serasi, hingga benar-benar menjadi satu kesatuan yang seimbang, yang tumbuh dan berkembang di dalam kepribadian anak.
Sudah barangtentu hal itu harus sejalan dengan masa-masa perkembangan usia anak-anak tersebut. Sebab, bukan merupakan proses pendidikan yang baik bila di dalam melakukan proses didik dan proses ajar terdapat: kekakuan, pemasungan kreatifitas, taklid, monoton, kasar, loyo, bengis, hipokrit, materialisme, nihilisme, apatisme, anomali, dan mendekte.
Sebaliknya, proses didik dan proses ajar hendaknya di desain dengan kekuatan: keteladanan, imajiner, berpikir berkait, curah gagasan, analisa data, hipotesa, perenungan, dan dilatih kepekaannya dalam membaca fenomena-fenomena, baik: alam, ayat, sosial, politik, budaya, informasi-komunikasi, militer, dan ekonomi. Dengan demikian anak-anak akan membiasakan dirinya untuk melakukan penjelajahan intelektual dan kerja keilmuan, baik secara mandiri maupun secara kolektif sosial.

Interpersonal Skill
Anak, sudah barangtentu sesuai dengan umurnya harus diajarkan dengan pendidikan yang sederhana dan tepat guna. Sehingga nantinya akan lahir sosok manusia yang berkepribadian matang.
Di dalam dinul Islam, kekuatan interpersonal skill seorang muslim-mukmin, adalah dapat diperoleh dengan terbentuknya kualitas tauhid yang benar. Karena hanya dengan bertauhid secara benar, maka seorang anak akan memiliki kualitas kepribadian yang matang kelak setelah ia menjadi manusia dewasa.
Coba perhatikan dalam sirah nabawi, mulai: saat di dalam kandungan telah ditinggal wafat ayahanda tercintanya; lahir sebagai bayi yang di usia balita ditinggal wafat ibunda tercintanya; hidup dengan ngenger dari satu keluarga ke keluarga lainnya; karena ikut orang maka beliau secara total hidupnya digunakan untuk dapat membantu meringankan beban tanggungan yang diikuti, seperti: menjadi penggembala dan karir dagang. Jika, kita mau memperhatikan di fase-fase ini Nabi saw benar-benar dihadapkan pada tantangan yang bersifat perseorang, yakni utamanya setelah Nabi saw memasuki usia remaja yang ummi dan pemuda ummi di saat beliau masih dikenal dengan nama Muhammad bin Abdullah.
Sedangkan secara manusiawi, beliau berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengatasi segenap tantangan tersebut. Dan, hal itu beliau wujudkan dengan sikap sering melakukan tahanut, tafakkur, dan tadabbur.
Tahanut artinya, beliau banyak menyendiri di tempat-tempat sunyi guna melakukan "kalkulasi kejiwaan", hingga pada puncaknya beliau benar-benar mampu mengelola jiwanya menjadi cerminan cahaya-Nya di muka bumi. Saksi sejarah tempat tahanut Nabi saw, adalah Gua Hira`.
Tafakkur artinya, beliau banyak melakukan ‘olah pikir’ di dalam memahami diri, lingkungan, orang lain, alam, budaya, dan segenap fenomena yang menarik buat ditafakkuri.
Tadabbur artinya, beliau berusaha memahamkan sekaligus memadukan secara simultan lagi sinergi antara akal intelektualitas dengan akal budi untuk menjadi kekuatan yang padu dan utuh. Sehingga setiap fenomena yang beliau berkenan mentadaburinya, lalu ditangkapnya sebagai motivasi nyata (motivation quotient) di dalam menerima kehadiran Allah azza wa jalla di dalam hati beliau.
Hasilnya, Nabi saw benar-benar memiliki kualitas tauhid yang sempurna. Sehingga masa muda beliau, benar-benar bermanfaat buat diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan kaumnya. Dan, hasil pola pendidikan Nabi saw, seperti: ngenger (ikut orang, red) dan angon (mengembala ternak, red) benar-benar telah menjadikan beliau sosok manusia paripurna (al-insânul kamîl) dengan kepribadian mandiri, ulet, matang, jujur, rendah hati, tahu diri, dan kuat sekali di dalam melakukan pengendalian diri.

Social Skill
Keberhasilan pola pendidikan ngenger & angon ala menejemen pendidikan nabawi, yang tampak pada kepribadian beliau yang mandiri, matang, ulet, jujur, rendah hati, tahu diri, dan pengendalian diri. Ternyata merupakan modal dasar di dalam mengembangkan social skill seseorang, tak terkecuali kepribadian Nabi saw.
Bedanya di fase ini Nabi saw telah diangkat menjadi rasulullah (bi’tsar rasûl). Ternyata ditetapkannya oleh Allah jalla jalâluh menjadi utusan-Nya, seolah telah membuka wacana baru dan front baru, bahkan seringkali Nabi saw harus menghadapinya secara fisikal.
Terjadinya penentangan, pemboikotan, pemblokadean, penyiksaan, pembunuhan dari kaum kafir Quraisy atas kaum muslimin awal; benar-benar telah menguji nyali dan keberanian Nabi saw di dalam menetapkan setiap kebijakan yang harus diambilnya (adversity quotient). Dan, kematangan interpersonal skill Nabi saw, juga merupakan salah satu penentu keberhasilan dakwah risalah islamiah beliau di Makkah.
Kematangan social skill Nabi saw di dalam menghadapi kekuatan sosial kaum kafir Makkah, ternyata dukungan terbesarnya datang dari kematangan interpersonal skill Nabi saw sewaktu anak-anak, remaja, dan pemuda. Dengan kata lain, keberhasilan Nabi saw di dalam melakukan dekonstruksi sosial, budaya, agama, dan ilmu pengetahuan atas penduduk Makkah. Karena ditunjang oleh kemampuan individual Nabi saw yang memang telah matang di saat mudanya (emotional quotient).
Di dalam sirah nabawi telah tercatat, bahwa Nabi saw beserta kaum muslimin pernah diembargo ekonomi. Ternyata Nabi saw dengan ketrampilan sosialnya (social skill) dapat mengatasinya, bahkan pihak kafir Makkah sempat putus asa.
Juga dicatat dalam sirah nabawi, di Makkah Nabi saw pada awalnya dipercaya sebagai tempat penitipan barang-barang berharga para penduduk Makkah. Bahkan, dari sifat amanah dan jujurnya beliau mendapat gelar dari penduduk Makkah, sebagai al-amîn (orang yang terpercaya dan jujur, red). Ternyata kematangan social skill Nabi saw telah mendorong lahirnya: sikap percaya diri (self confidence) dan perilaku jujur (honesty).

Intuitional Skill
Jika di dalam interpersonal skill, lahir anak-anak dengan kualitas kepribadian: Tahu Diri (asy-Syakur) & Pengendalian Diri (ash-Shabur). Maka, di dalam social skill, akan lahir anak-anak dengan kualitas kepribadian: Percaya Diri (self confidence) & Jujur (honesty). Sedangkan, di dalam intuitional skill, anak-anak akan memiliki kualitas kepribadian: Husnudlan bil-lâh & Muhlisîna lahud-dîn (senantiasa berpikiran positif dengan Allah dan selalu ikhlas di dalam melakukan pengabdian bersama dinul Islam).
Maka, ketiga rûhut tarbiah wa ta’limiah tersebut di atas harus dididikkan secara utuh, padu, berkelanjutan, dan terevaluasi kepada segenap anak-anak kaum muslimin; atau kepada para anak didik kaum muslimin mulai dari: kandungan, batita, balita, remaja, dan pemuda. Sehingga segenap in-put intuitional benar-benar mengalami process intuitional yang alamiah, dengan demikian out-put intuitional yang dihasilkannya pun benar-benar bibit unggul.
Laksana bermain sepak bola, maka fungsi pelatih adalah mengembangkan kemampuan individual para pemainnya supaya melesat berkembang, namun tetap disatukan ke dalam kerja team yang solid, dengan tetap menerima satu komando dari sang pelatih.
Oleh karena para guru, dosen, ustadz, kiai, ulama, orang tua, dan trainner hendaklah mendudukkan diri mereka sebagai seorang pelatih; sehingga mereka dapat melakukan menejemen pembinaan dengan tepat sasaran, efektif, dan berhasil guna.

Apa Itu Intuisi?
Intuisi adalah kemampuan seorang hamba di dalam menerima segenap eksistensi Allah azza wa jalla dan menerima segenap kehendak-Nya. Maka, bagi seorang muslim, intuisi yang dimilikinya harus terukur dengan neraca syariat. Dikarenakan nafas kehidupan seorang muslim-mukmin adalah wahyu, yaitu al-qur`an & al-mîzân.
Dengan demikian, bila manusia menurut kejadiannya dipahami sebagai human being, maka kekuatan intuisional seorang muslim adalah meliputi potensi-potensi: intelektual; emosional; dan spiritual.
Adapun mengenai potensi spiritual tidak pas bila dimaknai sebagai potensi keberagamaan, apalagi dimaknai sebagai potensi keislaman. Sebab, seorang yang atheis sekalipun ia tetap memiliki potensi spiritual sebagai anugerah dari-Nya. Namun potensi spiritual lebih cocok jika dimaknai sebagai kemampuan di dalam menemukan kekuatan-kekuatan non-material.

Didiklah Anak Dengan Kekuatan Mauhîd
Kunci kesuksesan hidup seorang hamba adalah, jika dia bahagia di dunia dan di akhirat, dan kelak dia dijauhkan dari neraka Jahannam. Sementara, tidak ada fasilitas yang paling tepat di dalam mencapai kebahagiaan tersebut melainkan terdapatnya kualitas tauhid yang benar. Dan, kualitas tauhid tidak akan pernah mencapai kebenaran manakala seorang hamba tersebut tidak memiliki kekuatan mauhid di kehidupan akal intelektualitasnya dan di kehidupan akal budi pekertinya.
Maka, adalah merupakan kewajiban dari setiap orang tua dan guru, meletakkan platform ketauhidan pada pendidikan anak-anaknya mulai di dalam kandungan, atau sedini mungkin bagi para guru.
Hanya dengan kekuatan mauhid, anak-anak kita akan menemukan bakatnya, dan hal itu sangat membantu bagi para orang tua dan para guru untuk mengembangkan proses pembakatan. Adapun pembakatan itu sendiri sangatlah berguna bagi seseorang di dalam mengembangkan survival kehidupannya di muka bumi.
Dan, hanya dengan daya survival yang berkekuatan mauhid, maka seorang anak akan terlatih menjadi anak-anak yang kreatif & inovatif. Kreatifitas dan inovasi akan menjadi lebih sempurna, bilamana si anak telah mampu menemukan kemampuan kreatifitasnya dan daya inovasinya secara mandiri dan berkelanjutan.

Kiat-Kiat Mengembangkan Kreatifitas & Inovasi Berpikir Pada Anak
1. Berilah anak-anak dengan fasilitas kehidupannya yang serba halal dan thayib.
2. Perbanyaklah dengan perilaku berketeladanan, terutama dalam hal kemandirian dan keislaman.
3. Didiklah dengan semangat peluk-cium, agar terbiasa husnudlan dengan siapa pun, terutama dengan Allah jalla jalâluh.
4. Tanamkan sikap tahu diri.
5. Tanamkan sikap pengendalian diri.
6. Tanamkan sikap percaya diri.
7. Tanamkan sikap jujur.
8. Tanamkan sikap husnudlan bil-lâh.
9. Tanamkan sikap muhlishûna lahud-dîn.
10. Buat kesepatakan dengan anak-anak kita, termasuk di dalam menetapkan hadiah & sanksi (reward & punishment).
11. Hargailah kekuatan imajiner anak-anak kita.
12. Berlakulah dengan lemah-lembut dan hindari praktek kekerasan, caci-maki, menghardik, memukul, dan mengancam.
13. Berilah arahan yang jelas lagi tegas.
14. Jadikanlah Rasulullah saw sebagai tokoh yang diidolakan.
15. Hargailah karya-karya anak-anak kita dengan memberikan apresiasi yang tinggi. Sehingga mereka ada semangat baru di dalam berkreasi dan berinovasi.
16. Sampaikan informasi, bahwa kesalahan, kekurangan, dan kenisbian itu sifat manusiawi yang pasti pernah terjadi pada diri setiap orang. Sehingga anak-anak kita tidak pesimis, sebaliknya mereka akan tetap optimis dengan usaha-usahanya yang telah dilakukannya secara mandiri.
17. Jangan membiasakan membanding-bandingkan antara anak yang satu dengan anak yang lain. Apalagi sampai membandingkannya dengan anak-anak orang lain. Sebab, di dalam mendidik anak yang harus dihindari adalah jangan membuat mental anak-anak tertekan atau down.
18. Biarkan berkembang anak-anak sesuai dengan usianya. Hindari pemaksaan dan memberikan muatan pemikiran yang berlebih-lebihan.
19. Dorong selalu agar diri anak dapat berubah dengan cepat. Tapi harus diterima segala keterbatasan dan kemampuan yang dimilikinya.
20. Apresiasilah keberhasilan mereka dalam bidang akhlak, etiket, ilmu pengetahuan, kegemarannya membaca, dan berpikir. Jika perlu sediakan hadiah-hadiah khusus, sehingga si anak terlecut terus untuk menjadi yang terbaik.
21. Hindari memuji dan memarahi anak di depan teman-temannya.
22. Arahkan anak untuk membiasakan berperilaku: murah senyum, rapi, wangi, dan tahu diri; semata sebagai pengejawantahan rasa syukur kepada Allah azza wa jalla.
23. Jika anak disekolahkan atau dishantrikan, carilah lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki ke-16 habits tersebut di atas.
24. Ajarilah si anak untuk suka berterus-terang dalam menyampaikan kebenaran-kebenaran, sekalipun harus mengkritik orang tuanya sendiri.
25. Doronglah mereka untuk menjadi anak-anak yang titen, tlaten, lan open.
26. Ajarilah mereka untuk suka berusaha, dan usahakan mereka tidak berada di lingkungan yang suka menggantungkan hidupnya dengan cara ‘menunggu’. Sebaliknya, dorong mereka untuk membiasakan ‘merebut’ dalam memperjuang kebenaran.
27. Doakan mereka dengan istiqamah dan perasaan be happy.

Nasihat Alfaqîr
Wahai saudaraku, setiap anak yang terlahirkan ke alam dunia dalam keadaan jenius. Hanya karena kebodohan orang tuanyalah, atau bisa jadi karena kebodohan para gurunyalah, anak-anak kita menjadi manusia biasa.
Jangan sekali-kali, sebagai orang tua mengukur keberhasilan anak dengan berlimpahnya materi, atau nyamannya kedudukan, atau hebatnya populeritas, atau kelancaran di dalam berusaha.
Tetapi, sebagai orang tua, kita harus bangga bila suatu saat anak-anak kita mampu meninggalkan yang syirik, subhat, makruh, dan haram. Banggalah, bila anak-anak dapat melaksanakan akidah, syariah, akhlak, dan adab Islam dengan baik dan benar.
Semoga kita, keluarga kita, dan generasi kita, senantiasa ditolong oleh-Nya di dalam memberdayakan segenap fasilitas yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita. []























MEMBEKALI BERPIKIR
KREATIF & INOVATIF DENGAN
MENGUASAI ILMU PENGETAHUAN




Adalah sahabat Mu’adz bin Jabal ra yang berpendapat, “Ilmu adalah imam, dan amal adalah pengikutnya.”
Yang kemudian, di jaman generasi tabi’ut tabi’in, sahabat Umar bin Abdul Azis ra, secara khusus menekankan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan diniah. Di mana ia mengatakan, “Barangsiapa berbuat tidak berdasarkan ilmu, maka yang merusak akan lebih banyak daripada yang memperbaiki.” Demikian diterangkan oleh Ibnu Abdulbaraj ra di dalam Kitâb Jami’ Bayânul Ilmi, jilid I, hal.33.
Sementara, ulama generasi salaf, seperti Imam Hasan al-Bashri ra, seperti dikutip oleh Syaikhul Islam Ibnul Qayyim al-Jauziah ra dalam bukunya Miftâh Dârus Sa’adah halaman 82, dia mengatakan, “Orang yang bekerja tidak berlandaskan ilmu, ibarat orang yang berjalan di lorong yang salah. Dan, orang yang bekerja tidak atas dasar ilmu akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Maka, tuntutlah ilmu yang tidak merusak ibadah, dan beribadahlah dengan tidak mengabaikan ilmu. Karena ada suatu kaum yang beribadah, namun meninggalkan ilmu. Mereka menghadapi umat Muhammad dengan menghunus pedang. Jikalau mereka menuntut ilmu, mereka tidak akan tersesat dalam perbuatan mereka.”
Mengomentari pendapat Imam Hasan al-Bashri ra tersebut di atas, Syaikh Yusuf Qardlawi (1999) mengatakan, “Yang dimaksud ‘suatu kaum’ tersebut adalah Khawarij yang melakukan kerusakan bukan karena kelalaian mereka dalam beribadah. Mereka berpuasa dan melaksanakan ajaran Allah. Sehingga disebutkan dalam sebuah hadis shahih, ‘Sebagian dari kalian akan merasa remeh shalatnya jika dibandingkan shalat mereka dan puasanya jika dibandingkan dengan puasa mereka. Kelemahan Khawarij adalah kelemahan dalam fikih, tidak mendalam dalam memahami al-qur`an. Jika mereka membaca al-qur`an, maka bacaannya tidak melampaui tenggorokan mereka, atau membaca namun tidak menggunakan akal pikiran, sehingga dapat menerangi dan memberikan petunjuk.”
Di dalam teologi Islam, ilmu adalah bukti keimanan. Mendahulukan menuntut dan menguasai ilmu pengetahuan adalah wajib. Karena hal itu akan mengantarkan seseorang yang berilmu kepada pencerahan amal shalih. Dan, hanya dengan ilmu pula: akal, hati, jiwa, dan ruh; insya Allah akan mengalami pencerahan eksistensi di dalam berkeimanan dan taslim kepada-Nya. Sebagaimana diterangkan-Nya,

“Dan, agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini, bahwa al-qur`an itulah yang benar dari Rabb-mu. Lalu mereka beriman dan kalbu mereka tunduk kepadanya. Dan, sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus;” wa li-ya’lamal ladzîna `ûtul ‘ilma anna-hul haqqu minr-Rabbika fayu`minû bi-hî fa-tukhbita la-hû qulûbu-hum, wa inna-llâha lahâdil ladzîna `amanû ilâ shirâthim mustaqîmin (Qs.al-Hajj: 54).

Dari ayat di atas dapat dipahami logika ayatnya, bahwa kerangka ilmu pengetahuan diniah, adalah ilmu-iman-tunduk (ikhbata). Di mana sifatnya saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya (eclecticism).
al-‘Ilmu, posisi kata “ilmu” dalam surat al-hajj ayat ke-54, adalah mendahului kata “iman”. Dan hal itu, diwujudkan-Nya dengan turunnya surat yang pertama adalah surat al-'alaq ayat ke 1-5,

“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mu yang Mahapemurah; yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya…..”

Pada ayat ini, manusia tak terkecuali kaum muslimin-mukmin, diseru untuk ‘membaca’ baik dari aspek teks dan konteks pembacaan atas segenap ayat-ayat Allah azza wa jalla. Dan hal itu, diulang dua kali, dengan menempatkan kata “iqra`” dalam kedudukan sebagai kata kerja perintah yang tidak membutuhkan obyek (fi’il amar sekaligus fi’il muta’addi). Baru Allah swt menyebutkan “kalam” pada kalimat berikutnya, yang berfungsi sebagai fasilitas keilmuan, yakni: menulis & mencatat guna melakukan recording atas suatu ilmu pengetahuan.
Sehingga dapat dipahami, bahwa kunci menguasai suatu ilmu, atau ilmu pengetahuan diniah adalah membaca & menulis (reading & writing).
al-Iman, dalam surat al-hajj ayat ke-54, adalah buah dari seorang yang berilmu. Disebabkan, ilmu dan iman yang bersifat eklektis akan membuahkan amal shalih yang shahih (benar). Dan, hanya dengan memiliki ilmu pengetahuan diniah, seseorang akan benar di dalam menempatkan niatnya dan menunaikan amal perbuatannya. Sebagaimana dijelaskan-Nya,

“Wahai orang yang berselimut, bangunlah. Lalu, berilah peringatan. Dan, agungkanlah Rabb-mu, bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa, janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan bersabarlah untuk (memenuhi perintah) Rabb-mu” (Qs.al-Mudatstsir: 1-7).

Memang ayat ini mengajak bicara (mukhaththab) kepada Nabi saw, akan tetapi makna yang terkandung di dalamnya adalah buat segenap umat beliau saw.
Ikhbata, oleh Allah azza wa jalla kata “ikhbata” yang berarti “merendahkan diri” (khusyu’) diposisikan pada urutan ketiga setelah kata “ilmu” dan “iman”.
Hal ini mengandung maksud, bahwa puncak keislaman seorang muslim dalam posisi keimanannya adalah berperilaku khusyu`. Artinya, seorang muslim yang menguasai ilmu pengetahuan diniah, dia akan kreatif dan inovatif dengan ilmu yang dimilikinya. Sehingga segenap amal perbuatan yang ditunaikannya menjadi benar, namun realitas tersebut tidak menjadikannya ‘tinggi hati’; sebaliknya ia semakin ‘rendah hati’.
Demikianlah tipologi manusia cerdas dan pandai, namun ia tetap arif dan bijaksana di dalam menjalani kehidupan kesehariannya. Dialah manusia yang disifati sebagai seorang yang alim (al-‘alim), sebagai pencerminan dari sifat Allah yang Mahamengetahui (al-‘âlimu).

Berbagai Cara Untuk Memperoleh Ilmu
Pada prinsipnya segenap ilmu adalah milik-Nya. Karena hanya Dia-lah yang memiliki sifat al-‘âlim, atau yang Mahamengetahui. Akan tetapi untuk memperoleh ilmu-Nya. Dia telah memberikan banyak jalan di dalam mempelajari dan memahami ayat-ayat-Nya. Secara garis besar ada empat model pendekatan guna memperoleh ilmu-Nya: Ta’allum; Tadabbur; Tafakkur; dan Ilham. Atau, bisa jadi oleh Allah azza wa jalla seorang hamba Allah dianugerahi-Nya memiliki keempat kemampuan tersebut.
1. Model Ta’allum.
Ini adalah model yang paling banyak dikenal dengan istilah belajar mengajar, yang lazim terjadi di negeri ini. Ada guru dan ada murid. Biasanya berbentuk klasikal, atau berada di ruang tertentu dengan segenap fasilitasnya. Tetapi dilihat dari peserta didiknya, hal itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Ta’allum lit-Tilmîd dan Ta’allum lith-Thâlib.
Ta’allum lit-Tilmîd adalah proses belajar mengajar yang mengandalkan peran guru sebagai pengajar dan pendidik. Sehingga guru dituntut untuk aktif, sementara murid hanya berperan secara pasif di dalam proses penggalian ilmu.
Dengan kata lain, murid hanya bersifat menerima pengarahan saja dari gurunya (tilmîd). Sekalipun, di Indonesia sudah diterapkan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), ternyata masih banyak menghadapi kendala, alias sistem CBSA tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Ujung-ujungnya para siswa kita tidak produktif di dalam berkarya, karena rendahnya daya kreatif dan inovatif. Disebabkan mereka terbiasa ‘menerima’ dari gurunya, sehingga mereka lebih memilih untuk ‘menerima’ saja daripada harus mencari dan menggali yang banyak tantangan dan resikonya. Inilah salah satu sebab, mengapa SDM bangsa ini rendah. Karena sejak awal pola pendidikan dengan habits kreatif dan inovatif tidak dibiasakan di dunia pendidikan kita, yang terendah; semisal: TK (Taman Kanak-Kanak); SD (Sekolah Dasar); SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama); dan SMU (Sekolah Menengah Umum).
Ta’allum lith-Thâlib adalah proses belajar mengajar yang mengandalkan pendayagunaan penelitian dan penalaran. Diharapkan mereka mampu melakukan penemuan-penemuan dan mencari sesuatu yang baru yang bermanfaat buat kehidupan (thâlib), sehingga mampu membawa kesejahteraan umat manusia.
Untuk konteks Indonesia ada penjenjangan tingkatan (strata) yang lazim dikenal dengan S-1; S-2; dan S-3. Tapi sayang untuk yang di strata satu, tampaknya idealisasi dari proses thâlib tidak berjalan. Dan, jika menghendaki proses thâlib berjalan guna mendapatkan ilmu yang sebenarnya, maka ia harus menempuh strata dua dan seterusnya. Jika tidak, maka lulusan strata satu hanya sama dengan “lulusan SMU plus”. Dikarenakan masih lemah dalam bidang penalaran (reasoning) dan penelitiaan (research and metodology).
Padahal semestinya seseorang yang telah menyelesaikan strata satu dengan proses thâlib, dengan kemampuan reasoning, research, and metodology. Maka, ia akan memahami dan menguasai epistimologi, axiologi, dan ontologi dari sebuah ilmu pengetahuan.
Dengan demikian seorang sarjana S-1, apalagi dia seorang muslim-mukmin, maka ia akan menjadi manusia unggul dengan habits ilmu pengetahuan diniah yang mapan yang dimilikinya. Sedangkan, dari habits itulah seseorang akan memiliki daya saing, daya juang, daya cipta, dan daya inovasi yang sangat hebat. Artinya, ia akan menjadi orang yang ulet di dalam menjaga survival-nya. Kemampuan inilah yang sementara waktu hilang dari para generasi muda Islam, hampir di belahan dunia Islam, tak terkecuali di negeri kita.
2. Model Tadabbur.
Adalah model mempelajari ilmu pengetahuan dengan melalui perenungan (tadabbur). Biasanya pendekatan yang digunakan adalah bersifat filosofis, dengan menjadikan penalaran (reasoning) dan logika sebagai alat bantu berpikirnya.
Model pendidikan dengan pola tadabbur dapat dicapai dengan sistem ta’allum dan atau autodidak (belajar mandiri).
Sedangkan tolok ukur sebagai sebuah ilmu pengetahuan, ia terukur dengan tiga pilar filsafat ilmu pengetahuan, yakni: epistemologi; axiologi; dan ontologi.
3. Model Tafakkur.
Adalah cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan jalan memfokuskan pemikiran terhadap suatu cabang keilmuan. Di dalam model tafakkur metode pendekatan yang digunakan adalah bersifat scientific, dengan menjadikan data empiris, baik deduksi maupun induksi sebagai dasar berpikirnya dalam rangka mengembangkan sebuah keilmuan yang berkategorikan ilmiah.
Sebagaimana di model tadabbur, maka di model tafakkur pun untuk mengukur kualifikasi keilmuannya tetap harus menggunakan tiga pilar filsafat ilmu pengetahuan, yakni: epistemologi; axiologi; dan ontologi.
4. Model Ilham.
Adalah salah satu cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan diniah. Tetapi model ilham agak berbeda dengan model-model sebelumnya. Dikarenakan keilmuan yang diperoleh oleh seseorang tersebut bersifat langsung dari Allah swt (laduni).
Karena sifatnya yang langsung dari-Nya, sudah barangtentu tidak setiap orang dari para hamba-Nya memiliki kemampuan tersebut. Mereka yang dianugerahi oleh Allah azza wa jalla kemampuan ilmu laduni, dapat digolongkan ke dalam empat kelompok, yaitu: a.)Para nabi dan para rasul; b.)Orang-orang shalih; c.)Orang-orang muttaqin; dan d.)Orang-orang yang hatinya bersih (zaki wa dzakir).

Suplemen Quantum Ilmu Pengetahuan Diniah
Guna mendapatkan kecerdasan yang melompat cepat dengan akurasi yang tinggi untuk memperoleh kebenaran dari sebuah ilmu pengetahuan. Di dalam ajaran Islam ada beberapa menu tambahan (suplemen), sehingga seseorang dapat ber-quantum di dalam memperoleh ilmu pengetahuan diniah tersebut.
Hal ini penting untuk diketahui dan dipelajari kaum muslimin-mukmin agar, khususnya para generasi muda muslim, pola kehidupan yang dibangunnya memiliki habits ilmu pengetahuan, yakni:
a. Terdapatnya penalaran (reasoning).
b. Logis.
c. Research & Metodology.
d. Berpikir Kereatif & Inovatif.
e. Biasa berbeda.
f. Responsif terhadap fenomena.
g. Membaca & Menulis (reading & writing).
Habits di atas menjadi sangat penting, manakala hal itu dijadikan fasilitas bantu di dalam menerjemahkan pesan agama dalam konteks kehidupan sosial yang beretika. Sebab, bila kita salah di dalam melakukan penerjemahan atas pesan agama. Maka, gairah dan ghirah ber-Islam menjadi mandeg (stagnasi). Dan, sudah barangtentu hal ini akan berakibat hilangnya daya survival di dalam merespon setiap fenomena kehidupan yang terus berkembang dan berubah dengan cepat.
Maka, jika ajaran Islam berada di persimpangan jalan, atau tidak mampu menjawab tantangan modernitas. Sebenarnya, bukan dinul Islam-nya yang salah. Tetapi, ada dua hal pokok yang harus dicermati:
Pertama, kaum musliminnya yang tidak responsif terhadap setiap terjadinya perubahan dan percepatan. Hal ini sebagai akibat, karena tidak memiliki habits ilmu pengetahuan diniah tersebut di atas.
Kedua, adanya kesalahan dari pihak Barat modern yang terlalu terburu-buru menilai Islam disamakan dengan Arab.
Dari realitas tersebut di atas sudah saatnya kaum muslimin-mukmin meng-quantum-kan dirinya, guna menjadi umat unggul dengan menguasai ilmu pengetahuan diniah, yakni melalui:
1. Tazkiah & dzikrullah.
2. Zuhud.
3. Khasyatullâh.
4. Library dan atau kumpul dengan orang alim.
5. Shalat sunnah li hifdzil qur`ân.
6. Tarbiatul hamli.
Dari keenam fasilitas quantum tersebut di atas, maka kemampuan otak manusia baik yang kanan maupun yang kiri dapat dilecut dengan tambahan-tambahan menu. Sehingga peran kedua otak tersebut menjadi optimal.
Dan, hal itu akan menjadi kekuatan dahsyat bila pemilik otak itu adalah seorang muslim-mukmin, sebab oleh Allah jalla jalâluh seorang muslim-mukmin dibekali dikehidupannya dengan: ilmu, akal, indera, kalbu, iman, dan wahyu.
Sebagaimana kita tahu, bahwa selama belajar dengan model ta’allum, otak yang banyak digunakan dan diasah adalah sebelah kanan. Adapun otak sebelah kiri lebih banyak didiamkan alias pasif.
Sedangkan dengan keenam fasilitas quantum tersebut, maka fungsi kedua otak, insya Allah akan lebih optimal. Seperti diketahui, otak kanan memiliki tiga kemampuan pokok: Intelejensi (IQ); Emosi (EQ); dan Spiritual (SQ). Dan, otak sebelah kiri juga mempunyai tiga kemampuan dasar, yakni: Insting (indera keenam); Musik (kemampuan apresiasi); dan Wirid (waridullah).

Adab Menuntut Ilmu
Seorang muslim dan muslimah wajib hukumnya menuntut ilmu pengetahuan. Bahkan, secara teologis tidak ada batasan waktu di dalam menuntut ilmu. Seperti dikatakan Nabi saw, “Mulai dari ayunan sampai liang lahat.”
Betapa pentingnya eksistensi ilmu pengetahuan diniah dalam kehidupan seorang muslim-mukmin. Maka, tidak dibenarkan jika ada seorang muslim-mukmin yang berpaling dari ilmu pengetahuan. Karena ilmu memiliki peran penting di dalam kehidupan keseharian seorang muslim, maka di dalam menuntut ilmu seorang muslim harus benar-benar memenuhi adabnya. Sehingga kelak ilmu yang dimilikinya dapat bermanfaat secara luas, baik di dunia maupun di akhirat kelak, insya Allah.
Adab-adab itu antara lain (baca juga dalam buku alfaqîr yang berjudul "Filsafat Manusia: Upaya Memanusiakan Manusia", 2004, red):
1. Niatnya harus benar.
2. Mencari ridla Allah swt.
3. Bekalnya harus halal.
4. Ada perasaan senang terhadap ilmu yang akan dan sedang dipelajarinya (be happy).
5. Berperilaku sabar (be patient).
6. Berlaku hati-hati (be careful).
7. Bersikap kreatif (be creative).
8. Belajar dari pengalaman (be experienced).
9. Mohon petunjuk dan bimbingan-Nya (istikharah).
10. Titipkan pada guru yang shalih-shalihah.
11. Carikan guru yang memiliki akhlak kasih-sayang.
12. Memiliki ghirah keilmuan (be motivated).
13. Menyampaikannya kepada orang lain.
14. Berlaku jujur.
15. Bertanya bila tidak paham.
16. Tuntutlah ilmu yang bermanfaat.
17. Berperilaku tawadlu’ (rendah hati).
18. Jangan pura-pura pintar.
19. Takutlah kepada Allah swt.
20. Jangan banyak bertanya.
21. Berperilaku zuhud.
22. Rendah hati terhadap para gurunya.
23. Mempelajari dan menguasai bahasa.
24. Mempelajari pokok-pokok tauhid lebih dahulu, lalu mempelajari fiqih.
25. Mempelajari dasar-dasar jalan menuju akhirat.
26. Memahami ilmu-ilmu pelengkap.
27. Menguasai reading & writing.
28. Berkehendak tafaqquh fid dîn.
29. Mengerti ilmu duniawiah.
30. Menghindari taklid.
31. Mengamalkan ilmunya.
32. Dilarang menyebarluaskan ilmu atau pemikiran yang sesat.
33. Membicarakan ilmu sebatas yang dikuasainya.
34. Mempermudah orang lain.
Demikianlah beberapa adab penting bagi seorang muslim di dalam menuntut ilmu, insya Allah ilmu yang dimiliki nantinya akan bermanfaat di dunia dan di akhirat. Sebab, banyak terjadi seseorang itu ketika sedang belajar --saat sekolah, atau kuliah, atau mondok-- pandainya luar biasa. Tetapi setelah akhir dewasa, ketika sama-sama terjun di masyarakat untuk mengamalkan ilmunya, tidak sedikit mereka yang bermanfaat di lingkungannya karena memenuhi beberapa adab dari ke-35 adab menuntut ilmu tersebut di atas.

Adab Terhadap Guru
Di dalam teologi Islam guru memiliki kedudukan yang sangat mulia. Karena ia adalah seorang hamba yang dikarunia menghantarkan seseorang untuk menguasai ilmu guna mengenal Rabb-nya. Seseorang yang memahami ilmunya shalat, ilmunya zakat, ilmunya haji, ilmunya puasa, ilmunya mempelajari al-qur`an, ilmunya mempelajari al-hadis; dan masih banyak yang lainnya, kesemuanya itu karena peran dan jasa para guru kita.
Karenanya, tidak ada adab yang pas buat mereka, kecuali kita benar-benar berperilaku, sebagai berikut:
1. Menghormatinya.
2. Mempelajari pendidikannya.
3. Mengikuti arahannya.
4. Meneladani akhlak bagusnya.
5. Merendahkan diri terhadapnya.
6. Tidak mengecewakan harapan kalbunya.
7. Bersabar terhadapnya.
8. Mengikuti pelajarannya dengan sopan.
9. Mendoakannya.
10. Harus mendapatkan ijinnya.
11. Bermajelis dalam keadaan bersih.
12. Selalu senang dengan gurunya.
13. Hindari memboroskan waktu.
14. Memperhatikan pembicaraannya.
15. Memanggilnya dengan hormat.
16. Mengamalkan ilmu dan fatwanya, tetapi tetap bersikap kritis tidak taklid.
17. Berlaku lemah-lembut lagi bersikap penuh kasih-sayang terhadapnya.
18. Ber-azzam dengan cepat untuk menguasai ilmu yang dimiliki gurunya (al-‘alim), sebagai bekal untuk menjadi seorang memahami sebuah ilmu pengetahuan (faqih).
19. Selalu bersandar kepada neraca syariat, bila menerima keilmuan dan sesuatu yang baru yang di dapat dari para gurunya.
20. Menjaga hubungan silaturahmi dengannya, keluarganya, dan keturunannya (jika kuasa).

Umat Islam Harus Menguasai Ilmu Pengetahuan Diniah
Mungkin dengan alfaqîr memunculkan istilah Ilmu Pengetahuan Diniah, banyak orang bertanya, atau mungkin juga malah tidak setuju. Tapi, sebagai wujud kepedulian seorang muslim yang hendak menampilkan "epistemologi baru" di dalam paradigma keislaman kekinian. Sudah saatnya untuk melakukan pembenahan terhadap istilah-istilah, yang mungkin, adakalanya juga tidak pas. Akan tetapi secara maknawi memiliki kandungan makna yang sepaham, tidak masalah; kita harus jalan terus.
Misalnya, di dalam konsep Islam, tidak ada istilah penyebutan “ilmu dunia” dan “ilmu akhirat”. Sebab, secara teologis ilmu itu cuma satu, yakni ilmunya Allah (‘ilmu-llâh). Dan, penyebutan itu sangat berbahaya, jika kaum muslimin tidak memahaminya. Karena diidentikkan, Barat modern sebagai pemilik “ilmu dunia”, sehingga ada anggapan itulah yang maju dan dapat menguasai dunia. Sementara, dunia Islam atau umat Islam itu pemilik “ilmu akhirat”, makanya tidak maju, hidup di gurun-gurun pasir, terbelakang, dan berada di kelompok dunia ketiga; yang identik dengan ‘budak’ Barat modern.
Sudah saatnya, kaum muslimin kembali kepada khazanahnya yang mulia lagi suci; yakni membangun peradaban umat manusia dengan epistemologi kerahmatan, dengan platform keilmuan dan kemanusiaan. Sehingga persemakmuran mardlâtillâh segera terwujud di bawah kepemimpinan progresif kaum muslimin yang berkarakter kreatif & inovatif.
Untuk mewujudkan proyek besar itu, tidak ada jalan yang tercepat, termurah, dan mudah dijalankan bagi kaum muslimin-mukmin. Kacuali dengan menciptakan habits ilmu pengetahuan diniah di rumah tangga kita masing-masing. Mulai sedini mungkin anak-anak dan generasi muda Islam harus terbiasa dengan habits tersebut. Tanpa habits itu, tidak mungkin kaum muslimin-mukmin dalam waktu cepat dapat menguasai ilmu pengetahuan diniah. Padahal penguasaan ilmu pengetahuan diniah merupakan prasyarat untuk menciptakan persemakmuran mardlâtillâh, yang progresif dengan naungan qur`an yang terimplementasi ke dalam wujud kerahmatan yang nyata.
Di sinilah, Islam sebagai ajaran, ad-dîn, way of life, ideologi, dan prinsip-prinsip kemanusiaan menjadi inspirasi besar (great inspiration) sebuah peradaban umat manusia yang berdinamika. Maka, fitrah sebagai agama sejati yang mampu membebaskan manusia dari segenap tiran, penindasan, feodalisme, dan imprealisme akan menjadi kenyataan. Dan, itulah yang ditakuti oleh kaum zionis yang berlindung di balik fatamorgana Barat modern.
Oleh sebab fenomenanya adalah kaum muslimin-mukmin jangan sampai memiliki kemampuan dan kemauan untuk menemukan fitrah keagamaan dan keberagamaannya. Dan, inilah grand desaign yang sedang diperjuangkan untuk kemudian dilembagakan secara internasional. Akibatnya, kebesaran Islam hanya sebatas buih yang berada di lautan. []































THE SIX HABITS MENG-QUANTUM-KAN BERPIKIR KREATIF & INOVATIF




Jika kaum muslimin-mukmin mau mencermati dan menggali khazanah ilmu pengetahuan diniah dan tradisi nubuwah. Maka, akan diketemukan the six habits pokok, yang insya Allah akan mampu me-mi’raj-kan (quantum) siapa saja yang memilikinya.
Tapi sayang, kaum muslimin telah kehilangan karakter dan mental percaya dirinya (self confidence). Sehingga mereka kerapkali terjebak dengan tipu muslihat epistemologi Barat modern, yang jauh dari esensi wahyu. Manakala kaum muslimin tidak hati-hati, alias latah dengan pola pikir Barat yang sengaja ditanamkan buat "orang-orang Timur". Maka, mereka tidak akan pernah tahu dengan potensi yang dimiliki oleh dirinya. Tragisnya, dengan penyakit Barat yang manular dan sekarang telah memasuki stadium menyerang syaraf kaum muslimin ini, membuat kaum muslimin “lupa diri”.
Artinya, akibat "benturan" yang keras, yang memang kaum muslimin tidak pernah siap untuk berbenturan terhadap Barat modern. Akibatnya membuat kaum muslimin kena penyakit insomia, yakni lupa ingatan dalam "satu jeda". Dan, untuk menyadarkannya kembali tidak ada jalan lain, kecuali kaum muslimin harus "dibenturkan" kembali supaya segar dan kembali ingatannya.
Sebab, jika kaum muslimin terlalu lama mengidap penyakit insomia. Jelas mereka akan kehilangan karakter dan jatidiri sebagai umat unggul. Dan, sesuatu yang sangat membahayakan manakala kaum muslimin telah kehilangan karakter dan jatidiri. Akibatnya, mereka akan dipermainkan oleh lawan-lawannya, yang setiap saat siap menerkamnya. Atau, minimal para musuh Islam dengan mudah mempermainkan kaum muslimin. Sehingga mereka menjadi bahan ejekan dan sasaran provokasi murahan, yang ujung-ujungnya adalah mem-vetacompli eksistensi kaum muslimin dengan segenap isu fiktif yang dihembuskan sebagai bahan perbincangan yang memalukan.

Quantum Itu Mi’raj
Terlepas setuju atau tidak. Artinya, semakna atau bahkan tidak nyrempet sama sekali, menurut alfaqîr, kata "mi’raj" dengan tanda kutiplah yang cocok dengan makna quantum, yang saat ini sedang populer. Atau, memang sengaja dipopulerkan oleh pihak-pihak tertentu?
Inti dari quantum adalah perubahan yang cepat, bahkan disertai dengan lompatan-lompatan yang seringkali sulit untuk diramalkan.
Pun pula dengan "mi’raj", ia adalah keterangan suatu kondisi di mana telah terjadi “perjalanan yang cepat” yang disertai dengan perubahan-perubahan yang sangat singkat. Dan, inilah khazanah sains di dalam Islam yang harus terus digali guna diambil manfaatnya. Sehingga kaum muslimin dapat merasakan "nikmatnya beragama" --khususnya merasa bahagia sebagai seorang muslim yang unggul dan menjadi kaum yang terbaik di muka bumi ini (khaira ummah).
Bila, seorang intelektual muslim sekelas Sayyid Husein Nasr pernah mengatakan, “Bahwa dunia Islam telah tertinggal 100 tahun dari Barat.”
Maka, apakah kita secara otomatis menjadi pesimis dengan pernyataan tersebut. Tentu jawabannya, adalah tidak. Sebab, hakikat kehidupan di alam dunia ini sedetik dapat berubah. Dan, perubahan itu bisa jadi dengan sangat cepat dan sulit diramalkan sebelumnya. Itulah percepatan. Laksana terbangnya seekor buraq, yang pernah ditunggangi oleh Rasulullah saw dalam peristiwa isra` wal mi’raj. Dengan cukup semalam, Nabi saw dapat melakukan percepatan perjalanan dari Masjidil Haram-Masjidil Aqsha-Sidratul Muntahâ; dengan pergi-pulang dalam sebagian malam.
Demikian rahasia-rahasia ilmu pengetahuan dan sains yang belum terungkap. Akan tetapi suatu waktu dengan percepatan penguasaan ilmu pengetahuan diniah, dan lompatan berpikir di kalangan kaum muslimin-mukmin. Tidak mustahil, yang sekarang masih dinyatakan sebagai rahasia ilmu pengetahuan atau rahasia alam, suatu saat akan menjadi hal yang biasa buat kehidupan umat manusia.
Dulu, seorang futurolog muslim Jawa, yang bernama Ki Ronggowarsito pernah memberikan pernyataan futurologis-nya, “Bahwa besok Kerajaan Blambangan di Banyuwangi dapat dilihat dari Kerajaan Jenggala Manik di Kediri.”
Atau, juga pernyataannya mengenai, “Suatu masa di mana, ada batu hitam yang terapung. Dan, kapas yang tenggelam.”
Ternyata, apa yang pernah diramalkan oleh Ki Ronggowarsito telah menjadi kenyataan semua. Sebenarnya, Ki Ronggowarsito tidak pernah meramalkan mengenai kejadian-kejadian yang bakal terjadi. Dia hanya mengungkapkan dari apa yang pernah dipelajarinya berdasarkan ilmu yang dimilikinya.
Demikianlah bila kekuatan dan kemampuan otak kanan dan otak kiri seorang manusia bersatu dan dihidupkan, maka dia akan mampu melakukan percepatan-percepatan dan lompatan-lompatan. Itu sama halnya yang pernah terjadi pada diri para nabi, para rasul, para sahabat, dan para waliullah; khususnya Rasulullah saw.

The Six Habits
Guna melakukan percepatan dan lompatan-lompatan, khususnya di dalam berkarya, berpikir, berilmu, dan berpengetahuan. Sehingga kaum muslimin dalam waktu yang sangat cepat dapat melakukan peningkatan pemberdayaan atas kreatifitasnya dan inovasinya. Adalah sangat penting untuk dimiliki kaum muslimin dengan segera, dan secepatnya harus disosialisasikan serta selalu dikomunikasikan kepada jamaah kaum muslimin di republik ini, yang konon merupakan "penikmat" sekaligus "tumbal" dari setiap terjadinya perubahan di negeri ini; yakni “keenam khazanah ‘mi’raj’” (the six quantum).
Yang mana dari the six quantum tersebut, kaum muslimin dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dengan cepat kaum muslimin dapat menguasai ilmu pengetahuan diniah, sains, teknologi, dan memiliki SDM yang unggul. Keenam khazanah ‘mi’raj’ itu adalah:
1. Habits Tazkiah & Dzikrullâh.
Adalah tazkiah & dzikrullâh sebagai salah satu metode ‘mij’raj’ kaum muslimin-mukmin di dalam mengembangkan pemberdayaan mereka. Sebab, dengan hati yang telah dibersihkan (tazkiah) dan selalu dihidupkan dengan asma-Nya (dzikrullâh), akan mampu melakukan kerja besar yang berupa percepatan dan lompatan pemikiran, keilmuan, dan bisa jadi penemuan atau perakitan.
Para nabi dan para rasul, para waliyullah dan para ulama Allah; rata-rata dari mereka telah mampu menghidupkan secara harmonis antara otak kiri dengan otak kanannya. Sehingga segenap apa yang dilakukan dan dipikirkannya senantiasa berbuah kemanfaatan dalam ruang lingkup waktu, yang kadangkala jauh lebih cepat mendahului umur di mana mereka hidup. Bahkan, yang seringkali terjadi, sang pemikir atau sang pemrakarsa atau sang penemunya tidak ikut menikmati hasil kerja intelektualnya tersebut.
Hanya hati yang dihidupkan dengan tazkiah & dzikrullâh, niscaya Allah azza wa jalla akan memberikan hidayah yang berupa ilmu-Nya. Sebab, dikejadian ruh kemanusiaan kita terdapat ruh ke-Tuhan-an, bahkan secara khusus di dalam kalbu seorang muslim dibekali oleh-Nya dengan "penjaga kalbu" (wâridullâh). Sebagaimana difirmankan-Nya,

“…Dan, barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan, Allah Mahamengetahui segala sesuatu” (Qs.at-Taghâbun: 11).

“Yahdî qalbahu” bila dihubungkan dengan asma-Nya, “’alî mun” dalam ayat tersebut di atas. Maka, hanya dengan bekal tazkiah & dzikrullâh seorang muslim akan mendapatkan kekuatan imannya yang murni dan CC (commitment & consistent). Sehingga dengan mudah, secara teleogis Allah jalla jalâluh akan menjadikan kalbu hamba-Nya tersebut kaya dan cepat menerima ilmu pengetahuan yang langsung dari-Nya.
Oleh karenanya, merupakan tugas keilmuan bagi para orang tua, guru, ustadz, khatib, kiai, ulama, trainer, dan wartawan muslim untuk selalu mengampayekan dan mengekspos “habits tazkiah & dzikrullâh” di setiap kesempatan. Sehingga di kehidupan keseharian kaum muslimin senantiasa dihidupkan dengan habits tazkiah & dzikrullâh.
2. Habits Zuhud.
Adalah “habits zuhud” harus dijadikan habits keluarga muslim, khususnya di kalangan remajanya. Sehingga para remaja muslim tidak dijadikan sasaran operasional para bandar narkoba; atau, gerakan-gerakan sempalan yang seringkali mengatasnamakan Islam, padahal yang sebenarnya terjadi adalah pemanfaatan secara sepihak atas para pemuda Islam, sebagai “agen kekerasan” mereka para musuh Islam.
Jika matrix sosial yang dibangun oleh Rasulullah saw, bahwa pemuda yang masuk surga adalah pemuda yang CC di dalam taubatnya. Maka, sudah dapat dipastikan, jika seorang remaja atau pemuda memiliki kemampuan dan kemauan taubat; insya Allah mereka jauh lebih mudah diarahkan untuk manjadi seorang pemuda yang zâhid (mengerjakan zuhud).
Artinya, kelak setelah mengamalkan ilmunya mereka benar-benar dapat mengamalkan perilaku zuhud-nya. Sementara, di dalam dinul Islam diajarkan bahwa seorang hamba yang berperilaku zuhud akan diberi ilmu oleh Allah “secara langsung”. Seperti telah disabdakan Nabi saw,

“Barangsiapa ber-zuhud terhadap perkara duniawi, niscaya Allah akan: (1).Mengajarkan ilmu kepadanya tanpa belajar; (2).Memberinya petunjuk tanpa pembimbing; (3).Menjadikannya sebagai orang yang tajam pandangan hatinya; dan (4).Membukakan kasyaf hatinya dari kegelapan;” man zahada fid-dunyâ ‘allamahu-llâhu bi lâ ta’allumin, wa hadâ-hu bi lâ hidâyatin, wa ja’ala-hu bashîran, wa kasyafa ‘anhul ‘amâ (Hr.Abu Na’im, dari Ali bin Abi Thalib kw).

Oleh karenanya, berlaku zuhud-lah manakala ilmunya kepingin berkah dan mendapatkan ladduni-Nya. Ingat, yang dikehendaki-Nya bukan kepandaiannya, akan tetapi ketakwaannya.
3. Habits Khasyatullâh.
Habits khasyatullâh merupakan salah satu metode ‘mi’raj’. Di mana seorang hamba Allah harus benar-benar takut kepada-Nya. Bukan seperti ketakutannya terhadap singa atau hewan buas yang lainnya.
Ambil saja contoh dari khasyatullâh para nabi dan para rasul, serta para sahabat nabi dan para waliyullah.
Nabi Dawud as mendengar asma Allah azza wa jalla dibacakan di sampingnya, seketika itu juga beliau pingsan. Atau, sahabat Ali bin Abi Thalib kw, setiap kali mu’adzin mengumandangkan adzan-nya, maka ia mengalami ketakutan yang luar biasa.
Siapa yang tidak kenal dengan Nabi Dawud as dan sahabat Ali bin Abi Thalib kw. Keduanya merupakan sama-sama orang-orang jenius yang pernah dimiliki oleh sejarah peradaban umat manusia.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Sahal ra, bahwa Nabi saw pernah bersabda,

“Pokok hikmah (ilmu pengetahuan) adalah takut kepada Allah azza wa jalla;” ra`sul hikmati, makhâfatu-llâhi azza wa jalla (Hr.Sahal).

Oleh sebab itu, kita harus mendorong terjadinya habits khasyatullâh di kehidupan keluarga muslim, khususnya di kalangan para remaja muslim.
4. Habits Library Dan Atau Kumpul Dengan Orang Alim.
Adalah wasiat Lukman kepada anaknya, “Wahai anakku, duduklah bersama orang-orang yang berilmu, dan dekatilah mereka dengan kedua lututmu. Karena sesungguhnya Allah azza wa jalla menghidupkan kalbu dengan cahaya hikmah-Nya, sebagaiamana Dia menghidupkan bumi dengan air hujan” (al-Hujjatul Islâm al-Imam al-Ghazali ra, Kitâb Ihyâ` Ulumuddîn & Imam az-Zubaidi ra, Kitâb al-Ittihaf, Syarah Ihya` Ulumuddin).
Seorang murid ilmunya akan bermanfaat bila mendapatkan ridla dari para gurunya. Apabila orang tua adalah orang tua dunia, maka para guru merupakan para orang tua akhirat, disebabkan ulama (guru) masih berperan hingga di akhirat. Oleh karena wajiblah bagi para murid untuk memuliakan para gurunya. Telah disabdakan Nabi saw,

“Kalian belajarlah ilmu pengetahuan diniah dan ilmu sakinah; juga agungkanlah suatu ilmu pengetahuan. Dan, kalian berendah-hatilah kepada para guru kalian yang telah mengajarkannya;” ta’allamûl ‘ilma wa ta’allamû lil-‘ilmis sakînata wal waqâra; wa tawâdla’û li man tata’allamûna min-hu (Hr.Abu Na’im, dari Umar ra).

Sudah saatnya di setiap keluarga muslim memiliki habits perpustakaan mini. Atau, hendaknya putera-puteri muslim memiliki habits berkumpul dengan orang-orang alim, dan atau guru-guru yang akhlak dan adabnya, serta ilmu dan ketakwaannya dapat dipertanggung-jawabkan kepada-Nya.
5. Habits Shalat Sunnah Li Hifdzil Qur`ân.
Adalah Abdullah bin Abbas ra menuturkan,

“Pada saat kami sedang berada di rumah Rasulullah saw tiba-tiba datanglah Ali bin Abi Thalib kw. Lalu, ia berkata, ‘Bi abî anta wa ummi;’ --istilah Arab kuno untuk menekankan suatu pernyataan, al-qur`an nyaris lepas dari dadaku --hilang dari ingatanku. Aku merasa tidak lagi dapat menguasainya (menghafalnya)!’”
Rasulullah saw menanggapinya, “Wahai Abul Hasan, kuajarkan kepadamu beberapa kalimat yang dengan itu Allah akan memberi manfaat kepadamu. Dan, itu bermanfaat juga bagi orang yang belajar kepadamu. Bahkan, kalimat-kalimat itu akan memantapkan di dalam dadamu apa yang telah kamu pelajari.”
Sahabat Ali menjawab, “Baiklah, wahai Rasulullah, ajarilah aku.”
Beliau saw berkata, “Jika kamu dapat, setiap malam Jum’at bangunlah di pertigaan malam (terakhir). Saat itu tersaksikan oleh para malaikat (masyhudah), dan doa pada saat itu pun mustajab. Saudaraku Ya’qub mengatakan kepada para puteranya, ‘Akan kumohonkan ampun kepada Rabb-ku bagi kalian.’”
Beliau lalu berkata, “Hingga malam Jum’at, wahai Abul Hasan, jika kamu tidak dapat bangun tidur di pertigaan malam (terakhir). Bangunlah tengah malam. Jika tidak dapat juga, bangunlah pada awal malam. Lalu, shalatlah empat rakaat. Pada rakaat pertama bacalah fâtihatul kitâb dan surat yâsîn. Pada rakaat kedua fâtihatul kitâb dan surah ha-mim dukhan. Pada rakaat ketiga fâtihatul kitâb dan surat alif-lam-mim tanzilus sajdah. Dan, pada rakaat keempat fâtihatul kitâb dan surah tabarakal mufashshal. Usai bertasyahud berpuji syukurlah kepada Allah, dan pujilah Allah dengan sebaik-baiknya. Lalu bershalawatlah untukku dan semua nabi dan rasul. Kemudian mohonlah ampunan (kepada Allah) untuk kaum mukminin-mukminat dan untuk para saudaramu yang telah mendahului beriman. Pada akhir semuanya itu berdoalah, “Ya Allah Pencipta langit & bumi, yang Maha-agung, Mahamulia, lagi Mahakuasa; (yang kekuasaan-Nya) tidak dapat diganggu gugat.
Aku mohon kepada Mu, ya Allah, ya Rahman; dengan keagungan Mu dan dengan cahaya wajah Mu, agar Engkau memastikan kalbuku untuk dapat menghafal Kitab Mu, sebagaimana Engkau telah mengajarkannya kepadaku. Karuniailah aku kemampuan membacanya menurut cara yang mendatangkan keridlaan Mu kepadaku.
Ya Allah Pencipta langit & bumi, yang Maha-agung, Mahamulia, lagi Mahakuasa; (yang kekuasaan-Nya) tidak dapat diganggu gugat.
Aku mohon kepada Mu, ya Allah, ya Rahman, agar dengan keagungan Mu dan cahaya wajah Mu, dan dengan Kitab Mu, Engkau berkenan menerangi penglihatanku dan melancarkan lidahku. Dengan keagungan Mu itu bukalah kalbuku. Lalu, lapangkanlah dadaku dan berdayakanlah badanku. Karena tiada yang menolongku menemukan kebenaran selain Engkau, dan tiada pula yang dapat mendatangkannya selain Engkau. Tiada daya dan tiada kekuatan, kecuali seijin Allah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.”
“Wahai Abul Hasan, hendaklah kamu lakukan semuanya itu pada tiga hari Jum’at, lima hari Jum’at, atau tujuh hari Jum’at. Kamu akan terkabul, bi idznillâh. Demi Allah yang mengutusku membawa kebenaran, Allah sama sekali tidak akan membuat keliru orang beriman” (Hr.Tirmidzi, menurutnya sebagai hadis hasan gharib. Dan, Imam Hakim ra men-shahih-kannya; Kitab Syaraful Ummatil Muhammadiah, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani).

6. Habits Tarbiatul Hamli.
Dinul Islam mengajarkan, bahwa hak pertama yang harus diperoleh seorang janin di dalam kandungan ibunya adalah kalimat talkin, “lâ ilâha illa-llâh”.
Dan, memang di setiap kesempatan janin dapat dididik dan diajari dengan “dasar-dasar kehidupan” dan “dasar-dasar keilmuan”, baik dari ibunya maupun dari bapaknya, atau bahkan dari lingkungannya di mana si janin berada di saat ibunya sedang mengandungnya.
Sementara, perbuatan-perbuatan tafa’ul guna mendapatkan kualitas yang hebat dari si janin kelak setelah menjadi manusia dewasa. Sudah dapat dididikkan diusia kandungannya. Boleh dibilang, kita menghendaki anak kita kelak menjadi ini dan itu, maka mulai di dalam kandungan sudah dapat dipersiapkan dengan matang, insyâ Allâh.
Jika, habits tarbiyatul hamli cukup sukses dan mendapatkan sambutan yang hangat di Barat --sebut saja Amerika Serikat. Mengapa kita sebagai sang pemilik metode tersebut lupa dengan khazanah ‘mi’raj’-nya?!
Betapa ruginya Islam, manakala anak-anak kaum muslimin yang lahir ke alam dunia ini hanya menjadi “pelengkap-penderita” saja di dalam percaturan peradaban dunia yang global.
Dari keenam fasilitas quantum tersebut di atas, maka kemampuan otak manusia baik yang kanan maupun yang kiri dapat dilecut dengan tambahan-tambahan menu. Sehingga peran kedua otak tersebut menjadi optimal.
Dan, hal itu akan menjadi kekuatan dahsyat bila pemilik otak itu adalah seorang muslim-mukmin, sebab oleh Allah jalla jalâluh seorang muslim-mukmin dibekali dikehidupannya dengan: ilmu, akal, indera, kalbu, iman, dan wahyu. []






























MENGHIDUPKAN THE THREE HABITS ILMU LADUNI GUNA MENDORONG
BERPIKIR KREATIF & INOVATIF




Ada tiga habits seorang hamba dapat mendapatkan ilmu laduni-Nya. Dan, ketiga habits itu adalah khazanah kaum muslimin yang sudah mulai ditinggalkan. Yang di jaman keemasan Islam, habits tersebut telah dicontohkan dan dilakukan oleh sebagian besar kalangan terdidik dari kaum muslimin; hasilnya sungguh luar biasa, di mana kaum muslimin mendapatkan percepatan keilmuan dan akhlak, yang didukung dengan pengamalan adab Islam secara implementatif. Tidak hanya mereka, bahkan para nabi dan para rasul pun juga memiliki habits ilmu laduni tersebut.
Ketiga habits untuk mendorong mendapatkan ilmu laduni-Nya, adalah:
1. Langsung dari-Nya.
2. Melalui riadlah (olah hati).
3. Melalui ketekunan berpikir (lazimatut tafakkur).
Untuk habits nomor satu dan dua di atas merupakan sarana yang bersifat ikhtiari, sehingga seorang hamba akan memperoleh ilmu laduni-Nya.
Bila, dari ketiga habits tersebut, salah satu saja ada pada diri seseorang di kehidupannya. Maka, orang tersebut akan memiliki "daya laduni" yang dapat melahirkan pikiran kreatif dan inovatif. Apalagi, bila ketiga-tiga habits itu ada pada diri seseorang. Insya Allah, kaum muslimin akan memiliki pemikir yang ulama dan ulama yang pemikir; pemimpin yang ulama dan ulama yang pemimpin; ulama yang pejuang dan pejuang yang ulama; dst.
Jadi, jelaslah ilmu laduni bukan sesuatu yang harus disakralkan. Dan, sebaliknya harus ditentang habis-habisan untuk tidak mempercayai keberadaanya. Sebab, siapa pun dari hamba Allah akan dapat memperolehnya, kesemuanya tergantung Allah azza wa jalla; dan memenuhi syaratkah seseorang tersebut untuk mendapatkan ilmu tersebut. Renungkanlah firman-Nya,

"Dan, barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah ('ilmullâh), tidaklah ia mempunyai cahaya (al-'ilmu) sedikit pun" (Qs.an-Nûr: 40).

Di samping ketiga habits di atas masih harus ada beberapa syarat, yang menurut alfaqîr hal itu sangat penting di dalam menunjang keberhasilan seseorang di dalam memperoleh ilmu laduni-Nya, yakni:
1. Memenuhi adab Islam.
2. Mengamalkan akhlak Islam.
3. CC dengan syariatullah.
4. Ikhlas di dalam beramal dan beragama.
5. Terdapatnya tauhid yang kuat lagi kokoh.
6. Jujur.
7. Kalbu yang bening.
8. Dipilih oleh Allah swt untuk mendapatkan laduni-Nya.

Ilmu Laduni & Kreatifitas
Adalah benar pendapat yang mengatakan, bahwa semua ilmu itu datangnya dari sisi Allah swt --memang ayat qauliah (tersurat, red) dan ayat kauniah (tersirat, red) berasal dari sisi-Nya. Dan, nyata-nyata ilmu tersebut akan dapat mendatangkan kemanfaatan serta kemaslahatan bagi umat manusia di kehidupannya.
Adapun ilmu yang tidak diridlai-Nya, tapi secara sunnatullah mendapatkan ijin-Nya --dan, dunia ini pun ilmu tersebut ada, bahkan banyak juga 'penggemar'-nya-- adalah semua keilmuan yang mendatangkan malapetaka bagi umat manusia dan kehidupannya.
Sedangkan, ilmu laduni merupakan salah satu ilmu-Nya yang diberikan kepada para hamba-Nya yang telah dipilih-Nya. Dengan demikian, mereka yang mendapatkan ilmu laduni adalah para hamba-Nya yang terpilih, yang telah memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana delapan syarat pokok di antaranya. Mereka yang terpilih untuk mendapatkan ilmu laduni, di antaranya: para nabi; para rasul; para waliyullah; para shalihin; para syuhada`; dan para ulamâ`ullâh. Sebut saja di antara manusia-manusia terpilih itu, antara lain: Nabi Nuh as dengan desain kapalnya; Nabi Hud as dengan desain perumahan tingkatnya; Nabi Dawud dengan baju besinya; Nabi Musa as dengan kecerdasan IQ-nya; Nabi Isa as dengan kecerdasan EQ-nya; Nabi Ismail as dengan kecerdasan SQ-nya; Nabi Muhammad saw dengan kecerdasan In-Q-nya.
Sedangkan, untuk golongan para waliyullah, antara lain: sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq ra yang menyerahkan seluruh harta bendanya untuk kepentingan Islam; sahabat Umar al-Faruq ra yang menyerahkan separuh harta bendanya untuk kepentingan Islam; sahabat Abdurrahman bin Auf ra yang menyerahkan 699 unta bebannya untuk kepentingan Islam, sementara ia cukup hanya mengambil seekor unta beban untuk modal & ma`isyah; dst.
Atau, dari para ulamâ`ullâh, antara lain: delapan imam madzahib dengan pemikiran fikihnya; al-Hujjatul Islam al-Imam Ghazali ra; Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Taimiah ra; Ibnu Khaldun ra; Ibnu Sina ra; Bel Geik ra; Ibnu Rusd ra; Syaikh Abduljalil (Sunan Lemah Abang, red); Walisongo; Ki Ronggowarsito (RM.Burhan, red); Syaikh Hasyim Asyari ra; Buya Hamka ra; KH.Wahid Hasyim ra; dsb.
Pada prinsipnya para tokoh yang alfaqîr sebut di atas, dan sebenarnya masih sangat banyak lagi di dunia ini yang telah mendapatkan ilmu laduni-Nya. Adalah mewakili para hamba Allah yang kreatif dan inovatif di masanya. Dengan demikian, antara ilmu laduni dan kreatifitas berpikir sangat dekat sekali, sehingga tidak jarang mereka yang telah mendapatkan ilmu laduni-Nya menjadi sosok yang inovatif.
Tetapi patut dicatat, bahwa tidak selalu orang yang inovatif telah mendapatkan ilmu laduni-Nya, bisa jadi "kelebihan-kelebihan" yang di dapat seseorang tersebut merupakan istidraj dari Allah ta'âlâ, sehingga orang tersebut tambah kufurnya kepada-Nya. Contoh: Fir'aun; Hamman; Qarun; Tsa'labah; Mustafa Kemal Attaturk; Mu`awiah bin Abi Sufyan; Yazid bin Mu`awiah; Mu`awiah bin Yazid; Sah Pahlevi; Salman Rusdi; Charles Darwin; dst.

Ilmu Laduni & Muhaddats
Dalam sebuah hadis diriwayatkan, Nabi saw telah bersabda,

“Sesungguhnya pada umat-umat sebelum kalian terdapat orang-orang yang muhaddats (raushandlauqi)” (Hr.Bukhari & Muslim, Kitâb Ihyâ` Ulumuddîn, Jilid I, Fashal Ilmu; tentang kesaksian atas sahnya thariqah shufi).

Sebagaimana juga ditegaskan dalam sabdanya yang lain,

“Sekiranya ada di dalam umatku seorang dari mereka (muhaddats), maka dia adalah Umar bin Khaththab” (Hr.Bukhari; Fashal Fadhlush Shahabah, bab Manaqib Umar ibnul Khaththab, hadis nomor 3486 & 1349. Hr.Muslim; Fashal Fadha`ilush Shahabah, bab Min Fadha`il Umar, hadis nomor 2398 & 1863).

Muhaddats adalah orang yang hatinya mendapatkan curahan rahmat dari Allah swt secara langsung, sehingga ia dapat mengambil keputusan-keputusan pelik dengan penuh arif dan bijaksana; yang keputusan itu tidak dapat dipahami oleh orang-orang yang tidak memiliki kekuatan muhaddats tersebut.
Muhaddats dapat berbentuk gambaran yang tidak dapat ditangkap oleh indera penglihatan, atau berupa bunyi yang tidak bersuara, atau berupa getaran hati yang didatangkan oleh Allah swt secara tiba-tiba.
Sehingga seorang muhaddats dapat mengetahui sesuatu yang tidak diketahui, dan melihat dengan jelas sesuatu yang kasatmata (ghaib) dan tersembunyi. Hal ini merupakan karunia dan kemuliaan yang datangnya langsung dari sisi-Nya, seperti yang Allah ta’âlâ berikan kepada: para auliâ`-llâh, para shalihin, para shiddîqîn, para syuhadâ’, para muttaqîn, dan para mukminin.
Jadi, muhaddats itu datang secara tiba-tiba dan tanpa disadari; dan seringkali kejadiannya merupakan "kejadian aneh" yang tidak dapat dinalar-matematikakan. Padahal sebenarnya, hal itu bukan yang nganeh-nganehi bagi Allah dan Rasul-Nya; serta bagi kaum muslimin-mukmin. Satu realitas yang mesti dipahami adalah "kejadian yang terkesan tiba-tiba di luar kontrol itu" tetap merupakan kehendak-Nya dan datangnya dari sisi-Nya.
Namun bagi orang Barat yang skeptis, mereka memahami "kejadian yang tiba-tiba" itu, ya benar tiba-tiba datangnya tanpa ada campur tangan Allah azza wa jalla; kajadian ini menurut mereka disebut “intuisi”.
Menurut paradigma Barat, intuisi adalah buah dari feeling. Sehingga hampir mayoritas, tak terkecuali kaum muslimin terdidik, yang notabene-nya pendidikan yang terwarnai oleh Barat zionis, akan menyamakan intuisi dengan indera keenam.
Inilah bias makna yang harus didekonstruksi dengan desain ulang, agar kaum muslimin tidak dimainkan oleh kata-kata dan makna yang didefinisikan oleh Barat zionis, yang menggunakan paradigma skeptisisme (bersikap ragu-ragu sebelum berpikir, red).
Bagi seorang muslim-mukmin, intuisional itu sama dengan dlauqiah, yang mana ia membawa pencerahan pada pemiliknya. Maka, alfaqîr menyebutnya secara terminologi sebagai raushandlauqi; pencerahan makrifatullah. Yang ditopang oleh dua pilar utama pencerahan, yaitu: pencerahan intelektualitas (raushanfikri) dan pencerahan hati (raushandlamiri).
Ada pepatah yang mengatakan, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Demikian pula dengan makna “intuisional”, bagi alfaqîr ia memiliki terminologi yang sama arti dan makna dengan dlauqiah.
Jadi, jelaslah bahwa muhaddats adalah ilmu laduni-Nya. Dapatlah dipahami, bahwa ilmu laduni-Nya itu banyak ragamnya suka-suka Allah saja mendesainnya dan suka-suka Allah saja memberikannya kepada siapa pun dalam bentuk apa pun. Dikarenakan secara kemasan ilmu laduni tidak dapat dipesan, karena persyaratan yang delapan di atas pun, masih tetap berlaku syarat yang nomor delapan, yaitu dipilih oleh-Nya untuk mendapatkan ilmu laduni-Nya. Artinya, jika ketujuh syarat telah memenuhinya, namun Allah azza wa jalla tidak memilih-Nya, maka gagallah dia untuk mnendapatkan ilmu laduni-Nya.

Langsung Dari-Nya ('Allamnâhu Mil Ladunnâ 'Ilmâ)
Ada ilmu laduni yang didapatkan secara langsung dari-Nya. Sehingga dari ilmunya yang "khusus" tersebut seseorang muslim dapat menciptakan sesuatu yang baru secara inovatif, sebagai akibat langsung dari ilmu laduni-Nya yang mendorongnya berpikiran kreatif.
Suatu misal: Nabi Idris as, beliaulah manusia pertama yang menemukan pemintalan, jarum, mode pakaian,dan baca-tulis; padahal dari datuknya beliau hanya diajari mengenai pentingnya tauhid dalam kehidupan umat manusia. Maka, di luar ilmu yang dipelajari dan difokuskannya "secara langsung" Nabi Idris as telah mendapatkan curahan rahmat keilmuan dari Allah jalla jalâluh.
Namun secara progresif, dengan ilmu laduni-Nya, Allah swt me-'mi'raj'-kan kreatifitasnya menjadi sebuah inovasi yang tidak lazim di jamannya. Dan, di situlah telah terjadi percepatan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat dan membawa kemaslahatan buat umat manusia. Bahkan, hasil dari pemikiran kreatifnya masih dapat dirasakan hingga saat ini, yakni dengan lahirnya: industri garmen; pemintalan benang; jarum; dan baca-tulis.
Nabi Nuh as, di dalam memahami wahyu untuk membuat kapal (bahtera, red) beliau berpikir kreatif, yakni menanam kayu-kayu terpilih dengan kualitas yang unggul. Di samping mempersiapkan tanam-tanaman yang nantinya dapat dijadikan tali (semacam ijuk, red).
Di situlah ilmu laduni-Nya mendorongnya untuk berpikir kreatif. Sehingga hasil yang dicapainya adalah sebuah karya inovatif, yang tidak lazim di jamannya; yakni membuat kapal dengan galangan yang berada di atas bukit yang jauh dari air. Padahal pada waktu itu, kapal identik dengan air. Dan, Nabi Nuh as harus rela menerima ejekan, cercaan, makian, fitnahan dari para kaumnya; bahkan puteranya sendiri, Sam (Kan'an menurut ahli kitab, red). Karena dianggap 'tidak lazim' pada waktu itu, demikianlah tantangan bagi seseorang yang berpikir kreatif, akibat dari tindakannya secara otomatis akan melahirkan resiko, ekses, dan konsekuensi. Bagi seorang yang memiliki visi-misi kreatif dan inovatif, maka dia akan berani menghadapinya dengan keteguhan dan ketegaran; di samping --sudah barangtentu-- kesabaran.
Nabi Dawud as, secara laduniah dia dapat mendesain baju besi yang pada waktu itu di dalam suatu peperangan tidak lazim seorang pasukan menggunakan pelindung diri dari baju besi. Tetapi, Nabi Dawud as memberikan perlindungan kepada pasukannya dengan pengaman baju besi. Dan, seni perlidungan diri dari baju besi itu, akhirnya telah banyak mengilhami para ahli militer untuk membuat perlindungan seaman-amannya dalam sebuah pertempuran.
Kemampuan Nabi Dawud as yang secara tiba-tiba itu merupakan "daya laduni" yang datangnya langsung dari-Nya. Sebagaimana difirmankan-Nya,

"Dan, telah Kami ajarkan kepada Dawud membuat baju besi untuk kalian, guna memelihara kalian dalam peperangan kalian. Maka, hendaklah kalian bersyukur (kepada Allah)" (Qs.al-Anbiyâ`: 80).

Nabi Dawud as oleh Allah swt tidak hanya diberi-Nya ilmu laduni di dalam mendesain baju besi. Akan tetapi, dia juga diberi ilmu laduni-Nya kemampuan sebagai seorang negarawan di dalam mengelola kekuasaan ke dalam sebuah seni memerintah. Sehingga Nabi Dawud as merupakan sosok negarawan yang memiliki style memerintah dalam sebuah pemerintahan yang didukung oleh Allah jalla jalâluh. Sebagaimana telah dinyatakan dalam firman-Nya,

"…Lalu, Allah memberikan kepadanya (Dawud) pemerintahan dan hikmah --sesudah meninggalnya Thalut. Dan, mengajarkan kepadanya (Dawud) apa yang dikehendaki-Nya…" (Qs.al-Baqarah: 251).

Nabi Yusuf as, oleh Allah azza wa jalla dia diberi kemampuan laduni di dalam menakwil mimpi-mimpi. Dan, akhirnya dengan kemampuan laduni-Nya, Nabi Yusuf as mampu memerintah dengan seni memerintah yang membawa kesuksesan yang gemilang di bumi Mesir. Dikarenakan, dia didukung oleh Allah jalla jalâluh di dalam mengelola pemerintahan dan kekuasaannya. Sebagaimana difirmankan-Nya,

"Dan demikian pulalah, Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi. Dan, agar Kami ajarkan kepadanya tabir mimpi. Dan, Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Dan, tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah, Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik" (Qs.Yusuf: 21-22).

Ada sebuah kisah yang bersifat laduniah, seperti disabdakan Nabi saw,

"Ketika seseorang berjalan di hutan, tiba-tiba mendengar suara dari atas awan, 'Siramkan ke kebun fulan.' Mendadak awan itu berpaling dan menuangkan airnya di tanah bebatuan. Namun salah satu selokannya dapat menerima air hujan itu semuanya. Maka, diikutinya jalan air itu, tiba-tiba sampai ke suatu kebun, di mana ada seorang berdiri di muka kebun sambil memindahkan air tersebut.
Maka, ditanya, "Wahai hamba Allah, siapa namamu?"
Jawabnya, "Fulan". Tepat pada nama yang didengar dari atas awan itu.
Maka, orang itu balik bertanya, "Mengapa kamu menanyai namaku?"
Di jawab, "Aku tadi telah mendengar suara dari awan, siramkanlah airmu di kebun fulan, yang tepat pada namamu. Maka, apakah amal perbuatanmu?"
Orang tadi menjawab, "Jika itu kehendakmu, aku beritahukan. Aku selalu memperhatikan hasil kebunku ini, dan aku bagi 1/3 untuk sedekah, 1/3 untuk makanku dan keluarga, dan 1/3 untuk bibit" (Hr.Muslim; dari sahabat Abu Hurairah ra, Kitab Riyâdush Shâlihin).

Di dalam cerita yang dikisahkan oleh Rasulullah saw dalam hadis di atas, tokoh fulan adalah seorang hamba Allah yang mendapatkan ilmu laduni-Nya, yakni dia memiliki keputusan untuk mengeluarkan 1/3 untuk bibit, 1/3 untuk ma`isyah, dan 1/3 untuk sedekah. Sehingga membuat takjub masyarakat di sekitarnya, karena di musim kemarau kebunnya tetap mendapatkan siraman air hujan dari Allah swt.
Dan, tentunya masih banyak cerita nyata, kisah nyata, dan sejarah kaum muslimin yang membicarakan seputar ilmu laduni-Nya. Bagi kita sebagai kaum muta`akhirin, yang terpenting di dalam memahami cerita-cerita di seputar keutamaan ilmu laduni, bukan pada segi ke-fantastis-annya. Tetapi, yang harus kita lakukan adalah, bagaimana kreatifitas dan daya inovasi yang kita lakukan mendapat dukungan dari ilmu laduni-Nya. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya dalam sebuah firman,

"Dan, sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui;" wa inna-hu ladzû 'ilmil li mâ 'allamna-hu, wa lâkinna aktsaran nâsi lâ ya'lamûn (Qs.Yûsuf: 68).

Juga, dalam firman-Nya,

"Dia (Allah) mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya" (Qs.al-`Alaq: 5).

Jadi, jelaslah bahwa ilmu laduni yang di dapat "secara langsung". Benar-benar hak mutlak Allah azza wa jalla untuk memberikannya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. Meski ketujuh syarat tersebut di atas tetap berlaku, hingga seorang hamba benar-benar dikarunia ilmu laduni-Nya.

Melalui Riadlah (Olah Hati)
Penunaian rukun iman dan pengamalan rukun Islam. Begitu pula dengan penunaian amaliah fardliah (yang bersifat wajib 'ain, red) dan amaliah mandzubah (yang bersifat sunnah, red), mengarahnya adalah pada penegakan konsepsi takwa dan nilai-nilai tauhidullah. Dan, dari konsepsi takwa dan nilai-nilai tauhid tersebut, maka seorang muslim-mukmin diharapkan memiliki sikap dermawan (wong lumo, bahasa Jawa, red) dan perilaku tidak hubbud dunya (artinya gak nyantol ing dunyo, bahasa Jawa, red). Dari kedua pilar itulah --sikap dermawan & perilaku tidak hubbud dunya. Allah swt menjadikan 'kedua pintu-Nya' itu untuk melakukan pendekatan diri kepada-Nya.
Dengan demikian riadlah (olah hati, red) yang dilakukan, benar-benar menghasilkan capaian-capaian yang kesemuanya telah menjadi syarat (kedelapan syarat, red) untuk mendapatkan ilmu laduni-Nya.
Sebagaimana kisah Nabi Khidlir as dengan Nabi Musa as, di mana Nabi Musa as melakukan riadlatun nafs dengan mengikuti Nabi Khidlir as.

"Maka, dia bertemu seorang hamba (Khidlir) di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami."
Musa berkata kepadanya (Khidlir), "Bolehkah aku mengikutimu, agar kamu ajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang diajarkan kepadamu?!" (Qs.al-Kahfi: 65-66).

Dan, masih banyak lagi kisah-kisah dari riadlah kaum shalihin, yang akhirnya mereka dipilih-Nya untuk menerima ilmu laduni-Nya.
Intinya hati yang bening akan mengantarkan pemiliknya untuk meraih nafsu muthma`innah. Sedangkan kuatnya nafsu muthma`innah akan mampu mengelola daya rusak nafsu amarah dan nafsu lawwamah, ke dalam dinamika konstruktif yang sangat menguntungkan pemiliknya --termasuk di antaranya adalah mendapatkan ilmu laduni-Nya. Ilmu laduni benar-benar bersumber dari (divine energy transmition) DET & (revelation energy transmition) RET.

Melalui Ketekunan Berpikir (Olah Raga Otak)
Ilmu laduni-Nya dapat diraih juga dengan melalui ketekunan berpikir. Sebut saja para ulama`ullah dan cendekiawan muslim, sekaliber: Imam Maliki ra, Imam Hanafi ra, Imam Syafi'i ra, Imam Hanbali ra, Imam Bukhari ra, Imam Muslim ra, Imam Nawawi ra, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani ra, Imam Ibnu Taimiah ra, Imam Hasan al-Bana ra, Imam Khomaini ra, al-Maududi ra, Ismail al-Faruqi ra, Fazlurrahman ra, Sayyidusy Syaikh Abbul Abbas Ahmad bin Muhammad at-Tijani ra, Syaikh Abdulqadir al-Jilani al-Baghdadi ra, Imam Qusyairi ra, Syaikh Junaid al-Baghdadi ra, Syaikh Hasan as-Sadzili ra, Imam Ibnu Jazm ra, Syaikh al-Busyiri ra, Syaikh Naqshabandi ra, Imam al-Ghazali ra, Syaikh Abduljalil al-Jawi al-Makki ra, Sulthan Hadi Wijoyo ra, Raden Patah ra, Walisongo ra, dan masih banyak lagi yang lainnya; baik yang terdapat di dunia Islam maupun di Nusantara ini.
Dari ketekunannya di dalam ber-tafakur, maka suatu saat bila dia termasuk yang dipilih-Nya. Dia akan disifati al-qur`an dengan firman-Nya,

"Dan, bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri;" mâ fa 'altuhu 'an amî(Qs.al-Kahfi: 82).

Dikarenakan terdapat jaminan dari-Nya,

"Dan, bertakwalah kepada Allah. Allah niscaya mengajar kalian;" wat taqû-llâh, wa yu'allimu kumu-llâh (Qs.al-Baqarah: 282).

Oleh karena di dua firman-Nya di bawah ini, Allah azza wa jalla menegaskan,

"Dan, bagi orang-orang yang mendapatkan petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (pahala dari) ketakwaannya" (Qs.Muhammad: 17).

"Dan, orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk mencari keridlaan Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik" (Qs.al-Ankabût: 69).


Sumber Ilmu Laduni
Allah azza wa jalla, Rasulullah saw, dan wahyu itulah sumber ilmu laduni. Oleh karena, merupakan perbuatan yang sangat tercela jika ada seorang muslim, yang telah berani keluar dari kerangka syariatullah dan syariatul Islam; guna mengejar untuk memperoleh ilmu laduni-Nya.
Telah ditetapkan di dalam al-qur`an, bahwa prinsip ilmu laduni adalah "minallâh mâ lâ ta'lamûn;" dari Allah apa yang kalian tiada mengetahuinya (Qs.Yusuf: 86).
Maksudnya, datangnya ilmu laduni itu benar-benar dari sisi Allah azza wa jalla. Dikarenakan Allah ta'âlâ telah menerangkan mengenai dasar ilmu laduni, yakni

"`Atainâ-hu rahmatam min 'indinâ wa 'allamnâ-hu mil-ladunnâ 'ilmâ;" dia (hamba Kami) yang telah Kami beri rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (Qs.al-Kahfi: 65).

Untuk konteks sekarang ini sudah saatnya kaum muslimin-mukmim mendidik putera-puterinya dengan ketiga pola habits ilmu laduni tersebut di atas. Di samping mengarahkan keilmuan yang dipelajari para putera-puterinya untuk memenuhi kedelapan syarat, guna memperoleh ilmu tersebut.
Dinul Islam menghendaki tampilnya kaum muslimin-mukmin yang kreatif dan inovatif. Sehingga di dalam mengelola persemakmuran dunia benar-benar penuh apresiatif. Dengan demikian yang sangat mendesak dan harus dilakukan kaum muslimin adalah kejujuran dan keteladanan. Dan, tidak ada yang mampu mengembalikan kedua pilar tersebut --kejujuran & keteladanan, kecuali dengan cara:
a. Menghidupkan sunnah nabawiah.
b. Menghidupkan syiar masjid.
c. Melembagakan kasih-sayang terhadap sesama mukmin dan segenap makhluk-Nya, ke dalam perilaku harian diri sendiri. []
















QUANTUM BELIEVING BERPANGKAL
PADA HATI YANG SELAMAT




Hati yang selamat (qalbun salim) adalah dambaan dari setiap hamba Allah yang beriman kepada-Nya. Hati yang selamat adalah hati yang selalu diperbaiki oleh pemiliknya, atas pertolongan Allah azza wa jalla. Itulah yang sehat (qalbun 'afiah). Dan, tidak ada jalan yang paling cepat di dalam memperbaiki hati kita, kecuali dengan menanamkan rasa imannya secara tekun, disiplin, dan sungguh-sungguh ke dalam hatinya.
Keberadaan iman bagi seseorang yang memilikinya, sungguh merupakan anugerah yang sangat mulia bagi seorang hamba yang telah dipilih-Nya. Dan, inilah pangkal dari kekuatan quantum believing (QB) guna menjadi seorang hamba yang penuh inovatif dan kreatif.
Tapi, apakah demikian halnya dengan hati orang yang munafik dan kafir kepada Allah azza wa jalla? Jawabannya, adalah tidak. Hati orang munafik, adalah cerminan dari hati seorang hamba yang sakit, atau berpenyakit.
Sedangkan hati orang kafir, adalah cerminan hati yang keras lagi membatu. Maka, celakalah dan merugilah bila seorang hamba Allah di dalam hatinya kedapatan hatinya sedang sakit atau sedang mengeras. Atau, bisa jadi memang hatinya selalu sakit (qalbun marîdl) dan atau selalu mengeras (qalbun muqasid).
Hati seorang mukmin sangat mudah untuk di-quantum believing-kan, ketimbang hatinya orang-orang yang munafik dan atau hatinya orang-orang yang kafir. Sebab, QB sangat tidak mungkin dapat dilakukan oleh hati yang sakit, apalagi hati yang mengeras. Sangat tidak mungkin.
Adapun QB merupakan daya dorong yang sangat efektif di dalam melahirkan sikap dan perilaku inovatif dan kreatif.
Jika, kita mau memperhatikan perjalanan ruhani para sahabat Nabi saw. Atau, perjalanan ruhani Rasulullah saw sendiri. Selalu berpangkal pada perbaikan hati (ishlâhul qalbi) dan penyucian diri (tazkiatun nafsi). Artinya, iman seorang hamba benar-benar menjadi kunci terpenting di dalam memberdayakan hati seseorang, yang pada puncaknya hati tersebut senantiasa mengimani dan menerima keberadaan Allah jalla jalâluh, tanpa adanya campur tangan atau terlibatnya hati yang berpenyakit --hati yang keras telah nyata tidak mau menerima keberadaan-Nya.
Ingat dalam peristiwa isra` wal mi'raj Nabi saw, sebelum beliau di isra` dan mi'raj-kan oleh-Nya dari Makkah menuju Baitul Maqdis, dan dari Baitul Maqdis ke Shiddratul Muntahâ. Nabi saw lebih dahulu harus mengalami "operasi kecil" di mana hati beliau dikeluarkan dari dada untuk kemudian dicuci lebih dahulu oleh dua malaikat-Nya.
Tujuannya sangat jelas, agar Rasulullah saw nantinya tidak melakukan perbuatan maksiat dan dosa kepada Allah swt. Maka, beliau mendapatkan gelar "pribadi yang maksum", yaitu sosok manusia yang tidak akan berbuat salah dikarenakan beliau selalu dijaga oleh-Nya secara langsung.
Inilah pelajaran buat kaum yang beriman kepada Allah azza wa jalla, bahwa perbaikan hati dan penyucian diri merupakan perbuatan yang sangat penting dan harus dilakukan oleh kaum muslimin mukmin, yang dalam kehidupannya tidak mungkin terbebas dari dosa dan maksiat kepada-Nya.
Dikarenakan umat beliau, pribadinya hanya sekadar berkedudukan mahfudz, yaitu hati seseorang akan terjaga oleh-Nya, bila si pemilik hati selalu menjaganya dari perbuatan dosa dan maksiat. Bila seseorang berbuat dosa dan maksiat kepada Allah swt, maka saat itu imannya tercabut dari hati itu.
Dengan demikian di dalam hati yang mahfudz masih terdapat peluang yang sangat besar untuk dapat melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Meski karena keimanannya pula si pemilik hati itu segera menaubati dan menyesali atas perbuatan dosa dan maksiatnya tersebut kepada Allah azza wa jalla.
Itulah yang disabdakan Nabi saw mengenai kondisi hati seorang mukmin, di mana di saat seorang hamba melakukan dosa. Maka, akan muncul bintik hitam di dalam hati tersebut. Jika dosa dan maksiat dilakukan berkali-kali tanpa ditaubatinya, maka bintik-bintik hitam itu akan terus bertambah tebal dan tingginya di dalam hati. Namun, jika si pemilik hati menyesali dan menaubatinya, maka hatinya akan kembali bersih, bercahaya, dan mengkilat; apabila bintik-bintik hitamnya hanya sedikit.
Tapi, menjadi persoalan sendiri manakala bintik hitam itu telah menjadi warna hitamnya hati, maka hati tersebut perlu dicuci kembali hingga bersih; guna mengeluarkan daqi` (bahasa Jawa: bolot-nya hati, red). Seperti telah disabdakannya,

"Seorang hamba yang berbuat dosa benar-benar terdapat bintik hitam di dalam hatinya. Jika bertaubat dari dosa-dosa itu hatinya akan mengkilat dan bersih kembali. Namun, bila dosanya bertambah, bintik hitam itu pun bertambah. Inilah maksud firman Allah, 'Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka' (Qs.al-Muthaffifîn: 14)." (Hr.Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Tirmidzi, Nasâ`i, Ibnu Majah; dari sahabat Abu Hurairah. Menurut Imam Tirmidzi hadis ini shahîh).

Senada dengan hadis tersebut di atas, Rasulullah saw juga pernah bersabda,

"Jika seorang hamba melakukan kesalahan, maka hatinya akan berbintik hitam. Tetapi, bila dia mengurungkan niatnya untuk berbuat salah, beristighfar, dan bertaubat. Maka, hatinya berubah jadi mengkilat kembali. Bila mengulangi dosa lagi, bintik hitam itu akan bertambah tebal di dalam hatinya. Itulah yang disebut racun (penutup) yang difirmankan oleh Allah. Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka" (Hr.Nasâ`i).

Maka dari itu, dalam rangka memperbaiki hati dan penyucian diri --dalam hal ini dinul Islam-- telah memberikan jalan keluar yang mudah dan sederhana untuk diamalkan. Namun manfaat dan buah yang dihasilkannya sangat luar biasa bagi QB seorang muslim, yakni di antaranya hati akan benar-benar mampu keluar dari penyakitnya dan terhindar dari kekasarannya dan kekerasannya. Dan, hal itu dapat diwujudkan dengan pelatihan ruhani, bagi seseorang yang menghendaki hatinya sembuh dari penyakit dan terjaga dari kerasnya hati.
Sedangkan pelatihan ruhani itu dapat dibagi ke dalam tiga tahapan, yang harus diamalkan oleh seseorang yang sedang mengikuti pelatihan tersebut. Di antara empat tahapan latihan itu, adalah: a.)Ber-istighfar; b.)Ber-shalawat kepada Nabi saw; c.)Ber-hailalah; dan d.)Ber-tilawah al-qur`an.
Dan, dari keempat metode itulah, daqi` yang berada di dalam hati akan dapat keluar atas ijin Allah, insya Allah.

Memahami Asas Pendidikan
Bagi orang tua, dan atau bagi pendidik, hendaklah memahami, bahwa asas pendidikan bagi seorang manusia adalah masuknya iman ke dalam hati. Atau, menerimanya hati terhadap keberadaan Allah. Atau, menerima setiap hal yang berupa ketentuan yang datangnya dari Allah dan rasul-Nya.
Dengan demikian setiap proses dan aktifitas yang mengarah pada terjadinya perubahan dari munafik kepada iman. Atau, dari kufur kepada iman. Atau, dari kebodohan kepada keimanan. Adalah, sesuatu yang harus didukung percepatannya. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat kaum muslimin akan memiliki sumber daya insaninya dengan kualitas QB.
Maka dari itu, percepatan perubahan keimanan pada diri anak kita, atau pada anak didik kita. Haruslah benar-benar mengarah pada terjadinya hati yang mengimani Allah azza wa jalla. Di sinilah kunci keberhasilan hidup seseorang, di dalam berkarir sebagai seorang hamba Allah yang ditugasi sebagai khalifatullah-Nya. Pertanyaannya adalah, adakah di dunia ini manusia yang tidak diciptakan oleh Allah jalla jalâluh?
Artinya, setiap orang yang terlahirkan sebagai manusia, dia adalah seorang hamba Allah. Meskipun banyak pula manusia yang mengingkari kejadian tersebut, sehingga akhirnya mereka memilih jalan kefasikan dan kekafiran. Maka, orang ini tidak ada bedanya dengan setan. Inilah yang disebut syaithânul insi, yaitu setan yang berjenis manusia. Di samping terdapatnya syaithânul jinni, yakni setan yang berjenis jin (yang tersamar, red).
Maka, untuk mengembalikan hati manusia pada fitrah kejadiannya, yakni hati yang bertauhid, bertakwa, dan beriman. Tidak ada cara lain, kecuali menyelamatkan hatinya dari berbagai macam penyakit dan kondisi-kondisi buruk yang dapat mempengaruhi hati seseorang itu, baik yang bersifat pengaruh langsung maupun dari pengaruh yang tidak langsung.
Karenanya, asas pendidikan Islam memberikan dasar pijakan, bahwa di dalam proses belajar mengajar; baik dari pihak pendidik, peserta yang didik, pihak penyelenggara pendidikan, dan fasilitas pendidikan kesemuanya harus mampu menjadikan hati seorang hamba "selamat".
Jika, bukan "hati yang selamat" yang dihasilkan di dalam sebuah proses belajar mengajar, maka sudah secara otomatis proses pendidikan itu gagal --demikian halnya dengan dakwah Islam. Sebab, ukuran kesuksesan bagi seorang hamba adalah kelak dia masuk surga atau masuk neraka.
Dengan demikian dalam konteks kehidupan dunia sudah dapat dilihat, bila seseorang telah menjadikan dunia beserta perniknya hanya sekadar fasilitas untuk menjemput kebahagiaan akhirat; maka dia termasuk yang berhasil.
Namun, sebaliknya bila seorang hamba di dunia tidak pernah menjadikan dunia sekadar fasilitas akhiratnya. Dengan kata lain, dia telah menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan pokoknya. Maka, kehidupan orang tersebut tidak bisa dikatakan berhasil. Meski gelar sarjananya ada di muka namanya atau di belakang namanya. Meski gajinya jutaan rupiah perbulannya. Meski dia seorang profesional muda yang bergaya hidup mewah. Meski rumahnya bagus. Meski mobilnya bagus. Meski dia berkomunitas dengan lingkungan para bangsawan sekali pun. Tapi, secara substansi, seorang hamba yang telah berani menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan pokoknya. Maka, orang tersebut telah menjual agamanya dengan material; atau menjual akhirat dengan dunianya.
Sekali lagi, ukuran atau paramater keberhasilan seseorang bukan dinilai secara bendawi (materi). Tapi, seorang hamba terukur, dia dikatakan berhasil dan sukses, bila dia termasuk hamba yang dimuliakan di sisi-Nya kelak.
Orang yang mengejar keuntungan duniawi, atau kesuksesan materi itu sama halnya dia telah menjatuhkan dirinya pada pangkuan kenikmatan. Dan, itu bukan sosok muslim sejati. Maka, harus kita imani firman Allah azza wa jalla dalam surat az-zumar ayat ke-22,

"Apakah orang yang dibukakan Allah hatinya untuk menerima dinul Islam, lalu dia mendapatkan cahaya dari Rabb-nya; (itu sama dengan yang membatu hatinya?)."

Betapa pentingnya program perbaikan hati dan penyucian diri, sampai-sampai Allah swt secara khusus berfirman kepada Nabi Muhammad Rasulullah saw di dalam surat al-muzammil ayat ke 1-5,

"Hai orang yang berselimut (Nabi Muhammad saw), bangunlah di malam hari (untuk shalat sunnah), kecuali sedikit darinya, yaitu seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan, bacalah al-qur`an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat."


Istighfar
Pilar pendidikan Islam pertama yang sejalan dengan asas pendidikan Islam, adalah istighfar (memohon ampunan kepada Allah, red). Sebagaimana hal ini pernah ditekankan oleh Rasul-Nya yang di-bi'tsah-kan pertama kali, Nuh as, yang diabadikan di dalam surat nûh ayat ke 10-12,

"Maka, aku (Nuh) katakan kepada mereka (kaumnya Nuh), 'Mohonlah ampun kepada Rabb kalian'. Sesungguhnya Dia adalah Mahapengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat, membanyakkan harta, (memberi) anak-anak (yang shalih) buat kalian, mengadakan untuk kalian kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya) untuk kalian sungai-sungai."

Ayat di atas, dalam hal ini Nabi Nuh as, sangat menekankan dengan jelas lagi tegas, "Istaghfirû rabbakum, innahu kâna ghaffârâ"; mohonlah ampun kepada Rabb kalian, sungguh Dia adalah Mahapengampun.
Dikarenakan hidup dan kehidupan seorang hamba Allah, tidak akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik tanpa membukanya dengan taubat yang diterima-Nya. Maka, segenap anugerah dan karunia yang dimiliki oleh seorang hamba hanya semata karena rahmat-Nya atas segala maghfirah yang diterima oleh seorang hamba itu. Jika, tanpa rahmat-Nya dan maghfirah-Nya, dalam konteks dunia, keberhasilan dan kesuksesan seseorang secara material bendawiah justru akan dapat mengantarkannya semakin jauh dan lari dari petunjuk-Nya. Sehingga seseorang hamba itu semakin durhaka kepada-Nya dengan semakin melimpah-ruahnya material yang menyejahterakannya. Tak lain hal itu sekadar memperoleh istidraj, yakni mengingkari-Nya. Demikian halnya dengan seseorang yang sukses dan berhasil dengan penguasaan atas sesuatu cabang ilmu pengetahuan, tanpa rahmat-Nya dan maghfirah-Nya, dalam konteks dunia, maka hal itu justru akan dapat mengantarkannya semakin jauh dan lari dari petunjuk-Nya. Sehingga seseorang hamba itu semakin durhaka kepada-Nya dengan semakin banyaknya ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Tak lain kesemuanya ini sekadar memperoleh istidraj, yakni dengan ilmu itu dia semakin mengingkari-Nya.
Maka, dalam proses belajar mengajar di sebuah aktifitas pendidikan, segenap umat manusia harus disadarkan kembali dengan sabda Nabi saw,

"Barangsiapa yang membaca istighfar dengan tekun. Allah akan memberinya jalan keluar dari segala kesusahan dan kesempitan hidupnya. Dan, Allah pasti memberinya rizeki secara tidak terduga-duga" (Hr.Abu Dawud).

Pembacaan istighfar menurut hadis di atas harus terukur "dengan tekun". Hal ini dapatlah dipahami, bahwa masing-masing hati orang sangatlah berbeda-beda untuk mendapatkan perbaikan hati dan penyucian diri.
Bisa jadi ada seseorang yang cukup membaca istighfar hanya dengan puluhan kali atau ratusan kali. Namun mungkin saja ada hati seseorang yang membutuhkan ratusan ribu, bahkan jutaan kali pembacaan istighfar, sampai dia memahami segenap substansi, hakikat, dan makna istighfar.
Sehingga istighfar-nya benar-benar mendarah daging, yang kemudian berbuah pada perubahan sikap dan perilaku yang mencerminkan sebagai seorang yang beriman kepada Allah azza wa jalla di kehidupan keseharian; di mana pun, kapan pun, atau ketika dia menjadi apa saja.
Guna mendapatkan kualitas istighfar tersebut, Nabi saw mempersyaratkannya, istighfar harus dibaca dengan tekun. Sebab, tanpa ketekunan, istighfar yang dilakukan tidak menghasilkan buah apa-apa. Bahkan, istighfar yang diamalkannya tidak mampu membuahkan pemahaman akan substansi, makna, dan hakikat daripada istighfar itu sendiri.
Bila, buah istighfar telah mulai tampak ke dalam perubahan perilaku dan sikap hidupnya. Adab, akhlak, dan tauhidnya mulai tampak semakin kokoh lagi kuat. Terutama di dalam mengikat dengan sunnah nabawiah, dengan azzam untuk dapat mengamalkan syariatullah. Maka, seorang pembimbing hendaknya bersegera mengarahkannya pada shalawat Nabi Muhammad saw. Dikarenakan, shalawat nabi merupakan jalan utama untuk mencapai hati yang bercahaya.

Shalawat Kepada Nabi
Pilar pendidikan Islam kedua yang sejalan dengan asas pendidikan Islam, adalah shalawat nabi, yakni memohon kepada Allah supaya Dia merahmati Nabi (Muhammad saw, red). Seperti telah disabdakan Nabi saw,

"Barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali. Maka, dengan satu shalawat itu Allah akan bershalawat padanya sepuluh kali" (Hr.Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).

Sedangkan seseorang hamba yang telah mendapatkan shalawat dari Allah azza wa jalla. Maka, dia akan keluar dari kegelapan kepada cahaya-Nya. Sebagaimana telah difirmankan-Nya,

"Dia-lah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu). Atau, Dia-lah yang bershalawat kepadamu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang)" (Qs.al-Ahzab: 43).

Maka, dari aspek tarbiah wa ta'allum, pembacaan shalawat yang berulang-ulang dalam setiap saat, setiap hari, dan di setiap kesempatan, sudah barangtentu atas seijin-Nya, dia akan mendapatkan buah dari pembacaan shalawat tersebut.
Jika hal itu dirasa kurang, karena memang tingkat pemahaman hatinya yang berbeda-beda dari masing-masing orang. Maka, pembacaan shalawatnya dapat dilakukan secara berulang-ulang hingga ratusan ribu kali, bahkan bisa jadi mencapai jutaan kali. Yang pada puncaknya, hati seorang hamba tersebut dapat menerima dan mengimani kerasulan Muhammad saw. Yang secara totalitas seorang hamba yang hatinya telah dicahayai oleh shalawat nabi itu, siap mengikatkan dirinya dengan sunnah nabawiah mulai bangun tidur hingga tidur kembali.
Sebab, tidak ada pencahayaan terbaik dari-Nya, melainkan bila di kehidupan seorang hamba dapat mencintai Rasulullah saw dengan CC-nya terhadap segenap sunnah-sunnah beliau saw. Karenanya, mahabbatullâh (cinta kepada Allah, red) saja terukur dengan mahabbatur-rasul (cinta kepada Rasulullah, red), demikian pernyataan itu dijelaskan-Nya di dalam surat ali imran ayat ke-31.
Bila, hati telah dicahayai dengan shalawat nabi. Dan, buah dari pencahayaan itu telah tampak. Maka, seorang guru atau pendamping seyogyanya menghiasinya dengan pembacaan hailalah, yakni bacaan tahlîl yang berupa kalimat "Lâ ilâha illa-llâh".

Hailalah
Pilar pendidikan Islam ketiga yang sejalan dengan asas pendidikan Islam, adalah hailalah, yakni pengucapan dan pengungkapan kalimat tauhid "tidak ada sesembahan yang hak, kecuali Allah jalla jalâluh". Hal ini sejalan dengan sabda Nabi saw,

"Perbaharuilah iman kalian."
Seorang sahabat bertanya kepada beliau, "Bagaimana kami memperbaharui iman kami, wahai Rasulullah?"
Beliau bersabda, "Banyak-banyaklah membaca lâ ilâha illa-llâh" (Hr.Ahmad, Nasâ`i, dan Hakim).

Karena daqi` dan kualitas hati yang berbeda-beda, sebagai akibat dosa dan maksiat amali-iqtiqadi yang dilakukan juga berbeda-beda. Maka, secara kuantitas dan kualitas pembacaan dan pengungkapan kalimat tauhid itu pun juga berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan hatinya masing-masing.
Bisa jadi, ada seseorang yang cukup dengan puluhan kali atau ratusan kali, dia telah dianugerahi kekuatan dan kemampuan tauhid yang kuat lagi kokoh, di samping terdapatnya kualitas tauhid yang murni karena Allah swt.
Dan, mungkin saja, ada seseorang yang butuh waktu berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun untuk dapat bertauhid secara kokoh lagi kuat atau berlaku ikhlas kerena Allah ta'âlâ semata. Maka, secara universal Rasulullah saw menyabdakannya dengan, "Banyak-banyaklah membaca lâ ilâha illa-llâh."
Jika, seseorang telah mampu bertauhid secara murni kepada-Nya. Dengan cara hanya menyandarkan, tergantung, berharap, meminta, dan berkeimanan hanya kepada Allah jalla jalâluh. Maka, potensi itu diberdayakan untuk membaca, memahami, dan mengamalkan segenap makna yang terkandung di dalam Kitab Suci al-Qur`an, baik mengenai ayat-ayat yang tersirat (kontekstual) maupun mengenai ayat-ayat yang tersurat (tekstual).

Tilawah al-Qur`an
Pilar pendidikan Islam keempat yang sejalan dengan asas pendidikan Islam, adalah tilawatul qur`ân, yakni memberdayakan akal pikiran (intellectual quotient), akal budi (emotional quotient), dan akal rasa (intuitional quotient) di dalam membaca, memahami, dan mengamalkan al-qur`an; baik secara tekstual maupun secara kontekstual, semata karena keimanannya kepada Allah azza wa jalla.
Semata guna mempersiapkan diri untuk menerima dan mengimani firman-Nya,

"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada, dan rahmat serta petunjuk bagi orang-orang yang beriman" (Qs.Yûnus: 57).

Dari ayat tersebut di atas, kita dapat menalar dengan akal sehat kita, betapa berat dan peliknya untuk dapat menerima kesempurnaan al-qur`an yang datang ke alam dunia sebagai: pelajaran (mau'idhah); penyembuh penyakit hati (syifâ`); petunjuk (hudâ); dan rahmat (rahmah). Yang nantinya di kehidupan ini akan dijadikan guidence bagi orang-orang yang beriman. Maka, jelaslah bahwa, selain orang yang beriman al-qur`an tidak memiliki pengaruh apa-apa. Dan, boleh jadi hanya menambah keingkarannya semata di sisi Allah jalla jalâluh.
Karenanya, pelatihan ruhani yang terberat di dalam perjalanan ruhani seseorang adalah CC terhadap al-qur`an. Dengan demikian tiga bekal yang telah dilakukan yang berupa: buah istighfar; buah shalawat nabi; dan buah hailalah hendaknya mampu meredesain kepribadian dan hati seorang muslim untuk siap mengikat dengan pedoman dan petunjuk yang hak, yakni Kitab Suci al-Qur`an. Inilah subtsansi dan hakikat daripada QB yang sebenarnya.
Di sinilah Ilmu Pengetahuan Diniah (IPD) menjadi sangat penting guna menghidupkan cahaya dari sumber cahayanya. Karena tanpa didasari dengan ilmu pengetahuan diniah yang matang, maka keempat buah dari pelatihan ruhani yang dilakukan belum mampu merahmati alam semesta. Sementara, kedatangan dan kehadiran dinul Islam sebagai pilar di dalam penegakan rahmatal lil 'âlamîn bagi umat manusia tanpa terkecuali; bahkan lebih dari itu.
Dalam mengamalkan keempat buah pelatihan ruhani tersebut di atas, yang biasa kami sebut dengan QB. Maka, daya inovasi dan kemampuan kreatifitas kaum muslimin mukmin menjadi tertantang untuk membuktikan kepada orang lain, bahwa hanya dinul Islam-lah yang paripurna dengan segala solusi yang benar.
Alfaqîr yakin, bila solusi yang ditawarkan oleh dinul Islam diamalkan dengan baik dan benar. Maka, kaum muslimin mampu membuktikannya pada masyarakat publik dunia. Dan, tidak menutup kemungkinan banyak orang yang terhidayahi dan tercerahkan dengan bentuk-bentuk problems solving yang ditawarkan tersebut. Dengan demikian masa keemasan Islam sebagai pemimpin peradaban dunia yang berwajah kemanusiaan akan segera terwujud, insya Allah.

Jadikan Jadwal Harian
Secara ringkas dan sederhana, sudah barangtentu sesuai dengan kemampuan masing-masing orang. Maka, para ulama ahlul qalb berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukannya, "seolah" menyepakati pelatihan ruhani tersebut di atas masuk ke dalam satu paket rangkaian jadwal harian, sebagai berikut:
1. Membaca istighfar 100 kali.
2. Membaca shalawat nabi 100 kali.
3. Membaca hailalah 100 kali
4. Membaca al-qur`an dari surat atau ayat yang ringan yang telah dipahaminya.
Akan tetapi di luar keempat jadwal rutin itu, kita dipersilahkan untuk meningkatkan kualitas pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ini yang disebut dengan kehidupan yang tenang dan tentram. Sebab, dengan benar dapat mengamalkan segenap perintah-Nya. Seperti dalam peningkatan: kualitas shalat berjamaah; kualitas wirid harian; kualitas qiamul lail; kualitas shalat sunnah rawatib; kualitas puasa sunnah; kualitas shalat dluha; dll.
Insya Allah, bila paparan di atas dipahami dengan baik dan benar, serta diamalkan dengan baik dan benar pula. Maka, hati seseorang tersebut akan selamat. Hati yang selamat akan mampu melakukan pencerahan di setiap fasilitas hidayah-Nya yang berupa: indera, nafsu, akal, dan ilmu yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Inilah sumber daya insani unggul kaum muslimin yang diharapkan campur tangannya di dalam melakukan persemakmuran mardlatillah. []






























QUANTUM BELIEVING BERPANGKAL
PADA AKAL YANG SEHAT




Akal sehat yang didukung oleh hati yang selamat (qalbun salim) adalah sangat penting keberadaannya bagi seorang hamba Allah. Seperti dikatakan di dalam pepatah, "Akal yang sehat sangat bermanfaat bagi kaum mukminin;" al-aqlus salim tanfa'u lil-mu'minîn.
Karena tanpa eksistensi akal yang sehat, maka akal seseorang akan senantiasa diliputi oleh tipu daya nafsunya. Sementara, akal yang sehat hanya dapat diperoleh jika hati seseorang telah selamat. Dengan kata lain, akal sebagai fasilitas utama qalbun salim sangat berperan di dalam memberdayakan hati yang selamat ke arah posisi hati yang disebut luthfun rabbani ruhani (hati yang diliputi rasa Ilahiah yang mewujud pada kelembutan-Nya). Yaitu, hati seorang mukmin yang telah menerima "kehadiran-Nya" dengan segenap totalitas dzat, asma', dan af'al-Nya. Sebagai perwujudan langsung dari sikap imaninya terhadap dzat, asma', dan af'al-Nya.
Sikap mental imani seorang muslim yang diberdayakan dengan sikap menerima-Nya di dalam hati dan akalnya. Itulah yang lazim dikatakan sebagai sikap totalitas penyerahan diri seorang hamba kepada Rabb-nya (taslim). Dan, seseorang hamba yang taslim dengan segenap "ikatakan-Nya" inilah yang disebut muslim.
Dengan demikian tepatlah apa yang dikatakan oleh para ulama, "al-Aqlus salîm fî qalbis salîm;" akal yang sehat terdapat pada hati yang selamat.
Bila di dalam upaya perbaikan hati (ishlahul qalbi) dan penyucian jiwa (tazkiatun nafsi) terdapat latihan ruhani yang disiplin (riadlatun nafsi). Maka, demi menjaga kesehatan akal, seorang manusia juga sangat perlu memberikan menu khusus di dalam pelatihan ruhani untuk akalnya. Dikarenakan, memang akal terletak di dalam hati manusia.
Apa-apa yang telah di dapat selama pelatihan ruhani guna menjaga hati yang selamat, harus tetap dipertahankan. Sehingga di dalam olah akalnya benar-benar diridlai-Nya. Lebih dari itu eksistensi akalnya dijadikan fasilitas hidupnya di dalam melakukan pemaknaan atas nilai-nilai keagamaan, yang pada tahapan berikutnya akan melahirkan perilaku keberagamaan yang rahmatal lil ‘âlamîn.
Jika menu-menu pelatihan ruhani untuk menjaga hati agar tetap selamat dengan: ber-istighfar; ber-shalawat; dan ber-hailalah. Maka, ber-tilawah al-qur`an; membaca sirah nabawiah; dan memahami al-hadîs merupakan bagian terpenting di dalam mengasah akal seseorang supaya akalnya tetap dalam kondisi sehat yang diridlai-Nya.
Karena dengan melatih ruhaninya yang diwujudkan ke dalam tilawah al-qur`an; membaca sirah Nabi saw; dan memahami al-hadîs Nabi saw. Seseorang itu akan memiliki daya analisa data dan hipotesa data yang sangat kuat. Dan, kedua sikap itu sangat penting di dalam menunjang kedewasaan kepribadian dan kematangan berpikir seseorang.
Sebab, akal seseorang bila tidak dilatih untuk melakukan analisa data dan hipotesa data. Bisa jadi akalnya akan terjebak pada sikap taklid dan perilaku jumud. Sedangkan, sikap taklid dan perilaku jumud sangat merusak pola pikir dan cara pandang seseorang di dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya (survival) sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah azza wa jalla.
Tetapi, juga sangat membahayakan bila menu latihan akal yang berupa analisa data dan hipotesa data tersebut tidak dilandasi atau didasarkan kepada hati yang selamat. Di sinilah, kaum muslimin mukmin secara teori seharusnya lebih unggul dari siapa pun. Dikarenakan seorang muslim mukmin telah ditakdirkan memiliki kualitas hati yang selamat dan akal yang sehat, dan inilah yang layak dikatakan sebagai pribadi yang tercerahkan.
Dengan kata lain, dapatlah dipahami, bahwa seorang muslim yang tidak menggunakan fasilitas hidayah yang telah diberikan kepadanya secara optimal. Dan, secara khusus melakukan penjagaan atas kedudukan hatinya agar tetap selamat. Pun pula dengan menjaga kedudukan akalnya supaya tetap sehat. Seorang muslim itu layaklah disifati sebagai seorang hamba Allah yang kufur nikmat. Sebab, tidak pernah melakukan maksimalisasi atas segenap fasilitas hidayah di dalam melakukan pendekatan diri kepada-Nya (taqarruban 'inda-llâh).


Islam & Rasionalitas
al-Islâm sebagai ad-dîn akan mengantar seseorang yang mengimani-Nya menyerahkan dirinya secara total dan loyal kepada segenap ikatan-Nya. Disamping itu, dia adalah pendamping kehidupan umat manusia supaya manusia di kehidupannya mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, baik sewaktu masih hidup di alam dunia maupun kelak setelah berada di alam barzah, pada Hari Kiamat, titian shirâthal mustaqîm, dan di akhirat-Nya.
Sekali pun dinul Islam merupakan kekuatan moral bagi masyarakat dunia dan masyarakat manusia, meski masih banyak manusia yang mengingkarinya. Sebagai ad-dîn, dinul Islam juga memiliki strategi yang akurat di dalam memberdayakan akal seseorang; khususnya bagi para manusia yang telah beriman kepada Allah azza wa jalla.
Hal itu sebagai bukti, bahwa dinul Islam merupakan ajaran langit yang sangat relevan dengan fitrah yang dimiliki manusia, siapa pun manusia itu. Dan, fitrah yang paling asasi dalam kehidupan umat manusia adalah, bahwa manusia itu merupakan makhluk dua dimensi, yakni dimensi ruh dan dimensi badan --dimensi metafisik dan dimensi material.
Sedangkan dari dimensi metafisik, manusia mempunyai dua potensi hebat, baik kehebatannya sebagai perusak (destroyer) maupun kehebatannya sebagai pembangun (developer).
Adapun kata kuncinya, yaitu hati seorang manusia harus dijaga keselamatannya dan akal manusia harus dijaga kesehatannya. Guna menjaga dua potensi hebat itu tidak ada yang mumpuni kecuali Islam sebagai ad-dîn yang telah menyediakan segenap fasilitas penjagaannya; dan realitas itu adalah perwujudan dari sifat ar-rahmân-nya Allah jalla jalâluh.
Dalam tatanan inilah dinul Islam mengakui proses penalaran logis manusia, termasuk penalarannya dengan segenap ayat-ayat-Nya; baik ayat-ayat qauliah (ayat-ayat yang tersurat, red) maupun ayat-ayat kauniah (ayat-ayat yang tersirat, red). Kesemuanya ini memang kehendak-Nya, di samping menunjukkan ke-Mahakuasaan dan ke-Mahabesaran Allah azza wa jalla di dalam menguji para hamba-Nya yang telah mengimani-Nya; apakah dia tambah keyakinannya, sehingga menjadi hamba yang taslim mukmin, atau sebaliknya tambah jauh keingkaran mereka terhadap eksistensi Allah swt dengan segala Mahakuasa dan Mahabesar-Nya. Sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang. Bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia. Dan, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya; dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, pengisaran angin, dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (Qs.al-Baqarah: 164).

Dan firman-Nya,

“Wa fil-ardli ayâtul lil-mûqinîna wa fî anfusikum; afalâ tubshirûn;" di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada diri kalian sendiri; maka, apakah kalian tidak memperhatikan? (Qs.adz-Dzâriât: 20-21).

Juga telah Allah swt firmankan,

“Dan, mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Rabb-nya” (Qs.ar-Rûm: 8).

Dari ketiga teks firman Allah swt tersebut di atas, dapatlah digaris-bawahi beberapa firman-Nya, seperti, "Bagi kaum yang memikirkan” (Qs.al-Baqarah: 164); "Apakah kalian tidak memperhatikan?" (Qs.adz-Dzâriyat: 20-21); dan “Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?" (Qs.ar-Rûm: 8).
Ketiga teks di atas merupakan dasar pemahaman, bahwa dinul Islam mendorong kepada para pemeluknya melakukan pemberdayaan atas akal yang dimilikinya. Yaitu, dengan membiasakan diri melakukan analisa data dan hepotesa data, dengan melalui: Penelitian, Penelaahan, Pengambilan i’tibar, dan Penggalian atas setiap fenomena ayat-ayat qauliah & ayat-ayat kauniah. Artinya, dinul Islam sebagai dînus samâwât (ajaran langit) benar-benar telah diridlai-Nya untuk melakukan redesain atas kemampuan akal logisnya di dalam melakukan penalaran. Sehingga seorang mukmin tidak salah di dalam memahami fungsi akalnya di kehidupan dunianya. Karena salah di dalam meletakkan kedudukan akalnya, hal itu dapat berakibat fatal baik buat dirinya sendiri maupun terhadap kehidupan umat manusia secara umum.

Difinisi Akal
Dalam bahasa Arab akal (al-‘aqlu) mempunyai arti: ad-diah (denda), al-hikmah (kebijakan), husnut tasharruf (tindakan yang baik lagi tepat).
Sedangkan secara terminologis, akal mengandung makna:
Pertama. Kaidah-kaidah rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang melekat pada setiap manusia.
Kedua. Kesiapan bawaan yang bersifat intuitif yang bila dikembangkan terpandu dengan al-qur`an merupakan kemampuan yang matang bagi setiap pribadi râdliatam mardliah.
Dalam keberadaannya akal bersifat ‘ardh (aksiden), yakni bisa berfungsi dan juga bisa tidak berfungsi dalam kehidupan seorang manusia. Seperti disabdakan Nabi saw,

“al-Majnûna hattâ yafîqa;" …orang gila sampai ia kembali berakal (Hr.Abu Dawud, dari Ali bin Abi Thalib kw; Kitâb Sunan Abu Dâwud, Fashal al-Hudûd, vol.II, hal.339, Dârul Fikr).

Sedangkan dalam fitrahnya akal bersifat intuitif, di mana akal diciptakan oleh Allah swt dengan muatan tertentu yang berupa kapasitas kemampuan dan kesiapan, yang kelak akan dapat melahirkan sejumlah aktifitas pemikiran dan penalaran yang berguna bagi kehidupannya dan kehidupan orang lain, sehingga manusia berderajat mulia di sisi Allah swt dan di jagad raya. Seperti telah difirmankan-Nya,

“Wa laqad karramnâ banî âdama; wa hamalnâ hum fil-barri wal-bahri wa razaqâ hum minath-thayyibâti wa fadl-dlalnâ hum 'alâ katsîrim-mimman khalaqnâ tafdlîlâ" dan sesungguhnya telah Kami muliakan Bani Adam. Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rizeki dari yang baik-baik. Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Qs.al-Isrâ`: 70).

Adapun tempat kedudukan akal berada di dalam hati, seperti telah disabdakan Nabi saw,

“al-'Aqlu fil-qalbî;" akal itu berada di dalam hati (Hr.Bukhari, dari Ali bin Abi Thalib kw; Kitâb Shahîh Bukhârî, Fashal al-Adâbul Mufrad, al-Maktabatul Islamiah, Istambul-Turki).

Karenanya pusat penilaian Allah azza wa jalla terhadap manusia terletak di dalam hatinya, sebagaimana disabdakan Nabi saw,

“Inna-llâha lâ yandhuru ilâ shuwari-kum wa amwâli-kum wa lâkin-yandhuru ilâ qulûbi-kum wa a'mâli-kum;" sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa atau bentuk kalian. Tidak juga kepada jasad kalian. Tetapi, Dia (Allah) melihat kepada hati dan perbuatan kalian (Hr.Muslim, dari Abu Hurairah ra; Kitâb Shahîh Muslim, Fashal al-Bir, vol.II, hal.518, Darul Fikr).

Hadis di atas merupakan tafsir atas ayat ke-179 dari surat al-a’râf yang berbunyi,

“Lahum qulûbul lâ yafqahûna bihâda;" mereka mempunyai hati, tetapi mereka tidak menggunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)….”


Memahami Akal Sebagai Fasilitas QB
Akal sebagai salah satu fasilitas QB sangat berperan di dalam mendorong seseorang untuk memiliki sikap tauhid dan perilaku keimanan yang kokoh. Sebab, tanpa adanya satu kesatuan antara sikap tauhid dan perilaku keimanan, seorang muslim mustahil dapat mengejawantahkan pesan-pesan langit ke dalam pola kehidupan keseharian sebagai orang bumi.
Namun demikian, dinul Islam tetap memberikan arahan yang tegas dan simpatik di dalam menggunakan akal. Di mana seorang muslim mukmin di dalam menggunakan akalnya harus memenuhi adab (etiket) yang menjadi ketetapan syariah dan formalitas administratif syar'i (yurisprodensi Islam). Berdasarkan al-qur`an maka akal manusia berfungsi, di antaranya sebagai berikut:
1. Untuk memahami ke-Mahakuasaan Allah azza wa jalla (Qs.al-Anbiyâ`: 22)
2. Untuk memahami Kitab Suci al-Qur`an (Qs.an-Nisâ`: 82).
3. Untuk terciptanya kreativitas dan inovasi dalam kehidupan umat manusia (Qs.al-Baqarah: 170).
4. Untuk memahami kebenaran rabbani (haqqur rabbani) (Qs.az-Zumar: 17-18).
5. Untuk memahami fenomena alam di kehidupan umat manusia (Qs.al-Anbiyâ`: 110).
6. Untuk mengetahui dan mengakui keterbatasan akalnya (Qs.al-Isrâ`: 85) dan (Qs.Thâhâ: 110).
7. Untuk mengimani yang ghaib (Qs.al-Baqarah: 17).
8. Untuk mengarahkannya agar tetap berdampingan dengan al-qur`an dan al-hadis (Qs.al-Hasyr: 2).

Menuhankan Akal Sama Salahnya Dengan Yang Menjumudkannya
Adalah sama-sama salahnya manusia yang menuhankan akalnya dengan manusia yang bersikap antipati terhadap penggunaan akal. Yang harus diketahui bahwa eksistensi akal dalam kehidupan seorang manusia bersifat melekat dan intuitif. Dikarenakan memang dari sananya, Allah azza wa jalla telah memfasilitaskan buat kehidupan manusia.
Adalah sudah semestinya untuk memahami kedudukan akal, bahwa fungsi akal sehat di kehidupan manusia merupakan fasilitas QB guna mendinamisasikan hidayah Allah swt sampai kepada kedudukan ridla-Nya. Hal itu dapat dimanifestasikan dengan beberapa pemahaman, sebagai berikut:
a. Memahami akal sekadar fasilitas hidayah. Dengan kata lain, akal merupakan alat syariat guna melaksanakan wahyu di dalam kehidupan keseharian seorang hamba.
b. Akal harus tunduk terhadap wahyu dan taat terhadap segenap ketetapan syariatullah.
c. Kedudukan wahyu adalah mutlak terhadap kinerja akal sehat manusia.
d. Kemampuan akal sangatlah terbatas, oleh karena produk akal adalah nisbi; yakni berubah-ubah lagi dapat diperbaharui.
e. Fungsi akal merupakan fasilitas untuk melahirkan sikap dan perilaku yakin terhadap kekuasaan dan kebesaran Allah swt.
f. Adalah dosa hukumnya bila akal manusia sampai mengingkari Allah swt dengan segala eksistensi-Nya.
g. Memaksimalkan peran akal di dalam menemukan kemaslahatan dan kemadlaratan.
h. Kebenaran penalaran logis akal sehat, bila hasil pemikirannya sesuai dengan al-qur`an dan al-hadis. Sebaliknya bila hal itu bertentangan dengan keduanya, maka ia merupakan kebatilan yang menyesatkan.
i. Hasil pemikiran nalar logis dapat bertentangan dengan syariat, disebabkan: Pertama. Mungkin karena itu syubhat. Kedua. Mungkin karena kelemahan dalil syariat yang digunakannya.
j. Adalah kewajiban akal di dalam memahami yang global, dikarenakan adalah hak syariat untuk menentukan hukum-hukum yang rinci (tafsiliah), seperti: wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.
k. Adakalanya akal harus mengakui, terdapat beberapa hal yang ia tidak mampu memahami muatan-muatan syariat.
l. Pada dasarnya asas hukum itu merupakan kebolehan (mubah), hingga Allah swt menurunkan syariat yang melarangnya.
m. Tidak ada kewajiban akal untuk mengharuskan Allah swt dalam hal-hal tertentu. Sebagaimana disabdakan Nabi saw,

“Lâ mukriha lahu min khalqihi;" tidak ada seorang makhluk pun yang dapat memaksa Allah” (Kitâb al-Madkhalu li-Dirâsatil ‘Aqidatil Islamiah ‘alâ Madzabi Ahlissunnah wa Jama’ah, Dr.Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah al-Buraikan).

n. Akal adalah bagian dari sumber hukum yang tidak dapat berdiri sendiri. Sehingga kualitas produk hukumnya bersifat nisbi. Pun pula di dalam melakukan penelaahan dan ijtihadiah sifat kebenarannya juga nisbi.

Menu Harian Untuk Melatih Akal
Sebagaimana dalam pelatihan ruhani, yakni di dalam menjaga kondisi hati supaya tetap selamat. Maka, sangat perlu dilakukan oleh kaum muslimin mukmin memiliki menu harian dalam memberikan pelatihan terhadap akalnya. Tanpa memberinya pelatihan terhadap akalnya, seseorang akan sulit menggunakan akalnya sebagai fasilitas di dalam menjemput hidayah Allah azza wa jalla. Dan, sudah barangtentu pelatihan akal ini diberikan setelah kondisi hati nyata-nyata dalam keadaan selamat.
Inilah dasar-dasar menejemen pendidikan Islam yang saat ini telah diabaikan para ulama, para pakar pendidikan Islam, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam; baik yang menggunakan model: sekolah, kampus, pondok pesantren, dan boarding school.
Sangat tidak mungkin seorang peserta didik kelak di akhir dewasanya dapat memiliki kecakapan-kecakapan intelektual, emosional, dan intuisional. Bila, hati mereka tidak tergolong pada hati yang selamat dan akal yang sehat ketika dirinya menuntut ilmu pengetahuan diniahnya.
Karenanya, para manusia yang telah terjebak dengan "logika materialis" dan "logika kapitalis", mereka beranggapan bahwa menuntut ilmu pengetahuan diniah ending-nya harus dapat mendatangkan kecukupan meteri dan meraup banyak keuntungan. Sehingga fenomena di atas ditangkap dengan sangat baik oleh para pelaku bisnis pendidikan, bahwa hal itu sangat menguntungkan dari segi orientasi keuntungan. Manakala lembaga pendidikan telah terjebak dengan profit oriented (orientasi keuntungan). Jangan harap lembaga tersebut akan benar-benar mampu mendidik dan nantinya dapat melahirkan para alumninya berkualitas sebagai ulama`-nya Allah --ulama dalam pengertian seseorang yang ahli di bidang ilmu pengetahuan diniah-- diniah jangan diarti-sempitkan dengan agama Islam; boleh jadi dia ahli informatika, ahli robot, ahli bedah tulang, ahli bedah mata, ahli gizi, ahli botani, ahli geologi, ahli tafsir, ahli hadis, dsb. Sekali pun lembaga tersebut terkenal dan memiliki fasilitas pendidikan yang tergolong memadai. Tetapi dari segi implementasi, substansi pendidikannya tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh dinul Islam.
Perlulah kiranya, untuk saat ini dan di masa-masa mendatang kita mematangkan model pelatihan ruhani yang berbuah pada kesehatan akal seorang muslim mukmin. Yaitu, di antaranya dengan mempola: Tilawah al-qur`an; Membaca sirah nabawiah; dan Memahami hadis Nabi saw sebagai sebuah fasilitas di dalam penajaman analisa data dan hipotesa data. Artinya, dengan kebiasaan melakukan ketiga aktifitas di atas seorang muslim akan memiliki habits dan kemampuan dasar di dalam melakukan analisa data dan hipotesa.

Akal Sehat, Keimanan Optimal
Kesehatan akal seseorang di samping sangat ditentukan oleh hati yang selamat. Keberadaannya juga dipengaruhi secara langsung akan eksistensi keilmuannya. Perlu disadari bahwa penguasaan keilmuan yang salah tidak akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemiliknya. Mengapa ilmunya menjadi tidak bermanfaat. Karena hatinya tidak selamat dan akalnya tidak sehat. Maka, al-qur`an sangat mendorong kaum mukminin untuk menjaga hatinya supaya tetap selamat, memberdayakan akalnya agar tetap sehat, dan mengembangkan ilmunya guna mendapatkan ridla-Nya.
Dengan kata lain, bila akalnya sehat. Lalu, didukung dengan hati yang selamat dan ilmu yang bermanfaat. Maka, secara otomatis keimanan seseorang akan mencapai titik yang optimal, insya Allah. Sedangkan optimalisasi dari sikap dan perilaku iman di kehidupan sehari-hari, adalah melembaganya cara berpikir yang disertai dengan peneguhan prinsip tauhid, bahwa di kehidupan manusia, seorang manusia harus berani menentukan kebijakan dan keputusannya, yakni, "Tidak ada sesembahan yang hak disembah, kecuali hanya Allah azza wa jalla". Yang mana akan berbuah pada implementasi tauhid yang nyata, yaitu, "(Hidup ini) tidak punya apa-apa dan tidak dipunyai oleh siapa-siapa; kecuali Allah jalla jalâluh".
Karenanya, sebagai seorang muslim mukmin kita harus tetap commitment & consistent (CC) dengan koridor bertauhid, "Cukuplah bagiku Rabb-ku Allah yang Maha-agung, tidak ada yang boleh singgah (atau masuk) ke dalam hatiku selain Dia".
Untuk mendukung pengamalan nyata dari sikap dan perilaku tauhid di atas. Tidak ada yang sanggup melakukannya kecuali akal sehat yang terbimbing dengan wahyu dan sunnah Nabi saw. []
































QUANTUM BELIEVING GAGAL
BILA NIATNYA SALAH




Niat mempunyai peran yang sangat penting dalam sebuah aktifitas di kehidupan kaum muslimin. Suatu perbuatan dapat bernilai ibadah karena terdapatnya niat yang benar. Tetapi, karena niat yang salah suatu perbuatan yang dianggapnya mulia ternyata tidak diterima di sisi-Nya. Demikian halnya dengan QB, ia dapat gagal total juga disebabkan niatnya yang salah.
Seperti telah alfaqîr paparkan dibeberapa kesempatan, baik yang berupa tulisan maupun ceramah, bahwa QB adalah sebuah proses percepatan untuk menjadi sesuatu yang lebih baik, lebih bermanfaat, dan lebih berguna bagi kehidupan umat manusia ke depan yang didasarkan pada kuatnya keyakinan dan kuatnya rasa dalam kepribadian, sehingga dengan cepat pula dapat menerima ke-Mahakuasaan dan ke-Mahabesaran Allah azza wa jalla di kehidupan kesehariannya.
Karenanya, dalam rangka mendorong terjadinya percepatan QB, segenap fasilitas utamanya harus dimaksimalkan peran dan fungsinya dalam kepribadian seseorang tersebut. Tanpa adanya maksimalisasi dari peran dan fungsi dari fasilitas QB itu, maka eksistensi QB menjadi mandeg. Dengan kata lain, hasil dari percepatan QB yang dilakukan seseorang harus membawa perubahan yang cukup berarti buat kehidupan orang lain.
Jika fasilitas QB meliputi: intelejensia; emosional; dan intuisional, maka niat berfungsi mendasari atas setiap kegiatan yang dilakukan oleh intelejensia, emosional, dan intuisional. Dengan niat yang benar, yakni yang didasarkan pada kekuatan dan kebenaran ilmu pengetahuan diniah, gerak intelejensia, emosional, dan intuisional menjadi terarah dan terpolakan ke dalam bingkai kebenaran yang terbimbing oleh hati yang selamat, akal yang sehat, dan sudah barangtentu harus bersumber kebenaran itu dari wahyu dan nash yang jelas (sharîh).
Sebaliknya, apabila penetapan niatnya salah, gerak intelejensia, emosional, dan intuisional juga salah. Dikarenakan ketiga fasilitas QB tersebut lebih berkecenderungan untuk mengikuti tuntutan hawa nafsunya. Di sinilah, QB menjadi gagal. Sebab, apa pun yang dilakukan berdasarkan tuntutan hawa nafsu pasti berkecenderungan membawa petaka, kehinaan, dan kerusakan; baik buat diri sendiri maupun buat orang lain. Padahal sebagai makhluk yang bereksistensi sebagai hamba yang muslim lagi mukmin, keberadaan QB sangat penting dalam melakukan redesain terhadap kepribadian seorang muslim. Sehingga mampu mendorongnya ke arah percepatan pemahaman dan pengamalan yang benar akan rukun islam dan rukun iman, demikian pula dengan segenap amalan, tradisi, dan habits kaum muslimin mukmin di kehidupannya.

QB & Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah jalla jalâluh adalah tiang pancang utama dalam kehidupan seorang muslim. Sedangkan, keimanan yang disertai dengan keyakinan adalah lebih kuat rasa di dalam berkeimanannya dengan-Nya.
Maka dari itu, keberadaan al-qur`ân sebagai kitab suci-Nya disertai dengan wujud nyata dari eksistensi alam universum dan diutus-Nya Muhammad Rasulullah saw ke alam dunia ini. Tidak lain adalah fasilitas Ilahiah guna agar bertambah yakin dengan apa yang telah diimaninya. Artinya, mengimani-Nya harus disertai pula dengan meyakini ke-Mahakuasaan dan ke-Mahabesaran-Nya. Yang mana hal itu ditunjukkan dengan terkodifikasikannya al-qur`ân, terhamparnya alam semesta, dan terutusnya Rasulullah saw sebagai "manusia suci" (The Hollyman) yang benar-benar tak pernah tersentuh oleh yang kotor, dosa, dan maksiat kepada-Nya.
Jika pengertian dan pemahaman di atas tidak di-QB-kan, maka konsepsional ajaran Islam tersebut di atas tidak pernah terimplementasikan dalam hidup keseharian. Sehingga kedudukannya sebagai manusia muslim mukmin tidak disertai dengan kepemilikan dan pengamalan atas nilai-nilai kemusliman dan keimanan. Sampai di sini, maka akan terlahirkan banyak kaum muslimin yang "tidak memahami dirinya sendiri". Di mana mereka tercerabut dari tradisi, habits, dan sumbernya yang paling hakiki tentang cara ber-dinul Islam yang benar.
Namun, hal itu akan menjadi sangat berbeda manakala QB diposisikan sebagai fasilitas guna "menghidupkan" sikap mental mengimani-Nya ke dalam perilaku yang bermanfaat buat diri sendiri dan orang lain. Inilah yang dimaksudkan dengan "teologi implementatif". Di mana eksistensi "imannya kepada Allah" telah mendorongnya untuk melakukan: transformasi, apresiasi, kreatifitas, inovasi, dan produktifitas; yang kesemuanya akan melahirkan kemanfaatan-kemanfaatan sosial, di samping sudah pasti akan bermanfaat buat dirinya sendiri. Dengan demikian sikap mental dan perilaku iman kepada Allah azza wa jalla yang di-QB-kan akan membuahkan kepribadian yang matang sebagai seorang muslim mukmin yang capable & credible, yaitu kuatnya sikap mental bertauhid (hablum mina-llâh) dan perilaku sosial dalam bertauhid (hablum minan-nâs).

QB & Iman Kepada Para Rasul Dan Nabi-Nya
Keberadaan para nabi dan rasul merupakan "transmiter energi" buat kaum muslimin mukmin. Di samping juga menjadi "gerbang ke-Tuhan-an" bagi segenap umat manusia. Maka, berbahagialah para hamba Allah yang telah diberi kemampuan oleh-Nya dapat mengambil "transmiter energi" dari para nabi dan rasul, khususnya kaum muslimin yang dapat mengambil "transmiter energi" dari Rasulullah saw.
Sebagai seorang muslim mukmin, kita harus sangat bersyukur karena mendapatkan dua kesempatan sekaligus dalam hidupnya, yakni terdapat kesempatan untuk memperoleh "transmiter energi" dan kesempatan melewati "gerbang ke-Tuhan-an". Inilah yang sering alfaqir sebut transmisi energi Ilahiah (Divine Energy Transmition atau disingkat DET) dan transmisi energi wahyu (Revelation Energy Transmition atau disingkat RET) di kehidupan kaum muslimin. Namun sayang dua kesempatan yang sangat baik itu seringkali diterlantarkan begitu saja oleh kaum muslimin.
Karenanya dengan QB dua kesempatan tersebut di atas akan mampu dimaksimalkan guna mendapatkan kekuatan keyakinan, dan lezatnya rasa berkeimanan dalam sebuah kepribadian râdliatam mardliah. Sebab, QB akan dapat dimaksimalkan manakala mendasarkan percepatannya dengan menjadikan para rasul dan nabi sumber keteladanan dengan segenap platform pemikirannya.

QB & Iman Kepada Para Malaikat-Nya
Iman kepada para malaikat-Nya adalah bagian dari sikap iman seorang muslim kepada masalah yang ghaib. Karenanya, QB dalam masalah yang ghaib lebih bersifat tawaqquf (mendiamkan karena mengimaninya, red). Hal itu sebagai perwujudan dari keyakinannya bahwa masalah ghaib merupakan hak mutlak Allah yang Mahamengetahui-nya.
Seseorang yang telah mengalami percepatan dalam QB, dia akan membicarakan malaikat bila didukung oleh wahyu dan sunnah. Apabila dari kedua nash tersebut tidak ada jaminan orisinalitas, maka dia lebih memilih untuk mengambil sikap tawaqquf. Ketimbang menjadikannya perselisihan pendapat yang tidak berdasar (ikhtilaf). Di samping juga berusaha dengan keras, sekali pun yang di-ikhtilaf-kan memiliki dasar pijakan nash karena masih berada dalam wilayah ijtihadiah. Namun untuk meminimalkan ikhtilaf; seorang qibian memilih bersikap diam dan mendiamkannya.
Karenanya, percepatan QB akan membawa pada terjadinya kekuatan keyakinan bahwa keberadaan malaikat adalah sesuatu yang mutlak untuk diimani. Sedangkan mengenai seluk-beluk atas eksistensi malaikat sepenuhnya diserahkan kepada-Nya. Sebab, sangat menyadari bahwa manusia tidak ada kecakapan dengan persoalan yang ghaib. Karena tidak ada kecakapan, maka yang terjadi adalah sekadar "kira-kira" atau "mungkin". Betapa bahayanya jika suatu keilmuan dan kebenaran tentang kemaujudan malaikat hanya melahirkan ketetapan dan keputusan mengenai eksistensi malaikat yang mendasarkan sekadar pada "perkiraan" atau "kemungkinan". Oleh sebab itu dalam membahas malaikat harus didukung dengan nash. Demikianlah percepatan yang dilahirkan oleh kekuatan QB dalam mendesain kepribadian seorang muslim mukmin terhadap keimanannya dengan para malaikat-Nya.

QB & Iman Kepada Kitab-Kitab-Nya
Dinul Islam mengajarkan kepada kaum muslimin supaya mengimani segenap kitab suci yang pernah diturunkan kepada para nabi dan rasul yang dipilih-Nya. Dari keberadaan kitab suci itulah, maka agama-agama yang ada di dunia ini dapat dibeda-bedakan. Di samping pula dapat dibedakan berdasarkan kurun pelaksanaan dari kekuatan hukum yang menyertainya.
Secara umum perbedaan antara agama samawi dan agama ardli dapat dibedakan dengan jelas. Dalam agama samawi selalu ada rasul yang diangkat oleh-Nya dengan disertai kitab suci, atau suhub. Yang mana hal itu berbeda dengan agama ardli, tidak terdapat kitab suci atau suhub dan rasul yang diangkat oleh-Nya.
Karenanya, betapa hebatnya seorang muslim yang dengan percepatan keyakinan di kehidupannya, mereka memedomkan diri pada kitab suci-Nya. Sebab, di dalam mengimplementasikan QB harus tetap berpedoman dan berdampingan dengan kitab suci-Nya. Maka, tidaklah disebut QB bila dalam percepatannya meninggalkan peran dan fungsi wahyu sebagai rujukan utama yang mutlak dalam mendampingi segenap aktifitas di kehidupannya.
Oleh sebab itu betapa ruginya manakala ada seorang muslim yang meninggalkan peran dan fungsi al-qur`ân. Boleh dibilang seorang muslim tersebut akan kehilangan percepatan keyakinannya. Apabila seorang muslim telah kehilangan percepatan keyakinannya, maka dia akan menjadi muslim yang: stagnan (mandeg), apatis (masa bodoh), statis (diam), tidak kreatif, dan tidak inovatif. Dikarenakan hilangnya rasa apresiasinya terhadap fenomena yang muncul di seputar kehidupannya. Dan, ini sekaligus menandakan tidak adanya habits iqra` dan habits ilmu pengetahuan diniah. Karenanya, percepatan keyakinan dengan model QB akan sangat tangguh di dalam melahirkan kekuatan keyakinannya terhadap al-qur`ân. Yang mana hal ini akan mampu melahirkan daya kreasi yang menyejahterakan buat kehidupan umat manusia, sebagai wujud nyata dari pemahaman yang benar atas al-qur`ân sesuai dengan misi al-qur`ân, yakni rahmatal lil-‘âlamîn.

QB & Iman Kepada Hari Kiamat
Bagi kebanyakan orang, Hari Kiamat dianggapnya masih jauh dari kehidupannya. Dengan demikian banyak pula dari manusia yang melalaikan waktu-waktu baiknya. Namun tidaklah demikian dengan hamba yang telah beriman kepada-Nya dan telah mengalami percepatan keyakinan dengan QB. Baginya Hari Kiamat merupakan sesuatu yang menakutkannya dan telah dekat waktunya, karena memang Hari Kiamat merupakan bagian dari sirrun min sirrillâh (sesuatu yang sangat dirahasiakan-Nya, red).
Seorang mukmin yang 'alim dan tafaqquh fid-dîn lebih memilih untuk berlaku tawaqquf. Dikarenakan menjatuhkan keputusan atas tawaqquf dalam masalah Hari Kiamat merupakan perwujudan dari sikap mental iman yang didasarkan atas keyakinannya atas kiamat.
Apapun hasilnya, berpikir mengenai Hari Kiamat tetap berbentuk praduga-praduga dan spekulasi-spekulasi, yang siapa pun boleh melakukannya; meski hal itu murni hasil dari sebuah perenungan yang kontemplatif. Namun tidaklah demikian bagi kaum muslimin yang telah menjadikan QB sebagai salah satu sarana berpikir guna menghasilkan tindakan yang implementatif dari sebuah keyakinan. Dengan demikian seorang hamba yang muslim yang telah menjadikan QB sebagai platform berpikirnya, dia hanya menerima dan meyakini masalah Hari Kiamat yang telah disebutkan oleh wahyu dan sunnah. Tanpa keberadaan daya dukung kedunya --maksudnya al-qur`ân & al-mîzan-- maka ia lebih memilih untuk diam karena keimanan yang diyakininya (tawaqquf).

QB & Iman Terhadap Qadla Dan Qadar-Nya
Qadla adalah ketentuan-Nya sejak jaman azali mengenai adanya sesuatu atau tidak adanya sesuatu. Sedangkan qadar, adalah penciptaan-Nya terhadap sesuatu dengan cara tertentu dan dalam waktu tertentu pula. Keberadaan qadla & qadar merupakan perwujudan nyata dari ke-Mahakuasaan, ke-Mahabesaran, ke-Maha-adilan, ke-Mahabijakan, dan ke-Mahakuatan yang secara mutlak harus diimani lagi diyakini oleh setiap hamba-Nya. Menolaknya berarti sebuah perilaku yang bernilai kufur di sisi-Nya.
Kedudukan QB atas eksistensi qadla & qadar Allah azza wa jalla, akan mampu mendorong percepatan keyakinan pada diri hamba tersebut. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat yang dilanjutkan dengan konsistensi atas segenap kehendak-Nya, akan mampu mendorong hamba itu memiliki "daya kekebalan iman dan keyakinan" yang telah terpatri secara melekat di dalam hati dan jiwanya. Sehingga imannya terhadap qadla & qadar Allah azza wa jalla justru akan melahirkan daya kreatifitas dan daya inovasi, yang hal itu sangat berguna bagi masyarakat secara luas.
Mengapa dapat terjadi, dikarenakan dengan daya dukung QB imannya terhadap qadla & qadar Allah azza wa jalla akan melahirkan kemampuan di dalam memahami, mana wilayah yang boleh dikreatifkan atau diinovasikan dan mana-mana wilayah yang terlarang disebabkan wilayah tersebut telah menjadi ketetapan-Nya.

QB Dalam Syahadat
Syahadat adalah wujud persaksian atas ketasliman, keimanan, dan keyakinan seorang hamba Allah kepada-Nya; demikian juga terhadap rasul-Nya. Karenanya, apabila dalam bersyahadat tidak utuh mulai dari: taslimnya; imannya; dan yakinnya. Maka, syahadat tersebut belumlah disebut sebagai syahadat yang utuh.
Kebanyakan orang syahadatnya baru pada tahap "syahadat keislaman". Hanya sedikit dari kaum muslimin yang dapat menjaga "syahadat keimanan". Dan, sangat sedikit sekali kaum muslimin mukmin yang dapat mempertahankan dan mengembangkan "syahadat keyakinan".
Oleh karena dapatlah dipahami bahwa mayoritas kaum muslimin tidak berkeimanan, dan kebanyakan kaum mukminin itu tidak berkeyakinan. Inilah penyakit hati yang harus segera diobati, sedangkan metode yang tepat dalam memberikan pengobatan hanya dengan model QB.
Dengan model QB syahadat seorang muslim mukmin dapat dikembangkan dan diberdayakan menjadi sebuah kekuatan yang energik sekaligus dapat menjadi kekuatan yang dinamik. Disebabkan dengan melakukan percepatan keyakinan, seorang hamba akan mampu memaknai dengan baik dan benar akan sikap mental syahadatnya.
Artinya, sebagian besar dari kaum muslimin ini syahadatnya adalah "syahadat formalisme". Oleh sebab itu harus dirubah, agar menjadi "syahadat implementatif". Sehingga kualitas keyakinannya sebagai seorang yang beriman kepada Allah azza wa jalla benar-benar dapat ditransformasikan seluas-luasnya menjadi sebuah kemanfaatan sosial dan kemaslahatan sosial.
Sudah tidak jamannya lagi memaknai syahadat secara formalitas administrtaif syar'i dan bersifat latterlijk. Tapi lebih dari itu syahadat harus dimaknawikan secara implementatif dengan:
1. Inna shalâtî wa nusukî wa mahyâya wa mamâtî lil-lâhi rabbil 'âlamîn, lâ syarîka lahu wa bidzâlika umirtu wa ana awwalul muslimîn; sungguh shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya; yang demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).
2. Hasbiyallâhu wa ni'mal wakîl; cukup Allah-lah wakilku dan Dia-lah sebaik-baik wakil.
3. Hasbî rabbî jallullâh, mâ fî qalbî ghairullâh; cukup bagiku Rabb-ku yang Maha-agung, tidak ada yang singgah dihatiku selain Allah.
4. Lâ yumlik, wa lâ yumlak illa-llâh; hidup ini tidak punya apa-apa dan tidak dipunyai oleh siapa-siapa; kecuali Allah.
5. Man-yattaqillâh yaj'alu mahrajaw-wa yarzuqhu min haitsu lâ yahtasib; barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Dia akan menjadikan kemudahan dan akan memberinya rizeki dari tempat yang tidak terduga-duga.
6. Qad aflahâ man-zaqqahâ wa qad khâba man-dassâhâ (sungguh berbahagialah orang yang menyucikan jiwanya dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya.
7. Fa idzâ faraghta fanshab, wa ilâ rabbika farghab; maka, apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain, dan hanya kepada Rabb-mulah hendaknya kamu berharap. Dan, masih banyak yang lainnya.
Inilah kebutuhan yang mendesak untuk segera dijadikan habits kreatif & inovatif dalam kehidupan keseharian kaum muslimin di dalam mengamalkan konsep syahadatain yang sangat indah tersebut.

QB Dalam Shalat
Dinul Islam mengajarkan mendirikan shalat adalah perilaku puncak dalam pengabdian seorang hamba kepada Allah jalla jalâluh. Hanya melalui shalat seorang hamba dapat membuktikan, apakah dirinya orang taat dan patuh kepada-Nya, atau mengingkari-Nya. Hanya dengan shalat seorang hamba dapat bercakap langsung dengan-Nya di saat sujud. Hanya dengan shalat seorang hamba dapat melakukan mi'raj kepada-Nya. Hanya dengan shalat seorang hamba dapat melakukan pendidikan yang seimbang atas kepribadiannya, yakni dalam mengelola nafsunya.
Karenanya di al-qur`ân dijelaskan, bahwa seorang yang beriman kepada Allah haruslah memahami setiap kata yang terucap dan setiap aktifitas yang dilakukan selama mendirikan shalat. Jika hal itu belum ditunaikan dalam shalatnya seorang hamba yang beriman, maka shalat hamba tersebut disama-persiskan dengan shalatnya orang yang sedang mabuk, yakni shalat yang tidak mengerti apa-apa.
Manakala shalatnya tidak mengerti apa-apa, lalu apa yang dicapai dari sebuah pendirian shalat. Padahal dari sebuah pendirian shalat banyak nilai positif yang dapat dicapai, seperti:
a. Peningkatan kualitas dan manfaat dzikrullah.
b. Peningkatan amal shalih dan manfaatnya.
c. Pengembangan kreatifitas kepribadian.
d. Membudayakan disiplin waktu.
e. Pemberdayaan modal sosial.
f. Pengembangan empati sosial.
g. Kesetiakawanan sosial.
Yang kesemuanya telah terpadu ke dalam sebuah konsep ajaran yang integral dalam setiap aspek dalam proses pendirian shalat, misalnya ajaran itu dapat diperoleh melalui: konsep takbir; konsep iftitah; konsep ta'awudz; konsep fatihah; konsep ruku'; konsep tasbih; konsep istighfar; konsep sujud; konsep tahiat; konsep shalawat nabi; konsep syahadat; konsep doa; konsep berdiri; konsep sedekap; konsep mengangkat tangan saat takbir; konsep salam; konsep tengok kanan-tengok kiri saat salam; dan masih banyak lagi konsep-konsep yang terdapat dalam sebuah pendirian shalat, yang mana hal itu sangat tepat dalam menunjang percepatan keyakinan.
Karenanya, dengan model QB shalat seorang muslim akan dapat diberdayakan dan dikembangkan sejalan dengan visi-misi shalat, yakni menghasilkan tauhid yang kuat dan dapat memberikan maksimalisasi dalam kemanfaatan sosial. Sebagaimana hal itu tergambar dari konsep takbir dan konsep salam dalam setiap salam ketika seseorang itu mendirikan shalatnya.
Shalat dalam pendekatakan model QB, dipahami sebagai sesuatu yang strategis bagi kehidupan seorang yang beriman kepada Allah, dalam menjaga kualitas diri dan kepribadian yang utuh, dalam upayanya mengembangkan hubungan komunikasi kosmis dengan Allah azza wa jalla dan memberdayakan hubungan komunikasi sosial dengan sesama makhluk-Nya. Maka, betapa hebatnya seseorang yang berkepribadian sebagai seorang yang shalat (mushallî). Di samping hatinya selamat, akalnya sehat, dan ilmunya bermanfaat, yang secara konseptual hal itu dapat dilihat dalam ajaran Islam mengenai "ajaran keseimbangan", "Hablum mina-llâh, wa hablum minan-nâs" dan "Wab-taghi fîmâ âtâka-llâhud dâral-âkhirah, wa lâ tansa nashibaka minad-dunyâ".
Karenanya, dalam pendekatan model QB tidak ada aspek yang kosong dari hikmah dalam setiap saat mendirikan shalat. Sehingga hasil yang dicapai setelah shalat benar-benar seorang "manusia termuliakan" (human elyon), yakni seorang hamba yang: mutawakil; muttaqin; muqinin; mukhlisin; muhsinin; muqnithin; dan sifat-sifat kosmis serta sosial yang lainnya, yang hal itu menunjukkan ketinggian budi pekerti dari seorang yang ahli shalat.
Kelak pada waktu mizan di Hari Kiamat, seorang hamba akan ditanyai lebih dahulu mengenai shalatnya. Tapi ironisnya, di saat masih hidup di dunia banyak orang telah menyepelekan shalatnya. Di sinilah QB menjadi sangat penting untuk diterapkan dalam pengajaran shalat dengan segenap aspeknya. Sehingga misi-visi shalat benar-benar terejawantahkan dalam kehidupan seorang muslim mukmin dengan kualitas seorang human elyon.

QB Dalam Puasa Ramadlân
Dalam ibadah puasa, apakah itu puasa Ramadlân, atau puasa-puasa sunnah, substansi ajaran Islam yang terdapat di dalamnya, adalah sikap mental pengendalian diri (ash-shabûr). Khususnya dalam syariat puasa Ramadlân, capaian yang dituju dari ibadah ini tidak sekadar seseorang yang melakukan puasa (ash-shâ`im) dapat menahan diri dari: makan, minum, bersetubuh dengan isteri di siang hari, dan melakukan segenap aktifitas yang dapat membatalkannya. Tidak sekadar itu. Namun seorang yang menjalankan ibadah puasa Ramadlân sangat dituntut untuk dapat mengendalikan dirinya dan menahan gejolak hawa nafsunya, yang semata segenap "ibadah pengendalian" itu hanya diperuntukkan Allah azza wa jalla.
Karenanya, setelah seseorang menjalankan puasa Ramadlân selama satu bulan, dengan model puasa yang dilakukan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Maka, pribadi muslim akan memiliki keunggulan di dalam mengelola keseimbangan ruhani, antara ruh-hati-jiwa dijadikan kekuatan untuk merubah dirinya menjadi hamba yang senantiasa diridlai-Nya. Disebabkan, sikap mental pengendalian diri yang dihasilkan dari ibadah puasa benar-benar telah mendorong dirinya untuk selalu dapat menjadi hamba-Nya yang terbaik di muka bumi ini.
Dan, substansi ajaran puasa tersebut di atas harus segera disosialisasikan kepada segenap kaum muslimin mukmin, agar rutinitas ibadah tahunan ini benar-benar sesuai dengan visi-misinya. Sehingga dalam setiap tahunnya kaum muslimin mukmin akan memiliki kualitas manusia sebagai produk unggulan, atau pasca ibadah puasa Ramadlân akan tercetak banyak human elyon di kehidupan ini.
Maka, syariat puasa Ramadlân bagi manusia yang berakal sangat bermanfaat dalam menempak ruhaniahnya, disebabkan orang yang berakal tersebut telah mempuasakan ruh-hati-jiwa mereka ke dalam bingkai pengendalian diri yang kuat. Memang banyak orang pandai, orang kaya, penguasa, orang terkenal; akan tetapi belumlah menjamin kepandaiannya, kekayaannya, kekuasaannya, dan populeritasnya dapat mengangkat harkat dan derajat mereka dalam kehidupan dunia yang fana ini; bila tidak disertai dengan sikap mental pengendalian diri yang kuat, akhlak yang mulia, dan adab yang terpilih.
Demikian halnya dengan orang yang miskin, masyarakat awam, dan orang-orang yang tidak beruntung akibat kebijakan struktural yang sepihak; mereka semua juga harus tetap memiliki sikap mental pengendalian diri yang kuat, akhlâqul karîmah, dan adâbul musthafawiah.
Karenanya, QB sangat penting diterapkan dalam proses pendidikan dan pembelajaran di ibadah puasa dalam kehidupan kaum muslimin mukmin pada Bulan Ramadlân. Dengan model pendekatan QB, maka ibadah puasa Ramadlân --termasuk dalam puasa-puasa sunnah yang lainnya-- akan mampu melahirkan percepatan keyakinan bagi kaum muslimin yang menunaikannya.
Dus dengan demikian sudah barangtentu ibadah puasa Ramadlân dalam setiap tahunnya akan mencetak banyak sumber daya insani unggul kaum muslimin mukmin di negeri ini. Oleh karena dengan model pendekatan ala QB, puasa Ramadlân benar-benar dimaksimalkan sebagai suatu lembaga pendidikan ruhani tahunan yang melahirkan banyak "manusia unggul" yang bermanfaat buat dirinya sendiri, Rabb mereka, dan orang lain.
Dengan kata lain, ibadah puasa Ramadlân sebagai "madrasatur ruhaniah" dengan model pendekatan QB dapat didesain menjadi sarana "out bound ruhani" dalam menempa kaum muslimin mukmin dengan kualifikasi standar, yaitu: muslim yang mukmin, dan mukmin yang yakin, yang dapat memberikan kemanfaatan secara nyata buat diri dan manusia lain, baik secara dhahir maupun batin, dikarenakan kuatnya sikap mental pengendalian diri untuk selalu menyandar dan bergantung hanya kepada-Nya.

QB Dalam Zakat Mâl
Substansi ajaran zakat mâl adalah munculnya sikap mental tahu diri (asy-syâkûr) pada kepribadian seorang muslim mukmin di kehidupan kesehariannya. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa untuk memiliki sikap mental tahu diri itu sangatlah sulit, jika tidak dilatih (riadlatun nafsi) dengan baik dan secara benar ruh-hati-jiwa kita.
Bagi orang-orang yang telah menerima ketauhidan mereka dengan Allah azza wa jalla, penyakit hati yang dihadapinya adalah bakhil-pelit-kikir-serakah yang kesemua penyakit hati itu dalam waktu yang sangat singkat dapat merusak hati kaum muslimin mukmin di kehidupan kesehariannya. Tidak jarang banyak kaum muslimin yang terpedaya dengan bisikan hawa nafsunya untuk lebih memilih menjadi orang yang bakhil dibandingkan dengan memilih menjadi orang dermawan.
Karenanya, syariat zakat mâl sangat relevan di dalam mendidik para hamba-Nya untuk memiliki sikap mental tahu diri; khususnya bagi para muslimin yang dikarunia oleh Allah jalla jalâluh harta benda dan kekayaan yang berlimpah.
Syariat zakal mâl sebagai "madrasatun nafsi" jika dalam menunaikannya didasarkan hanya atas menggapai ridla-Nya. Maka, hati dan jiwa manusia yang seringkali merasa berat untuk melakukan derma harus "dipaksa" dengan ditetapkannya syariat tersebut. Dari model "paksa" itulah nantinya manusia-manusia yang berkeimanan, berkeyakinan, dan berakal akan memiliki habits sosial yang sangat bagus, yakni suka atau biasa berderma untuk mencapai kedekatannya dengan-Nya.
Maka, untuk merealisasikan ide dasar mengenai substansi ajaran zakat mâl, tidak ada metode yang paling tepat melainkan dengan menggunakan model pendekatan QB. Dengan model pendekatan QB para wajib zakat akan terdorong secara sadar, bahwa dengan menunaikan zakat mâl kepribadiannya akan mengalami percepatan keyakinan, di samping bentuk konkrit dari penyucian jiwa (tazkiatun nafsi).
Lebih dari itu, QB dalam zakat mâl tidak sekadar "membodohi" orang untuk gemar berzakat dengan hanya menonjolkan fadha`ilul a'mâl kepada para aghniyâ`. Tetapi QB secara lurus dan benar memberikan platform zakat mâl yang dituntunkan oleh syariat Islam. Jangan sampai zakat mâl yang secara syariat memiliki ide dasar yang bagus, namun dalam prakteknya hanya dijalankan sekadar karikatif. Di mana harta atau kekayaan yang sudah mencapai nishab dan haul-nya dikumpulkan dan dibagikan begitu saja. Tanpa harus ada apresiasi yang benar terhadap pendidikan dan pembelajaran mengenai zakat mâl. Bila, realitas ini terus dibiarkan maka yang terjadi di kehidupan kaum muslimin tidak terjadi pemerataan penikmatan atas karunia-Nya.
Dengan kata lain, QB dalam zakat mâl benar-benar mendorong terciptanya sikap mental tahu diri dan terjadinya pemerataan kesejahteraan atas karunia-Nya di muka bumi yang dimotori oleh para orang kaya. Sebagaimana hal itu pernah terjadi di jaman Nabi saw, di mana para ashâb Nabi saw yang kaya dengan begitu saja, sudah barangtentu melalui kesadaran yang sangat tinggi, menyerahkan harta benda atau kekayaannya untuk kepentingan dinul Islam dan pemerataan kesejahteraan atas karunia-Nya. Sehingga dalam waktu yang relatif sangat cepat dan singkat para ashâb Nabi saw tersebut telah memiliki: komitmen akidah; komitmen syariah; komitmen akhlak; dan komitmen adab. Yang mana dari keempat komitmen tersebut lahir komitmen-komitmen sosio-teologi keislaman dan keimanan yang berkekuatan dahsyat, yakni berani berkurban harta benda, kekayaan, darah, dan nyawanya atas nama dinul Islam. Komitmen-komitmen sosio-teologi keislaman dan keimanan itu, di antaranya: komitmen komunitas; komitmen relijiusitas; dan komitmen humanitas.

QB Dalam Haji
Di dalam ibadah haji terangkai segenap ibadah, seperti: hati; jiwa; fisik; dan finansial. Karenanya, dalam ibadah haji, seseorang yang menunaikannya harus benar-benar memiliki kekuatan ruhani, ketahanan fisik, dan kecukupan harta benda (kekayaan, red), serta kesempatan.
Dan, substansi dari ibadah haji tidak lain adalah setiap jamaah haji, baik pada saat menunaikan ibadah haji dan umrahnya, maupun ketika setelah sampainya di tanah air harus selalu mencerminkan kesuksesan haji dan umrahnya dengan segenap perilaku dan sikap mental, di antaranya: keikhlasan, kesabaran, ketawakalan, kejujuran, ketawadlu'an, kebersihan, kedisiplinan, kemandirian; yang kesemuanya diejawantahkan ke dalam perilaku syukur, baik ke hadapan-Nya maupun terhadap sesama jamaah haji.
Dengan kata lain, ibadah haji yang ditempa dengan begitu banyak pembelajaran, pendidikan, dan keteladanan. Maka, seorang jamaah haji akan memiliki kematangan jiwa dan keharmonian kepribadian setelah mereka pulang ke tanah airnya.
Tapi apa kenyataannya? Banyak jamaah haji, bahkan banyak pula yang telah menunaikan ibadah haji berkali-kali, yang menjadi pertanyaan, "Adakah perubahan ruhani dan akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari setelah menunaikan ibadah haji? Benarkah para jamaah haji setelah pulang ke tanah airnya, dengan gelar haji dan hajjah, telah memiliki kematangan jiwa dan keharmonian kepribadian?"
QB dalam haji akan mendorong secara nyata para jamaah haji untuk memiliki apresiasi yang diwujudkan dengan daya kreatifitas dan daya inovasi. Dikarenakan, dalam platform QB haji dan umrah merupakan sarana yang tepat dan benar untuk melakukan "out bound ruhani" bagi seorang muslim yang berkesempatan menunaikannya.
Terlepas dari formalitas administrtif syar'i (fikih), dalam ibadah haji memiliki kekuatan untuk mencetak pribadi-pribadi unggul yang berdedikasi tinggi terhadap kemanusiaan. Yang mana hal itu dapat dicermati dari rangkaian ibadah haji mulai dari: thawwaf; sa'i, wukuf; lempar jumrah, berbaju ihram, dan mabit (baik di Mina maupun di Muzdalifah, red).
Kesemua rangkaian tersebut telah menjadi sebuah rangkaian pendidikan dan pembelajaran kepada segenap jamaah haji untuk memiliki jiwa: kepemimpinan; kemandirian; pengurbanan; pelayanan; toleransi; dan kasih-sayang. Karenanya, seseorang yang telah dianugerahi-Nya dapat menunaikan ibadah haji, secara ideal syar'i, dia akan mengalami pemberdayaan: keilmuannya, pengetahuannya, akhlaknya, dan adabnya. Dengan kata lain, dia akan memiliki kemampuan percepatan akan motivation & adversity quotient (MAQ) yang berbuah pada percepatan lahirnya emotional & intuitional quotient (EIn-Q). []





































DIDIKKAN & AJARKAN QB
MULAI SEDINI MUNGKIN





Keberadaan QB sebuah jawaban dari latahnya kaum muslimin di dalam mengikuti perubahan jaman di kehidupannya. QB yang alfaqîr maksud adalah quantum believing, yang sebenarnya lebih pas jika diterjemahkan dengan "mi'rajul yaqin" (MY), dari seorang muslim yang mendesain dirinya untuk menjadi sosok seorang hamba Allah yang râdliatam mardliah. Yang secara nyata di dalam surah al-fajr, telah ditegaskan bahwa hanya para hamba-Nya yang berkepribadian râdliatam mardliah yang kelak dimasukkan surga-Nya.
Sedangkan di sisi lain tidak mudah untuk melakukan redesain atas kepribadian kita menjadi kepribadian yang râdliatam mardliah. Tanpa terdapatnya bangunan ruhani yang kuat, dan kita juga harus sadar bahwa untuk membangun ruhani yang kuat tidak dapat dilakukan dengan kun fayakûn. Akan tetapi secara bertahap dan terevaluasi konstruks bangunan ruhani harus dimulai dari usia sedini mungkin dalam kehidupan anak-anak kaum muslimin mukmin.
Model pendekatan QB atau MY, bukanlah sebuah proses produksi yang instan yang dapat dilakukan oleh seorang muslim. Tapi, lebih dari itu, QB atau MY hanya sebuah model pendekatan percepatan keyakinan yang harus dimiliki oleh setiap kaum muslimin mukmin. Dikarenakan fenomena yang muncul belakangan ini, banyak kaum muslimin yang tidak mengimani dinul Islam, di samping pula banyak dari kaum mukminin yang tidak begitu meyakini dinul Islam; baik sebagian maupun keseluruhan ajaran, terbukti telah terjadinya "Islam warna-warni" di negeri ini.
Terlepas dari hak masing-masing kaum muslimin, terutama para ulamâ`-nya untuk melakukan ijtihad guna memberikan jalan keluar atas problematika umat, maka warna-warninya Islam ternyata telah diikuti dengan terjadinya warna-warninya kaum muslimin. Sebenarnya akan menjadi sesuatu yang kreatif dan dinamis, manakala warna-warni yang terjadi itu adalah diskurs keislaman dalam dataran wacana pemikiran. Karena hal itu akan membawa pada perubahan dan percepatan yang menguntungkan bagi khazanah keilmuan kaum muslimin ke depan, yang secara langsung telah terlibat dalam kehidupan "kampung global" (global village).
Adalah suatu kenyataan yang masih terdapat kesenjangan dalam kehidupan kaum muslimin, yakni belum meratanya di dalam menerima akses ilmu pengetahuan, informasi-komunikasi, dakwah Islam; di samping secara skill keagamaan pun juga belum merata.
Suatu misal, bolehlah Mas Ulil Abshar cs berdiskursus dan membangun mimpi-mimpi mereka dengan JIL-nya. Tapi, apakah mereka, yang konon disebut sebagai sosok cendekiawan muslim, tidakkah berpikir secara seimbang, bahwa "Mbah Kromo" wa 'alâ alihi wa ashâbihi belum dapat mendirikan shalat, dengan alasan: tidak punya sarung; tidak hafal doanya shalat; tidak fasih mengucapkan bahasa Arab; masih repot; dan masih banyak alasan-alasan yang klise lainnya. Dan, kaum model "Mbah Kromo" itu jumlahnya masih sangat banyak di negeri ini. Baginya tidak ada untungnya mau ikut JIL atau mau ikut JIN, masa bodohlah itu semua.
Atau, contoh yang lain, bolehlah Mas Riziq dengan FPI-nya melakukan sweeping terhadap tempat-tempat maksiat, yang tak jarang menimbulkan rasa ketakutan dan kesinisan pada Islam itu sendiri dari pihak-pihak kaum muslimin yang tidak sependapat dengan model pendekatan FPI. Namun apakah di saat yang bersamaan Mas Riziq cs mengetahui bahwa masih banyak kaum muslimin model "Mbah Kromo" yang menjadi penduduk negeri ini belum dapat melakukan tayamum maupun shalat jenazah, jama' shalat atau pun qashar shalat. Dan, mereka tidak pernah menghiraukan apa-apa yang telah dilakukan Mas Riziq cs dengan FPI-nya, tidak ambil pusinglah dengan model-model yang kayak begituan.
Juga ada contoh yang lain, seperti Mas Ja'far cs dengan salafi-nya, bolehlah melakukan "pemurnian" (?) ajaran Islam, agar tidak melenceng dari pola Islam-nya Rasulullah saw. Tapi, apakah di saat berbarengan beliau juga memahami logika dan perasaan kaum muslimin model "Mbah Kromo" yang masih buta huruf dengan huruf-huruf al-qur`an. Dan, yang harus dipahami bersama bahwa kaum muslimin model "Mbah Kromo" itu yang dibutuhkan sesuatu yang nyata, seperti: mereka itu butuh makan, tempat tinggal, dan pekerjaan; cukuplah bagi mereka jika kesemuanya itu terpenuhi. Baginya tidak penting lagi Islam itu murni atau tidak murni, sebab kaum yang model-model demikian yang mereka butuhkan adalah simple-nya saja, dan jumlah mereka juga tidak sedikit.
Atau, apa yang dilakukan hizbut tahrîr, yang dengan ikhlas selalu mengajak saudaranya untuk mengimplementasikan khilafah daulah-nya. Silahkan, boleh-boleh saja, tidak ada masalah. Tapi, apakah juga pernah terpikirkan bahwa masih banyak para saudara muslimnya yang tipologinya seperti modelnya "Mbah Kromo", yang mengaku muslim karena di-KTP-nya tertuliskan "…Agama: Islam…"
Jika kita mau melihat secara seksama, dan mau melakukan penelitian sosial atas sikap keagamaan dan sikap keberagamaan kaum muslimin Indonesia, insya Allah akan di dapat banyak fakta yang menunjukkan, bahwa dakwah Islam di negeri ini sudah saatnya diluruskan dan dibenahi secara bersama-sama oleh kaum muslimin mukmin yang tinggal di negeri ini, tanpa harus ada perasaan premordial, sekterian, dan kelompok. Sehingga nantinya akan dapat merumuskan sebuah model pendekatan yang akurat dalam pendidikan Islam. Sekarang ini, jelas bahwa pendidikan Islam telah gagal mempersiapkan sosok generasi terdidik yang berbasiskan keislaman untuk dapat bersaing dalam percaturan hidupnya.

Kuncinya, Percepatan Keyakinan
Di Indonesia, di samping negara telah mengalami multi krisis, tak terkecuali kaum muslimin pun juga mengalami multi krisis. Namun yang sangat kentara adalah krisisnya aqîdatut tauhîd kaum muslimin. Di mana seolah tidak sanggup lagi "melawan" setiap gempuran materialisme dan kapitalisme. Akibatnya, akhlak dan adab kaum muslimin menjadi sangat rendah, meski tidak keseluruhan. Dan, alfaqîr berkeyakinan bahwa juga masih banyak yang baik dan benar cara beri-Islam-nya. Namun secara prosentase bisa jadi yang akidahnya jelek itu jumlahnya terlalu banyak. Dikarenakan, percepatan keyakinan tidak sebanding dengan percepatan kemaksiatan yang nyata-nyata telah mendapat "dukungan" dari percepatan teknologi informasi-komunikasi.
Pertanyaannya adalah, apakah salah keunggulan teknologi-komunikasi yang pada akhirnya dijadikan sarana percepatan kemaksiatan? Apakah produk teknologi dapat disalahkan? Tidakkah, produk teknologi tak ubahnya barang dan benda mati? Suatu contoh keberadaan pesawat televisi, apakah televisi harus dikambing-hitamkan, lantaran digunakan untuk penayangan CD porno, misalnya. Atau, sebaliknya pesawat televisi menjadi benar, ketika hanya digunakan untuk menayangkan program-program ilmu pengetahuan dan dakwah?
Jawabannya jelas, yang harus bertanggung jawab adalah the man behind of the gun, yaitu para "manusia eror" (human error) yang seharusnya mereka bertanggung jawab atas sebuah kecanggihan teknologi tersebut. Namun karena akidahnya jelek, sehingga akhlak dan adab-nya pun menjadi kacau.
Karenanya sudah saatnya model pendekatakan "percepatan keyakinan" (MY) dijadikan basis quantum & competency dalam pola pembelajaran dan pendidikan kaum muslimin mukmin mulai usia sedini mungkin. Maksudnya, mulai dari usia kandungan anak-anak kaum muslimin mukmin harus mulai dididik, di-wenter, dan dikenalkan dengan segenap habits keislaman yang telah ada dan pernah dipraktekkan oleh kaum muslimin di era sahabat, tabi'în, tabi'ut tabi'în, salafush shalih, dan seterusnya segenap kaum muslimin mukmin yang tetap berpegang teguh dengan alqur`ân, alhadîs, dan al-'ilmud dîniah.
Apalah artinya jika seseorang itu hidup tanpa memiliki kualitas keyakinan yang kokoh kuat dalam agamanya. Sebab, yakin merupakan sendi yang terkuat dalam eksistensi keimanan seseorang yang telah mengaku dirinya sebagai seorang muslim. Betapa ruginya apabila kita membaca al-qur`an misalnya, namun segenap pikiran-hati-jiwa ini tidak yakin dengan ke-Mahabesaran dan ke-Mahakuasaan Allah azza wa jalla. Apa jadinya, dengan segenap ibadah yang kita lakukan, bila segenap pikiran-hati-jiwa ini tidak yakin dengan ke-Mahabesaran dan ke-Mahakuasaan Allah azza wa jalla.
Karenanya, sudah waktunya segenap kaum muslimin mukmin mengadopsi konsep MY dalam lingkungan kesehariannya. Sehingga secara gradual hal itu akan dapat membawa segenap perubahan yang berkemanfaatan buat kreatifitas, inovasi, dan kemandirian kaum muslimin. Sebab, tanpa menggunakan model pendekatan MY, keislaman seseorang akan mengalami stagnan (jumud). Oleh sebab itu, platform MY yang berupa: 1).Keteladanan; 2).Keikhlasan; 3).Kesabaran; 4).Keilmuan; 5).Ketaqarruban (doa, munajat, dan tawajuh); 6).Keharmonisan (membenahi keluarga); 7).Kedisiplinan; 8).Ketauhidan; dan 9).Memperhatikan yang sepele, yang mendapatkan daya dukung dari motivation & adversity quotient (MAQ) yang dalam waktu cepat akan dapat melahirkan emotional & intuitional quotient (EIn-Q), harus segera dimiliki oleh setiap individu dan keluarga kaum muslimin mukmin yang mendambakan kejayaan Islam. []




PENUTUP





Quantum Believing (QB) merupakan jawaban yang sangat tepat dari sebuah fenomena sosial kaum muslimin di negeri ini yang masih memiliki modal sosial rendah (low social capital). Sementara untuk meningkatkan kualitas diri dan citra diri kaum muslimin, seolah kita telah kehilangan referensi keislaman. Sehingga, meski tidak secara keseluruhan buruk, kita menjadi "latah" dengan mereferensi dan mengimitasi atas khazanah "orang lain".
Padahal jika kita mau membuka kembali lembaran sejarah keemasan Islam, hal ini bukan berarti kita harus tenggelam dengan kejayaan masa lalu (the gold of age), segenap khazanah yang secara instan untuk ditransfer dan diaktualkan ke dalam model kekinian masih sangat banyak yang belum diungkap. Sedangkan akibat dari "buta sejarah" tersebut, kaum muslimin dalam menyejajarkan dengan "orang lain" secara membabi buta mengadopsi dan melakukan imitasi, yang seringkali disebut islamisasi, dengan harapan kenyataan itu dapat meningkatkan kualitas diri dan citra diri kaum muslimin.
Benarkah realitanya demikian, ternyata sampai hari ini kaum muslimin hampir di negara mana pun tinggal, tak terkecuali di negeri ini, selalu menjadi bulan-bulanan "orang lain", seperti: sasaran fitnah; sasaran kekerasan; sasaran eksploitasi; sasaran isme-isme; dan sasaran westernisasi. Dengan alasan, tanpa dibuat sedemikian rupa sehingga, yang menurut Barat (baca: AS, red), kaum muslimin akan menjadi ancaman dunia. Dan, hanya dengan menjadikan kaum muslimin sebuah komunitas "manusia kardus" (human in box), maka Barat akan selalu mampu "mengungguli" Islam dan kaum muslimin.
Dalam konteks kekekinian dan kemodernan, Barat ingin selalu memegang supremasi dunia. Sehingga jalan apa pun ditempuhnya dalam rangka mempertahankan hegemoninya. Memang itu sah-sah saja. Namun buat kita, kondisi yang hegemoni ini harus ditembus dengan kemampuan kita yang jauh lebih kreatif dan apresitaif terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sebenarnya.
Karenanya, segenap motivator yang dimiliki kaum muslimin haruslah dijadikan tumbuhnya kecerdasan motivasi dan kecerdasan memahami tantangan (Motivation & Adversity Quotient). Yang dalam implementasinya didukung dengan pola five be: be happy; be patient; be careful; be creative; dan be experienced. Disebabkan, dengan terimplementasikannya five be di kehidupan keseharian seorang muslim, hal itu dapat mendorong lahirnya sikap mental: inner strong intention; self confidence; dan independency (Baca juga buku alfaqîr yang berjudul "Filsafat Manusia: Upaya Memanusiakan Manusia", 2004, red). Yang dalam waktu relatif singkat dapat menjadikan seorang muslim tersebut melakukan percepatan keyakinan (Quantum Believing), sehingga dalam waktu yang singkat pula akan didapatkan perubahan-perubahan, pembaharuan-pembaharuan, dan pemberdayaan-pemberdayaan; yang mana hal itu akan sangat bermanfaat buat kehidupan umat manusia, khususnya di kehidupan keseharian kaum muslimin.
Dan, telah menjadi kenyataan bahwa kaum muslimin di negeri ini telah kehilangan sikap mental rasa percaya diri (self confidence). Akibatnya, yang paling akut dari penyakit kejiwaan tersebut adalah: kaum muslimin tidak mengerti dirinya sendiri; kaum muslimin tidak memahami dirinya sendiri; dan kaum muslimin tidak dapat saling melengkapi di kehidupannya dengan sesama kaum muslimin. Dengan kata lain, kaum muslimin telah kehilangan jatidiri disamping secara nyata juga mengalami krisis kepemimpinan. Jadi pola keteladanan dan habits iqra` yang selama ini telah dijadikan platform kehidupan keseharian kaum muslimin semenjak jaman Nabi saw hidup, telah digantikan dengan pola jahili modern dengan habits dajjal.
Untuk mengatasi "ketakberdayaan" dan ketertinggalan dalam peradaban tersebut, tidak ada jalan lain kecuali kaum muslimin harus segera ditumbuhkan kembali MAQ (Motivation & Adversity Quotient) dan EIn-Q (Emotional & Intuitional Quotient). Sehingga dalam waktu yang relatif singkat kita dapat memberikan alternatif baru di kehidupan umat manusia dengan memberdayakan kemampuan mi'rajul-afragh (MF) secara optimal. Oleh karena dengan segera pula akan tumbuh kekuatan dan kemampuan seorang muslim yang tak terbatas (unlimited power). Dengan demikian, kaum muslimin di negeri ini akan memiliki modal sosial yang tinggi (high social capital), insya Allah. []

Tidak ada komentar: